Anda di halaman 1dari 4

EMFISEMA BULOSA Pembagian klinis emfisema paru-paru pertama kali diajukan oleh Dikjman (1986), yang membedakan tiga

jenis kelainan, yaitu emfisema kompensasi, emfisema obstruktif difusa dan emfisema bulosa. Emfisema kompensasi bukanlah emfisema yang sesungguhnya, karena tidak terjadi kerusakan asinus. Yang terjadi pada kelainan ini adalah hiperinflasi bagian tertentu dari paru- paru yang mengisi ruang hemitoraks besar yang terjadi karena atelektasis atau pembedahan reseksi paru-paru. Emfisema obstruktif difusa lebih dikenal dengan sebutan penyakit paru-paru obtruktif kronik. Emfisema bulosa ditandai oleh dilatasi dan kerusakan ruang udara terminal paru-paru, dapat terjadi kongenital tanpa kelainan paru-paru yang mendasari, namun dapat pula terjadi sebagai komplikasi dari penyakit paru-paru obstruktif kronik dengan atau tanpa penyakit paru-paru lain. Dalam upaya menegakkan diagnosis, gejala-gejala emfisema bulosa harus dapat dibedakan dengan gejala-gejala yang ditimbulkan oleh emfisema kronik maupun bronkitis kronik

PATOFISIOLOGI DAN PATOGENESIS BULA PARU-PARU Penjelasan mengenai patofisiologi terjadinya bula paru-paru pertama kali diajukan oleh Cooke dan Blades (1952), sebagai berikut : awalnya, mekanisme katup bola ( ball-valve) antara bula dan bronkus menyebabkan bula membesar secara progresif. Kemudian, bula yang membesar karena peningkatan tekanan intra bula akan membuat jaringan paru-paru disekitarnya kolaps. Selanjutnya, inflamasi dan oklusi parsial saluran napas kecil menyebabkan kerusakan bula disertai pembesaran progresif dan oklusi lanjutan pada saluran napas tersebut. Akhirnya, bula akan menghasilkan space occupying lesion yang besar dengan ventilasi yang baik tetapi tanpadisertai perfusi yang baik, sehingga timbul hambatan gerak difragma dandinding dada,pergeseran mediastinum dan penekanan pada sisi paru-paru yang sehat disekitarnya dan pada paru-paru kontra lateralnya. Baldwindkk (1950) menemukan bahwa bula besar dapat bertindak sebagai space occupying lesion yang merelaksasi dan menekan jaringan paru-paru yang terkena. Dengan toraks yang terbuka, baik pada operasi maupun otopsi, bula seperti ini akan mengembang dan kolaps secara instan dengan ventilasi tekanan positif.

Reid(1967) mengklasifikasikan lesi semacam ini sebagai emfisema non-obstruktif. Kapasitas residu fungsional tetap besar, pengeluaran nitrogen dari bula berjalan lambat, ruang rugi fisiologi berkurang dan pertukaran udara dalam bula berjalan lambat seperti dilaporkan oleh Hugh-Jones dkk (1966). Pada saat toraks terbuka, tekanan positif akan menyebabkan mengembangnya paru-paru di belakang bula disertai kembalinya tegangan radial pada jalan napas. Akibatnya,hubungan antara bronkus dan bula menjadi terbuka lebar. Pada saat toraks tertutup, jaringan paru-paru di sekitarnya akan mengalami relaksasi saat tekanan positif, disertai penurunan tegangan radial jalan napas dan seluruh jalan napas memiliki resistensi aliran yang tinggi. Setelah eksisi bula, tegangan paru-paru akan kembali dan lesi hilang. Emfisema ditandai oleh kerusakan dinding alveolar distal dari bronkiolus terminalis. Proses ini akan berlanjut menjadi pembesaran ruang udara distal disertai terbentuknya blebs, kista dan bula. Karena dinding alveolar yang kaya kapiler turut rusak pada daerah emfisema, ruang udara yang membesar ini memiliki rasio ventilasi perfusi yang tinggi yang menyebabkan terbentuknya ruang rugi fisiologis. Peningkatan ruang ruang rugi pernafasan ini akan menurunkan efisiensi bernapas, dan menyebabkan peningkatan kerja napas dan gangguan pertukaran udara. Kerusakan dinding alveolar juga menyebabkan penurunan kemampuan rekoil elastis paru- paru dan penurunan traction support dari lumen jalan napas kecil yang menyebabkan gangguan proses ekshalasi. Penurunan kemampuan rekoil elastik disertai kolapsnya jalan napas ekspirasi menghasilkan hiperinflasi dan adanya udara yang terperangkap (air-trapping) pada daerah emfisema. Hiperinflasi ini dapat menekan jaringan paru-paru disekitarnya sehingga rasio V/Q akan menurun pada daerah paru-paru yang mengalami penekanan yang lama kelamaan menyebabkan ganggauan pertukaran udara dan hipoksemia. Kesulitan bernapas pada pasien-pasien dengan bula paru-paru terjadi karena dinding dada mengembang secara maksimal sepanjang waktu, dengan diafragma yang mendatar pada saat inspirasi maksimal. Karenanya, setiap upaya inspirasi hanya menghasilkan pergerakan udara yang minimal. Itulah sebabnya, reseksi bagian paru-paru yang mengalami kerusakan akan memungkinkan dinding dada untuk berupaya kembali ke kondisi normalnya dan mengembalikan mobilitas diafragma seperti semula.

