Anda di halaman 1dari 9

USAHA TANI AYAM BURAS DI INDONESIA: PERMASALAHAN DAN TANTANGAN

Suryana dan Agus Hasbianto


Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan, Jalan Panglima Batur Barat No. 4, Banjarbaru 70711

ABSTRAK
Ayam buras merupakan salah satu jenis unggas lokal yang berpotensi sebagai penghasil telur dan daging. Di Indonesia, populasi ayam buras tersebar di seluruh pelosok pedesaan dengan pola pemeliharaan umumnya bersifat ekstensif-tradisional. Produktivitas ayam buras umumnya rendah karena sistem pemeliharaan secara ekstensif, pemberian pakan yang belum memperhatikan kualitas dan kuantitas nutriennya, tingkat mortalitas tinggi terutama pada Day Old Chicken (DOC), serta keragaman individu yang cukup besar. Upaya meningkatkan produktivitas ayam buras dapat dilakukan dengan introduksi teknologi pemeliharaan dari ekstensif-tradisional menjadi semiintensif hingga intensif yang didukung dengan perbaikan teknologi perbibitan, pakan, produksi, dan pengendalian penyakit, terutama penyakit tetelo (ND). Tersedianya teknologi usaha tani ayam buras spesifik lokasi diharapkan akan mendukung pengembangan ayam buras yang lebih menguntungkan. Kata kunci: Ayam buras, usaha tani, produktivitas, kendala, Indonesia

ABSTRACT
The local chicken farming in Indonesia: its constraints and challenges Local chicken is one of the poultry which is potential as meat and egg producer. In Indonesia, local chicken population is distributed especially in rural areas and commonly raised extensively or traditionally. Productivity of local chicken is low due to extensive-traditional raising system, using low quality and quantity feed, high mortality mainly on Day Old Chicken (DOC), and high variation amongst the individual. Increasing local chicken productivity could be conducted with introduction of simple technology to change raising system from traditional to semiintensive or intensive including improvement of breeding technology, feeding management, and disease control mainly New Castle Disease (ND). Availability of the location specific technologies will support local chicken development as a profitable farming. Keywords: Local chickens, farming systems, productivity, constraints, Indonesia

yam buras merupakan salah satu unggas lokal yang umumnya dipelihara petani di pedesaan sebagai penghasil telur tetas, telur konsumsi, dan daging. Selain dapat diusahakan secara sambilan, mudah dipelihara dengan teknologi sederhana, dan sewaktu-waktu dapat dijual untuk keperluan mendesak (Rasyid 2002; Mardiningsih et al. 2004), unggas ini mempunyai prospek yang menjanjikan, baik secara ekonomi maupun sosial, karena merupakan bahan pangan bergizi tinggi (Gunawan dan Sundari 2003) serta permintaannya cukup tinggi (Bakrie et al. 2003). Pangsa pasar nasional untuk daging dan telur ayam buras masingmasing mencapai 40% dan 30%. Hal ini dapat mendorong peternak kecil dan menengah untuk mengusahakan ayam
Jurnal Litbang Pertanian, 27(3), 2008

buras sebagai penghasil daging (Iskandar et al. 1998) dan telur (Rohaeni et al. 2004). Produktivitas ayam buras yang dipelihara secara tradisional masin rendah, antara lain karena tingkat mortalitas tinggi, pertumbuhan lambat, produksi telur rendah, dan biaya pakan tinggi (Ariani 1999; Hastono 1999; Gunawan 2002; Zakaria 2004a). Produksi telur ayam buras yang dipelihara secara tradisional berkisar antara 4045 butir/ekor/tahun, karena adanya aktivitas mengeram dan mengasuh anak yang lama, yakni 107 hari (Biyatmoko 2003; Sartika 2005; Sulandari et al. 2007). Untuk meningkatkan populasi, produksi, produktivitas, dan efisiensi usaha tani ayam buras, pemeliharaannya perlu ditingkatkan dari tradisional ke arah agribisnis (Zakaria 2004b; Yudohusodo dalam

Iriyanti et al. 2005). Pengembangan ayam buras secara semiintensif dan intensif dengan pemberian pakan yang berkualitas serta pencegahan dan pengendalian penyakit, terutama tetelo (ND), cacingan, dan kutu, cukup menguntungkan (Muryanto et al. 1995; Gunawan 2002; Usman 2007). Perbaikan tata laksana pemeliharaan dari tradisional ke intensif dapat meningkatkan daya tetas sampai 80%, frekuensi bertelur menjadi 7 kali/tahun, dan menurunkan kematian hingga 19% (Hastono 1999; Sartika 2005). Permasalahan dalam pengembangan ayam buras di pedesaan antara lain adalah skala usaha kecil (pemilikan induk betina kurang dari 10 ekor), produksi telur rendah, berkisar antara 3040 butir/tahun, pertumbuhan lambat, mortalitas tinggi akibat 75

penyakit ND, biaya pakan tinggi, dan diusahakan secara perorangan dengan pemeliharaan tradisional (Muryanto et al. 1994b; Gunawan 2002; Biyatmoko 2003; Rohaeni et al. 2004; Sapuri 2006). Peningkatan produktivitas ayam buras dapat dilakukan melalui perbaikan pakan dan peningkatan mutu genetik (Setioko dan Iskandar 2005; Sapuri 2006), serta pengendalian penyakit secara periodik, terutama ND, cacingan, dan kutu (Lestari 2000; Gunawan 2002; Usman 2007). Makalah ini menyajikan gambaran usaha tani ayam buras oleh petani-peternak di pedesaan, termasuk permasalahan, keuntungan, dan manfaat pada berbagai sistem pemeliharaan.

KERAGAAN DAN POTENSI AYAM BURAS Produktivitas dan Reproduktivitas


Ayam buras memiliki kebiasaan berkeliaran sepanjang hari di pekarangan, kebun maupun di jalanan, dan mencari makan pada timbunan sampah, selokan, tepi saluran air dan jalan (Mansjoer dalam Lestari (2000). Produktivitas ayam buras umumnya rendah karena pemeliharaan masih sederhana dan belum memperhatikan tata laksana yang baik (Muryanto et al. 1994b; 1994c), pemberian pakan tidak seimbang baik kualitas maupun kuantitasnya (Muryanto et al. 1994a; Suryana dan Rohaeni 2006; Septiwan 2007; Usman 2007), dan pencegahan penyakit belum optimal (Lestari 2000; Gunawan 2002). Penurunan produktivitas ayam buras berkaitan erat dengan kinerja reproduksi, yang menurun secara nyata akibat perkawinan in breeding secara terus-menerus (Sastrodihardjo dan Resnawati dalam Tagama 2003). Sartika (2005) menyatakan produktivitas ayam buras beragam, bergantung pada sistem pemeliharaan dan keragaman individu. Upaya meningkatkan produktivitas ayam buras dapat dilakukan melalui introduksi teknologi pemeliharaan dari ekstensif-tradisional menjadi semiintensif atau intensif (Zakaria 2004b). Upaya tersebut dapat dilakukan dengan melaksanakan "Sapta Usaha ayam buras, yang meliputi pemilihan bibit, pencegahan penyakit, perkandangan, pemberian pakan dengan 76

