Anda di halaman 1dari 12

PENELITIAN POLA PENGEMBANGAN SUMBERDAYA AIR SISTEM KEDUNGOMBO (WILAYAH SERANG, LUSI DAN JUWANA) Budi Santoso, dkk

Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Tengah Jl. Imam Bonjol No. 190 Semarang Telp. 0243540025 RINGKASAN Pendahuluan Menurut Badan Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP), kebutuhan air dunia meningkat dua sampai tiga persen per tahun, sedangkan ketersediaan air senantiasa tetap, bahkan cenderung menurun, terutama apabila ditinjau dari segi kualitas. Di Indonesia diperkirakan total kebutuhan air akan meningkat lebih dari 200 persen pada kurun waktu 1990-2020. Dengan kebutuhan yang ada sekarang pun, beberapa sungai di Pulau Jawa pada musim kemarau sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan tersebut. Melihat fakta ini, dikhawatirkan pemenuhan kebutuhan air yang memadai bagi masyarakat akan semakin jauh dari jangkauan. Untuk menghadapi ketidakseimbangan antara ketersediaan air yang cenderung menurun dan kebutuhan air yang cenderung meningkat sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk dan peningkatan aktifitas ekonomi masyarakat, maka diperlukan suatu usaha pengembangan sumber daya air yang berkelanjutan yang lebih efektif dan mampu menjawab tantangan di atas. Salah satu upaya pemenuhan kebutuhan Air di Pulau Jawa telah ditempuh melalui pembangunan waduk. Salah satu waduk yang ada di Pulau Jawa adalah Waduk Kedungombo yang terletak di perbatasan Kabupaten Grobogan, Sragen dan Boyolali, Jawa Tengah beberapa tahun terakhir telah menyusut. Titik terendah volume air itu terjadi pada tahun 2003. Pada posisi Oktober 2005 volume air waduk tersisa 260.775 juta kubik. Dan diperkirakan akan habis untuk irigasi apabila dialirkan dengan debit 50 meter kubik per

detik. Hal ini menunjukkan bahwa waduk belum cukup mampu mengatasi permasalahan kekurangan air di musim kemarau. Persoalan bencana banjir, kekeringan, polusi air dan bencana lainnya terjadi setiap tahun dengan kecenderungan adanya peningkatan kuantitas dan kualitas, bencana air yang bersifat dinamis dalam lingkup ruang dan waktu menyebabkan masalah-masalah tersebut juga dinamis. Oleh karena itu diperlukan rambu-rambu yang hakekatnya agar pengelolaan sumber daya air dapat berkelanjutan, terpadu dan berwawasan lingkungan baik di wilayah hulu, daerah tangkapan dan daerah hilir. Pemerintah Republik Indonesia telah mengantisipasi persoalan tersebut dengan terbitnya UU No.7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa wilayah sungai digunakan sebagai basis wilayah pengelolaan sumber daya air. Salah satu prosedur yang harus dilakukan dalam pengelolaan sumber daya air adalah penyusunan pola . Pola disusun berdasarkan wilayah sungai dengan prinsip keterpaduan antara air permukaan dan air tanah (pasal 11 ayat 2) dengan memperhatikan wewenang dan tanggung jawab masing-masing instansi sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Permasalahan yang ada pada sistem Kedungombo, disamping pola operasi yang kurang optimum, penurunan fungsi waduk Kedungombo juga disebabkan oleh degradasi lingkungan, proses eksploitasi sumberdaya alam, baik di Waduk Kedungombo itu sendiri maupun di Daerah Aliran Sungai (DAS)-nya terpacu dengan cepat sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk dan makin baiknya aksesibilitas menuju kawasan itu. Hal ini merupakan permasalahan didaerah hulu yang salah satunya akan mengakibatkan pendangkalan pada waduk. Sedang dibagian hilir permasalahan yang dihadapi pengaturan pola tanam dan kebiasaan petani menyangkut pengoperasian pompa air liar di Kabupaten Grobogan dan Pati, sering berakibat petani yang memiliki sawah di bagian bawah tidak menerima air secara utuh.

