Anda di halaman 1dari 34

BAB I PENDAHULUAN

Tuberkulosis

merupakan

penyakit

menular

yang

disebabkan

oleh

Mycobacterium dan ditandai dengan pembentukan tuberkel-tuberkel dan kaseasi jaringan-jaringan.1 Tuberkulosis merupakan penyakit radang kronis yang terutama terdapat di negara berkembang. Penyakit ini umumnya tampak pada decade 20 hingga 30, dimana berdasarkan pada banyak penelitian, insiden yang tinggi terdapat pada wanita muda.2 M. tuberculosae masuk ke tubuh manusia melalui saluran pernapasan, saluran pencernaan, dan luka terbuka di kulit. Kebanyakan infeksi tuberculosis terjadi melalui udara (airborne), yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi.3 Selain tuberkulosis paru, didapatkan juga tuberkulosis ekstra paru. Berdasarkan penelitian Shehzad dkk, tuberkulosis abdomen merupakan bentuk kedua yang paling sering pada tuberkulosis ekstra paru. Telah didapatkan 31 pasien didiagnosa menderita tuberkulosis abdomen, berdasarkan data epidemiologi dari Departemen Gastroenterologi RS Kartal, Istanbul, Turki periode Maret 1998 Desember 2001.4 Patogenesis pelibatan isi abdomen oleh Mycobacterium tuberculosae belum dapat secara penuh dijelaskan. Namun, nutrisi yang rendah, status sosio-ekonomi dan kurangnya fasilitas kesehatan telah memberikan kontribusi yang besar dalam menyebabkan kasus ini. Pasien yang terinfeksi HIV dimana CD4 nya rendah, merupakan populasi berisiko terkena TB ekstra paru, karena imunosupresi dan bila masih termasuk dalam populasi negara berkembang. Populasi lain yang berisiko yaitu orang miskin, narapidana, perawat berusia tua yang merawat di rumah pasien. Pelibatan

TB ekstra paru terjadi hanya 15% dari TB. Rata-rata ini meningkat pada pasien yang terinfeksi HIV, dimana memiliki 50% insiden terkena penyakit ekstra paru (pleura, limfa nodus, tulang, saluran gastrointestinus, atau saluran genitourinarius).5 Penanggulangan TB terutama di negara berkembang masih belum memuaskan, karena angka kesembuhannya hanya mencapai 30% saja. Masalah yang dihadapi dalam hal ini adalah: meningkatnya populasi TB sehubungan dengan adanya letusan HIV, timbulnya resistensi terhadap beberapa obat anti TB, kurangnya biaya pengadaan obat TB seperti rifampisin dan pirazinamid yang relative mahal, dan kurangnya perhatian aparat pemerintah terhadap besarnya masalah TB ini serta kurang terpadu penanggulangannya.6

BAB II

TUBERKULOSIS ABDOMEN

2.1

Definisi Tuberkulosis adalah penyakit menular yang ditandai dengan radang kronis

yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosae dan ditandai dengan pembentukan tuberkel-tuberkel dan kaseasi jaringan-jaringan. Tuberkulosis dikendalikan oleh respon imunitas perantara sel. Sel efektornya adalah makrofag, sedangkan limfosit (biasanya sel T) adalah sel imunoresponsifnya. Tipe imunitas seperti ini biasanya lokal, melibatkan makrofag yang diaktifkan di tempat infeksi oleh limfosit dan limfokinnya. Respon ini disebut sebagai reaksi hipersensitifitas tipe lambat.3,6,7 TB ekstra paru yakni TB dimana pasien memiliki kelainan histologis atau dengan gambaran klinis sesuai dengan TB aktif atau pasien dengan satu sediaan dari organ ekstra parunya menunjukkan hasil bakteri M. tuberculosae.3 Tuberkulosis abdomen merupakan tuberkulosis ekstra paru yang termasuk dalam kondisi pausibasiler dan memiliki hasil pewarnaan dan kultur yang positif mungkin saja rendah (30-50%). 2.2 Etiologi dan Patogenesis Secara umum, mikroba yang menyebabkan tuberkulosa, yaitu

Mycobacterium tuberculosae, menginfeksi organ paru-paru. Pada orang dengan CMI (cell-mediated immunity) yang kuat, infeksi dapat terdiri dari sel T. Namun pada orang dengan imun yang lemah, malnutrisi dan yang sedang mendapat kemoterapi kanker dan kortikosteroid serta terinfeksi HIV, tuberkulosis dapat

menginfeksi bagian tubuh di luar paru-paru. Infeksi seperti ini dikenal dengan nama tuberkulosis ekstra paru.8 Mycobacterium tuberculosae merupakan kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/Um dan tebal 0,3-0,6/Um. Yang tergolong dalam kuman Mycobacterium tuberculosae kompleks adalah (pembagian secara epidemiologi): 1) M. tuberculosae, 2) Varian Asian, 3) Varian African I, 4) Varian African II dan 5) M. bovis. Sebagian besar kuman terdiri dari asam lemak (lipid), kemudian peptidoglikan arabinomanan. Lipid ini membuat kuman lebih tahan terhadap asam (asam alcohol) sehingga disebut dengan bakteri tahan asam (BTA) dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis. Kuman dapat tahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin (dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. Dari sifat dorman ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan tuberculosis aktif lagi. Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraselular yakni sitoplasma makrofag. Makrofag yang semula memfagositasi malah kemudian disenanginya karena banyak mengandung lipid. Sifat lain kuman ini adalah aerob, menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya.3 Patogenesis pelibatan isi abdomen oleh Mycobacterium tuberculosae belum dapat secara penuh dijelaskan. Namun, nutrisi yang rendah, status sosio-ekonomi dan kurangnya fasilitas kesehatan serta rendahnya pasteurisasi susu telah memberikan kontribusi yang besar dalam menyebabkan kasus ini.

2.3

Klasifikasi Secara konvensional, tuberkulosis ekstrapulmonal diklasifikasikan menjadi

bentuk parah (seperti tuberkulosis meningen, neurouberkulosis, tuberkulosis spinal, tuberkulosis abdomen, efusi pleura bilateral, efusi pericardium dan tuberkulosis tulang dan sendi yang lebih dari satu sisi) dan bentuk tuberkulosis yang tidak parah (selain bentuk parah).9 WHO 1991 membagi tuberkulosis berdasarkan terapinya, memberikan klasifikasi tuberkulosis yaitu: 1. Kategori I, ditujukan terhadap: kasus baru dengan sputum positif, kasus baru dengan bentuk TB berat

2. Kategori II, ditujukan terhadap: kasus kambuh kasus gagal dengan sputum BTA positif 3. Kategori III, ditujukan terhadap: kasus BTA negative dengan kelainan paru yang tidak luas kasus TB ekstra paru selain dari yang disebut dalam kategori I 4. Kategori IV, ditujukan terhadap TB kronik. Klasifikasi lain berdasarkan manifestasi umum TB abdomen, seperti: 1) Tipe yang menunjukkan asites, 2) Tipe plastik, yang menyebabkan obstruksi usus dan 3) Tipe glandular, yang melibatkan nodus mesenterikus. Tuberkulosis dibagi menjadi 3 grup berdasarkan tipe pelibatan, yaitu intestinal TB (15 pasien, 48%), peritonitis tuberkulosa (11 pasien, 35,2 %) dan limfadenitis tuberkulosa (5 pasien, 16,8%).7 Klasifikasi TB abdomen lainnya berdasarkan organ yang terkena, seperti: TB Hepatosplenik, TB genitourinarius, TB ginjal, TB Ureter, TB kandung kemih, TB genital wanita, TB genital pria, TB Limfa nodus dan lainnya.