gizi seimbang, sistem reproduksi, pascapanen, pemasaran, dan manajemen usaha (Sartika 2005). Peningkatan produksi dan reproduksi ayam buras antara lain dipengaruhi oleh pakan yang diberikan (Muryanto et al. 1994c; 1995; 2002; Gunawan 2002; Usman 2007), terutama kandungan asam lemak esensial yang berhubungan dengan integritas struktur membran mitokondria dalam organ-organ reproduksi dan fosfolipid sebagai prekusor pembentukan kolesterol (Tranggono 2001). Perkembangan populasi ayam buras di Indonesia relatif lamban. Pada tahun 2006 populasinya tercacat 298.431.917 ekor dengan produksi daging dan telur masing-masing 322.780 ton dan 181.095 butir (Tabel 1). Karakteristik umum ayam buras adalah bobot badannya ringan, hidup soliter, dan sikapnya cepat stres (Tagama 2003). Ayam buras yang dipelihara secara ekstensif umumnya mencapai dewasa kelamin pada umur 67 bulan, bobot badan dewasa 1.4001.600 g/ekor, produksi telur 4045 butir/ekor/tahun, bobot telur 40 g, persentase karkas 75%, mortalitas anak (DOC) 31%, daya tetas 86,65%, dan lama mengeram 21 hari (Biyatmoko 2003). Ciri-ciri kuantitatif ayam buras antara lain bobot badan rata-rata jantan umur 5 bulan 1.222 g, betina 916 g, bertelur pertama pada

umur 6,37 bulan, bobot telur 41,60 g, dan daya tetas telur 84,60% (Septiwan 2007). Produksi telur ayam buras yang dipelihara secara intensif mencapai 151 butir/tahun, bahkan setelah mengalami seleksi yang ketat, produksi telur meningkat menjadi 170230 butir/tahun (Syamsari 1997). Bobot potong dan persentase karkas ayam buras jantan umur 12 minggu masingmasing mencapai 713,70 g dan 60,05%. Karkas meliputi punggung 11%, sayap 15,81%, dada 24,20%, paha atas 19%, dan paha bawah 18% (Muryanto et al. 2002). Iskandar et al. (1998) menyatakan pertambahan bobot badan dan persentase karkas ayam buras pada umur 12 minggu masing-masing sebesar 704 g dan 62,89%, lebih rendah dibanding silangannya yang mencapai masing-masing 844 g dan 64,93%. Soeparno (1992) mengemukakan bobot potong dan persentase karkas ayam buras jantan umur 67 bulan masingmasing 1.264,88 g dan 65,18%. Produktivitas ayam buras berdasarkan umur induk berbeda nyata (Tabel 2). Induk berumur 612 bulan menghasilkan telur dengan fertilitas dan daya tetas yang lebih tinggi dibanding induk berumur 18 bulan, tetapi bobot telur dan bobot tetas telur yang dihasilkan induk berumur 18 bulan lebih tinggi, masing-masing 42,47 g/butir dan 30,48 g/ekor.

Tabel 1. Populasi dan produksi ayam buras di Indonesia, 2003 2006.


Uraian Populasi (ekor) Produksi daging (t) Produksi telur (butir) 2003 275.291.873 298.516 177.015 2004 277.357.037 296.421 172.147 2005 276.989.054 301.427 175.428 2006 298.431.917 322.780 181.095

Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan (2006).

Tabel 2. Produktivitas ayam buras berdasarkan umur induk.


Umur ayam Parameter Muda (6 bulan) 3,24 37,04 76,04 575,51 4,48 90,20 93,34 84,25 26,22 Sedang (12 bulan) 2,21 41,12 75,12 598,24 6,99 86,02 93,86 80,99 28,28 Tua (18 bulan) 1,78 42,47 75,21 533,34 7,34 77,59 88,21 68,35 30,48

Produksi telur (butir/ekor/minggu) Bobot telur (g/butir) Indeks telur (%) Konsumsi pakan (g/ekor/minggu) Konversi pakan Fertilitas telur (%) Daya tetas/telur fertil (%) Daya tetas/telur masuk (%) Bobot tetas (g/ekor) Sumber: Septiwan (2007).

Jurnal Litbang Pertanian, 27(3), 2008

Peran Ayam Buras


Ayam buras memiliki peran cukup penting bagi masyarakat pedesaan, yaitu sebagai penghasil telur, daging, anak, kotoran, dan bulu (Lestari 2000), serta sumber tambahan penghasilan dan sebagai tabungan hidup yang sewaktu-waktu dapat dijual (Syamsari 1997; Sapuri 2006). Menurut Nurmanaf dan Nasution dalam Fuadi (1996), usaha beternak ayam buras di daerah transmigrasi Provinsi Jambi dapat memberikan tambahan pendapatan rumah tangga petani, walaupun dilakukan secara tradisional. Pemeliharaan ayam buras dalam kandang baterai dan diumbar secara terbatas, dengan menerapkan teknologi perbaikan pakan, perlakuan fisik, inseminasi buatan, dan penetasan mampu meningkatkan keuntungan 22,70 kali lebih tinggi dibanding model pemeliharaan yang hanya memproduksi telur konsumsi. Jumlah telur yang ditetaskan mencapai 50% dari seluruh telur yang dihasilkan (Muryanto et al. 1995). Motivasi utama petani memelihara ayam buras adalah sebagai tabungan tidak terurus, artinya petani hanya bertujuan untuk memperoleh hasil tanpa ada tindakan meningkatkan nilai ternak (Wihandoyo dan Mulyadi 1986).

