Anda di halaman 1dari 13

CLINICAL JUDGEMENT : PROCESS, ACCURACY AND COMMUNICATION

Psikologi klinis tidak akan pernah bisa dilepaskan dari assessment dan diagnosa psikologis. Pada pembahasan kali ini kita akan mengupas bagaimana seorang clinician bisa menjadikan data pada assessmentnya menjadi sebuah keputusan, keakuratan clinical judgement dan kesan (impressions), serta bagaimana hasil dari assessment biasanya disampaikan atau dikomunikasikan sebagai laporan klinis. Process and Acuracy Untuk pembahasan ini akan dimulai dari hal yang paling mendasar dari clinical judgementyakni interpretasi. Interpretasi adalah sebuah aktivitas yang sangat penting dalam membangun clinical judgmrnt. Interpretasi adalah hal yang dapat dilakukan seorang clinician untuk memperkirakan apa yang sedang terjadi, berandai andai, membuat rancangan kemungkinan dan yang lainnya untuk mempermudah jalannya diagnosa. Interpretasi klinis ini merupakan hal yang kompleks. Dimana, setelah clinician mendapatkan data tes psikologis atauoun data dari wawancara seperti suara, gesture dan mimic, interpretasi juga melibatkan respon dari clinician sendiri. Meliputi apa yang ia pikirkan tentang si pasien, koginitif clinician hingga karakteristik si clinician sendiri. Situasi juga berpengaruh dalam clinical judgement ini. Seperti lokasi, apakah pasien berada di tempat terapi atau di rumah sakit, bagaimana kondisi pasien sebelumnya: apakah memang tanpa masalah atau sudah lama bermasalah, banyak sekali yang bisa menjadi landasan pikiran seorang clinician untuk di interpretasikan sejalan dengan tujuannya yakni clinician judgement. The Theoretical Framework ( Kerangka Teori ) Pada sumber yang ada, telah ditegaskan bahwa clinician bukan mencari kebenaran melainkan cara yang ampuh untuk mengerti pasien sehingga mereka dapat ditolong. Dengan menggunakan beberapa pendekatan seperti psikoanalasia, behavoris, humanistic dan lainnya para clinician berusaha menyelesaikan masalah yang dialami pasien. Namun, tipe pendekatan memiliki cara pandangnya tersendiri pula, sehingga interpretasi yang di dapatkan juga akan berbeda. Cara mengevaluasi interpretasi mereka adalah dengan kembali merujuknya pada sumber pendekatan dan teori yang digunakan.Banyaknya interpretasi yang hadir dari observasi, data atau hasil interview juga nantinya bisa membingungkan sehingga kerangka teori yang paling banyak digunakan nantinya akan mengurangi kebingungan ini.

Samples, Correlates dan Signs ( sampel, hubungan dan isyarat/pertanda ) Data pasien bisa dipandang dengan 3 cara : 1. Sampel 1

data yang dihasilkan dari observasi, score test dan data lainnya dilihat sebagai sampledari sekelompok besar informasi yang mungkin terjadi diluar ruangan tes. 2. Signs Data dapat diinterpretasikan sebagai pertanda akan kajadian di dalam diri pasien baik itu underlying state ( keadaan yang ditekankan), kondisi, maupun determinan.tanda ini pun berbeda beda pada tiap clinician. 3. Hubungan Hal ketiga yang dapat menegaskan keadaan pasien adalah hubungannya dengan hal lain. Data akan dikaitkan dan dicari hubungannya satu sama lain antara sikap, perasaan, motivasi dan lainnya. Level Interpretasi Ada 3 level penarikan kesimpulan sebuah interpretasi menurut Sundberg, Tyler dan Taplin (1973) yakni : 1. Level 1 : Interprtasi biasanya sedikit berpengaruh terhadap pengambilan kesimpulan, nmaun tidakdengan pendekatan pertanda (sign approach). Jadi, apa yang telah menjadi interpretasi diawal dari pengalaman clinicians bisa terlibat ke dalam pengambilan keputusan tanpa harus mengumpulkan data lainnya. Biasa digunakan untuk populasi yang besar, sekedar screening (memantau) dan bukan hal yang sangat penting. 2. Level II : interpretasi melibatkan 2 penarikan kesimpulan ; descriptive generalization yakni clinician mengobservasi dahulu pasien, baru kemudian menyimpulkan hal yang telah ia observasi. Mulai dari hal kecil yang kemudian meluas. Lalu tipe kedua adalah hypothetical construct yang 3. Level III : pada level ini clinician sudah mencapai taraf konsisten, lebih inklusif dari level sebelumnya , lebih terintergrasi serta pemahaman yang luas mengenai individual in situation.Clinician akan menggambarkan hal hal yang berpengaruh pada pasien dari segala sisi baik itu perkembangan, sosial dan psikologis yang melibatkan hubungan yang dalam dengan system teori, hipotesis dan pengambilan kesimpulan.