2.4

Manifestasi Klinis Berdasarkan penelitian di India dan Nepal, karakteristik gejala sering yang

tampak pada pasien yaitu: nyeri abdomen, penurunan berat badan, asites, diare, batuk dan adanya sputum, muntah dan mual, demam, adanya tanda perforasi, nyeri tulang, keringat pada malam hari, gejala traktus urinarius, adanya masa pada kuadran abdomen bawah, nyeri bagian serviks, eviserasi mengikuti laparotomi, terjadi secara incidental dan terkadang perlu operasi karena brid ileus.10 Secara frekuensi, gejala dan tanda tersebut tampak pada tabel 1 Tabel 1. Frekuensi Gejala dan Tanda pada Pasien TB Abdomen (bisa saja terdapat lebih dari satu pada masing-masing pasien) (n=32) No Gejala dan Tanda Jumlah Pasien Persentase 1 Nyeri abdomen 16 51,2 2 Penurunan berat badan 16 51,2 3 Asites 12 38,4 4 Diare 10 32 5 Batuk dan berdahak 6 19,2 5 Mual dan muntah 5 16 7 Demam 4 12,8 8 Perforasi 3 9,6 9 Nyeri tulang 2 6,4 10 Keringat malam hari 2 6,4 11 Gejala traktus urinarius 1 3,2 12 Masa pada kuadran bawah 1 3,2 13 Nyeri daerah serviks 1 3,2 14 Eviserasi mengikuti laparotomi 1 3,2 15 Terjadi secara tiba-tiba 1 3,2 16 Operasi karena brid ileus 1 3,2 Penyakit hati kronik disertai TB abdomen dapat menyebabkan asites, dimana patogenesisnya yaitu adanya kebocoran cairan yang kaya protein ke dalam rongga peritoneum dari peritoneum yang terinfeksi (menyebabkan eksudasi cairan ekstraseluler ke dalam rongga peritoneum).11 Secara umum, gejala yang tampak secara klinis pada pasien TB abdomen yaitu: 10

1) Abdomen yang teraba lemas (60%) dimana biasanya terdapat pada bagian tengah abdomen, 2) Adanya masa pada abdomen (40%) dimana biasanya terdapat pada region ileocaecal atau basal mesenterikus; namun masa jarang terdapat pada tipe asitik, 3) Adanya tanda obstruksi dimana dapat terjadi secara akut maupun subakut pada usus kecil bagian bawah, 4) Anemis moderat dan 5) Dapat memiliki edema sebagai akibat dari hipoproteinemia. TB abdomen dapat melibatkan omentum, traktus intestines, hati, lien, saluran genital wanita dan peritoneum. Hal ini disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosae dan M. bovis. Berdasarkan frekuensi, yang paling sering terlibat yaitu regio ileocaecal dan rectum. Hipertrofi enteritis tuberkulosa menghasilkan stenosis, dan gejala dan tanda yang tampak yaitu obstruksi. Bentuk ulserasi menyebabkan nyeri abdomen, konstipasi dan diare. Komplikasi melibatkan obstruksi usus, hemoragia, bentukan fistula, dan pertumbuhan bakteri dengan malabsorbsi. Fistula pada TB usus terjadi pada 44% pasien dan dapat merupakan hasil dari invasi bakteri sekunder dari sekuel perforasi.5 Tuberkulosis abdomen dapat memiliki manifestasi klinis yang bervariasi. Kita tidak dapat mendiagnosa peritonitis tuberkulosa, hingga kita melakukan laparotomi. Di India dan Nepal, ditemui lebih kurang 10% obstruksi usus. Ada 3 tipe utama, dan lainnya jarang. Di Afrika, urutan manifestasi umum pada orang dewasa yaitu: 1) Tipe yang menunjukkan asites, 2) tipe plastik, yang menyebabkan obstruksi usus dan 3) tipe glandular, yang melibatkan nodus mesenterikus. Sedangkan di India, urutan manifestasi kliniknya yaitu (2), (3) dan (1). Di Afrika, urutan pada anak-anak yaitu (3), (1) dan (2). Selain ketiga gejala di atas, terdapat juga gejala lainnya: 4) penyempitan tuberkulosa yang tampak pada usus pasien, namun biasanya pada caecum dan usus kecil bagian distal, dimana disebabkan oleh

pengecilan masa ileocaecal tuberkulosa untuk membentuk konstriksi fibrosa, 5) Ulkus tuberkulosa (jarang) dapat terjadi di bagian manapun dari usus, namun paling sering terdapat pada ileum, caecum, rectum atau colon sigmoid. Pada usus kecilnya, ulkus tuberkulosa dapat menyebabkan diare. Pada kasus yang jarang, bila ulkus terdapat pada lambung atau duodenum, maka dapat gejala dapat seperti ulkus peptikum, atau karsinoma. Kaseasi nodus limfatikus dapat membimbing kita menuju diagnosa yang tepat. Perforasi maupun perdarahan ulkus tuberkulosa dapat terjadi pada usus (biasanya pada rectum), karena hal ini terjadi secara distail, dan 6) Fistula tuberkulosa.10 1) Tipe yang menunjukkan asites Pada tuberkulosis abdomen yang menunjukkan tipe asites, didapat frekuensi sebanyak 70% di Afrika, 10% di India dan 20% di Zambia. Cairan berakumulasi sebagai hasil dari tuberkel milier yang banyak pada peritoneum. Satu-satunya cara untuk mendiagnosanya yaitu melakukan minilaparotomi, yang memungkinkan kita juga untuk mendiagnosa sirosis, fibrosis periportal, (karena Schistosomiasis mansoni), karsinomatosis peritoneum dan hepatocellulare carcinoma (biasanya dengan sirosis). 2) Tipe plastik, yang menyebabkan obstruksi usus Pada tuberculosis abdomen yang menunjukkan tipe peritonitis plastik, tampak merupakan hasil dari granuloma tuberkulosa dimana menyebabkan omentum pasien dan struktur lain pada abdomen, bagian lengkung dari usus kecil distal, caecum dan colon ascenden bergabung bersama dengan beberapa adesi. Lilitan pada usus pasien tersebut tebal dan seperti karet, dengan karakteristik lesi transversal pada usus kecilnya. Lengkung usus kecil pasien dapat terjadi obstruksi dan sulit untuk dipisahkan. Karsinoma, aboeboma dan penyakit Chrons dapat menyebabkan peritonitis plastik; namun pada negara berkembang, tuberculosis lebih sering dijumpai daripada selainnya. Amoebiasis menyebabkan usus kecil pasien mengenai colon asenden tanpa menyebabkan peritonitis plastik sebenarnya.

Obstruksi pada ususnya biasanya tidak lengkap, dengan demikian, gejalanya dapat subakut atau kronik, dan dapat bertahan dalam hitungan bulan atau tahunan. Adesi menyebabkan penggabungan lengkung usus, dan sulit untuk dipisahkan. Dengan demikian, perlu menanganinya secara non-operatif. Berikan pasien kemoterapi, diet ringan, atau cairan saja, jika perlu secara intravena selama beberapa hari. Granuloma tuberkulosa dari usus kecil biasanya sembuh tanpa penyempitan; namun pada daerah ileocaecal, fibrosis dan stenosis sering ada. Di India dan Nepal, dimana tipa plastik sebagai tipe predominan, tampak perbedaan gejala antara tipe plastik dengan asitik, yaitu: a. Kehilangan berat badan, tampak pada semua kasus, b. Kelemahan, malaise, lelah, anoreksia tampak 75%, mual, muntah, demam dan keringat pada malam hari ada (60%), c. Nyeri perut (90%) konstan, sentral dan tidak parah. Jika pada kuadran perut bawah kanan, kemungkinan TB ileocaecal. Pada tipe asitik, nyeri biasanya ringan dan dapat saja tidak tampak, d. Gejala obstruksi (30%) termasuk konstipasi dan diare, dan suara bubble. Secara tipikal, hal ini menjelaskan sebuah bola angina yang bergerak dalam perut pasien, e. Perdarahan rectum, jarang namun dapat parah, f. Steatore, dengan pucat dan benda yang besar dan ofensif terkadang dapat terlihat dan g. Batuk kronik dan sputum yang diwarnai darah, namun terjadi lebih jarang dari yang diperkirakan. Pada setiap kesempatan, kita harus dapat melakukan operasi untuk obstruksi komplit yang persisten. Bahkan, jika kita mengetahui bahwa TB adalah penyebabnya, kita harus bijaksana untuk mencoba terapi non-operatif selama beberapa hari pertama, jika tidak ada strangulasi. Ketika melakukan operasi, kita dapat menemukan bahwa tidak ada penyempitan dinding usus dan kita dapat menyingkirkan obstruksi usus, hanya dengan membagi adesi. Hal ini dapat dicegah

