Anda di halaman 1dari 11

Karya

Judul Tahun

:
: :

Utuy Tatang Sontani Bunga Rumah Makan 2002

Panggung merupakan ruangan rumah makan, dialati oleh tiga stel kursi untuk tamu, lemari tempat minuman, rak kaca tempat kue, meja tulis beserta telepon, radio dan lemari. Pintu masuk ada di belakang dan pintu keluar ada di depan sebelah kiri. Ani (ke belakang sambil menyanyi kecil). Pengemis (masuk pelahan-lahan dengan kaki pincang, setelah di dalam, melihat ke kiri-ke kanan, ke rak tempat kuekue, kemudian menuju rak itu dengan langkah biasa, tangannya membuka tutup stopples hendak mengambil kue). Ani (tampil dari belakang) Hai! Pengemis (cepat menarik tangannya). Ani. Engkau mau mencuri, ya? Pengemis (menundukkan kepala). Ani Hampir tiap engkau datang di sini, engkau kuberi uang.Tak nyana, kalau sekarang berani datang di sini dengan maksud mencuri. Pengemis Ampun, Nona, ampun. Ani Mau sekali lagi kau mencuri? Pengemis Saya tak akan mencuri bila saya punya uang. Ani Bohong! Pengemis Betul, Nona, sejak kemarin saya belum makan. Ani Mau bersumpah, bahwa engkau tak hendak mencuri lagi?

Pengemis Demi Allah, saya tak akan mencuri lagi, Nona. Asal... Ani Tidak. Aku tidak akan memberi lagi uang padamu. Pengemis (sedih) Ah, Nona, kasihanilah saya. Ani Tapi mengapa tadi mau mencuri? Pengemis (sedih) Tidak, Nona, saya tidak akan sekali lagi. Dan saya sudah bersumpah. Ya, saya sudah bersumpah. Ani (mengambil uang dari laci meja) Awas, kalau sekali lagi engkau mencuri!

Adegan 4
Pengemis (masuk menjinjing tas kulit, melihat kepada pengemis) Sudarma Mengapa kau ada di sini? Ayo, keluar. Pengemis (diam menundukkan kepala). Sudarma (kepada Ani) Mengapa dia dibiarkan masuk, An? Ani Hendak saya beri uang. Sudarma Tak perlu. Pemalas biar mati kelaparan. Padahal dia datang di sini mengotorkan tempat semata. Ani (memberi uang kepada pengemis) Nih. Lekas pergi. Pengemis Terima kasih, Nona. Moga-moga Nona panjang umur. Sudarma Lekas pergi dan jangan datang lagi di sini. Pengemis (pergi keluar dengan kaki pincang).

Sudarma Lain kali orang begitu usir saja, An. Jangan rumah makan kita dikotorinya. (dengan suara lain) Tak ada yang menanyakan daku? Ani Ada, tapi entah dari mana, sebab Karnaen-lah yang menerima teleponnya tadi. Sudarma Anakku sudah biasa lalai. Barusan dia ketemu di jalan, tapi tidak mengatakan apa-apa. (mengangkat telepon) Sembilan delapan tiga. Ani (membersihkan kursi). Sudarma (kepada Ani) Meja ini masih kotor, An. Ani (membersihkan meja). Sudarma (dengan telepon)Tuan kepala ada? -Baik, baik.- Waaah, kalau sudah banyak uangnya, lama tidak kedengaran suaranya, ya? - ya? -Ini Sudarma, bung. - Ha, ha, ha, betul, betul. - Biasa saja, menghilang sebentar untuk kembali berganti dulu. - (tertawa) Tapi, bung, bagaimana tentang kanteb yang dijanjikan itu? - Ah, ya? - Bagus, bagus, lebih cepat lebih nikmat. - ya, ya, sebentar ini juga saya datang. -Baik, baik. (telepon diletakkan; kepada Ani) Aku hendak pergi ke kantor pertemuan. Kalau ada yang menanyakan, baik perantaraan telepon atau datang, tanyakan keperluannya, lalu kau catat, ya An? (melangkah). Ani Ya. Sudarma Eh, jika nanti Usman datang di sini, suruh menyusul saja ke kantor pertemuan. Dan engkau jangan bepergian.