Teori dan Interpretasi Clinician dibagi menjadi tiga kelas interpretasi: Pertama, ada behavioral clinicians. Para behavioral clinician mencari data pasien berdasarkan observasi sendiri atau yang lainnya, bisa juga dari laporan langsung dari pasien atau dari observer lain. Interpretasinya berada pada Level I dan Level II, namun baru-baru ini behavioral clinician sudah mulia tertarik untuk melakukan interpretasi Level III. 2

Kelompok kedua clinician ini membanggakan dirinya berdasarkan keobjektifannya. Kelompok ini lebih suka menggunakan tes objektif untuk memprediksi kriteria spesifik. Misalnya, tes A, B dan C, berguna untuk memprediksi kesuksesan di kampus, hasil terapi, ledakan agresi atau lainnya. Pendekatan psikometri dalam interpretasi ini akan sangat berguna ketika kriteria mana yang memprediksikan paling bagus. Interpretasi cenderung pada Level I dan Level II.

Kelompok ketiga lebih nyaman dengan pendekatan psychodynamic. Pendekatan psychodynamic ini berusaha untuk mengidentifikasi bagian atau faktor dari dalam. Data dari tes projektif, wawancara, dan sumber lainnya dianggap sebagai gambaran dari bagian dalam seseorang. Interpretasinya cenderung pada Level III.

Pendekatan Kuantitatif versus Subjektif Ada dua pendekatan berbeda dalam clinical judgement and interpretation: Kuantitatif, Pendekatan Statistik. Mungkin bentuk sederhana dari prediksi kuantitatif adalahbahwa clinicians bisa melibatkan beberapa nilai tugas dari beberapa karakteristik pasiennya. Ini memungkinkan mereka untuk menentukan korelasi antara dua karakteristik. Tapi tentu saja prediksi yang baik tidak hanya berdasarkan satu skor atau atribut saja. Selain itu, clinicians juga harus berhati-hati sebelum mereka menggeneralisasikan terlalu jauh beberapa predictor atau skor yang digunakan pada sampel. Karena belum tentu sampel yang digunakan representative untuk sampel lainnya. Mereka harus cross-validate penelitian lainnya dengan sampel yang berbeda. Pendekatan kuantitatif tetap mewajibkan clinicians untuk menyimpan rekaman data tes, observasi dan hal-hal lainnya untuk perhitungan interpretasi dan clinical judgements. Subjektif, Pendekatan Klinis. Pendekatan klinis lebih subjektif, berdasarkan pengalaman dan intuitif. Disini, subjektif lebih berdasarkan pada pengalaman sudah mencukupi untuk kesimpulan. Psikolog klinis yang cerdik, memerhatikan berbagai hal yang campur aduk dari karakteristik si pasien, seperti prilaku, sejarah, respon tes, dan lain-lain. Selain itu, sering ada harapan dari clinicians untuk dapat melihat diri mereka di dalam diri pasien, karena dengan melihat adanya kemiripan, clinicians bisa menggunakan pengalaman mereka sendiri dalam menginterpretasi prilaku pasien tersebut. Jadi, kesimpulan yang didapatkan lebih berdasarkan dari pengalaman dan intuitif si clinicians.

The Case for an Actuarial Approach Pendekatan actuarial terhadap Clinical Judgement biasanya akan menjadi efektif ketika event yang diprediksi sudah diketahui dan spesifik. Alasan mengapa seseorang menggunakan pendekatan Actuarial 3

adalah karena pendekatan ini dapat digunakan untuk mengeleminasi hal-hal yang bersifat tidak reliable. Actuarial Approach akan menekaknkan pada spesifikasi makna, yang memberikan prediksi yang lebih spesifik yang dapat dikembangkan dari formula. Hal ini akan menghapus sebanyak mungkin keputusankeputusan yang tidak reliable. Ada alasan lain menggunakan pendekatan ini. Misalkan seorang clinician, deskripsi kepribadian seharusnya menunjukkan Incrimental Utility, menampilkan sesuatu yang diketahui setiap orang sebelum assessment dimulai. Dalam hal ini, clinican harus mengembangkan deskripsi terhadap pasien yang akan mengarah ke prediksi yang eksplisit. Jadi pendekatan ini mencegah clinician mengeneralisasikan interpretasi kelihatan valid, tapi pada kenyataannya merupakan karakteristik setiap orang. JAdi, pada dasarnya pendekatan ini bertujuan untuk mengurangi tingkat kesalahan atau eror. Dawes membagi 3 alasan mengapa beberapa orang tidak menyukai Actuarial Approach, diantaranya adalah : 1. Technical Grounds, suatu keadaan dimana seseorang berpikir bahwa suatu criteria dibuat secara tidak mendalam dan hanya bekerja dalam waktu singkat. Misalnya seseorang yang ditolak masuk sekolah karena tidak memenuhi criteria. 2. Psychological Reason, banyak orang mengingat suatu hal dengan mudah ketika intuisi mereka benar, tetapi tidak ketika mereka salah. 3. Ethical Source of Resistance, beberapa orang mempunyai pandangan bahwa pengurangan applicant tidak adil dan tidak manusiawi.