Sistem Pemeliharaan
Ayam buras mempunyai potensi besar untuk dikembangkan, terutama di pedesaan, karena mampu memanfaatkan limbah pertanian dan limbah dapur, serta sebagai pengendali serangga. Ayam buras merupakan bagian dari usaha tani di pedesaan, sehingga dapat membuka lapangan kerja dan dikembangkan dengan modal kecil (Gunawan 2002). Setiadi et al. (1986) menyatakan, ayam buras dapat berkembang pada berbagai tipologi lahan. Ayam buras dapat berkembang dengan baik ada lahan gambut dan pasang surut, karena pada lahan tersebut tersedia pakan berupa serangga dan cacing sebagai sumber protein. Produktivitas ayam buras tidak berbeda pada berbagai tipologi lahan, karena lebih banyak dipengaruhi oleh manajemen pemeliharaan. Produksi telur rata-rata berkisar antara 614 butir/periode bertelur (clutch) dan daya tetas 20100% (Desmayati dan Supriadi dalam Suriadikarta dan Sutriadi 2007).
Jurnal Litbang Pertanian, 27(3), 2008

Seperti halnya ayam buras yang dipelihara petani di Pulau Jawa, produksi telur masih rendah, berkisar antara 3050 butir/tahun. Rendahnya produksi disebabkan oleh lamanya periode mengasuh anak dan istirahat bertelur (Biyatmoko 2003). Periode istirahat bertelur sekitar 34 kali/ tahun, dengan produksi telur tiap periode bertelur 1015 butir. Di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, pemeliharaan ayam buras secara intensif pada kandang baterai, skala pemeliharaan 50 100 ekor, dan dengan tata laksana pemberian pakan yang baik, mampu menghasilkan telur 2030 butir/periode bertelur. Ketinggian tempat atau topografi mempengaruhi produktivitas ayam buras (Nataamidjaja et al. 1990; Lestari 2000; Khalil et al. 2001; Zakaria 2004a). Pada dataran rendah dengan suhu lingkungan tinggi, produksi telur dan konsumsi pakan menurun. Produksi telur tertinggi dicapai pada suhu lingkungan yang optimal, karena energi yang dikeluarkan untuk pengaturan panas menjadi minimal. Produksi telur ayam buras di dataran tinggi rata-rata mencapai 607,60 butir/ tahun, bobot telur 42,70 g, daya tetas 76,80%, bobot badan 197,90 g, dan bobot karkas 60,40% (Nataamidjaja et al. 1990). Di dataran rendah, produktivitasnya lebih rendah, yaitu produksi telur rata-rata 455,50 butir/tahun, bobot telur 38,80 g, daya tetas 79,20%, bobot badan sampai umur 6 minggu 177,29 g, dan persentase karkas 53,70%. Lestari (2000) dan Khalil et

al. (2001) mengemukakan, di dataran tinggi (680 m dpl.) ayam buras mampu menghasilkan telur 10,15 butir/periode bertelur, dengan daya tetas 92,20%, bobot badan anak 108,71 g, serta bobot badan jantan dan betina muda masing-masing 530,06 g dan 470,09 g. Pada dataran rendah (190 m dpl.), produksi telur 10,22 butir/ periode bertelur, daya tetas 78%, bobot badan anak 91,26 g, serta bobot badan jantan dan betina muda masing-masing 508,07 g dan 496,56 g. Penampilan ayam buras yang dipelihara secara tradisional, semiintensif, dan intensif disajikan pada Tabel 3. Pemeliharaan secara intensif memberikan hasil lebih baik, yang ditunjukkan oleh bobot badan jantan dan betina umur 5 bulan, produksi telur, frekuensi bertelur, daya tunas, dan daya tetas yang lebih tinggi, sementara konversi pakan dan mortalitas lebih rendah dibanding cara tradisional dan semiintensif. Pemeliharaan ayam buras secara intensif di Desa Bollangi, Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan oleh 30 peternak dengan skala pemeliharaan 125 ekor, dan 50 peternak semiintensif dengan jumlah 150 ekor, lebih menguntungkan dibanding cara tradisional. Keuntungan yang diperoleh masing-masing adalah Rp1.118.625 dan Rp872.912 (Rasyid 2002) (Tabel 4). Pada pemeliharaan ayam buras sistem eram asuh dan eram pisah selama 6 bulan, keuntungan yang diperoleh masingmasing sebesar Rp16.887,90 dan

Tabel 3. Penampilan ayam buras yang dipelihara secara tradisional, semiintensif, dan intensif.
Parameter Jumlah ayam yang dipelihara (ekor/peternak) Bobot badan umur 5 bulan Jantan (kg) 1 Betina (kg) 1 Umur pertama bertelur (bulan)1 Produksi telur (butir/induk/tahun) 1 Produksi telur (%)2 Frekuensi bertelur (kali/tahun)2 Bobot telur (g/butir)2 Daya tetas (%)1 Mortalitas hingga umur 6 minggu (%)1 Mortalitas mulai produktif hingga afkir (%)2 Konversi pakan 2 Konsumsi pakan (g/ekor/hari) 2
1

Sistem pemeliharaan Tradisional 20,20 30,20 13 2,50 3948 78,20 50,30 >15 >10 < 60 Semiintensif 33,50 636 583 8,50 59,10 29 6 3948 78,10 42,60 15 810 6080 Intensif 104 734 680 7,50 80,30 44 7,50 3943 83,70 27,20 < 27 4,906,40 80100

Sumber: 1Sinurat dalam Lestari (2000); 2Diwyanto et al. dalam Sulandari et al. (2007).

77

Tabel 4. Perbandingan keuntungan beternak ayam buras dengan pemeliharaan semiintensif dan intensif.
Komponen Penerimaan (Rp) Penjualan 25 ekor ayam @ Rp40.000 (Rp) Penjualan telur (Rp) Pengeluaran (Rp) Biaya bibit (Rp) Biaya pakan (Rp) Biaya obat-obatan (Rp) Biaya listrik (Rp) Biaya tenaga kerja (Rp) Lain-lain (Rp) Keuntungan bersih (Rp) B/C ratio Sumber: Rasyid (2002). Sistem pemeliharaan Intensif 2.050.000 1.000.000 1.050.000 931.375 400.000 276.375 50.000 25.000 150.000 30.000 1.118.625 1,73 Semiintensif 1.530.000 750.000 780.000 657.088 400.000 202.088 25.000 30.000 872.912 1,75

Rp20.762,90/7 ekor/6 bulan (Muryanto et al. 1994c), serta Rp76.385/50 ekor/6 bulan (Muryanto et al. 1994b). Introduksi paket teknologi yang terdiri atas tata laksana pemeliharaan induk, pemisahan anak ayam setelah menetas, vaksinasi ND secara teratur, dan IB mampu meningkatkan pendapatan peternak ayam buras di daerah pasang surut Kabupaten Pontianak Kalimantan Barat sebesar Rp353.500/tahun. Kontribusi pendapatan dari usaha ayam buras ini meningkat dari 1,60% menjadi 25,10% terhadap total pendapatan peternak (Togatorop dan Juarini 1993). Di Jawa Barat, pemeliharaan ayam buras dengan perbaikan teknologi meningkatkan pendapatan Rp327.322/tahun (Soepeno et al. 1993).

pemasaran ayam buras di kabupaten tersebut adalah dari peternak pedagang keliling pedagang pengumpul pedagang besar/poultry shop konsumen (Juarini et al. dalam Gunawan 2002). Sementara Prahmadiyan (1999) menyatakan, jalur pemasaran ayam buras di Desa Wangunjaya, Kecamatan Cisaga, Kabupaten Ciamis dimulai dari peternak (100%) pengumpul desa (70%) pengumpul wilayah (49%) pengumpul antarwilayah (49%) pengencer atau pengumpul desa (30%).

