Anda di halaman 1dari 12

Judul : Al Mustafa Author : Kahlil Gibran Penerbit : Bentang Pustaka Tanggal Terbit : Harga : Rp 15000.00 Rp.

12825 (Hemat 14.5%) ISBN/EAN : 9793062-39-8 Jumlah Hal. : 138 Berat : Dimension : Sinopsis : Di antara karyakarya Kahlil Gibran, barangkali The Prophet merupakan buku yang memiliki paling banyak versi terjemahan, dan barangkali pula, merupakan karya yang paling banyak dibaca. Setidaknya, khalayak pembaca Indonesia sangat akrab dengan penggalan berikut: Anakmu bukan anakmu. Mereka adalah putra putri kerinduan Kehidupan terhadap dirinya sendiri. Mereka terlahir lewat dirimu namun tidak berasal dari dirimu. Dan

meskipun mereka bersamamu mereka bukan milikmu Baris-baris yang kaya tafsir semacam ini memang merupakan ciri utama karya Kahlil Gibran. Untuk Anda, Sapardi Djoko Damono menghadirkan kembali karya terkenal ini dengan judul pilihannya, Almustafa Kekuatan karya Gibran berasal dari suatu sumber kehidupan spiritual yang demikian luar biasa sehingga terasa universal dan menggugah. Claude Bragdon Gibran di Indonesia
by admin on January 9th, 2011

Eka Budianta, editor buku Kahlil Gibran di Indonesia. ---Foto:MI/Sumaryanto


YOUR children are not your children. They are the sons and daughters of Lifes longing or itself. They come through you but not from you. And though they are with you yet they belong not to you.

Petikan sajak berjudul Children karya Kahlil Gibran ini begitu menyentuh Wisaksono Noeradi. Sajak itu ditemukannya dalam buku The Prophet yang ia beli di Singapura pada 1960. Saat itu tak banyak buku sastra berbahasa asing yang beredar di Indonesia. Pun puisipuisi Gibran belum banyak dikenal. Sajak Children begitu mengagetkan sekaligus membuka mata saya bahwa anak hanyalah sebuah busur. Ia akan mencari hidupnya sendiri begitu dilepaskan, ujar pria yang kini berusia 78 tahun itu. Sebagai seorang ayah, Wisaksono lalu berinisiatif menerjemahkan dan membagikan sajak itu kepada teman-temannya. Baginya, puisi Gibran begitu membumi dan penuh akan nilai kemanusiaan.

Dari selebaran yang dibagikan Wisaksono itulah karya Gibran mulai diperkenalkan di Indonesia. Ia dipercaya sebagai salah satu pionir yang mempromosikan karya sastrawan asal Libanon itu di Tanah Air, disusul buku-buku terjemahannya pada 1981. Bertepatan hari jadi Gibran yang ke-128, buku bertajuk Kahlil Gibran di Indonesia diluncurkan, Kamis (06/01) di Kediaman Duta Besar Lebanon untuk Indonesia, di kawasan Rasuna Said, Jakarta. Isinya terdiri dari 22 esai dari 22 penulis dengan berbagai latar belakang, dari dokter, pengacara, mahasiswa, hingga sastrawan. Buku ini mencoba menjawab bagaimana peran ajaran Gibran pada sebuah bangsa bernama Indonesia. Kahlil Gibran sangat populer. Pelajar, mahasiswa, hingga sastrawan besar kerap mengutip karya-karyanya. Buku ini menjadi sebuah refleksi bagaimana bangsa Indonesia memandang sastrawan besar tersebut, ujar Eka Budianta, sastrawan sekaligus editor buku ini. Esai-esai dalam buku ini mencoba menelaah karya puisi Gibran dari berbagai sisi. Tentang cinta, perempuan, juga bagaimana karya tersebut mengilhami banyak orang dalam kehidupan sosial di Indonesia. Sayangnya, menurut Chairil Gibran Ramadhan, penulis dan sastrawan muda asal Jakarta, peminat karya Gibran kini menurun seiring menurunnya minat baca generasi muda. Tidak seperti tahun 1990-an. Anak muda sekarang lebih banyak terjebak pada karya yang ringan tanpa kedalaman, ujar Chairil yang turut berkontribusi dalam buku tersebut. Eka juga memberi catatan penting dalam perayaan pemikiran Gibran kali itu. Di balik kesuksesan Gibran menyentuh banyak orang, kita sebetulnya merasa miris. Sulit bagi sastrawan di Indonesia menerbitkan buku puisi karena dianggap tidak laku. Sementara Kahlil Gibran bukunya dicetak banyak-banyak dan langsung best seller, ujar Eka. (M-4)