The Case for Clinical Approach Kesulitan pendekatan Actuarial yang bergantung pada regresi equation adalah bahwa psikologist klinikal akan membutuhkan kebanyakan dari hal itu untuk berfungsi sebagai clinician. Kesulitan itu diantarnya : 1. Tempat tidak dipersiapkan dengan baik. 2. Cross Validated Formulas untuk memprediksi hasil terapi 3. Membuat interpretesi selama masa terapi 4. Lebih merekomendasikan kelas special daripada institusional Dalam pendekatan Clinical, slah satu kontibusi besar yang diberikan adalah pengumpulan data. Misalnya, akan sangat penting memngetahui karakteristik pasien untuk tujuan prediksi. Tapi tidak semua data tersebut bisa di bongkar dan diperoleh oleh clinician. Mungkin data yang tidak terbongkar itu adalah sumber yang penting. Untuk memperoleh data tersebut dapat digunakan investigasi clinical. Jadi dengan

pendekatan clinical dapat diperoleh data-data yang penting. Formula predisksi bekerja dengan baik ketika data sudah ada. The Effeciency of Clinical versus Actuarial Approaches Some Evidence Sarbin (1943) melakukan penelitian untuk membedakan prediksi kesuksesan akademik mahasiswa baru yang dilakukan oleh seorang juru tulis yang menggunakan regression equation dengan prediksi yang dibuat oleh beberapa konselor. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa prediksi konselor tidak lebih baik dari regression equation, walaupun konselor mempunyai lebih banyak informasi. Meehl (1954) juga mensurvey berbagai studi mengenai prediksi secara klinis dan statistik dan menyimpulkan bahwa semua kecuali satu, prediksi-prediksi yang dibuat secara actuarial hampir sama atau lebih superior dibandingkan yang dibuat oleh clinician. Gough (1962) juga berpendapat bahwa pendekatan secara statistik lebih superior. Lindzey pada tahun 1965 dengan menggunakan TAT berhasil menunjukkan bahwa pendekatan klinis memprediksi homoseksualitas lebih baik daripada pendekatan actuarial. Tapi, Goldberg pada tahun 1968 mengemukakan bahwa penelitian Lindzey tidak dapat menyediakan bukti-bukti yang reliabel untuk mendukung kesimpulannya. Holt dan Luborsky (1958) berhasil menunjukkan bukti bahwa metode klinis lebih efisien dalam studi mengenai penghuni rumah sakit jiwa dan Korman (1968) berpendapat sama dalam studi untuk memprediksi kinerja manajerial. Sawyer (1966) menganggap data yang didapatkan melalui wawancara dan observasi sebagai data klinis dan data dari inventori, biografi atau data yang didapatkan secara tertulis sebagai data statistik. Setelah mempertimbangkan masalah metodologi dan ketidakjelasan hasil dari studi ditelitinya, Sawyer menyimpulkan bahwa dalam menggabungkan data, model mekanik/statistik lebih superior dibandingkan dengan model klinis. Namun, metode klinis lebih berguna dalam proses pengumpulan data. Accuracy of Clinical Judgment Penelitian selama 30 tahun terakhir menunjukkan bahwa clinician tidak terlalu akurat dalam membuat keputusan. Mischel pada tahun 1986 mengatakan bahwa: Walaupun clinical judgment lebih baik dibandingkan dengan tebakan secara asal-asalan, keputusan tersebut biasanya memberikan prediksi yang lebih lemah daripada yang tersedia di sumber yang lebih murah dan sederhana seperti biografi dan konfirmasi sejarah sosial, ataupun kombinasi dari fakta-fakta dengan aturan statistik. Selain itu, Strasburg dan Jackson pada tahun 1977 juga menyatakan bahwa banyaknya penelitian mengenai kesimpulan secara klinis dan actuarial gagal untuk mendorong clinician untuk melakukan yang terbaik, yaitu untuk membuat hipotesis dan gagasan secara teoritis untuk memprediksi perilaku. Namun, terdapat cukup banyak kritikankritikan seperti yang dikemukakan oleh Rock, Maisto, dan Morey pada tahun 1987. Mereke berpendapat bahwa memang terdapat banyak sekali penelitian mengenai clinical judgment yang tidak memperlihatkan keunggulan dari clinician, tapi penelitian tersebut tidak selalu valid secara ekologis. Penelitian tersebut

