Anda di halaman 1dari 16

TUGAS RESUME IRIGASI DAN DRAINASE

KELEMBAGAAN

Disusun Oleh :
Nama: Mirza Febriansyah Arifin
NIM : 155040207111123
Kelas : P

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
PEMBERDAYAAN PERKUMPULAN PETANI PEMAKAI AIR (P3A)

Pemberdayaan pengelolaan irigasi penting karena sewaktu pemerintahan Orde Baru,


kebijakan pemerintah dalam pembangunan sumberdaya air diarahkan untuk memotong garis
kemiskinan dengan menaikkan produksi pertanian melalui program pencapaian swa sembada
beras. Maka untuk itulah pemerintah (pusat) melakukan pembangunan in'gasi sebagai titik
berat pembangunan sumberdaya air. Kebijakan pemerintah tersebut selaras dengan paradigma
pembangunan atau konsep dasar berpikir yang dianut pada waktu itu yaitu berupa pencapaian
pertumbuhan ekonomi sebesar-besarnya.
Akibat yang nyata adalah munculnya konflik antara masyarakat dengan pemerintah,
seperti ditunjukkan oleh kasus Kedungombo, Nipah, Proyek Lahan Gambut (PLG) dan
Iainlain. Selain itu ketergantungan masyarakat terhadap peran pemerintah yang sangat besar
juga menyebabkan beban pemerintah untuk melaksanakan operasi dan pemeliharaan (O&P)
sistem irigasi yang sudah dibangun menjadi sangat besar sehingga menyebabkan kondisi
sistem jaringan yang sudah ada menjadi lebih buruk dan mengancam keberlanjutan sistem
irigasi tersebut. Dampak dari itu semua adalah pertumbuhan ekonomi masyarakat yang semula
dijadikan sasaran pembangunan irigasi menjadi tidak terwujud.
Pembangunan dan pengelolaan irigasi dengan paradigma baru, adanya kelemahan
pelaksanaan pembangunan dengan paradigma lama telah menyebabkan munculnya paradigma
baru dalam pelaksanaan pembangunan. Paradigma baru ini timbul sejalan dengan munculnya
beberapa fenomena perkembangan di masyarakat, berupa maraknya terhadap beberapa
tuntutan masyarakat.
Pemberdayaan organisasi petani, sebagaimana halnya dalam pengelolaan irigasi,
pelaksanaan terpusat, pendekatan atas bawah dan seragam -tersebut juga dilakukan pada
pembangunan perangkat lunak yang berupa penyusunan perangkat hukum dan pembentukan
organisasi petani. Dalam pembinaan P3A dengan paradigma lama maka pelaksanaannya
dititikberatkan pada target, yaitu berapa jumlah organisasi yang terbentuk. Dalam
pembentukan organisasi tersebut langkah-langkah pelaksanaan dilakukan dengan hanya
memperhatikan pembentukan struktur organisasi serta penyusunan Anggaran Dasar (AD) dan
Aggaran Rumah Tangga (ART) organisasi.
PEDOMAN PEMBINAAN DAN PEMBERDAYAAN PERKUMPULAN PETANI
PEMAKAI AIR

Ketahanan pangan nasional merupakan salah satu tujuan utama pembangunan pertanian
yang dilaksanakan Pemerintah melalui peningkatkan produksi pangan baik di lahan beririgasi
maupun tadah hujan. Untuk mencapai ketahanan pangan nasional tersebut, sampai saat ini
masih terdapat permasalahan mendasar yaitu ketersediaan sumber daya air dan sumber daya
lahan yang semakin terbatas, sedangkan kebutuhan bahan pangan semakin meningkat.
Persoalan lain yang dihadapi oleh Pemerintah dalam upaya meningkatkan produksi pangan
adalah kerusakan infrastruktur jaringan irigasi di tingkat usaha tani dan sering terjadinya
anomali iklim ekstrim yang menyebabkan bencana kekeringan dan banjir.
Penumbuhan P3A didasarkan kepada pemikiran bahwa kelembagaan petani pemakai
air sudah ada di pedesaan sejak zaman dahulu, namun kondisinya sebagian besar masih belum
berkembang dan tradisional sesuai adat dan kondisi lokal yang ada. Penumbuhan P3A
dilakukan untuk meningkatkan kemampuan kelembagaan yang sudah ada melalui peningkatan
kemampuan belajar masyarakat (learning capacity of society) yang terdiri dari 3 (tiga) unsur
yaitu: a) membangun saling percaya (trust); b) membangun kreatifitas (creativity); dan c)
melestarikan kearifan lokal (local wisdom). Dalam hal P3A tidak dapat tumbuh secara
keswadayaan dan alamiah oleh petani yang berada dalam wilayah irigasi petak tersier/tingkat
usaha tani atau wilayah desa, maka Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah
kabupaten/kota dapat memfasilitasi proses pembentukan P3A sesuai dengan langkah-langkah
dan tata cara penumbuhan yang telah ditetapkan. Pembentukan P3A yang dilakukan oleh
Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota harus tetap dan dapat
menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan, partisipatif dan keswadayaan dengan karakteristik
dan fungsi yang sama dengan P3A yang tumbuh secara alamiah.
P3A berfungsi sebagai wahana belajar bagi petani, wadah kerjasama, modal sosial
(social capital), pengelola prasarana irigasi dan penyedia jasa lainnya sesuai kondisi wilayah
setempat sehingga menjadi P3A yang kuat dan mandiri.
KRITERIA PERENCANAAN PETAK TERSIER