Hal ini menimbulkan konflik diantara pemanfaat air dari waduk Kedungombo, sering terjadi benturan / konflik horizontal antara petani pemakai air di bagian hulu dalam hal ini petani dari Kabupaten Grobogan dengan petani di bagian hilir dalam hal ini petani dari Kabupaten Kudus, Demak dan Pati. Konflik lain antara kepentingan pertanian dan kepentingan air baku atau dengan kepentingan perikanan di perairan waduk. Hasil dan Pembahasan A. KELEMBAGAAN Tujuan dari semua langkah dalam pengelolaan sumber daya air adalah terciptanya suatu kondisi pelaksanaan pengelolaan sumber daya yang ideal, sinergis, terpadu dan harmonis. Sinergitas yang diharapkan akan tercipta dalam konteks wilayah, sektor dan generasi, itulah esensi yang terkandung dalam pengelolaan sumber daya air, termasuk diaplikasi dalam pengelolaan sumber daya air di sistem waduk kedung ombo. Pemahaman atas tujuan ini, baik secara filosofis maupun empirik harus mampu menjiwai setiap langkah kegiatan dari setiap organisasi, kelompok, dan individu yang termasuk dalam kelompok pemangku kepentingan (stakeholders). Pemahaman atas tujuan pengelolaan sumber daya air juga harus dikaitkan dengan pemahaman tentang fungsi dan prinsip pengelolaan sumber daya air. Fungsi pengelolaan sumber daya air paling tidak terdiri atas tiga hal, yaitu: 1) fungsi sosial, 2) fungsi lingkungan hidup, dan 3) fungsi ekonomi. Ketiga fungsi tersebut harus diupayakan pelaksanaan secara sinergis pula, sehingga membawa kemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi semua pihak. Pada umumnya hampir semua strata atau tingkat pemerintahan memiliki jenis urusan yang saling berkaitan terkait dengan empat sub-sub bidang yang ada dalam sub bidang Sumber Daya Air, hanya dibedakan menurut lingkup atau batasan urusannya saja, terutama merujuk pada dimensi kewilayahan, yaitu: lingkup antar kabupaten/kota, antar Provinsi (Urusan Nasional atau Pusat), lingkup antar kabupaten/kota dalam Provinsi (Urusan Provinsi), dan lingkup dalam kabupaten/kota (Urusan Kabupaten/Kota).

Lembaga-lembaga pemerintah yang terkait dalam pengelolaan sumber daya air di lingkungan sistem waduk kedung ombo, antara lain: Pusat (Ditjen Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum), Provinsi Jawa Tengah (Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air, Dinas Kehutanan, Dinas Perkebunan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Badan Pengendalian Lingkungan Hidup, dan lain-lain), dan Kabupaten/Kota. Lembaga-lembaga non pemerintah yang terlibat dalam pengelolaan sumber daya air di sistem waduk kedung ombo, antara lain: Swasta (Industri: Agrobisnis, Listrik, Air Minum, lain-lain), Masyarakat (P3A dengan 4 strata kelembagaan (unit, gabungan, induk, dan federasi), ORARI, RAPI, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan lain-lain). Daerah cakupan waduk kedung ombo sendiri mencapai areal yang sangat luas, yang membutuhkan adanya mekanisme koordinasi dan komunikasi yang tepat untuk mampu tetap menjaga terciptanya sinkronisasi langkah penanganan di lapangan. Selama ini, langkah koordinasi telah tergalang dengan cukup baik, dan ditangani oleh suatu Balai di bawah kewenangan Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Provinsi Jawa Tengah. Koordinasi ini melibatkan semua komponen yang terkait dalam pengelolaan sumber daya air di sistem waduk kedung ombo. Bentuk lembaga koordinasi lain yang selama ini juga telah dibangun dan dibina antara lain : Forum Peduli Banjir dan Forum Peduli Kekeringan. Kendala utama yang biasa ditemukan dalam koordinasi antar lembaga dalam pengelolaan sumber daya air di sistem waduk kedung ombo terutama terkait dengan aspek tindak lanjut dan kepatuhan. Kondisi demikian tentunya sangat tidak kondusif bagi pengembangan komitmen yang kuat bagi keberhasilan pengelolaan sumber daya air di sistem waduk kedung ombo. Oleh karena itu, untuk masa yang akan datang perlu kiranya dipikirkan untuk membentuk suatu sistem dan mekanisme koordinasi antar lembaga dalam pengelolaan sumber daya air di lingkungan sistem waduk kedung ombo yang lebih adaptif, didukung

