Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit paru obstruksi adalah penyakit atau gangguan paru yang


memberikan kelainan ventilasi berupa gangguan obstruksi saluran napas. Penyakit
dengan kelainan tersebut antara lain adalah asma bronkial, penyakit paru obstruksi
kronik (PPOK) dan sindrom obstruksi pasca Tuberkulosis (SOPT). Meskipun
semuanya memberikan kelainan berupa obstruksi saluran napas, tetapi mekanisme
terjadinya kelainan itu berbeda pada masing-masing penyakit.
Gangguan obstruksi yang terjadi menimbulkan dampak buruk terhadap
penderita karena menimbulkan gangguan oksigenisasi dengan segala dampaknya.
Obstruksi saluran napas yang terjadi bisa bertambah berat jika ada gangguan lain
seperti infeksi saluran napas dan eksaserbasi akut penyakitnya.
Pemberian bronkodilator yang bertujuan mengatasi obstruksi yang terjadi,
merupakan suatu tindakan yang bersifat simptomatis, karena pengobatan ini tidak
mengobati etiologi obstruksi; walaupun demikian pengobatan ini perlu dilakukan
untuk mengatasi gejala serta menghindari perburukan penyakit dan komplikasi.
Terdapat berbagai golongan bronkodilator dan cara pemberian yang berbeda.
Pemilihan bronkodilator yang tepat dan cara pemberian yang akurat perlu dilakukan
agar diperoleh efek pengobatan yang optimal dengan efek samping yang minimal.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
PENYAKIT PARU OBTRUKSI KRONIK

2.1 Definisi
Penyakit obtruksi jalan nafas karana bronchitis kronis atau emfisema.
Obstruksi tersebut umumnya bersifat progresif, bisa disertai hiperaktitas bronkus dan
sebagian bersifat reversible.
Bronchitis kronis adalah suatu definisi klinis yaitu ditandai dengan batukbatuk hamper setiap hari disertai pengeluaran dahak, sekurang-kurangnya 3 bulan
berturut-turut dalam satu tahun dan paling sedikit selama 2 tahun.
Emfisema adalah suatu perubahan anatomi paru-paru yang ditandai dengan
melebarnya secara abnormal saluran udara sebelah distal bronkus terminal disertai
kerusakan diding alveolus.
2.2 Anatomi Paru
Paru-paru terletak sedemikian rupa sehingga setiap paru terletak disamping
mediastinum. Oleh karena itu ,masing-masing paru-paru satu sama lain dipisahkan
oleh jantung dan pembuluh pembuluh besar serta struktur lain dalam mediastinum
Masing-masing paru berbentuk konus dan diliputi oleh pleura viceralis. Paru-paru
terbenam bebas dalam rongga pleuranya sendiri,hanya dilekatkan ke mediastinum
oleh radix pulmonis.
Masing-masing paru mempunyai apex yang tumpul, yang menjorok ke
atas,masuk ke leher sekitar 2,5 cm di atas clavicula, facies costalis yang
konveks,yang berhubungan dengan dinding dada, dan facies mediastinalis yang
konkaf,yang

membentuk

cetakan

pada

pericardium

dan

struktur-struktur

mediastinum lain Sekitar pertengahan permukaan kiri,terdapat hillus pulmonalis,


suatu lekukan dimana bronkus,pembuluh darah dan saraf masuk ke paru-paru untuk
membentuk radix pulmonalis.

Gambar 2.1 Anatomi Paru-paru


Paru-paru kanan sedikit lebih besar dibanding paru-paru kiri dan dibagi oleh
fissura oblique dan fissura horisontalis menjadi 3 lobus, Lobus superior, medius dan
inferior. Paru-paru kiri dibagi fisura obliqua menjadi 2 lobus, lobus superior dan lobus
inferior.
2.3 Etiologi
Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya PPOK adalah:
1. kebiasaan merokok
2. polusi udara
3. paparan debu dan asap
4. riwayat infeksi saluran nafas.
2.4 Patofisiologi
Obstruksi saluran napas difus yang terjadi pada asma terdiri dari empat
unsur, yaitu :
1. Hipertrofi otot polos bronkus
2. Peningkatan sekresi muk ke dalam lumen bronkus
3. Edema mukosa bronkus
4. Infiltrasi sel inflamasi oleh eosinofil dan netrofil pada dinding saluran napas dan
lumen.
Mekanisme obstruksi saluran napas yang terjadi pada asma sangat
kompleks, tetapi interaksi dengan hiperaktivitas bronkus merupakan faktor utama.