Karya : HB. Jassin Judul : Seniman Pengkhianat Balai Pustaka, halaman : 88- 92

Seniman Pengkhianat
Orang-orang yang sudah menjual jiwa dan kehormatannya kepada fasis Jepang disingkirkan dari pimpinan revolusi kita (orang-orang yang pernah bekerja di propaganda polisi rahasia Jepang, umumnya di dalam usaha kolone 5 Jepang). Orang-orang ini harus dianggap sebagai pengkhianat perjuangan dan harus diperbedakan dari kaum buruh biasa yang bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. (Perjuangan Kita, oleh Sjahrir, h. 24). X : Belum juga dia datang. Janjinya pukul sebelas. Sekarang sudah lewat setengah jam. Y : Ah, dia banyak urusannya barangkali. Sandiwara sangat maju. X : Itu dia! Manuskripku sekarang ada padanya. Y : Manuskrip yang mana? X : Sandiwara 4 babak, Kesuma Negara. Y : Oh, yang baru lagi? X : Ya, abis? Kemauan zaman. Kita mesti turut zaman, bukan? Y : Aku heran melihat engkau. Apa saja acaranya, engkau membuatnya menjadi sajak, cerita pendek, sandiwara, dan sebagainya. X : Apa susahnya. Bikin saja, asal u sama u, a sama a, b sama b, sudah beres. Bikin cerita pendek syaratnya asal jangan lupa: menghancurkan musuh, musuh jahanam, musuh biadab; kemenangan tinggal tunggu hari lagi. Pihak kita: kesayangan Tuhan, Tuhan telah menjanjikan kita kemenangan dan sebagainya yang muluk-muluk, yang jelek-jelek pada pihak lawan. Y : Kuheran. Engkau dapat menulis demikian. X : Mengapa heran? Engkau juga bisa, kalau engkau mau. Y : Biarpun aku meu, aku tidak bisa. X : Bohong! (berbisik). Mengapa engkau begini bodoh? (sambil menunjuk ke sepatu Y). Lihat! Sepatumu sudah ternganganganga. Bajumu telah berjerumat. Kalau engkau mau kantor kami senantiasa akan menerima engkau. Y : Kerjaku menjadi apa? X : Biasa. Seperti aku sekarang. Sekali-sekali ada bestelan sajak, atau cerita pendek, atau sandiwara, atau lelucon. Y : Lantas kalau ada bestelen, engkau yang bikin?

X : Mau apa lagi? Y : Engkau bisa tulis? X : Bisa. Y : Wah! Engkau ini orang aneh. Misalkan, pemerintah memerlukan rambutan untuk santapan serdadunya. Lantas dia menginginkan rambutan yang jitu, temponya tiga hari, engkau bisa bikin? X : Gampang, tiga hari terlalu lama. Pukul sebelas dibestel jam dua belas sharp, tanggung siap. Y : Tapi engkau toh mengerti, bahwa pekerjaan yang demikian tidak ada jiwanya? X : Jiwa? Perlu apa jiwa sekarang? Jiwa diobral di medan perang. Hanya engkau yang meributkan perkara jiwa. Y : Bukan demikian. Padaku sesuatu itu mesti ada aku-ku di dalamnya. Kalau tidak, aku tidak puas. X : Kalau sekarang engkau hendak memasukkan akumu ke dalam suatu pekerjaan, nanti engkau akan mendapat panggilan dari Gambir Barat1. Y : Oleh karena itulah, engkau tidak bisa menulis seperti kehendakmu itu. X : Bung! Aku bilang saja terus terang. Gerak gerikmu sekarang diamat-amati oleh Gambir Barat. Y : Aku sudah tahu lama. Tapi itu aku tidak ambil perduli. X : Engkau harus hati-hati. Omonganmu jangan terlalu lancang. Y : Aku tahu. Aku lemah. Aku tidak punya karaben. Tapi, kalau aku disuruhnya menulismenulis, seperti yang engkau laksanakan, lebih baik aku makan tanah. X : Apa hinanya? Dia kuanggap majikan, aku buruh. Aku makan gaji. Apa yang dia suruh, toh aku mesti bikin? Y : Engkau mesti ingat. Engkau bukan buruh biasa. Engkau seorang seniman. X : Tidak! Aku tidak pernah bilang aku seorang seniman. Aku orang biasa. Namaku X. Y : Tapi pekerjaanmu? Pekerjaanmu mempropaganda ini itu kepada rakyat. X : Rakyat toh mesti diberi penerangan? Y : Betul! Tapi bukan penerangan yang menjerumuskan itu, kalau engkau bikin propaganda tentang laut, misalnya. X : Aku tidak tahu. Y : Memang. Engkau tidak tahu. Tapi mereka, anak-anak muda yang terpedaya oleh ajak, atau cerita pendek, atau sandiwaramu tentang laut, apa engkau bisa tanggung? X : Mereka mesti tahu sendiri. Sobat! Engkau bangsa apa? X : Aku bangsa Indonesia.

