Anda di halaman 1dari 12

BAB II ISI

2.1 DEFINISI Glomerulopati adalah peradangan pada glomerulus dimana glomerlus merupakan bagian yang berguna sebagai penyaring dalam sistem ginjal.3 Glomerulopati merupakan kumpulan penyakit yang:2

Terdapatnya kerusakan primer imunologis pada glomerulus Keterlibatan dari kedua ginjal (simetris) Mekanisme sekunder dari kerusakan glomerulus menyebabkan kerusakan imun seperti deposisi fibrin, agregasi platelet, infiltrasi neutrofil, dan kerusakan yang dipicu oleh radikal bebas

Lesi pada ginjal mungkin merupakan bagian dari penyakit umum (contohnya sistemik lupus eritematosus).

2.2 PATOGENESIS Glomerulopati disebut sebagai kelainan imunologis dengan terlibatnya seluler imunitas (limfosit T, makrofag/sel dendritik), imunitas humoral (antibody, kompleks imun, komplemen), dan mediator peradangan lainnya (termasuk sitokin, kemokin, dan kaskade koagulasi). Respon imun akan langsung melawan antigen, khususnya saat glomerulus terinfeksi, neoplasia, atau terkena obat-obatan. Dan target antigennya belum diketahui. Glomerulopati primer mungkin terjadi pada individu yang secara genetik sesuai dan juga dipengaruhi lingkungan. Genetik biasanya ditentukan oleh adanya gen HLA (conthnya HLA-A1, B8, DR2, DR3). Faktor lingkungan mungkin
2

obat-obatan (contohnya hidralazine), kimia (contohnya emas, silica, hidrokarbon) atau agen infeksius. Bukti fisik adanya reaksi imun diindikasikan dengan adanya antibody yang bersirkulasi dan/ atau abnormalitas pada komplemen serum dan deposisi antibodi glomerulus, kompleks imun, komplemen, dan fibrin.2

Gambar 1: Kapsul Bowman dan Glomerulus

Gambar 2: Jejas pada glomerulopati 2.3 PATOLOGIS Bentuk-bentuk patologis yang sering ditemukan:2

Focal: beberapa tetapi tidak semua glomerulus terdapat lesi Diffuse (global): kebanyakan glomerulus (>75%) terdapat lesi Segmental: hanya sebagian glomerulus terkena (kebanyakn lesi fokal juga segmental, contohnya focal segmental glomerulosclerosis)

Proliferative: peningkatan jumlah sel karena hyperplasia pada satu atau lebih sel glomerular dengan atau tanpa inflamasi.

Membrane alterations: penebalan dinding kapiler karena penumpukan imun atau perubahan membrane basement.

Crescent formation: proliferasi sel epitel dengan infiltrasi sel mononuclear didalam ruangan Bowman.

2.4 KLASIFIKASI Adapun klasifikasi dari glomerulopati dibagi menjadi:2 1. Sindroma Nefrotik Glomerulopati yang berhubungan dengan sindroma nefrotik Sindroma nefrotik dengan sedimen urine bland Penyakit Glomerular primer o Perubahan minimal glomerular o Kongenital sindroma nefrotik o Focal segmental glomerula sclerosis o Nefropati membranosa Penyakit Glomerular sekunder o Amiloidosis o Diabetik nefropati Sindroma nefrotik dengan sedimen urine acive (campuran nefrotik/nefritik) Penyakit Glomerular primer o Mesangiocapillary glomerulonefritis o Mesangial proliferative glomerulonefritis Penyakit Glomerular sekunder o Sistemik lupus eritematosus o Penyakit Cryoglobulinemia
5

o Sindroma Henoch-Schonlein o Idiopathic fibrillary glomerulopati o Immunotactoid glomerulopati