jika mungkin, karena jika kita membuka usus, selalu ada bahaya dan fistula dapat terjadi. Jika kita membuka usus, kita punya pilihan antara: a. Stricturoplasty: jika ada striktura sempit pada usus halusnya, b. Bypass usus kecil local, c. Bypass (ileotransversostomi) antara ileum dengan colon transversal. Ini dapat menghilangkan obstruksinya dan kita dapat merujuknya untuk pembedahan definitive kemudian, d. Hemikolektomi kanan. Jika kita cukup memiliki keahlian untuk melakukannya, hal ini dapat memindahkan focus infeksi dan lebih baik daripada ileotransversostomi. 3) Tipe glandular, yang melibatkan nodus mesenterikus Pada tipe glandular, tampak sebagai gumpalan tak teratur pada abdomen anak, terkadang dengan asites dan kecenderungan yang ringan untuk menyebabkan obstruksi. Nodus mesenterikus pasien lebar dan tidak begitu mobile. Mereka dapat saja melebar dan kita dapat merasakan mereka melaluinya dinding abdomen pasien. Mereka bersatu bersama dan mengeras, dengan karakteristik area kaseasei kuning pucat pada potongan permukaan mereka. Jika nodus limfatikus lebih banyak terlibat, lakukan biopsi dari leher, aksila atau lipat paha. Adenitis nonspesifik lebih sering pada lipat paha, jadi hanya biopsi yang tidak biasa (yang besar). Kita dapat melihat pembesaran nodus pada roentgen toraks. Jika kita tidak dapat menegakkan diagnosa dengan jalan lain, kita harus melakukan laparotomi dan memotong nodus. Limfoma merupakan diagnosa banding yang penting. Pelibatan ileocaecal gastrointestinal tampak pada 80-90% dari pasien dengan TB abdomen. Penebalan bibir katup atau pelebaran jarak dari katup dengan penyempitan ileum terminal (tanda Fleischner) telah dijelaskan sebagai karakteristik dari TB. Pada penilaian barium double kontras, tampak ulkus dangkal yang linear atau stellata dengan ciri sisi yang elevasi. Ulkus pada TB cenderung menjadi lebih luas daripada penyakit Crohn dan cenderung menjadi oval daripada

10

bulat. Lebih lanjut, TB memproduksi penebalan lebih besar daripada dinding perut. Fistula dan traktus sinus cukup jarang. Pada kasus lebih lanjut, karakteristik deformitas termasuk simetris anular cincin napkin penyempitan dan obstruksi, pemendekan, retraksi dan pembentukan kantung. Caecum secara klasik diamputasi. Amputasi caecum dapat terlihat pada amebiasis, namun penyakit ini jarang melibatkan usus halus terjadap derajat yang sama dengan TB. Amputasi dan penyempitan fokal dari usus dapat juga menyerupai karsinoma, namun ca caecal jarang yang meluas di antara katup ileocaecal. Pada CT, pasien dengan TB gastrointestinal menunjukkan penebalan caecum dan ileum terminal, pelebaran katup ileocaecal dan limfadenopati mesentericus. Namun, penemuan lain seperti asimetris katup ileocaecal, penebalan dinding medial caecal, ekstensi eksofitik dan pemasukan dari ileum terminal dan edenopati massif lebih mensugesti dari TB. TB Peritonitis. Pelibatan peritoneum secara frekuensi tampak pada penggabungan dengan bentuk lain dari TB gastrointestinal. Tiga tipe TB peritonitis telah dijelaskan, dimana tipe basah yang dicirikan dengan sejumlah besar dari cairan yang melekat secara bebas atau terlokalisasi tampak pada kebanyakan pasien; tipe fibrotik menetap; dan tipe kering atau plastik terjadi lebih sedikit. Penampakan yang mirip dengan peritoneum dapat terjadi dengan karsinomatosis, mesotelioma atau TB nonperitonitis. TB Hepatosplenik. TB Hepatosplenik secara umum bermanifes dalam mikronodul (milier) atau bentuk makronodul (tuberkuloma). Bentuk mikronodul biasanya terjadi pada penggabungan dengan TB paru milier. Pada CT scan, dapat tampak kecil, tidak bisa dihitung dan atenuasi rendah. Bentuk makronodul cukup jarang. Pada CT, lesi hipoatenuasi 1-3 cm pada diameter atau adanya masa tunggal tampak dalam pelebaran hati atau lien secara difus. MRI menunjukkan hipointens dan perluasan minimal lesi seperti honey comb pada image dengan T-1. pada image dengan T-2, hasilnya lebih intens dengan intensitas ringan sisi relative ke sekitar hati. Diagnosa banding bentuk milier termasuk metastase, infeksi jamur,

11

sarkoidosis dan limfosa. Bentuk makronodul dapat menjadi salah untuk metastase, tumor primer ganas atau abses piogenik. TB Limfadenitis. Limfadenopati merupakan manifestasi yang tersering dari TB abdominal. Nodus umumnya multiple dan luas, rata-rata berdiameter 2-3 cm. Grup mesenterikus dan peripankreatikus merupakan grup yang paling banyak dipengaruhi. TB genitourinarius. TB genitourinarius merupakan manifestasi tersering dari TB ekstra paru. M. tuberculosae mencapai organ genitourinarius, bagian ginjal, dengan rute hematogen dari paru-paru. Ginjal dan dapat saja prostate dan vesicular seminalis merupakan sisi primer yang paling sering dari TB genitourinarius. Semua organ genital lainnya, termasuk epididimis dan kandung kencing, menjadi terlibat dengan dengan kenaikan atau penurunan dari M. tuberculosae. Testikula dapat terlibat dengan ekstensi langsung dari infeksi epididimis, namun penyebaran hematogen ke testikula jarang terjadi. TB ginjal. Kelainan urografi yang paling awal yaitu calyx moth eaten karena erosi. Penemuan ini diikuti oleh nekrosis papil. Fungsi ginjal yang rendah, dilatasi dari system pelvicaliceal karena penyempitan dari sambungan ureteropelvic, atau dilatasi destruktif atau hidrokalikosis terlokalisasi berhubungan dengan penyempitan infundibuler dapat terjadi. Kavitasi dalam parenkim ginjal dapat dideteksi sebagai kolam yang tidak teratur dari materi kontras. Kontraktur yang bersikatrik atau parenkim fibrotik dapat menjadi traksi pelvis calyx atau ginjal. Kalkuli dapat tampak dalam system kolektivus ginjal. Karakteristik kalsifikasi dalam distribusi lobuler sering tampak pada TB stadium akhir. Fibrosis stadium akhir dan uropati obstruktif subsekuen menghasilkan autonefrektomi. Pada waktu ini, penilaian ginjal secara baik ditangkap dengan US, CT atau MRI. Lesi yang mirip dapat ditemukan dalam nefritis bakteri akut fokal, dalam pielonefritis xantogranuloma, dan dengan tumor jinak kecil atau ganas. TB Ureter. Dilatasi dan penampakan tak teratur dari urotelium merupakan tanda pertama dari TB ureter. Dilatasi terjadi secara primer karena obstruksi pada