Essay: Nabi, Dewa, dan Kahlil Gibran (Kahlil Gibran di Indonesia, ed. Eka Budianta, Komunitas Bambu, Nov, 2010)
OPINI | 09 May 2011 | 17:33 465 0 Nihil Catatan: Bersama 21 tulisan lain, essay ini tampil dalam buku Kahlil Gibran di Indonesia (ed: Eka Budianta, Ruas, November 2010), diluncurkan 6 Januari 2011 di kediaman Dubes Libanon, Kuningan, Jakarta, bertepatan dengan ulang tahun ke-128 Kahlil Gibran. Beberapa pidato disampaikan, oleh Dr. Victor ZMeter (Dubes Libanon), Hashim Djojohadikusumo (chairman BPPI), Bagas Hapsoro, SH, MA (mantan Dubes RI di Libanon, kini Deputi Sekjen Asean), Eka Budianta (Anggota Dewan Pakar BPPI, editor), dan Chairil Gibran Ramadhan (sastrawan). Juga pembacaan puisi oleh Pratiwi Setyaningrum dan Helga Worotijan. Acara

dihadiri pula Pia Alisjahbana (Wakil I Dewan Pimpinan BPPI, pendiri Femina Grup), I Gede Ardika (Ketua Dewan Pimpinan BPPI, mantan Menteri Kebudayaan), Dubes Libya, Dubes Tunisia, Dubes Amerika, tamu asing dan tamu lokal lainnya. Pabila kata-kata ini agak kabur, maka jangan berusaha mencari kejelasannya, Sebab akan kabur dan samar-samar pula segala inti asalmula kejadian, Namun tiada demikian pada akhir kejadiannya.[1] 1 JIKA Kahlil Gibran berumur amat panjang dan menyegajakan diri datang ke Indonesia, saya percaya, dia pasti akan mencari Sri Kusdyantinah dan mengucapkan terima kasih padanya seraya mencium tangan sambil membungkukkan badan, layaknya seorang ningrat Inggris kepada Ratu Elizabeth. Dan mungkin, sebuah puisi baru yang telah disiapkan sejak di Bsherri (jika dari New York ia kemudian kembali berpindah ke Libanon) atau dibuat di atas pesawat, akan ia hadiahkan khusus untuk perempuan ini. Namun jika ia tidak membuat yang baru, dan lebih memilih puisi lama, saya membayangkan, maka mungkin yang akan dibacakannya adalah: Berkasih-kasihanlah, namun jangan membelenggu cinta, Biarkan cinta itu bergerak senantiasa, bagaikan air hidup, Yang lincah mengalir antara pantai kedua jiwa. Saling isilah piala minumanmu, tapi jangan minum dari satu piala, Saling bagilah rotimu, tapi jangan makan dari pinggan yang sama. Bernyanyi dan menarilah bersama, dalam segala sukacita, Hanya biarkanlah masing-masing menghayati ketunggalannya. Tali rebana masing-masing punya hidup sendiri, Walau lagu yang sama sedang menggetarkannya.[2] Lantas siapa Sri Kusdyantinah? Jika diadakan jajak pendapat terhadap 100 orang secara acak misalnya, saya pun percaya (lagi), pasti hanya satu atau dua orang yang mengetahui atau