dibuat-buat dan tidak cocok dengan jenis keputusan yang biasanya dibuat clinician dan situasi nyata dimana clinician membuat keputusan tersebut. Bias Clinical judgement akan kacau ketika terdapat bias dalam proses pengambilan keputusan. Bias-bias seperti itu bisa berasal dari ras sampai pada status sosial ekonomi (Lopez, 1989). Untuk mengatasi bias tersebut, Arkes mengusulkan agar clinician bekerja dengan mempertimbangkan hipotesis alternatif, meningkatkan perhatian pada data-data yang biasanya diabaikan, dan menurunkan ketergantungan terhadap memorinya. Dumont dan Lecomte menyatakan bahwa mahasiswa harus dilatih menggunakan teknik dan prinsip-prinsip dari penarikan kesimpulan seperti ini. Training dan Experience Faust menyatakan bahwa: Hanya terdapat sedikit (bahkan hampir tidak ada) bukti bahwa seorang ahli atau seseorang dengan pengalaman yang sangat banyak bekerja dengan lebih baik bila dibandingkan dengan seseorang yang biasa saja atau seorang pemula. Tetapi, banyak ahli yang kurang yakin dengan hal tersebut. Meehl (1965) telah mengamati bahwa dalam beberapa studi, prediksi clinician yang bekerja secara individu tidak dilaporkan. Oleh karena itu, tidak mungkin dapat diketahui sebaik apa kinerja dari clinician terbaik. Penelitian-penelitian masih kurang jelas. Banyak penelitian yang masih bergantung pada siapa yang menjadi sampelnya dan kondisi dimana mereka membuat keputusannya. Selain itu, terdapat sedikit sekali bukti yang dapat menunjukkan nilai dari training. Akan tetapi, clinician yang berpengalaman cenderung lebih baik bila dibandingkan dengan yang kurang berpengalaman dalam hal mengetahui kapan keputusan mereka akan tepat dan kapan tidak. Tidak terdapat banyak bukti yang menyatakan bahwa salah satu profesi lebih superior dibandingkan yang lainnya dalam membuat diagnostic judgment. Akan tetapi, Lambert dan Wertheimer (1988) dalam penelitiannya menemukan bahwa training dan pengalaman meningkatkan keakuratan diagnostic judgment subjek mereka (mahasiswa pasca sarjana, sarjana dan paraprofessional). Seorang clinician pasti akan tetap membuat keputusan-keputusan dan hal tersebut tidak bisa dihindari. Oleh karena itu, harus dipastikan bahwa clinician benar-benar siap untuk menghadapinya sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya. Conclusions Mengingat situasi saat ini, kesimpulan berikut mengenai kekuatan relatif dari pendekatan klinis dan pendekatan actuarial tampaknya dibenarkan. Pendekatan klinis akan berfungsi khususnya ketika: 1. Informasi dibutuhkan tentang daerah atau kejadian dimana tidak ada tes memadai yang tersedia. Penelitian actuarial gagal memberikan bukti bahwa fungsi pengumpulan data clinician dapat diganti dengan mesin.

2. Jarang, kejadian yang tidak biasa yang sifatnya sangat individual diprediksi atau dinilai. Regression equation atau formula lain tidak dapat dikembangkan untuk menangani kejadian ini, dan hanya clinical judgment menjadi satu-satunya sumber. 3. Clinical judgment melibatkan contoh dimana tidak ada persamaan statistik telah berkembang. Akibatnya, hal ini merujuk pada mayoritas besar contoh. Keputusan dari hari ke hari clinician adalah bahwa menghadapi equation berguna akan menjadi kejadian jarang dan tidak biasa. 4. Peran dari keadaan yang tidak dapat diramalkan dapat meniadakan efisiensi formula. Contohnya, formula mungkin mengalahkan kinerja clinician dalam memprediksi kesesuaian pembebasan rumah sakit. Sebagai peran dari pengumpul data, clinician mungkin mengungkap data penting dari pasien yang mungkin meniadakan prediksi actuarial sebaliknya yang sangat logis.

Pendekatan actuarial akan berfungsi khususnya ketika: 1. Hasil untuk diprediksi bersifat objektif dan spesifik. Sebagai contoh, pendekatan actuarial akan efektif dalam memprediksi kelas, pembebasan yang sukses, dan kesuksesan pekerjaan, dan hal semacamnya. 2. Hasil untuk sampel besar dan heterogen dibutuhkan, serta ketertarikan pada kasus individu itu kecil. Memiliki formula statistik untuk memprediksi berapa banyak dari 50.000 pria akan menerima pembebasan tidak terhormat dari Militer akan berguna bagi Militer, meskipun kurang begitu bagi clinician. 3. Terdapat alasan untuk menangani kesalahan penilaian manusia atau bias. Kelelahan, kebosanan, bias, dan kegagalan dapat menjadi kesalahan klinis. Seringnya efek tersebut acak dan tidak dapat diprediksi. Formula, persamaan, dan komputer tidak pernah lelah, bosan, maupun biased.

