Anda di halaman 1dari 3

KRISIS EKONOMI 1997 MENUMBUHKAN GCG DI INDONESIA

Oleh : Dyah Mustika

Sampai saat ini, Indonesia sedang berusaha memperbaiki keadaan ekonomi setelah hancur akibat krisis tahun1997. Begitu terpuruknya perekonomian Indonesia sehingga sudah selayaknya dari kejadian ini dapat diambil pelajaran untuk melangkah di masa yang akan datang. Ada kemungkinan yang kuat bahwa krisis ini disebabkan karena sebagian besar perusahaan-perusahaan di Indonesia belum menjalankan Good Corporate Governance (GCG) (Kurniawan dan Indriantroro:2000). Oleh karena itu, salah satu pelajaran yang dapat dipetik adalah bahwa tekanan dan pengalaman pahit dari krisis ini harus bisa menjadi evaluasi untuk menghasilkan sistem corporate governance yang lebih baik (Iskander dkk.:2000). Salah satu penyebab bangkrutnya kebanyakan perusahaan-perusahaan di Indonesia adalah perusahaan-perusahaan tersebut dimiliki dan dikontrol oleh kepemilikan keluarga atau konglomerasi yang kurang melindungi hak-hak investor lain. Riset Iskander dkk.(1999) menyatakan bahwa 10 besar keluarga di Indonesia memiliki lebih dari setengah kapitalisasi pasar tahun 1997. Sedangkan World Bank mensinyalir bahwa keluarga tersebut menguasai 67,3 % perusahaan terbuka. Kepemilikan saham yang terbatas ini menjadi masalah karena menurut pengamatan La Porta dkk. negara yang tidak peduli dengan perlindungan investor adalah perusahaan yang kebanyakan menerapkan family control. Sebaliknya, negara yang melindungi hak-hak investor mengaplikasikan extensive held company. Faktor GCG lain adalah praktek two-board system yaitu dewan komisaris dan dewan direksi. Implementasi sistem ini dianggap tidak efektif (Kurniwan dan Indriantoro:2000). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kurang jelasnya job description dari dua dewan tersebut. Khususnya di Indonesia, kepemilikan yang terbatas pada keluarga menjadikan tugas dan peranan kepemilikan dan manajemen menjadi tumpang tindih. Hasilnya, direksi cenderung memprioritaskan kepentingan pemilik daripada kepentingan perusahaan.

Kurangnya keterbukaan informasi juga menjadi satu masalah. Berdasarkan survey 1999, Indonesia menempati ranking yang sangat rendah dalam hal keterbukaan dan transparansi. Indonesia juga dikenal dengan non-transparent accountingnya (Kurniawan dan Indriantoro:2000, Campos, Newell dan Wilson:2002). Untuk mengatasi problem lemahnya penerapan GCG, Campos, Newell dan Wilson menyarankan bahwa baik pemerintah maupun perusahaan perlu membuat perubahan budaya dan institusi secara mendasar. Mengembangkan kepemilikan saham, memperbaiki peraturan, menjaga hak-hak investor dan meningkatkan standar akuntansi merupakan beberapa cara yang dapat diterapkan. Riset Iskander dkk menyatakan bahwa adanya itikad perusahaan untuk melindungi hak-hak investor dan mengungkapkan laporan keuangan yang transparan serta menempatkan dewan independen membuat perusahaan tersebut lebih dipercaya oleh investor. Bahkan, investor di pasar modal yang sedang berkembang berani membayar lebih pada perusahaan yang mengaplikasikan GCG (Campos, Newell dan Wilson). Selain itu, perusahaan akan lebih mudah mengatasi persaingan usaha karena manajemen dapat dipastikan akan membuat beberapa kemajuan setelah mengadopsi GCG. Bersamaan dengan bergaungnya kesan-kesan positif GCG, sampai sekarang isu tersebut masih sekedar menjadi topik manis di seminar-seminar daripada menjadi tujuan yang realistis. Hal ini dapat terlihat dari laporan tahunan sebagian perusahaan terbuka. Laporan yang disampaikan ke publik ini hanya mengungkapkan imformasi-informasi umum, sekedar visi dan misi, tanpa lebih jauh mengungkapkan keterbukaan informasi atau corporate action yang telah dilakukan. Meskipun Bapepam sebagai regulator sudah mengakomodir dengan peraturan yang terkait dengan laporan tahunan, tetapi perusahaan-perusahaan tersebut cenderung mengabaikan. Salah satu alasan mengapa perusahaan tersebut belum mau menjalankan GCG karena mereka menganggap bahwa biaya pelaksanaan GCG lebih mahal dari pada manfaat yang diperolehnya. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa krisis ekonomi 1997 telah menguak kelemahankelemahan perusahan-perusahaan di Indonesia. Hal ini menjadikan tantangan bagi Bapepam untuk menciptakan frame GCG yang lebih baik melalui peraturan-peraturan yang akan diterbitkannya Bagaimanapun juga, peraturan tersebut harus ditaati perusahaan, dibawah

pengawasan dan penegakan hukum Bapepam, jika tidak krisis ekonomi mungkin akan terjadi lagi di masa yang akan datang.

Referensi : Campos, Carlos E., Roberto E.Newell, and Gregory Wilson. 2002. Corporate Governanace develops in emerging market.McKinsey On Finance. (Winter);15-18. Iskander, Magdi, et.al.1999.Corporate restructuring and governance. Finance and Development.36(1);42-45. Kurniawan, Dudi M., and Nur Indriantoro.2000. Corporate governance in Indonesia. Paper presented at symposium, The Role of Disclosure in Strenghtening Corporate Governance and Accountability. The 2nd Asian Roundtable on Corporate Governance, 31 May- 2 June, at Hong Kong, China.

Anda mungkin juga menyukai