Untuk mengatur aliran air dan sumbernya ke petak-petak sawah, diperlukan


pengembangan sistem irigasi di dalam petak tersier. Pemerintah Republik Indonesia telah
memutuskan bahwa tanggung jawab atas Pengembangan dan Pengelolaan jaringan utama
berada di pihak Pemerintah, sedangkan para pemakai jaringan bertanggung jawab atas O & P
Pengembangan dan Pengelolaan saluran, pembuang serta bangunan-bangunannya di petak
tersier. Petak tersier merupakan basis suatu jaringan irigasi. Perencanaan dan pelaksanaan
petak tersier dilaksanakan oleh para Petani Pemakai Air (P3A) dengan bantuan teknis dari
pemerintah melalui pemerintah Kabupaten. Operasi dan pemeliharaannya menjadi tanggung
jawab para petani yang diorganisasi dalam Petani Pemakai Air atau P3A. Pembiayaan
pengembangan tersier menjadi tanggung jawab petani, kecuali sadap tersier, saluran sepanjang
50 m dari bangunan sadap, box tersier dan kuarter, bangunan lainnya. Dalam hal petani tidak
mampu, pemerintah dapat memberi bantuan.
Menurut Instruksi Presiden no. 2 tahun 1984, para petani pemakai air bertanggung
jawab atas Eksploitasi dan Pemeliharaan di petak tersier. Untuk pengembangan petak tersier,
prakarsa harus datang dari para petani. Untuk lebih memberikan dorongan kepada para petani,
rapat-rapat pembinaan akan diorganisasi di bawah wewenang pemerintah daerah. Kegiatan
pertama adalah pengukuran topografi di mana titik-titik rincik ketinggian diukur dan garisgaris
tinggi (kontur) ditentukan. Inventarisasi situasi dan fasilitas yang sudah ada di petak tersier
dilakukan dalam waktu bersamaan oleh Bagian Pembinaan dan Perencana. Inventarisasi ini
hendaknya mencakup semua prasarana yang ada seperti saluran-saluran irigasi dan pembuang,
bangunan, jalan, batas-batas desa dan daerah-daerah perkampungan. Inventarisasi juga
mencakup aliran air yang sebenarnya di daerah itu.
Bila pengembangan petak tersier akan dilaksanakan di jaringan irigasi teknis yang
sudah ada, maka konsekuensinya terhadap kebutuhan tinggi energi di bangunan sadap tersier
harus dipelajari dengan seksama. Kehilangan tinggi energi di boks bagi akan mengakibatkan
diperlukannya muka air rencana yang lebih tinggi, khususnya di daerah-daerah datar. Layout
pendahuluan juga meliputi batas-batas petak tersier, daerah yang dapat diairi dan trase saluran
berdasarkan data-data yang telah diperoleh sebelumnya. Layout pendahuluan hendaknya sudah
menunjukkan peng.aruh terhadap tinggi rencana di jaringan utama.
KEBIJAKAN SISTEM KELEMBAGAAN PENGELOLAAN IRIGASI:
Kasus Provinsi Banten