Pada bronchitis kronik maupuun emfisema terjadi penyempitan saluran nafas.


Penyempitan ini dapat mengakibatkan obstruksi jalan nafas dan menimbulkan sesak.
Pada bronkitis kronik obstruksi saluran napas terjadi melalui mekanisme lain.
Faktor pencetus penyakit ini adalah suatu iritasi kronik yang disebabkan oleh asap
rokok dan polusi. Asap rokok merupakan campuran partikel dan gas. Pada tiap
hembusan asap rokok terdapat l014 radikal bebas yaitu radikal hidroksida (OH-).
Sebagian besar radikal bebas ini akan sampai di alveolus waktu menghisap rokok.
Partikel ini merupakan oksidan yang dapat merusak paru. Parenkim paru yang rusak
oleh oksidan terjadi karena rusaknya dinding alveolus dan timbulnya modifikasi
fungsi anti elastase pada saluran napas. Anti elastase berfungsi menghambat
netrofil. Oksidan menyebabkan fungsi ini terganggu, sehingga timbul kerusakan
jaringan intersititial alveolus.

Gambar 2.2 Patofisiologi Bronkitis Kronik


Partikular dalam asap rokok dan udara terpolusi mengendap pada lapisan
mukus yang melapisi mukosa bronkus, sehingga menghambat aktivita silia.
Pergerakan cairan yang melapisi mukosa berkurang, sehingga iritasi pada sel epitel
mukosa meningkat. Hal ini akan lebih merangsang kelenjar mukosa. Keadaan ini dit
dengan gangguan aktifitas silia menimbulkan gejala batuk kronik dan ekpektorasi.
Produk mukus yang berlebihan memudahkan timbulnya infeksi serta menghambat

proses penyembuhan, keadaan ini merupakan suatu lingkaran dengan akibat terjadi
hipersekres. Bila iritasi dan oksidasi di saluran napas terus berlangsung maka terjadi
erosi epitel serta pembentukan jaringan parut. Selain itu terjadi pula metaplasi
skuamosa dan penebalan lapisan skuamosa. Hal ini menimbulkan stenosis dan
obstruksi saluran napas yang bersifat irreversibel.

Gambar 2.3 Gambaran radiologis bronchitis kronik


Pada bronchitis kronik,saluran pernafasan kecil yang berdiameter kurang dari
2 mm menjadi lebih sempit, berkelok-kelok dan berobliterasi. Penyempitan ini terjadi
juga oleh metaplasia sel goblet, saluran nafas besar juga menyempit karena
hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus.
Emfisema adalah keadaan terdapatnya pelebaran abnormal alveoli yang
permanen dan destruksi dinding alveoli. Dua jenis emfisema yang relevan dengan
penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) yaitu emfisema pan acinar dan emfisema
sentri-acinar. Pada jenis pan-acinar kerusakan acinar relatif difus dan dihubungkan
dengan proses menua serta pengurangan permukaan alveolar. Keadaan ini
menyebabkan berkurangnya elastic recoil paru sehingga timbul obstruksi saluran

napas. Pada jenis sentri-acinar kelainan terjadi pada bronkiolus dan daerah perifer
acinar, kelainan ini sangat erat hubungannya dengan asap rokok dan penyakit
saluran napas perifer.

Gambar 2.4 Patofisiologi Emphysema


Pada emfisema paru penyempitan saluran nafas disebabkan oleh berkurangnya
elastisitas paru-paru. Pada orang normal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal,tekanan
yang menarik jaringan paru akan berkurang ,sehingga saluran-saluran pernafasan
bagian bawah paru akan tertutup.
Pada penderita bronchitis kronik dan emfisema, saluran-saluran pernafasan
tersebut akan lebih cepat dan lebih banyak tertutup. Akibat cepatnya saluran
pernafasan tertutup serta dinding alveoli yang rusak, akan menyebabkan ventilasi
tidak seimbang..Tergantung dari kerusakannya dapat terjadi alveoli dengan ventilasi
kurang atau tidak ada, akan tetapi perfusi baik ,sehingga penyebaran udara
pernafasan maupun aliran darah ke alveoli tidak sama dan merata , atau dapat
dikatakan juga tidak ada keseimbangan antara ventilasi dan perfusi di alveoli yang
akhirnya menimbulkan hipoksia dan sesak nafas. Pada

PPOK terutama karena

emfisema dapat terjadi kelainan kardiovaskuler ,jantung menjadi kecil,ini disebabkan


peningkatan retrosternal air space.

