Anda di halaman 1dari 51

NASKAH AKADEMIK KAJIAN KEBIJAKAN KURIKULUM PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

PUSAT KURIKULUM
2007
Kajian Kebijakan Kurikulum PAUD Tahun 2007 i

KATA PENGANTAR
Pemberlakuan UU Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menuntut cara pandang yang berbeda tentang pengembangan dan pelaksanaan kurikulum. Dulu, pengembangan kurikulum dilakukan oleh pusat dalam hal ini Pusat Kurikulum sedangkan pelaksanaannya dilakukan oleh satuan pendidikan. Pengembangan kurikulum yang dilakukan langsung oleh satuan pendidikan memberikan harapan tidak ada lagi permasalahan berkenaan dengan pelaksanaannya. Hal ini karena penyusunan kurikulum satuan pendidikan seharusnya telah mempertimbangkan segala potensi dan keterbatasan yang ada. Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mengacu pada Standar Nasional Pendidikan (SNP) terutama Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Standar isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Hingga saat ini belum ditetapkan Standar Nasonal Pendidikan untuk satuan Pendidikan Anak Usia Dini. Oleh sebab itu, kajian kebijakan kurikulum PAUD dilakukan terhadap Standar Kompetensi TK/RA 2004 dan Menu Pembelajaran Generik 2002 serta permasalahannya baik dokumen maupun implementasinya. Di samping itu juga dilakukan kajian pustaka (kajian teoritik) yang menjadi landasan PAUD. Salah satu tugas Pusat Kurikulum adalah melakukan kajian terhadap kebijakan pemerintah berkaitan dengan kurikulum termasuk implentasinya di lapangan serta kajian teoritik sebagai bahan pertimbangan bagi BSNP dalam menetapkan atau menyempurnakan Standar Nasional Pendidikan. Hasil kajian kebijakan kurikulum berupa naskah akademik, meliputi: 1. Kajian Kebijakan Kurikulum PAUD 2. Kajian Kebijakan Kurikulum SD 3. Kajian Kebijakan Kurikulum SMP 4. Kajian Kebijakan Kurikulum Kesetaraan Dikdas 5. Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran Pendidikan Agama 6. Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran Kewarganegaraan 7. Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran Bahasa 8. Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran Matematika 9. Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran IPA 10. Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran IPS 11. Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran Keterampilan 12. Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran Kesenian 13. Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran TIK 14. Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran Pendidikan Jasmani Salah satu hasil kajian tersebut di atas adalah Naskah Akademik Kebijakan Kurikulum PAUD. Hasil kajian ini memberikan gambaran tentang muatan kurikululum PAUD yang berlaku saat ini dan pelaksanaannya serta permasalahannya. Naskah ini juga memberikan informasi tentang kajian teoritik yang berkaitan dengan PAUD yang dapat dijadikan landasan PAUD yang penting untuk diperhatikan bagi perumus kebijakan PAUD lebih lanjut. Pusat Kurikulum menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada para pakar yang berasal dari

berbagai Perguruan Tinggi, Direktorat di lingkungan Depdiknas, kepala sekolah, pengawas, guru, dan praktisi pendidikan, serta Depag. Berkat bantuan dan kerja sama yang baik dari mereka, naskah akademik ini dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat. Kepala Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas, Diah Harianti
Kajian Kebijakan Kurikulum PAUD Tahun 2007 ii

ABSTRAK Usia dini merupakan periode awal yang paling penting dan mendasar sepanjang rentang pertumbuhan dan perkembangan kehidupan manusia. Pada masa usia dini, semua potensi anak berkembang sangat cepat. Fakta yang ditemukan oleh ahli-ahli neurologi, menyatakan bahwa sekitar 50% kapasitas kecerdasan manusia telah terjadi ketika usia 4 tahun dan 80% telah terjadi ketika berusia 8 tahun. Pertumbuhan fungsional sel-sel syaraf tersebut membutuhkan berbagai situasi pendidikan yang mendukung, baik situasi pendidikan keluarga, masyarakat maupun sekolah. Dalam rangka memenuhi kebutuhan pendidikan anak usia dini, pemerintah sudah mengembangkan Kurikulum PAUD dan perangkatnya yang dijadikan acuan bagi penyelenggaraan PAUD. Kurikulum PAUD hendaknya disusun berdasarkan landasan teoritik, yuridis, dan empiric. Hingga saat ini belum ditetapkan Standar Nasional Pendidikan untuk PAUD sebagai acuan penyusunan KTSP. Untuk itu perlu disusun naskah akademik kajian kebijakan kurikulum PAUD. Penyusunan naskah akademik kajian kebijakan kurikulum PAUD bertujuan untuk memberikan landasan teoritik (keilmuan) dan empirik bagi perumus kebijakan dan penyelenggara PAUD pada berbagai kelembagaan. Hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi kerangka acuan secara konseptual akademik dalam mengembangkan Standar Nasional Pendidikan (SNP) terutama Standar Kompetensi Lulusan (untuk PAUD disebut Standar Kompetensi Akhir Usia) dan Standar Isi Perkembangan (SIP). Kajian Kebijakan Kurikulum PAUD meliputi kajian dokumen dan kajian pelaksanaan kurikulum PAUD serta permasalahannya. Selain itu juga dilakukan kajian pustaka (kajian teoritis) berbagai landasan keilmuan yang dapat mendasari atau menjadi pijakan PAUD. Peserta yang terlibat dalam kajian ini terdiri atas ahli PAUD dari perguruan tinggi, Guru dan Kepala Sekolah TPA/KB/TK/RA. Kajian ini dilakukan melalui serangkaian kegiatan, meliputi: penyusunan desain, seminar, studi dokumen, workshop dan presentasi. Dari hasil kajian dokumen dan kajian pelaksanaan kurikulum PAUD ditemukan banyak masalah yang meliputi semua dokumen kurikulum dan pelaksanaannya. Dari hasil kajian dapat disimpulkan bahwa Standar Kompetensi TK/RA dan Menu Pembel Generik belum sesuai dengan landasan teoritis (landasan psikologis), terutama dalam hal penyusunan gradasi perkembangan dan lingkup perkembangan. Kajian ini menghasilkan beberapa rekomendasi, yaitu perlu dilakukan riset perkembangan anak usia dini Indonesia sebagai acuan empirik dalam menyusun SKAU (Standar Kompetensi Akhir Usia) dan SIP (Standar Isi Perkembangan), perlu disusun tahapan perkembangan anak mulai dari lahir sampai usia delapan tahun sebagai dasar penentuan SK dan KD sehingga ada kesinambungan kompetensi dari TB/KB, TK/RA, hingga SD kelas awal; dan perlu dikembangkan Standar Nasional Pendidikan untuk anak usia dini yang didasarkan pada naskah akademik.
Kajian Kebijakan Kurikulum PAUD Tahun 2007 iii

DAFTAR ISI Hal KATA PENGANTAR i

ABSTRAK DAFTAR ISI ii iii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 B. Landasan Yuridis 2 C. Tujuan 3 BAB II LANDASAN PAUD A. Landasan Akademik (Teoritis) 4 B. Landasan Yuridis 26 C. Landasan Empirik 28 BAB III TEMUAN DAN PEMBAHASAN A. Kajian Dokumen 30 B. Kajian Lapangan 33 C. Pembahasan 36 BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan 38 Rekomendasi 39 DAFTAR PUSTAKA
Kajian Kebijakan Kurikulum PAUD Tahun 2007 1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Usia dini merupakan periode awal yang paling penting dan mendasar dalam sepanjang rentang pertumbuhan serta perkembangan kehidupan manusia. Pada masa ini ditandai oleh berbagai periode penting yang fundamen dalam kehidupan anak selanjutnya sampai periode akhir perkembangannya. Salah satu periode yang menjadi penciri masa usia dini adalah the Golden Ages atau periode keemasan. Banyak konsep dan fakta yang ditemukan memberikan penjelasan periode keemasan pada masa usia dini, di mana semua potensi anak berkembang paling cepat. Beberapa konsep yang disandingkan untuk masa anak usia dini adalah masa eksplorasi, masa identifikasi/imitasi, masa peka, masa bermain dan masa trozt alter 1 (masa membangkang tahap 1). Konsep tersebut diperkuat oleh fakta yang ditemukan oleh ahli-ahli neurologi yang menyatakan bahwa pada saat lahir otak bayi mengandung 100 sampai 200 milyar neuron atau sel syaraf yang siap melakukan sambungan antar sel. Sekitar 50% kapasitas kecerdasan manusia telah terjadi ketika usia 4 tahun, 80% telah terjadi ketika berusia 8 tahun, dan mencapai titik kulminasi 100% ketika anak berusia 8 sampai 18 tahun. Pertumbuhan fungsional sel-sel syaraf tersebut membutuhkan berbagai situasi pendidikan yang mendukung, baik dalam situasi pendidikan keluarga, masyarakat maupun sekolah. Para ahli pendidikan sepakat bahwa periode keemasan tersebut hanya berlangsung satu kali sepanjang rentang kehidupan manusia. Hal ini menunjukkan bahwa betapa meruginya suatu keluarga, masyarakat dan bangsa jika mengabaikan masa-masa penting yang berlangsung pada anak usia dini. Sebagai komitmen dan keseriusan antar bangsa terhadap pendidikan anak usia dini telah dicapai berbagai momentum dan kesepakatan penting yang telah digalang secara internasional. Salah satunya adalah Deklarasi Dakkar yang diantaranya menyepakati

bahwa perlunya upaya memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak usia dini, terutama bagi anak-anak yang sangat rawan dan kurang beruntung. Adapun komitmen antara bangsa secara internasional lainnya adalah kesepakatan antar negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menyepakati Dunia yang layak bagi anak 2002 atau dikenal dengan world fit for children 2002. Beberapa kesepakatan yang diperoleh adalah (1) mencanangkan kehidupan yang sehat, (2) memberikan pendidikan yang berkualitas, (3) memberikan perlindungan terhadap penganiayaan, eksploitasi dan kekerasan. Walapun berbagai upaya secara konseptual maupun praktis telah diupayakan dalam membangun anak usia dini namun masih banyak anak usia dini di Indonesia yang belum terlayani kebutuhannya pada bidang pendidikan (sensus BPS terbaru 2005 mencapai 26 juta). Pada sisi lain, kelembagaan pendidikan anak usia dini yang ada baru dapat menampung sebesar 27% Angka Partisipasi Kasar (APK). Hal ini diperburuk dengan masih rendahnya kualitas penyelenggaraan lembaga pendidikan anak usia dini yang dilihat dari aspek standar program yang diberikan, proses pembelajaran yang belum mengakomodasi kebutuhan anak dan kualitas serta kualifikasi tenaga pendidik anak usia dini yang masih tergolong rendah.
Kajian Kebijakan Kurikulum PAUD Tahun 2007 2

Dalam rangka membantu memenuhi kebutuhan anak usia dini pada bidang pendidikan, pemerintah berusaha menfasilitasi dengan dikembangkannya Kurikulum PAUD yang diharapkan dapat membantu memberikan pendidikan yang berkualitas pada anak usia dini. Dengan rujukan kurikulum ini diharapkan dapat membantu lembaga pendidikan keluarga (informal), lembaga pendidikan masyarakat (non formal) dan lembaga pendidikan anak usia dini formal (TK/RA) dalam memperoleh akses konsep kurikulum anak usia dini. Kurikulum PAUD dibutuhkan dalam rangka memenuhi kebutuhan perkembangan (standar performence) anak pada segala aspek perkembangan sehingga dapat membantu mempersiapkan anak beradaptasi secara kreatif dengan lingkungan masa kini dan masa depan kehidupannya. Kurikulum PAUD yang menjadi rujukan sebagian besar TK/RA, KB, dan TPA saat ini adalah Kurikulum 2004 Standar Kompetensi TK/RA (dari Direktorat TK/SD), Menu Pembelajaran Generik (dari Direktorat PAUD), Pedoman Pengembangan Silabus untuk TK/RA, Pedoman Pembelajaran untuk TK/RA, dan Pedoman Penilaian. Di samping itu lapangan juga diperkenalkan dengan draft Kerangka Dasar Kurikulum PAUD dan Standar Perkembangan Anak Lahir s.d 6 tahun. Hingga saat ini belum ditetapkan Standar Nasional Pendidikan (8 Standar) untuk PAUD. Untuk itu perlu dilakukan kegiatan Kajian Kebijakan Kurikulum PAUD yang meliputi kajian pelaksanaan kurikulum PAUD di lapangan dan kajian dokumen serta kajian teoritis berbagai landasan keilmuan yang dapat mendasari atau menjadi pijakan Pendidikan Anak Usia Dini. Hasil kajian ini berupa Naskah Akademik yang diharapkan menjadi masukan dalam merumuskan Standar Nasional Pendidikan untuk PAUD yang berkaitan dengan Standar Kompetensi Lulusan (untuk anak usia dini disebut Standar Kompetensi Akhir Usia), Standar Isi (Standar Kompetensi Perkembangan atau Standar Perkembangan), Standar Proses, Standar Penilaian, Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan PAUD, Standar Sarana dan Prasarana, Standar Pengelolaan dan Standar Pembiayaan. B. Landasan Yuridis 1. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Dalam undang-undang nomor 23 tahun 2002 ditegaskan beberapa hal penting

sebagai berikut. a. Pasal 4 mengungkapkan bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diksriminasi. b. Pasal 9 mengungkapkan dua hal pokok yaitu; 1). Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. 2). Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus. 2. Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-Undang Nomor 20 telah memberikan payung hukum untuk perlunya diselenggarakan pendidikan anak usia dini pada ketiga jalur pendidikan. Pada pasal
Kajian Kebijakan Kurikulum PAUD Tahun 2007 3

28 undang-undang nomor 20 tahun 2003 ditegaskan tentang penyelenggaraan pendidikan anak usia dini pada jalur informal (keluarga), jalur non formal (seperti Kelompok Bermain dan Taman Penitipan Anak) dan jalur formal (Taman Kanakkanak dan Raudhatul Atfal). C. Tujuan Kajian kurikulum PAUD ini disusun untuk memberikan landasan keilmuan dalam menyelenggarakan pendidikan anak usia dini pada berbagai kelembagaan. Kajian ini juga dimaksudkan memberikan pemahaman tentang pentingnya penguasaan konsep keilmuan yang membangun dan mendukung penyelenggaraan pendidikan anak usia dini. Upaya ini sekaligus dapat membangun kebiasaan berpikir dan bertindak praksis dalam menjalankan profesi tenaga pendidik anak usia dini. Adapun tujuan khusus kajian ini diarahkan pada : 1. Memberikan analisis konsep dasar filosofis dan keilmuan pendidikan serta ilmu bantu lainnya sebagai dasar pengembangan seluruh komponen kurikulum. 2. Memberikan acuan (guideline) secara konseptual akademik dalam menyusun standar kompetensi lulusan (SKL) dan standar isi (SI) sebagai bagian intergral kurikulum. 3. Memberikan guideline secara konseptual akademik dalam menyusun standar proses pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan (Developmentally Appropriate) dan berbagai kebutuhan anak usia dini. 4. Memberikan guideline secara konseptual akademik dalam menyusun standar penilaian yang dapat dijadikan alternatif untuk melakukan asesmen dan pemantauan tumbuh kembang anak. 5. Memberikan guideline secara konseptual akademik dalam menyusun standar pengelolaan pembelajaran pada anak usia dini dengan berbagai seting dan situasi. 6. Memberikan guideline secara konseptual akademik dalam menyusun standar pendidik yang dipersyaratkan untuk dapat menyelenggarakan pendidikan pada anak usia dini secara profesional.
Kajian Kebijakan Kurikulum PAUD Tahun 2007 4

BAB II LANDASAN PENDIDIKAN ANAK USIA DINI A. Landasan Akademis (Teoritis) 1. Filosofis-Pedagogis

Filosofi pendidikan merupakan kerangka landasan yang sangat fundamental bagi sistem pendidikan dan para pendidik. Kerangka filosofis memberikan gambaran tentang cara pandang guru terhadap pendidikan itu sendiri (termasuk didalamnya kurikulum, tujuan pendidikan dan isi pendidikan), anak didik dan proses pembelajaran. Kerangka filosofis harus menjadi kerangka berpikir guru atau mind set guru dalam menyelenggarakan praksis pembelajaran. Adapun landasan pedagogis memberikan sejumlah pemahaman konseptual dan praktis tentang bagaimana proses pendidikan itu terjadi dalam berbagai lingkungan, termasuk didalamnya adalah pola pengasuhan anak, model pembelajaran, metode pembelajaran dan teknik pembelajaran, penggunaan media dan sumber belajar, penyusunan langkah pembelajaran dan penilaian yang mendidik. Dari sudut filosofis pendidikan, banyak ragam konsep cara pandang pelaksanaan pendidikan yang digagas oleh para filosof. Beberapa konsep filosofis tersebut dapat dirangkum sebagai berikut : a. Idealisme. Idealisme adalah aliran filsafat yang berpandangan bahwa alam semesta ini adalah perwujudan intelegensi dan kemauan, hal zat atau substansi yang kekal dan abadi dalam dunia ini bersifat keijiwaan, spiritual atau rohaniah. Dan hal-hal yang bersifat materil bersumber kepada hal-hal yang bersifat kejiwaan. Tokoh aliran ini antara lain Plato, David Hume, dan Hegel. Pandangannya tentang hakikat pengetahuan menyatakan bahwa pengetahuan yang benar diperoleh melalui intuisi dan pengingatan kembali. Pengetahuan yang diperoleh melalui indera tidak pasti, tidak lengkap, karena dunia materi hanyalah tipuan belaka, sifatnya maya, dan menyimpang dari keadaan lingkungan yang lebih sempurna. Kebenaran hanya mungkin dapat dicapai oleh beberapa orang yang mempunyai akal pikiran cemerlang, dan sebagian besar manusia hanya sampai pada tingkat pendapat. Sehubungan dengan teori pengetahuannya, intelek dan akal memegang peranan yang sangat penting atau menentukan proses belajar mengajar, karena menurut aliran ini manusia akan dapat memperoleh pengetahuan dan kebenaran sejati. Dengan demikian pengetahuan yang diajarkan di sekolah harus bersifat intelektual. Hakikat nilai menurut pandangan idealisme bersifat absolut. Standar tingkah laku manusia diatur oleh kewajiban moral yang diturunkan dari kenyataan sebenarnya atau metafisik. Hanya satu kebenaran, yaitu kebenaran yang berasal dari Sang Pencipta. Pendidikan menurut idealisme diartikan sebagai upaya terencana untuk mewujudkan manusia ideal yaitu manusia yang dapat mencapai keselarasan individual yang terpadu dalam keselarasan alam semesta. Upaya pendidikan harus ditujukan pada pembentukan karakter, watak, menusia yang berbudi luhur, pengembangan bakat insani dan kebajikan sosial
Kajian Kebijakan Kurikulum PAUD Tahun 2007 5

b. Realisme Realisme adalah aliran filsafat yang berpandangan bahwa ada alam semesta yang bersifat materil yang tidak bergantung kepada hal-hal yang bersifat kejiwaan, dan dapat diketahui secara langsung melalui pengalaman pendriaan dengan mempergunakan pikiran. Tokoh aliran ini antara lain Aristoteles (realisme klasik), dan Thomas Aquino (realisme religius). Teori pengetahuan realisme, menyatakan adanya prinsip ketidaktergantungan pengetahuan. Kenyataan hadir dengan sendirinya dan bersifat obyektif, tidak bergantung pada pengetahuan dan gagasan manusia. Pengetahuan yang benar

diperoleh melalui pengalaman pendriaan. Pengetahuan yang benar adalah yang sesuai dengan fakta. Dalam kaitannya dengan hakikat nilai, realisme menyatakan bahwa standar tingkah laku manusia diatur oleh hukum alam, dan pada taraf yang lebih rendah diatur oleh kebijaksanaan yang telah teruji dalam kehidupan Pendidikan dalam pandangan realisme adalah proses perkembangan intelegensi, daya kraetif dan sosial individu yang mendorong pada terciptanya kesejahteraan umum. Pendidikan yang berdasarkan realisme konsisten dengan teori belajar S-R. Dengan demikian pendidikan juga dapat diartikan sebagai upaya pembentukan tingkah laku oleh lingkungan. c. Naturalisme Romantik Tokoh aliran filsafat ini adalah Jean Jacques Rousseau (1712-1778). Dia dilahirkan di Switzerland, tetapi sebagian besar hidupnya dihabiskan di Perancis dimana dia menjadi filsuf terpimpin pada masanya. Rousseau diakui sebagai bapak romantisisme, yaitu suatu gerakan di mana para seniman dan para penulis menekankan tema-tema yang sentimentil, kealamiahan/kewajaran, dan kemurnian. Gagasan ini mempengaruhi konsepsi Rousseau tentang anak. Pandangan Rousseau tentang perkembangan anak disajikan dalam novelnya Emile (1762). Emile adalah teori pendidikan yang ditujukan kepada bangsawan kaya pada zamannya yang biasanya hidup artifisial dipenuhi dengan segala macam tata cara hidup ningrat. Dalam karyanya yang tersohor ini, Rousseau menggambarkan perawatan dan pemantauan seorang anak laki-laki bernama Emile dari masa bayi hingga dewasa muda. Ajaran filsafat naturalisme romantik Rousseau dalam Emile antara lain berisi gagasan sebagai berikut: Segala sesuatu yang berasal dari Sang Pencipta adalah baik, tetapi segala sesuatu menjadi rusak karena tangan manusia. Pendidikan Emile adalah pendidikan naturalistik atau alami dalam arti: (1) pendidikan yang mengembangkan kemampuan-kemampuan alami atau bakat/pembawaan anak, (2) pendidikan yang berlangsung dalam alam, dan (3) pendidikan negatif. Dengan menggunakan sarana berupa sastra, Rousseau mampu menggambarkan pandangan teoritisnya tentang perkembangan anak dan memberikan saran-saran mengenai metode yang paling tepat tentang cara merawat dan mendidik anak. Yang mendasar bagi teori Rousseau adalah kembalinya kepada pandangan Descartes bahwa anak-anak dilahirkan dengan membawa pengetahuan dan ide, yang berkembang secara alamiah dengan usianya. Perkembangan dalam pandangan ini, dihasilkan melalui suatu rangkaian tahapan yang dibimbing oleh suatu proses sejak dilahirkan. Pengetahuan itu diperoleh secara bertahap melalui interaksi dengan lingkungannya yang diarahkan oleh minat dan perkembangannya sendiri. Pengetahuan bawaan anak meliputi hal-hal seperti prinsip-prinsip keadilan dan kejujuran, dan yang berada di atas semuanya yaitu rasa kesadaran. Rouseau juga memandang bahwa anak
Kajian Kebijakan Kurikulum PAUD Tahun 2007 6