Terbatasnya sumber daya air untuk irigasi seringkali memunculkan konflik


kepentingan antara petani pemakai air dengan lembaga perdesaan yang mengelola air irigasi,
maupun antar petani pemakai air. Tujuan kajian ini adalah menyusun kerangka kerja analitis
untuk lembaga pengelola irigasi dalam mengatasi konflik pemanfaatan air dan menganalisis
sistem pengelolaan irigasi yang kondusif menunjang otonomi daerah. Hasil kajian
menunjukkan bahwa pengembangan dan pemberdayaan asosiasi petani pemakai air dapat
dilakukan dengan memberikan tanggung jawab yang lebih besar melalui pendekatan kolektif
dalam bentuk federasi. Disamping itu, untuk mengatasi konflik pemanfaatan air dalam
pengelolaan irigasi perlu mempertimbangkan aspek-aspek penting lainnya yaitu, transparansi,
akuntabilitas, hak atas air, dan aturan representasi.
Adanya pandangan bahwa air irigasi adalah barang publik (public goods) menyebabkan
masyarakat cenderung kurang efisien dalam menggunakan air. Secara ekonomi, ketidakjelasan
tentang hak-hak (water rights) dan kewajiban dalam pemanfaatan air, menyebabkan organisasi
asosiasi pemakai air kurang efektif. Disamping itu, mekanisme kelembagaan dalam alokasi
sumber daya air tidak berfungsi, yang pada gilirannya akan menimbulkan inefisiensi
penggunaan air serta adanya potensi konflik dalam pengalokasian air.
Dalam upaya mencapai pengelolaan sumber daya air yang efisien dan berdimensi
pemberdayaan petani diperlukan penyesuaian kelembagaan, baik untuk kelembagaan
pemerintah, swasta maupun petani. Pada tingkat petani dipandang penting untuk
mengembangkan Organisasi Petani Pemakai Air yang responsif dan mampu menyesuaikan
kegiatannya terhadap perubahan unsur-unsur kelembagaan dalam era otonomi daerah.
Perkembangan kelembagaan irigasi telah banyak mewarnai pergeseran sistem
kelembagaan dan dinamika sosial ekonomi masyarakat perdesaan, dan fenomena ini akan terus
berlangsung. Interaksi teknologi (irigasi) dan kelembagaan mewujudkan suatu proses
pembentukan kelembagaan baru. Atas dasar ini kelembagaan diwujudkan sebagai aturan main
untuk mengatur pelaku ekonomi dalam suatu komunitas.
Lembaga-lembaga tradisional pengelola irigasi yang sampai saat ini masih bertahan
membuktikan betapa pentingnya organisasi dalam pengelolaan air tersebut. Menurut Ambler
(1990) organisasi pengelola air bukan sekedar organisasi untuk kegiatan teknis semata, namun
lebih dari itu merupakan suatu lembaga sosial, bahkan di perdesaan Indonesia kandungan
kaidah-kaidah yang telah disepakati lebih sarat daripada sarana fisiknya.
Dalam upaya mencapai pengelolaan sumber daya air yang efisien dan berdimensi
pemberdayaan petani, diperlukan penyesuaian kelembagaan, baik untuk kelembagaan
pemerintah, swasta maupun petani. Pemerintah mendorong terwujudnya kelembagaan Petani
Pemakai Air (P3A) untuk melaksanakan fungsifungsi berikut: (a) sebagai pengelola air yang
mengatur pembagian dan penggunaan air untuk kepentingan kegiatan usahatani; dan (b) untuk
memelihara saluran irigasi lokal yang dibangun oleh pihak pemerintah.
Dengan demikian, kelembagaan yang perlu mendapat perhatian adalah kelembagaan
Panitia Irigasi (TK.I dan II), Panitia Tata Pengaturan Air (PTPA) dan P3A. Hal ini,
mengisyaratkan bahwa organisasi sumber daya asosiasi lokal perlu diberi kesempatan untuk
mengelola sumber daya air yang tidak hanya terbatas pada tingkat usahatani, namun melibatkan
secara lebih luas di tingkat distribusi dan alokasi.
Dalam konteks kelembagaan irigasi terdapat tiga aspek penting yang sangat berperan
yaitu yang menyangkut aspek: (1) batas yurisdiksi (jurisdiction of boundary), (2) hak
kepemilikan (property rights), dan (3) aturan representasi (rule of representation). Sementara
itu, aspek teknis pada dasarnya menyangkut: (1) alokasi air (water allocation), dan (2) operasi
dan pemeliharaan (maintenance). Keterpaduan aspek teknis dan sistem kelembagaan dalam
pengelolaan irigasi akan berpengaruh terhadap hasil (outcomes), efisiensi dan optimasi
pengalokasian sumber daya air.
Melalui penggabungan P3A berdasarkan hamparan hidrologis (saluran sekunder)
diikuti dengan kewenangan yang diperluas akan menunjang peningkatan efisiensi kinerja P3A.
Hal ini akan dicirikan oleh: (a) kurangnya unsur birokratis, (b) komunikasi dan koordinasi
relatif cepat dan lancar, (c) pihakpihak yang ber kepentingan terepresentasi dalam
kepengurusan organisasi gabungan P3A, dan (d) pengelolaan dana IPAIR akan lebih transparan
dan demokratis. Efektivitas penerapan institusi kolektif (P3A/P3A Gabungan) ditentukan oleh
karakteristik intrinksik sumber daya air atau produknya. Semakin tinggi biaya transaksi, free
rider, resiko dan ketidakpastian, maka semakin sulit kemungkinan menerapkan institusi
kepemilikan dan menerapkan mekanisme harga sebagai instrumen kearah efisiensi. Alternatif
lain dapat ditempuh melalui pemberdayaaan institusi community management seperti,
Perkumpulan Petani Pemakai Air.
DINAMIKA KELEMBAGAAN PENGELOLAAN AIR IRIGASI

Dalam upaya menciptakan pengelolaan sumberdaya air yang efisien dan merata,
diperlukan penyesuaian kelembagaan baik untuk kelembagaan pemerintah, swasta maupun
petani. Pada tingkat petani, dipandang penting untuk mengembangkan kapasitas asosiasi
pemakai air menjadi suatu organisasi yang mampu berperan ganda, bukan hanya sebagai
pengelola jaringan irigasi tetapi juga kegiatan usaha ekonomi. Pembiayaan pengelolaan
jaringan irigasi yang berkesinambungan memerlukan keterpaduan yang holistik antara
investasi jangka pendek (untuk kegiatan OP) dan jangka panjang untuk kegiatan rehabilitasi
dari sistem irigasi. Terbatasnya kemampuan pemerintah dari segi dana untuk menangani
kegiatan operasi dan pemeliharaan (OP) irigasi, maka pemerintah mencanangkan kebijakan
iuran pengeloaan air (IPAIR) sepenuhnya dikelola oleh P3A. Tujuan IPAIR adalah untuk
mencapai pemulihan biaya secara penuh atas biaya OP dari sistem jaringan irigasi.
Hasil kajian di Propinsi Jawa Timur oleh Rachman dan K. Kariyasa (2001)
menunjukkan bahwa belum ada kerjasama yang baik antara pelaku pengelola di tingkat atas
(dalam hal ini Perum Jasa Tirta I dan Pemda setempat) dengan pengelola di tingkat bawah
(P3A, P3A Gabungan atau P3A Federasi). Dalam prakteknya secara teknis dan manajemen
organisasi P3A hanya berhubungan dengan instansi pemerintah/Dinas Pengairan dan belum
ada ikatan kerjasama dengan Perum Jasa Tirta I. Padahal sebenarnya dalam sistem pengelolaan
air, ketersediaan air di tingkat bawah (di petak sawah petani) ditentukan oleh kinerja Perum
Jasa Tirta I yang diberi wewenang khusus untuk mengelola air di tingkat atas.
Agar terjaminnya persediaan air yang berkelanjutan, maka perlu adanya kerjasama
antara petani pemakai air melalui wakil-wakilnya yang duduk di P3A Ferasi dengan Perum
Jasa Tirta I. Dalam bentuk kerjasama tersebut P3A Federasi berkewajiban menyetorkan
sebagian penerimaannya ke Perum Jasa Tirta I dan selanjutnya P3A berhak mendapat
pelayanan (jatah) air yang memadai ke saluran primer sesuai dengan perjanjian yang telah
disepakati. Dalam perkumpulan P3A sebaiknya tidak hanya pengelolaan air sebagai unit usaha,
perlu adanya unit usaha sampingan seperti pengadaan saprodi, simpan pinjam, jasa alsintan,
dan lain sebagainya sehingga mampu melayani berbagai kebutuhan anggotanya, namun
demikian basis unit kegiatan tetap pada pengelolaan air irigasi.
KELEMBAGAAN IRIGASI DALAM PERSPEKTIF OTONOMI DAERAH

