KELEMBAGAAN
Disusun Oleh :
Nama: Mirza Febriansyah Arifin
NIM : 155040207111123
Kelas : P
Ketahanan pangan nasional merupakan salah satu tujuan utama pembangunan pertanian
yang dilaksanakan Pemerintah melalui peningkatkan produksi pangan baik di lahan beririgasi
maupun tadah hujan. Untuk mencapai ketahanan pangan nasional tersebut, sampai saat ini
masih terdapat permasalahan mendasar yaitu ketersediaan sumber daya air dan sumber daya
lahan yang semakin terbatas, sedangkan kebutuhan bahan pangan semakin meningkat.
Persoalan lain yang dihadapi oleh Pemerintah dalam upaya meningkatkan produksi pangan
adalah kerusakan infrastruktur jaringan irigasi di tingkat usaha tani dan sering terjadinya
anomali iklim ekstrim yang menyebabkan bencana kekeringan dan banjir.
Penumbuhan P3A didasarkan kepada pemikiran bahwa kelembagaan petani pemakai
air sudah ada di pedesaan sejak zaman dahulu, namun kondisinya sebagian besar masih belum
berkembang dan tradisional sesuai adat dan kondisi lokal yang ada. Penumbuhan P3A
dilakukan untuk meningkatkan kemampuan kelembagaan yang sudah ada melalui peningkatan
kemampuan belajar masyarakat (learning capacity of society) yang terdiri dari 3 (tiga) unsur
yaitu: a) membangun saling percaya (trust); b) membangun kreatifitas (creativity); dan c)
melestarikan kearifan lokal (local wisdom). Dalam hal P3A tidak dapat tumbuh secara
keswadayaan dan alamiah oleh petani yang berada dalam wilayah irigasi petak tersier/tingkat
usaha tani atau wilayah desa, maka Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah
kabupaten/kota dapat memfasilitasi proses pembentukan P3A sesuai dengan langkah-langkah
dan tata cara penumbuhan yang telah ditetapkan. Pembentukan P3A yang dilakukan oleh
Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota harus tetap dan dapat
menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan, partisipatif dan keswadayaan dengan karakteristik
dan fungsi yang sama dengan P3A yang tumbuh secara alamiah.
P3A berfungsi sebagai wahana belajar bagi petani, wadah kerjasama, modal sosial
(social capital), pengelola prasarana irigasi dan penyedia jasa lainnya sesuai kondisi wilayah
setempat sehingga menjadi P3A yang kuat dan mandiri.
KRITERIA PERENCANAAN PETAK TERSIER
Dalam upaya menciptakan pengelolaan sumberdaya air yang efisien dan merata,
diperlukan penyesuaian kelembagaan baik untuk kelembagaan pemerintah, swasta maupun
petani. Pada tingkat petani, dipandang penting untuk mengembangkan kapasitas asosiasi
pemakai air menjadi suatu organisasi yang mampu berperan ganda, bukan hanya sebagai
pengelola jaringan irigasi tetapi juga kegiatan usaha ekonomi. Pembiayaan pengelolaan
jaringan irigasi yang berkesinambungan memerlukan keterpaduan yang holistik antara
investasi jangka pendek (untuk kegiatan OP) dan jangka panjang untuk kegiatan rehabilitasi
dari sistem irigasi. Terbatasnya kemampuan pemerintah dari segi dana untuk menangani
kegiatan operasi dan pemeliharaan (OP) irigasi, maka pemerintah mencanangkan kebijakan
iuran pengeloaan air (IPAIR) sepenuhnya dikelola oleh P3A. Tujuan IPAIR adalah untuk
mencapai pemulihan biaya secara penuh atas biaya OP dari sistem jaringan irigasi.
Hasil kajian di Propinsi Jawa Timur oleh Rachman dan K. Kariyasa (2001)
menunjukkan bahwa belum ada kerjasama yang baik antara pelaku pengelola di tingkat atas
(dalam hal ini Perum Jasa Tirta I dan Pemda setempat) dengan pengelola di tingkat bawah
(P3A, P3A Gabungan atau P3A Federasi). Dalam prakteknya secara teknis dan manajemen
organisasi P3A hanya berhubungan dengan instansi pemerintah/Dinas Pengairan dan belum
ada ikatan kerjasama dengan Perum Jasa Tirta I. Padahal sebenarnya dalam sistem pengelolaan
air, ketersediaan air di tingkat bawah (di petak sawah petani) ditentukan oleh kinerja Perum
Jasa Tirta I yang diberi wewenang khusus untuk mengelola air di tingkat atas.