pada dasarnya adalah baik karena Tuhan membuat segala sesuatu baik (Krogh, 1994:15). Sesuai dengan pandangan di atas, maka pendekatan untuk mendidik anak bukanlah dengan mengajar anak secara formal atau melalui pengajaran langsung, akan tetapi dengan memberi kesempatan kepada mereka belajar melalui proses eksplorasi dan diskoveri. Anak harus diberi kesempatan untuk memperoleh pengalaman-pengalaman positif, diberi kebebasan dan mengikuti minat-minat spontannya. (Krogh, 1994:15). Rousseau mengkritik pendidikan yang sifatnya artifisial atau dibuat-buat , dan dia

menganjurkan pendidikan itu harus natural. Dalam biografinya Emile, Rousseau menyarankan bahwa untuk mendidik Emile paling sedikit harus mengandung tiga gagasan yang saat ini didukung oleh beberapa ahli pendidikan. Pertama, anak-anak dapat didorong untuk mempelajari disiplin ilmu (body of knowledge) hanya apabila mereka telah memiliki kesiapan kognitif untuk mempelajarinya. Kedua, anak-anak belajar sebaik mungkin apabila mereka didorong secara mudah kepada informasi atau gagasan dan dilibatkan untuk memperoleh suatu pemahaman tentang dirinya melalui proses penemuan oleh dirinya sendiri. Ketiga, perawatan dan pendidikan anak harus membantu perkembangan secara permisif dari pada menggunakan jenis interaksi yang mengandung disiplin kaku, karena disiplin kaku tidak sesuai dengan pandangan yang lebih romantis tentang anak. Sesuai dengan pandangannya bahwa anak dilahirkan membawa bakat yang baik, maka pendidikan adalah pengembangan bakat anak secara maksimal melalui pembiasaan, latihan, interaksi dengan alam, permainan, partisipasi dalam kehidupan, serta penyediaan kesempatan belajar dan belajar selaras dengan tahap-tahap perkembangan anak. d. Pragmatisme Aliran filsafat ini disebut juga instrumentalisme atau eksperimentalisme. Disebut instrumentalisme karena memandang bahwa tujuan pendidikan bukanlah terminal, akan tetapi alat atau instrumen untuk mencapai tujuan berikutnya. Dan dikatakan eksperimentalisme karena untuk membuktikan kebenaran digunakan metode eksperimen. Tokoh aliran filsafat ini antara lain John Dewey dan Williams James. Pragmatisme adalah salah satu aliran filsafat yang anti metafisika. Kenyataan yang sebenarnya adalah kenyataan fisik. Segala sesuatu dalam alam dan kehidupan ini berubah (becoming), hakikat segala sesuatu adalah perubahan itu sendiri. Manusia adalah hasil evolusi biologis, psikis dan sosial. Manusia dilahirkan dalam keadaan tidak dewasa dan tak berdaya, tanpa dibekali dengan bahasa, keyakinan-keyakinan, gagasan-gagasan atau norma-norma sosial. Hal ini mengandung arti bahwa setiap manusia tumbuh secara berangsur-angsur mencapai kemampuan-kemampuan biologis, psikologis, dan sosial. Sesuai dengan pandangannya tentang hakikat realitas, manusia dipandang sebagai mahluk yang dinamis, tumbuh dan berkembang. Anak dipandang sebagai individu yang aktif. Hakikat pengetahuan menurut pragmatisme terus berkembang. Pengetahuan bersifat hipotetis dan relatif yang kebenarannya tergantung pada kegunaannya dalam kehidupan dan praktek. Pengetahuan adalah instrumen untuk bertindak sedangkan dalam membahas hakikat nilai pragmatisme menyatakan bahwa tidak ada nilai yang berlaku secara universal atau absolut. Etika tidak diturunkan dari hukum tertinggi yang bersumber dari zat supernatural. Standar tingkah laku perseorangan dan sosial ditentukan secara eksperimental dalam pengalaman hidup. Etika pragmatisme memiliki karakteristik: empiris, relatif, partikular (khusus), dan ada dalam proses.
Kajian Kebijakan Kurikulum PAUD Tahun 2007 7

Pendidikan diartikan sebagai proses reorganisasi dan rekonstruksi (penyusunan kembali) pengalaman sehingga dapat menambah efisiensi individu dalam interaksinya dengan lingkungan dan dengan demikian mempunyai nilai sosial untuk memajukan kehidupan masyarakat. Tokoh aliran Pragmatisme antara lain John Dewey dan Williams James. Dewey dalam bukunya Democracy and Education menekankan pentingnya pendidikan karena berdasarkan tiga pokok pemikiran, yaiti (1) pendidikan merupakan kebutuhan untuk

hidup, (2) pendidikan sebagai pertumbuhan, dan (3) pendidikan sebagai fungsi sosial. Yang menyebabkan pendidikan sebagai kebutuhan untuk hidup, adalah karena adanya anggapan bahwa selain pendidikan sebagai alat, melainkan juga berfungsi sebagai pembaharu hidup atau renewal of life. Hidup itu selalu berubah, selalu menuju kepada pembaharuan. Hidup itu ialah a self renewing process through action upon environment. Pendidikan sebagai agen pertumbuhan terjadi bilamana mampu mengembangkan potensi anak yang tersembunyi yang disebut potensialitas pertumbuhan. Pendidikan berfungsi membantu anak untuk mengaktualisasikan potensi-potensi yang tersembunyi tersebut. Pendidikan memiliki fungsi sosial jika mampu mengembangkan jiwa sosial pada anak karena sebagai individu anak juga sebagai mahluk sosial yang selalu berinteraksi dengan individu lainnya. Oleh karena itu dalam hal ini pendidikan harus mampu memfasilitasi anak dalam melakukan proses sosialisasi sehingga dapat menjadi warga masyarakat yang diharapkan. Di samping pandangan di atas, sesuai dengan pandangannya tentang hakikat realitas yang terus mengalir, berubah, berkembang, Dewey mengemukakan bahwa pendidikan berarti perkembangan sejak lahir hingga menjelang kematian. Jadi pendidikan itu juga berarti kehidupan, dengan lain perkataan, pendidikan adalah hidup itu sendiri. Bagi Dewey, education is growth, development, and life. Artinya proses pendidikan tidak mempunyai tujuan di luar dirinya tetatpi terdapat dalam pendidikan itu sendiri. Proses pendidikan bersifat kontinu, reorganisasi dan rekonstruksi, dan pengubahan pengalaman hidup. Pragmatisme tidak mengenal adanya tujuan umum atau tujuan akhir pendidikan, yang ada hanyalah tujuan instrumental karena tercapainya tujuan yang satu adalah alat untuk mencapai tujuan berikutnya. Setiap fase perkembangan kehidupan, masa kanak-kanak. Masa pemuda dan masa dewasa, semuanya adalah fase pendidikan, semua yang dipelajari pada fase-fase tersebut mempunyai arti sebagai pengalaman belajar, pengalaman pendidikan. Dalam arti yang luas pendidikan menurut pragmatisme dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah segala bentuk pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan hidup dan sepanjang hidup. Pendidikan adalah segala situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan seseorang. Menurut Dewey, pendidikan yang benar hanya akan muncul dengan menggali keunggulan-keunggulan anak yang timbul dari tuntutan situasi sosial di mana dia menemukan dirinya sendiri. Melalui tuntutan sosial ini anak dirangsang untuk mampu bertindak sebagai anggota suatu unit sosial tertentu. Beberapa pandangan Dewey tentang pendidikan dapat dirangkum sebagai berikut. 1) Insting dan potensi-potensi anak menjadi titik tolak untuk semua pendidikan. 2) Pendidikan adalah proses hidup itu sendiri dan bukan persiapan untuk hidup. 3) Sebagai lembaga sosial, sekolah harus menyajikan kehidupan nyata dan penting bagi anak sebagaimana yang terdapat di dalam rumah, di lingkungan sekitar, atau di lingkungan masyarakat luas. (Dewey dalam Krogh, 1994) Tujuan pendidikan diarahkan untuk mencapai suatu kehidupan yang demokratis. Demokrasi bukan dalam arti politik, melainkan sebagai cara hidup bersama, sebagai
Kajian Kebijakan Kurikulum PAUD Tahun 2007 8

way of life, pengalaman bersama dan komunikasi bersama. Dewey mengemukakan beberapa karakteristik tujuan pendidikan yang baik sebagai berikut. 1) Tujuan pendidikan hendaknya ditentukan berdasarkan kegiatan dan kebutuhan intrinsik peserta didik. 2) Tujuan pendidikan harus mampu menimbulkan suatu metode yang dapat

mempersatukan aktifitas pengajaran yang sedang berlangsung. 3) Pendidik harus tetap menjaga jangan sampai ada tujuan umum dan tujuan akhir. Untuk mengetahui bagaimanakah proses belajar terjadi pada anak didik, kita lihat bagaimana syarat-syarat untuk pertumbuhan. Pendidikan sama dengan pertumbuhan. Syarat pertumbuhan adalah adanya kebelumdewasaan atau kebelummatangan (immaturity), yang berarti kemampuan untuk berkembang. Immaturity tidak berarti negatif tetapi positif, yaitu kemampuan, kecakapan, dan kekuatan untuk tumbuh. Ini menunjukkan bahwa anak didik adalah hidup, ia memiliki semangat untuk berbuat. Pertumbuhan bukan sesuatu yang harus kita berikan, akan tetapi sesuatu yang harus mereka lakukan sendiri. Ada dua sifat immaturity, yakni kebergantungan dan plastisitas. Kebergantungan berarti kemampuan untuk menyatakan hubungan sosial dan ini akan menyebabkan individu itu matang dalam hubungan sosial. Sebagai hasilnya, akan tumbuh kemampuan interdependensi atau saling kebergantungan antara anggota masyarakat yang satu dengan yang lain. Plastisitas mengandung pengertian kemampuan untuk berubah. Plastisitas berarti juga habitat yaitu kecakapan menggunakan keadaan lingkungan sebagai alat untuk mencapai tujuan, bersifat aktif mengubah lingkungan. Dalam proses belajar, Dewey menekankan pentingnya prinsip learning by doing atau belajar dengan bekerja, belajar melalui praktek, karena belajar dengan bekerja adalah dua kegiatan yang tidak dapat dipisahklan seperti halnya pendidikan dengan kehidupan atau seperti halnya anak dengan masyarakat. Learning by doing ini berlaku bagi semua tingkatan usia anak. Kapankah proses belajar itu dimulai dan kapankah berakhir. Sesuai dengan pandangan Dewey, bahwa pendidikan adalah pertumbuhan itu sendiri, maka proses belajar pun berlangsung terus-menerus sejak lahir dan berakhir pada saat kematian. Pendidikan adalah pengalaman, yaitu suatu proses yang berlangsung secara terusmenerus. Terdapat hubungan yang erat antara proses belajar, pengalaman dan berpikir. Pengalaman itu bersifat aktif dan pasif. Pengalaman yang bersifat aktif berarti berusaha, mencoba dan mengubah, sedangkan pengalaman pasif berarti menerima dan mengikuti saja. Kalau kita mengalami sesuatu maka kita berbuat, sedangkan kalau mengikuti sesuatu kita memperoleh akibat atau hasil belajar. Belajar dari pengalaman adalah menghubungkan pengalaman kita dengan pengalaman masa lalu dan yang akan datang. Belajar dari pengalaman berarti mempergunakan daya pikir reflektif (reflective thinking) dalam pengalaman kita. Pengalaman yang efektif adalah pengalaman yang reflektif. Ada lima langkah berpikir reflektif menurut Dewey (1994), sebagai berikut. 1) merasakan adanya keraguan, kebingungan yang menimbulkan masalah, 2) mengadakan interpretasi tentatif (merumuskan hipotesis), 3) mengadakan penelitian atau pengumpulan data yang cermat, 4) memperoleh hasil dari pengujian hipotesis tentatif, dan 5) hasil pembuktian sebagai sesuatu yang dijadikan dasar untuk berbuat Metode berpikir reflektif atau problem solving yang dikemukakan di atas merupakan metode mengajar utama yang disarankan Dewey. Langkah pertama dan kedua bersumber dari berpikir deduktif, sedangkan langkah ketiga dan keempat merupakan tahap berpikir induktif. Dengan demikian dari langkah kesatu sampai dengan langkah keempat terdapat gabungan berpikir deduktif dan induktif yang
Kajian Kebijakan Kurikulum PAUD Tahun 2007 9

kemudian hasil gabungan berpikir itu harus diuji kembali dalam implementasi. Pengujian terakhir inilah yang paling menentukan karena kebenaran pragmatis

ditentukan dalam realitas hidup manusia yang sebenarnya. Pragmatisme tidak menolak metode mengajar lain selain problem solving sepanjang metode tersebut relevan dan dapat menimbulkan aktivitas serta inisiatif anak. Dengan demikian metode mengajar harus bersifat fleksibel. Dalam penyusunan bahan ajar menurut Dewey hendaknya memperhatikan syaratsyarat sebagai berikut: (1) bahan ajar hendaknya kongkrit, dipilih yang betul-betul berguna dan dibutuhkan, dipersiapkan secara sistematis dan mendetil, (2) pengetahuan yang telah diperoleh sebagai hasil belajar, hendaknya ditempatkan dalam kedudukan yang berarti yang memungkinkan dilaksanakannya kegiatan baru dan kegiatan yang lebih menyeluruh. Bahan ajar harus berisi pengalaman-pengalaman yang telah teruji serta minatminat dan kebutuhan-kebutuhan anak. Hal yang terakhir memberikan implikasi bahwa sekolah perlu membuat kurikulum darurat untuk memenuhi minat dan kebutuhan anak. Bahan-bahan pelajaran bagi anak didik tidak bisa semata-mata diambil dari buku-buku pelajaran yang diklasifikasikan dalam bentuk disiplin ilmu yang ketat, akan tetapi harus bersifat interdisipliner, berisikan kemungkinan-kemungkinan, harus mendorong anak untuk bergiat dan berbuat, dan memberikan rangsangan kepada anak untuk bereksperimen. Bahan pelajaran harus merupakan kegiatan yang berkenaan dengan sesuatu masalah (problem). Peranan pendidik menurut pragmatisme bukanlah sebagai instruktur yang mendominasi kegiatan pembelajaran, akan tetapi sebagai fasilitator. Secara rinci peranan pendidik menurut pragmatisme adalah sebagai berikut. 1) Pendidik tidak boleh memaksakan suatu ide atau pekerjaan yang tidak sesuai dengan minat dan kebutuhan peserta didik. 2) Pendidik hendaknya menciptakan suatu situasi, sehingga anak merasakan adanya suatu masalah yang ia hadapi, sehingga timbul minat untukmemecahkan masalah tersebut, 3) Untuk membangkitkan minat anak, hendaknya guru mengenal kemampuan serta minat masing-masing atau peserta didik. 4) Pendidik hendaknya dapat menciptakan siatusi yang menimbulkan kerja sama dalam belajar, antara murid dengan murid begitu pula natara guru dengan murid. Bertolak dari pernyataan di atas, maka peran guru adalah memberikan dorongan kepada peserta didik untuk bekerja bersama-sama, menyelidiki dan mengamati sendiri, berpikir dan menarik kesimpulan sendiri sesuai dengan minat yang ada pada dirinya. Melalui cara ini anak akan belajar dengan bekerja. Lembaga pendidikan merupakan suatu lingkungan khusus, bagian dari lingkungan manusia yang mempunyai peranan dan fungsi khusus sebagai berikut. Lembaga pendidikan khususnya sekolah dipandang sebagai sebuah mikrokosmos dari masyarakat yang lebih luas. Di sini para siswa dapat mengkaji masalah-masalah sosial yang pada umumnya sering dihadapi masyarakat. Sekolah harus menjadi laboratorium belajar yang hidup dan suatu model kerja demokrasi. Lembaga pendidikan mempunyai fungsi-fungsi khusus sebagai berikut. 1) Menyediakan lingkungan yang disederhanakan. Tidak mungkin kita memasuk-kan seluruh peradaban manusia yang sangat kompleks ke dalam sekolah. Demikian pula, anak didik tidak mungkin dapat memahami seluruh masyarakat yang sangat kompleks. Itulah sebabnya lembaga pendidikan merupakan masyarakat atau lingkungan hidup manusia yang disederhanakan
Kajian Kebijakan Kurikulum PAUD Tahun 2007 10

2) Membentuk masyarakat yang akan datang yang lebih baik. Anak didik tidak belajar dari masa lampau tetapi belajar dari masa sekarang untuk memperbaiki masa yang akan datang. 3) Mencari keseimbangan dari bermacam-macam unsur yang ada di dalam lingkungan. Lembaga pendidikan memberi kesempatan kepada setiap individu/ anak didik untuk memperluas lingkungan hidupnya. e. Eksistensialisme Pokok pemikiran filsafat eksistensialisme dicurahkan kepada pemecahan yang kongkrit terhadap persoalan berada mengenai manusia. Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang memandang segala gejala berpangkal pada eksistensi. Eksistensi adalah cara manusia berada. Caranya manusia berada di dunia ini berbeda dengan caranya benda-benda lain di dunia. Karena keberadaan benda-benda tersebut tidak sadar akan dirinya sendiri, sedangkan manusia adalah makhluk yang sadar akan dirinya dan apa yang akan diperbuatnya. Manusia hidup di dunia ini berlangsung dalam keberadaan yang tidak sebenarnya (tidak autentik) dan dalam keberadaan yang sebenarnya. Dalam keberadaan yang tidak sebenarnya, manusia memperlakukan dirinya sebagai obyek, tertuju kepada mempertahankan diri dan mencari kepuasan, merasakan ketiadaan dan keputusasaan. Dalam keberadaan yang sebenarnya manusia memperlakukan dirinya sebagai subyek, menciptakan gagasan, dan mewujudkannya dalam bentuk kebudayaan, kesenian, moral, dan sebagainya, bertransendensi ke atas, dan mendekatkan dirinya kepada Tuhan. Prinsip-prinsip umum filsafat eksistensialisme dapat dikemukakan sebagai berikut. Hakikat realitas adalah sesuatu yang independen, dunia fisik ada dan ini dapat merupakan ancaman bagi realisasi dari tujuan personal. Realitas spiritual dapat atau tidak untuk ada. Hakikat manusia adalah dualisme tubuh dan jiwa dengan perhatian utama kepada jiwa. Manusia bukan semata-mata objek tetapi juga subjek yang dapat memberikan arti pada dirinya sendiri serta terhadap benda-benda lain karena manusia dapat memperlakukan obyek yang ada di luar dirinya sendiri. Hakikat pengetahuan cenderung kepada skeptisisme. Tetapi tetap mengakui kemungkinan mencapai kebenaran sedangkan hakikat nilai menyatakan bahwa standar moral bersifat majemuk, seseorang bebas memilih standar moral, tetapi ada beberapa standar moral yang imperatif. Menurut pandangan eksistensialisme kebebasan adalah sahabat terbaik manusia, namun kebebasan dalam konteks eksistensialisme adalah kebebasan yang dapat dipertanggungjawabkan baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain. Eksistensialisme memiliki hubungan yang erat dengan pendidikan, karena keduanya membahas manusia. masalah hidup, hubungan antar manusia, hakikat kepribadian, dan kemerdekaan. Pendidikan diartikan sebagai upaya mewujudkan diri sendiri melalui proses penghayatan dan belajar sendiri. Berdasarkan pandangan filsafat pendidikan yang digambarkan di atas terdapat dua aliran filsafat yang dapat dijadikan landasan filosofis yang relatif dominan dalam pengembangan kurikulum PAUD, yaitu (1) aliran realisme yang memandang pendidikan sebagai proses perkembangan intelegensi, daya kreatif dan sosial individu yang mendorong kepada terciptanya kesejahteraan umum, dan (2) aliran pragmatisme yang memandang pendidikan sebagai proses reorganisasi dan rekonstruksi pengalaman individu sehingga dapat menambah efisiensi individu dalam interaksi dengan lingkungan dan dengan demikian mempunyai nilai sosial untuk memajukan kehidupan masyarakat.