Perkembangan kelembagaan irigasi telah banyak mewarnai pergeseran sistem


kelembagaan dan dinamika sosial ekonomi masyarakat pedesaan, dan fenomena ini akan terus
berlangsung. Interaksi teknologi (irigasi) dan kelembagaan mewujudkan suatu proses
pembentukan kelembagaan baru. Atas dasar ini, kelembagaan diwujudkan sebagai aturan main
untuk mengatur pelaku ekonomi dalam suatu komunitas.
Dalam sistem kelembagaan pengelolaan irigasi terkandung makna elemen-elemen
partisipan, teknologi, tujuan, dan struktur dimana terdapat interdependensi satu sama lain.
Sistem kelembagaan yang dianut bertujuan ke arah efisiensi, dengan mengurangi ongkos
transaksi ("transaction cost"). Hubungan sistem kelembagaan dan biaya transaksi tercirikan
pada tiga kaitan sifat yang secara nyata menyebabkan adanya perbedaan insentif dan pembatas
bagi partisipan yaitu: 1) sifat fisik irigasi, 2) sifat masyarakat partisipan, dan 3) sistem
kelembagaan. Dalam konteks kelembagaan irigasi, tiga aspek penting yang sangat berperan
adalah: 1) batas yurisdiksi ("jurisdictionboundary") yaitu batas otoritas suatu lembaga dalam
mengatur sumber daya air, yang umumnya berdasarkan batas hidrologis seperti saluran
sekunder dan saluran primer, 2) hak kepemilikan ("property rights") yaitu hak setiap individu
petani untuk mendapatkan pelayanan air sesuai dengan kewajiban yang dibebankan, dan 3)
aturan representasi ("rule of representation") yaitu aturan yang telah disepakati dengan tujuan
untuk menjamin terjadinya keseimbangan antara hak atas pelayanan air yang diperoleh dengan
besarnya kewajiban yang dibebankan. Agar aturan ini bisa ditegakkan, maka perlu adanya
penerapan sanksi secara konsisten. Sementara itu, aspek teknis pada dasarnya menyangkut
alokasi air ("water allocation") serta operasi dan pemeliharaan ("maintenance"). Keterpaduan
aspek teknis dan sistem kelembagaan dalam pengelolaan irigasi akan berpengaruh terhadap
hasil ("outcomes"), efisiensi, dan optimasi pengalokasian sumber daya air.
Kemampuan dan kondisi sosiokultural masyarakat maupun lembaga pemerintah
pengelola irigasi relatif heterogen, sehingga kegiatan PPI harus dilakukan dengan asas selektif,
bertahap, dan demokratis disesuaikan dengan kondisi jaringan irigasi dan tingkat kesiapan
P3A/P3A Gabungan setempat (Widodo, 2000). Di samping itu, jaringan irigasi yang akan
diserahkan merupakan jaringan irigasi yang secara teknis siap untuk diserahkan. Dengan
demikian, diperlukan kriteria yang jelas serta disepakati bersama antara pemerintah dan
P3A/P3A Gabungan. Sebagaimana diketahui bahwa PPI merupakan pengalihan wewenang dan
tanggung jawab. Belum adanya dasar hukum yang melandasi pelaksanaan PPI, khususnya
menyangkut luas cakupan, wewenang dan tanggung jawab yang dialihkan akan menyebabkan
terhambatnya mekanisme pengalihan tersebut.
Penggabungan P3A dan pelibatan petani anggota P3A dalam pengelolaan sumber daya air
sampai pada distribusi air di tingkat atas (saluran primer dan sekunder) merupakan langkah
strategis dalam meningkatkan efisiensi pemanfaatan air irigasi di tingkat lokal.
Penggabungan P3A seyogianya didasarkan pada wilayah hidrologis (bukan pendekatan
administratif), sehingga potensi konflik dalam pengelolaan irigasi relatif dapat dihindari.
Penyerahan urusan pemungutan dan pengelolaan dana IPAIR yang otonom, dapat mendorong
partisipasi petani dalam membayar iuran. Selain perubahan kelembagaan di tingkat petani,
keberhasilan pengelolaan air irigasi juga tergantung pada pengelolaan di tingkat distribusi dan
sungai. Kelembagaan yang perlu mendapat perhatian adalah kelembagaan Panitia Irigasi Tk.I
dan II, PTPA, unit pengelola sumber daya air, dan P3A. Tarif IPAIR tidak dapat diberlakukan
secara umum karena tingkat pelayanan aparat pengairan tergantung pada kebutuhan petani dan
ketersediaan air. Pada keadaan air cukup, petani merasa tidak memerlukan pelayanan dan ini
akan menekan tarif IPAIR. Dalam proses PPI belum ada pedoman sebagai penuntun dalam
pelaksanaannya di daerah. Untuk itu diperlukan adanya pedoman yang jelas dan partisipatif
serta disesuaikan dengan kondisi sosiokultural masyarakat setempat. Tersedianya kepastian
hukum terhadap pelimpahan wewenang pengelolaan irigasi di tingkat kabupaten dipandang
penting sebagai dasar PPI kepada P3A/P3A Gabungan. Demikian pula untuk menjaga
kelestarian jaringan irigasi diperlukan dukungan dana pengelolanya dan proporsi aturan
tanggung jawab secara eksplisit. Efektivitas penerapan institusi kolektif (P3A/P3A Gabungan)
ditentukan oleh karakteristik intrinsik sumber daya air adalah melalui pemberdayaan institusi
"community management" seperti, P3A.
SISTEM KELEMBAGAAN IRIGASI UNTUK MENDUKUNG KEBIJAKAN
ALOKASI ANGGARAN OPERASI DAN PEMELIHARAAN DI PROPINSI BALI