Gambar 2.5 Gambaran radiologis Empfisema. Tampak paru2 hyperaerated,


diafragma mendatar, jantung yang mengecil, tulang iga yang melebar, dan
menurunnya bronchovascular pattern.
Pada sindrom obstruksi pasca Tuberkulosis (SOPT) mekanisme obstruksi
terjadi oleh karena rusaknya parenkim paru akibat penyakit tuberkulosis. Timbulnya
fibrosis mengakibatkan saluran napas yang tidak teratur, serta emfisema
kompensasi karena proses fibrosis dan atelektasis mungkin mempunyai peran
dalam terjadinya obstruksi saluran napas pada penyakit ini.
2.5 Diagnosis
2.5.1 Anamnesis
Riwayat penyakit yang ditandai batuk-batuk setiap hari disertai pengeluaran
dahak, sekurang-kurangnya 3 bulan berturut-turut dalam 1 tahun, dan paling sedikit
selama 2 tahun.
2.5.2 Pemeriksaan fisik :
1.

Pasien tampak kurus dengan barrel shape chest (diameter anteroposterior

dada meningkat).
2.

Fremitus taktil dada tidak ada atau berkurang.

3.

Perkusi dada hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas paru hati lebih

rendah, tukak jantung berkurang.


4.

Suara nafas berkurang dengan expirasi panjang.

2.5.3 Gambaran radiologi


Foto thorax pada bronchitis kronis memperlihatkan tubular shadow berupa
bayangan garis-garis yang parallel keluar dari hilus menuju apex paru dan corakan
paru yang bertambah.
Pada emfisema paru thorax menunjukan adanya overventilasi dengan
gambaran diafragma yang rendah dan datar,peningkatan retrosternal air space dan
bayangan penyempitan jantung yang panjang, penciutan pembuluh darah pulmonal
dan penampakan ke distal.
Pada ct-scan lebih sensitif daripada foto thorax biasa karena pada Highresolution CT (HRCT) scan memiliki sensivitas tinggi untuk menggambarkan
emfisema, tapi tidak dianjurkan untuk pemeriksaan rutin.
2.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan

pada

penyakit

paru

obstruksi

bertujuan

untuk

menghilangkan atau mengurangi obstruksi yang terjadi seminimal mungkin dan


secepatnya agar oksigenisasi dapat kembali normal; keadaan ini dipertahankan dan
diusahakan menghindari perburukan penyakit atau timbulnya obstruksi kembali pada
kasus dengan obstruksi yang reversible. Penatalaksanaan pada penderita PPOK
mempunyai tujuan untuk :
1.

Memperbaiki kemampuan penderita mengatasi gejala-gejala tidak hanya

pada fase akut, tapi juga pada fase kronik.


2.

Memperbaiki kemampuan penderita dalam melaksanakan aktivitas sehari-

hari sesuai dengan pola kehidupannya.


3.

Mengurangi laju perkembangan penyakit apabila dapat dideteksi lebih awal.

Dasar-dasar penatalaksanaan PPOK secara umum adalah :

1.

Usaha-usaha pencegahan, terutama ditujukan terhadap memburuknya

penyakit.
2.

Mobilisasi dahak.

3.

Mengatasi bronkospasme.

4.

Memberantas infeksi.

5.

Penanganan terhadap komplikasi.

6.

Fisioterapi, inhalasi terapi dan rehabilitasi.

Secara garis besar penatalaksanaan PPOK dapat dibagi atas 4 kelompok, yaitu :
2.6.1

Penatalaksanaan umum

1.

Pendidikan terhadap penderita dan keluarganya.

2.

Menghindari rokok dan zat-zat inhalasi lain yang bersifat iritasi.

3.

Menghindari infeksi.

4.

Lingkungan yang sehat.

5.

Kebutuhan cairan yang cukup.

6.

Imunoterapi.

2.6.2

Penggunaan obat-obatan

1.