Kajian Kebijakan Kurikulum PAUD Tahun 2007 11

2. Landasan Psikologis Pendidikan anak usia dini pada berbagai kelembagaan sesungguhnya merupakan proses interaksi antara pendidik dengan anak didik untuk membantu anak mencapai tugas-tugas perkembangannya dan/atau memperoleh optimalisasi berbagai ragam potensi perkembangan. Dalam konteks interaksi edukatif, ragam pemahaman kondisi psikologis pendidik dan anak didik menjadi konsep penting untuk memberikan acuan dalam penyusunan dan pengembangan kurikulum. Kondisi psikologis pendidik dan anak didik ini akan digambarkan dalam landasan psikologis. Landasan psikologis merupakan acuan konseptual akademis yang berisi kajian konsep psikologi yang memberikan pemahaman berbagai konsep tentang perkembangan anak (psikologi perkembangan dan perkembangan anak). Bagaimana cara anak belajar (psikologi belajar) dan faktor yang mempengaruhi belajar anak (psikologi pendidikan). Dalam konteks psikologi perkembangan dan perkembangan anak, setiap anak didik memiliki karakteristik dan tahapan perkembangan normatif yang relatif sama sesuai dengan usia kalender (cronological ages). Standar normatif perkembangan ini akan menjadi kerangka acuan dalam menyusun standar kompetensi perkembangan sesuai dengan usia kelender masing-masing murid. Walaupun secara normatif anak memiliki standar perkembangan yang relatif sama namun dalam proses pencapaiannya, setiap anak memiliki keunikan, tempo dan irama perkembangan masing-masing. Terdapat perbedaan kondisi psikologis (mental ages) yang telah dimiliki dan dicapai setiap anak didik dibandingkan dengan standar perkembangan yang sesuai dengan usia kalender (sesuai usia). Perbedaan tersebut dalam konsep perkembangan anak dipengaruhi oleh faktor heriditas (faktor bawaan), pengalaman interaksi anak dalam keluarga (termasuk kondisi spiritual-keagamaan, kondisi ekonomi, kondisi sosial-antropologi yang dimiliki keluarga). Beberapa konsep generik psikologi perkembangan dan perkembangan anak yang dijadikan landasan psikologis dalam naskah akademik ini diantaranya seperti berikut ini. a. Pemahaman tentang konsep perkembangan anak didik dapat diperoleh melalui studi perkembangan, baik yang bersifat longitudinal, cross sectional (cross lateral), psikoanalitik, sosiologik maupun studi kasus. Studi longitudinal telah memperoleh sejumlah informasi tentang perkembangan individu melalui pengamatan dan pengkajian perkembangan sepanjang masa perkembangan, dari saat lahir sampai dengan dewasa, seperti yang pernah dilakukan oleh Williard C. Olson. Metode cross sectional (cross lateral) melakukan pengamatan dan pengkajian terhadap berbagai kelompok selama suatu periode yang singkat. Hal ini pernah dilakukan oleh Arnold Gessel. Ia mempelajari beribu-ribu anak dari berbagai tingkatan usia, mencatat ciri-ciri fisik dan mental, pola-pola perkembangan dan kemampuan serta perilaku mereka. Studi psikoanalitik dilakukan oleh Sigmund Freud beserta para pengikutnya. Studi ini lebih banyak diarahkan mempelajari perkembangan anak pada masa-masa sebelumnya, terutama pada masa kanak-kanak (balita). Menurut Freud, pengalaman yang tidak menyenangkan pada masa balita dapat mengganggu perkembangan pada masamasa berikutnya. Metode sosiologik digunakan oleh Robert Havighurst yang mempelajari perkembangan anak dilihat dari tuntutan akan tugas-tugas yang harus dihadapi dan dilakukan dalam masyarakat. Tuntutan akan tugas-tugas kehidupan masyarakat ini oleh Havighurst disebut sebagai tugas-tugas perkembangan (developmental tasks). Ada seperangkat tugas-tugas perkembangan yang harus

dikuasai individu dalam setiap tahap perkembangan. Metode studi kasus dilakukan
Kajian Kebijakan Kurikulum PAUD Tahun 2007 12

dengan mempelajari kasus-kasus tertentu, para ahli psikologi perkembangan menarik beberapa kesimpulan tentang pola-pola perkembangan anak. Studi seperti ini pernah dilakukan oleh Jean Piaget tentang perkembangan kognitif anak. b. Ada tiga teori atau pendekatan tentang perkembangan individu, yaitu pendekatan pentahapan (stage approach), pendekatan diferensial (differential approach) dan pendekatan ipsatif (ipsative approach). Menurut pendekatan pentahapan, perkembangan individu berjalan melalui tahap-tahap perkembangan. Setiap tahap perkembangan mempunyai karakteristik tertentu yang berbeda dengan tahap yang lainnya. Pendekatan diferensial melihat bahwa individu memiliki kesamaan dan perbedaan. Atas dasar persamaan dan perbedaan tersebut, individu dikatagorikan atas kelompok-kelompok yang berbeda, seperti kelompok individu berdasarkan jenis kelamin, ras, agama, status sosial-ekonomi dan sebagainya. Selain itu, pendekatan ipsatif adalah suatu pendekatan yang berusaha melihat individu berdasarkan karakteristiknya. Dari ketiga pendekatan itu yang banyak dianut oleh para ahli psikologi perkembangan adalah pendekatan pentahapan. Pendekatan ini lebih disenangi karena lebih jelas menggambarkan proses urutan perkembangan dan kemajuan individu. Dalam pendekatan pentahapan, dikenal dua variasi, pertama, pendekatan yang bersifat menyeluruh mencakup segala segi perkembangan, seperti perkembangan fisik dan gerakan motorik, sosial, intelektual, moral, emosional, religi dan sebagainya. Kedua, pendekatan yang bersifat khusus, yang mendeskripsikan salah satu segi atau aspek perkembangan saja. Dalam pentahapan yang bersifat menyeluruh dikenal tahap-tahap perkembangan dari Jean Jacques Rousseau, G. Stanley Hall, Havighurst, dan lain-lain. Rousseau membagi seluruh masa perkembangan anak atas empat tahap perkembangan, yaitu masa bayi (infancy), usia 0-2 tahun merupakan tahap perkembangan fisik, masa anak (childhood), usia 2-12 tahun, masa perkembangan sebagai manusia primitif. Masa remaja awal (pubercence), usia 12-15 tahun, masa bertualang yang ditandai dengan perkembangan intelektual dan kemampuan nalar yang pesat. Masa remaja (adolescence), usia 15-25 tahun, masa hidup sebagai manusia yang beradab, masa pertumbuhan seksual, sosial, moral dan kata hati. Stanley Hall adalah salah seorang ahli psikologi Perkembangan penganut teori evolusi. Hall menerapkan teori rekapitulasi, salah satu konsep dalam teori evolusi, pada perkembangan anak. Menurut teori rekapitulasi, perkembangan individu merupakan rekapitulasi dari perkembangan spesiesnya (ontogeny recapitulates phylogeny). Hall membagi keseluruhan masa perkembangan anak atas empat tahap. Masa kanak-kanak (infancy), usia 0-4 tahun, yang merupakan masa kehidupan sebagai binatang melata dan berjalan. Masa anak (childhood), usia 4-8 tahun, masa manusia pemburu. Masa puer (youth), usia 8-12 tahun, masa manusia belum beradab. Masa remaja (adolescence), usia 12/13 tahun sampai dewasa, merupakan masa manusia beradab. Robert J. Havighurst menyusun fase-fase perkembangan atas dasar problema-problema yang harus dipecahkannya dalam setiap fase. Tuntutan akan kemampuan memecahkan problema dalam setiap fase perkembangan ini oleh Havighurst disebutnya sebagai tugas-tugas perkembangan (developmental tasks). Havighurst membagi seluruh masa perkembangan anak atas

lima fase, yaitu masa bayi (infancy), dari 0-1/2 tahun, masa anak awal (early childhood) 2/3 5/7 tahun masa anak (late childhood) dari 5/7 masa pubersen, masa adolesen awal (early adolescence) dari pubersen ke pubertas, dan masa
Kajian Kebijakan Kurikulum PAUD Tahun 2007 13

adolesen (late adolescence) dari masa pubertas sampai dewasa. Untuk setiap fase perkembangan, Havighurst menghimpun sejumlah tugas-tugas perkembangan yang harus dikuasai anak. Dikuasai atau tidaknya tugas-tugas perkembangan pada suatu fase berpengaruh bagi penguasaan tugas pada fase-fase berikutnya. Dalam pendekatan pentahapan yang bersifat khusus, dikenal pentahapan dari Piaget, Erikson, dan sebagainya. Jean Piaget mengemukakan tahap-tahap perkembangan dari kemampuan kognitif anak. Dalam perkembangan kognitif menurut Piaget, yang terpenting adalah penguasaan dan kategori konsep-konsep. Melalui penguasaan konsep-konsep itu, anak mengenal lingkungan dan memecahkan berbagai problema yang dihadapi dalam kehidupannya. Ada empat tahap perkembangan kognitif anak menurut konsep Piaget, yaitu sebagai berikut. Tahap sensorimotor, usia 0-2 tahun; Tahap praoperasional, usia 2-4 tahun; Tahap konkret operasional, usia 7-11 tahun; Tahap formal operasional, usia 11-15 tahun. Tahap sensorimotor disebut juga sebagai masa descriminating and labeling. Pada masa ini kemampuan anak terbatas pada gerak-gerak refleks, bahasa awal, waktu sekarang dan ruang yang dekat saja. Masa praoperasional atau masa prakonseptual disebut juga sebagai masa intuitif dengan kemampuan menerima perangsang yang terbatas. Anak mulai berkembang kemampuan bahasanya, walaupun pemikirannya masih statis dan belum dapat berpikir abstrak, persepsi waktu dan tempat masih terbatas. Masa konkret operasional disebut juga masa performing operation. Pada tahap ini anak sudah mampu menyelesaikan tugastugas menggabungkan, memisahkan, meyusun, menderetkan, melipat dan membagi. Masa formal operasional disebut juga sebagai masa proportional thinking. Pada masa ini, anak sudah mampu berfikir tingkat tinggi. Mereka sudah mampu berpikir secara deduktif, induktif, menganalisis, menyintesis, mampu berpikir abstrak dan berpikir reflektif serta memecahkan berbagai persoalan. Erick Homburger Erikson merupakan salah seorang tokoh psikoanalisis pengikut Sigmund Freud. Ia memusatkan studinya terhadap perkembangan psikososial. Ada delapan tahap perkembangan psikososial, yaitu : Tahap I : Basic Trust vs Mistrust (0 1 tahun) Anak mendapat rangsangan dari lingkungan. Bila dalam merespon rangsangan anak mendapat pengalaman yang menyenangkan akan tumbuh rasa percaya diri, sebaliknya menimbulkan rasa curiga Tahap 2 : Autonomy vs Shame & Doubt (2 3 tahun) Anak sudah harus mampu menguasai kegiatan meregang atau melemaskan seluruh otot-otot tubuhnya. Bila sudah merasa mampu menguasai anggota tubuh bias menimbulkan rasa otonomi, sebaliknya bila lingkungan tidak memberi kepercayaan atau terlalu banyak bertindak untuk anak akan menumbuhkan rasa malu dan ragu-ragu. Tahap 3 : Initiative vs Guilt (4 5 tahun) Pada masa ini anak harus dapat menunjukkan sikap mulai lepas dari ikatan orang tua, anak harus dapat bergerak bebas dan berinteraksi dengan

lingkungannya. Kondisi lepas dari orang tua menimbulkan rasa untuk berinisiatif, sebaliknya menimbulkan rasa bersalah.
Kajian Kebijakan Kurikulum PAUD Tahun 2007 14

Tahap 4 : Industry vs Inferiority ( 6 tahun pubertas) Anak harus dapat melaksanakan tugas-tugas perkembangan untuk menyiapkan diri memasuki masa dewasa. Perlu memiliki suatu keterampilan tertentu. Bila anak mampu menguasai suatu keterampilan tertentu dapat menimbulkan rasa berhasil, sebaliknya bila tidak menguasai, menimbulkan rasa rendah diri. Tahap 5 : Identity & Repudiation vs Identity Diffusion (masa remaja) Masa remaja adalah masa mencari identitas diri, masa mencari dan mendapatkan peran dalam masyarakat. Seorang remaja akan berhasil memperoleh identitas diri jika ia dapat memenuhi tuntutan biologis, psikologis dan sosial yang ada dalam kehidupan. Sebaliknya, jika tidak berhasil maka terburai identitasnya. Tahap 6 : Intimacy & Solidarity vs Isolation ( masa dewasa muda) Orang yang berhasil mencapai integritas identitas diri akan mampu menjalin keintiman dengan orang lain maupun diri sendiri. Jika seorang dewasa muda masih takut kehilangan diri sendiri bila menjalin hubungan erat (intim) dengan orang lain, berarti ia belum mampu melebur identitas dirinya bersama orang lain. Hal ini menunjukkan ketidakmampuan menumbuhkan keintiman dengan orang lain. Jika seseorang gagal menjalin hubungan yang bersifat intim, maka akan mengucilkan diri. Tahap 7 : Generativity vs Stagnation (masa dewasa) Berperan sebagai orang dewasa yang produktif, yang mampu menyumbangkan tenaga dan pikirannya bagi masyarakat. Seseorang yang berhasil melaksanakan perannya seperti yang dituntut oleh masyarakat, dalam dirinya akan tumbuh perasaan ingin berkarya, sebaliknya jika tidak mampu berperan akan berkembang perasaan mandeg/stagnasi. Tahap 8 : Integrity vs Despair (masa tua) Seseorang harus hidup dengan apa yang telah dijalaninya selama ini. Secara ideal seyogyanya ia telah mencapai integritas diri. Integritas diri adalah menerima segala keterbatasan yang ada dalam kehidupan, memiliki rasa bahwa ia adalah bagian dari sejarah kehidupan. Sebaliknya bila ia merasa tidak berbuat apa-apa dalam hidup, menyesali hidup, takut menghadapi kematian, menimbulkan rasa putus asa. Berbagai perkembangan yang terjadi pada anak usia dini diperoleh melalui kematangan dan belajar. Perkembangan karena faktor belajar dapat terjadi dalam berbagai situasi lingkungan dimana terjadi interaksi anak dengan manusia (orang dewasa, teman dan adik) dan dengan lingkungan alam sekitar. Pemahaman konsep tentang bagaimana anak belajar pada berbagai kondisi lingkungan tersebut dapat ditelaah dan digambarkan melalui psikologi belajar. Belajar pada dasarnya merupakan proses perubahan tingkah laku yang bersifat relatif permanen sebagai hasil interaksi individu (anak) dengan lingkungannya. Dalam proses interaksi dengan lingkungan, banyak konsep psikologi belajar memberikan penjelasan dari berbagai perspektif sesuai kajian para ahli, termasuk tentang bagaimana cara anak usia dini melakukan aktivitas yang dinamakan belajar tersebut. Menurut Morris L. Bigge dan Murice P Hunt (1980 : 226-227) ada tiga rumpun teori belajar yang memberikan penjelasan tentang bagaimana belajar itu terjadi, yaitu teori disiplin

mental, behaviorisme dan cognitive gestalt field.


Kajian Kebijakan Kurikulum PAUD Tahun 2007 15

1) Menurut rumpun teori disiplin mental, dari kelahirannya atau secara herediter, anak telah memiliki potensi-potensi tertentu. Belajar merupakan upaya untuk mengembangkan potensi-potensi tersebut. Ada beberapa teori yang termasuk rumpun disiplin mental yaitu : disiplin mental theistic, disiplin mental humanistic, naturalisme dan apersepsi. Teori disiplin mental theistic berasal dari psikologi daya. Menurut teori ini, individu atau anak mempunyai sejumlah daya mental seperti untuk mengamati, menanggap, mengingat, berpikir, memecahkan masalah, dan sebagainya. Belajar merupakan proses melatih daya-daya tersebut. Bila daya-daya tersebut terlatih maka dengan mudah dapat digunakan untuk menghadapi atau memecahkan berbagai masalah. Teori disiplin mental humanistic bersumber pada psikologi humanisme klasik dari Plato dan Aristoteles. Teori ini hampir sama dengan teori pertama bahwa anak memiliki potensi-potensi. Potensipotensi perlu dilatih agar berkembang. Perbedaannya dengan teori disiplin mental theistic, teori ini menekankan bagian-bagian, latihan bagian atau aspek tertentu. Teori disiplin mental humanistic lebih menekankan keseluruhan, keutuhan. Pendidikannya menekankan pendidikan umum (general eduation). Kalau seseorang menguasai hal-hal yang bersifat umum akan mudah ditransfer atau diaplikasikan kepada hal-hal lain yang bersifat khusus. Teori naturalisme atau natural unfoldment atau self actualization. Teori ini berpangkal dari psikologi naturalisme romantic dengan tokoh utamanya Jean Jecques Rousseau. Sama dengan kedua teori sebelumnya bahwa anak mempunyai sejumlah potensi atau kemampuan. Kelebihan dari teori ini adalah mereka berasumsi bahwa individu bukan saja mempunyai potensi atau kemampuan untuk berbuat atau melakukan berbagai tugas, tetapi juga memiliki kemauan dan kemampuan untuk belajar dan berkembang sendiri. Agar anak dapat berkembang dan mengaktualisasikan segala potensi yang dimilikinya, pendidik atau guru perlu menciptakan situasi yang permisif, yang jelas. Melalui situasi demikian, ia dapat belajar sendiri dan mencapai perkembangan secara optimal. Teori belajar yang keempat adalah teori apersepsi, disebut juga Herbartisme, bersumber pada psikologi strukturalisme dengan tokoh utamanya Herbart. Menurut aliran ini belajar adalah membentuk masa apersepsi. Anak mempunyai kemampuan untuk mempelajari sesuatu. Hasil dari suatu perbuatan belajar disimpan dan membentuk suatu masa apersepsi dan masa apersepsi ini digunakan untuk mempelajari atau mengasai pengetahuan selanjutnya. Demikian seterusnya, semakin tinggi perkembangan anak, semakin tinggi pula masa apersepsinya. 2) Rumpun atau kelompok teori belajar yang kedua adalah Behaviorisme, yang biasa disebut S-R Stimulus-Respon. Kelompok ini mencakup tiga teori yaitu SR Bond, Conditioning, Reinforcement. Kelompok teori ini berangkat dari asumsi bahwa anak atau individu tidak memiliki atau membawa potensi apaapa dari kelahirannya. Perkembangan anak ditentukan oleh faktor-faktor yang berasal dari lingkungan. Lingkungan, apakah lingkungan keluarga, sekolah atau masyarakat, lingkungan manusia, alam, budaya, religi yang
Kajian Kebijakan Kurikulum PAUD Tahun 2007 16

membentuknya. Kelompok teori ini tidak mengakui sesuatu yang bersifat

mental. Perkembangan anak menyangkut hal-hal nyata yang dapat diamati, dilihat. Teori S-R Bond bersumber dari psikologi koneksionisme atau teori asosiasi dan merupakan teori pertama dari rumpun behaviorisme. Menurut teori ini, kehidupan ini tunduk kepada hokum stimulus respon atau aksi-reaksi. Setangkai mawar merah dapat merupakan suatu stimulus dan direspon oleh mata dengan cara meliriknya. Kesan indah yang diterima individu dapat merupakan stimulus yang mengakibatkan terespon memetik bunga tersebut. Demikian halnya dengan belajar, terdiri atas rentetan hubungan stumulus respons. Belajar adalah upaya untuk membentuk hubungan stimulus respons sebanyak-banyaknya. Tokoh utama teori ini adalah Edward L. Thorndike. Ada tiga hukum belajar yang sangat terkenal dari Thorndike ini, yaitu Law of readness, Law of exercise or repetition dan Law of effect (Bigge & Thurst, 1980 : 273). Menurut hukum kesiapan (law of readness), hubungan antara stimulus dan respon akan terbentuk atau mudah terbentuk apabila telah ada kesiapan pada system syaraf individu. Menurut hukum latihan atau pengulangan (law of exercise or repetition), hubungan antara stimulus dan respons akan terbentuk apabila sering dilatih atau diulang-ulang. Selanjutnya, menurut hukum akibat (law of effect), hubungan stimulus dan respons akan terjadi apabila ada akibat yang menyenangkan. Teori kedua dari rumpun behaviorisme adalah conditioning atau stimulusresponse with conditioning. Tokoh utama dari teori ini adalah Watson. Belajar atau pembentukan hubungan antara stimulus dan respons perlu dibantu dengan kondisi tertentu. Contohnya, sebelum anak-anak masuk kelas dibunyikan bel, bunyi bel ini merupakan kondisioning bagi anak, sehingga setiap anak mendengar bunyi bel berarti tandanya masuk kelas. Teori ketiga adalah reinforcement dengan tokoh utamanya C.L.Hull. Teori ini berkembang dari teori psikologi, reinforcement, yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari teori S-R Bond dan conditioning. Bila pada teori conditioning, kondisi diberikan pada stimulus, maka pada reinforcement kondisi diberikan pada respons. Reinforcement dapat berupa angka tinggi, pujian, atau hadiah dengan maksud agar kegiatan yang dilakukan anak lebih giat dan sungguh-sungguh. Di samping reinforcement positif dikenal pula reinforcement negatif, yaitu untuk mencegah atau menghilangkan suatu perbuatan yang kurang baik atau tidak disetujui masyarakat. Reinforcement ini berupa : peringatan, teguran, ancaman, sanksi, atau berupa hukuman. 3) Rumpun yang ketiga adalah cognitive gestalt field. Teori belajar dari rumpun ini adalah teori insight. Aliran ini bersumber dari psikologi gestalt field. Menurut teori ini belajar adalah proses mengembangkan insight atau pemahaman baru atau mengubah pemahaman lama. Pemahaman terjadi apabila individu menemukan cara baru dalam menggunakan unsur-unsur yang ada dalam lingkungan, termasuk struktur tubuhnya sendiri. Gestalt field melihat bahwa belajar itu merupakan perbuatan yang bertujuan, eksploratif, imajinatif,
Kajian Kebijakan Kurikulum PAUD Tahun 2007 17

dan kreatif. Pemahaman atau insight merupakan citra diri atau perasaan tentang pola-pola atau hubungan. Selain konsep psikologi perkembangan, perkembangan anak dan psikologi

belajar, secara psikologi proses interaksi edukatif antara pendidik dan anak didik akan melibatkan kondisi psikologis lain seperti motivasi, minat, keberbakatan, kreatifitas, proses pembelajaran dan penilaian kemajuan anak (perkembangan anak). Kondisi psikologis ini biasanya dipelajari dalam kajian konsep psikologi pendidikan. Beberapa kesimpulan yang dapat diperoleh dari kajian landasan psikologis ini diantaranya adalah seperti berikut ini. 1) Perkembangan anak merupakan salah satu sasaran utama dalam kegiatan pendidikan atau pembelajaran pada berbagai satuan, jenis dan jenjang pendidikan. Dalam pelaksanaan kegiatan pendidikan harus diperhatikan berbagai aspek/dimensi, tahapan dan karakteristik perkembangan anak yang menjadi subjek didik. Karakteristik perkembangan yang perlu menjadi perhatian adalah bahwa sepanjang rentang perkembangan anak usia dini, khususnya pada usia 3-6 tahun ditandai oleh masa-masa penting seperti masa peka, masa eksplorasi, masa bermain dan masa terjadinya aktivitas berlebihan atau over activity . Keseluruhan masa tersebut diakui para ahli sebagai masa keemasan atau the golden ages pada anak usia dini. Masa keemasan ini merupakan masa yang paling penting dan menjadi dasar bagi perkembangan anak selanjutnya sampai anak mencapai tingkat dewasa. 2) Kerangka landasan psikologis lainnya yang menjadi dasar dalam kurikulum ini adalah tahapan perkembangan anak pada berbagai dimensi perkembangan. Tahapan dimensi perkembangan akan memberikan acuan bagi pendidik untuk memperhatikan dan penyesuaikan berbagai komponen program, metode, teknik dan proses pembelajaran yang sesuai dengan tahapan perkembangan pada aspek perkembangan yang dialami anak. Dengan demikian guru akan selalu menyesuaikan strategi pmbelajaran sesuai dengan tahapan perkembangan anak sehingga dapat melaksanakan dan mengembangkan proses pembelajaran yang appropriate. 3) Pada anak usia dini, karakteristik perkembangan anak yang perlu menjadi perhatian adalah terjadinya masa over activity , masa yang menunjukkan terjadinya aktivitas yang berlebihan pada anak. Anak cenderung menunjukkan aktivitas berlebihan pada berbagai waktu dan kesempatan serta aktivitas seolah tidak mengenal lelah, bahkan sekalipun ia dalam keadaan sakit secara fisik biasanya anak akan tetap berusaha menunjukkan aktivitasnya terutama dalam melakukan kegiatan bermain. Konsep perkembangan seperti inilah yang menjadi salah satu dasar pengembangan pembelajaran pada anak usia dini menggunakan konsep moving class atau kelas bergerak atau kelas berpindah dengan waktu bermain (dan belajar) lebih lama, terutama kegiatan Halfday dan fullday school. 4) Melalui kegiatan moving in class anak-anak menunjukkan keaktifannya dalam bermain dan belajar sehingga secara bertahap akan merasakan dan mengalami kebutuhan langsung terhadap belajar. Konsep tersebut juga menjadi dasar dalam mengembangkan model pembelajaran sentra atau area. Model pembelajaran sentra memberikan kesempatan pada anak untuk belajar dengan cara berpindah (bergerak) dari satu sentra ke sentra lainnya. Melalui kegiatan sentra anak akan selalui menunjukkan keaktifannya dalam belajar
Kajian Kebijakan Kurikulum PAUD Tahun 2007 18