Sistem Pengeloaan jaringan irigasi di Bali berbeda cara pengerjaannya dibanding


propinsi lainnya di Jawa, hal ini dikarenakan keterikatan dengan adat yang sangat dipatuhi.
Sejak otonomi daerah diberlakukan biaya Operasi dan pemelihatraan irigasi subak yang berada
disatu kabupaten ditanggung oleh pemerintah setempat. Tetapi bila berada daerah irigasi (DI)
berada di lintas kabupaten , maka biaya O7P ditanggung oleh pemerintah Propinsi. Bentuk
irigasi yang diterapkan di Bali ini memiliki system yang bernaman subak. Subak adalah
kelembagaan tradisional agraris-religius-sosial, dimana masyarakat petani dalam suatu
kawasan merupakan suatu kesatuan dengan ekosistem sekitar. Kondisi ekologi, iklim dan
cuaca, teknologi dan ketrampilan merupakan suatu kesatuan (entitas) yang dikemas sedemikian
rupa oleh ADAT (Awig-awig/peraturan; Dresta/ kebudayaan; Agama; Tatakrama).Dari bentuk
irigasi subak tersebut terdiri dari 3 macam, yakni penguot (iuran pengurus subak), pengaci
(biaya upacara keagamaan) dan tempe ( biaya pembersihan saluran irigasi).
Pengelolaan jaringan irigasi, khususnya irigasi PU di Bali, mengacu pada Inpres
No.3/1999 dan PP No.7 2001, dimana kewenangan dan kegiatan OP irigasi, mulai saluran
primer, sekunder akan dilimpahkan kepada P3A/Gabungan P3A dengan pendanaan berasal
dari iuran pelayanan air (IPAIR) dan iuran P3A. Hal ini terbukti dengan dikeluarkannya SK
Gubernur No.509 Tahun 1999, tentang Pembentukan Tim Pembina dan Kelompok Kerja Iuran
Pelayanan Irigasi (IPAIR) Propinsi Bali. Disamping itu, sesuai dengan PP No. 7 2001
pengelolaan jaringan irigasi yang sumber airnya melintasi kabupaten/kota OPnya ditangani
Pemerintah Pusat/Propinsi, dan yang bukan lintas kabupaten/kota ditangani kabupaten
bersangkutan.
Secara konseptual, P3A dan Gabungan P3A memiliki pengertian yang sama dengan
lembaga tradisional pengelola irigasi di Bali, yang dikenal dengan Subak atau Gabungan
Subak. Subak yang berada di areal Hidrologis yang sama di saluran sekunder atau daerah
irigasi, berkelompok menjadi Gabungan Subak (Subak Gede). Gabungan subak ini yang akan
mengkoordinir kegiatan antar subak, seperti dalam kegiatan pungutan IPAIR, yang
berkoordinasi dengan lembaga/instansi terkait seperti Sedahan Agung (Dispenda), Dinas PU,
dan Dinas Pertanian.
Sebagai lembaga yang mandiri, subak tidak tergantung pada organisasi desa adat dan
pada organisasi pemerintahan, desa dinas (kelurahan). Dilihat dari struktur organisasinya,
subak memiliki variasi yang berbeda dimana susunan organisasi satu subak dengan subak
lainnya tidak sama. Organisasi subak terdiri atas Pekaseh (ketua subak), Panyarikan
(sekretaris), Juru raksa (bendahara), Pangliman (wakil ketua) dan juru arah (penghubung).
Dalam satu struktur organisasi subak biasanya terdapat 6 7 pangliman. Pangliman ini
merupakan pelaksana teknis dalam pengelolaan irigasi di tingkat desa (saluran tersier), masing-
masing pangliman membawahi seorang juru arah. Sedangkan juru arah membawahi beberapa
kelian tempe (kelompok tani) yang terdiri dari beberapa kerama (anggota kelompok).
Untuk insentif masing-masing pengurus bersumber dari iuran yang dibayarkan oleh
anggota. Dana yang terhimpun oleh subak dialokasikan untuk (1) OP jaringan irigasi, (2)
kegiatan-kegiatan upacara ADAT. Adapun sumber dana yang di alokasikan tersebut, berasal
dari : (1) sarin tahun, yaitu iuran yang dibayar oleh anggota subak setiap habis panen; (2)
paturun, yaitu iuran yang dipungut secara insidentil atau berdasarkan kebutuhan; (3) pengoot
(pengampel), yaitu iuran untuk pembelian air bagi anggota subak yang tidak aktif
melaksanakan pekerjaan-pekerjaan subak; (4) pengaci, yaitu, iuran untuk pelaksanaan upacara
keagamaan; (5) kontrak bebek, yaitu kontrak areal sawah sehabis panen untuk mengembalakan
itik/bebek). Selain itu, untuk ketua subak mendapat insentif (honorarium) dari pemda setempat
yang besarnya antar wilayah bervariasi. Di Tabanan, pada tahun 2003 ini, honorarium ketua
subak sudah termuat dalam SK Bupati, dimana besarnya Rp 100.000 yang dapat diambil per
triwulan. Sedangkan di Kabupaten Badung, mencapai Rp 350.000.
Dari sisi pendapatan usahatani padi di propinsi Bali, keuntungan tertinggi yang
dinikmati oleh petani perhektar setiap musim (MT I. Rp. 2,91 juta), (MT II Rp. 2,72 juta) dan
(MT III Rp. 2,80 juta). Fenomena lain yang menarik adalah bahwa petani Bali dalam mengelola
padi total biaya yang dikeluarkan ternyata lebih rendah dari total keuntungan usahatani, hal
ini dikarenakan produktivitas usahatani dan harga jual produksi padi di Bali relatif baik.
Kondisi irigasi di Bali berbeda dibanding propinsi lainnya, karena urusan irigasi ditingkat
petani sepenuhnya ditangani Subak. Seperti iuran subak terdiri dari 3 macam yakni
penguot(iuran pengurus subak), pengaci(biaya upacara keagamaan) dan tempe (biaya
pembersih saluran).Anggota subak juga berkewajiban turut serta dalam kegiatan gotong
royong membersihkan saluran yang dikerjakan dua kali dalam semusim.
DESKRIPSI ISTITUSI SISTEM SUBAK BALI