pernah sekedar melihat namanya tertera entah dimana, atau bahkan mungkin juga tidak tahu sama sekali. Sri Kusdyantinah memang bukan tokoh terkenal di Indonesia. Ia bukan tokoh sejarah nasional atau tokoh budaya nasional. Namun namanya, secara diam-diam, sesungguhnya tercatat dalam dua penyebutan ini: Sejarah nasional dan budaya nasionalbukan sebagai istri Dr. H. Subandrio, Wakil Perdana Menteri I dalam Kabinet Seratus Menteri di jaman Orde Lama. Lewat kemampuannya, karya budaya yang ia terjemahkan dan dikenal secara nasional hingga sekarang, memang jauh melambung dibandingkan namanya sendiri. Terlebih jika dibandingkan dengan lelaki yang karyanya ia terjemahkan: Kahlil Gibran. Sebab dari tangannya kemudian kita mengenal Sang Nabi, sebuah karya yang telanjur menjadi trademark Kahlil Gibran di Indonesia dan juga di negara-negara lainhingga ia disebut sebagai Sang Nabi Abadi dari Libanon. Memang Laksma H. Bachrum Rangkuti almarhum pada tahun 1950-an juga telah menerjemahkan karya Kahlil Gibran itu dari karya aslinya, AnNabi. Tapi terjemahan Sri Kusdyantinah tampaknya lebih memenuhi selera pembaca dan peminat sastera karena gaya bahasanya tidak lagi bergaya Pujangga Baru (meski menurut Iwan Nurdaya Djafar masih terlalu lamban dan terasa njawani).[3] Selain itu karya terjemahan Sri Kusdyantinah juga mengalami sukses pasar luar biasa karena begitu cepatnya mengalami cetak ulang. Dan Kahlil Gibran, mungkin satu-satunya penyair dari luar Indonesia yang karyanya paling banyak diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia. (Dalam catatan saya, nama-nama di luar Sri Kusdyantinah[4] yang membantu kemunculan Kahlil Gibran di Indonesia adalah: M. Ruslan Shiddieq[5], Sugiarta Sriwibawa[6], Faaizi L. Kaelan[7], dan Kathur Suhardi[8]. Abdul Hadi WM dan Hartoyo Andangjaya juga tercatat pernah menerjemahkan beberapa puisi karya kahlil Gibran). Buku Sang Nabi, pada tahun 1981 dapat dikatakan menjadi pembuka cakrawala dunia pustaka, baca, dan sastera di Indonesia, sebagai cara untuk mengenal lebih dekat karya Kahlil Gibran. Buku karya penyair kelahiran Bsherri, Libanon, 6 Januari 1883 ini pun kemudian disusul buku-buku lain karyanya yang dapat dinikmati secara luas pembaca di Indonesia. Atas hal ini, tentunya jangan lupakan jasa Penerbit PT Dunia Pustaka Jaya (atau terkenal dengan nama Pustaka Jaya dan orang selalu menyebutnya demikian). Dengan buku-buku dalam kemasan sederhana dan bersahaja, serta harga yang sangat kekeluargaan, sejak tahun 1980-an Pustaka Jaya memperkenalkan karya-karya besar Kahlil Gibran kepada kita. Tanpa Pustaka Jaya, saya yakin (lagi-lagi), kita tidak akan membaca kitab suci karya Kahlil Gibran. Dan saya yakin pula, nama Gibran tidak akan begitu memasyarakat hingga kemudian dipakai oleh beberapa orangtua untuk diberikan kepada anak-anak lelakinya. Penerbit lain yang kemudian juga tercatat pernah menerbitkan karya-karya Kahlil Gibran adalah Pustaka[9] (Bandung), Bentang Budaya[10] (Yogyakarta), Eska Media Jakarta (Nabi dari Libanon), Inovasi (Surat-Surat Cinta), Pustaka Pelajar (Sang Kekasih), Narasi (Pemberontakan Atas Nama Cinta), Panji Pustaka (Sayap-Sayap Patah, Cinta Sepanjang Masa, Cinta Tak Pernah mati, dan Kata Mutiara), Diva Press (Cakrawala Cinta, Cinta Pertama, dan Berperang Demi Cinta), Multi Media Jakarta (The Prophet Sang Nabi), Melibas (Risalah Cinta), Dolphin Books (Badai), Pan Books (The Prophet), Diwan (Bila Cinta Bicara), Pustaka Gibran (Kidung Cinta), Navila (Jiwa-Jiwa Pemberontak), Pustaka Anggrek (Surga dari Sang Nabi), dan Suku Kata (BidadariBidadari Lembah).