oleh semua pihak, dan memiliki kekuatan dalam banyak aspek, mulai dari kekuatan hukum hingga kekuatan dalam pembiayaan kegiatan. Dalam pengelolaan sumber daya air di sistem waduk kedung ombo, instansi yang terkait telah memberikan beberapa kegiatan pemberdayaan, baik yang diperuntukkan bagi petugas di lapangan maupun bagi kelompok masyarakat yang terkait, seperti P3A. Pemberdayaan yang dilakukan ditujukan untuk meningkatkan kualitas dan kinerja semua pihak yang terkait dalam pengelolaan sumber daya air. Pemberdayaan ini akan lebih tertata baik apabila telah terbentuk dan terlembaga suatu organisasi baru yang mampu menampung semua dinamika dalam pengelolaan sumber daya air di sistem waduk kedung ombo. Pembiayaan dalam kegiatan pengelolaan sumber daya air di sistem waduk kedung ombo bersumber dari pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota yang terkait. Hal yang penting, dan sangat perlu untuk dikembangkan adalah adanya kontribusi pembiayaan atau pendanaan yang berasal dari non pemerintah. Tingginya tingkat kontribusi/partisipasi masyarakat dalam pembiayaan, akan sangat bermanfaat pada saat telah terbentuk suatu wadah/organisasi baru yang bersumber dari berbagai stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan air, dan sekaligus menunjukkan besarnya komitmen semua pihak untuk keberhasilan pencapaian tujuan organisasi. Komponen proses dalam pengelolaan sumber daya air menekankan pada aspek transformasi atau aktivitas pokok, yang terdiri dari konservasi, pendayagunaan, dan pengendalian sumber daya air. Hal lain yang masuk dalam pembahasan proses ini adalah pembentukan pola pengelolaan sumber daya air. Pola pengelolaan akan lebih tepat dikembangkan dalam wujud suatu lembaga baru, merujuk pada Draft Revisi PP 25/2000 ada istilah Komisi Air, dan di dalam UU 7/2004 ditemukan istilah Dewan Sumber Daya Air. Lembaga baru ini diharapkan akan mampu memberikan kontribusi yang signifikan dalam penyusunan kerangka perencanaanpelaksanaan, pemantauan dan evaluasi pengelolaan sumber daya air di sistem waduk kedung ombo.

Sistem Informasi Manajemen (SIM) pengelolaan sumber daya air di sistem waduk kedung ombo selama ini masih bersifat sangat terbatas. Data yang tersedia belum terlalu komprehensif dan hanya dapat digunakan dan diakses untuk kalangan terbatas atau internal. Data belum diinformasikan atau dipublikasikan kepada masyarakat. B. NON KELEMBAGAAN Pendayagunaan Sumber Daya Air Waduk Kedung Ombo yang dibangun dari tahun 1985 sampai dengan tahun 1989 direncanakan mampu melayani kebutuhan air irigasi bagi sawah seluas 63.534 hektar yang tersebar di Kabupaten Grobogan (16.706 hektar), Demak (29.535 hektar), Pati (11.078 hektar) dan Kudus (6.215 hektar). Disamping itu air Waduk Kedung Ombo juga dimanfaatkan untuk keperluan pembangkit tenaga listrik, yaitu sebesar 22,5 MWH/tahun, pembangkit listrik minihidro di Bendung Sidorejo sebesar 1,4 MWH/tahun dan di Bendung Klambu sebesar 1,17 MWH/tahun, serta untuk keperluan air minum melalui PDAM di Kota Semarang (2,50 m3/dt), di Kabupaten Purwodadi (0,15 m3/dt), di Kabupaten Demak (1,50 m3/dt), dan di Kabupaten Rembang (0,70 m3/dt). Waduk Kedung Ombo yang memiliki luas daerah tangkapan air di Kabupaten Boyolali, Sragen, dan Grobogan juga dimanfaatkan untuk pengendalian banjir di wilayah hilir, seperti Kudus dan Demak, dan juga untuk keperluan perikanan, irigasi pasang surut di wilayah sabuk hijaunya dan pariwisata. Sumber air utama Waduk Kedung Ombo adalah limpasan air hujan dari Daerah Tangkapan Air Kedung Ombo seluas 614 km2. Data hujan pada stasiun hujan Semen (SE 205B) dan stasiun hujan Pengkol (SE 201) menunjukkan bahwa hujan tahunan rerata kedua 1762 mm dan 1715 mm. Berdasarkan peta curah hujan tahunan yang disusun oleh PIPWS Jratun Seluna menunjukkan bahwa wilayah sistem Kedung Ombo memiliki curah hujan tahunan antara 2000 sampai dengan 2500 mm. Jadi dapat disimpulkan bahwa potensi ketersediaan sumber daya air di wilayah Kedung Ombo termasuk besar.

