Anda di halaman 1dari 6

AINUR RIFQOH 115110500111013 APRESIASI BUDAYA JAWA KLS C

KESAKRALAN MALAM JUMAT LEGI DALAM SERANGKAIAN PROSESI RUTIN JARANAN DOR ANUSOPATI CANDI REJO, KIDAL-TUMPANG
Kuda lumping atau biasa disebut jaranan merupakan suatu kesenian yang tak pernah surut di pulau Jawa, termasuk di Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang. Tumpang merupakan sebuah kecamatan yang kaya akan kreasi dalam hal kesenian jaranan, terlihat dari banyaknya grup jaranan yang berdiri di kecamatan ini. Jaranan di Kecamatan Tumpang lebih cenderung pada jenis Jaranan Dor, tak terkecuali Jaranan Anusopati Candi Rejo (ACR), Desa Kidal, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang pimpinan Bapak Warsono Aji. Mayoritas warga Tumpang mengatakan bahwa jaranan pimpinan Pak Warsono ini adalah jaranan terbaik di Tumpang, bahkan di Kabupaten Malang. Hingga Pak Warsono diundang oleh Bupati Malang yang kala itu adalah Pak Sujud Pribadi untuk melakukan pementasan di pendopo kabupaten. Bahkan beliau sudah ditawarkan kontrak dengan seseorang warga Negara Amerika, namun beliau tidak mau. Menurut beliau, jika kontrak itu ditandatangani maka beliau tidak bisa melakukan pementasan, hanya bisa sebatas mengajar. Dalam satu bulan, Jaranan Anusopati Candi Rejo mendapatkan panggilan untuk tanggapan atau pementasan kurang lebih sebanyak 15 kali, bahkan ketika menjelang bulan puasa bisa 30 kali. Setiap tanggapan, hasil yang diperoleh minimal 8 juta rupiah untuk tanggapan biasa tanpa bantengan dan persewaan alat gamelannya dan maksimal mencapai 20 juta rupiah bila tanggapan lengkap mulai dari pementasan bantengan, jaranan itu sendiri, sound system dan alat gamelan yang lengkap. Jaranan Anusopati Candi Rejo ini adalah sebuah warisan dari kakek dan ayah Pak Warsono. Beliau meneruskan jejak pelestarian Jaranan Dor ini bukan karena paksaan, akan tetapi memang darah kesenian yang mengalir dalam tubuhnya sudah mendarah daging. Jaranan Dor memiliki perbedaan dari jenis-jenis jaranan yang lain, yakni kekhususan dalam nilai magisnya. Ada beberapa prosesi rutin yang dilakukan oleh Pak Warsono, yakni