Patofisiologi Sindroma nefrotik didefinisikan dengan adanya protein dalam urine lebih dari 3,5 gr/1,73 m2 per 2 jam, hipoalbumin (<3,0 g/dl), edema perifer, hiperkolesterolemia, dan lipiduria. Mekanisme terjadinya proteinuria sangat kompleks. Terjadi karena kerusakan stuktural pada membrane basement glomerulus cenderung meningkatkan ukuran dan jumlah pori, sehingga molekul yang lebih besar lebih banyak keluar. Anak-anak biasanya manifestasinya edema periorbital, edema biasanya akan berkurang ketika anak tersebut berdiri tegak. Peningkatan LDL, VLDL, dan IDL dan terjadi penuruan HDL sering terjadi pada sindroma nefrotik. Sehingga terjadi peningkatan rasio LDL/HDL. Hiperlipidemia merupakan konsekuensi terjadinya peningkatan sintesis lipoprotein (seperti apolopoprotein B, C-III, Lp (a) lipoprotein), dan juga konsekuensi langsung albumin rendah. Juga terjadi pengurangan chylimikron dan VLDL karena respon terjadi albuminuria. Hiperlipidemia berat dapat menunjukkan perkembangan xanthelasma. Urinalisa menunjukkan cast yang lengket, lemak bebas, dan lipiduria (Maltese crosses).2,4,5 Penatalaksanaan4 Restriksi natrium merupakan penatalaksanaan awal. Pasien yang tidak berespon memerlukan furosemid 40-120 mg setiap hari dengan tambahan amiloride 95m setiap harinya), tetapi konsentrasi kalium harus dimonitor. Pada pasien nefrotik mungkin terjadi malabsorpsi diuretic (seperti obat yang lain) menyebabkan edema mukosa saluran
6

cerna. Resistensi diuretic oral mungkin memerlukan pemberian secara parenteral. Diet tinggi protein (rata-rata 80-90 gr protein setiap harinya) meningkatkan proteinuria dan dapat membahayakan untuk jangka panjang. Konsumsi protein dalam jumlah normal disarankan. Infuse albumin akan memberikan efek sementara. Normalnya diberikan pada pasien yang resisten terhadap diuretic dan dengan oliguria dan uremia dengan tidak adanya kerusakan glomerulus berat. Infuse albumin dikombinasikan dengan terapi diuretic.

Status hiperkoagulasi cenderung menyebabkan terjadinya thrombosis vena. Status hiperkoagulasi terjadi karena kurangny factor clot (contohnya antitrombin) pada urine dan peningkatan produksi fibrinogen di hepar. Terlalu lama beristrahat harus dihindari karena kejadian tromboemboli sering terjadi. Jika tidak ada kontraindikasi, antikoagulan profilaksis jangka panjang bisa digunakan. Ketika thrombosis vena ginjal sudah terjadi, antikoagulan permanen sangat dibutuhkan.

Sepsis merupakan penyebab kematian utama dikarenakan hilangnya immunoglobulin dalam urine. Infeksi pneumococcus sering terjadi dan vaksin harus diberikan.

Pemberian

inhibitor

HMG-CoA

reduktase

diberikan

untuk

hiperkolesterolemia. ACE inhibitor dan/atau ARB digunakan sebagai antiproteinuria, dengan cara menurunkan tekanan filtrasi kapiler glomerulus, dengan monitor tekanan darah dan fungsi ginjal secara regular.

Komplikasi Hipogammaglobulinemia (dimana dapat meningkatkan resiko infeksi, khususnya selulitis dan peritonitis), defisiensi vitamin D karena hilangnya protein binding vitamin D, dan anemia defisiensi sering terjadi besi karena hipotransferinemia. Komplikasi thrombosis (contohnya

thrombosis vena ginjal) dan terjadi karena peningkatan faktor prothrombosis (peningkatan factor V, VIII, fibrinogen, dan platelet dan penurunan antithrombin III dan antiplasmin). Pasien- pasien yang beresiko tinggi yaitu proteinuria lebih dari 10 gr/1,73 m2 per 24 jam dan serum albumin kurang dari 2 gr/dl. Gejala thrombosis vena ginjal termasuk nyeri pinggang dan hematuria. Pada kasus thrombosis vena ginjal bilateral, pasien mungkin terjadi gagal ginjal akut. Terjadinya gagal ginjal akut pada pasien sindroma nefrotik mungkin terjadi dari beberapa mekanisme (contohnya, kurangnya volume prerenal, sepsis, nefritis interstitial, dan obat-obatan seperti ACE-I dan NSAID.2

2. Akut Glomerulonefritis (sindroma akut nefritik)

Glomerulopati yang termasuk sindroma akut nefritik Post-streptococcal glumerulonefritis (PSGN) Non-streptococcal post-infectious glomerulonephritis Infective endocarditis Shunt nefritis Visceral abses Sistemik lupus eritematosus Sindroma Henoch-Schonlein Cryoglobulinaemia

Post-streptococcal glumerulonefritis (PSGN)