Subak adalah suatu organisasi tradisional yang memiliki kekuatan kohesif dan koersif
yang unik pada tiap hierarki. Suatu pendekatan etnometodologi dilakukan untuk memahami
kelembagaan subak di Bali. Kabupaten Gianjar dan Tabanan terpilih sebagai wilayah pusat
pendekatan etnometodologi tersebut. Tujuan penelaahan ini adalah untuk memahami elemen-
elemen kelembagaan subak serta untuk menjabarkan kaitan berbagai peubah sosial
kelembagaan dalam organisasi tersebut. Keluaran yang diharapkan dari kegiatan ini adalah: 1)
karakteristik kelembagaan subak di Bali, termasuk karakteristik teknososial dan gaya
pengelolaan atau "management style", 2) pola kekuatan kohesif kelembagaan subak dan antar
anggota subak, dan 3) penjabaran logis terhadap ekspresi indeksikal yang dijumpai dalam
rutinitas subak. Untuk kepentingan penelaahan ini, pengumpulan dan analisis ekspresi
indeksikal, pengamatan dan analisis percakapan, serta analisis interaksi nonverbal diterapkan
dalam konteks implementasi pendekatan etnometodologi. Makalah ini mengungkap kehadiran
kelembagaan sosial religius subak, pola pengelolaan dan kekuatan kohesif kelembagaan yang
mengungkap ekspresi indeksikal serta kaitannya dengan tindakan praktis petani dalam
lingkungan agro-ekosistem masing-masing.
Sebagai lembaga yang mandiri, subak tidak tergantung pada organisasi desa adat dan
pada organisasi pemerintahan, desa dinas (kelurahan). Dilihat dari struktur organisasinya,
subak memiliki variasi yang berbeda dimana susunan organisasi satu subak dengan subak
lainnya tidak sama. Organisasi subak terdiri atas Pekaseh (ketua subak), Panyarikan
(sekretaris), Juru raksa (bendahara), Pangliman (wakil ketua) dan juru arah (penghubung).
Dalam satu struktur organisasi subak biasanya terdapat 6 7 pangliman. Pangliman ini
merupakan pelaksana teknis dalam pengelolaan irigasi di tingkat desa (saluran tersier), masing-
masing pangliman membawahi seorang juru arah. Sedangkan juru arah membawahi beberapa
kelian tempe (kelompok tani) yang terdiri dari beberapa kerama (anggota kelompok).
Diantara orang Hindu Bali, pertanian dianggap sebagai bagian dari kehidupan sosial
keagamaan mereka atau sebaliknya. Oleh karena itu, perilaku petani petani dikendalikan oleh
norma dan aturan masyarakatnya. Sebuah organisasi subak tradisional menggunakan kekuatan
kohesif dan koersif dalam keseimbangan yang harmonis, dimana kerama mengikuti secara
sukarela Mantra sebagai ekspresi indeks umum masyarakat diasumsikan memiliki kekuatan
koersif tertentu, sedangkan sesajen sebagai aktualisasi ekspresi indeksik menunjukkan
kekuatan serupa di tingkat mikro.
EVALUASI ASPEK KELEMBAGAAN PENGELOLAAN JARINGAN IRIGASI DI
TINGKAT PETANI PADA USAHATANI PADI SAWAH DI KABUPATEN
BANJARBARU, KALIMANTAN SELATAN