Mekanisme terbentuknya bula belum diketahui dengan pasti. Salah satu penjelasan yang menjadi perdebatan adalah terjadinya degradasi serat elastik paru-paru yang dipicu oleh peningkatan masuknyaa netrofil dan makrofag terkait dengan kebiasaan merokok. Degradasi ini menyebabkan ketidakseimbangan sistem protease-antiprotease dan oksidanantioksidan. Setelah terbentuk bula, terjadi obstruksi saluran napas kecil yang disebabkan oleh proses inflamasi berkepanjangan sehingga terjadi peningkatan tekanan alveolar, yang menyebabkan udara merembes ke ruang instertitial paru-paru. Kemudian udara akan bergerak ke hilus,terjadilah pneumo mediastinum. Dengan meningkatkan tekanan intra-mediastinum, timbul ruptur pleura parietal di daerah mediastinum dan mengakibatkan terjadinya pneumotoraks. Pemeriksaan histopatologi dan mikroskop elektron pada jaringan yang diambil intraoperatif tidak menunjukkan adanya defek pada pleura viseral yang memungkinkan terjadinya perembesan udara dari bula ke ruang pleura. Kerusakan dinding alveolar juga menyebabkan penurunan kemampuan rekoil elastis paru- paru dan penurunan traction support dari lumen jalan napas kecil yang menyebabkan gangguan proses ekshalasi. Penurunan kemampuan rekoil elastik disertai kolapsnya jalan napas ekspirasi menghasilkan hiperinflasi dan adanya udara yang terperangkap (air-trapping) pada daerah emfisema. Hiperinflasi ini dapat menekan jaringan paru-paru disekitarnya sehingga rasio V/Q akan menurun pada daerah paru-paru yang mengalami penekanan, yang lama kelamaan menyebabkan ganggauan pertukaran udara dan hipoksemia. Penyebab emfisema bula belum sepenuhnya diketahui, walaupun ditemukan adanya kaitan antara merokok dan difisiensi a1-antitripsin dengan terbentuknya bulla. Defisiensi a1antitripsin merupakan faktor risiko berkembangnya gejala-gejala pada saluran napas, munculnya emfisema dini dan obstruksi saluran napas. Faktor lingkungan seperti rokok dan paparan terhadap debu menjadi faktor risiko tambahan dan berhubungan dengan cepatnya penurunan kondisi pasien. Faktor penderita juga seperti genetik dan usia juga mempengaruhi berkembangnya penyakit ini. Johnson dkk (2000) melaporkan kasus-kasus bula paru-paru yang terkait dengan kebiasaan merokok mariyuana. Namun pada pasien-pasien yang diamati pada laporan ini juga memiliki riwayat merokok yang cukup lama, sehingga hubungan signifikan antara kebiasaan merokok mariyuana saja tanpa riwayat merokok yang lama terhadap terjadinya bula paru- paru masih perlu diteliti lebih lanjut. Kadangkala penting untuk membagi pasien dengan bula paru-paru ke dalam dua grup besar,yaitu (1) pasien PPOK (penyakit paru-paru obstruktif kronis) dan (2)

pasien dengan parenkim paru-paru di antara bula yang relatif normal tanpa obstruksi aliran udara. Kelompok kedua ini biasanya memiliki riwayat munculnya penyakit yang sama pada keluarga (familialoccurence).

Anda mungkin juga menyukai