PSGN adalah suatu akut glumerulonefritis yang terjadi setelah 1-4 minggu setelah faringitis atau infeksi kulit dengan grup A streptococcus hemolitik (nefrotogenik). Peride laten adalah 6 sampai 12 hari (tipe 12 infeksi faringeal) atau 14-18 hari (tipe 49 infeksi kulit). Proteinuria biasanya kurang dari 3 gr/24 jam, tetapi mungkin masih dalam batas nefrotik pada beberapa kasus. Kultur biasanya negative, tetapi titer untuk antistreptolisin O (ASO), antistreptokinase, antihialurinidase, dan antideoxyribonuclease (antiDNAse B) mungkin akan memberikan bukti adanya infeksi streptococcus. Titer ASO meningkat 10 sampai 14 hari setelah infeksi dan memuncak dalam 3 sampai 4 minggu, kemudian menurun. Kadar CH50 dan C3 biasanya menurun (aktivasi dari jalur komplemen alternative), tetapi kadar C4 normal.2 PSGN sekarang jarang terjadi pada negara berkembang. Biopsi ginjal menunjukkan diffuse, florid, dan inflamasi akut pada glomerulus, dengan neutrofil dan deposisi IgG dan komplemen.2,5 Penatalaksanaan PSGN adalah suportif. Pemberian antibiotic diindikasikan untuk infeksi yang persisten dan untuk orang yang kontak langsung dengan pasien yang terkena (untuk mencegah kasus baru). Fase akut diobati dengan antihipertensi, diuretic, restriksi garam, dan dialysis jika diperlukan. Jika penyembuhan lambat, kortikosteroid mungkin membantu.2,4 Prognosis pada anak-anak sangat baik, dengan kebanyakan pasien terjadi perbaikan fungsi ginjal dalam 1 samai 2 bulan setelah diagnosis. Pada beberapa pasien, khususnya dewasa, disfungsi ginjal, hipertensi, hematuri, proteinuri akan menetap dalam beberapa tahun. Bentuk lain dari PSGN termasuk bacterial endokarditis dan infeksi ventriculoatrial shunt.2 IgA nephropathy

Penyakit ini telah menggantikan post-streptococcal glomerulonefritis sebagai penyakit yang tersering. Terdiri dari proliferasi fokal dan segmental dengan deposit mesangial polimerik IgA1. Pada beberapa kasus, IgG, IgM dan C3 mungkin terlihat di mesangium glomerular.2 IgA nefropati cenderung terjadi pada anak-anak dan pria muda dengan tanda hematuria mikroskopik asimtomatik atau hematuri makroskopik berulang kadang-kadang diikuti dengan infeksi virus respiratori atau gastrointestinal. Proteinuria terjadi dan 5% dapat menjadi nefrotik.2 Prognosis biasanya bagus, khususnya pada mereka dengan tekanan darah normal, fungsi ginjal normal dan tidak terdapatnya proteinuria. Malahan, hematuria makroskopik yang berulang merupakan tanda prognosis baik, meskipun mungkin merupakan bias, dengan pasien yang dating dengan hematuria saat fase awal penyakit ini. Resiko terjadinya perkembangan gagal ginjal stadium akhir sekitar 25% pada mereka dengan proteinuria lebih dari 1 gram per hari, meningkatnya serum kreatinin, hipertensi, ACE gen polimorfisme (DD isoform) dan fibrosis tubulointerstitial pada biopsy ginjal.2 Pasien-pasien dengan proteinuria lebih dari 1-3 gr/hari, perubahan glomerulus ringan harus diatasi dengan steroid. Steroid mengurangi proteinuria dan menstabilkan fungsi ginjal. Kombinasi cyclophosphamide, dipyridamole, dan warfarin tidak boleh digunakan, begitu juga denngan ciclosporin. Pad apasien dengan penyakti progresif (GFR kurang dari 70 ml/mnt), minyak ikan atau prednisolone dan azathioprine mungkin bisa dicoba. Tonsilektomi dapat mengurangi proteinuria dan hematuria pada pasien dengan tonsillitis berulang. Semua pasien, dengan atau tanpa hipertensi dan proteinuria, harus menerima kombinasu ACE inhibitor dan ARB dari menggunakan obat ni secara tunggal karena mengurangi proteinuria dan memperbaiki fungsi ginjal lebih baik dengan terapi kombinasi.2
3. Glomerulonefritis progresif (RPGN) 10

Tipe-tipe glomerulonefritis progresif (RPGN) Bentuk Linear Immunofluorescent Idiopathic anti-GBM antibody mediated RPGN Sindroma Goodpastures Bentuk Granular Immunoflurescent (immune complex-mediated RPGN)

Idiopathic immune complex-mediated RPGN Associated with other primary GN


o o o

Mesangiocapillary GN (type II > type I) IgA nephropathy Membranous glomerulopathy Post-infectious GN Systemic lupus erythematosus Henoch-Schnlein syndrome