Y : Tulen? X : Tulen! Y : Tidak ada campuran? X : Tidak! Ibu bapak 100% bangsa Indonesia. Y : Kalau begitu aku tidak tahu, mengapa engkau mau menggali kubur untuk bangsamu sendiri. X : Aku tidak menggali kubur. Aku makan gaji. Y : Tapi gajimu berlumuran darah bangsamu sendiri. X : Tidak dengan pekerjaanku, bangsa kita toh sudah berlumuran darah. Y : Jadi engkau hendak menambahnya lagi? X : Pekerjaanku ini seperti titik dalam lautan. Tidakkan menambah dan tidak akan mengurangi. Y : Oleh sebab itu, engkau kerjakan? X : Mengapa aku saja yang engkau terkam? Y : Karena aku anggap engkau wakil dari gerombolanmu. X : Bukan golonganku saja yang diperbudak. Semua golongan, tidak ada terkecualinya. Y : Aku juga tahu. Yang menjerit-jerit berteriak-teriak di lapangan besar, seperti orang edan, juga bangsa kita. Juga tukang tipu rakyat. X : Nah. Itu dia. Jadi bukan aku saja. Y : Itu bukan alasan untuk melakukan pekerjaanmu seperti sekarang ini. X : Lantas maumu aku mesti makan angin? Y : Bukan. Engkau dapat bekerja di lapangan lain. Pendidikanmu cukup. X : Maaf. Tapi aku tidak dapat hidup seperti engkau. Y : Engkau mempunyai cita-cita? X : Penuh. Y : Cita-citamu akan dapat menahan segala deritaan. X : Aku tidak bisa. Tinggal di gubuk rebeh seperti engkau, maaf saja. Aku biasa tinggak di Laan. Baju mesti saban hari ganti, sepatu mesti necis, jangan sampai ternganga. Jajan tidak bisa di pinggir jalan, nongkrong seperti engkau. Aku bisa duduk di Oen. Y : Tapi jangan anggap, buah penamu telah kercap seni. Di luar kantomu ini, masih banyak pemuda-pemuda yang benar-benar berdarah seni, 100% lebih bersih dari darahmu. Mereka sekarang gelisah menanti akhirnya penindasan ini. Tapi dalam sementara itu, mereka menangis melihat kelakuan gerombolanmu yang melontekan diri sebagai alat propaganda. X : Engkau cemburu melihat kedudukanku sekarang ini. Itu sebabnya engkau caci-caci aku. Y : Aku tidak ingin kedudukanmu. Aku tidak ingin menjadi beo. Aku tidak ingin menjadi ekor. Aku tidak ingin menjadi lonte seperti engkau.

X : Kalau tidak ingin, engkau boleh tutup mulutmu. Y : Aku tidak akan menutup mulutku.Aku akan meneriak-neriakkan pengkhianatanmu terhadap bangsamu sendiri, yang engkau jadikan mangsa kebengisan tokehmu dan yang engkau coba meliputinya dengan tulisan-tulisanmu, untuk kepentingan kantongmu sendiri. Seandainya leherku yang kurus ini engkau suruh penggal pada tokehmu, aku akan terus berteriak: meneriakkan pengkhianatanmu selama ini!