12

penghubung ureterovesical, dan secara sekunder karena sistitis dan ureteritis tuberculosa. Pada penyakit lebih lanjut, penyempitan dan pemendekan ureter, filling defect ureter atau pun kalsifikasi dinding ureter dapat terjadi. TB kandung kemih. Penemuan tersering pada sistitis tuberkulosa yaitu penurunan kapasitas kandung kemih. Pada kasus lebih lanjut, kandung kemihnya kecil, tidak teratur dan berkalsifikasi. Sistitis tuberkulosa yang terkalsifikasi pasti terdiferensiasi dari schistosomiasis, sistitis karena siklofosfamid, perubahan yang diinduksi radiasi dan karsinoma kandung kemih yang terkalsifikasi. TB genital wanita. Tuba falopi terpengaruh sebanyak 94% dari wanita dengan TB genital. Salpingitis disebabkan diseminasi hematogen terjadi hampir selalu bilateral. Abses tubo-ovarian yang meluas melalui peritoneum ke bagian ekstraperitoneum menunjukkan tuberkulosis. TB genital laki-laki. Pada US transrektal, penemuan tersering dari prostatitis tuberkulosa yaitu area hipoekoik dengan rumusan irregular pada daerah perifer prostate. Kontras CT menunjukkan lesi prostate hipoatenuasi, yang menunjukkan nekrosis kaseosa dan peradangan. Abses prostate piogenik nontuberkulosa memiliki gambaran CT yang mirip. Pada MRI, abses prostate menunjukkan perluasan perifer. Penemuan ini menolong membedakan abses dari keganasan prostate. Sebagai tambahan, MRI menunjukkan area difus, radiasi dan bergaris dari intensitas sinyal rendah pada prostate (tanda kulit semangka) pada image dengan T-2. Epididimitis tuberkulosa atau epididimo-orkitis memiliki penemuan gambar nonspesifik. TB Limfa nodus. TB limfatik lebih sering terjadi pada anak-anak. Nodus cervical atau supraklavikula lebih sering terlibat. Pada CT, nodus menunjukkan perluasan perifer dengan pusat atenuasi rendah. Penampakan ini menunjukkan interpretasi cukup tinggi, namun bukan patognomonis dari TB. Rumusan yang sama dapat terlihat pada keganasan metastatik, limfoma dan kondisi radang. Dengan demikian, gambaran klinis dan radiologi dari TB ekstra paru dapat menyerupai beberapa penyakit. Indeks yang tinggi diperlukan, khususnya pada

13

populasi resiko tinggi. Meskipun kultur positif atau analisis histologi dari specimen biopsi masih diperlukan pada beberapa pasien untuk menghasilkan diagnosis definitif, pengenalan dan pemahaman dari spectrum gambaran image dari TB paru dapat menolong dalam menegakkan diagnosis. Pada penelitian yang dilakukan oleh Unit Bedah III, Bagian Ilmu Bedah, Jinnah Postgraduate Medical Centre Karachi, didapatkan nyeri abdomen sebagai gejala terbanyak yang dirasakan pasien. Penyempitan secara tunggal atau banyak dari ileum merupakan penyebab terbanyak dari obstruksi usus, diikuti dengan adanya masa pada ileocaecal dan adesi (26%). Adesi tampak melibatkan ileum dan jejunum dengan peritoneum parietal. Pasien tampak dengan peritonitis sebanyak 47,7% dimana penyebabnya adalah perforasi tunggal atau multiple pada usus kecil. Penelitian (dari tahun 1986 hingga 1992) dari salah satu pusat penelitian California dalam mencari kasus TB abdomen yang diketahui dengan tes laboratorium dan scan sinar X abdomen. Mereka memiliki 43 orang terinfeksi HIV dan membandingkan mereka dengan 35 orang tidak terinfeksi HIV yang juga memiliki TB ekstra paru (67 pria dan 11 wanita). Hasilnya, rata rata mereka yang terinfeksi HIV dan TB berusia lebih muda dan sedikit kecenderungan menjadi alkoholik daripada mereka yang tidak terinfeksi HIV. Sebanyak 83% dari mereka, mendapat sebuah diagnosa dari TB juga sebuah diagnosa dari AIDS. Dengan demikian, mereka dengan HIV yang memiliki gejala infeksi TB selama 6 minggu sebelumnya, mereka harus mendapat perawatan medis. Gejala berikutnya yang tampak (secara statistic bermakna) di antara yang terinfeksi HIV daripada yang tidak terinfeksi HIV yaitu: demam, keringat malam, kehilangan berat badan yang tidak disengaja dan demam yang lebih tinggi. Mereka yang terinfeksi HIV cenderung untuk memiliki jumlah sel darah putih yang lebih rendah. Untuk mengetahui paparan TB, kita harus menyuntikkan sejumlah kecil protein dari TB (bakteri penyebabnya), menghasilkan bengkak dan kemerahan dalam 6 dari 14 orang yang terinfeksi HIV. Reaksi ini menunjukkan bahwa level CMI lemah pada beberapa subjek. Dalam abdomen, scan sinar X menunjukkan bahwa orang yang

14

terinfeksi HIV lebih cenderung memiliki limfa nodus yang bengkak secara persisten dari pada yang tidak terinfeksi HIV. Perbedaan ini bermakan secara statistic Orang yang terinfeksi HIV lebih cenderung memiliki TB pada limfa nodus, lien, jaringan dan saluran dari system genitalis dan system urinarius daripada yang tidak terinfeksi HIV. Perbedaan ini bermakna secara statistic. Sekitar 25% dari mereka yang terinfeksi HIV dan 25% meninggal selama di rumah sakit dan sekitar 40% dari mereka meninggal ketika mendapat antibiotik untuk TB. Berdasarkan peneliti, hanya 14 subjek dalam masing-masing grup (terinfeksi dan tidak terinfeksi HIV) yang mendapat terapi antibiotik komplit.8 2.5 Diagnosis Diagnosis tuberkulosis ekstrapulmonal sering sulit ditegakkan, karena spectrum manifestasi klinik dan tidak adanya tes sensitifitas. Selain itu, hal tersebut dikarenakan gambaran klinis dan laboratories tidak spesifik dan hanya menunjukkan penyakit infeksi kronis.10 Diagnosis tuberkulosis abdomen dapat secara klasik ditegakkan dengan memeriksa mikrobiologi dan konfirmasi kultur Mycobacterium tuberculosae, sedangkan pemeriksaan histopatologi dapat ditegakkan juga pada beberapa kasus yaitu 60,8%. Pada pasien yang mengeluh adanya gejala dyspepsia, nyeri perut, muntah, perdarahan saluran cerna atas atau distensi lambung, perlu dilakukan pemeriksaan endoskopi. Biopsi lambung dilakukan 3 hingga 4 kali secara rutin dari bagian korpus dan antrum selama endoskopi dan di dalam spesimennya dicari Mycobacterium tuberculosae atau adanya granuloma. Jika pasien memiliki gejala sugestif dari tuberkulosis usus seperti diare kronik, organ berdarah atau perubahan pada perut, basil diperiksa dan dilakukan kultur M. tuberculosae. Kemudian, kolonoskopi, atau pada pasien dengan masalah penampakan kolonoskopi, dilakukan barium enema. Diambil 8 hingga 10 biopsi untuk pemeriksaan