3. Landasan Neurosains Neurosains merupakan salah satu lompatan keilmuan pendukung yang sangat

memberikan kontribusi dalam menelaah dan memahami perkembangan psikologis melalui kajian keilmuan tentang sel syaraf. Temuan yang dimaksud diantaranya dikemukakan oleh Wittrock (dalam Clack, 1983) menemukan bahwa terdapat tiga wilayah perkembangan otak yang semakin meningkat yaitu serabut dendrit, kompleksitas hubungan dendrit dan pembagian sel syaraf. Berbagai penelitian telah dilakukan para ahli dimulai dari Binet-Simon (19081911) hingga Gardner (1998) yang berbicara pada fokus yang sama yaitu fungsi otak yang terkait dengan kecerdasan. Otak yang berada di dalam organ kepala memiliki peran yang sangat penting selain sebagai pusat sistem syaraf juga berperan penting dalam menentukan kecerdasan seseorang. Begitu pentingnya fungsi otak sehingga banyak ahli untuk meneliti dan menggali optimalisasi fungsi kerja otak dalam mengembangkan sumber daya manusia. Optimalisasi kecerdasan dimungkinkan apabila sejak usia dini, anak telah mendapatkan stimulasi yang tepat untuk perkembangan otaknya. Pada saat kelahiran, otak bayi mengandung 100 milyar neuron dan satu triliun sel glia yang berfungsi sebagai perekat serta synap (cabang-cabang neuron) yang akan membentuk sambungan antar neuron. Sambungan-sambungan antar neuron inilah yang akan membentuk pengalaman yang akan dibawa anak seumur hidupnya. Sesudah kelahiran, kegiatan otak dipengaruhi dan tergantung pada kegiatan neuron dan cabang-cabangnya dalam membentuk bertriliun-triliun sambungan antar neuron. Melalui persaingan alami, otak akan memusnahkan sambungan (sinapsis) yang jarang digunakan. Pemantanpan sambungan terjadi apabila neuron mendapatkan informasi yang mampu menghasilkan letupan-letupan listrik. Letupan tersebut merangsang bertambahnya produksi myelin yang dihasilkan oleh zat perekat glial. Semakin banyaknya zat myelin yang diproduksi maka semakin banyak dendrit-dendrit yang tumbuh, sehingga akan semakin banyak synap yang berarti lebih banyak neuronneuron yang menyatu membentuk unit-unit. Kualitas kemampuan otak dalam menyerap dan mengolah informasi tergantung dari banyaknya neuron yang membentuk unit-unit. Synap ini akan bekerja secara cepat sampai usia anak lima-enam tahun. Banyaknya jumlah sambungan tersebut mempengaruhi kualitas kemampuan otak sepanjang hidupnya. Pertumbuhan jumlah jaringan otak dipengaruhi oleh pengalaman yang didapat anak pada awal-awal tahun kehidupannya, terutama pengalaman yang menyenangkan. Pada fase perkembangan ini anak memiliki potensi yang luar biasa dalam mengembangkan berbagai kemampuannya yang meliputi kemampuan berbahasa, kognitif, motorik, sosialisasi dan sebagainya. Bila anak tidak mendapat lingkungan yang merangsangnya, maka perkembangan otaknya tidak akan berkembang dan anak akan menderita. Penelitian terbaru menemukan bahwa apabila anak-anak jarang diajak bermain atau jarang disentuh, perkembangan otaknya 20% atau 30% lebih kecil daripada ukuran normalnya pada usia itu. 4. Landasan Sosio-Antropologi Perkembangan anak pada berbagai dimensi perkembangan tidak pernah terlepas dasi konteks kehidupan sosial dan kultural yang melatar belakanginya. Lingkungan kehidupan sosial dan kultur yang ada di sekitar anak akan memberikan pengaruh pada proses belajar anak dan perubahan potensi sebagai hasil dari proses belajar itu sendiri. Kehidupan sosio-kultural yang paling dekat dengan anak adalah lingkungan keluarga,
Kajian Kebijakan Kurikulum PAUD Tahun 2007 19

tetangga dan lembaga sosial serta lembaga kependidikan lain yang mengasuhnya. Konteks sosio-kultural dapat menyajikan sejumlah pengetahuan, keterampilan, nilainilai

dan pengalaman hidup yang beragam sehingga anak akan memiliki sejumlah preferency dalam membangun kebiasaan dan tingkah lakunya sendiri atau secara bersama-sama dengan orang lain. Pengalaman sosial dan kultural akan menjadi pengisi perspektif kehidupan anak dalam berbagai aspek potensi perkembangannya mencakup cara berbahasa, cara berpikir, kehidupan beragama dan bermoral dan kebiasaan mengendalikan emosi serta kemandirian. Pada dimensi yang luas, kehidupan sosial anak dibangun juga oleh kehadiran berbagai media masa, terutama TV, Video Games dan Film sebagai produk kultural manusia akan menjadi faktor lain yang dapat mempengaruhi perkembangan anak. Kurikulum yang dikembangkan harus mengakomodasi dan mempertimbangkan secara cermat berbagai kondisi sosio-kultural seperti itu. Seiring dengan pengalaman interaksional anak dengan kehidupan sosial dan kulturalnya, desakan untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan hak azasi anak juga menjadi salah satu koridor yang perlu dan mendesak untuk dipertimbangkan dalam menata serta mengembangkan kurikulum utuh untuk PAUD. 5. Hakikat Anak Usia Dini a. Keunikan Anak Usia Dini Setiap anak bersifat unik, tidak ada dua anak yang sama sekalipun kembar siam. Setiap anak terlahir dengan potensi yang berbeda-beda; memiliki kelebihan, bakat dan minat sendiri. Ada anak yang berbakat menyanyi, ada pula yang berbakat menari, matematika, bahasa, dan adapula yang berbakat olah raga. Kenyataan menunjukkan bahwa setiap anak tidak sama, ada yang sangat cerdas, ada yang biasa saja, dan ada yang kurang cerdas. Perilaku anak juga beragam, demikian pula langgam belajarnya. Oleh karena itu para pendidik anak usia dini perlu mengenal pembelajaran untuk anak yang berkebutuhan khusus. Dengan memahami kebutuhan khusus setiap anak diharapkan para guru mampu mengembangkan potensi anak dengan baik. Ki Hadjar Dewantara(1957) merangkum semua potensi anak menjadi cipta, rasa, dan karsa. Teori Multiple Intelligencies (Kecerdasan Ganda) dari Gardner (1998) menyatakan ada delapan tipe kecerdasan. Biasanya seorang anak memiliki satu atau lebih kecerdasan, tetapi amat jarang yang memiliki secara sempurna delapan kecerdasan tersebut. PAUD bertujuan membimbing dan mengembangkan potensi setiap anak agar dapat berkembang secara optimal sesuai tipe kecerdasannya. Oleh karena itu guru harus memahami kebutuhan khusus dan kebutuhan individual anak. Memang disadari ada faktor-faktor pembatas, yaitu faktor-faktor yang sulit atau tidak dapat diubah dalam diri anak yaitu faktor genetis. Oleh karenanya PAUD diarahkan untuk memfasilitasi setiap anak dengan lingkungan belajar dan bimbingan belajar yang tepat agar anak dapat berkembang sesuai kapasitas genetisnya. Anak usia dini sedang dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan baik fisik maupun mental yang paling pesat. Pertumbuhan dan perkembangan telah dimulai sejak prenatal, yaitu sejak dalam kandungan. Pembentukan sel syaraf otak, sebagai modal pembentukan kecerdasan, terjadi saat anak dalam kandungan. Setelah lahir tidak terjadi lagi pembentukan sel syaraf otak, tetapi hubungan antar sel syaraf otak (sinap) terus berkembang. Begitu pentingnya usia dini, sampai ada teori yang menyatakan bahwa pada usia empat tahun 50% kecerdasan telah tercapai, dan 80% pada usia delapan tahun.
Kajian Kebijakan Kurikulum PAUD Tahun 2007 20

Anak usia dini juga sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan baik

fisik maupun mental yang sangat pesat. Sel-sel tubuh anak tumbuh dan berkembang amat cepat. Tahap awal perkembangan janin sangat penting untuk pengembangan sel-sel otak, bahkan pada saat lahir jumlah sel otak tidak bertambah lagi. Selanjutnya setelah lahir terjadi proses mielinasi dari sel-sel syaraf dan pembentukan hubungan antar sel syaraf, dua hal yang sangat penting dalam pembentukan kecerdasan. Makanan bergizi dan seimbang serta stimulai pikiran sangat diperlukan untuk mendukung proses tersebut. Selain pertumbuhan dan perkembangan fisik dan motorik, perkembangan moral (termasuk kepribadian, watak, dan akhlak), sosial, emosional, intelektual, dan bahasa juga berlangsung amat pesat. Oleh karena itu usia dini (usia 0-8 tahun) juga disebut tahun emas atau golden age. Oleh karena itu jika ingin mengembangkan bangsa yang cerdas, beriman dan bertaqwa, serta berbudi luhur hendaklah dimulai dari PAUD. Itulah sebabnya negara-negara maju amat serius mengembangkan PAUD, tidak dianggap sebagai pelengkap, tetapi sama pentingnya dengan pendidikan SD atau sekolah menengah. b. Cara Belajar Anak Usia Dini Anak usia dini belajar dengan caranya sendiri. Bermain erupakan cara belajar yang sangat penting bagi anak usia dini. Sering guru dan orangtua mengajarkan anak sesuai dengan jalan pikiran orang dewasa, seperti melarang anak untuk bermain. Akibatnya apa yang diajarkan orangtua sulit diterima anak dan banyak hal yang disukai oleh anak dilarang oleh orangtua; sebaliknya banyak hal yang disukai orangtua tidak disukai anak. Untuk itu orangtua dan guru anak usia dini perlu memahami hakikat perkembangan anak dan hakikat PAUD agar dapat memberi pendidikan yang sesuai dengan jalan pikiran anak. Berbagai teori belajar pada anak seperti teori Piaget, Vygotsky, Montessori, Bandura, Case, Bruner, dan Smilansky menjelaskan cara belajar anak dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Oleh karena itu teori belajar tersebut perlu dipilih dan disesuaikan dengan karakteristk anak serta materi ajarnya. Modalitas belajar anak juga berbeda-beda, sehingga cara anak belajar berbeda pula. Anak tipe auditif, misalnya, berbeda cara belajarnya dengan tipe visual dan kinestetik. Untuk itu guru dan orangtua perlu memahami karakteristik anak agar dapat memberi bantuan belajar yang paling tepat.. 6. Hakikat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Ilmu Pendidikan telah berkembang pesat dan terspesialisasi; salah satunya ialah PAUD yang membahas pendidikan untuk anak usia 0-8 tahun. Anak usia tersebut dipandang memiliki karakteristik yang berbeda dengan anak usia di atasnya sehingga pendidikan untuk anak usia tersebut dipandang perlu untuk dikhususkan. PAUD telah berkembang dengan pesat dan mendapat perhatian yang luar biasa terutama di negaranegara maju karena mengembangkan sumberdaya manusia lebih mudah jika dilakukan sejak usia dini. PAUD adalah ilmu multi dan interdisipliner, artinya tersusun oleh banyak disiplin ilmu yang saling terkait. Ilmu Psikologi perkembangan, ilmu Pendidikan, Neurosains, ilmu Bahasa, ilm Seni, ilmu Gizi, ilmu Biologi perkembangan anak, dan ilmu-ilmu terkait lainnya saling erintegrasi untuk membahas setiap persoaan PAUD. Untuk mengembangkan kemampan intelektual anak, diperlukan berbagai kegiatan yang dilandasi dengan ilmu psikologi, ilmu pendidikan, ilmu matematika untuk anak, sains
Kajian Kebijakan Kurikulum PAUD Tahun 2007 21

untuk anak, dan seterusnya. Beberapa komponen yang terkait dengan pendidikan anak

usia dini adlah sebagai berikut. a. Kurikulum PAUD Kurikulum PAUD bertujuan untuk mengembangkan seluruh potensi anak (the whole child) agar kelak dapat berfungsi sebagai manusia yang utuh seuai kultur, budaya, dan falsafah suatu bangsa. Anak dapat dipandang sebagai individu yang baru mulai mengenal dunia. Ia belum mengetahui tatakrama, sopan-santun, aturan, norma, etika, dan berbagai hal tentang dunia. Ia juga sedang belajar berkomunikasi dengan orang lain dan belajar memahami orang lain. Anak perlu dibimbing agar mampu memahami berbagai hal tentang dunia dan isinya. Ia juga perlu dibimbing agar memahami berbagai fenomena alam dan dapat melakukan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan untuk hidup di masyarakat. Interaksi anak dengan benda dan dengan orang lain diperlukan untuk belajar agar anak mampu mengembangkan kepribadian, watak, dan akhlak yang mulia. Usia dini merupakan saat yang amat berharga untuk menenamkan nilai-nilai nasionalisme, kebangsaan, agama, etika, moral, dan sosial yang berguna untuk kehidupannya dan strategis bagi pengembangan suatu bangsa. b. Pembelajaran PAUD Pembelajaran bersifat holistik dan terpadu. Pembelajaran mengembangkan semua aspek perkembangan, meliputi (1) moral dan nilai-nilai agama, (2) sosial- emosional, (3) kognitif (intelektual), (4) bahasa, (5) Fisik-motorik, (6) Seni. Pembelajaran bersifat terpadu yaitu tidak mengajarkan bidang studi secara terpisah. Satu kegiatan dapat menjadi wahana belajar berbagai hal bagi anak. Bermain sambil belajar, dimana esensi bermain menjiwai setiap kegiatan pembelajaran amat penting bagi PAUD. Esensi bermain meliputi perasaan senang, demokratis, aktif, tidak terpaksa, dan merdeka menjadi jiwa setiap kegiatan. Pembelajaran hendaknya disusun sedemikian rupa sehingga menyenangkan, membuat anak tertarik untuk ikut serta, dan tidak terpaksa. Guru memasukkan unsur-unsur edukatif dalam kegiatan bermain tersebut, sehingga anak secara tidak sadar telah belajar berbagai hal. Materi pembelajaran PAUD juga amat variatif. Ada pendapat yang menyatakan bahwa PAUD hanya mengembangkan logika berpikir, berperilaku, dan berkreasi. Adapula yang menyatakan bahwa PAUD juga mempersiapkan anak untuk siap belajar (ready to learn); yaitu siap belajar berhitung, membaca, menulis. Ada pula yang menyatakan bahwa materi pembelajaran bebas, yang penting PAUD mengembangkan aspek moral-agama, emosional, sosial, fisik-motorik, kemampuan berbahasa, seni, dan intelektual. PAUD membimbing anak yang premoral agar berkembang ke arah moral realism dan moral relativism. Pembelajaran membimbing anak dari yang bersifat egosentris-individual, ke arah prososial, dan sosial-komunal. Pembelajaran juga melatih anak menganal jati dirinya (self identity), menghargai dirinya (self esteem), dan kemampuan akan dirinya (self efficacy). Banyak pertanyaan dari guru dan orangtua tentang bolehkan mengajarkan anak berhitung, membaca, dan menulis. Bukannya tidak boleh mengajarkan semua itu, tetapi yang penting ialah anak sudah siap dan guru menggunakan cara-cara yang sesuai untuk belajar anak. c. Seting Lingkungan Belajar Untuk membelajarkan anak, lingkungan perlu ditata agar kondusif untuk belajar. Penataan lingkungan belajar dan fasilitas belajar untuk anak usia dini amat penting
Kajian Kebijakan Kurikulum PAUD Tahun 2007 22

untuk mengembangkan aspek-aspek perkembangan anak. Di rumah, anak-anak memerlukan mainan yang tidak perlu mahal tetapi baik dan aman untuk belajar anak. Di sekolah anak-anak juga perlu mainan yang aman dan baik untuk belajar. Berbagai

alat permainan dan fungsinya bagi PAUD perlu dipahami dan digunakan dengan cara yang benar. Para guru perlu memahami peranan Pojok Belajar (Learning Center dan Learning Area), bagaimana cara menyusunnya, apa saja isinya, dan bagaimana penggunaannya. Penataan kelas juga amat penting. Di TK dan SD awal anak-anak belajar dalam kelas dan di luar kelas. Penataan kelas, isi kelas, dan fungsinya sangat mempengaruhi kegiatan belajar anak. Halaman sekolah didisain dengan baik agar berfungsi sebagai tempat bermain dan belajar anak. Berbagai jenis alat permainan yang mengembangkan motorik kasar atau otot-otot besar yang diperlukan untuk membentuk fisik anak agar tumbuh dengan baik. Alat permainan untuk mengembangkan kemampuan dasar anak seperti kekuatan, ketahanan, keseimbangan, kecekatan/ketangkasan, dan koordinasi sangat diperlukan. Lingkungan belajar juga harus memberi pengalaman belajar yang menarik dan kaya ragam bagi anak. Mengamati perkembangan anak ayam, kucing, atau hewan yang lain amat menarik bagi anak. Demikian pula pengalaman menanam, menyirami, dan memupuk tanaman. Akuarium dan terarium sama menariknya bagi anak dengan pasel dan game. Untuk itu guru dan orangtua perlu memahami seting lingkungan belajar anak usia dini. d. Asesmen Otentik Untuk mengetahui perkembangan dan kemajuan belajar anak usia dini digunakan Asesmen Otentik. Melalui pemantauan secara terus menerus, dalam berbagai konteks, dan berdasarkan apa yang dapat dikerjakan dan dihasilkan anak, guru dan orangtua dapat memberi bantuan belajar yang pas sehingga anak dapat belajar secara optimal. Oleh karena itu asesmen otentik dilakukan secara terus menerus bersamaan dengan kegiatan pembelajaran. Hasil karya anak, hasil pengamatan guru, dan informasi dari orangtua diperlukan untuk memotret perkembangan belajar anak. Berbagai teknik dan instrumen asesmen, seperti catatan anekdot (anecdotal record), catatan narative (narrative record), catatan cepat (running record), sample kegiatan (event sampling), dan dengan portofolio digunakan untuk memantau perkembangan anak. e. Pemanfaatan Teknologi Pemanfaatan teknologi untuk optimalisasi pembelajaran anak di era global juga disertakan untuk membekali para calon guru bagaimana menggunakan teknologi canggih untuk membelajarkan anak. Salah satu ciri masyarakat modern ialah melek teknologi. Untuk itu sejak anak-anak mereka perlu diperkenalkan dengan produk teknologi agar dapat beradaptasi secara aman dan ketertarikan untuk mengembangkannya kelas. TV, Video, Radio, Kalkulator, Kulkas, Kompor gas, Kamera, Dispenser, Mobil, Motor, dan Komputer merupakan barang keseharian yang dijumpai anak. Untuk mengenalkan teknologi kepada anak, sekolah perlu bekerjasama dengan orangtua dan masyarakat di sekitar sekolah. Pengenalan teknologi diharapkan akan memberi wawasan dan juga menarik anak untuk mengembangkan cita-cita (learning to be) untuk menjadi ahli dalam teknologi atau ahli dalam bidang tertentu. Sesuai dengan bakat dan minatnya kelak anak ada yang menjadi ahli pertanian, ahli komputer, ahli radio, ahli motor bakar, dan sebagainya. Produk teknologi, di samping segi positifnya, juga memiliki segi negatif bila tidak digunakan dengan benar. Banyak acara TV, program tayangan dalam bentuk VCD, DVD program dan internat yang tidak baik untuk anak usia dini. Untuk itu guru dan orangtua perlu memahami
Kajian Kebijakan Kurikulum PAUD Tahun 2007 23

bagaimana cara menggunakan produk teknologi dengan benar agar tidak memberi efek negatif pada anak.