KETERSEDIAAN DAN KEBUTUHAN TEKNOLOGI


Teknologi pemeliharaan merupakan faktor yang menentukan dalam usaha tani ayam buras secara keseluruhan. Teknologi produksi tersebut antara lain meliputi: teknologi perbibitan, pakan, dan pengendalian penyakit.

Jalur Pemasaran
Telur dan daging ayam buras memiliki pangsa pasar tersendiri. Hal ini ditunjukkan oleh harganya yang melebihi telur dan daging ayam ras serta konsumennya banyak (Prahmadiyan 1999; Lestari 2000). Ayam buras yang diperdagangkan sebagian besar (7090%) merupakan ayam buras muda (Yuwono et al. dalam Zakaria 2004b). Menurut Iskandar et al. dalam Gunawan (2002), pemasaran anak ayam buras di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat hanya dilakukan bila ada pemesanan, dengan harga telur dan ayam di tingkat peternak masing-masing 1020% dan 5 10% lebih murah dari harga pasar. Jalur 78

Teknologi Perbibitan
Usaha peningkatan produktivitas ayam buras dapat dilakukan melalui perbaikan sistem pemeliharaan, pakan, pengendalian penyakit, dan perbaikan mutu genetik. Secara sederhana, perbaikan mutu genetik dapat dilakukan dengan melakukan seleksi terhadap sifat-sifat yang dikehendaki dan kawin silang (crossing) (Iskandar et al.

dalam Lestari 2000). Pemanfaatan keragaman genetik dilakukan untuk meningkatkan produksi telur dan mengurangi sifat mengeram (Sartika 2005), sedangkan penyilangan dapat meningkatkan produksi telur dan mempercepat pertumbuhan daging. Persilangan antara ayam pelung jantan (F3) dan ayam buras betina umur 15 minggu menghasilkan bobot badan 1.700 g/ekor, lebih tinggi dibanding ayam buras dan pelung pada umur yang sama, masing-masing 875 g dan 1.460 g/ekor (Iskandar et al. 1998). Menurut Iriyanti et al. (2007), tolok ukur keberhasilan usaha perbibitan ayam buras adalah fertilitas, daya tetas telur, dan kualitas anak ayam yang dihasilkan. Kualitas telur yang baik akan menghasilkan daya tetas dan kualitas tetas yang tinggi. Tri-Yuwanta (1997) mengemukakan bahwa keberhasilan perbibitan ayam buras, selain ditentukan oleh kualitas induk dan telur tetas yang dihasilkan, serta gizi yang dikonsumsi induk, juga oleh nilai gravitasi spesifik. Nilai gravitasi spesifik diharapkan dapat menjadi parameter seleksi terhadap telur sebelum ditetaskan, sehingga daya tetasnya tinggi dan meningkatkan efisiensi ekonomi telur. Telur yang tidak menetas dapat digunakan sebagai telur konsumsi. Nilai gravitasi spesifik yang tinggi meningkatkan daya tetas telur rata-rata menjadi 91,67%, sedangkan pada nilai gravitasi spesifik yang rendah, daya tetas telur rata-rata hanya 53,05% (Tri-Yuwanta 1997). Suryana dan Rohaeni (2006) membandingkan perkawinan alami dan IB pada ayam buras yang dipelihara secara semiintensif dan intensif di Desa Rumintin Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan. Hasilnya menunjukkan bahwa produksi telur, fertilitas, daya tetas, dan mortalitas DOC hasil lB berturut-turut mencapai 23,35%, 80,90%, 45,94%, dan 13,70%, sedangkan melalui perkawinan alami produksi telur, fertilitas, daya tetas dan mortalitas DOC, masing-masing 21,73%, 76,30%, 27,28%, dan 27,10%. Penggunaan IB pada ayam merawang dengan ulangan waktu IB yang berbeda dilaporkan ImanRahayu et al. (2005). Ulangan waktu IB yang lebih cepat (4 hari) menghasilkan fertilitas dan daya tetas rata-rata masingmasing 85,02% dan 79,27%, lebih tinggi dibanding ulangan waktu IB 7 dan 10 hari (Tabel 5). Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan Suryana dan Rohaeni (2006), bahwa fertilitas telur hasil lB lebih tinggi dibanding perkawinan alami.
Jurnal Litbang Pertanian, 27(3), 2008

Tabel 5. Pengaruh pengulangan inseminasi buatan terhadap kualitas dan keragaan telur tetas ayam merawang.
Parameter Bobot telur (g/butir) Bobot tetas (g/ekor) Indeks telur tetas (%) Kebersihan telur tetas (%) Fertilitas I (%) Fertilitas II (%) Daya tetas I (%) Daya tetas II (%) Daya tetas III (%) Viabilitas DOC (%) Sumber: Iman-Rahayu et al. (2005). Ulangan inseminasi buatan (hari) 4 44,71 30,17 78,09 70,58 85,02 79,34 67,44 75,70 79,27 83,93 7 45,77 30,16 77,60 70,96 68,37 58,99 62,07 62,09 67,26 90,37 10 44,38 29,29 77,02 69,72 68,69 57,35 67,54 60,82 67,54 90,63

Teknologi Pakan
Faktor utama penyebab kegagalan model pengembangan ternak ayam buras adalah rendahnya kandungan protein pakan dan kurangnya kesadaran peternak dalam melaksanakan pengendalian penyakit, terutama ND, cacingan, dan kutu (Gunawan 2002). Upaya optimalisasi produksi ayam buras salah satunya dapat dilakukan dengan perbaikan pakan dan membuat pakan murah dengan tetap memperhatikan kandungan zat-zat nutrien di dalamnya (Muryanto et al. 1994c). Penyusunan pakan ayam buras pada prinsipnya sama dengan pakan ayam ras, yaitu membuat pakan dengan kandungan gizi sesuai dengan kebutuhan ayam agar pertumbuhan daging dan produksi telur sesuai dengan yang diharapkan (Sinurat 1991; 1999). Pemberian pakan dengan tingkat protein kasar 17% dan energi metabolis 2.900 kkal/kg, menghasilkan konsumsi pakan 64,629 g/ekor/90 hari, pertambahan bobot badan 92,25 g/ekor, bobot telur 40,02 g, konversi pakan 6,43, dan hen day production 30,64%, dengan Income Over Feed Cost (IOFC) Rp18.068,196 (Lumentha 1997), serta Rp14.770Rp25.094 (Hartati 1997). Kandungan zat-zat nutrien pakan ayam buras disajikan pada Tabel 6. Penggunaan probiotik dalam pakan menghasilkan tingkat produksi telur 1.089 butir/50 ekor/10 minggu, konsumsi ransum 286 kg 150 ekor/10 minggu, konversi pakan 6,107,30, dan pendapatan atas biaya pakan Rp153.000 (Gunawan dan Sundari 2003). Menurut Iskandar et al. dalam
Jurnal Litbang Pertanian, 27(3), 2008