15

hisopatologi dan mikrobiologi, jika beberapa lesi ditemukan selamaa kolonoskopi. Beberapa kelainan dari organ abdomen, nodus limfatikus, mesenterikus dan peritoneum tampak pada USG abdomen dievaluasi dengan CT abdomen, namun selain itu, CT abdomen tidak dilakukan.12 Para ahli biasanya dapat mendiagnosa tuberkulosis milier dengan mata mereka secara langsung, namun jika mereka salah, bisa melakukan biopsi peritoneum parietal dan atau livernya. Sebagaimana telah disebutkan pada manifestasi klinik, bahwa tuberkulosis abdomen memiliki tiga tipe yaitu tipe yang menyebabkan asites, tipe plastik yang menyebabkan obstruksi usus dan tipe glandular. Pemeriksaan khusus pada tuberkulosis abdomen tipe asites yaitu: roentgen toraks, dan laboratorium cairan asites. Jika jumlah sel lebih dari 50 (gm)l dengan paling sedikit 70% limfosit, pasien dengan jelas memiliki peritonitis tuberkulosa. Namun jika asites lebih sedikit, umumnya asites disebabkan oleh sirosis atau fibrosis periportal. Selain limfosit, perlu juga mengukur protein. Pada peritonitis tuberkulosa, biasanya 3-10 g/l namun dapat meningkat menjadi 20% atau lebih. Kebanyakan pasien yang memiliki (mt) 20 g/l, atau lebih, memiliki karsinomatosis. Jika terdiri lebih dari 4 g/l protein, biasanya merupakan eksudat, namun jika kurang dari 4 g/l maka merupakan transudat. Sirosis biasanya memproduksi transudat, begitu juga dengan fibrosis periportal. Jika ada darah pada cairan asites, memungkinkan adanya karsinoma atau hepatoma.10 Dalam menegakkan diagnosis tuberkulosis abdomen, perlu memperhatikan 7 hal berikut, yaitu: 1) Riwayat dan gejala penyakit Perlu ditanyakan apakah terdapat riwayat dan gejala sebagai berikut: a. Sterilisasi (secara primer atau setelah dilatasi dan kuretase untuk aborsi atau sterilisasi setelah memiliki satu anak, khususnya setelah operasi Caesar),

16

b.

Perubahan pola menstruasi (menjadi lebih berat dalam hal perdarahan dengan uterus fibrosa yang kecil atau aliran yang sedikit atau tidak haid sama sekali),

c. d. e. f. g. h. i. j.

Periode nyeri, setengah hingga satu hari sebelum dan setengah hingga satu hari setelah periode onset, Perasaan mudah lelah, lemah, ingin selalu istirahat atau tidur, Peningkatan suhu (demam) saat malam hari, Kehilangan selera makan dan gangguan pencernaan (konstipasi atau diare), Berkeringat pada tangan dan kaki, Nyeri yang tidak jelas pada abdomen, Sakit saat berhubungan seks (dispareuni), kurang tertarik dengan hubungan seksual karena nyeri dan kelelahan dan Menarche menjadi sangat cepat atau sangat lambat atau bahkan seperti amenore primer.

2) Penilaian dan tanda klinis Pada penilaian dan tanda klinis, perlu memperhatikan hal-hal berikut ini: a. Uterus yang fibrous dan hipoplastik (mungkin dengan aliran darah haid yang deras), b. Uterus retroversi dengan mobilitas terbatas atau bahkan tidak bergerak, c. Fornix yang sempit (biasanya bagian lateral), ruangan atau cincin fibrosa yang sempit pada vagina bagian atas, d. Deviasi uterus, e. Adanya masa yang difus, f. Interoitus fibrosa, g. Rasa abdomen yang kurang nyaman, h. Diabetik vulvitis atau prediabetik dan mondial vaginitis, i. Kekasaran pada dinding posterior uterus yang menumbuhkan fibroid dan

17

j. Ulkus serviks, lebih banyak pada bagian anterior serviks (tampak menjadi ganas namun tidak berdarah saat disentuh). 3) Tes dan pemeriksaan rutin 1. LED, 2. Cairan peritoneum (transudat/eksudat), 3. Biopsi endometrium atau D&C dengan histopatologi, 4. Kultur endometrium dan inokulasi hewan, 5. Tes Mantoux (distandarisasi), 6. Roentgen toraks dan sputum untuk AFB, 7. Biopsi kelenjar limfe, 8. AFB pada darah menstruasi (konsentrasi dengan mikro), 9. Histerosalpingogram dan 10. Ultrasound. 4) Penemuan laparoskopi 1. Cairan peritoneum yang banyak warna (cenderung menjadi encysted), 2. Periuteritis (permukaan uterine yang tidak cerah) dengan bercak seperti lepra atau gambaran luka erosi), 3. Uterus yang biru atau injeksi metilen biru, 4. Perisalpingitis, salpingitis isthmica nodosa, tabung yang lembab, gambaran tasbih, tabung yang tebal, hydrosalpinx, 5. Tuberkel, mikro dan makro kaseasi (pada tabung, cavum Douglas, bagian posterior dari ligament yang besar), 6. Adesi yang tipis/lemah pada fossa iliaca kanan, cavum Douglas, fossa iliaca kiri dan daerah hati, 7. Adesi omentum adalah fibrosa dan padat, jika terbentuk setelah pembedahan, 8. Fibrosis pada bagian posterior ligamentum, menyerupai endometriosis karena pecahnya fibrosis secara tipikal oleh uterus anteversi,

18

9. Uterus yang bersifat fibrosa yang ukurannya lebih kecil daripada normal dan 10. Sinekia yang diobservasi oleh asisten vagina selama elevasi uterus. 5) Gambaran histeroskopi 1. Mikrokaseasi, 2. Hiperplasi endometrium dengan sedikit periode (tidak berdarah hingga menyentuh histeroskop), 3. Eksudasi tampak pada rongga uterus, 4. Saluran masuk ke ostium tuba mengecil atau hilang secara komplit, 5. Ostium tuba yang tidak ada saluran udara, focus sebagai saluran tertutup, 6. Canalisasi area ostium melepaskan materi kaseasi yang berjonjot, 7. Biopsi histeroskopi dari bagian kiri endometrium, 8. Saluran endoskopi yang irregular dan ulserasi, 9. Erosi cervical yang hiperplastik dan 10. Sinekia dan fibrosis pada rongga uterus, khususnya terpresipitasi setelah kuretase. 6) Tes laboratorium spesifik 1. LED, 2. Limfositosis, 3. Histopatologi dari biopsi sel giant yang dibantu dengan histeroskopi, 4. Tes aglutinasi kaolin (KAT), 5. Inokulasi hewan pada endometrium yang dicurigai, 6. Antibodi tuberkuler dan AFB pada darah menstruasi, 7. Antibodi dalam darah (IgA, IgG, IgM), 8. Antibodi pada cairan peritoneum, 9. Antigen spesifik pada cairan peritoneum dan 10. PCR serum atau cairan peritoneum. 7) Prinsip manajemen

19

Tuberkulosis dibagi menjadi 3 grup berdasarkan tipe pelibatan, yaitu intestinal Tb (15 pasien, 48%), peritonitis tuberkulosa (11 pasien, 35,2 %) dan limfadenitis tuberkulosa (5 pasien, 16,8%). J) 2.6 Diagnosis Banding Diagnosis banding tuberkulosis abdomen yaitu: 1. Infeksi askaris, 2. Abses apendiks, 3. Amoebiasis, 4. Karsinoma colon 5. Sirosis hepatis, 6. Tumor hati, dan 7. Penyakit Chron. Diagnosa banding pada peritonitis tuberkulosa yang menyebabkan asites yaitu: 1) Tuberkulosis asitik (md) dengan nodul milier pada peritoneum, masingmasing berukuran 1-2 mm, agak tinggi dan memutih; 2) Nodul karsinomatosis, merupakan diagnosa banding utama, ukurannya lebih besar (md) biasanya lebih dari 3 mm(md) lebih vaskular, dan irregular; ia dapat menjadi efusi maligna dari ukuran yang sama; 3) Asites sekunder pada penyakit hati, hatinya dapat membesar, keras, tidak teratur, atau kecil dan sulit diraba, limpanya biasanya besar. Biasanya terdapat 4 g/l protein pada cairan peritoneum; 4) Sindroma nefrotik, ditandai dengan asites yang lebih sedikit, juga memiliki tanda asites pada dinding abdomen dan edema seluruh tubuh. Biasanya terdapat 4 g/l protein dalam cairan peritoneum;