Banyak kontroversi antara metode klinis dan statistik memanas. Kedua metode saling menghina satu sama lain. Jika sebuah formula muncul lebih baik daripada intuisi, clinician merasa terancam dan bereaksi defensif. Begitu juga sebaliknya. Reaksi tersebut tidak menyelesaikan apapun tapi menghentikan kedua kelompok tersebut untuk menerima kekuatan satu sama lain. Posisi paling bermanfaat adalah menjadi seseorang yang menggabungkan dua pendekatan tersebut. Clinician yang bijaksana akan menggunakan setiap regression equation, skor tes objektif, atau metode actuarial bekerja pada tugas khusus. Clinician mengerti sepenuhnya bahwa pengumpulan data klinis dan pembentukan hipotesis, bahkan intuisi tidak pernah bisa digantikan oleh sebuah formula.

Improving Judgment and Interpretation Faust (1986) mengungkapkan, meskipun kinerja clinician belum cukup baik, terdapat beberapa cara untuk membuat peningkatan tersebut, yaitu : Information Processing (Pemrosesan Informasi) Ketika clinician melakukan pengukuran informasi, mereka biasanya diberikan sejumlah data yang besar. Singkatnya, informasi ini dapat sulit diatasi karena jumlah dan kompleksitasnya. Clinician sebaiknya tidak menyederhanakan data. Walaupun tekanan datang dari informasi berlebihan atau dari keinginan untuk konsisten pada penilaian terhadap pasien, clinician harus mampu toleransi pada ambiguitas dan kompleksitas yang muncul dari pasien.

The Reading-In Syndrome Clinician biasanya memberikan makna ke dalam pernyataan dan tindakan yang terbaik dianggap sebagai sesuatu yang kurang bermakna. Karena mereka ditetapkan untuk membuat observasi seperti itu, bisa sangat mudah bereaksi terhadap isyarat minimal sebagai bukti penyimpangan atau patologi. Hal mudah untuk menekankan hal negatif daripada positif yang clinician dapat dengan mudah membuat prediksi dan interpretasi yang buruk. Validation and Records (Validasi dan Dokumentasi) Sangat sering, clinician membuat interpretasi atau prediksi tapi tidak mengikutinya. Ketika clinician gagal mencatat interpretasi dan prediksi mereka, dapat menjadi sangat mudah untuk mengingat hal yang benar saja. Membandingkan pandangan clinician dengan para ahli, saudara, dan orang lain yang tahu pasien dapat membantu keahlian interpretasi. Vague Reports,Concepts,and Criteria. Salah satu hambatan yang paling meluas untuk clinical judgment adalah kecenderungan untuk menggunakan konsep-konsep yang samar-samar dan kriteria yang didefinisikan dengan buruk. Ini, tentu saja, memuncak dalam laporan psikologis yang sama-sama samar. Di bawah kondisi ini bisa sangat sulit untuk menentukan apakah prediksi dan penilaian clinician adalah tepat. The Effects of Predictions. Kadang-kadang prediksi berubah menjadi kesalahan bukan karena mereka yang didasarkan pada kesimpulan yang salah tetapi karena prediksi sendiri dipengaruhi situasi perilaku. Dengan demikian, tindakan yang sangat membuat penilaian dapat ditampilkan untuk mengubah perilaku clinician sendiri atau orang lain. Prediction to Unknown Situations. 8