Dari nama-nama di ataslah, tentunya, kita, manusia dari beragam umur, pendidikan, dan tingkat sosial, kemudian mengenal Kahlil Gibran. Ibarat air atau debu, karya-karya Kahlil Gibran memenuhi rongga-rongga kosong kita, melalui celah terkecil yang mampu dilaluinya. Kahlil Gibran memang terlalu kuat untuk dihilangkan begitu saja bayang-bayangnya. 2 KEMUNCULAN dan keberadaan Kahlil Gibran di Indonesia (juga dunia) memang begitu penting. Ia tidak hanya mempengaruhi banyak penyair kita dalam berkarya dan meniti karir sebagai tokoh yang menjadi panutan atas kebesaran nama dan keberhasilannya, tetapi juga orang-orang yang bukan penyair tetapi menyukai karya sastera utamanya puisi. Bahkan tercatat pula dua kelompok musik papan atas Indonesia terang-terangan menunjukkan kedekatannya dengan Kahlil Gibran. Kelompok pertama, memakai judul buku Kahlil Gibran, Sayap-Sayap Patah, sebagai judul sebuah lagunya[11] dan memindahkan syair karya Kahlil Gibran kedalam lagu mereka yang berjudul Cinta Adalah Misteri dalam album yang sama. Sayangnya kelompok ini menjadi tersandung masalah etika dalam berkarya, karena tidak mencantumkan nama Kahlil Gibran sebagai orang yang judul buku dan syairnya mereka pinjam. Padahal sebuah langkah sederhana seharusnya mereka lakukan, misalnya pada bagian akhir lirik pada lembar kasetnya ditulis sebaris kalimat Judul lagu ini meminjam judul buku karya Kahlil Gibran dan Lirik lagu ini diambil dari syair milik Kahlil Gibran. Selesai! Meski terlihat sepele pengerjaannya, namun hal ini besar artinya bagi penghormatan terhadap karya Kahlil Gibran, dan tentunya etika berkesenian. Kelompok kedua, mengambil sepotong puisi Kahlil Gibran dan menjadikannya sebagai pembuka dalam lagu yang mereka ciptakan, dengan membawakannya sebagaimana layaknya sebuah puisi dibacakan.[12] Kerja adalah cinta yang mengejawantah. Dan jika kau tiada sanggup bekerja dengan cinta, hanya dengan enggan, Maka lebih baiklah jika engkau meninggalkannya, Lalu mengambil tempat di depan gapura candi, Meminta sedekah dari mereka yang bekerja dengan sukacita.[13] Di bagian akhir pembacaan, sang penyanyi utama dengan jelas menyebutkan, Dari Sang Nabi, Kahlil Gibran!. Maka kesimpulannya, kelompok kedua ini mengetahui benar arti penghormatan karya seni (dalam hal ini terhadap karya Kahlil Gibran), dan tentunya sangat tahu etika berkesenian.

Dari kedua kelompok musik inilah, salahsatunya, generasi muda Indonesia dari budaya pop, yang begitu lekat kehidupan kesehariannya dengan 3F (Food, Fashion & Film) kemudian mengenal Kahlil Gibranyang tidak bisa dipungkiri, menurut ukuran mereka, begitu berat penuangan kalimat-kalimatnya dalam tiap puisi dan prosanya. Ibarat air atau debu, karyakarya Kahlil Gibran memenuhi rongga-rongga kosong anak-anak muda ini, melalui celah terkecil yang mampu dilaluinya. Kahlil Gibran memang terlalu kuat untuk dihilangkan begitu saja bayang-bayangnya. Puisi itu kebijaksanaan yang menawan hati, Kebijaksanaan itu puisi yang bernyanyi dalam pikiran, Siapa yang dapat menawan hati insan, Sambil mendendangkan lagu dalam akal pikiran, maka sesungguhnya, dia hidup dalam bayangan Tuhan.[14] 3 KETIKA Pak Eka Budianta, melalui surat pendeknya di inbox jejaring facebook meminta secara khusus kepada saya untuk membuat sebuah tulisan beraroma Kahlil Gibranuntuk buku yang sedang disiapkannya, Kahlil Gibran di Indonesia dan akan diluncurkan pada Festival Kahlil Gibran di Jakartasaya pun menyambutnya dengan sangat antusias. Bukan hanya karena kedudukan Pak Budianta sebagai kritikus sastera ternama yang sudah saya dengar sejak remaja dan membuat saya merasa harus menghormati undangannya, tetapi juga karena memang sejak lama saya ingin menuliskan sesuatu tentang Kahlil Gibranyang kebetulan ternyata beliau butuhkan. Sebagai pemilik nama dengan Gibran di dalamnya, saya seringkali menerima perlakuan aneh (bagi saya tentunya) yang bermula dari kerancuan orang terhadap Kahlil Gibran dengan nama saya: Chairil Gibran Ramadhan. Bahkan seringkali orang menyangka saya adalah Kahlil Gibran (?!); atau menulis nama saya dengan Kahlil Gibran, Khalil Gibran, Khairil Gibran; atau memenggalnya menjadi Chairil Gibran. Maka Ramadhan pun seperti dianggap lalu saja alias tidak penting, dan Chairil dianggap sama dengan Kahlil atau Khalil. Apapun alasannyaumumnya karena dianggap terlalu panjangterus-terang saya kecewa bila Ramadhan dipenggal begitu saja dan Chairil dianggap sama dengan Kahlil atau Khalil. Saya pun, sesungguhnya keberatan jika ada yang memanggil dengan Gibran, meski saya tahu bahwa nama itu kini menjadi nge-tren karena banyak digunakan para orangtua untuk anak-anaknya (Bahkan seorang teman lama, ternyata memiliki dua orang keponakan dari dua adiknya, dengan nama Gibran yang menempel pada nama mereka yang lain). Mungkin lantaran saya seorang penulis, maka panggilan Gibran itu saya rasakan bukan memanggil saya tetapi memanggil penulis lain, Sang Nabi Abadi dari Libanon: Kahlil Gibran. Dan saya baru merasakan orang memanggil saya sebagai Chairil Gibran Ramadhan jika mereka melisankannya dengan Chairil atau menuliskannya dengan inisial