Nasution (2000), ayam buras tergolong efisien dalam menggunakan imbangan energi metabolis, masing-masing 3.200 kkal/kg dan protein kasar 17%. Pemberian pakan dengan kandungan protein kasar 14,60% dan 18% tidak berpengaruh nyata terhadap produksi telur. Pemberian pakan dengan energi metabolis 2.8002.900 kkal/ kg dan protein kasar 17% pada ayam buras umur 1618 bulan selama pemeliharaan 90 hari, menghasilkan konsumsi pakan 63.71764.692 g/ekor, bobot telur 40,02 41,57 g, konversi pakan 4,876,43, hen day production 30,6935,47%, dan IOFC Rp18.068Rp48.899 (Lumentha 1997). Pemberian campuran pollard 5% dan duckweed 15% dalam pakan ayam buras umur 612 minggu dapat meningkatkan bobot badan akhir (780,44906,53 g), bobot karkas (501,67563,33 g), dan persentase karkas 66,4969,35% (Arief 2000). Sementara suplementasi 4% minyak ikan dan 2% minyak jagung dengan 200 ppm ZnCO3 dalam pakan memberikan efek

terbaik terhadap produksi dan imbangan asam omega 3 dan 6 dalam telur (Rusmana et al. 2002). Rizal et al. (2003) mengemukakan bahwa pemberian ampas sagu dan eceng gondok yang difermentasi dengan Trichoderma harzianum sebanyak 7,50 30% dalam pakan ayam buras betina umur 14 minggu, menghasilkan pertambahan bobot badan 425,99514,60 g, konversi pakan 9,119,84, bobot hidup 807,67 898,21 g, dan persentase karkas 52,77 62,67%. Penggunaan ampas tahu kering 510% menghasilkan bobot badan akhir 1.3701.380 g, pertambahan bobot badan 99,28113,75 g/ekor/minggu, konsumsi pakan 454,87468,07 g/ekor/minggu, konversi pakan 4,414,70, dan mortalitas 6,6713,33% (Usman 2007). Uhi dan Usman (2007) mengemukakan bahwa paket teknologi integrasi ayam buras dan jagung dalam rangka meningkatkan ketersediaan pakan di Koya Tengah, Kecamatan Muaratami, Kota Jayapura lebih menguntungkan dibanding paket teknologi nonintegrasi (Tabel 7).

Teknologi Pengendalian Penyakit


Penyakit yang sering menyerang ayam buras adalah tetelo, gumboro, fowl fox, snot, CRD, avian influenza, pulorum, dan koksidiosis (Zainuddin dan Wibawan 2007). Penyakit tetelo pada ayam buras dapat mencapai tingkat morbiditas dan mortalitas 80100%. Tingkat mortalitas pada anak ayam umur 02 bulan mencapai 53,80%, umur 01 bulan 29,40%, dan umur 12 bulan 24,40% (Subiharta et al. dalam Sinuraya 2001). Pada pemeliharaan secara tradisional, mortalitasnya mencapai 56% (Sinurat et al. dalam Lestari 2000). Tingginya mortalitas salah satunya disebabkan oleh tata laksana pemeliharaan DOC yang

Tabel 6. Kandungan zat nutrien dalam pakan ayam buras.


Zat nutrien Energi metabolis (kkal/kg) Protein kasar (%) Kalsium (%) Fosforus tersedia (%) Metionin (%) Lisin (%) Sumber: Sinurat (1999). Umur (minggu) 012 2.600 1517 0,90 0,45 0,37 0,87 1222 2.400 14 1 0,40 0,21 0,45 > 22 (dewasa) 2.4002.600 14 3,40 0,34 0,220,30 0,68

79

Tabel 7. Keragaan ayam buras secara integrasi dan nonintegrasi dengan tanaman jagung.
Uraian Bobot badan awal (g/ekor) Bobot badan akhir (g/ekor) Pertambahan bobot badan harian (g/ekor) Konsumsi pakan (g/ekor) Konversi pakan Mortalitas (%) Pupuk kandang (g/ekor) Sumber: Uhi dan Usman (2007). Paket teknologi Sistem integrasi 520 1.490 970 410 4,23 6,67 39,86 Nonintegrasi 550 720 170 48,88

kurang baik, dan petani jarang melakukan vaksinasi penyakit ND secara teratur. Mortalitas ayam buras selama 24 minggu pada kandang baterai berkisar antara 7,60%9,30%, sedangkan pada kandang umbaran 6,307,30%. Vaksinasi ND secara teratur 3 bulan sekali serta pengendalian penyakit cacingan dan desinfeksi kandang dapat menurunkan mortalitas hingga 50%/tahun (Gunawan 2002). Nataamidjaja et al. (1990) menyatakan tingkat mortalitas ayam buras pada umur 6 minggu mencapai 68% akibat serangan penyakit menular, pemberian pakan dengan jumlah dan kualitas rendah, kecelakaan, dan serangan predator. Mortalitas ayam buras umur 4 minggu yang dipelihara secara ekstensif umumnya disebabkan oleh serangan kucing dan musang (35,80%), kelemahan fisik (19,70%), masuk kolam (15,20%), sakit mata (13,50%), dipatuk induknya (9,10%), dan tidak diketahui penyebabnya (10,60%) (Lulusno 1991). Sinuraya (2001) melaporkan bahwa mortalitas ayam buras di Desa Cileuteuh Ilir dan Cengal, Kabupaten Bogor disebabkan penyakit berkisar antara 32,2554,38%, kecelakaan 10,53 29,03%, dan manajemen 20,0335,08%. Sinurat dalam Gunawan (2002) mengemukakan, pemeliharaan ayam buras secara intensif mampu menekan mortalitas anak ayam umur 6 minggu hingga 50,30%, dan pada sistem pemeliharaan ekstensif sebesar 27,20%. Sementara vaksinasi ND secara teratur mampu menurunkan mortalitas ayam dewasa dari 23,60% menjadi 9,50% (Prabowo et al. 1992). Ada dua cara mengatasi penyakit pada ayam buras, yaitu dengan program pengendalian dan pembasmian. Program

pengendalian meliputi: 1) menjauhkan ternak dari kemungkinan tertular penyakit yang berbahaya, 2) meningkatkan daya tahan tubuh ternak dengan vaksinasi, pengelolaan dan pengawasan yang baik, dan 3) melakukan diagnosis dini secara cepat dan tepat. Program pembasmian penyakit dapat dilakukan melalui: 1) test and slaughter, yaitu apabila ternak dicurigai positif menderita penyakit pulorum, CRD atau lainnya harus dimusnahkan, 2) test and treatment, bila diketahui ada penyakit dilakukan pengobatan, dan 3) stamping out, yaitu bila terjadi kasus penyakit menular dan menyerang seluruh ayam di peternakan, maka ayam, kandang, dan peralatan harus dimusnahkan (Zainuddin dan Wibawan 2007).