f. Kerjasama Sekolah-Masyarakat Institusi dan Guru PAUD tidak bias bekerja sendiri, tetapi harus menjalin kerjasama yang baik dengan berbagai elemen, baik dengan kelompok profesional PAUD, dengan orangtua anak, dengan doketer atau Puskesmas, Posyandu, dan dengan masyarakat. Sekolah amat terbatas dalam memberikan layanan pendidikan kepada anak. Peranan orangtua dan masyarakat di sekitar sekolah maupun secara luas amat diperlukan. Untuk itu kerjasama antar guru di dalam satu sekolah, dalam profesi, dan kerjasama dengan orangtua dan masyarakat sangat diperlukan. Berbagai fasilitas yang ada di masyarakat, seperti kebun, perikanan, pertanian, bengkel, perpustakaan, bank, stasiun kereta api, dan instansi lainnya sangat penting untuk PAUD. PAUD sebaiknya memberi kaya pengalaman belajar pada anak dengan multikonteks seperti tersebut. Trilogi pendidikan dari Ki Hadjar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan merupakan tanggungjawab bersama antara keluarga, sekolah, dan masyarakat. Oleh karena itu kerjasama yang baik ketiga unsur tersebut dalam PAUD sangat diperlukan g. Model-model Kurikulum PAUD Pendidikan anak usia dini (early childhood education) merupakan suatu disiplin ilmu pendidikan yang secara khusus memperhatikan, menelaah dan mengembangkan berbagai interaksi edukatif antara anak usia dini dengan pendidik untuk mencapai tumbuh kembang potensi anak secara optimal. Studi literatur menunjukkan bahwa ilmu pendidikan anak usia dini menyajikan berbagai kajian akademik tentang berbagai model isi dan proses pendidikan yang dapat diberikan dan dikembangkan pada anak usia dini. Uraian pada bab 3 telah memberikan beberapa model yang dapat diterapkan dan dikembangkan oleh para akademisi dan praktisi pendidikan anak usia dini pada berbagai seting kelembagaan. Sebagai rumpum keilmuan, pendidikan anak usia dini memiliki kerangka ontologis, epistimologis dan aksiologis yang merupakan dasar suatu ilmu. Kerangka ontologis pendidikan anak usia dini mencakup berbagai interaksi edukatif pada wilayah situasi pendidikan (keluarga, masyarakat dan sekolah). Kajian ontologis ini memberikan keluasan wilayah terapan dan pengembangan ilmu pendidikan anak usia dini sehingga akan memiliki nilai guna (aksiologis) yang luas untuk berbagai kepentingan dan tujuan. Pendidikan anak usia dini secara akademik dan praksis dapat dipelajari, ditelah dan diterapkan serta dikembangkan dalam seting keluarga. Interaksi edukatif antara anak usia dini dengan orang dewasa dalam keluarga merupakan salah satu bentuk kajian khusus yang memberikan gambaran tentang isi dan proses pendidikan yang dapat diterapkan dan dikembangkan dalam seting keluarga. Nilai aksiologis dari gambaran isi dan proses pendidikan anak usia dini dalam keluarga dapat dijadikan panduan dan perbandingan bagi orang tua maupun calon orang tua untuk membimbing dan membina tumbuh kembang anak secara optimal dalam lingkungan keluarga. Ilmu pendidikan anak usia dini juga memberikan gambaran akademis dan praksis tentang isi dan proses pendidikan yang terjadi antara anak usia dini dengan lingkungan masyarakat. Pada lingkungan masyarakat ini sudah mulai muncul berbagai lembaga pendidikan non formal yang memberikan perhatian khusus pada pengembangan anak usia dini, seperti Bina Keluarga Balita, Posyandu, Taman Bermain, Sanggar Kreatvitas anak dan Taman Pengasuhan Anak. Lembaga semi formal ini sudah tentu perlu dan
Kajian Kebijakan Kurikulum PAUD Tahun 2007 24

harus mempelajari dan menerapkan berbagai isi dan proses pendidikan pada anak usia dini dengan benar sesuai dengan rujukan akademis yang secara khusus mempelajari

hal tersebut. Disamping itu, rumpun ilmu pendidikan anak usia dini juga memberikan gambaran akademis dan praksis tentang isi dan proses pendidikan dalam seting persekolahan. Paradigma sekolah pada anak usia ini telah dipelajari, diteliti dan dikembangkan oleh para ahli dengan menggunakan kerangka filosofis, model dan pendekatan yang beraneka ragam. Keragaman ini memberikan pilihan model untuk diterapkan dan dikembangkan oleh para akademisi dan praktisi pendidikan anak usia dini yang bekerja pada seting sekolah seperti Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar Kelas awal (primary grade). Dari sudut epistimologi, kajian tentang metodologi pembelajaran anak usia dini telah dikembangkan dengan acuan filosofis, pendekatan dan model yang beraneka ragam, termasuk didalamnya adalah kajian tentang model kurikulum untuk anak usia dini. Sesuai dengan kerangka landasar filsafat yang telah dibahas sebelumnya, pengembangan kurikulum anak usia dini secara garis besar dikelompokan dalam tiga model. Pendekatan pertama dilakukan dengan model proses pematangan (maturitional models). Pendekatan ini didasarkan pada teori yang dikembangkan oleh Gessel, Freud dan Erikson. Pendekatan kedua dikenal dengan model tingkah laku-lingkungan yang didasarkan pada teori Skinner, Baer, Bijou dan Bandura. Pendekatan ketiga dilakukan dengan menggunakan model interaksi yang didasarkan pada teori Piaget dan Vygotsky. Ketiga pendekatan tersebut dapat dijelaskan secara global sebagai berikut : 1) Pendekatan Model Pematangan (Maturations Models) Menurut pandangan ini, anak-anak memiliki blueprint (cetak biru) pola tingkah laku tertentu. Perubahan tingkah laku terjadi sebagai hasil dari kematangan psikologis (kesiapan) dan situasi lingkungan yang mengandung tingkah laku tertentu (tugas-tugas perkembangan). Untuk menggunakan model tersebut beberapa hal yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut. a) Aspek Administrasi Lingkungan ruangan diperhitungkan untuk memberikan mobilitas maksimal bagi perkembangan anak. Pusat-pusat pembelajaran hanya segala sesuatu yang telah dibatasi (ditentukan) memiliki dampak terhadap perkembangan anak. Perlengkapan ruangan diisi dengan bahan-bahan multi dimensi yang melayani berbagai kegiatan ekpresi seperti bahasa, matematika, gerak dan estetika. b) Aspek Pendidikan Aktivitas terdiri dari unit dan tema yang luas yang didasarkan pada studi minat anak. Anak-anak bebas memilih aktivitas yang diinginkan. Penyusunan aktivitas didasarkan pada tema yang disusun melalui berbagai permainan. Strategi pemberian motivasi dilakukan melalui motivasi instrinsik verbal misalnya doa (harapan). Anak-anak dibentuk dalam suatu kelompok yang heterogen. Pada saat tertentu dilakukan secara homogen berdasarkan pada usia/tahap perkembangan. Susunan kegiatan belajar yang fleksibel dirancang untuk memenuhi kebutuhan dn minat anak-anak. Penjajakan pada kemampuan anak dilakukan melalui observasi secara keseluruhan yang mencakup hal-hal yang bersifat fisik, kognitif dan afektif. c) Evaluasi Program Program dianggap berhasil jika anak-anak memperoleh kemajuan dalam hal fisik, kognitif dan efektif.
Kajian Kebijakan Kurikulum PAUD Tahun 2007 25

2) Model Aliran Tingkah Laku-Lingkungan

Model ini didasarkan pada teori Skinner, Baer, Bijou dan Bandura. Menurut model tersebut, anak-anak dilahirkan dengan suatu batu tulis kosong (blank slate), tingkah laku anak yang pasif dibentuk oleh kondisi lingkungan. Perubahan tingkah laku terjadi sebagai hasil dari penguatan peristiwa yang terencana dan yang tidak terencana. Dalam melaksanakan model kurikulum seperti ini pada anak usia dini perlu diperhatikan halhal berikut. a) Komponen Administratif Lingkungan ruangan diperhitungkan pada pusat perhatian anak serta menghindari hal-hal yang akan mengganggunya. Daerah antara ruangan dibatasi secara jelas yang seringkali dengan pembatas yang tinggi. Perlengkapan ruangan ditata berdasarkan penajaman pada beberapa pusat perhatian serta terdiri bahan-bahan unidimensional model yang menyajikan program tersendiri sesuai sasaran dan melayani satu bentuk kegiatan ekspresi tertentu (misalnya bahasa). Staf berkedudukan sebagai perencana dan pengendali berbagai situasi lingkungan. Berbagai aktivitas yang dilakukan orang dewasa hampir seluruhnya digambarkan sebagai miniatur tingkah laku. Pengajaran dilakukan langsung secara ekspositori pada sejumlah unit kecil dari bahan-bahan materi yang diperoleh dari tugas-tugas besar dan berjenjang (sequensial). b) Aktivitas Pendidikan Berbagai aktivitas yang berorientasi pada tujuan dirancang untuk mencapai pembelajaran budaya secara khusus (biasanya budaya akademik yang alamiah). Materi pembelajaran yang sama seringkali menjadi harapan untuk dikuasai oleh seluruh murid. Berbagai aktivitas dihasilkan oleh bentuk pengajaran langsung yang dilakukan guru, misalnya melalui latihan atau drill. Strategi pemberian motivasi dilakukan dengan menggunakan sistem insentif. Pengelompokan anak disusun berdasarkan kelompok homogen dari segi kemampuan yang dimiliki anak. Pengelompokan anak disusun berdasarkan kelompok homogen dari segi kemampuan yang dimiliki anak. c) Evaluasi Program Program dianggap berhasil jika anak-anak memiliki prestasi belajar secara khusus yang seringkali bersifat akademik seperti persipan untuk mengikuti sekolah selanjutnya. 3) Model Interaksi Model pengembangan kurikulum ini didasarkan pada konsep teori Piaget. Model ini beranggapan bahwa perkembangan anak merupakan hasil perpaduan antara heriditas dan pengaruh lingkungan. Perkembangan akan terjadi pada seseorang ketika orang melakukan pengorganisasian diri yang dicapai pada tahap optimal oleh peristiwa yang dieksperientasikan. a) Komponen Administratif Lingkungan ruangan dirancang untuk memberikan keuntungan pada anak-anak dalam mencapai berbagai aktivitas. Pusat-pusat pembelajaran lebih dibatasi dibandingkan dengan model pematangan tetapi anak-anak dapat berinteraksi antara berbagai pusat pembelajaran. Perlengkapan pada setiap ruangan terdiri atas berbagai bahan multi dimensi yang dapat dipergunakan anak melakukan eksplorasi, memecahkan persoalan serta menemukan berbagai cara mengembangkan gagasan
Kajian Kebijakan Kurikulum PAUD Tahun 2007 26

yang bersifat konseptual. Perlengkapan yang disusun harus memenuhi kebutuhan anak pada bahan-bahan kongkrit dan representatif. Staf bertindak sebagai pemerhati munculnya berbagai pengalaman muncul pada

anak pada tahapan perkembangan tertentu. Pada suatu waktu, orang dewasa bertindak aktif misalnya memberikan berbagai pengalaman baru pada anak namun pada kesempatan lain bertindak pasif menunggu anak-anak mencapai tahapan pembelajaran yang stabil. Orang dewasa juga sering menekankan bahasa yang harus dimiliki anak untuk mengembangkan berbagai konsep. b) Komponen Pendidikan Aktivitas pendidikan menekankan pada pembelajaran yang bersifat heuristik, misalnya strategi pemecahan masalah, elaborasi keterampilan dan teknik bertanya. Situasi akademik sering dihadirkan melalui suatu unit atau tema. Berbagai rancangan aktivitas pembelajaran ditunjukkan oleh strategi pemecahan masalah, elaborasi keterampilan dan teknik bertanya. Situasi akademik sering dihadirkan melalui suatu unit atau tema. Berbagai rancangan aktivitas an dengan menggunakan motivasi instriksik, misalnya epistemic curiosity . Pengelompokan anak dilakukan secara heterogen (kelompok yang berbeda) dari berbagai sudut pandangan. Anak-anak banyak bekerja secara individual. Susunan aktivitas pembelajaran anak dilakukan untuk mencapai penguasaan konsep yang bersifat temporal. Penentuan batas waktu yang lama pada setiap situasi pembelajaran yang memungkinkan anak melakukan berbagai kegiatan eksploratif. c) Evaluasi program Program dianggap berhasil jika anak-anak mencapai kemajuan pada tahap perkembangan yang tinggi, misalnya pengetahuan fisik, pengetahuan logika matematika, pengetahuan pembagian waktu temporal dan pengetahuan sosial. B. Landasan Yuridis Fomal Landasan yuridis digunakan sebagai dasar hukum kerangka kebijakan dalam mengembangkan kurikukum PAUD, baik di tingkat negara (pemerintah) sebagai pemegang amanah untuk memenuhi hak-hak dasar anak maupun tingkat pelaksana PAUD. Landasan yuridis ini diharapkan akan membantu proses pengembangan kurikulum PAUD dengan memperhatikan dan mengakomodasi kesepakatan yuridis, khususnya dalam memenuhi kebutuhan anak pada aspek pendidikan, kesehatan dan perlindungan anak. Beberapa landasan yuridis yang dijadikan acuan adalah sebagai berikut. 1. Pembukan UUD 1945 . Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, Hak Asasi Manusia Pasal 28 B ayat 2, Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. 3. Undang Undang RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 Butir 14 Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian
Kajian Kebijakan Kurikulum PAUD Tahun 2007 27

rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Pasal 28 (1) Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar.

(2) Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/ atau informal. (3) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-kanak (TK), Raudhatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat. (4) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat. (5) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan. (6) Ketentuan mengenai pendidikan anak usia dini sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 4. Undang Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 4 Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diksriminasi. Pasal 9 (1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. (2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus. 5. World Fit For Children 2002 (1) Mencanangkan kehidupan yang sehat (2) Memberikan pendidikan berkualitas (3) Perlindungan terhadap aniaya, eksploitasi dan kekerasan (4) Memerangi HIV/AIDS 6. Deklarasi Dakar Tentang Pendidikan Untuk Semua (1) Memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak usia dini, terutama bagi anak-anak yang sangat rawan dan kurang beruntung. (2) Menjamin bahwa menjelang tahun 2015 semua anak, khususnya anak perempuan, anak-anak dalam keadaan sulit dan mereka yang termasuk minoritas etnik, mempunyai akses dan menyelesaikan pendidikan dasar yang bebas dan wajib dengan kualitas baik. (3) Menjamin bahwa kebutuhan belajar semua manusia muda dan orang dewasa terpenuhi melalui akses yang adil pada program-program belajar dan kecakapan hidup (life skills) yang sesuai. (4) Mencapai perbaikan 50% pada tingkat keniraksaraan orang dewasa menjelang tahun 2015, terutama bagi kaum perempuan, dan akses yang adil pada pendidikan dasar dan berkelanjutan bagi semua orang dewasa.
Kajian Kebijakan Kurikulum PAUD Tahun 2007 28

(5) Menghapus disparitas gender dalam pendidikan dasar dan menengah menjelang tahun 2005 dan mencapai persamaan gender dalam pendidikan menjelang tahun 2015 dengan suatu fokus jaminan bagi perempuan atas akses penuh dan sama pada prestasi dalam pendidikan dasar dengan kualitas yang

baik. (6) Memperbaiki semua aspek kualitas pendidikan dan menjamin keunggulannya, sehingga hasil-hasil belajar yang diakui dan terukur dapat diraih oleh semua, terutama dalam keaksaraan, angka dan kecakapan hidup (life skills) yang penting. 7. Peraturan Pemerintah RI No.19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 29 (1) Pendidik pada pendidikan anak usia dini memiliki: a. kualifikasi akdemik minimum difloma empat (D-IV) atau sarjana (S1) b. latar belakang pendidikan tinggi di bidang pendidikan anak usia dini, kependidikan lain, atau psikologi; dan c. serfikatprofesi guru untu PAUD. Pasal 30 (1) Pendidik pada TK/RA sekurang-kurangnya terdiri atas guru kelas yang penugasannya ditetapkan oleh masing-masing satuan pendidikan sesuai dengan keperluan. Pasal 38 (1) Kriteria untuk menjadi kepala TK/RA meliputi: a. Berstatus sebagai guru TK/RA; b. Memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku; c. Memiliki pengalaman mengajar sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun di TK/RA; dan d. Memiliki kemampuan kepemimpinan dan kewirausahaan di bidang pendidikan. C. Landasan Empirik Anak-anak memiliki berbagai kebutuhan mulai dari kebutuhan dasar sampai kebutuhan lanjut, sebagaimana diungkapkan dalam teori Maslow. Anak-anak yang berangkat ke sekolah dalam kondisi kenyang, cukup tidur dan istirahat, serta batin yang senang menunjukkan motivasi belajar yang tinggi, aktif, dan ceria. Sebaliknya anak-anak yang ke sekolah dalam kondisi lapar, kurang tidur, atau sedang galau batinnya menunjukkan motivasi yang rendah, tidak aktif, dan pemurung. Oleh karena itu orangtua, satuan PAUD, dan Pemerintah perlu memperhatikan dan memastikan bahwa kebutuhan dasar anak terpenuhi. Di satuan PAUD yang memberi jaminan anakanak memperoleh makanan dan minuman yang cukup dan bergizi menunjuk-kan anakanak tampak lebih sehat, aktif, dan motivasi belajarnya tinggi. Berbagai penelitian PAUD telah dilakukan untuk mengungkap bagaimana pendidikan yang baik bagi anak usia dini. Penelitian Erikson mengungkapkan bahwa perlakuan terhadap anak usia dini memiliki efek jangka panjang. Perlakuan yang baik yang sesuai keinginan anak pada usia satu tahun akan menyebabkan anak berkembang
Kajian Kebijakan Kurikulum PAUD Tahun 2007 29

menjadi orang yang mampu mempercayai orang lain, dan sebaliknya jika perlakuan tidak menyenangkan akan menyebabkan anak tidak mempercayai orang lain. Banyak kasus di TK di mana anak-anak yang dicaci hasil karyanya di depan kelas menyebabkan anak-anak tersebut ngambek tidak mau masuk kelas atau mau masuk kelas tetapi harus ditunggui oleh orangtuanya. Untuk itu pada tahap awal, guru harus mampu menyakinkan setiap anak bahwa ia diterima, disayangi, dan dilindungi

sehingga ia merasa aman dan nyaman agar anak dapat mengaktualisasikan potensinya dengan baik. Stimulasi yang tepat atau sesuai dengan perkembangan anak akan merangsang anak untuk belajar, menumbuhkan rasa ingin tahu, dan mengaktifkan fungsi-fungsi otaknya. Di satuan PAUD yang senantiasa menghadirkan obyek belajar yang menarik, seperti anak ayam, anak kucing, menanam biji dan mengamati bagaimana ia tumbuh menjadikan anak-anak bersemangat melakukan kegiatan, banyak bertanya, dan menimbulkan rasa ingin tahu. Sebaliknya jika kegiatan yang sama dan diulang-ulang akan membuat anak cepat bosan dan ingin keluar dari kegiatan yang dilakukan. Oleh karena itu kegiatan yang konkret, hands on, menarik dan menantang akan menstimulasi anak untuk aktif berpikir dan terlibat. Bantuan orangtua, terutama ibu dalam kegiatan belajar anak sangat penting bagi pendidikan anak usia dini. Rene Spitz membandingkan dua kelompok anak yang diasuh di taman pengasuhan anak di penjara dan taman pengasuhan anak hilang dan yatim piatu. Kedua kelompok mendapat makanan, pakaian, dan pemeriksaan kesehatan. Perbedaan antara keduanya adalah pada sentuhan kasih sayang ibu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak di panti asuhan yatim piatu dan anak hilang memperlihatkan perkembangan fisik, emosi, dan mentalnya kalah jauh dengan anak panti asuhan penjara. Mereka belum bisa berjalan dan berbicara dengan baik pada usia tiga tahun. Hal ini menunjukkan bahwa asuhan, kasih sayang, dan stimulasi amat penting bagi perkembangan anak. Anak-anak dapat belajar kecakapan hidup menuju kemandirian jika dilatih dengan baik. Anak-anak TK Montessori di Amerika Serikat dilatih dengan baik kecakapan hidup yang diperlukan untuk hidup sehari-hari. Anak-anak belajar memakai dan menali sepatu, memakai celana dan baju dengan memasang kancing dan menutup resleting (zipper). Mereka juga dilatih makan dan minum, membersihkan dan merapikan diri serta memakai berbagai peralatan sederhana. Ternyata hasilnya anakanak cepat mandiri dan mampu menolong dirinya sendiri.
Kajian Kebijakan Kurikulum PAUD Tahun 2007 30