CGR. Ada rasa kecil hati saya ketika dipanggil Gibran. Mungkin saya terlalu berlebihan. Tapi saya sungguh merasakan, jika dipanggil Gibran maka saya beranggapan bahwa orang cenderung teringat kepada Kahlil Gibran dan bukan Chairil Gibran Ramadhan. Pernah beberapa kali saya terpaksa meralat orang yang memanggil saya dengan Gibran agar menggantinya dengan Chairil saja. Ketika diajukan pertanyaan Kenapa?, saya pun menjawab: Saya lebih suka dipanggil Chairil. Kenapa? Apa karena Gibran terlalu keren? Saya tentu terhenyak dengan pertanyaan bernada menohok ini. Bagi saya Kahlil Gibran memang keren: Karyanya, dan juga namanya. Tapi pertanyaan tadi terkesan, bahwa saya, seorang Chairil Gibran Ramadhan, tidaklah pantas memakai Gibran. Lantas kapan sesungguhnya saya mengenalmaksudnya tahuKahlil Gibran? Jika meruntut ke belakang, nama ini lamatlamat saya dengar sejak sekolah dasar. Tapi saya merasa benarbenar mengenalnya ketika duduk di bangku kelas dua SMP membeli sebuah bukunya, lagi-lagi, Sang Nabi, di sebuah toko buku besar di kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Buku ini, setahu saya, seakan menjadi kitab suci dari Kahlil Gibran. Menyebut nama penulisnya, maka orang pun akan langsung teringat pada buku ini. Seakan Sang Nabi adalah Kahlil Gibran, dan Kahlil Gibran adalah Sang Nabi. Kahlil Gibran setahu saya memang jauh lebih beruntung daripada Bram Stoker, yang buku dan tokoh ciptaannya, Dracula, jauh menenggelamkan namanya. Kahlil Gibran sama terkenalnya dengan Sang Nabi bukunya. Meski banyak buku lain dihasilkan Kahlil Gibran, seperti Potret Diri, Sayap-Sayap Patah, Pasir dan Buih, Surat-Surat Cinta kepada May Ziadah, Kata-Kata Mutiara, Taman Sang Nabi, Lagu Gelombang, Sang Pralambang, Sang Musafir, Suara Penyair, Penggali Kubur, Suara Sang Guru, hingga Jiwa-Jiwa Pemberontak, Dewa Dewa Bumi, Puisi dan Prosa Kahlil Gibran, Kematian Sebuah Bangsa, atau Cinta, Keindahan, Kesunyian, namun fakta menyatakan bahwa Sang Nabi adalah yang termasyur dari semua karyanya. Nama Gibran juga memang menjadi beban bagi saya. Sama bebannya jika seandainya nama Muhammad ada di dalam nama saya. Sebab bagaimanapun, saya pikir, sudah seharusnya saya menjaga perilaku agar setidaknya seujung kuku saja bisa menyamai sang empunya nama, Sang Rasul. Maka dihubungkan nama Gibran yang saya miliki, saya pun menjadi tidak berani membuat karya yang asal jadi. Sebab bagaimanapun, saya pikir, sudah seharusnya saya menjaga karya agar setidaknya seujung kuku saja bisa menyamai sang empunya nama, Sang Nabi. Saya sudah dapat mengukur kalimat-kalimat yang akan muncul ketika saya menghasilkan karya buruk. Dalam bahasa pasar, mungkin akan terdengar demikian: Nama aja yang bagus, karya kok jelek begitu. Kalimat bernada koreksi ini, pasti begitu pulalah yang akan muncul jika seorang pencuri ternyata bernama Muhammad: Nama aja yang bagus, perilaku kok jelek begitu. Saya setuju dengan kalimat ini. Sebab bisa menghalangi seseorang yang memiliki nama Muhammad untuk tidak mememiliki kelakuan buruk. Jadi sesungguhnya, nama Gibran, banyak menolong saya untuk memiliki rem sehingga tidak tergelincir menghasilkan karya yang buruk. Itulah keuntungan saya memiliki nama Gibran.