Karya : Judul :

radhar panca dahana bayi yang tertawa

Tangerang Desember 2006 Panggung dibuka oleh sebuah cahaya kecil yang cukup terang untuk memperlihatkan wujud yang indah dari wanita 1. ia tengah duduk di tengah panggung (sedikit agak kanan) dengan gaya seorang dewi. anggun tak tergoyahkan. geraknya lambat menimbulkan simpati. sejenak ia memainkan salah satu bagian tubuh atau perangkatnya (bisa rambut, ujung baju, kalung, apa pun) cahaya muncul kembali perlahan. secara gradual memperlihatkan tubuh lelaki 2 yang dengan gagah dan mantap berjalan perlahan menuju wanita 1. keduanya saling memandang dengan jarak dekat. dengan penciptaan dunia cinta di antara keduanya. lelaki 2 istriku.. hanya itu yang terucap. tapi sebuah dunia terbuka. dunia dari dalam diri masing-masing kedua orang itu. mereka masuk dalam suasana masyuk. namun saat suasana itu hampir tenggelam dalam, seseorang muncul tiba-tiba. ditandai dengan cahaya yang keras datangnya menampilkan lelaki 1. lelaki dengan perawakan dan pembawaan seperti tergambar dalam karakternya di atas, muncul dengan satu suara yang agak menghentak kesunyian mengarah pada wanita 1 yang ia sebut dengan satu sebutan kesayangan. lelaki 2 cukup terkejut dan perlahan menyingkir. seperti ada rasa jeri. wanita 1 tak kuasa menahannya. ada rona kecewa yang berat di wajahnya, walau ia berusaha tidak tampakkan. kini perhatian wanita 1 jadi tertumpah pada lelaki 1 yang sekonyong masuk, menyapa, mengajaknya bicara, merayu biru, menawarkan semua. lelaki 1 meminta semua jawaban, tapi wanita 1 hanya bergerak kecil dengan tubuhnya. wajahnya tanpa ekspresi. ada jawaban tapi begitu kabur dengan segala kemungkinannya. lelaki 1 sungguh penasaran. bahkan ia harus memojokkan atau merendahkan lelaki 2 yang atasannya sendiri. lelaki 1 dia itu impoten... katanya antara lain. di saat itu lampu temaram menerangi lelaki 2. wajahnya buram, seperti di kejauhan tak terlihat lelaki 1tapi dapat melihat jelas kejadian di tengah panggung. lelaki 1 makin bernyala. nafas dan nafsunya memburu. ia merasa pasti wanita 1 pun merasa demikian. namun ia tak berani menyentuhnya. beberapa kali ia berusaha tapi ia tak bisa atau tak berani. hingga satu momen, terbit cahaya lain diiringi suara yang menghanyutkan.