persiapan tiap malam Jumat Legi (nyetreng), persiapan sebelum pementasan, serta prosesi pementasan itu sendiri. Tiap-tiap prosesi yang dilakukan oleh beliau memiliki nilai kesakralan yang tinggi. Hal ini terlihat pada tiap pementasan atau atraksi para pemainnya yang memang terlihat tidak wajar, kekuatan yang dimiliki tidak masuk akal dan tidak rasional menurut pemikiran manusia biasa. Kekuatan yang dimiiki para pemain jaranan tak serta merta dimiliki, melainkan melalui prosesi yang juga sakral yakni prosesi ngiseni atau biasa disebut nyetreng yang dilakukan tiap malam Jumat Legi. Prosesi nyetreng dipimpin langsung oleh Pak Warsono dan diikuti oleh kurang lebih 300 peserta dari berbagai macam grup jaranan, tidak hanya diikuti oleh anggota grup Jaranan Anusopati Candi Rejo. Inilah salah satu keistimewaan Pak Warsono, beliau tidak segan untuk berbagi pada orang lain asalkan niatnya baik dan tidak bertentangan dengan beliau. Pelaksanaan prosesi nyetreng ini bertempat di dalam rumah Pak Warsono yang sengaja diliput pada tanggal 31 Mei 2012. Pada malam itu terdapat 4-5 grup jaranan yang datang mengikuti prosesi ini. Mereka membawa berbagai macam properti, seperti angklung yang merupakan alat musik khas Jaranan Dor, ada juga yang membawa properti lengkap seperti pecut, jaran kepang, kendang, dan caplokan karena mereka adalah grup jaranan baru. Prosesi ini dimulai pada pukul 22.00 WIB dan diawali dengan ngiseni/ndongani properti atau alat musik yang dibawa, kemudian neleti atau mengusap minyak melati kepada pimpinan grup jaranan untuk mengisi roh halus. Mengapa hanya pimpinannya saja? Karena pimpinan adalah pemegang kendali dan hanya pimpinanlah yang berhak untuk hal tersebut. Setelah itu dilanjutkan dengan prosesi makan telur ayam kampung mentah serta minum campuran badheg dan kencur, dilakukan secara bergilir dimulai dari pimpinan grup hingga seluruh anggota grup jaranan. Namun sebelumnya telur didongani satu per satu oleh Pak Warsono. Telur langsung dimakan beserta cangkangnya dan tidak boleh dimuntahkan. Ada beberapa orang yang masih susah menelan telur ini namun sebagian besar sudah terbiasa dan merasakannya seperti makan ayam crispy. Tujuan penggunaan telur ayam kampung ini adalah untuk mengisi kekuatan orang yang memakannya.

Gb. 1 Prosesi makan telur ayam kampung Grup jaranan yang baru berdiri memiliki perlakuan yang sedikit berbeda, prosesi ngiseni yang dilakukan berlangsung agak lama dan dilakukan di tempat yang lebih luas, yakni di luar rumah untuk menampung seluruh anggota grup dan properti yang mereka bawa. Properti yang mereka bawa adalah pecut; jaran kepang warna hitam, putih, dan merah masing-masing warna dua buah; barongan dua buah; dan kendang satu buah. Sebelum prosesi ngiseni dimulai, posisi antara pimpinan dan anggota dipisahkan oleh properti yang dibawa (posisi properti berada di tengah-tengah), pimpinan duduk di sebelah kiri dan anggota berada di sebelah kanan Pak Warsono. Diawali dengan menuangkan minyak melati secara merata diatas properti, kemudian menyalakan dupa sambil berdoa. Ketika dupa dibakar oleh Pak Warsono, tiba-tiba rekaman gambar yang diambil kabur. Setelah itu, prosesi ndongani utama untuk grup jaranan baru. Lalu diakhiri dengan prosesi makan telur ayam kampung mentah serta minum campuran badheg dan kencur.