Kesimpulan klinis dan prediksi cenderung mengalami kesalahan ketika clinician tidak jelas mengenai situasi yang mereka prediksi. Pendugaan agresi pada TAT adalah satu hal. Berkaitan dengan situasi spesifik adalah hal lain. Selain itu , tidak peduli betapa berhati-hati dan tepatnya seorang clinician,sebuah hal besar dapat menghapus keyakinan pada prediksi yang tidak tepat. Sebagai salah contoh yang diambil dari penilaian program OSS: Salah satu petugas OSS berpangkat tinggi, ketika beroperasi di luar negeri, menerima surat dari temannya di Amerika memberitahukan kepadanya bahwa istrinya telah kabur dengan seorang yang bekerja dibengkel lokal,tanpa meninggalkan pesan atau alamat. Akibatnya petugas moral, yang sebelumnya telah tinggi, turun menjadi nol. Staf penilaian memperkirakan bahwa persentase kecil dari laki-laki harus mengatasi sangat menyedihkan atau menggelisahkan hal semacam ini, tetapi sekali lagi, hal itu tidak mungkin untuk menebak yang mana yang akan menderita. Akal (common sense) harus menyarankan bahwa secara akurat memperkirakan perilaku seseorang, clinician harus mempertimbangkan lingkungan di mana perilaku itu akan berlangsung. Di rumah sakit, clinician akan diminta untuk memberikan langkah pra-peluncuran selanjutnya pada pasien mental tertentu. Tetapi informasi yang tersedia untuk clinician sebagian besar terlalu sering hanya mencakup latar belakang umum , dengan tambahan penjelasan tentang perbedaan individual . Sayangnya , namun , penyidik seperti Chase ( 1975 ) , Ekehammar ( 1974 ) , Megargee ( 1970 ) , Mischel ( tahun 1968 ) , dan Moos ( 1975 ) semua setuju bahwa data tersebut mempunyai pengaruh yang tinggi yang akan memungkinkan korelasi antara 30 hingga 40 antara data dan diikuti perilaku. Seperti yang mungkin diharapkan, Fairweather (1967) telah menunjukkan bahwa prediksi posthospital adjustment jauh lebih baik ketika informasi tersedia tentang lingkungan di mana pasien akan hidup. Data kepribadian sendiri belum tentu dapat mencukupi. The Influence of Stereotyped Beliefs. Terkadang clinician terlihat untuk menafsirkan data dari segi keyakinan stereotip (Chapman & amp;Chapman, 1967). Beberapa penelitian mengingatkan clinician harus terus-menerus waspada terhadap indikasi bahwa beberapa tanda-tanda diagnostik adalah karakteristik dari beberapa indikator yang tidak berlaku. Contoh lain datang dari survei efek dari klien status sosial ekonomi pada clinicians judgment(Sutton & amp; Kessler, 1986). Contoh dari responden 242 membaca case histories identik dalam segala hal kecuali bahwa klien ditempatkan di berbagai kelas sosial ekonomi. Ketika klien digambarkan sebagai penerima kesejahteraan pengangguran dengan ketujuh-kelas pendidikan, clinician dikaitkan sebagai prognosis yang kurang berwawasan dan cenderung untuk merekomendasikan terapi yang lebih berwawasan.

Why I Do Not Attend Case Conferences 9

Dalam sebuah makalah yang terlibat menjelaskan mengapa ia menyerah menghadiri konferensi kasus, Meehl (1997) dengan beberapa alasan. Dia meng- sejumlah kesalahan yang sering muncul dibeberapa pertemuan. Kebanyakan dari mereka adalah yang terkait dengan proses interpretif pada umumnya. Berikut beberapa sinopsis beberapa orang yang menyediakan sesuatu yang lebih sederhana dari yang mereka rasakan pada umumnya : Sick-sick fallacy : Kecenderungan untuk melihat diri kita sebagai orang yang sangat tidak suka terlihat sebagai orang yang sakit. Me-too fallacy : menyangkal pentingnya diagnosis dalam kehidupan seorang pasien karena ini juga terjadi pada kita. Uncle Georges pancakes fallacy : tidak ada yang salah dalam hal itu,paman saya George tidak suka membuang sisa pancake dalam hal ini,mungkin,perpnjangan dari kesalahan sebelumnya. Multipe Napoleons fallacy : mengajukan sebuah penafsiran kepercayaan pasien sebagai patologis. Understanding it makes it normal fallacy : Ide bahwa kepercayaan dan pemahaman pasien yang berseru dalam hal tingkah laku mereka .Clinician sangat mudah jatuh kedalam hal yang demikian.

Communication: The Clinical Report Setelah klinisi menyelesaikan wawancara, mengadministrasikan tes, dan membaca sejarah/riwayat kasus; tes telah diskoring, dan hipotesis telah dibuat, maka waktunya untuk menulis laporan. Ini adalah fase komunikasi dari proses asesmen. Assessor membuat laporan dengan memperhatikan adat istiadat dan hal-hal yang berhubungan agar bisa diterima. Laporan harus diarahkan pada orang-orang yang paling mungkin menerapkannya, seperti petugas bangsal rumah sakit, perawat, psikiater, dan lain-lain. Assessor harus meyakinkan mereka tentang validitas laporan dan merekomendasikan agar mereka bertindak berdasarkan laporan itu. Tidak ada satu format laporan yang paling baik (Tallent, 1960). Sifat rujukan, kepada siapa laporan itu diarahkan, jenis prosedur asesmen yang digunakan, dan persuasi teoritis dari klinisi hanya beberapa pertimbangan yang dapat mempengaruhi penyajian laporan klinis (Tallent, 1983). Dan banyak aspek lain dari penulisan laporan telah ditentukan/dicakup oleh Hammond dan Allen (1953), Appelbaum (1970), dan Ownby (1987). The Referral Source (Sumber Rujukan) Tanggung jawab utama dari laporan adalah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan rujukan. Laporan tes harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang memicu/mendorong asesmen secara eksplisit dan hati-hati. Jika pertanyaan tidak dapat dijawab atau tidak tepat/pantas, maka harus dinyatakan di dalam laporan dan diberikan alasannya. Dalam kebanyakan kasus, kontradiksi akan melekat dengan data asesmen. Walaupun klinisi berusaha menyelesaikan kontradiksi dan menyajikan gambaran yang terpadu/kompak tentang pasien, ada kasus-kasus dimana resolusi seperti itu tidak mungkin. Dalam kasus-kasus ini, kontradiksi harus dijelaskan.