Menurut perencanaan awal, Waduk Kedung Ombo memiliki kapasitas efektif tampungan sebesar 635 juta m3, namun berdasarkan pengukuran yang dilakukan pada tahun 1994 (setelah 5 tahun beroperasi), kapasitas efektif tampungan menjadi 619,7 juta m3 atau berkurang 2,4%. Dengan kata lain kapasitas tampungan efektif Waduk Kedung Ombo rerata berkurang 0,5% per tahun. Perubahan volume atau pengurangan volume tampungan WKO lebih disebabkan oleh faktor sedimentasi waduk yang cukup besar. Kapasitas sungai Wulan di hilir pintu Wilalung adalah sebesar 700 m3/dt, sedangkan kapasitas Sungai Juana di hilir bangunan pengatur banjir adalah 280 m3/dt. Kapasitas Sungai Lusi yang masuk Sungai Serang sebesar 600 m3/dt. Potensi air tanah di sistem WKO kecil sampai besar tergantung lokasinya. Secara umum, di bagian hulu (setelah outlet WKO) memiliki potensi air tanah dan produktivitas yang kecil. Sebaliknya, di bagian tengah dan hilir memiliki potensi air tanah yang besar dan produktivitas yang sedang sampai tinggi. Berdasarkan peta hydrogeologi wilayah PIPWS Jratun Seluna tampak bahwa akuifer di sistem WKO merupakan akuifer dengan aliran melalui ruang antar butir, dengan produksi sedang sampai tinggi. Kebutuhan air irigasi dipengaruhi oleh pola dan tata tanam, tingkat kejenuhan tanah, kondisi klimatologi setempat, dsb. Pola dan tata tanam diatur melalui Surat Keputusan Bupati. Hal yang menarik dari hasil kuisioner adalah bahwa 30 dari 62 responden (54%) mengatakan tidak mengetahui adanya SK Bupati tersebut. SK Bupati ternyata tidak banyak diikuti responden. Hal ini terlihat hanya 30% responden saja yang mengikuti aturan SK Bupati. Alokasi air adalah upaya pembagian air dari tampungan Waduk Kedung Ombo dengan bangunan-bangunan pelengkapnya kepada pemanfaat air di dalam sistem Kedung Ombo. Pembagian air tersebut dilakukan melalui skema operasi waduk. Berkaitan dengan pembagian air ini, ternyata 80% responden kuisioner mengatakan merata. Jika dilihat dari faktor kekeringan, sebagian responden mengatakan sering mengalami kekeringan (9%), sebagian besar mengatakan kadang-kadang mengalami kekeringan