PROSPEK PENGEMBANGAN AYAM BURAS


Model pengembangan usaha ayam buras merupakan suatu perangkat pengembangan yang dapat diintroduksikan dan dikembangkan oleh petani-peternak di pedesaan. Perangkat tersebut terdiri atas masukan, luaran, hasil, dampak, dan faktor-pendukung (Gunawan 2002). Pengembangan ayam buras terutama diprioritaskan untuk peternakan rakyat, karena teknologinya sederhana, dapat dilaksanakan secara sambilan, mudah dipelihara, cocok untuk skala usaha keluarga di pedesaan, daya adaptasinya tinggi, serta lebih tahan terhadap penyakit dibanding ayam ras (Mardiningsih et al. 2004). Namun, pengembangan ayam buras

skala pedesaan menghadapi beberapa kendala, antara lain skala kepemilikan relatif kecil (510 ekor/KK), modal petanipeternak terbatas, akses untuk meminjam modal dalam pengembangan skala usaha terbatas, belum adanya standardisasi pakan, dan mortalitas akibat penyakit tinggi. Menurut Gunawan (2002) dan Rohaeni et al. (2004), skala pemeliharaan ayam buras yang menguntungkan adalah lebih dari 50 ekor/KK. Di Jawa Barat dan Jawa Timur, pemeliharaan ayam buras berkembang dengan pesat karena berbagai faktor, antara lain: 1) kesesuaian lokasi geografis, 2) petani-peternak menyenangi memelihara ayam buras, 3) cara pemeliharaannya mudah dan tidak membutuhkan modal besar, dan 4) pemeliharaan merupakan usaha sampingan atau tabungan (Sehabuddin dan Agustian 2001). Pengembangan ayam buras dengan pola pemeliharaan intensif melalui program pemerintah, seperti Sentra Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan (SPAKU), Program Pertanian Rakyat Terpadu (PRT), dan Usaha Khusus (UPSUS), menunjukkan hasil yang baik, walaupun produksi telur lebih rendah dibanding pemeliharaan yang dilakukan oleh peternak tanpa bantuan pemerintah (Gunawan 2002). Hal ini menunjukkan bahwa ayam buras memiliki potensi dan prospek yang besar untuk dikembangkan dalam rangka meningkatkan pendapatan petani-peternak di pedesaan. Di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, pemeliharaan ayam buras secara intensif pada kandang baterai dengan skala pemilikan 2002.000 ekor/ KK, memberikan kontribusi terhadap pendapatan keluarga hingga 100%, sementara di Kabupaten Tapin dengan skala pemeliharaan 10100 ekor/KK kontribusinya sebesar 8,65% (Rohaeni et al. 2004). Di Jawa Barat dan Jawa Timur, usaha peternakan ayam buras memberikan kontribusi terhadap total pendapatan rumah tangga peternak, masing-masing sebesar 14,90% dan 12,90% (Sehabuddin dan Agustian 2001). Pemeliharaan ayam buras secara intensif sebanyak 44 ekor/ KK selama 24 minggu mampu meningkatkan pendapatan petani-peternak dari 40,90% menjadi 48,47% atau dari Rp360.000 menjadi Rp917.000/tahun (Gunawan 2002). Petani-peternak banyak yang memelihara ayam buras karena mampu

80

Jurnal Litbang Pertanian, 27(3), 2008

memberikan kontribusi yang cukup besar dalam menopang perekonomian keluarga. Telur dan daging ayam buras mampu bersaing dengan ayam ras dan harganya relatif stabil serta konsumennya luas. Ayam buras tersebar luas dan sebagian besar masyarakat di pedesaan memiliki dan memeliharanya, sehingga sangat mendukung untuk dikembangkan dalam menunjang peningkatan pendapatan keluarga petani-peternak di pedesaan (Syamsari 1997), serta cocok untuk usaha sampingan selain bercocok tanam (Mardiningsih et al. 2004). Mengingat persepsi masyarakat yang positif terhadap ayam buras dan produknya, maka perlu adanya dorongan dari berbagai instansi terkait dalam rangka mewujudkan salah satu program pemerintah yaitu ketahanan

pangan dan kecukupan daging pada tahun 2010 mendatang.

KESIMPULAN DAN SARAN


Produktivitas ayam buras beragam, bergantung pada sistem pemeliharaan dan keragaman individu baik produksi telur, pertambahan bobot badan, dan tingkat mortalitas yang tinggi terutama pada DOC dan ayam muda. Pola pemeliharaan ayam buras pada umumnya masih dilakukan secara ekstensif-tradisional, dengan skala pemeliharaan 510 ekor/KK dan pemberian pakan seadanya. Pemeliharaan ayam buras secara semiintensif dan intensif, dengan skala kepemilikan lebih dari 50 ekor/KK lebih menguntungkan dibanding peme-

liharaan secara tradisional. Ketersediaan dan dukungan teknologi spesifik lokasi, antara lain teknologi perbibitan, pakan, dan pengendalian penyakit, diharapkan dapat meningkatkan produksi dan produktivitas ayam buras. Untuk meningkatkan efisiensi usaha tani ayam buras, sebaiknya pemeliharaannya dilakukan secara semiintensif atau intensif, perbaikan kualitas dan kuantitas pakan, dengan skala pemeliharaan ditingkatkan, vaksinasi ND dan pencegahan penyakit lainnya secara teratur, serta sanitasi kandang dan lingkungan. Sanitasi kandang dan lingkungannya dapat dilakukan dengan desinfeksi dan fumigasi secara teratur untuk mencegah timbulnya penyakit yang dapat merugikan dan menimbulkan mortalitas yang lebih tinggi.