10

Seringkali ada pembaca sekunder/kedua dari laporan klinis (Hammond dan Allen, 1953). Dalam keadaan tertentu, mungkin perlu untuk mempersiapkan laporan khusus untuk orang-orang ini. Bagaimanapun juga, laporan klinis tidak selalu berfungsi menolong langsung atau menolong secara klinis, tapi juga berguna dalam penelitian psikologi. Informasi dalam laporan klinis seringkali dapat menolong dalam validasi tes atau interpretasi dan prediksi yang dibuat dari tes. Data seperti itu kadang-kadang dapat memberikan acuan awal untuk membandingkan perubahan berikutnya pada pasien sebagai fungsi dari berbagai bentuk intervensi. Aids to Communication (Bantuan untuk Komunikasi) Fungsi sebuah laporan adalah komunikasi. Berikut ini adalah beberapa hal yang dapat meningkatkan fungsi itu. Language (bahasa). Seseorang tidak boleh menulis laporan dengan jargon tertentu, atau laporan respon pasien tes demi tes tiap menit yang membosankan (Foster, 1951; Klopfer, 1960). Secara umum, mungkin paling baik untuk menulis dengan gaya dan bahasa yang dapat dimengerti oleh orang dengan kecerdasan awam. Tentu saja, jargon atau istilah teknis bergantung kepada siapa yang melihatnya. Cukup banyak istilah teknis dapat ditoleransi dalam laporan yang ditujukan pada kolega profesional, tapi tidak pada orang tua. Individualized Reports (Laporan Individual). Forer (1959), Lodge (1953), Klopfer (1960), dan Tallent (1958), semua merekomendasikan memasukkan pernyataan yang relevan dengan pasien daripada hal-hal umum yang berlaku pada hampir semua orang. Hal-hal yang khas (baik itu karakteristik sekarang, perkembangan, atau riwayat belajar) lebih disukai daripada yang bersifat umum. The Level of Detail (Tingkat Detail). Pertanyaan tentang bagaimana seharusnya merinci sebuah laporan sering muncul. Hal ini sangat bergantung pada siapa laporan ditujukan. Umumnya, tampaknya perlu memasukkan campuran generalisasi abstrak, ilustrasi perilaku spesifik, dan beberapa detail tes. Sejumlah tertentu detail dapat memberi pembaca perasaan bahwa mereka dapat mengevaluasi/menilai kesimpulan dan interpretasi klinisi. Penggunaan generalisasi abstrak menempatkan pembaca pada proses penyimpulan penulis.

A Case Illustration Untuk mengilustrasikan beberapa poin-poin yang pada bab ini, berikut ilustrasi kejadiannya. Pasien berusia 42 tahun menikah dengan seorang wanita yang rumahnya meledak di tengah malam ketika ia sedang tidur. Adanya kebocoran pada gas menimbulkan ledakan. Wanita tersebut menderita beberapa luka fisik. Berikut laporan yang didasarkan dari wawancara, WAIS, The Weischler Memory Scale, The Roschah, The TAT, dan The ISB. Psychological Report on Mildred R. Requested by Attorney