Usaha pemerintah untuk mencapai tujuan dalam produksi beras dilakukan intensifikasi
produksi padi dengan cara penerapan teknologi dan pemanfaatan potensial. Pada dasarnya, air
perlu diatur agar pemberiannya pada lahan tepat jumlah dan waktu. jaringan irigasi dibagi
menjadi jaringan primer, sekunder, tersier dan kuarter dengan sistem pengelolaan yang diatur
sebagai berikut Indikator Pelayanan Irigasi, Indikator ini menunjukkan tingkat ketersediaan
air di saluran tersier maupun kuarter dan cara penggunaan air pada lahan sawah irigasi.
Komponen yang dipengaruhi oleh kondisi fisik baik lahan sawah maupun irigasinya, dapat
diantisipasi oleh petugas irigasi (ulu-ulu atau juru pintu) dengan cara pembagian air yang baik,
ditunjukkan dengan ada tidaknya usaha illegal apabila terjadi kekurangan air pada petani.
Indikator Kondisi Fisik Kebutuhan Air Komponen indikator kondisi fisik kebutuhan air
adalah kepuasan terhadap air, waktu pembagian air, kondisi air di pintu sadap dan jarak sawah
dari pintu sadap. Indikator ini menunjukkan tingkat kepuasan petani dalam pemanfaatan air
irigasi dan kondisi fisik terutama dilihat dari pintu sadap. Indikator Pemeliharaan Saluran
Irigasi Pemenuhan penggunaan air di lahan sawah hanya akan berhasil baik apabila kondisi
fisik dari saluran irigasi baik dan kegiatan pemeliharaannya selalu dilaksanakan secara teratur
dan terus-menerus. Saluran irigasi baik tersier maupun kuarter berfungsi baik apabila kondisi
saluran secara fisik maupun geometrik selalu dalam kondisi baik dan dilaksanakan kegiatan
operasi dan pemeliharaan secara teratur dan terus menerus.
Indikator Perkumpulan Petani Pemakai Air Perkumpulan Petani Pemakai Air
merupakan perkumpulan orang-orang yang terkait dengan sistem irigasi dan diharapkan ikut
bertanggungjawab dalam pengorganisasian dan pelaksanaan tugas eksploitasi dan
pemeliharaan jaringan irigasi sebagai salah satu usaha Pemerintah untuk meningkatkan dan
melestarikan sistem irigasi yang sudah mapan. Indikator Penyuluhan Pertanian Penyuluhan
pertanian yang dilakukan oleh PPL, merupakan kegiatan yang diharapkan oleh petani dalam
pelaksanaan usahatani mereka. Indikator Pengembangan Tata Guna Air Proyek PTGA ini
merupakan proyek yang dilaksanakan oleh Sub Dinas Pengairan dan proyek irigasi yang
bersangkutan untuk meningkatkan produksi pertanian.
HUBUNGAN DINAMIKA PERKUMPULAN PETANI PEMAKAI AIR (P3A)
DENGAN TINDAKAN PERBAIKAN INFRASTRUKTUR IRIGASI DI
KECAMATAN POLOKARTO KABUPATEN SUKOHARJO

Menghadapi permasalahan pertumbuhan penduduk dan laju penurunan luas panen padi,
pemerintah memprioritaskan program pembangunan pertanian yang bertujuan untuk
meningkatkan produksi melalui Pancayasa Pembangunan Pertanian. Lima pilar utama
pancayasa itu yakni perbaikan infrastruktur pertanian (di antaranya infrastruktur irigasi),
pemberdayaan kelembagaan pertanian, penguatan modal dan skema pembiayaan, revitalisasi
penyuluhan pertanian serta pengembangan pasar dan jaringan pemasaran. Eksistensi dari suatu
kelembagaan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) akan mempengaruhi efektivitas dan
efisiensi petani dalam pengelolaan lahan serta saluran irigasi. Suatu kelompok membutuhkan
adanya dinamika kelompok yang baik, yang mencakup seluruh kegiatan meliputi inisiatif, daya
kreatif dan tindakan nyata yang dilakukan oleh pengurus dan anggota kelompok dalam
melaksanakan rencana kerja kelompoknya yang telah disepakati bersama.
Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) adalah kelembagaan pengelolaan irigasi yang
menjadi wadah petani pemakai air dalam suatu daerah pelayanan irigasi yang dibentuk oleh
petani pemakai air sendiri secara demokratis, termasuk kelembagaan lokal pengelola air irigasi.
Untuk menuju efisiensi penggunaan air dapat ditempuh dengan berbagai jalan yang salah
satunya dengan pembentukan dan pembinaan organisasi P3A, dengan kewajiban bagi setiap
anggotanya mengumpulkan iuran untuk pembangunan dan pemeliharaan bangunan dan alatalat
pengukur pengaliran di wilayah petani, serta menyelenggarakan kerja sama (gotongroyong)
dan musyawarah kelompok secara berkala untuk mengelola pengairannya seefisien mungkin.
Dinamika kelompok Perkumpulan Petani Pemaka Air (P3A) di Kecamatan polokarto
Kabupaten Sukoharjo termasuk dalam kategori tinggi. Tindakan kelompok P3A dalam
melakukan perbaikan terhadap infrastruktur irigasi di Kecamatan Polokarto Kabupaten
Sukoharjo sudah tergolong tinggi. Pada taraf kepercayaan 95 %, hubungan antara dinamika
kelompok P3A dengan tindakan perbaikan infrastruktur irigasi di Kecamatan Polokarto
Kabupaten Sukoharjo.
ANALISIS KELEMBAGAAN IRIGASI DALAM RANGKA PROYEK
REHABILITASI SISTEM DAN BANGUNAN IRIGASI (Kasus Kawasan Irigasi Teknis
Cigamea, Desa Situ Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa
Barat)