Agar terjaminnya persediaan air yang berkelanjutan, maka perlu adanya kerjasama
antara petani pemakai air melalui wakil-wakilnya yang duduk di P3A Ferasi dengan Perum
Jasa Tirta I. Dalam bentuk kerjasama tersebut P3A Federasi berkewajiban menyetorkan
sebagian penerimaannya ke Perum Jasa Tirta I dan selanjutnya P3A berhak mendapat
pelayanan (jatah) air yang memadai ke saluran primer sesuai dengan perjanjian yang telah
disepakati. Dalam perkumpulan P3A sebaiknya tidak hanya pengelolaan air sebagai unit usaha,
perlu adanya unit usaha sampingan seperti pengadaan saprodi, simpan pinjam, jasa alsintan,
dan lain sebagainya sehingga mampu melayani berbagai kebutuhan anggotanya, namun
demikian basis unit kegiatan tetap pada pengelolaan air irigasi.
KELEMBAGAAN IRIGASI DALAM PERSPEKTIF OTONOMI DAERAH
Subak adalah suatu organisasi tradisional yang memiliki kekuatan kohesif dan koersif
yang unik pada tiap hierarki. Suatu pendekatan etnometodologi dilakukan untuk memahami
kelembagaan subak di Bali. Kabupaten Gianjar dan Tabanan terpilih sebagai wilayah pusat
pendekatan etnometodologi tersebut. Tujuan penelaahan ini adalah untuk memahami elemen-
elemen kelembagaan subak serta untuk menjabarkan kaitan berbagai peubah sosial
kelembagaan dalam organisasi tersebut. Keluaran yang diharapkan dari kegiatan ini adalah: 1)
karakteristik kelembagaan subak di Bali, termasuk karakteristik teknososial dan gaya
pengelolaan atau "management style", 2) pola kekuatan kohesif kelembagaan subak dan antar
anggota subak, dan 3) penjabaran logis terhadap ekspresi indeksikal yang dijumpai dalam
rutinitas subak. Untuk kepentingan penelaahan ini, pengumpulan dan analisis ekspresi
indeksikal, pengamatan dan analisis percakapan, serta analisis interaksi nonverbal diterapkan
dalam konteks implementasi pendekatan etnometodologi. Makalah ini mengungkap kehadiran
kelembagaan sosial religius subak, pola pengelolaan dan kekuatan kohesif kelembagaan yang
mengungkap ekspresi indeksikal serta kaitannya dengan tindakan praktis petani dalam
lingkungan agro-ekosistem masing-masing.
Sebagai lembaga yang mandiri, subak tidak tergantung pada organisasi desa adat dan
pada organisasi pemerintahan, desa dinas (kelurahan). Dilihat dari struktur organisasinya,
subak memiliki variasi yang berbeda dimana susunan organisasi satu subak dengan subak
lainnya tidak sama. Organisasi subak terdiri atas Pekaseh (ketua subak), Panyarikan
(sekretaris), Juru raksa (bendahara), Pangliman (wakil ketua) dan juru arah (penghubung).
Dalam satu struktur organisasi subak biasanya terdapat 6 7 pangliman. Pangliman ini
merupakan pelaksana teknis dalam pengelolaan irigasi di tingkat desa (saluran tersier), masing-
masing pangliman membawahi seorang juru arah. Sedangkan juru arah membawahi beberapa
kelian tempe (kelompok tani) yang terdiri dari beberapa kerama (anggota kelompok).
Diantara orang Hindu Bali, pertanian dianggap sebagai bagian dari kehidupan sosial
keagamaan mereka atau sebaliknya. Oleh karena itu, perilaku petani petani dikendalikan oleh
norma dan aturan masyarakatnya. Sebuah organisasi subak tradisional menggunakan kekuatan
kohesif dan koersif dalam keseimbangan yang harmonis, dimana kerama mengikuti secara
sukarela Mantra sebagai ekspresi indeks umum masyarakat diasumsikan memiliki kekuatan
koersif tertentu, sedangkan sesajen sebagai aktualisasi ekspresi indeksik menunjukkan
kekuatan serupa di tingkat mikro.