Associated with secondary GN


o o o o

Cryoglobulinaemia Bentuk Negatif immunofluorescent (pauci-immune RPGN) ANCA-associated systemic vasculitides

RPGN didefinisikan sebagai akut, progresif cepat (hari sampai minggu sampai bulan) perubahan dari fungsi ginjal berkaitan dengan sedimen urin aktif dan focal necrotizing crescentic glomerulonephritis terlihat pada pemeriksaan mikroskopik dari biopsy ginjal. Sering terjadi sindroma ginjal-paru, dan oliguria tidak jarang. Pada pemeriksaan immunoflorescen menunjukkan tiga bentuk yaitu tipe I, deposisi linear IgG (contohnya penyakit Goodpasture atau mediated anti-GBM); tipe II, kompleks granular imun (contohnya SLE); dan tipe III, pauci-imun (immunoflorescen negative atau lemah contohnya antineutrofil sitoplasmik autoantibody (ANCA) vaskulitis.2,4 Anti-GBM glomerulonefritis
11

Anti-GBM glomerulonefritis, dikarakteristikkan dengan IgG dan C3 dan pembentukan crescent extensive, 15-20% untuk semua kasus RPGN, meskipun jumlah kurang dari 5% dari semua bentuk glomerulonefritis. Kondisi ini jarang, dengan bukti 1 sampai 2 juta pada populasi. Sekitar dua pertiga dari pasien ini terkena sindroma Goodpasture dengan perdarahan paruparu.2 Antibodi anti-GBM (dideteksi dengan ELISA) ditemukan diserum dan berguna untuk melawan komponen non-kolagen (NCI) 3, 4, 5 membran basement. Target antigen ini berperan dalam komponen native 3, 4, 5 (IV) membrane basement untuk perkembangan penyakit ginjal dan paru.2 Mekanisme terjadinya kerusakan ginjal belum diketahui. Ketika antibody antiGBM berikatan dengan membrane basement akan mengaktifkan komplemen dan protease dan menyebabkan terganggunya filtrasi barier dan kapsul bowman, menyebabkan proteinuria dan pembentukan crescent. Pembentukan crescent ini difasilitasi oleh interleukin-12 dan gamma interferon yang dihasilkan oleh sel-sel inflamasi.2 Untuk penatalaksanaan dapat digunakan steroid untuk menekan inflamasi dari antibodi yang tersimpan di jaringan dan cyclophosphamid untuk menekan sintesis antibodi selanjutnya.2 Prognosis berhubungan dengan luasnya kerusakan glomerulus (diukur dengan persentase crescent, serum kreatinin dan kebutuhan dialisa) saat awal pengobatan. Ketika oliguri terjadi atau serum kreatinin meningkat diatas 600700 mol/L, gagal ginjal biasanya irreversibel. Ketika penyakit aktif ini diobati, kondisi ini, tidak seperti penyakit autoimun yang lain, tidak akan kambuh lagi. Lebih lanjut lagi, jika tidak ditangani, autoantibodi berkurang secara spontan dalam waktu tiga tahun atau autoreaktif sel T tidak bisa dideteksi pada pasien dalam fase penyembuhan.2

12

4. Hematuria asimtomatik, proteinuria asimtomatik, atau keduanya. 2.5 DIAGNOSIS Diagnosa pasti dari semua tipe glomerulopati adalah biopsi ginjal. Diambil sebagian kecil dari ginjal (biasanya dengan menggunakan jarum yang diinsersikan melalui kulit) dan diperiksakan dengan mikroskop. Urinalisis membantu konfirmasi diagnosis dan tes darah rutin dapat mengindikasikan luasnya kerusakan fungsi ginjal. Pengukuran kadar antibodi pada darah untuk membantu melihat progresifitas penyakit, jika kadarnya tinggi maka buruk lah kondisi penyakit, tetapi jika kadar rendah maka kondisinya membaik.3 2.6 PENATALAKSANAAN Mengubah respon imun dengan mengeliminasi antigen, antibodi atau kombinasi keduanya melalui prosedur plasmapheresis. Untuk menekan reaksi imun dapat diberikan anti inflamasi dan imunosupresan seperti kortikosteroid, azathioprine, dan cyclophospamide. Pada beberapa kasus, memberikan obatan untuk mencegah terjadinya bekuan darah. Jika mungkin berikan pengobatan spesifik untuk penyakitnya, seperti memberikan antibiotik.3

13

Anda mungkin juga menyukai