Jadi dalam bagian ini saya ingin menekankan, bahwa dari buku Sang Nabi-lah, mulanya saya, yang lekat dengan film, musik, mengenal hanya sastera Indonesia, mengenal Kahlil Gibranyang tidak bisa dipungkiri, begitu berat penuangan kalimat-kalimatnya dalam tiap puisi dan prosanya, menurut ukuran saya sewaktu masih duduk di bangku SMP. Ibarat air atau debu, karya-karya Kahlil Gibran memenuhi rongga-rongga kosong kejiwaan saya, melalui celah terkecil yang mampu dilaluinya. Kahlil Gibran memang terlalu kuat untuk dihilangkan begitu saja bayang-bayangnya. Pepohonan itu syair-syair gubahan bumi pada cakrawala. Kita menebangnya dan membuatnya kertas, Guna merekam kekosongan kita.[15] 4 TANPA melupakan karya, perjalanan karir, dan pengaruh penyair-penyair Indonesia terhadap dunia sastera kita, agaknya kita harus menerima fakta bahwa kehadiran Kahlil Gibran dalam khasanah sastera di Indonesia sangatlah kuat. Bukan hanya karena karya-karyanya yang sudah dikenal sejak puluhan tahun lalu secara internasional dalam terjemahan puluhan bahasa, tetapi juga karena karya-karya itu memang begitu tinggi nilai sastera dan kedalaman maknanya. Berbagai wilayah hubungan antar manusia dengan manusia, manusia dengan alam, manusia dengan benda, dan manusia dengan Tuhan, disentuh Kahlil Gibran dengan kualitas yang sama bagus. Kita pun menjadi malu ketika membaca karyanya, ternyata begitu banyak hal yang belum atau tidak kita ketahui di dunia ini. Dan Kahlil Gibran, seakan dikirim Tuhan untuk menyadarkan kita, selain tentu saja lewat kitab suci yang diturunkannya. Karyakarya Kahlil Gibran hadir sebagai bentuk turunan kesekian dari berbagai kitab suci di dunia. Segala kebajikan, kebaikan, nilainilai kemanusiaan, dijabarkan Kahlil Gibran layaknya ia sedang membuat kitab suci. Meski karyanya tidak mampu menyamai, misalnya, kitab suci Al-Quran yang saya kenal (dan saya tidak berani mengatakannya demikian karena keterikatan saya dengan agama saya dan saya juga tidak ingin menjadi sasaran kemarahan umat Islam), namun saya berani mengatakan, bahwa Kahlil Gibran, agaknya memang berhasil mencapai tingkatan kesekian atau bentuk turunan kesekian di bawah Al-Quran. Akhirul kalam, mungkin sebuah puisi Kahlil Gibran dapat menutup tulisan ini: Dalam keremangan senja ingatan abadi, Kita masih akan berjumpa kembali, Dan kita bakal berwawan-sabda lagi, Di situlah lagu yang kaunyanyikan untukku, lebih dalam berisi