BAB III TEMUAN DAN PEMBAHASAN A. Kajian Dokumen Dokumen yang dikaji dalam kegiatan ini mencakup : 1. Kurikulum 2004 Standar Kompetensi PAUD TK/RA (Puskur, 2004) 2. Kurikulum 2004 Standar Kompetensi TK/RA (Direktorat TK/SD, 2005). 3. Acuan Menu Pembelajaran Generik (Direktorat PAUD, 2002). 4. Standar Perkembangan Dasar PAUD (Draft PAUD 2006) 5. Standar Perkembangan Anak Lahir s/d 6 Tahun (Draft 17 Nop 2006). 6. Kerangka Dasar Kurikulum PAUD (Draft 17 Nop 2006) 7. Pedoman Pengembangan Silabus di TK/RA (2005). 8. Pedoman Pembelajaran di TK/RA (2005) 9. Pedoman Penilaian di TK (2005). 10. Dokumen PKB TK (1994) Hasil kajian terhadap masing-masing dokumen tersebut dapat digambarkan sebagai berikut. 1. Dokumen Standar Kompetensi PAUD TK & RA (Dokumen 1,2 dan 10) Secara umum isi dokumen ini hanya dapat dipertimbangkan sebagai salah satu alternatif dalam merumuskan standar kompetensi lulusan dan standar isi untuk PAUD

dan beberapa konsep dapat dijadikan dasar untuk standar proses. Dokumen ini hanya ditujukan untuk lembaga PAUD jalur formal (TK dan RA) sesuai dengan direktorat teknis yang menghasilkannya. Hampir 80% isi standar kompetensi TK/RA tersebut mengadopsi standar perkembangan dalam GBPKB TK 1994 hanya saja terjadi beberapa perubahan nama dan pengelompokan kemampuan, misalnya dalam GBPKB TK 1994 dikenal pengembangan sikap/perilaku (disiplin, moral Pancasila, sikap beragama, perasaan/emosi dan kemasyarakatan) dan dalam standar kompetensi dikelompokkan menjadi dua, yaitu bidang pengembangan moral-agama dan sosial emosi. Selain dua bidang pengembangan tersebut, terdapat 4 bidang pengembangan lainnya, yakni bidang pengembangan bahasa, kognitif, fisik-motorik dan seni. Dokumen No. 2 merupakan penyempurnaan dari dokumen No.1 maka secara keseluruhan substansinya sama, seperti terlihat pada pendahuluan yang meliputi rasional, pengertian, fungsi dan tujuan, ruang lingkup, standar kompetensi lintas kurikulum, standar kompetensi TK dan RA, pendekatan pembelajaran dan penilaian, dan rambu-rambu. Pada kedua dokumen tersebut ruang lingkup kurikulum TK dan RA meliputi 6 (enam) aspek perkembangan, yaitu: Moral dan nilai-nilai Agama; Sosial, Emosional dan Kemandirian; Berbahasa; Kognitif; Fisik/motorik dan Seni. Kompetensi dasar, hasil belajar, dan indikator juga sama, hanya ada sedikit perbedaan pada rumusan indikator dan peristilahan dalam mengelompokkan aspek perkembangan. Aspek perkembangan dikelompokkan menjadi dua kelompok. Pada dokumen No.1, aspek perkembangan Moral dan nilai-nilai Agama; Sosial, Emosional dan Kemandirian dikelompokkan ke dalam pembentukan perilaku dan pembiasaan; pada dokumen No.2 kedua aspek tersebut dikelompokkan ke dalam bidang pengembangan pembiasaan. Sedangkan aspek perkembangan berbahasa, kognitif,
Kajian Kebijakan Kurikulum PAUD Tahun 2007 31

fisik/motorik, dan seni pada kedua dokumen dikelompokkan ke dalam kemampuan dasar. Secara khusus dokumen tersebut belum memberikan gambaran pada masing-masing bidang pengembangan, terutama tentang makna, tujuan, prinsip pengembangan dan ruang lingkup standar perkembangannya. Dalam dokumen ini juga terdapat standar kompetensi yang tumpang tindih atau overlap antara isi KD, HB dan Indikator pada bidang pengembangan fisik motorik (khususnya motorik kalus) dengan pengembangan seni (halaman 23-25 dan 34-35). Rumusan kompetensi dasar pada masing-masing bidang pengembangan belum memperhatikan tata cara dan syarat dari rumusan kompetensi yang benar karena terdapat satu rumusan mengandung dua atau lebih kompetensi yang diinginkan. Cakupan aspek dari suatu dimensi perkembangan yang diakomodasi oleh hasil belajar (HB) belum mencerminkan aspek yang sesuai dengan kajian akademik pada bidang tersebut (misalnya bidang Bahasa mencakup aspek mendengar/menyimak, berbicara, pra-membaca dan pra-menulis). Dalam bagian lain di setiap bidang pengembangan terdapat urutan kompetensi, HB dan indikator yang belum tertata secara gradatif, terutama pada pengembangan kognitif (matematika) dan seni (motorik halus). Dalam dokumen ini masih ditemukan kurang lengkapnya aspek-aspek standar kompetensi kurikulum 2004, padahal kurikulum ini merupakan penyempurnaan dari kurikulum sebelumnya. Kurikulum 2004 baru diperuntukkan bagi TK yang hanya menjangkau anak-anak usia 4 6 tahun. PAUD yang dipandang mengakomodasi kebutuhan anak usia sejak lahir sampai dengan 6 tahun (khusus lahir - 4 tahun) belum terakomodasi dalam kurikulum ini. Untuk itu perlu ada kajian mendalam tentang tugas

perkembangan anak Indonesia untuk usia lahir 4 tahun. Dokumen Kurikulum 2004 Standar Kompetensi, Pedoman Pengembangan Silabus, Pedoman Pembelajaran dan Pedoman Penilaian belum terintegrasi secara menyeluruh, nampak dokumen ini masih terpisah-pisah (mungkin dibuat oleh Tim yang tersendiri). Untuk itu keempat dokumen tersebut perlu disinkronisasi. Untuk memberi contoh kepada guru, model pembelajaran dan penilaian dibuat merujuk satu SK tertentu sehingga menyatu. Bidang pengembangan pembiasaan sebagai aspek yang dikembangkan guru masih sulit untuk diukur, hal ini karena kriteria penilaian dalam bidang pengembangan pembiasaan ini belum ada. Selain bidang pengembangan pembiasaan, bidang pengembangan kemampuan dasar, yaitu kemampuan berbahasa, kognitif, fisik-motorik dan seni perlu diperjelas indikator-indikatornya agar sesuai dengan tahap perkembangan dan kebutuhan anak. Selain dokumen Kurikulum 2004 Standar Kompetensi juga dianalisis dokumen penyerta lainnya, yaitu: dokumen Pedoman Pengembangan Silabus di TK/RA, Pedoman Pembelajaran di TK/RA dan Pedoman Penilaian di TK/RA. Hasil kajian dokumen tersebut dapat digambarkan sebagai berikut. i. Dokumen Pedoman Pengembangan Silabus di TK/RA Silabus merupakan bentuk penjabaran kurikulum ke dalam bentuk program pembelajaran yang lebih konrkit. Oleh karena itu esensi silabus yang perlu diberikan, sedangkan format silabus boleh beragam. Selain itu, dokumen silabus baru diperuntukkan bagi TK/RA belum menjangkau PAUD. Di dalam dokumen ini diuraikan tentang dua model pembelajaran TK, namun belum jelas bagaimana
Kajian Kebijakan Kurikulum PAUD Tahun 2007 32

pelaksanaannya. Contoh SKH dan SKM dalam pedoman pengembangan silabus ini belum jelas sehingga guru-guru mengalami kesulitan dalam membuat program pembelajaran. Selain itu, pemetaan program semester yang ada hanya program pembiasaan saja, sedangkan program pengembangan kemampuan dasar belum terpetakan secara jelas. ii. Dokumen Pedoman Pembelajaran di TK/RA Pedoman pembelajaran ini baru diperuntukkan bagi TK/RA usia 4 6 tahun, belum menjangkau PAUD. Dalam dokumen ini ditemukan terlalu banyak buku pedoman sehingga cukup menyulitkan kerja guru di lapangan. Secara umum metode-metode pembelajaran untuk anak TK bisa saja diadaptasikan untuk pembelajaran anak-anak TB/KB, namun harus dilakukan secara hati-hati mengingat tingkat perkembangan mereka berbeda. Untuk TB/KB pengalaman belajar lebih penting dibanding hasil belajarnya. Pembelajaran yang mengundang rasa ingin tahu anak dan mengajak anak untuk terlibat aktif dalam pembelajaran sangat diharapkan. Pemanfaatan potensi alam di sekitar satuan pendidikan perlu dioptimalkan agar anak belajar dari konteks kehidupan kesehariannya. iii. Dokumen Pedoman Penilaian di TK/RA Dokumen pedoman penilaian di TK/RA ini juga baru diperuntukkan bagi anak usia 4 6 tahun belum menjangkau PAUD. Dalam pedoman ini ada beberapa hal yang perlu diperbaiki. Di lapangan guru cukup mengalami kesulitan dalam melaksanakan penilaian karena dipandang terlalu banyak format instrumen penilaian yang harus dibuat dan dilaksanakan, selain itu, guru belum memahami seutuhnya penilaian seperti apa yang dimaksudkan dalam pedoman ini. Banyaknya format penilaian dipandang menyulitkan dan contoh-contoh penilaian yang dituangkan dalam pedoman tersebut seringkali dianggap sebagai sebuah ketentuan

atau suatu keharusan yang harus diikuti. Selain penjelasan penggunaan format tersebut, esensi penilaian menjadi amat penting untuk dipahami guru. Teknikteknik penilaian otentik yang lebih banyak menggunakan observasi dan antibias lebih penting untuk dipahami guru ketimbang format-format tersebut. 2. Standar Perkembangan Dasar PAUD Acuan perkembangan anak usia dini masih mengacu pada literatur asing, sehingga ada kemungkinan tidak semuanya sesuai dengan tingkat perkembangan anak Indonesia. Setiap anak di setiap negara bahkan setiap daerah memiliki kultur dan budaya yang spesifik. Teori ekologis memperkuat hal litu, di mana pola pikir dan perilaku anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan spesifiknya. Anak-anak di daerah pantai di Papua umumnya sudah biasa main air dan berenang di laut sejak kecil. Anak-anak di hutan pedalaman lebih mengenal berbagai jenis tumbuhan dan hewan. Oleh karena itu perlu kajian perkembangan anak Indonesia, baik yang bersifat umum maupun spesifik untuk setiap daerah agar dapat mejadi acuan standar perkembangan anak usia dini di Indonesia. 3. Acuan Menu Pembelajaran Generik pada PAUD Dokumen Acuan Menu Pembelajaran Generik merupakan salah satu dokumen yang dikembangkan oleh Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini yang dipergunakan dalam lingkup PAUD non formal. Dokumen ini memberikan penjelasan tentang standar perkembangan dan proses pembelajaran yang disarankan untuk anak usia dini. Ide
Kajian Kebijakan Kurikulum PAUD Tahun 2007 33

mengembangkan menu pembelajaran generik cukup baik terutama sebagai acuan minimal bagi kegiatan pembelajaran untuk anak usia dini. Namun demikian perlu diberi pemahaman pada guru PAUD bahwa menurut DAP (NAEYC, 1998) mengacu pada dua hal yaitu kelompok usia dan kebutuhan individual. Menu pembelajaran generik merupakan konsep dasar pembelajaran yang masih harus diadaptasikan dengan kebutuhan anak pada rentang usia tertentu dan dengan kebutuhan individual anak. Oleh karena itu, perlu ada contoh-contoh penerapan menu pembelajaran generik tersebut dalam pembelajaran. Dalam dokumen ini, standar perkembangan telah disusun secara bergradasi berdasarkan tahapan usia anak walaupun dalam beberapa aspek perkembangan belum tertata secara jelas perbedaan standar perkembangan dari satu tahapan usia ke tahapan usia berikutnya. Beberapa indikator kemampuan suatu bidang pengembangan tidak memperlihatkan karakteristik kompetensi perkembangan melainkan menggambarkan program atau stimulasi perkembangan (halaman 30). 4. Kerangka Dasar Kurikulum PAUD Dokumen ini memberikan gambaran tentang beberapa konsep yang dapat dijadikan bahan kajian dalam dokumen KTSP PAUD, baik terkait dengan standar isi, standar proses, standar pengelolaan, standar penilaian dan standar pendidik. Dalam dokumen ini belum dirumuskan tujuan pengembangan dokumen secara jelas (halaman 3). Selain itu, penjelasan tentang landasan PAUD masih belum menyentuh esensi berbagai landasan dalam menyelenggaraan PAUD. Pada landasan filosofis belum memberikan pilihan alternatif filosofis yang dapat diadopsi dan diadaptasi oleh para penyelenggara PAUD. Disamping itu, landasan keilmuan PAUD seharusnya lebih ditekankan pada kajian ilmu pembelajaran yang sesuai (appropriate) dengan anak usia dini. Landasan keilmuan ini sebaiknya dipisahkan dengan landasan psikologis yang akan dijadikan landasan isi perkembangan dan proses pembelajaran pada anak usia dini. Dalam dokumen ini terdapat penjelasan yang masih rancu antara bidang pengembangan dengan materi pembelajaran (halaman 13-15).

5. Standar Perkembangan Dasar PAUD Judul ini dinilai masih rancu karena belum ditemukan peristilahan perkembangan dasar. Oleh karena itu, istilah umum yang harus dipertimbangkan adalah Standar Kompetensi Perkembangan atau Standar Perkembangan. Dalam dokumen ini, terdapat isi rasional pada bab Pendahuluan seharusnya memberikan dan menjadi dasar pemikiran pemilihan aspek perkembangan serta isi perkembangan yang menjadi fokus pembahasan didalamnya. Selain itu, beberapa sub bab juga tidak sesuai ditempatkan dalam dokumen ini, misalnya tentang prinsip dan kurikulum). Istilah Standar Perkembangan Akhir Usia (SKAU) dapat dijadikan pilihan istilah untuk memadankan dengan istilah Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Konsep SKAU akan menjadi dasar dalam penyusunan Standar Isi Perkembangan (SIP) yang dijabarkan lagi menjadi Standar Kompetensi Perkembangan (SKP) dan kompetensi perkembangan (KP). SKP merupakan padanan istilah Standar kompetensi dan KP (kompetensi perkembangan) menjadi padanan dari kompetensi dasar (KD). B. KAJIAN LAPANGAN Komponen-komponen yang terkait dengan kajian lapangan adalah hal-hal yang terkait dengan Kurikulum 2004 Standar Kompetensi, Pedoman Pengembangan Silabus, Pedoman Pembelajaran, dan Pedoman Penialian termasuk alat dan cara penilaian, tema, SKM, SKH, program pembelajaran di taman penitipan anak, dan penanganan
Kajian Kebijakan Kurikulum PAUD Tahun 2007 34

anak berkebutuhan khusus. Berikut ini digambarkan hasil kajian pelaksanaan di lapangan berbagai dokumen. 1. Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Dalam pelaksanaan Kurikulum 2004 pada umumnya guru kurang memahami setiap indikator yang telah ditentukan, selain itu, guru juga kurang memahami empat kegiatan dalam pembiasaan yaitu: kegiatan rutin, spontan, teladan dan terprogram. Para praktisi juga mengalami kesulitan dalam menghubungkan antara standar kompetensi, kompetensi dasar dan indikator dengan tema-tema kehidupan ke dalam silabus pembelajaran maupun rencana pelaksanaan pembelajaran. Disamping itu, para guru juga mengalami kesulitan dalam menjabarkan dan memetakan susunan standar kompetensi, kompetensi dasar, hasil belajar dan indikator karena belum diperhatikan gradasi perkembangannya. 2. Proses Pembelajaran Proses pembelajaran terbagi dalam dua aspek, pertama bidang pengembangan pembiasaan dan kedua pengembangan kemampuan dasar yang terdiri atas kemampuan berbahasa, kognitif, sain, fisik-motorik, dan seni Dalam pelaksanaan kegiatan bidang pengembangan pembiasaan di lapangan guru masih mengalami kesulitan mengukur atau melakukan penilaian terutama dalam kegiatan spontan dan tauladan. Selain itu, pembiasaan-pembiasaan yang diberikan atau dilakukan di sekolah tidak berkesinambungan dengan pelaksanaan di rumah. Kurangnya pengetahuan orang tua tentang permasalahan anak menjadi aspek lain yang perlu mendapat perhatian karena perlakuan guru di sekolah perlu disesuaikan dengan apa yang dilakukan orang tua di rumah. Dalam pengembangan kemampuan dasar berbahasa, guru masih mendominasi pembicaraan dan kurang memberi kesempatan pada anak untuk mengemukakan pendapatnya secara lisan. Kurangnya pemahaman guru dan orang tua tentang aspek-aspek yang harus dikembangkan dalam berbahasa serta kurangnya pemahaman guru tentang metode-metode pembelajaran berbahasa membuat

kemampuan berbahasa anak masih belum berkembang dengan baik. Dalam pengembangan kemampuan kognitif, guru masih minim menguasai konsepkonsep tentang matematika untuk anak, tahapan perkembangan kognitif anak, minimnya pemahaman guru tentang 7 jalur matematika (bentuk, bilangan, ukuran, pola, estimasi, statistik dan geometri). Akibatnya pembelajaran belum berkembang secara optimal. Dalam pengembangan kemampuan dasar sains, guru kurang mengakomodasi kebutuhan anak khususnya dalam mengeksplorasi lingkungan sekitar anak. Selain itu penyajian yang kurang kreatif, menarik dan tidak ada unsur sain dalam pembelajaran menjadikan anak masih minim dalam kemampuan sainsnya. Dalam pengembangan kemampuan dasar fisik motorik, masih banyak sekolah yang tidak mempunyai lahan bermain yang luas sehingga kemampuan dan kebutuhan anak dalam fisik motorik belum berkembang optimal.
Kajian Kebijakan Kurikulum PAUD Tahun 2007 35

Dalam pengembangan kemampuan dasar seni, guru kurang memahami tahapantahapan motorik halus anak, selain itu guru juga kurang memberikan kesempatan pada anak untuk berekspresi. Dalam proses kegiatan belajar mengajar/pembelajaran, masih ditemukan kurangnya dukungan orang tua dan masyakarat atau lingkungan sekitar bagi pengembangan model-model pembelajaran yang inovatif, mereka cenderung sulit menerima perubahan pembelajaran yang dilakukan guru. Selain itu, adanya tuntutan atau target pencapaian yang berlebihan dari orang tua dan masyarakat khususnya Sekolah Dasar (SD) tertentu yang mensyaratkan tamatan TK sudah mampu membaca, menulis dan berhitung (calistung). Kenyataan di lapangan ditemukan banyak SD yang memperioritaskan kemampuan calistung sebagai syarat awal masuk SD. Model pengelolaan proses pembelajaran di lapangan hanya terbatas pada model sudut atau area kegiatan (untuk PAUD formal) dan model pembelajaran BCCT (untuk PAUD non formal). 3. Alat dan Cara Penilaian Dalam alat dan cara penilaian, ditemukan adanya format-format evaluasi yang kurang efektif untuk dilakukan di lapangan mengingat keterbatasan kemampuan guru dalam melakukan penilaian. Guru mengehendaki format penilaian yang disederhanakan dan memudahkan membuat rekapitulasi perkembangan anak dengan baik dan dapat dipertanggung jawabkan. 4. Tema Dalam pengembangan tema-tema pembelajaran, masih ditemukan kurangnya pemahaman guru dalam mengembangkan subtema yang sesuai dengan kondisi sekolah masing-masing. Disamping itu, para guru juga mengalami kesulitan menghubungkan tema dengan indikator (dari Hasil Belajar dan Kompetensi Dasar) bidang pengembangan. Terlebih lagi jika acuan yang dipergunakan dalam mengembangkan tema adalah acuan menu pembelajaran yang belum memberikan ilustrasi pengembangan silabusnya. 5. Satuan Kegiatan Mingguan (SKM) Dalam menyusun Satuan Kegiatan Mingguan (SKM), guru masih mengalami kesulitan dalam penyusunan rencana pembelajaran, guru belum mampu menentukan atau membuat kegiatan-kegiatan yang bervariatif sehingga kegiatan dirasakan membosankan bagi anak. Selain itu, dalam perencanaan SKM belum dicantumkan kolom media/referensi yang dapat mendukung tema secara detail.

6. Satuan Kegiatan Harian (SKH) Dalam menyusun Satuan Kegiatan Harian (SKH), guru-guru masih mengalami kesulitan dalam memilih metode-metode yang tepat bagi pelaksanaan suatu kegiatan. Selain itu, kurangnya kemampuan guru dalam membuat perencanaan pembelajaran yang menarik dan terintegrasi. Disamping itu, para guru juga mengalami kesulitas dalam mengembangkan SKH (RPP) yang menggunakan berbagai model yang variatif.
Kajian Kebijakan Kurikulum PAUD Tahun 2007 36

7. Program Pembelajaran di Taman Penitipan Anak Untuk program pembelajaran di Taman Penitipan Anak, kurikulum PAUD belum tersosialisasikan dengan baik di lapangan. Hal ini menuntut kemampuan guru untuk mempelajarinya. Masih banyak tenaga-tenaga pengajar PAUD yang belum memiliki ijazah atau berlatar belakang PAUD. Ketidakjelasan konsep dan aturan bagi sasaran PAUD menimbulkan masalah saling tarik menarik peserta didik. PAUD menganggap anak usia 0-8 tahun sebagai sasaran pendidikan sementara pada jalur formal TK/RA menganggap usia 4-6 tahun menjadi sasaran pendidikannya. 8. Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus Penanganan anak berkebutuhan khusus belum dilakukan secara memadai di lapangan. Ditemukan anak-anak berkebutuhan khusus belum mendapatkan layanan yang maksimal. Kurangnya kemampuan guru dalam membimbing anak berkebutuhan khusus dan masih rendahnya kepedulian dan pemahaman orang tua tentang anak berkebutuhan khusus menjadi belum tepatnya pendidikan dan pelayanan yang diberikan kepada mereka. C. PEMBAHASAN Dokumen PAUD yang berkaitan dengan Kurikulum 2004 Standar Kompetensi, Pedoman Pengembangan Silabus, Pedoman Pembelajaran dan Pedoman Penilaian banyak digunakan di lembaga PAUD formal (TK/RA) sedangkan Menu Pembelajaran Generik digunakan di lembaga PAUD non formal (Kelompok Bermain dan Taman Penitipan Anak). Persoalan dasarnya dokumen tersebut dibuat oleh banyak Tim dari berbagai otoritas seperti Puskur, Direktorat TK-SD serta Direktorat PAUD. Sebagai akibatnya banyak hal yang berbeda dari berbagai dokumen tersebut untuk aspek yang sama. Perbedaan tesebut terjadi karena belum adanya blueprint yang sama yang menjadi acuan bersama pengembangan PAUD di Indonesia. Untuk itu diperlukan suatu kerjasama antar otoritas tersebut (Puskur, Direktorat PAUD, Direktorat TK-SD, Direktorat Dikti, serta Direktorat Mapenda) untuk menyusun suatu dokumen INDUK pengembangan PAUD di Indonesia yang menjadi dasar bersama seluruh institusi pengembangan PAUD dan Pendidikan Guru-PAUD. Buku INDUK tersebut tentu dilandasi oleh berbagai acuan dasar seperti filosofi pengembangan manusia Indonesia seutuhnya sebagaimana termaktub dalam GBHN, hasil-hasil penelitian tentang perkembangan anak Indonesia di berbagai aspek perkembangan, serta analisis kondisional PAUD di Indonesia. Dokumen PAUD yang banyak jumlahnya tersebut berbeda-beda karena mangacu pada referensi yang berbeda-beda. Oleh karena itu, perlu ada keseragaman acuan, khususnya tentang bidang pengembangan anak usia dini di Indonesia. Diperlukan penelitian tentang perkembangan anak Indonesia pada umumnya dan tiap daerah dan suku khususnya agar PAUD memiliki acuan yang lebih sesuai dengan perkembangan anak Indonesia. Kesalahan dalam penentuan perkembangan anak Indonesia

menyebabkan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang disusun tidak valid karena tidak sesuai dengan kondisi riil anak Indonesia.
Kajian Kebijakan Kurikulum PAUD Tahun 2007 37