Bronkodilator (untuk mengatasi obstruksi jalan nafas) : salbutamol 4x 0,25-

0,5mg/hari
Bronkodilator merupakan obat utama untuk mengatasi atau mengurangi obstruksi
saluran napas yang terdapat pada penyakit paru obstruksi. Ada 3 golongan
bronkodilator utama yaitu golongan simpatomimetik, golongan antikolinergik dan
golongan xanthin; ke tiga obat ini mempunyai cara kerja yang berbeda dalam
mengatasi obstruksi saluran napas.
Dalam otot saluran napas persarafan langsung simpatometik hanya sedikit;
meskipun banyak terdapat adenoreseptor beta dalam otot polos bronkus, reseptor ini
terutama adalah beta-2. Pemberian beta agonis menimbulkan bronkodilatasi.
Reseptor beta berhubungan erat dengan adenilsiklase, yaitu substansi penting yang
menghasilkan siklik AMP yang menyebabkan bronkodilatasi.

Persarafan bronkus berasal dan sistem parasimpatis melalui nervus vagus Pada
asma aktifitas refleks vagal dianggap sebagai komponen utama bronkokonstriksi;
tetapi peranan vagus yang pasti tidak diketahui. Substansi penghantar saraf tersebut
adalah asetilkolin yang dapat menimbulkan bronkokonstniksi. Atropin adalah zat
antagonis kompetitif dan asetilkolin dan dapat menimbulkan relaksasi otot polos
bronkus sehingga timbul bronkodilatasi.
Obat golongan xanthin bekerja sebagai bronkodilator melalui mekanisme yang belum
diketahui dengan jelas. Beberapa mekanisme yang diduga menyebabkan terjadinya
bronkodilator, adalah:
Blokade reseptor adenosin
Rangsangan pelepasan katekolamin endogen
Meningkatkan jumlah dan efektivitas sel T supresor
Meningkatkan ambilan kalsium ke dalam sel otot polos dan penghambatan
penglepasan mediator dan sel mast.
Pada gambar 1 dapat dilihat skema cara kerja obat-obat bronkodilator untuk
menimbulkan bronkodilatasi. Obat golongan simpatomimetik seperti adrenalin dan
efedrin selain memberikan efek bronkodilatasi juga menimbulkan takikardi dan
palpitasi; pemakaian obat-obat yang selektif terhadap reseptor beta mengurangi efek
samping ini. Golongan agonis beta-2 yang dianggap selektif antara lain adalah
terbutalin, feneterol, salbutamol, orsiprenalin dan salmeterol. Di samping bersifat
sebagai bronkodilator, bila diberikan secara inhalasi dapat memobilisasi lendir.
Pemberian beta-2 dapat menimbulkan tremor tetapi bila terus diberikan maka gejala
akan berkurang(13-15). Pemberian salbutamol lepas lambat juga dapat diberikan.
Pada penderita asma obat ini mungkin bisa mengurangi timbulnya serangan asma
malam. Dosis salbutamol lepas lambat 2 x 4 mg mempunyai manfaat yang sama
dengan dosis 2 x 8 mg dengan efek samping yang lebih minima1(16). Antikolinergik
seperti ipratropium bromide merupakan bronkodilator utama pada PPOK, kanena
pada PPOK obstruksi saluran napas yang terjadi lebih dominan disebabkan oleh

komponen vagal. Kombinasi obat antikolinergik dengan golongan bronkodilator lain


seperti agonis beta-2 dan xanthin memberikan efek bronkodilatasi yang lebih baik,
sehingga