11

Pasien ini telah mengalami sakit kepala sejak adanya ledakan di rumahnya. Ia merasa tidak mampu mengerjakan tugas-tugas di rumah dan hal ini diduga akibat ledakan yang ia alami. Perasaan tidak mampu teresebut juga dikarenakan luka-luka yang ia miliki sehingga terbatas dalam melakukan sesuatu sehingga menuntunnya dalam perasaan tidak nyaman. Ia juga mengalami gangguan tidur, sering bangun di malam hari dan sulit untuk tidur lagi. Ia juga menjelaskan mengenai mimpi buruk dan cemas saat bermimpi. Hal ini dikarenakan adanya rasa takut kejadian yang sama akan terjadi. Menolak untuk bertemu dan berinteraksi dengan orang lain serta penerimaan secara sosial juga merupakan simptom lainnya. Sulit mengingat, berkonsentrasi juga merupakan keluhannya. Tekanan yang tinggi membuatnya dekat dengan crying spells. Untuk mengurangi hal ini, dapat dilakukan dengan menyendiri di kamar sementara waktu. Menjadi orang yang selalu disudutkan membuatnya memilih untuk bersikap memendam perasaan yang sebenarnya. Dilihat dari perilakunya, ia terlihat lelah dan depresi selama wawancara. Ia lebih memilih pasif dan tampak tegang, cenderung tidak merespon. Secara emosional, ia terlihat datar dan depresi. Ekspresi kecemasan depresi dapat ditujukan kepada dirinya. Analisis dari kinerja tes pasien pada Weischler Adult Intelligence Scale, dari segi kinerja sangatlah kurang dan menunjukkan adanya hubungan dengan faktor nonintelektual. Kinerjanya pada subtes merupakan tipikal dari pengalaman kecemasan. Tidak semangat dalam menjalani hidup akibat kecemasan dan reaksi depresi mempengaruhi kinerjanya. Pada Weischler Memory Scale secara umum lebih rendah dibandingkan dengan apa yang diharapkan. Perasaan inferior ketika mengingat kejadian tertentu sesuai dengan faktor kecemasan. Kecemasan tidak hanya menghalangi pemanggilan ulang pada memory (recall), tetapi juga memperlambat proses belajar. Untuk orang dengan intellegency sedang, skor mengenai memorinya tergolong pada inferior. Pada tes Roschah, kinerja pasien diperkecil dan diterima. Responnya dipengaruhi lagi oleh kecemasan. Ia menunjukkan kecenderungan menghindari ancaman dari tugas yang diberikan (kurang terstruktur) dengan memberikan hanya sedikit respon dan membuat mereka sama atau diterima secara umum. Adanya indikasi gangguan pada hubungan sosial. Pada Thematic Apperception Test menghasilkan repon tes yang berbentuk indikasi dari ketidakbahagiaan, ancaman, merasa tidak beruntung, atau kurangnya kontrol pada tuntutan dari lingkungan, merasa tidak ada kepuasaan, kebahagiaan, dan sebagainya. Pada tes ini, dapat dilihat adanya indikasi kecemasan dan depresi. The Incomplete Sentences Blank merupakan tes yang tidak berstruktur dimana secara umum memberikan informasi mengenai level perilaku tertentu dibandingkan level kepribadian. Hasil dari tes ini dapat menyatakan keluhan dari pasien. Tidak diragukan lagi, kebanyakan dari karakteristik diatas berada pada kepribadian pasien sebelum kecelakaan terjadi. Kecelakaan yang terjadi itulah yang memperburuk keadaan. Energi (baik fisik maupun psikologis) pada aktivitas, dapat melindunginya dari kecemasan, depresi, dan penolakan harga diri. Ia akan menyadari bahwa dirinya kurang cukup mampu melakukan sesuatu dibandingkan dengan yang sebelumnya. Hal ini juga menghasilkan reaksi emosional. Meningkatnya rasa takut kehilangan yang diikuti dengan kecelakan dapat menginterpretasikan dan mengindikasikan perasaan takut kehilangan orang sekitarnya. Kesimpulan yang dapat diambil, pasien menjelaskan kombinasi dari simptom (kecemasan, depresi, insomnia, dan mimpi buruk yang berulang-ulang, sulit untuk berkonsentrasi, dan simptom lainnya) dimana biasanya diasosiasikan dengan beberapa reaksi neurosis. 12

Some Comments on the Mildred R. Report Fungsi utama dari laporan adalah komunikasi. Laporan pada Mildred R. dapat dibaca dengan memahami orangnya. Bentuk positif lainnya meliputi tingkatan yang terperinci. Laporan diawali dengan latar belakang, juga disertai dengan referensi dari account pasien untuk keperluan bentuk dari perilaku dan perasaan yang ia rasakan. Ini juga termasuk beberapa observasi perilaku dengan clinician dan didiskusikan pada respon tes dan beberapa kesimpulan serta sejalan dengan hal tersebut, beberapa gabungan pernyataan juga dibuat. Beberapa poin mengenai bagian tertentu dari interpretasi laporan yang memberikan contoh data dapat dilihat dari sampel, tanda, dan hubungan. Sebagai contoh, kinerja Mildred R yang rendah pada Weischler Memory Scale dapat dilihat sebagai sampel akan apa yang mungkin terjadi pada situasi nontest. Tema TAT yang tidak menyenangkan juga memberikan tanda akan adanya perasaan depresi. Ketika clinician mengobservasi perilaku depresi, cemas, dan kurangnya kemampuan untuk konsentrasi, kemungkinan adanya hubungan perilaku, seperti kurangnya aktivitas seksual atau penolakan hubungan sosial, dapat juga terjadi. Interpretasi secara umum laporan ini ada pada Level II. Data tes Mildred R, wawancara perilaku, dan laporan perilaku di rumah, seluruhnya memberikan kesimpulan mengenai hypothetical construct, reaktif neurosis. Hal ini menunjukkan bahwa laporan ini dikontribusikan untuk meningkatkan pemahaman dari Mildred R. Oleh karena itu, prosedur yang dibuat harus dinyatakan untuk memberitahukan contoh incremental utility.

DAFTAR PUSTAKA Phares, E Jerry. 1992. Clinical Psychology : Concepts, Methods and Profession. California : Wadsworth. Inc

13

Anda mungkin juga menyukai