20

5) Edema nutrisi (hipoproteinemia), merupakan tanda defisiensi protein, namun dapat juga ada pada tuberkulosis. Biasanya terdapat 4 g/l protein pada cairan peritoneum; 6) Gagal jantung yang menuju pada sirosis dan asites, terjadi peningkatan tekanan vena jugularis dan tanda lainnya dari gagal jantung. Biasanya terdapat 4 g/l protein pada cairan peritoneum; 7) Karsinomatosis peritoneum, terdapat deposit keras pada cavum Douglas atau cavum rectovesical. Biasanya terdapat 20 g/l protein pada cairan peritoneum. 2.7 Pemeriksaan Penunjang Berdasarkan data epidemiologi Departemen Gastroenterologi RS Kartal, Istanbul, Turki periode Maret 1998 - Desember 2001, didapatkan 31 pasien didiagnosa menderita tuberkulosis abdomen. Pemeriksaan yang dilakukan pada semua kasus yaitu pemeriksaan lengkap, riwayat medis dan keluarga, laju endap darah, tes biokimia rutin, tes kulit Mantoux, rontgen toraks dan USG abdomen, sedangkan pemeriksaan mikrobiologi asites, endoskopi saluran cerna atas, kolonoskopi atau barium laparoskopi atau laparotomi dilakukan jika diperlukan saja. J) Pemeriksaan penunjang TB abdomen meliputi: LED, penilaian cairan peritoneal (transudat/eksudat), kultur biopsi endometrium dan inokulasi atau D& tes C dengan Mantoux histopatologi, endometrium hewan,

(distandarisasikan), roentgen toraks dan sputum untuk AFB, biopsi kelenjar limfe, AFB pada darah menstruasi (yang terkonsentrasi dengan mikro yang tepat), histerosalfingogram dan USG.13 Tabel 2. Frekuensi Hasil Laboratorium pada Pasien Tuberkulosis Abdomen 4

21

No 1 2 3 4 5 6

Hasil Lab Anemia Peningkatan LED Hipoalbuminemia Leukositosis Positif CRP Elevasi transaminase

Jumlah Pasien 22 20 15 2 5 7

Persentase 70,4 64 48 6,4 16 22,4

Tabel 3. Penemuan USG Abdomen pada Pasien Tuberkulosis Abdomen (mungkin terdapat lebih dari satu pada masing-masing pasien) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Penemuan Normal Asites Hepatomegali Penebalan Atropi Abdominal Hepatosteatosis Splenomegali Pericardial LAP Kalsifikasi Jumlah Pasien 4 14 4 3 2 2 2 1 1 1 1 Persentase 17,2 53,2 17,2 11,4 7,6 7,6 7,6 3,8 3,8 3,8 3,8

Pada pasien dengan teraba masa pada abdomen, dapat dilakukan pemeriksaan biopsi jarum halus secara langsung (direct fine needle aspiration cytology). Namun, metode ini tidak dapat dikerjakan pada seluruh pasien, karena kita tidak dapat meraba masa pada abdomen semua pasien. Gambaran CT pada tuberkulosis abdomen dapat membedakan peritonitis tuberkulosa dengan penyakit malignan dari peritoneum. Pihak Departemen Gastroenterologi RS Kartal, Istanbul melaporkan pernah mendapatkan 88% pasien yang dilakukan CT abdomen. Dengan demikian, gambaran CT abdomen lebih

22

memberikan gambaran data yang objektif dibandingkan dengan gambaran radiologis lainnya. Kolonoskopi pada tuberkulosis abdomen tampak menjadi problema, karena pelibatan segmen penyakit dan adanya granuloma yang sedikit pada penyakit submukosa. Pada penelitian Singh dan lembaganya, didapatkan granuloma pada 44% pasien, dan 19% memiliki kaseasi/perkijuan; juga didapatkan kelainan kolonoskopi pada 60% pasien dan mengkonfirmasi tuberkulosis secara histopatologi. Namun, kolonoskopi masih dilakukan jika diperintahkan saja, untuk mendapatkan jaringan untuk mengkultur agen yang sangat penting untuk mendiagnosa tuberkulosis intestine. Sensitivitas biopsi endoskopi berkisar antara 30-80% dan Bhargawa dkkl mendapatkan 8-10 biopsi untuk histology dan 3-4 spesimen untuk kultur. Laparoskopi dan biopsi peritoneum telah dilaporkan lebih dapat menolong dalam menegakkan diagnosis, meskipun dalam menangani pasien dengan tuberkulosis abdomen tanpa konfirmasi histopatologi ataupun bakteriologi. Pada penelitian terakhir, laparoskopi dilakukan pada 4 pasien dan konfirmasi diagnosis histopatologi pada 3 pasien dan secara makroskopis 1 pasien. Dengan demikian, tampaknya laparoskopi menjadi cara diagnostic yang memiliki sensitivitas yang tinggi. Pada penelitian Lisehora dkk, mini laparotomi dilaporkan sebagai prosedur diagnostic tuberkulosis abdomen yang paling sensitif dan spesifik. Secara klasik, diagnosanya membutuhkan pemeriksaan mikrobiologi dan kultur Mycobacterium tuberkulosae, sedangkan diagnosa dapat ditegakkan secara histopatologi pada beberapa penelitian, yaitu sebanyak 60,8% dari pasien. Jika isolasi Mycobacterium tuberkulosae diterima sebagai sine qua non, pada penyakit infeksi ini berdasarkan postulat Koch, diagnosis secara histopatologi tidak dapat diterima sebagai standar. Namun, isolasi agen secara mikrobiologi sangat jarang pada pasien dengan tuberkulosis abdomen. Hal ini telah dilaporkan sebanyak di bawah 50% seri. Sebagaimana kita ketahui bahwa Mycobacterium tuberkulosae dapat diisolasi

23

pada orang sehat. Oleh karena itu, teknik dekontaminasi khusus dan teknologi BacTec harus digunakan untuk mengkultur agen ini. Menariknya, kita tidak dapat mengkonfirmasi adanya Mycobacterium tuberkulosae pada beberapa pasien dengan menggunakan medium Lwenstein dimana merupakan medium kultur ideal untuk bakteri ini. Bahkan pada pasien dengan ARB positif pada pewarnaan langsung, kultur pada Lowenstein tidak positif; namun terdapat 2 kultur positif dengan tehnik BacTec. Pada laporan kasus Anand dan lembaganya, PCR digunakan pada biopsi specimen endoskopi yang didapat dari pasien dengan diare kronik, dan hasilnya positif. Isolasi Mycobacterium tuberkulosis dengan BacTec atau PCR merupakan tehnik yang menjanjikan untuk masa depan, namun meskipun metode ini tampak jauh dari ideal, karena tidak cukup baik untuk menatalaksana penyakit ini karena kekurangan kultur. Adanya riwayat tuberkulosis paru atau riwayat keluarga tuberkulosis juga sering ditemui pada pasien dengan tuberkulosis abdomen. Telah diketahui bahwa pasien dengan resistensi banyak obat, mengharuskan pasien melalui beberapa percobaan efektivitas beberapa variasi obat. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kebanyakan kasus dengan tuberkulosis abdomen memiliki resistensi primer dengan kemoterapi konvensional. Isolasi dari Mycobacterium tuberkulosae juga penting untuk tes suseptibilitas dimana sekarang dilakukan pada setiap pasien dengan tuberkulosis paru dikarenakan tingginya insiden dari resistensi banyak obat (meningkat dari 2% menjadi 9% dalam 3 dekade terakhir).4 2.8 Penatalaksanaan Regimen Terapi yang Direkomendasikan untuk Tuberkulosis Ekstra Paru Studi TRC TB Meningitis TB Spine Regimen 2SHRZ7/10EH7 6RH7 atau 9RH7 Durasi dalam Bulan 12 6 atau 9

Tabel 4.