(46%). Padahal berdasarkan analisis keseimbangan inflow dan outflow dalam sistem Kedung Ombo pada periode September 2004-Maret 2005 dan pada September 2005-Maret 2006, tampak bahwa masih ada air yang mengalir ke laut melalui Sungai Wulan, yaitu masing-masing sebesar 447 juta m3/dtk dan 1532 juta m3/dtk. Hal ini menunjukkan adanya kekurangoptimalan dalam pengaturan air di system WKO. Kekurangoptimalan juga tampak pada banyaknya pengambilan dengan pompa dari saluran irigasi yang tidak terkontrol. Pengendalian Daya Rusak Air Waduk Kedung Ombo yang merupakan waduk multipurpose, juga difungsi-kan untuk pengendalian banjir di hilir, seperti Kabupaten Kudus dan Kabupaten Demak yang rawan terhadap banjir. Berdasarkan hasil kuisioner, ternyata prosentase kawasan yang sering mengalami banjir sekitar 18%, dan yang tidak pernah sama sekali 30%. Sedangkan tentang penyebab terjadinya banjir, 30% responden mengatakan karena hutan gundul, saluran tersumbat 27%, sediment 25%, dan karena saluran terlalu kecil 18%. Jika terjadi banjir, sebagian besar responden (41%) tidak melakukan apa-apa, sebagian lagi gotong royong (29%). Kekeringan pada dasarnya merupakan kondisi dimana curah hujan pada suatu periode musim tertentu dirasakan kurang. Tentang persepsi masyarakat terhadap kekeringan ini, sebagian besar responden (42%) mengidentifikasi bahwa kekeringan terjadi ketika tanah di sawah mulai retak. Sebagian besar responden di system WKO (46%) kadang-kadang mengalami kekeringan. Yang termasuk dalam wilayah rawan kekeringan umumnya adalah areal sawah non irigasi. Daerah Irigasi yang mengalami kekeringan di sistem WKO diantaranya disebabkan oleh: 1. 2. 3. 4. Pelanggaran pola dan tata tanam, Konflik kepentingan antara pengguna di hulu dan di hilir, Peningkatan pelanggaran pengambilan air (pompa liar), dan Kurang optimalnya koordinasi pengelolaan sumber daya air.

Konservasi Sumber Daya Air Masalah utama yang dihadapi dalam pembangunan dan pengoperasian oleh hampir semua waduk adalah bagaimana menjaga agar fungsi waduk dapat optimal dan berkelanjutan. Salah satu faktor utama yang dapat menyebabkan fungsi waduk tidak optimal adalah berkurangnya kapasitas tampung waduk. Hal ini dapat terjadi karena meningkatnya laju erosi lahan dalam Daerah Aliran Sungai (DAS), sehingga meningkatkan laju sedimentasi pada tampungan waduk. Menurut sebagian besar responden (44%) menyatakan bahwa ketersediaan air di alam dipengaruhi oleh tata guna lahan di kawasan hulu. tingkat sedimentasi waduk dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah intensitas hujan, kondisi topografi, tata guna lahan, jenis tanah permukaan, dan karakteristik sungai. Kawasan sabuk hijau saat ini sebagian dimanfaatkan untuk pemukiman dan pertanian masyarakat bekas korban genangan WKO. Batasan daerah sabuk hijau untuk daerah datar adalah 200 m dari elevasi muka air tertinggi yang pernah dicapai (kurang lebih +91 m). sabuk hijau adalah termasuk lahan konservasi karena dapat menahan laju erosi dan sedimentasi. Namun dengan pemanfaatan kawasan sabuk hijau, terutama untuk pertanian, tentu akan meningkatkan laju erosi lahan dan sedimentasi dalam tampungan waduk. Areal waduk yang termasuk lahan pasang surut adalah kawasan waduk yang terletak diantara elevasi + 80.00 meter s/d + 90.00 meter, yaitu seluas 1900 Ha. Lama pemanfaatan berkisar dari bulan Mei sampai Oktober, waktu pemanfaatan tergantung dari besarnya curah hujan yang di daerah hulu waduk. Sebenarnya pemanfaatan lahan pasang surut untuk pertanian juga kurang tepat. Hal ini karena pada saat pengolahan tanah, biasanya lapisan permukaan tanah dicangkul, sehingga butiran tanah akan terlepas. Butiran tanah yang lepas merupakan potensi erosi yang dapat menyebabkan pendangkalan waduk. Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan Untuk memperoleh jaminan ketersediaan air di masa depan diperlukan peningkatan efisiensi dalam pemanfaatan sumber air yang ada sekarang. Saat ini telah diakui bahwa kegiatan konservasi air, termasuk pengenalan teknologi hemat-air dalam pertanian dan industri, program pengurangan kehilangan air, pemanfaatan kembali air limbah, dan kampanye peningkatan kesadaran masyarakat untuk menggunakan air secara rasional dapat menghasilkan penghematan air yang diperlukan. Berkaitan dengan efisiensi penggunaan air, sebagian besar responden (62%) menyatakan bahwa penggunaan air saat ini sudah efisien. Saran 1.POLA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR KELEMBAGAAN a. Perlunya keseimbangan dan keterpaduan langkah konservasi dan langkah pendayagunaan sumber daya air dalam pengelolaan sumber daya air. b. c. Perlunya mewujudkan keterpaduan dalam pengelolaan air permukaan dan Perlunya peningkatan kualitas Sistem Informasi management (SIM) Sumber Daya Air, sehingga akan lebih mudah diakses oleh masyarakat. NON-KELEMBAGAAN a. Potensi curah hujan tahunan di system Waduk Kedung Ombo cukup besar. Potensi tersebut perlu dimanfaatkan secara optimal melalui pemanenan air (rainfall harvesting), misalnya melalui dam parit yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan irigasi. b. Volume tampungan efektif Waduk Kedung Ombo berkurang 0,50% per tahun. Pengurangan volume tersebut lebih disebabkan karena laju sedimentasi yang besar. Untuk meminimalkan laju sedimentasi waduk, cara terbaik adalah mengontrol sumber sediment,