dosis

dapat

di

turunkan

sehingga

efek

samping

juga

menjadi

sedikit(15,17,18).
Pada penderita asma akut pemberian antikolinergik tidak direkomendasikan
oleh karena efeknya lebih rendah dibandingkan golongan agonis beta-2; tetapi
penambahan obat antikolinergik dapat meningkatkan efek bronkodilatasi(19). Pada
asma kronik antikolinergik cukup aman,bronkodilatasi terjadi melalui blokade
reseptor muskaninik non spesifik. Meskipun efeknya kurang darigonis beta-2 tapi
penambahan obat ini memberikan efek tambahan terutama pada penderita asma
yang lebih tua(20).
Golongan xanthin mempunyai efek bronkodilator yang lebih rendah, selain
bersifat bronkodilator obat ini juga berperan dalam meningkatkan kekuatan otot
diafragma. Pada penderita emfisema dan bronkitis kronik metabolisme obat
golongan xanthin ini dipengaruhi oleh faktor uimur, merokok, gagal jantung, infeksi
bakteri dan penggunaan obat simetidin dan eitromisin.
Oleh karena itu penggunaan obat xanthin pada PPOK membutuhkan
pemantauan yang ketat(15).Pemberian bronkodilator secara inhalasi sangat dianjur
kan- oleh kanena cara ini memberikan berbagai keuntungan yaitu(21,22) :
Obat bekerja langsung pada saluran napas
Onset kerja yang cepat
Dosis obat yang kecil
Efek samping yang minimal karena kadar obat dalam
darah rendah.
Membantu mobilisasi lendir.

Ada berbagai cara pemberian obat inhalasi yaitu dengan inhalasi dosis
terukur, alat bantu spacer, nebuhaler, turbuhaler, dischaler, rotahaler dan nebuliser.
Hal yang perlu diperhatikan adalah cara pemakaian yang tepat dan benar sehingga
obat dapat mencapai saluran napas dengan dosis yang cukup.Pada orang tua dan
anak-anak serta pada suatu serangan akut yang berat mungkin obat tidak bisa
dihisap dengan baik sehingga sukar mendapatkan bronkodilatasi yang optimal pada
pemakaian inhalasi dosis terukur.
Pemberian inhalasi fenoterol 1 ml konsentrasi 0,1% dengan nebuliser pada
serangan asma memberikan perbaikan faal paru yang sangat bermakna pada 32
penderita asma yang berobat ke poli Asma RSUP Persahabatan; tetapi pada 19
orang penderita PPOK dengan eksaserbasi akut, inhalasi ini memberikan perbaikan
subjektif sedangkan peningkatan faal paru tidak bermakna.
Pada penderita PPOK pemberian bronkodilator harus selalu dicoba,
meskipun tidak terdapat perbaikan faal paru. Apabila selama 23 bulan pemberian
obat tidak terlihat perubahan secara objektif maupun secara subjektif maka tidaklah

tepat untuk meneruskan pemberian obat. Tetapi pemberian bronkodilator tetap


diindikasikan pada suatu serangan akut. Pemberian bronkodilator jangka lama pada
penderita sebaiknya diberikan dalam bentuk kombinasi, untuk mendapatkan efek
yang optimal dengan efek samping yang minimal.
2.

Ekspektoran
Ekspektorans

dan

mukolitik

Pemberian

cairan

yang

cukup

dapat

mengencerkan sekret, tetapi pada beberapa keadaan seperti gagal jantung perlu
dilakukan pembatasan cairan. Obat yang menekan batuk seperti kodein tidak
dianjurkan karena dapat mengganggu pembersihan sekret dan menyebabkan
gangguan pertukaran udara; di samping itu obat ini dapat menekan pusat napas.
Tetapi bila batuk sangat mengganggu seperti batuk yang menetap, iritasi saluran
napas dan gangguan tidur obat ini dapat diberikan. Ekspektorans dan mukolitik lain
seperti bromheksin, dan karboksi metil sistein diberikan pada keadaan eksaserbasi.
Asetil sistem selain bersifat mukolitik juga mempunyai efek anti oksidans yang
melindungi saluran napas dan kerusakan yang disebabkan oleh oksidans
3.

Antibiotik
Antibiotika Infeksi sangat berperan pada perjalanan penyakit paru obstruksi,

terutama pada keadaan eksaserbasi., Infeksi virus paling sering menimbulkan


eksaserbasi diikuti oleh infeksi bakteri. Bila infeksi berlanjut maka perjalanan
penyakit akan makin memburuk.Penanganan infeksi yang cepat dan tepat sangat
perlu dalam penatalaksanaan penyakit. Pemberian antibiotika dapat mengurangi
lama dan beratnya eksaserbasi.Perubahan warna sputum dapat merupakan indikasi
infeksi bakteri. Antibiotika yang biasanya bermanfaat adalah golongan penisilin,
eritromisin dan kotrimoksasol, biasanya diberikan selama 710 hari. Apabila
antibiotika tidak memberikan perbaikan maka perlu dilakukan pemeriksaan
mikroorganisme.
Pemberian kortikosteroid pada suatu serangan akut baik pada asma maupun
PPOK memberikan perbaikan penyakit yang nyata. Steroid dapat diberikan intravena