Penentuan Standar Kompetensi Akhir Usia (SKAU) di PAUD yang sepadan dengan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) selain didasarkan hasil penelitian perkembangan anak Indonesia juga sebaiknya dibuat secara utuh mulai lahir sampai 8 tahun, sehingga ada benang merah atau kesinambungan kompetensi antara PAUD (TPA, KB, dan TK/RA) dengan kelas 1, 2, dan 3 Sekolah Dasar. Untuk itu perlu kerjasama antara Direktorat PAUD, Direktorat TK-SD, dan Puskur dalam mewujudkan hal tersebut. Banyak guru dan lembaga PAUD formal (TK/RA) dan PAUD non formal(TPA dan KB) tidak menerima dan mempelajari berkas Kurikulum secara utuh. Ada yang hanya memperoleh Kurikulum (Standar Kompetensi) saja, Pedoman Pengembangan Silabus saja, atau Pedoman Penilaian saja. Sebagai akibatnya pemahaman akan kurikulum bersifat parsial. Di samping itu naskah dan perubahan kurikulum beserta perangkat untuk implementasinya memerlukan penjelasan lebih lanjut melalui sosialisasi kepada lembaga dan guru PAUD. Sebagai akibatnya, banyaknya naskah PAUD menimbulkan kebingungan bagi para guru. Untuk itu, naskah yang ada perlu disertai penjelasan dan contoh yang konkrit di samping adanya program sosialisasi. Dalam penyusunan dan pengembangan panduan KTSP PAUD perlu menelusuri berbagai pedoman dan referensi pendukung, terutama landasan akademik yang dijadikan acuan. Beberapa dokumen yang dimaksud adalah GBPKB TK, Standar Kompetensi TK/RA, Acuan Menu Pembelajaran dan Kerangka Dasar Kurikulum PAUD. Berdasarkan kajian tersebut dapat disusun dan dikembangkan Standar Kompetensi Akhir Usia PAUD (SKAU PAUD), Standar Isi (Standar Isi Perkembangan PAUD), Standar Proses, Standar Penilaian dan Standar lainnya.
Kajian Kebijakan Kurikulum PAUD Tahun 2007 38

BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan 1. Pada ketiga dokumen, yaitu Kurikulum 2004 Standar Kompetensi TK/RA versi Puskur dan versi Direktorat TK/SD serta Menu Pembelajaran Generik terdapat 6 (enam) aspek perkembangan yang sama substansinya, yaitu Moral dan Nilai-nilai Agama; Sosial, Emosional dan Kemandirian; Berbahasa; Kognitif; Fisik/ motorik; dan Seni. Namun ada sedikit perbedaan pada pengelompokan aspek perkembangan. Aspek perkembangan dikelompokkan menjadi dua kelompok. Pada dokumen versi Puskur, aspek perkembangan Moral dan Nilai-nilai Agama; Sosial, Emosional dan Kemandirian dikelompokkan ke dalam Pembentukan Perilaku dan Pembiasaan. Sedangkan versi Direktorat TK/SD kedua aspek perkembangan tersebut dikelompokkan ke dalam Bidang Pengembangan Pembiasaan. Aspek perkembangan berbahasa, kognitif, fisik/motorik, dan seni pada kedua dokumen (versi Puskur dan Direktorat) dikelompokkan ke dalam Kemampuan Dasar. Secara substansi aspek perkembangan pada Menu Pembelajaran Generik sama dengan aspek perkembangan pada Kurikulum 2004 Standar Kompetensi (dokumen versi Puskur dan versi Direktorat TK/SD), tetapi ada perbedaan dalam perumusan kemampuan, yaitu pada Menu Pembelajaran Generik hanya ada indikator kemampuan yang sudah disusun secara bergradasi sesuai dengan usia perkembangan anak (lahir s.d. 6 tahun) pada masing-masing bidang

pengembangan. Sedangkan pada Kurikulum 2004 terdapat kompetensi dasar, hasil belajar, dan indikator. Di samping itu, pada menu pembelajaran generik juga memuat program layanan kesehatan dan gizi anak dini usia (lahir 6 tahun) yang mencakup Gizi Seimbang dan Deteksi Dini Pertumbuhan Anak. 2. Urutan kompetensi pada Kurikulum 2004 Standar Kompetensi TK/RA belum tersusun secara gradual (berurutan) sesuai tahapan perkembangan anak khususnya dalam bidang kognitif, sains, matematika dan seni. Disamping itu juga belum sesuai dengan landasan teoritis (landasan psikologis), terutama dalam hal penyusunan gradasi perkembangan dan lingkup perkembangan. 3. Dalam Standar Kompetensi TK/RA terdapat tumpang tindih (overlapping) antara kompetensi pada bidang pengembangan fisik motorik dengan bidang pengembangan seni. 4. Kompetensi (indikator) anak usia dini pada dokumen Menu Pembelajaran Generik dari Direktorat PAUD sudah tersusun secara gradual berdasarkan usia anak. Namun belum tersusun sesuai dengan aspek perkembangan dan tahapan perkembangan pada setiap bidang pengembangan. 5. Dokumen Kurikulum 2004 Standar Kompetensi dari direktorat TK SD, belum diungkapkan konsep yang lengkap tentang bidang pengembangan yang mencakup pengertian, tujuan, ruang lingkup dan struktur kompetensi pada masing-masing bidang pengembangan. Demikian juga yang dikeluarkan oleh Puskur dan direktorat PAUD.
Kajian Kebijakan Kurikulum PAUD Tahun 2007 39

6. Pengelompokan kompetensi pada seluruh naskah (3 naskah) belum menggambarkan lingkup aspek perkembangan pada setiap bidang pengembangan. Misalnya: dalam bidang pengembangan kemampuan berbahasa, hanya terdapat 1 (satu) kompetensi dasar yang meliputi aspek-aspek perkembangan yang banyak. Hal ini tidak sesuai dengan hakikat kurikulum berbasis kompetensi khususnya dalam pengertian kompetensi sehingga bisa terukur. 7. Bidang pengembangan jasmani (motorik kasar) secara konseptual, seharusnya berada dalam bidang pengembangan tersendiri seperti GBPKB TK tahun 1994 tidak digabung atau dicampuradukkan. 8. Beberapa komponen dari 8 SNP telah disusun dalam bentuk kerangka dasar kurikulum PAUD namun masih perlu disempurnakan. 9. Terlalu banyak format penilaian sehingga membingungkan para praktisi di lapangan. B. Rekomendasi 1. Jangka Pendek a. Naskah akademik PAUD seharusnya disusun dalam naskah tersendiri sehingga menjadi landasan yang kuat untuk pengembangan 8 (delapan) Standar Nasional Pendidikan untuk PAUD. b. Perlu segera dituntaskan naskah SKAU (SKL PAUD) dan SIP (SI PAUD) yang didasarkan pada landasan akademik (landasan teoritis) & hasil kajian lapangan. c. Perlu dilakukannya riset perkembangan anak usia dini Indonesia sebagai acuan empirik dalam menyusun SKAU dan SIP. d. Perlu dilakukan revisi terhadap kerangka dasar kurikulum PAUD dan judulnya sebaiknya diubah menjadi Panduan/Pedoman Penyelenggaraan PAUD sesuai dengan isinya. e. Dokumen Standar Perkembangan Anak Lahir 6 Tahun PAUD perlu

diperbaikai secara menyeluruh dan disesuaikan dengan naskah akademik (tinjauan teoritik). f. Dokumen pedoman pengembangan silabus untuk PAUD seharusnya menjadi bagian dari dokumen standar proses pembelajaran yang mencakup (1) perencanaan proses pembelajaran, yang meliputi pengembangan tema dan jaringannya, penyusunan silabus pembelajaran dengan menggunakan pendekatan tematik, dan menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran, (2) pelaksanaan proses pembelajaran yang disesuaikan dengan acuan pengembangan proses pengembangan yang dilakukan masing-masing satuan pendidikan anak usia dini, (3) Standar proses pembelajaran TK dapat mengakomodasi dokumen pembelajaran di TK dan dokumen perencanaan dan proses pembelajaran di TK. 2. Jangka Panjang a. Perlu adanya buku INDUK yang merupakan blueprint pengembangan pendidikan anak usia dini di Indonesia. Buku ini menjadi acuan bagi semua instansi terkait seperti Direktorat TK SD, Direktorat PAUD, dan Puskur serta Perguruan Tinggi dalam merancang dan mengembangkan PAUD.
Kajian Kebijakan Kurikulum PAUD Tahun 2007 40

b. Perlu disusun tahapan perkembangan anak mulai dari usia lahir sampai 8 (delapan) tahun sebagai dasar penentuan SK dan KD untuk SD kelas awal sehingga ada kesinambungan kompetensi antara TB/KB, TK/RA. c. Perlu dikembangkan komponen Standar Nasional Pendidikan untuk PAUD yang didasarkan pada naskah akademik (misalnya standar proses, pengelolaan & penilaian). d. Perlu dikembangkan model-model KTSP PAUD agar dapat menjadi pilihan bagi lembaga penyelenggara PAUD.
Kajian Kebijakan Kurikulum PAUD Tahun 2007 41

DAFTAR PUSTAKA Bodrova, E. & Leong, L. J. (1996). Tools of the Mind: A Vygotskian approach to early childhood education. Englewood Cliffs, NJ: Merrill Publishing Company. Black, J. et all. (1995). The Young child: Development from Birth through Age Eight. New York: Merrill Publishing Co. Brazelton, T. Berry. (199). How the brain and mind develop in the first five years. New York, NY: Batam Books. Bredekamp, S. & Rosegrant, T. (Eds). (1992). Reaching Potentials: appropriate Curriculum and Assessment for Young Children. V-1. Washington, DC.: NAEYC. Brewer, J. A. (1995). Introduction to Early Childhood Education: prekindergarten to primary grades. New York: Allyn & Bacon Buzan, T. (1989). Use both sides of your brain. New York, NY: Penguin Book. Departeman Pendidikan Nasional (2004). Kurikulum 2004: Standar Kompetensi Pendidikan Anak Usia Dini Taman Kanak-Kanak Dan Raudhatul Athfal. Jakarta: Departeman Pendidikan Nasional Departeman Pendidikan Nasional (2005). Kurikulum 2004: Standar Kompetensi Pendidikan Anak Usia Dini Taman Kanak-Kanak Dan Raudhatul Athfal. Jakarta:Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar Dan Menengah Departeman Pendidikan Nasional (2007). Kerangka Dasar Kurikulum PAUD. Jakarta: Departeman Pendidikan Nasional Departeman Pendidikan Nasional (2007). Standar Perkembangan Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Departeman Pendidikan Nasional

Departeman Pendidikan Nasional (2007). Standar Perkembangan Anak Lahir S.D 6 Tahun. Jakarta: Departeman Pendidikan Nasional Departeman Pendidikan Nasional (2005). Pedoman Pengembangan Silabus Di Taman Kanak-Kanak. Jakarta:Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar Dan Menengah Departeman Pendidikan Nasional (2005). Pedoman Pembelajaran Di Taman KanakKanak. Jakarta:Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar Dan Menengah Direktorat Pendidikan Anak Dini Usia (2002). Acuan Menu Pembelajaran Pada Pendidikan Anak Dini Usia. Jakarta: Diektorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah Dan Pemuda. Gallagher, J.M. & Reid, D.K. (1981). The Learning Theory of Piaget and Inhelder. Monterey, CA: Brooks/Cole.
Kajian Kebijakan Kurikulum PAUD Tahun 2007 42

Gessell, A.L. & Ames, F. (1940). The mental growth of preschool child. New York: Macmillan. Gardner, Howard (1983). Frames of Mind. New York: Basic Books. Gardner, Howard (2004). Multiple Intelligences. http://tip.psychology.org/gardner.html Hall, N. (1987). The Emergence of Literacy. Portsmouth, NH.: Heineman. Isenberg, J.P. & Jalongo, M.R. (1993). Creative Expression and Play in The Early childhood Curriculum. New York: Macmillan Publishing Co. Meliala, A. (2004). Anak ajaib: temukan dan kembangkan keajaiban anak anda melalui kecerdasan majemuk. Yogyakarta: PT Andi. Piaget, J. (1970). The Science of Education and the Psychology of the Child. NY: Grossman. Puckett, M. B & Black, J. K. (1994). Authentic Assessment of The Young Child. New York: Macmillan College Publishing Company. Saphiro, M. S. (1983). Childs garden: The kindergarten movement from Froebel to Dewey. University Park, Pensylvania: The Pensylvania State University Press. Semiawan, C. R. Dan Alim, Dj. (2002). Petunjuk layanan dan pembinaan kecedersan anak. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Slamet Suyanto (2005). Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Slamet Suyanto (2005). Pembelajaran Untuk Anak TK. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Spodek, B. (Ed.) (1986). Kindergarten: Exploring the knowledge-base expanding the curriculum. New York: Teachers College Press. Sugeng Santoso (2002). Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Yayasan Citra Pendidikan Indonesia. Vygotsky, Lev S.(2004) Social Development Theory. http://tip.psychology.org/vygotksky.html Wolfinger, D.M. (1994). Science and Mathematics in Early Childhood Education. New York: Harper Collins College Publisher.

Sudut Epistimologi

Dari sudut epistimologi, kajian tentang metodologi pembelajaran anak usia dini telah dikembangkan dengan

acuan filosofis, pendekatan dan model yang beraneka ragam, termasuk didalamnya adalah kajian tentang model kurikulum untuk anak usia dini. Sesuai dengan kerangka landasar filsafat yang telah dibahas sebelumnya, pengembangan kurikulum anak usia dini secara garis besar dikelompokan dalam tiga model. Pendekatan pertama dilakukan dengan model proses pematangan (maturitional models). Pendekatan ini didasarkan pada teori yang dikembangkan oleh Gessel, Freud dan Erikson. Pendekatan kedua dikenal dengan model tingkah lakulingkungan yang didasarkan pada teori Skinner, Baer, Bijou dan Bandura. Pendekatan ketiga dilakukan dengan menggunakan model interaksi yang didasarkan pada teori Piaget dan Vygotsky.

PENDIDIKAN ANAK USIA DINI


Peningkatan mutu pendidikan Islam difokuskan pada perluasan inovasi proses pembelajaran pada semua jenis, jenjang, dan jalur pendidikan, sehingga terwujud proses pembelajaran yang efisien, menyenangkan dan mencerdaskan berdasarkan tahap-tahap pekembangan usia dan kematangan peserta didik. Pengembangan proses pembelajaran pada satuan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) lebih dikonsentrasikan pada penguatan perlindungan dan penghargaan terhadap hak-hak anak dengan lebih menekankan pada upaya pengembangan kecerdasan emosional, sosial, dan spiritual dengan prinsip bermain sambil belajar, karena dunia anak-anak adalah dunia bermain. Bermain merupakan kegiatan yang penting dalam kehidupannya. Dengan bermain akan mendapatkan kesenangan, kepuasan, dan kegembiraan. Selain itu, dapat mengungkapkan perasan, pikiran, dan tenaganya. Dalam kegiatannya sehari-hari, dari waktu ke waktu bermain merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam diri anak-anak. Seolah-olah tidak ada satu kegiatan pun yang dilakukan tanpa unsur bermain. Kapan, di mana, dan dalam keadaan bagaimana pun anak-anak akan bermain dan terus bermain. Dari pagi hari, sejak bangun tidur, hingga malam hari menjelang tidur lagi, sebagian besar waktunya dihabiskan untuk bermain. Di rumah, di sekolah, atau di lingkungan masyarakatnya pun akan terus bermain. Ketika keadaan jasmani sehat, maka dia akan terus berusaha bermain. Bahkan dalam keadaan sakit pun biasanya merengek-rengek ingin tetap bermain tanpa memperhatikan rasa sakit yang dideritanya.

Anak-anak akan mencari kesempatan dan berusaha terus untuk bermain. Mereka yang tinggal di pedesaan bermain sambil bercocok tanam di sawah, ladang, atau kebun. Anakanak nelayan di tepi pantai atau di laut bermain sambil berenang, berlayar, menyelam, atau mencari ikan. Begitu pula yang tinggal di perkotaan bermain dengan permainan yang memanfaatkan kemajuan teknologi yaitu berbagai jenis permainan elektronik yang modern, seperti robot-robotan, mobil-mobilan, berbagai jenis permainan (game), dan sebagainya. Sementara itu di negara-negara yang mengalami musim salju anak-anak bermain dengan manfaatkan salju atau es, seperti membuat boneka atau bangunan. Tidak ketinggalan di negara yang dilanda perang, seperti Palestina atau Afganistan, di tengah-tengah puing-puing reruntuhan bangunan diselingi dengan desingan peluru dan dentuman bom, mereka tetap bermain. Ada satu pertanyaan penting yang berkaitan dengan kegiatan bermain pada diri anakanak, yaitu mengapa anak-anak gemar bermain?. Jawaban pertanyaan ini bisa dilihat dari berbagai aspek, seperti pendidikan dan psikologi. Anak-anak bermain karena dia menyimpan tenaga yang berlebih pada dirinya. Oleh karena itu, kelebihan tenaga itu harus disalurkan. Penyalurannya dilakukan dalam bentuk bermain. Anak-anak pun bermain untuk memulihkan tenaganya karena sudah digunakan untuk berbagai jenis akitivitas seperti belajar atau kegiatan lainnya. Selain itu, bermain ini untuk mempersiapkan tenaga dan pikirannya dalam menghadapi kehidupannya. Dengan bermain mereka melatih jasmani atau fisiknya agar kuat dan bertenaga serta melatih rokhaninya sehingga fikirannya tercerahkan untuk menghadapi kehidupan. Anak-anak pun bermain untuk melatih fungsi-fungsi jiwa dan raganya sehingga akan didapatkannya kesenangan, kepuasan, dan kegembiraan. Di samping itu, anak-anak bermain untuk menunjukkan kepribadiannya sebagai individu, anggota keluarga dan anggota masyarakat. Dari kepribadian anak-anak sebagai individu dapat dilihat watak, sifat, atau karakternya. Sebagai anggota keluarga dan masyarakat kepribadiannya dapat dilihat dalam pergaulan dengan orang tua, kakak, adik, teman, guru, orang yang lebih tua atau muda. Mereka mentaati norma-norma atau perturan-peraturan yang berlaku di masyarakat. Pentingnya Pendidikan Anak Usia Dini Pendidikan anak usia dini menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) Nomor 20 tahun 2003, adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia 6 tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rokhani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Pendidikan anak usia dini dianggap penting karena ketika anak lahir telah dibekali oleh Tuhan dengan berbagai potensi genetis, tetapi lingkungan memberi peran sangat besar dalam pembentukan sikap kepribadian dan pengembangan kemampuan anak. Selain itu jaringan otak manusia yang paling menentukan terjadi ketika anak masih berusia dini, dan usia 4 tahun pertama merupakan usia yang paling rawan. Yang perlu diperhatikan dari anak adalah seberapa jauh anak merasa diperhatikan, diberi kebebasan atau kesempatan untuk mengekspresikan ide-idenya, dihargai hasil karya atau prestasinya,

didengar isi hatinya, tidak ada paksaan atau tekanan, ancaman terhadap dirinya dan mendapatkan layanan pendidikan sesuai tingkat usia dan perkembangan kejiwaannya. Pendidikan anak usia dini popular pada tahun 80-an yang dikenal dengan Taman KanakKanak. Sejarahnya lembaga taman kanak-kanak atau kindergarten ini berkembang di Jerman. Adapun nama kindergarten berasal dari bahasa Jerman. Tokohnya adalah Friederich Wilhelm Froebel (1782-1852). Di Indonesia pun Froebel ini dianggap sebagai peletak dasar diadakannya Taman Kanak-Kanak dengan metode belajar seraya bermain, bermain sambil belajar. Oleh karena itu pada jaman penjajahan Belanda istilah Taman kanak-kanak sering pula disebut kleuterschool atau Froebelschool. Tokoh lainnya yang tidak bisa dipisahkan dari pendidikan anak usia dini adalah Maria Montessori. Menurut Montessori pada diri anak terdapat semangat belajar yang sangat luar biasa. Oleh karena itu tugas guru adalah menciptakan lingkungan yang responsif terhadap kebutuhan anakanak tersebut. Istilah Taman Kanak-Kanak dalam bahasa Inggris ada yang menamakan kids school. Pada tahun 1982 berkembang menjadi early child school education. Akar kata early child school berasal dari perkembangan kata itu, yaitu ada dari masa inform, bayi dua tahun, kemudian masuk masa early child school sampai umur enam atau tujuh tahun, baru dari umur tujuh tahun masuk masa child school. Dari masa early child school konsep pendidikan dalam artian yang terorganisir mulai dari anak usia dua tahun, baru masuk masa preschool biasanya anak empat sampai enam tahun, sedangkan pendidikan anak usia sebelumnya biasanya disebut informal education (pendidikan informal). Konsep pendidikan anak usia dini di Indonesia mencakup pendidikan anak dari mulai usia nol tahun sampai enam tahun. Jadi mungkin lebih tepat dikatakan pendidikan sebelum masa kanak-kanak. Sebelum usia dua tahun namanya bukan anak tetapi inform. Di Amerika Serikat anak usia dini (early child school education) sampai usia tujuh atau delapan tahun atau sampai kelas tiga sekolah dasar (SD). Sebelum usia empat tahun bukan termasuk pendidikan, tetapi kelompok bermain (child chair). Anak-anak diberi kesempatan bermain di kelas secara bebas, sehingga mereka merasa senang di kelas. Tujuannya adalah untuk merangsang pertumbuhan sel saraf di otak (neurosikologi). Neurosikologi adalah teori psikologi yang menjelaskan tentang pertumbuhan sel saraf otak. Di dalam ilmu pengetahuan kedokteran ditegaskan bahwa sel-sel manusia yang ada di kulit, otot, tulang, dan mata, akan mengalami pembaruan atau perkembangan setiap tujuh tahun sekali, kecuali sel pusat syaraf. Perkembangan sel pusat syaraf selesai pada usia 7 tahun. Begitu pula sel-sel otaknya berkembang pada masa 1 7 tahun. Berubahnya selsel otak dan sel pusat syaraf berubah-ubah atau berkembang mengalami pembaruan, maka akan berubah pula kepibadiannya. Untuk itu perilaku anak pun akan mengalami banyak perubahan setiap harinya. Hal ini merupakan rahmat Allah swt. terhadap makhluknya dengan tidak membebani taklif (perintah dan larangan agama) kepada orang yang belum mukallaf, yaitu orang yang belum sempurna perkembangan dirinya. Ketika anak beranjak dewasa, maka kepribadiannya makin kuat sesuai dengan kuatnya sel-sel pusat syaraf yang sudah tidak lagi mengalami penambahan dan pengurangan sedikitpun walaupun mengalami benturan atau sakit. Andai sel-sel pusat syaraf mengalami