DAFTAR PUSTAKA
Ariani. 1999. Perspektif pengembangan ayam buras di Indonesia (Tinjauan dari aspek konsumsi daging ayam). hlm. 700705. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 12 Desember 1998. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Arief, D.A. 2000. Evaluasi ransum yang menggunakan kombinasi pollard dan duckweed terhadap persentase berat karkas, bulu, organ dalam, lemak abdomminal, panjang usus dan sekum ayam kampung. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bakrie, B., D. Andayani, M. Yanis, dan D. Zainuddin. 2003. Pengaruh penambahan jamu ke dalam air minum terhadap preferensi konsumen dan mutu karkas ayam buras. hlm. 490495. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner Iptek untuk Meningkatkan Kesejahteraan Petani melalui Agribisnis Peternakan yang Berdaya Saing. Bogor, 2930 September 2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Biyatmoko, D. 2003. Permodelan usaha pengembangan ayam buras dan upaya perbaikannya di pedesaan. Makalah disampaikan pada Temu Aplikasi Paket Teknologi Pertanian Subsektor Peternakan. Banjarbaru, 89 Desember 2003. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan, Banjarbaru. hlm. 110. Direktorat Jenderal Peternakan. 2006. Statistik Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta. Fuadi, A. 1996. Analisis Permintaan Ayam Kampung oleh Restoran di Kotamadya Pontianak. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Gunawan. 2002. Evaluasi Model Pengembangan Usaha Ternak Ayam Buras dan Upaya Perbaikannya. Disertasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Jurnal Litbang Pertanian, 27(3), 2008 Gunawan dan M.M.S. Sundari. 2003. Pengaruh penggunaan probiotik dalam ransum terhadap produktivitas ayam. Wartazoa 13(3): 9298. Hartati, R. 1997. Penampilan Ayam Kampung Umur 2022 Bulan dengan Frekuensi Pemberian Pakan yang Berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Hastono. 1999. Peluang pengembangan ayam buras di lahan pasang surut Karang Agung Ulu, Sumatera Selatan. hlm. 691699. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 12 Desember 1998. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Iman-Rahayu, H.S., Suherlan, dan I. Supriyatna. 2005. Kualitas telur tetas ayam merawang dengan waktu pengulangan inseminasi buatan yang berbeda. J. lndon. Trop. Anim. Agric. 30(3): 142150. Iriyanti, N., Zuprizal, Tri-Yuwanta, dan S. Keman. 2005. Pengaruh penggunaan minyak ikan lemuru dan minyak kelapa sawit dalam pakan terhadap profil metabolisme lemak pada darah ayam kampung jantan. J. Anim. Prod. 7(2): 5966. Iriyanti, N., Zuprizal, Tri-Yuwanta, dan S. Keman. 2007. Penggunaan vitamin E dalam pakan terhadap fertilitas, daya tetas dan bobot tetas telur ayam kampung. J. Anim. Prod. 9(1): 3639. Iskandar, S., D. Zainuddin, S. Sastrodihardjo, T. Sartika, P. Setiadi, dan T. Susanti. 1998. Respons pertumbuhan ayam kampung dan ayam persilangan pelung terhadap ransum berbeda kandungan protein. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 3(1): 814. Khalil, I.D., Afrianis, dan S. Jalaluddin. 2001. Performans ayam buras yang dipelihara secara ekstensif pada dua daerah dengan agroekosistem yang berbeda di Kabupaten Tanah Datar. Media Peternakan. Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Peternakan 24 (2): 3437. Lestari, S. 2000. Produktivitas Ayam Kampung di Dua Desa yang Berbeda Topografinya di Kabupaten Bogor. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Lulusno. 1991. Pengaruh Periode Bertelur terhadap Pertambahan Bobot Badan dan Mortalitas Anak Ayam Kampung pada Pemeliharaan Ekstensif. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Lumentha, L. 1997. Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Usaha Ternak Ayam Kampung di Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Mardiningsih, D., T.M. Rahayuning, W. Roesali, dan D.J. Sriyanto. 2004. Tingkat produktivitas dan faktor-faktor yang mempengaruhi tenaga kerja wanita pada peternakan ayam lokal intensif di Kecamatan Ampal Gading, Kabupaten Pemalang Jawa Tengah. hlm. 548554. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004. Buku II. Bogor, 45 Agustus 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Muryanto, W. Dirdjopranoto, Subiharta, dan D.M. Juwono. 1994a. Rakitan hasil-hasil penelitian ayam buras di Sub Balai Penelitian Ternak Klepu. Usaha ternak skala kecil sebagai basis industri peternakan di daerah padat penduduk. hlm. 98114. Prosiding Pertemuan Nasional Pengolahan dan Komunikasi Hasil-Hasil Penelitian. Semarang, 8 9 Februari 1994. Sub Balai Penelitian Ternak Klepu, Semarang. Muryanto, Subiharta, dan D.M. Juwono. 1994b. Studi manajemen produksi telur tetas pada

81

pemeliharaan ayam buras di pedesaan. Jurnal IImiah Penelitian Ternak Klepu 1(2): 18. Muryanto, Subiharta, D.M. Juwono, dan W. Dirdjopranoto. 1994c. Optimalisasi produksi telur ayam buras melalui perbaikan pakan dan tata laksana pemeliharaan. Jurnal Ilmiah Penelitian Ternak Klepu 1(2): 914. Muryanto, Subiharta, D.M. Juwono, dan W. Dirdjopranoto. 1995. Studi manajemen pemeliharaan ayam buras untuk memproduksi anak ayam umur sehari (DOC). Jurnal Ilmiah Penelitian Ternak Klepu (3): 17. Muryanto, P.S. Hardjosworo, R. Herman, dan H. Setijanto. 2002. Evaluasi karkas hasil persilangan antara ayam kampung jantan dengan ayam ras petelur betina. J. Anim. Prod. 4(2): 7176. Nasution, W.R. 2000. Evaluasi Nilai Energi Metabolis Ransum yang Mengandung Kulit Buah Kopi pada Ayam Kampung. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Nataamidjaja, G., H. Resnawati, T. Antawijaya, I. Barehilla, dan D. Zainuddin. 1990. Produktivitas ayam buras di dataran tinggi dan dataran rendah. Jurnal Ilmu dan Peternakan 4(3): 283286. Prabowo, A. Tikupandang, M. Sabrani, dan U. Kusnadi. 1992. Tingkat adopsi teknologi oleh peternak dan potensi produksi ayam buras di daerah transmigrasi Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. hlm. 116120. Prosiding Pengolahan dan Komunikasi Hasil-Hasil Penelitian Unggas dan Aneka Ternak. Bogor, 2022 Februari 1992. Balai Penelitian Ternak, Bogor. Prahmadiyan, D. 1999. Analisis Pemasaran Ayam Buras di Kabupaten Ciamis (Studi kasus di kelompok peternak Wangi Saluyu Desa Wangunjaya Kecamatan Cisaga). Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Rasyid, T.G. 2002. Analisis perbandingan keuntungan peternak ayam buras dengan sistem pemeliharaan yang berbeda. Bulletin Nutrisi dan Makanan Ternak 3(1): 1522. Rizal, M., Nuraini, H. Abbas, Sabrina, dan E. Martinelly. 2003. Respons ayam buras periode pertumbuhan terhadap ransum yang mengandung campuran ampas sagu, eceng gondok yang difermentasi dengan Tricoderma harzianum. Jurnal Ilmiah IImu-lImu Peternakan VIII(3): 201211. Rohaeni, E.S., D. Ismadi, A. Darmawan, Suryana, dan A. Subhan. 2004. Profil usaha peternakan ayam lokal di Kalimantan Selatan (Studi kasus di Desa Murung Panti Kecamatan Babirik, Kabupaten Hulu Sungai Utara dan Desa Rumintin Kecamatan Tambarangan, Kabupaten Tapin). hlm. 555562. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004. Buku II. Bogor, 45 Agustus 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Rusmana, D., A. Budiman, dan D. Latifudin. 2002. Pengaruh suplementasi minyak ikan, minyak jagung dan ZnCO3 dalam ransum terhadap