24

TB Abdomen Potts Paraplegia TB Lymphadenitis Brain Tuberculoma Direkomendasikan oleh: IUAT American Academy of Ped WHO American Thoracic Society

2RHZ7/4RH7 2SHERZ7/7RH2 2SHRZ3/4SH2 3RHZ3/6RH2 2HRZ/4RH 2SHRZ/10RH 2SHRZ/4RH 2HRZ/4RH

6 9 6 9 6 9 atau 12 * 6 6 atau 12 *

* Untuk tulang dan sendi dan TB milier.9 Penatalaksanaan tuberkulosis dengan asites yaitu dengan kemoterapi. Namun, jangan menginginkan keajaiban, jika pasien memiliki penyakit akut dan asites. Sebelum 2 bulan, kegagalan cairan untuk berakumulasi kembali menunjukkan adanya kemajuan. Penelitian kolaboratif dilakukan untuk membandingkan regimen 6 bulan setiap hari dari rifampisin, etambutol dan isoniazid selama 2 minggu, diikuti oleh rifampisin dan isoniazid selama 4 bulan (regimen Short Course Chemotherapy) dengan regimen 12 bulan setiap hari dari streptomisin, etambutol dan isoniazid selama 2 minggu, diikuti oleh etambutol dan isoniazid untuk akhir dari tahun (regimen standar) pada terapi TB abdomen. Pasien dengan kejadian bakteriologi atau histopatologi atau radiology dialokasikan random pada 2 regimen. Dari 37 pasien yang mendapat seri kemoterapi dengan respon yang dapat dinilai, 97% memiliki respon baik dibandingkan dengan 92% daru 37 pasien dengan seri standar. Dari 64 pasien yang telah difollow up hingga 24 bulan dari mulai terapi, lebih lanjut tidak kambuh. Namun, kejadian toksisitas ada 11 (26%) dalam seri kemoterapi jangka pendek dan 6 (13%) dalam seri standar dan 2-3 pasien respek dengan terapi berubah dengan toksisitas obat. Perbedaan antara keduanya tidak penting secara statistic. Regimen 6 bulan tampaknya baik sebagaimana terapi regimen 12 bulan pada terapi TB abdomen.14

25

Pertimbangan terapi lain TB ekstra paru yaitu steroid dan pembedahan. Kortikosteroid tidak direkomendasikan untuk penggunaan rutin, namun lebih bermakna pada TB massif dengan efusi pleuram meningitis, perikarditis dan tuberkuloma otak. Pada permukaan serosa pasien TB, steroid menolong mereabsorbsi cairan lebih cepat dan mencegah adesi. Untuk pembedahan, sejumlah prosedur pembedahan dilakukan untuk TB spine dan TB limfadenitis pada era prokemoterapi, namun dengan pengenalan dari kemoterapi singkat, terapi obatobatan merupakan metode pilihan untuk kebanyakan TB ekstra paru.9 Pada penelitian yang dilakukan oleh Unit Bedah III, Bagian Ilmu Bedah, Jinnah Postgraduate Medical Centre Karachi selama 4 tahun pada 83 pasien, didapatkan frekuensi terbanyak penderita tuberkulosis abdomen adalah wanita muda yang berpenghasilan rendah. Gejala yang sering tampak adalah nyeri perut, obstruksi usus dan peritonitis. Intervensi bedah seperti loop ileostomy, reseksi anastomosis dan adenolisis dilakukan pada 53% kasus karena peritonitis dan obstruksi usus. Obstruksi usus merupakan indikasi terbanyak dilakukan pembedahan. Sebanyak 47% pasien respon secara adekuat dengan terapi anti tuberkulosis. Sebanyak 20% tampak komplikasi prosedur. Didapatkan juga pasien yang memerlukan intervensi bedah sebanyak 53%, dimana mayoritasnya dengan obstruksi usus (52,2%). Pada pasien dengan peritonitis, dilakukan ileostomi (50%). Namun, komplikasi dari ileostomi pernah dilaporkan fistula enterocutaneus (21%), infeksi luka (68%) dan pecahnya abdomen (15%), Dengan demikian, diagnosis tuberkulosis abdomen dapat ditegakkan berdasarkan komplikasi klinis dasar yang dapat dicegah dengan memulai terapi obat lebih awal. Ileostomi merupakan prosedur menyelamatkan nyawa pada pasien malnutrisi. Membiarkan luka terbuka untuk mencegah penutupan primer tidak hanya memudahkan inspeksi secara kontinyu, namun juga menolong drainase abses jika pus berakumulasi pada intervensi bedah atau perforasi.

26

2.9

Prognosis Faktor yang mempengaruhi prognosis atau keberhasilan pengobatan TB

sangat kompleks, sukar untuk dipisahkan antara satu faktor penyebab dengan penyebab lainnya. Secara garis besar, faktor tersebut adalah:15 1. Faktor penderita: mempunyai gangguan imunocompromise, dimana yang sering disebut adalah malnutrisi, pemakaian kortikosteroid/obat-obat penekan system imun jangka panjang, serta HIV. ketidakpatuhan, umumnya berkaitan dengan: faktor obat, tingkat pendidikan, perbaikan klinis, kemiskinan, penyalahgunaan alcohol, ada tidaknya tempat pelayanan dan jarak ke tempat pelayanan. 2. 3. Faktor masyarakat dan keluarga, dimana dukungan masyarakat Faktor petugas, dimana terjadi kesalahan pembacaan kuman oleh

dan keluarga pada penderita TB masih kurang. petugas laboratorium, kesalahan penegakan diagnosis dan penatalaksanaan oleh dokter atau perawat akan mengakibatkan pengobatan yang kurang adekuat dan dipastikan kegagalan pengobatan akan meningkat. 4. Faktor pemerintah, dimana anggaran yang disediakan termasuk

dalam tingkat rendah, sehingga terjadi berkurangnya supply obat, pengadaan bahan laboratorium, pemantauan program serta fasilitas diagnosis, dan pada akhirnya angka penemuan kasus baru tetap rendah. 5. Peningkatan kasus MDR (Multi Drug Resistance), dimana sangat

kompleks dan berkaitan dengan factor lainnya. Dosis, lama dan paduan OAT

27

yang tidak adekuat serta pengobatan yang terputus dapat menyebabkan MDR. 6. segera Keterlambatan pengobatan, dimana idealnya diberikan OAT setelah ditegakkan diagnosis. Keterlambatan diagnosis dan

pengobatan hanya akan meningkatkan resiko transmisi, angka kesakitan dan angka kematian. 7. DOTS (Directy Observed Treatment Shourt-course

Chemotherapy) dan PMO (pengawas minum obat). DOTS merupakan strategi yang dicanangkan WHO untuk mengatasi besarnya beban tuberculosis dunia saat ini.