pengurangan atau penambahan setelah sempurnanya perkembangan, tentu anggota tubuh manusia tidak bisa bergerak sebagaimana mestinya. Gambaran umum perkembangan jaringan otak anak usia dini yaitu usia 0-10 tahun jika diberi rangsangan/stimulus, maka grafiknya naik. Pada usia 7 dan 8 tahun sudah mulai naik tingkatannya. Pada usia mulai umur empat sampai enam tahun dikenal dengan usia wonder age. Namun harus memberikan rangsangan/stimulus. Rangsangan pada anak usia itu antara lain memberikan sentuhan, menunjukkan warna-warni, atau mendengarkan suara hingga otaknya optimal menerima dan mempengaruhi kendali tubuh termasuk otak kanan dan kiri. Jika tidak diberikan rangsangan maka akan menjadikan anak rentan terhadap pertumbuhan dan perkembangan. Jika kita permissive kepada anak dengan memberikan kebebasan untuk berbuat, maka akan membuat anak benar-benar mandiri dan mampu mengendalikan dirinya sendiri. Namun sebaliknya jika anak tidak diberikan kebebasan berbuat akan menjadikan dirinya tidak mandiri dan menggantungkan dirinya kepada orang lain. Anak yang defendent (ketergantungan) kepada orang lain karena orang tuanya terlalu protektif sehingga dalam benak anak akan muncul rasa takut salah. Anak tidak diberikan kesempatan offensif sehingga muncul socio-conform, sehingga anak menjadi dependent. Oleh karena itu tidak usah heran jika ada anak yang sehariharinya belajar sangat pinter dengan nilai-nilainya yang bagus. Namun kurang bersosialisasi atau tidak berani, takut, merasa malu ketika berdiskusi atau menyampaikan pendapat. Anak menjadi self relation atau hanya mampu bersosialisasi dengan dirinya saja tanpa dengan orang lain. Anak-anak yang tumbuh dalam tekanan-tekanan, misalnya rasa takut, khawatir, stress, dan sebagainya ketika remajanya akan merasakan suatu dorongan-dorongan agresif atau nakal yang menimbulkan efek negatif. Mungkin anak itu kreatif tetapi kreatifitasnya menuju ke arah yang negatif bahkan bisa ke arah sadis. Tetapi jika anak-anak diperhatikan (care) bahkan sejak masa bayi hingga muncul rasa semangat, maka petumbuhannya akan sangat teratur sekali sehingga dia berpikir logis, lebih memperhatikan (care) kepada orang lain. Ibu memiliki peran sangat besar terhadap pendidikan anak-anak mulai sejak bayi. Ketika beranjak lebih besar lebih bagus jika anak itu dikirimkan ke child care atau kelompok bermain. Meskipun untuk saat sekarang yang mampu menitipkan anaknya ke tempat bermain adalah orang-orang yang kelas ekonominya menengah ke atas, karena kelompok menengah ke bawah jarang yang menitipkan anaknya di kelompok bermain. Namun demikian yang diperlukan dari seorang ibu adalah tahu cara mengasuh anak karena itu bagian dari tujuan pendidikan, sehingga anak-anak akan tumbuh bukan hanya secara fisik saja tetapi juga secara logis bagus pula tumbuh berkembang secara psikologisnya dan secara neurosis pada track yang bagus. Layanan Pendidikan Anak Usia Dini Layanan pendidikan anak usia dini untuk meningkatkan atau memperluas dan memeratakan atau meningkatkan proporsi anak yang terlayani pendidikan dan juga meningkatkan akses masyarakat terhadap pendidikan yang berkualitas. Perluasan

pendidikan anak usia dini dalam upaya membina, menumbuhkan, mengembangkan seluruh potensi anak usia dini secara optimal. Di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2005 salah satu prioritasnya meningkatkan akses masyarakat terhadap pendidikan yang berkualitas antara lain dengan meningkatkan perluasan pendidikan anak usia dini. Oleh karena itu diperlukan program atau lembaga pendidikan dengan sasarannya adalah untuk meningkatkan proporsi anak yang belajar pendidikan anak usia dini. Selain itu juga untuk meningkatkan prestasi anak usia dini dalam rangka membina, menumbuhkan, mengembangkan seluruh potensi anak usia dini sesuai dengan potensinya, tahap perkembangan, dan tingkat usia secara optimal agar memiliki kesiapan untuk memasuki pendidikan selanjutnya. Potensi sama dengan talent. Tahap perkembangan anak dapat dilihat dari sisi fisik, psikologis, neurologis, atau intelektual. Untuk menumbuh kembangkan anak usia dini itu maka diperlukan upaya meningkatkan akses serta mutu kelayakan baik melalui jalur formal maupun non formal. Kegiatan pokok yang dilakukan adalah menyediakan sarana dan prasarana, termasuk optimalisasi fasilitas yang ada dan penyediaan pembiayaan operasional dan kongruen. Penyelenggaraan pelayanan pengembangan anak usia dini dengan jenis pelayanan yang lengkap dan utuh mencakup pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan, gizi, pendidikan, pengasuhan, serta perlindungan yang dilaksanakan secara terintegrasi oleh berbagai pihak penyelenggara menuju terwujudnya anak usia dini Indonesia yang sehat, cerdas, ceria, dan berakhlak mulia. Tujuannya adalah terpenuhinya kebutuhan essensial anak usia dini secara utuh meliputi kesehatan dan gizi, pendidikan dan pengasuhan sesuai usia anak. Selain itu anak pun terlindungi dari perlakuan yang salah dari keluarga atau masyarakat. Penyelenggaraan pendidikan anak usia dini dapat melibatkan partisipasi masyarakat secara aktif sejak identifikasi kebutuhan, merancang program, melaksanakan program dan pengawasannya. Tempat, waktu, dan sarana yang digunakan bersifat fleksibel dan memberdayakan yang sudah ada di masyarakat yang penting aman bagi anak dan tidak mengganggu waktu istirahatnya, antara lain TK/RA, Posyandu, atau majlis taklim. Penyelenggaraan pendidikan anak usia dini dilakukan melalui jalur formal, non formal dan informal. Jalur formal adalah taman kanak-kanak (TK), raudhatul athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat. Jalur non formal merupakan pengganti, pelengkap, dan penambah PAUD formal, yaitu kelompok bermain (KB), taman penitipan anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat. Sasarannya adalah anak usia 2-4 tahun jika sudah ada yang formal. Namun jika belum ada yang formal, maka sasarannya anak usia 4-6 tahun yang diarahkan menjadi TK alternatif. Jika yang formal sudah ada namun tidak memungkinkan menggarap anak usia 4-6 tahun, maka layanan diberikan oleh non formal. Jalur informal adalah pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan. Kompetensi yang dimiliki oleh anak setelah menyelesaikan pendidikan anak usia dini dan melanjutkan ke pendidikan selanjutnya adalah menjadi makhluk mulia yang tekun beribadah dan berperilaku sopan dan baik, kecerdasan kinestetik dengan gerakan halus

dan kasar, mampu menyampaikan komunikasi dengan aktif dan santun, cara berpikirnya logis, kritis dalam memecahkan masalah, memiliki interes atau kreatif yang baik terhadap musik, adanya kecintaan pada alam sekitar, adat, dan budaya. Pencapaian kompetensi ini antara lain dilakukan melalui bermain sesuai dengan tingkat kemampuan anak, memperhatikan perbedaan individual anak, adanya suasana penuh perhatian dan kasih sayang pada anak, dan memperhatikan kebutuhan dan kondisi sosial budaya setempat. Anak-anak yang memperoleh layanan PAUD prosentasenya atau angka partisipasinya baru 28% dari populasi kurang lebih 28 juta anak. Untuk itu perlu diusahakan agar bisa meningkatkan partisipasi sekolah anak yang bisa memperoleh layanan PAUD. Lulusan kualifikasi guru PAUD lebih banyak SLTA, D1, D2. atau D3, dan masih jarang yang S 1. Untuk itu kualifikasi guru itu perlu ditingkatnya dengan melanjutkannya ke S 1. Dari segi latar belakang orang tua yang menyekolahkan anaknya ke PAUD lulusan SMP sebanyak 59 %, SMA 32 %, D1 4 %, S1 3,5 %. Dari segi penghasilan orang tua yang menyekolahkan anaknya ke PAUD adalah penghasilan tidak tetap sebanyak 44 %, kurang dari Rp. 500.000 sebanyak 16%, antara Rp. 500.000-1.000.000 sebanyak 24%. Dari data itu mennjukkan bahwa orang tua yang berpenghasilan tidak tetap pun masih bisa menyekolahkan anaknya ke PAUD. Artinya mereka memandang bahwa PAUD itu penting. Permasalahan yang dihadapi adalah kurang optimalnya perhatian dan kepedulian terhadap PAUD, ketersediaan dan kualifikasi pendidik dan tenaga pendidik yang masih belum memadai, sehingga kualitas pembelajaran kurang optimal, sarana dan prasarana yang terbatas, keterbatasan akses pada tempat pendidikan secara merata. Pendidikan Anak Usia Dini di Sekolah dan di Keluarga Pendidikan selalu identik dengan sekolah atau lembaga pendidikan formal. Bahkan sekolah dianggap sebagai kebutuhan pokok yang harus dirasakan oleh anak dan tidak dapat digantikan dengan apapun. Sekolah dianggap sebagai sarana untuk tercapainya keberhasilan dalam mengarungi hidup dan kehidupan. Oleh karena itulah banyak orang tua yang merasa khawatir jika anaknya tidak sekolah. Padahal sekolah itu hanya salah satu faktor keberhasilan anak dalam mengenyam pendidikan. Faktor lainnya adalah pendidikan keluarga di rumah karena pendidikan bermula dari keluarga yang dianggap sama pentingnya karena sekolah memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan itu antara lain keterbatasan waktu dan ruang. Waktu belajar di sekolah sekitar 5 8 jam. Tempat belajarnya pun terbatas hanya di ruangan yang terdiri atas empat dinding satu lantai dan satu atap. Kelemahan ini menyebakan sekolah tidak dapat menumbuhkembangkan potensi anak secara optimal. Akibatnya tujuan pendidikan untuk mendewasakan, memandirikan anak menjadi terbatas oleh waktu dan ruang tersebut. Sekolah pun tidak dapat mengambil alih sepenuhnya peran orang tua dalam mendidik anak, terutama dalam hal menanamkan nilai-nilai yang dianggap penting seperti pendidikan nilai, moral, sosialisasi, dan agama. Sedangkan sekolah lebih dominan pada pemberian ilmu pengetahuan yang bersifat akademik atau aspek kognitif saja. Keluarga adalah unit masyarakat yang terkecil dan penting dalam masyarakat (family is the fundamental of society). Keluarga adalah tempat pertama dan utama bagi anak. Keluarga sangat besar perannya bagi pertumbuhan dan perkembangan anak hingga

dewasa nanti. Di dalam resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dinyatakan bahwa keluarga adalah tempat untuk mendidik, mengasuh, dan mensosialisasikan anak mengembangkan seluruh kemampuannya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik serta memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera. Pembinaan keluarga dilakukan melalui pendidikan yang bertujuan agar seluruh anggota keluarga mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Tujuan ini dicapai didasarkan pada program pendidikan yang dilakukan oleh orang tua sejak anak-anak, remaja sampai dewasa, karena salah satu faktor penting dalam pendidikan di keluarga adalah orang tua. Orang tua sebenarnya bisa lebih mengarahkan perkembangan dan pertumbuhan anak sesuai dengan bakat dan minat, karena orang tua akan langsung tahu sejauh mana anaknya belajar. Seorang ahli bernama Bronfenbrenner (2006) mengatakan bahwa kesejahteraan psikis dan fisik serta pendidikan anak sangat bergantung pada sejahtera atau tidaknya keluarga. Apabila keluarga gagal untuk mengajarkan kejujuran, semangat, keinginan untuk menjadi terbaik, dan kemampuan-kemapuan dasar, maka akan sulit sekali bagi lembaga-lembaga lain untuk memperbaiki kegagalannya. Seorang anak dalam proses tumbuh kembangnya dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, dan setelah itu oleh lingkungan diluar keluarga. Peran keluarga dalam pendidikan, sosialisasi dan penanaman nilai kepada anak sangat besar. Keluarga kuat adalah keluarga yang dapat menciptakan generasi-generasi penerus yang berkualitas dan berkarakter kuat, sehingga menjadi pelaku-pelaku kehidupan di masyarat. Kesuksesan orang tua membimbing anaknya dalam mengatasi konflik kepribadian di usia dini sangat menentukan keberhasilan anak dalam kehidupan sosial di masa dewasanya kelak. Segala perilaku orang tua, pola asuh, dan pendidikan yang diterapkannya di dalam keluarga pasti berpengaruh dalam pembentukan kepribadian anak. Perilaku itu antara lain kasih sayang, sentuhan, kedekatan emosi (emotional bonding) orang tua serta penanaman nilai-nlai yang dapat mempengaruhi kepribadian anak. Mengembangkan pendidikan dalam keluarga maka orang tua memegang peran penting dalam mencetak anak mempunyai akhlak yang luhur, perilaku jujur, disiplin dan semangat sehingga akhirnya menjadi dasar untuk meningkatkan kualitas dirinya. Usia dini merupakan masa peka anak-anak untuk menerima dan meletakkan dasar pertama dalam upaya pengembangan kemampuan fisik, kognitif, bahasa, sosial, emosi, konsep diri, disiplin, seni, moral, dan nilai-nilai agama. Pada masa peka ini sedang terjadi pematangan fungsi fisik dan psikis yang siap merespons berbagai rangsangan yang diterimanya dari luar. Usia dini merupakan masa kritis sebagai pembentukan karakter anak. Kegagalan penanaman karakter pada anak sejak usia dini akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak. Seperti dalam sebuah ungkapan bahwa mendidik anak-anak kecil ibarat menulis di atas batu yang akan terus berbekas sampai usia tua. Sedangkan mendidik orang dewasa ibarat menulis di atas air yang akan cepat sirna dan tidak berbekas. Membiasakan mendidik anak sejak kecil dapat membuahkan hasil yang terbaik. Sebaliknya membiasakannya ketika dewasa sangat sulit, seperti dalam sebuah perumpamaan bahw mendidik anak seperti sebatang dahan, ia akan lurus bila diluruskan. Dahan itu tidak akan bengkok meskipun sudah menjadi sebatang kayu. Thomas Licona (Depkominfo, 2006) mengungkapkan bahwa walaupun jumlah anak-anak hanya 25% dari

jumlah penduduk, tetapi menentukan 100% masa depan. Seorang anak adalah satusatunya bahan dasar dapat membentuk seorang dewasa yang bertanggung jawab. Oleh karena itu orang tua dan juga guru hendaknya selalu mencegah anak-anak dari akhlak yang buruk sejak dini, sebagai bekal meletakkan dasar yang kuat bagi kehidupan di masa datang. Akhlak buruk yang timbul pada diri anak bukanlah lahir dari fitrahnya, melainkan karena kurangnya perhatian sejak dini dari orang tua. Jika semakin dewasa nanti maka akan semakin sulit untuk meninggalkan akhlak buruk tersebut karena sudah mengakar dalam dirinya dan menjadi kebiasaan yang sulit untuk ditinggalkan. Padahal agama mengajarkan bahwa setiap manusia mempunyai fitrah untuk melakukan kebaikan. Fitrah itu merupakan potensi yang perlu dikembangkan melalui pendidikan. Dewasa ini sudah dan sedang terjadi perubahan proses pendidikan dari yang lebih mementingkan kecerdasan otak kiri atau IQ ke arah mementingkan kecerdasan otak kanan atau EQ atau kecerdasan emosional. Kecerdasan otak kiri menekankan pada anak untuk menguasai kemampuan kognitif. Keberhasilannya dtentukan oleh kemampuan anak membaca, menulis, dan berhitung pada usia dini. Kematangan emosi-sosial anak terbentuk sejak usia dini menentukan keberhasilan anak di sekolah dan di masyarakat, serta kehidupannya di masa selanjutnya. Kematangan emosi ditandai antara lain oleh ketertarikan pada sesuatu di sekelilingnya, mempunyai rasa percaya diri, mengetahui kapan dan bagaimana anak meminta pertolongan dari guru atau orang-orang dewasa lainnya, kesabaran menunggu, mematuhi instruksi, dan mampu bekerja sama dengan kelompok (Danil Goleman, 2006). Orang beranggapan keberhasilan akademik anak diukur dengan nilai angka dan ranking bukan pada proses belajar, sehingga anak dipaksa untuk belajar keras. Akibatnya waktu bermain anak tidak ada. Anak akan cepat bosan bahkan mogok belajar, prestasi belajarnya menurun. Pada usia dewasa nanti menjadi sumber daya manusia yang tidak bisa bekerja, atau tidak terampil. Anak tidak menghargai pekerjaan yang memerlukan keterampilan, kerajinan, ketekunan, kerja keras dan cerdas, percaya diri dengan kemampuan sendiri. Selain itu karena tujuannya mencetak anak pandai di bidang akademik kognitif, maka materi pelajaran yang berkaitan dengan otak kiri saja yang diperhatikan yaitu bahasa dan logis matematik. Padahal banyak materi pelajaran yang berkaitan dengan otak kanan (kesenian, musik,) kurang mendapat perhatian. Kalaupun ada perhatian, maka orientasinya juga lebih pada kognitif berupa hafalan, tidak ada apresiasi dan penghayatan yang dapat menumbuhkan semangat untuk belajar. Anak usia dini yang tidak mempunyai bekal kompetensi sosial dan emosional sering tidak berhasil dalam masa-masa belajar di sekolah. Kehidupannya akan menghadapi berbagai masalah emosi, perilaku, akademik, dan perkembangan sosial yang akan terbawa sampai dewasa. Mereka mengalami rendahnya rasa percaya diri dan keingin tahuan, rendahnya motivasi, rendahnya rasa empati, ketidakmampuan mengontol diri, kegagalan bersosialisasi, dan ketidakmampuan bekerja. Daniel Goleman (Depkominfo, 2006:15) beranggapan bahwa keberhasilan seseorang di masyarakat sebagian besar ditentukan oleh kecerdasan emosi (80%) dan hanya 20% ditentukan oleh faktor kecerdasan kognitif (IQ). Beberapa aspek emosi-sosial yang menentukan keberhasilan anak antara lain rasa percaya diri (confidence), rasa ingin tahu (curiosity), kemampuan mengontrol diri (self control), kemampuan bekerja sama (cooperation), memiliki sifat

jujur, bisa diandalkan, bisa dipercaya (amanah), bekerja tepat waktu, mampu dan cepat menyesuaikan diri dengan orang lain, mampu bekerja sama ataupun mandiri, mempunyai motivasi kuat meningkatkan kualitas diri, percaya bahwa dirinya berharga, mampu berkomunikasi, dapat menyelesaikan masalah. Tujuan pendidikan adalah membentuk anak agar senang dan termotivasi untuk terus belajar seraya bermain. Lebih menekankan pada penyiapan kecerdasan emosi sehingga anak diberi kesempatan untuk berkembang secara alami. Anak lebih senang bermain yang dapat mengembangkan fungsi otak kanan, sehingga akan memudahkan anak menguasai pelajaran yang diberikan guru. Anak mengalami proses social emotional learning (kecerdasan emosi), joyful learning (belajar yang menyenangkan), dan active learning (anak terlibat aktif). Anak bukan sekedar objek tetapi subjek pendidikan. Oleh karena itu guru di sekolah dan orang tua di rumah seharusnya memberikan lingkungan yang dapat menumbukan rasa senang dan gembira seolah-olah mereka sedang bermain, padahal sebenarnya sedang belajar. Anak-anak tanpa sadar sedang diberikan pelajaran, seperti berhitung, menulis, atau membaca. Anak tertarik dengan angka dan huruf sehingga anak menjadi lebih banyak bertanya dan ingin tahu untuk diajarkan lebih banyak lagi oleh guru atau orang tuanya. Pada diri anak akan tumbuh rasa cinta untuk belajar, tidak perlu dipaksakan dengan perintah atau pelajaran terlalu kaku, membebani, dan membosankan, sehingga hasilnya tidak optimal. Guru atau orang tua perlu memberikan bekal yang penting bagi anak yaitu menciptakan kematangan emosi-sosialnya, karena dengannya seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademik. Kematangan emosi sosial anak juga berkorelasi positif terhadap kesehatan fisik anak, yaitu anak mampu mengendalikan stress yang dialaminya, karena jika stress tidak dikendalikan akan menyebabkan timbulnya berbagai penyakit. Memenuhi dan melindungi anak berarti menyelamatkan masa depan bangsa. Untuk itu anak-anak mulai golden age hingga menjadi anak-anak bisa berkontribusi yang cukup signifikaan terhadap kemampuannya sehingga Indonesia pada tahun 2015 menjadi mandiri, sejahtera, dan terpadu. DAFTAR PUSTAKA Depdiknas. (2008). Kebijakan Direktorat PAUD tentang Peningkatan Pelayanan Anak Usia Dini. Jakarta: Direktorat Jenderal Depkominfo., (2005). Pentingnya Pendidikan dalam Keluarga. Jakarta: Depkominfo. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2005. Pendidikan Anak Usia Dini dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah. Sunarto. (2008). Kebijakan dan Strategi Program Bina Keluarga Balita (BKB). Jakarta: Depdiknas

Beri Komentar
laksanaan pendidikan nasional berlandaskan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. .: Jalur Pendidikan Jalur pendidikan terdiri atas: 1. pendidikan formal, 2. nonformal, dan 3. informal. Jalur Pendidikan Formal Pendidikan Anak Usia Dini Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar. Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal. Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk: 1. Taman Kanak-kanak (TK), 2. Raudatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk: 1. Kelompok Bermain (KB), 2. Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.

Anda mungkin juga menyukai