produksi telur dan kandungan asam omega 3 dan 6 PUFA telur ayam kampung. Jurnal IImu Ternak 2(1): 17. Sartika. T. 2005. Peningkatan Mutu Bibit Ayam Kampung melalui Seleksi dan Pengkajian Penggunaan Penanda Genetik Promotor Prolaktin dalam MAS/Marker Assiated Selection untuk Mempercepat Proses Seleksi. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sapuri, A. 2006. Evaluasi Program Intensifikasi Penangkaran Bibit Ternak Ayam Buras di Kabupaten Pandeglang. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Sehabuddin, U. dan A. Agustian. 2001. Karakteristik dan kontribusi usaha tani ternak ayam buras terhadap pendapatan rumah tangga peternak serta alternatif pola pengembangannya. Media Peternakan. Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Peternakan 24(1): 111118. Setiadi, B., A. Semali, M.H. Togatorop, dan P. Sitorus. 1986. Peranan usaha ternak dalam menunjang sistem usaha tani terpadu lahan pasang surut dan rawa di Sumatera Selatan. hlm. 191201. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Peternakan di Sumatera dalam Menyongsong Era Tinggal Landas. Padang, 1415 September 1986. Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Padang. Setioko, A.R. dan S. Iskandar. 2005. Review hasilhasil penelitian dan dukungan teknologi dalam pengembangan ayam lokal. hlm.10 19. Prosiding Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal. Semarang, 25 September 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Septiwan, R. 2007. Respons Produktivitas dan Reproduktivitas Ayam Kampung dengan Umur Induk yang Berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Sinurat, A.P. 1991. Penyusunan ransum ayam buras. Wartazoa 2(12): 14. Sinurat, A.P. 1999. Penggunaan bahan pakan lokal dalam pembuatan ransum ayam buras. Wartazoa 9(1): 1220. Sinuraya, D.S. 2001. Produktivitas Ayam Kampung di Desa Karacak Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Soeparno. 1992. Komposisi tubuh dan evaluasi daging dada sebagai pedoman penilaian kualitas produk ayam kampung jantan. Bulletin Peternakan 16: 714. Soepeno, A. Semali, B. Setiadi, dan S.O. Sidabutar. 1993. Peranan perbaikan teknologi terhadap peningkatan produktivitas ayam buras sebagai usaha sambilan di Jawa Barat. hlm. 196203. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Ternak Ayam Buras melalui Wadah Koperasi Menyongsong PJPT II. Bandung, 1315 Juli 1993. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung. Sulandari, S., M.S.A. Zein, S. Priyanti, T. Sartika, M. Astuti, T. Widjastuti, E. Sujana, S. Darana, I. Setiawan, dan G. Garnida. 2007. Sumber

daya genetik ayam lokal Indonesia. hlm. 45 104. Dalam Keanekaragaman Sumber Daya Hayati Ayam Lokal lndonesia: Manfaat dan Potensi. Pusat Penelitian Biologi, Lembaga IImu Pengetahuan Indonesia, Bogor. Suriadikarta, A.D. dan M.T. Sutriadi. 2007. Jenisjenis lahan berpotensi untuk pengembangan pertanian di lahan rawa. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 26(3): 115 122. Suryana dan E.S. Rohaeni. 2006. Upaya perbaikan sistem usaha tani ayam buras dengan teknologi inseminasi buatan di lahan kering (Desa Rumintin, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan). hlm. 6570. Prosiding Seminar Nasional Lahan Kering. BPTP Kalimantan Selatan bekerjasama dengan Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Bogor. Syamsari. 1997. Produksi dan Mortalitas Ayam Kampung, Ayam Pelung, dan Ayam Kedu di Desa Karacak. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Tagama, T.R. 2003. Performans organ reproduksi primer ayam lokal (Gallus domesticus) jantan dengan introduksi hormon gonadotropin. J. Anim. Prod. 5(3): 8792. Togatorop, M.H. dan E. Juarini. 1993. Respons petani-peternak ayam buras terhadap inovasi teknologi di daerah pasang surut Kabupaten Pontianak Kalimantan Barat. hlm. 166 178. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Ternak Ayam Buras melalui Wadah Koperasi Menyongsong PJPT II. Bandung, 1315 Juli 1993. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung. Tranggono. 2001. Lipid dalam perspektif ilmu dan teknologi pangan. Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tri-Yuwanta. 1997. Hubungan nilai gravitasi spesifik terhadap kualitas dan daya tetas telur ayam kampung. Bulletin Peternakan 21(2): 8895. Uhi, T.H. dan Usman. 2007. Integrasi ternak ayam buras-jagung: Suatu alternatif untuk meningkatkan ketersediaan pakan. hlm. 262268. Prosiding Seminar Nasional dan Ekspose. Percepatan Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Mendukung Kemandirian Masyarakat Kampung di Papua. Jayapura, 56 Juni 2007. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua bekerjasama dengan Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Bogor dan Pemerintah Provinsi Papua, ACIAR, ESEAPCIP. Usman. 2007. Potensi ampas tahu sebagai pakan ternak pada usaha pembesaran ayam buras berorientasi agribisnis. hlm. 253261. Prosiding Seminar Nasional dan Ekspose. Percepatan Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Mendukung Kemandirian Masyarakat Kampung di Papua. Jayapura, 56 Juni 2007. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua bekerja sama dengan Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Jurnal Litbang Pertanian, 27(3), 2008

82

Bogor dan Pemerintah Provinsi Papua, ACIAR, ESEAP-CIP. Wihandoyo dan H. Mulyadi. 1986. Ayam buras pada kondisi pedesaan (tradisional) dan pemeliharaan yang memadai. Temu Tugas Subsektor Peternakan. Balai Informasi Pertanian Ungaran bekerja sama dengan Sub Balai Penelitian Ternak Klepu dan Dinas Peternakan Provinsi Jawa Tengah.

Zakaria, S. 2004a. Pengaruh luas kandang terhadap produksi dan kualitas telur ayam buras yang dipelihara dengan sistem litter. Bulletin Nutrisi dan Makanan Ternak 5(1): 111. Zakaria, S. 2004b. Performans ayam buras fase dara yang dipelihara secara intensif dan semiintensif dengan tingkat kepadatan kandang yang berbeda. Bulletin Nutrisi dan Makanan Ternak 5(1): 4145.

Zainuddin, D. dan I.W.T. Wibawan. 2007. Biosekuriti dan manajemen penanganan penyakit ayam lokal. Sumber daya genetik ayam lokal Indonesia. hlm. 159182. Dalam Keanekaragaman Sumber Ddaya Hayati Ayam Lokal Indonesia: Manfaat dan Potensi. Pusat Penelitian Biologi, Lembaga IImu Pengetahuan Indonesia, Cibinong.

Jurnal Litbang Pertanian, 27(3), 2008

83

Anda mungkin juga menyukai