selama beberapa hari, dilanjutkan dengan prednison oral 60 mg selama 47 hari,


kemudian diturunkan bertahap selama 710 hari. Pemberian dosis tinggi kurang dari
7 hari dapat dihentikan tanpa turun bertahap. Pada penderita dengan hipereaktivitas
bronkus pemberian kortikosteroid inhalasi menunjukkan perbaikan fungsi paru dari
gejala penyakit. Pemberian kortikosteroid jangka lama memperlambat progresivitas
penyakit
2.6.3

Terapi respirasi.
Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena

hiperkapnia dan berkurangnya sesitivitas terhadap CO2.


Pada penderita dengan hipoksemi, yaitu Pa 02 < 55 mmHg pemberian
oksigen konsentrasi rendah 13 liter/menit secara terus menerus memberikan
perbaikan psikis, koordinasi otot, toleransi beban kerja dan pola tidur. Hipoksemi
dapat mencetuskan dekompensatio kordis pada penderita PPOK terutama pada saat
adanya infeksi saluran napas.
Gejala gangguan tidur, gelisah dan sakit kepala mungkin merupakan petunjuk
perlunya oksigen tambahan. Pada penderita dengan infeksi saluran napas akut dan
dekompensasi kordis pemberian Inspiratory Positive Pressure Breathing (IPPB)
bermanfaat untuk mencegah dan menyembuhkan atelektasis
2.6.4

Rehabilitasi
Pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri dan terisolasi,

untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar dari depresi. Rehabilitasi untuk
pasien PPOK adalah :

Fisioterapi

Rehabilitasi psikis

Rehabilitasi pekerjaan

Rehabilitasi meliputi tindakan fisioterapi, rehabilitasi psikis dan pekerjaan. Fisioterapi


bertujuan memobilisasi dahakdan mengendalikan kondisi fisik penderita ke tingkat
yang optimal. Berbagai cara fisioterapi dapat dilakukan yaitu latihan relaksasi, latihan

napas, perkusi dinding dada, drainase postural dan program uji latih. Rehabilitasi
psikis berguna untuk menenangkan penderita yang cemas dan mempunyai rasa
tertekan akibat penyakitnya. Sedangkan rehabilitasi pekerjaan dilakukan untuk
memotivasi penderita melakukan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan
fisiknya. Secara umum rehabilitasi ini bertujuan agar penderita dapat mengurus diri
sendiri dan melakukan aktivitas yang bermanfaat sesuai dengan kemampuan
penderita
Pada asma dan PPOK, suatu serangan akut atau eksaserbasi akut
memerlukan penatalaksanaan yang tepat agar obstruksi yang terjadi dapat diatasi
seoptimal mungkin sehingga risiko komplikasi dan perburukan penyakit dapat
dihindari sedapat mungkin. Pada obstruksi kronik yang terdapat pada PPOK dan
SOPT penatalaksanaan bertujuan untuk memperlambat proses perburukan faal paru
dengan menghindari eksaserbasi akut dan faktor-faktor yang memperburuk
penyakit. Pada penderita PPOK penurunan faal paru lebih besar dibandingkan
orang normal. Penelitian di RSUP Persahabatan menunjukkan bahwa nilai volume
ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) pada penderita PPOK menurun sebesar 52 ml
setiap tahunnya.

BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama

: Tn. Tubi

Jenis kelamin

: Laki-laki

Tanggal lahir

: 22 Agustus 1941

Alamat

: Sukdanyar RT 02 RW 02 Cokro Pakis Malang

Pekerjaan

: -

Suku

: Jawa

Bangsa

: Indonesia

Agama

: Islam

Status kawin

: Kawin

No MR

: 1123909

3.2 Anamnesis
Keluhan utama : Sesak
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien mengeluh sesak nafas kumat-kumatan sejak 1 tahun yang lalu.
Sesak muncul bila pasien melakukan aktivitas berat dan terkadang disertai
dengan mengi. Sesak memberat sejak 3 hari yang lalu.
Pasien juga mengeluh batuk kumat-kumatan sejak 1 tahun yang lalu,
biasanya tidak berdahak. Tetapi sejak 3 hari yang lalu batuk memberat
dengan dahak kental berwarna kuning. Batuk disertai panas sejak 3 hari yang
lalu. Tidak ada nyeri dada, penurunan berat badan dan batuk berdarah.
Tidak didapatkan riwayat hipertensi, diabetes mellitus, lung TB,
ataupun kontak dengan pasien TB. Riwayat merokok selama 50 tahun,
berhenti sejak 1 tahun yang lalu.
Review of system
Sesak +
Demam +
Batuk +
Mengi +
3.3 Pemeriksaan Fisik
GA look moderately ill
BP 140/90 mmHg
PR 110x/mnt