Dan pabila tangan kita bersentuhan di lain mimpi, Mari tegakkan menara langit lagi, menjulang tinggi.[16] Tabe! Pondok Pinang, 10 Nopember 2010 Biografi Penulis: Chairil Gibran Ramadhan, lahir di Pondok Pinang, Jakarta Selatan. Sastrawan Betawi, eseis, editor, dan mantan wartawan. Cerpennya tampil di Horison, The Jakarta Post, Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika, Sinar Harapan, Seputar Indonesia, Suara Pembaruan, Annida, Femina, Kartini, Kartika, Lisa, Nova, dan Swara Cantika. Bukunya: Menagerie 5 (ed. Laora Arkeman, Yayasan Lontar, 2003), Sebelas Colen di Malam Lebaran (Masup Jakarta, 2008, antologi tunggal), Ujung Laut Pulau Marwah (Antologi Cerpen Temu Sastrawan Indonesia III, Tj. Pinang, 2010), Si Murai dan Orang Gila (Bunga Rampai Cerpen Panggung Sastra Komunitas Dewan Kesenian Jakarta, KPG&DKJ, 2010), Sukarno & Modernisme Islam (M. Ridwan Lubis, Komunitas Bambu, 2010, sebagai editor), dan I Am Woman (ed. John H. McGlynn, Yayasan Lontar, 2011). Ia pernah diminta secara khusus menulis untuk buku kumpulan esei Kahlil Gibran di Indonesia (ed. Eka Budianta, Ruas, 2010)mengantarkanya berpidato di hadapan dubes empat sekaligus: Libanon, Libya, Tunisia, dan Amerika. Catatan kaki: [1] Sang Nabi (Pustaka Jaya, Cetakan 1, 1981, hal. 126). [2] Sang Nabi (Pustaka Jaya, Cetakan 1, 1981, hal. 20-21). [3] Dewa Dewa Bumi (Pustaka, 1992, hal. v). [4] Menerjemahkan Sang Nabi (Cetakan 1, 1981, dari The Prophet); Pasir dan Buih (Cetakan 1, 1987, dari Sand and Foam); dan Suara Penyair (Cetakan 1, 1989, dari A Treasury of Kahlil Gibran); dan Taman Sang Nabi. Seluruhnya diterbitkan oleh Pustaka Jaya. [5] Menerjemahkan Potret Diri (Cetakan 1, 1983, dari Kahlil Gibran, a Self-Portrait); Sayap-Sayap Patah (Cetakan 1, 1986, dari The Broken Wings); dan Prahara. Seluruhnya diterbitkan oleh Pustaka Jaya. [6] Menerjemahkan Surat-Surat Cinta kepada May Ziadah (Cetakan 1, 1988, dari Blue Flame: The Love Letters of Kahlil Gibran to May Ziadah); Kata-Kata Mutiara (Cetakan 1, 1989, dari The Spiritual Sayings); Sang Pralambang (Cetakan 1, 1989, dari The Forerunner); Sang Musafir (Cetakan 1, 1989, dari The Wanderer), dan Suara Sang Guru. Seluruhnya diterbitkan oleh Pustaka Jaya. [7] Menerjemahkan Penggali Kubur (Pustaka Jaya, Cetakan 1, 1999, dari Al-Majmauah Al-Kamelah Li Mauallafaat Jubran Khalil Jubran al-Arabiyyah).

[8] Menerjemahkan Jiwa-Jiwa Pemberontak. [9] Puisi dan Prosa Kahlil Gibran (1989); dan Dewa Dewa Bumi (1992, dari The Earth Gods)keduanya diterjemahkan oleh Iwan Nurdaya Djafar. [10] Kematian Sebuah Bangsa (Cetakan 1, 1998, penerjemah: Iwan Nurdaya Djafar, dari Secrets of the Heart dan The Earth Gods); Cinta, Keindahan, Kesunyian (Cetakan 1, 1997, penerjemah: Dewi Candraningrum, Ahmad Lintang Lazuardi, Ahmad Norma); Sang Nabi, Yesus Anak Manusia, dan Hikmah-Hikmah Kehidupan. [11] Sayap-Sayap Patah, Dewa, dalam album Bintang Lima (Aquarius Musikindo, 2000) [12] Hey, Kla Project, dalam album Klakustik 2 (ProSound, 1996). [13] Sang Nabi (Pustaka Jaya, Cetakan 1, 1981, hal. 38). [14] Pasir dan Buih (Pustaka Jaya, Cetakan 1, 1987, hal. 26). [15] Pasir dan Buih (Pustaka Jaya, Cetakan 1, 1987, hal. 23). [16] Sang Nabi (Pustaka Jaya, Cetakan 1, 1981, hal. 131).

Anda mungkin juga menyukai