Pembangunan merupakan suatu gejala yang dipandang mempunyai arah ke depan


atau maju, dan sarat dengan nilai maju, ke arah yang lebih baik, keluar dari keterbelakangan,
berkembang dari masyarakat tradisional menuju masyarakat moderm. Proyek-proyek
pembangunan merupakan usaha berencana dengan tujuan meningkatkan produktivitas suatu
masyarakat. Pada tahun 1984. Indonesia mampu mencapai swasembada beras yang hingga saat
ini disebut-sebut sebagai keberhasilan pembangunan di sektor pertanian. Keberhasilan ini pada
dasarnya tidak terlepas dari adanya program intensifikasi di bidang pertanian tanaman pangan,
atau lebih di kenal dengan istilah revolusi hijau. Sebagai salah satu sistem penunjang revolusi
hijau, sistem irigasi sangat menentukan.
Sebagai salah satu sistem penunjang revolusi hijau, sistem irigasi sangat menentukan.
Kajian sejarah mengenai jaringan irigasi yang dibangun petani tersebut memperlihatkan pola
kebersamaan dimana petani dalam organisasi tradisional irigasi mengembangkan pengertian
tentang kewajiban dan wewenang anggota serta pemimpin mereka. Perkembangan irigasi di
Indonesia menuju sistem irigasi maju dan modern tidak terlepas dari irigasi tradisional yang
telah di kembangkan sejak ribuan tahun yang lalu. Irigasi maju atau modern dapat saja muncul
karena usaha memperbaiki atau kelanjutan pengembangan tradisi yang telah ada. Akan tetapi
permasalahan yang timbul dengan adanya intervensi pemerintah dalam memperbaiki sistem
irigasi masyarakat pada masa lampau terletak pada kerangka pengelolaan berbasis pemerintah.
Suatu keragaan irigasi (irrigation perfomance) pada dasarnya ditentukan oleh dua faktor utama,
yaitu kemampuan jaringan fisik irigasi (hardware) dan kemampuan memanfaatkan air irigasi
sebagai perangkat lunak (software). Apabila kedua unsur tersebut dapat dipadukan dengan baik
maka akan berdampak besar dalam peningkatan produksi padi.
Bantuan pemerintah untuk pembaharuan jaringan irigasi pada dasarnya ingin
meningkatkan produktivitas pertanian. Modernisasi pada sistem irigasi di Desa Situ Ilir secara
umum juga berdampak pada kelembagaan irigasi di Desa Situ Ilir dan juga pola-pola produksi
petaniannya. Kemunduran dari segi pola-pola produksi pertanian Desa Situ Ilir, terlihat dari
adanya penurunan kemampuan lahan untuk memperoleh hasil yang maksimal
The Economic Feasibility of Automated Sub-drip Irrigation for Potato Production in
Florida: A Synthesis Report

This synthesis report investigates the potential willingness of potato producers in the Tri-
County area (Putnam, St. Johns and Flagler counties) to invest in an automated seep or subdrip
irrigation system and the conditions that would have to exist for such investment to be feasible.
Automated seep and sub-drip irrigation systems were tested and studied at the Hastings
Research Center Experimental Farm in 1995 and 1996. The goal of this research was to
determine if automated seep or sub-drip irrigation could be a technically and financially
feasible alternative to the manual seep system. Pitts and Clark (1990) conducted a study over
three seasons to compare the costs of in-bed drip on tomatoes to the costs of a traditional
semienclosed seepage irrigation system. Although the authors state that on-station results show
that yield and quality are not affected by the type of irrigation system, they did observe that
dripirrigated tomatoes were bigger on average, a characteristic that results in a price premium.
Labor costs are not included in the study.
The cost analysis shows that an incremental conversion from manual to automated seep
resulted in a net savings of about $7/acre. This estimate, however, does not include the extra
time it takes to manage the automated system. Incremental conversion to sub-drip irrigation
requires a net increase in annual costs of $178/acre. The increase in net costs is primarily a
result of the fixed costs of the drip tubing and the variable costs associated with its maintenance.
Net revenue is determined by cost levels, yields, and prices. Assuming that there is no product
price or yield difference amongst the three systems, net returns are higher for the automated
seep system. One result of the regression analysis is that there is no significant difference in
yield levels between the automated seep and sub-drip systems (table 18); however, because
this result was obtained for a limited, homogeneous area at a research station, further research
should be carried out across different soil types to see if the interaction between soil type and
irrigation system makes a ifference in yield levels and therefore in net revenue.
The social benefits of automated seep and sub-drip systems are associated with lower
amounts of water for irrigation (conservation) and decreased drainage flows (environmental
protection); however, insufficient information is available to quantify these public benefits, and
further research is needed. Specifically, there is a need to identify and select existing method(s)
for valuing conserved water and estimating drainage costs in terms of environmental damages
from runoff.

Anda mungkin juga menyukai