yang sebagian besar merupakan erosi lahan. Oleh karena itu pengaturan tata guna lahan di hulu perlu dilakukan, disamping cara pengolahan lahan. 2. INVENTARISASI PEMANFAATAN KEGIATAN DI PERAIRAN DI WKO Kegiatan yang ada di hulu, terutama aktifitas di kawasan pasang surut dan sabuk hijau dapat meningkatakan laju sedimen WKO yang akan menimbulkan dampak pada pengurangan kepasitas tampungan waduk. Oleh karena itu perlu peraturan perundangan yang melarang aktifitas di hulu kawasan tesebut. Perlunya optimalisasi dari berbagai sisi, untuk meningkatkan tingkat kecukupan penggunaan sumber daya air. 3. INVENTARISASI SUMBER AIR PERMUKAAN DAN AIR TANAH Perlunya sistim informasi spasial tentang sumber air baik permukaan maupun air tanah, baik informasi tentang lahan maupun kapasitas yang mudah di akses oleh masyarakat. Pola operasi waduk perlu mempertimbangkan ketersediaan sumber air, bila air permukaan maupun air tanah, sehingga diperoleh optimalisasi pengelolaan Sumber Daya Air di sistim WKO. 4. KONSEP / OPTIMALISASI WADUK

Konsep / optimalisasi waduk perlu mempertimbangkan : ketersediaan SDA, baik permukaan maupun air bawah tanah, aliran balik ( return flow) dan pengambilan dengan pompa pada areal sawah yang tidak dapat dilayani secara gravitasi. Perlunya pengembangan model pengelola SDA di sekitar WKO yang User Friendly sehingga mudah dioperasikan dan dipahami oleh petugas di daerah. 5. MENGATASI MASALAH DI HULU Laju sedimentasi WKO selain disebabkan oleh aktivitas di lahan pasang surut dan sabuk hijau, juga tata guna lahan di kawasan DAS. Oleh karena itu perlu adanya pengaturan tentang tata guna lahan di hulu, disamping upaya konservasi lahan.

Hak Cipta 2006 Balitbang Prov. Jateng Jl. Imam Bonjol No. 190 Semarang 50132 Telp : (024) 3540025, Fax : (024) 3560505 Email : sekretariat@balitbangjateng.go.id

Anda mungkin juga menyukai