EVALUASI ASPEK KELEMBAGAAN PENGELOLAAN JARINGAN IRIGASI DI
TINGKAT PETANI PADA USAHATANI PADI SAWAH DI KABUPATEN
BANJARBARU, KALIMANTAN SELATAN
Usaha pemerintah untuk mencapai tujuan dalam produksi beras dilakukan intensifikasi
produksi padi dengan cara penerapan teknologi dan pemanfaatan potensial. Pada dasarnya, air
perlu diatur agar pemberiannya pada lahan tepat jumlah dan waktu. jaringan irigasi dibagi
menjadi jaringan primer, sekunder, tersier dan kuarter dengan sistem pengelolaan yang diatur
sebagai berikut Indikator Pelayanan Irigasi, Indikator ini menunjukkan tingkat ketersediaan
air di saluran tersier maupun kuarter dan cara penggunaan air pada lahan sawah irigasi.
Komponen yang dipengaruhi oleh kondisi fisik baik lahan sawah maupun irigasinya, dapat
diantisipasi oleh petugas irigasi (ulu-ulu atau juru pintu) dengan cara pembagian air yang baik,
ditunjukkan dengan ada tidaknya usaha illegal apabila terjadi kekurangan air pada petani.
Indikator Kondisi Fisik Kebutuhan Air Komponen indikator kondisi fisik kebutuhan air
adalah kepuasan terhadap air, waktu pembagian air, kondisi air di pintu sadap dan jarak sawah
dari pintu sadap. Indikator ini menunjukkan tingkat kepuasan petani dalam pemanfaatan air
irigasi dan kondisi fisik terutama dilihat dari pintu sadap. Indikator Pemeliharaan Saluran
Irigasi Pemenuhan penggunaan air di lahan sawah hanya akan berhasil baik apabila kondisi
fisik dari saluran irigasi baik dan kegiatan pemeliharaannya selalu dilaksanakan secara teratur
dan terus-menerus. Saluran irigasi baik tersier maupun kuarter berfungsi baik apabila kondisi
saluran secara fisik maupun geometrik selalu dalam kondisi baik dan dilaksanakan kegiatan
operasi dan pemeliharaan secara teratur dan terus menerus.
Indikator Perkumpulan Petani Pemakai Air Perkumpulan Petani Pemakai Air
merupakan perkumpulan orang-orang yang terkait dengan sistem irigasi dan diharapkan ikut
bertanggungjawab dalam pengorganisasian dan pelaksanaan tugas eksploitasi dan
pemeliharaan jaringan irigasi sebagai salah satu usaha Pemerintah untuk meningkatkan dan
melestarikan sistem irigasi yang sudah mapan. Indikator Penyuluhan Pertanian Penyuluhan
pertanian yang dilakukan oleh PPL, merupakan kegiatan yang diharapkan oleh petani dalam
pelaksanaan usahatani mereka. Indikator Pengembangan Tata Guna Air Proyek PTGA ini
merupakan proyek yang dilaksanakan oleh Sub Dinas Pengairan dan proyek irigasi yang
bersangkutan untuk meningkatkan produksi pertanian.
HUBUNGAN DINAMIKA PERKUMPULAN PETANI PEMAKAI AIR (P3A)
DENGAN TINDAKAN PERBAIKAN INFRASTRUKTUR IRIGASI DI
KECAMATAN POLOKARTO KABUPATEN SUKOHARJO
Menghadapi permasalahan pertumbuhan penduduk dan laju penurunan luas panen padi,
pemerintah memprioritaskan program pembangunan pertanian yang bertujuan untuk
meningkatkan produksi melalui Pancayasa Pembangunan Pertanian. Lima pilar utama
pancayasa itu yakni perbaikan infrastruktur pertanian (di antaranya infrastruktur irigasi),
pemberdayaan kelembagaan pertanian, penguatan modal dan skema pembiayaan, revitalisasi
penyuluhan pertanian serta pengembangan pasar dan jaringan pemasaran. Eksistensi dari suatu
kelembagaan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) akan mempengaruhi efektivitas dan
efisiensi petani dalam pengelolaan lahan serta saluran irigasi. Suatu kelompok membutuhkan
adanya dinamika kelompok yang baik, yang mencakup seluruh kegiatan meliputi inisiatif, daya
kreatif dan tindakan nyata yang dilakukan oleh pengurus dan anggota kelompok dalam
melaksanakan rencana kerja kelompoknya yang telah disepakati bersama.
Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) adalah kelembagaan pengelolaan irigasi yang
menjadi wadah petani pemakai air dalam suatu daerah pelayanan irigasi yang dibentuk oleh
petani pemakai air sendiri secara demokratis, termasuk kelembagaan lokal pengelola air irigasi.
Untuk menuju efisiensi penggunaan air dapat ditempuh dengan berbagai jalan yang salah
satunya dengan pembentukan dan pembinaan organisasi P3A, dengan kewajiban bagi setiap
anggotanya mengumpulkan iuran untuk pembangunan dan pemeliharaan bangunan dan alatalat
pengukur pengaliran di wilayah petani, serta menyelenggarakan kerja sama (gotongroyong)
dan musyawarah kelompok secara berkala untuk mengelola pengairannya seefisien mungkin.
Dinamika kelompok Perkumpulan Petani Pemaka Air (P3A) di Kecamatan polokarto
Kabupaten Sukoharjo termasuk dalam kategori tinggi. Tindakan kelompok P3A dalam
melakukan perbaikan terhadap infrastruktur irigasi di Kecamatan Polokarto Kabupaten
Sukoharjo sudah tergolong tinggi. Pada taraf kepercayaan 95 %, hubungan antara dinamika
kelompok P3A dengan tindakan perbaikan infrastruktur irigasi di Kecamatan Polokarto
Kabupaten Sukoharjo.
ANALISIS KELEMBAGAAN IRIGASI DALAM RANGKA PROYEK
REHABILITASI SISTEM DAN BANGUNAN IRIGASI (Kasus Kawasan Irigasi Teknis
Cigamea, Desa Situ Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa
Barat)
This synthesis report investigates the potential willingness of potato producers in the Tri-
County area (Putnam, St. Johns and Flagler counties) to invest in an automated seep or subdrip
irrigation system and the conditions that would have to exist for such investment to be feasible.
Automated seep and sub-drip irrigation systems were tested and studied at the Hastings
Research Center Experimental Farm in 1995 and 1996. The goal of this research was to
determine if automated seep or sub-drip irrigation could be a technically and financially
feasible alternative to the manual seep system. Pitts and Clark (1990) conducted a study over
three seasons to compare the costs of in-bed drip on tomatoes to the costs of a traditional
semienclosed seepage irrigation system. Although the authors state that on-station results show
that yield and quality are not affected by the type of irrigation system, they did observe that
dripirrigated tomatoes were bigger on average, a characteristic that results in a price premium.
Labor costs are not included in the study.
The cost analysis shows that an incremental conversion from manual to automated seep
resulted in a net savings of about $7/acre. This estimate, however, does not include the extra
time it takes to manage the automated system. Incremental conversion to sub-drip irrigation
requires a net increase in annual costs of $178/acre. The increase in net costs is primarily a
result of the fixed costs of the drip tubing and the variable costs associated with its maintenance.
Net revenue is determined by cost levels, yields, and prices. Assuming that there is no product
price or yield difference amongst the three systems, net returns are higher for the automated
seep system. One result of the regression analysis is that there is no significant difference in
yield levels between the automated seep and sub-drip systems (table 18); however, because
this result was obtained for a limited, homogeneous area at a research station, further research
should be carried out across different soil types to see if the interaction between soil type and
irrigation system makes a ifference in yield levels and therefore in net revenue.
The social benefits of automated seep and sub-drip systems are associated with lower
amounts of water for irrigation (conservation) and decreased drainage flows (environmental
protection); however, insufficient information is available to quantify these public benefits, and
further research is needed. Specifically, there is a need to identify and select existing method(s)
for valuing conserved water and estimating drainage costs in terms of environmental damages
from runoff.