BAB III PENUTUP

Tuberkulosis adalah penyakit menular yang ditandai dengan radang kronis dan pembentukan tuberkel-tuberkel dan kaseasi jaringan-jaringan. Tuberkulosis abdomen merupakan TB ekstra paru yakni TB dimana pasien memiliki kelainan

28

histologis atau dengan gambaran klinis sesuai TB aktif atau pasien dengan satu sediaan dari organ ekstra parunya menunjukkan hasil bakteri M. tuberculosae. Populasi yang rentan terkena TB adalah orang dengan imun yang lemah, malnutrisi dan yang sedang mendapat kemoterapi kanker dan kortikosteroid serta terinfeksi HIV. Patogenesis pelibatan isi abdomen oleh Mycobacterium tuberculosae belum dapat secara penuh dijelaskan. Namun, nutrisi yang rendah, status sosio-ekonomi dan kurangnya fasilitas kesehatan telah memberikan kontribusi yang besar dalam menyebabkan kasus ini. Tuberkulosis dibagi menjadi 3 grup berdasarkan tipe pelibatan, yaitu intestinal TB (15 pasien, 48%), peritonitis TB (11 pasien, 35,2 %) dan limfadenitis TB (5 pasien, 16,8%). Klasifikasi lain berdasarkan manifestasi umum TB abdomen: 1) Tipe yang menunjukkan asites, 2) Tipe plastik, yang menyebabkan obstruksi usus dan 3) Tipe glandular, yang melibatkan nodus mesenterikus. Selain itu, terdapat juga: TB Hepatosplenik, TB genitourinarius, TB ginjal, TB Ureter, TB kandung kemih, TB genital wanita, TB genital pria, TB Limfa nodus dan lainnya. Berdasarkan penelitian di India dan Nepal, karakteristik gejala yang sering tampak pada pasien yaitu: nyeri abdomen, penurunan berat badan, asites, diare, batuk dan adanya sputum, muntah dan mual, demam, adanya tanda perforasi, nyeri tulang, keringat pada malam hari, gejala traktus urinarius, adanya masa pada kuadran abdomen bawah, nyeri bagian serviks, eviserasi mengikuti laparotomi, terjadi secara incidental dan terkadang perlu operasi karena brid ileus. Standar emas untuk menegakkan diagnosis tidak begitu tampak dari tanda klinis (hanya menunjukkan penyakit infeksi kronis), laboratories (tidak spesifik), radiologis, metode endoskopi, penemuan bakteriologi dan histopatologi dan tidak adanya tes sensitivitas. Sehingga diagnosis TB ekstrapulmonal sering sulit ditegakkan. Namun, sebuah algoritme dari metode diagnostic yang ada tersebut dapat mengarahkan dalam penegakan diagnosis penyakit ini.

29

Diagnosis banding tuberkulosis abdomen yaitu: Infeksi askaris, abses apendiks, amoebiasis, karsinoma colon, sirosis hepatis, tumor hati dan Penyakit Chron. Pemeriksaan umumnya dilakukan pada semua kasus yaitu pemeriksaan lengkap, riwayat medis dan keluarga, laju endap darah, tes biokimia rutin, tes kulit Mantoux, rontgen toraks dan USG abdomen, sedangkan pemeriksaan mikrobiologi asites, endoskopi saluran cerna atas, kolonoskopi atau barium laparoskopi atau laparotomi dilakukan jika diperlukan saja. Pemeriksaan laboratorium yang umumnya ditemukan pada penderita TB abdomen yaitu: anemia, peningkatan LED, hipoalbuminemia, leukositosis, positif CRP dan elevasi transaminase. Penemuan USG abdomen umumnya pada pasien TB abdomen yaitu: normal, asites, hepatomegali, penebalan, atropi, splenomegali, LAP dan kalsifikasi. Mini laparotomi dilaporkan sebagai prosedur diagnostic tuberkulosis abdomen yang paling sensitif dan spesifik. Diagnosis tuberkulosis abdomen dapat secara klasik ditegakkan dengan memeriksa mikrobiologi dan konfirmasi kultur Mycobacterium tuberculosae, sedangkan pemeriksaan histopatologi dapat ditegakkan juga pada beberapa kasus yaitu 60,8%. Regimen terapi yang direkomendasikan untuk TB abdomen yaitu 2RHZ7/4RH7 selama 6 bulan. Pertimbangan terapi lain TB ekstra paru yaitu steroid dan pembedahan (dengan syarat-syarat tertentu). Faktor yang mempengaruhi prognosis TB sangat kompleks. Secara garis besar yaitu: faktor penderita, faktor masyarakat dan keluarga, faktor petugas, faktor pemerintah, peningkatan kasus MDR, keterlambatan pengobatan dan DOTS.

30

DAFTAR PUSTAKA

1. Dorland. Kamus Kedokteran. 26th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1996. 2. Anonym. Abdominal tuberculosis surgeons perspective. 2003. Available from URL: http://jsp.org.pk/JSP.Oct-Dec%202003/ JSP %20a5.html. 3. Bahar A, Tuberkulosis Paru. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001. p. 819. 4. Anonym. A clinical dilemma: abdominal tuberculosis. 2002. Available from URL: http://64.233.187.104/search?q=cache:3v-v3d_10SAJ: www.wjgnet.com/1007-9327/9/1098.pdf+abdominal+tuberculosis &hl=id. 5. Anonym. Final diagnosis disseminated tuberculosa. 2002. Available from URL: http://path.upmc.edu/cases/case262/dx.html. 6. Price SA, Tuberkulosis Paru-Paru. Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta: EGC; 1995. p. 753. 7. Chestnutt MS, Prandergast TJ, Paru Paru. Dalam : Diagnosis dan Terapi Kedokteran Ilmu Penyakit Dalam; alih bahasa Abdul Gofir. Jakarta: Salemba Medika; 2002. p.49. 8. Hosein, Sean. Infection fighters: TB outside of the lungs. 1995. Available from URL: http://www.aegis.com/pubs/catie/1995/CATE6106.html 9. Kumaraswarni. 10. Anonym. Treatment of Extrapulmonary 2003. Tuberculosis. from 2003. URL: Available from URL: http://www.sunmed.org/drugproto.html. Abdominal Tuberculosis. Available http://www.uni-ulm.de/~bschnei1/surg126.html.

11. C, Bolukbas, T, Kendir, et al. Clinical presentation of abdominal tuberculosis in HIV seronegative adults. 2003. Available from URL: http://www.osti.gov/energycitations/product.biblio.jsp? osti_id =6183985. 12. Indian Academy of Clinical Medicine. Ascites: Diagnosis and treatment. 5(1): 13. Anonym. 81-89. Available 1996. from Available from URL: URL: http://www.indigene.com/Gas/FeatArt/indGasFeat5.html. Abdominal tuberculosis. http://www.Irsitbrd.nic.in/IJTB/year %25201996/JUL1996.pdf+Tb+abdomen&hl=id. 14. Anonym. Diagnosis of abdominal tuberculosis. 2004. Available from URL: http://www.indiansurg.com/article.asp?issn=0972-2068% 3Byear=2004. 15. S. Ghazinoor, T, Desser, et al. Increased through-transmission in abdominal tuberculous lymphadenitis. 2000. Available from URL: http://www.med.stanford.edu/profiles/frdActionServlet?choiceId= show Publication%pubid=20494&fid=4143. 16. Ahmad Z, Tuberculosis Paru. Dalam: Naskah Lengkap Work-Shop Pulmonology Pertemuan Ilmiah Tahunan IV (PIT-4) Ilmu Penyakit Dalam PAPDI Sumbagsel. Palembang: Lembaga Penerbit Ilmu Penyakit Dalam FK Unsri; 2002. p. 96.

1 2 3 4 5 6 3,6,7 3 8 3 9 7 10 11 10 5 10 8 10 12 10 13 4 4 9 14 9 15

Anda mungkin juga menyukai