Gb. 2 Properti grup jaranan baru dan prosesi nyetrengnya Menurut Taufiq, salah satu peserta nyetreng yang hadir mengatakan, manfaate nyetreng iki gawe ngisi kekuatan, istilahe ngecarge awak. Yen nyetreng dateng pak Warsono iki insya Allah barokah, tanggapan tambah akeh, bedo ambek biyen. Aku tau nyetreng ndek nggon liyo tapi sepi tanggapan. Kemungkinan besar inilah alasan sebagian besar grup jaranan mengapa mereka datang ke rumah Pak Warsono pada malam Jumat Legi untuk melakukan prosesi nyetreng. Prosesi nyetreng ini tidak berhenti sampai disitu saja. Pukul 00.00 WIB dilakukan prosesi ngedusi seluruh peserta nyetreng, masih dipimpin oleh Pak Warsono. Prosesi ngadusi ini dilakukan di sumber mata air dekat rumah Pak Warsono. Dilaksanakan pukul 00.00 WIB karena pada jam tersebut mata air pertama mengucur. Sumber mata air yang digunakan untuk prosesi ini oleh warga sekitar dianggap sakral (dikeramatkan). Tidak ada warga yang berani mandi, memancing maupun melakukan aktifitas lain di sumber mata air tersebut, kecuali Pak Warsono. Hanya Pak Warsono-lah yang menggunakan sumber mata air itu untuk prosesi ngedusi peserta nyetreng tiap malam Jumat Legi. Prosesi ngedusi ini hanya diikuti oleh para pemain jaranan tanpa pimpinan dan bertujuan untuk menyucikan diri seluruh peserta nyetreng agar kembali bersih. Sebelum prosesi ini dilakukan, seluruh peserta diharuskan menanggalkan seluruh pakaian yang melekat di tubuhnya. Setelah itu, beberapa menit sebelum jam 00.00 WIB, semua peserta dari berbagai macam grup jaranan berkumpul dalam sebuah kolam dan berendam disitu sambil menunggu giliran dipanggil namanya satu persatu oleh Pak Warsono. Saat itu, peserta yang berendam diharuskan diam, tidak boleh mengucap kata sepatah pun untuk menjaga kesakralannya. Para pimpinan jaranan dari tiap grup berada di samping Pak Warsono untuk memberikan bisikan kepada beliau nama-nama dari tiap peserta. Tepat pukul 00.00 WIB, satu per satu dari peserta nyetreng dipanggil untuk mandi dan membersihkan diri dari ujung kepala

hingga ujung kaki di aliran mata air yang ada. Prosesi ini berlangsung selama kurang lebih satu jam.

Gb. 3 Prosesi ngedusi Prosesi di rumah Pak Warsono dan ngedusi di sumber mata air sudah selesai. Pukul 01.00 WIB seluruh peserta nyetreng menuju ke makam kakek Pak Warsono untuk nyekar sekaligus mohon doa restu. Sedangkan Pak Warsono menuju gudangnya untuk memberi makan roh-roh yang ada di dalam semua properti milik beliau, seperti caplokan, alat-alat gamelan, serta jaran kepangnya. Makanan yang diberikan berupa bunga kenanga, bunga melati, dupa yang dibakar, dan lain-lain. Namun, ada sedikit penambahan prosesi disini. Setelah memberi makan roh-roh tersebut, Pak Warsono bersama beberapa orang menuju tanah kosong di sebelah gudangnya. Disana telah tersedia sebuah galian berukuran 1,5 m x 1,5 m sedalam lutut orang dewasa. Galian ini disediakan untuk prosesi penguburan jaran kepang jumlahnya kurang lebih 8 hingga 10 yang telah rusak. Jika jaran kepang sudah rusak, maka jaran kepang sudah tidak berfungsi dan tidak bisa digunakan karena di dalamnya ada roh. Sebelum jaran kepang itu dipendem, sebelumnya disembelih dulu namun bukan dalam artian yang sebenarnya seperti keramat karena nanti kasihan jika jaran kepang itu tidak dipendem. Beberapa hari sebelum prosesi penguburan jaran kepang ini, Pak Warsono sudah menyiapkan 12 jaran kepang baru. Roh-roh yang sebelumnya berada di dalam jaran kepang yang akan dikubur, dipindah ke jaran kepang yang baru. Setelah penguburan jaran kepang selesai, Pak Warsono meletakkan 3 caplokan dihadapkan ke 3 arah yang berbeda di atas kuburan jaran kepang tersebut.

Gb. 4 Prosesi makani roh dalam properti

Gb. 5 Prosesi mendem jaran kepang Sebenarnya serangkaian prosesi nyetreng ini tidak boleh diambil gambar maupun direkam, apalagi prosesi penguburan jaran kepangnya karena tingkat kesakralannya yang tinggi. Pak Warsono hanya mengizinkan pengambilan gambar untuk orang-orang tertentu saja yang menurut beliau tidak akan menggunakan hasil pengambilan gambar untuk keuntungan pribadi maupun sekelompok orang yang bisa merugikan beliau.

Anda mungkin juga menyukai