wanita 2 muncul dengan langkahnya yang gontai. sebuah kejutan terjadi. lelaki 2 (pada wanita 2) kau? wanita 2 ya, suamiku. wanita 1 dan lelaki 1 terkejut. istrinya dua?, desah lelaki 1 hampir tak terdengar. keduanya memandang wanita 2 dengan seluruh kebimbangan, sebagaimana tergambar dalam karakternya masing-masing. daya hidup wanita 2 begitu menghisap sehingga lelaki 2 pun guncang. lelaki 2 menghampiri wanita 2 dengan gerak yang menghancurkan wibawa, ketegaran, optimisme yang ia hadirkan di babak awalnya. ia jatuh di pangkuan wanita 2. memperlihatkan dirinya yang sebenarnya. seperti menumpahkan seluruh rahasianya pada sumur kedamaian seorang ibu. ia merengek, merajuk, menangis, memeluk, menikmati pijitan lembut di kepalanya. semua disaksikan dengan seksama oleh lelaki 1 dan wanita 1. adegan yang membuat lelaki 1 tak kuasa mempertahankan diri. ia mendekati wanita 1. tanganya bergetar hendak menyentuh. sampai akhirnya ia tak kuat. ia melompat dan menubruk wanita 1.bruk!! lelaki 1 tidak menubruk apa-apa. kecuali ruang kosong atau lantai panggung yang keras. wanita 1 sekonyong bergerak cepat (satu surprise) dan berjalan pelan ke arah di mana adegan wanita 2 dan lelaki 1 berlangsung. namun belum sampai jangkauan tangan, suara tertawa muncul. tawa yang aneh, ringan tapi penuh kuasa. cahaya menyusul kemudian mengiringi langkah santai lelaki 3 ke arah tengah panggung (sedikit di belakang). kehadiran lelaki 3 kembali menyedot semua perhatian. perhatian yang sangat khususnya pada wanita 2, disusul wanita 1. lelaki 3 istriku... katanya pada wanita 2. wanita 2 bergerak melempar lelaki 2 yang tersuruk seperti manusia hina. wanita 2 langsung menghempaskan seluruh dirinya pada lelaki 3. lelaki 3 menyambutnya dengan senyum yang terlalu menawan. wanita 2 hampir tak berdaya. ia menyerahkan seluruh dirinya. satu keadaan yang ternyata tak menghentikan langkah wanita 1.wanita 1 terus berjalan, mendekati lelaki 2, tapi tak diacuhkannya. suami itu ia lewati. ia menuju lelaki 3 yang dengan senyum dan tangan terbuka menyambutnya. wanita 1 sejenak menghentikan langkahnya. seperti ragu. tapi tidak. untuk kali pertama ia tersenyum besar, bahkan tertawa halus penuh rayu.

wanita 1 pun menjatuhkan tubuhnya pada lelaki 3 di sisi lain wanita 2 yang tetap menggayut. lelaki 3 tertawa sepuasnya. tangannya membelai kanan-kiri.

lelaki 1 tampak seperti tikus terkena air panas. gelisah, bingung, benci, dendam, tak kuasa, pasrah, kalah, dan sebagainya. lelaki 2 diam terpaku. membatu. lelaki 3 memandang tajam ke arah dua lelaki itu masih dengan tawa atau senyum yang sarat kemenangan. lelaki 1 tidak tahan. ia meringkuk, menyembunyikan wajah dan rasa takutnya. ia menggeliat tak berdaya. hingga dorr! lelaki 1 terkulai. tak bergerak. habis ia. lelaki 3 tetap tersenyum seperti tak peduli. begitupun kedua wanita, hanya sedikit menoleh lalu kembali masyuk dalam pelukan. lelaki 2? tetap terpaku. jadi batu. lelaki 3 perlahan berjalan mendekati lelaki 2. ia tatap dengan keras, tapi lelaki 2 membalasnya dengan tatapan kosong. hening sesaat. kemudian lelaki 3 menyentuh dan sedikit mendorong bahu lelaki 2. tubuh lelaki 2 bergoyang tak imbang. dan bruk! jatuh seperti selembar daun. wanita 1 mati? lelaki 3 tertawa sekerasnya. wanita 1 tampak sedikit terguncang. tapi usapan lembut lelaki 3 di pundaknya membuat ia lupa. lelaki 3 tidurlah wanita 1 meredupkan mata. dan sungguh ia tertidur. tubuhnya merosot ke lantai dan diam tak bergerak. lelaki 3 mengalihkan pandangnya pada wanita 2 dengan perintah sama. kejadian berulang pada wanita 2 yang jatuh juga ke lantai. lelaki 3 terdiam. tertawa. terdiam. ia melihat sekeliling. mengambil cerutu dan menghisapnya. seperti bangga. tapi tidak. sesungguhnya ia tampak bingung. ia mencari-cari sesuatu dari balik bajunya. ia keluarkan semua uang, kartu kredit, kunci-kunci, tongkat, semua. tapi ia masih belum menemukan apa yang ia cari.

sampai akhirnya, ahhh.... tangannya meraba sesuatu di kantung dalam jaket/jasnya. senyumnya puas sangat mengeluarkan benda itu. sebuah dot bayi. ia tertawa keras. lalu

memasukkan dot itu ke mulutnya. menghisap dengan rasa sangat puas. berulang-ulang hingga terlepas. lalu tertawa keras. tertawa seorang bayi. curtain down.

selesai

Anda mungkin juga menyukai