GCS 456

RR 30x/mnt
Tax 38oC
Head/neck

anemic -, icteric -, edema palpebra


Pursed lips breathing (+)
JVP R+ 0cmH2O on 30o

Tho

C/ ictus invisible, palpable at MCL ICS VI S


LHM ICS VI MCL S/ at ictus
RHM SL D
S1S2 single murmur (-) gallop (-)
P/ Inspeksi : simetris St D=S Dy D=S barrel chest (+)
Palpasi : SF D=S
Perkusi :

HS HS
HS HS
HS HS
Auskultasi :
V V
V V

Abdomen

V V Rh - +

- +

++

- -

++

flat, soefl, meteorismus +, BU + N


Liver span 10 cm, troube space tymphani

Ekstremity

anemic -, akral hangat


Edema - - -

PEFR I : 120 l/menit


PEFR II : 170 l/menit
3.4 Pemeriksaan Penunjang
3.4.1 Pemeriksaan chest X-Ray

Wh + +

AP Position :
Asymetric, increased of lateral
diameter
Soft tissue thin
Bone costae D/S flattening
ICS D/C widening
Trachea in the middle
Hillus D/S normal
Cor : site normal, size < 50%, shape
normal, shape normal
Hemidiafragma D/S : decrease of
level, domeshape
Costofhrenicus D/S : sharp
Pulmo : D : hyperaerated lung,
infiltrate (-)
S : hyperaerated lung,
infiltrate paracardial S
Conclusion : emphisematous lung,
pneumoni

3.4.2 Pemeriksaan Laboratorium


15/9/2011

16/9/2011

19/9/2011

Leukosit 14.400 /mm3

Natirum 132 mmol/l

Hemoglobin 11,3 mg/dl

Hemoglobin 9,4 gr/dl

Kalium 3,10 mmol/l

Hematokrit

36,5 %

LED 100mm/jam

Chlorida 96 mmol/l

Trombosit

610.000 /ml

Hematokrit 29,6 %

Leukosit

20.000 /ml

GDA

135 mg/dl

Trombosit 506.000

Ureum

31,8 mg/dl

Natrium 132 mmol/l

Creatinin

0,90 U/dl

Kalium 2,98 mmol/l

SGOT

16 U/dl

Chlorida 94 mmol/l

SGPT

15 U/dl

Natrium

132 mmol/l

Kalium

2,92 mmol/l

Chlorida

93 mmol/l

Albumin

3,15 g/dl

Bilirubin :
Total

1,04 mg/dl

Direk

0,37 mg/dl

Indirek

0,67 mg/dl

Urine Lengkap :
SG/BJ

1.020

pH

Protein

1+

Eristrosit

3+

10x epitel

40x eritrosit 4-7 /lbp


leukosit 0-2 /lbp
lain-lain spermatozoa
(+)
BGA
pH 7,47

pCO2 39,0
pO2 91,1
HCO3 25,6
O2 saturasi arterial 96,3 %
Base excess +0,6
3.5 Problem dan Diagnosis
Berdasarkan

anamnesa,

pemeriksaan

fisik,

serta

pemeriksaan

penunjang maka pasien ini didiagnosa dengan COPD, sesak nafas kumatkumatan sejak 1 tahun yang lalu. Sesak muncul bila pasien melakukan
aktivitas berat dan terkadang disertai dengan mengi. Sesak memberat sejak 3
hari yang lalu. Pasien juga mengeluh batuk kumat-kumatan sejak 1 tahun
yang lalu, biasanya tidak berdahak. Tetapi sejak 3 hari yang lalu batuk
memberat dengan dahak kental berwarna kuning. Batuk disertai panas sejak
3 hari yang lalu. Pada perkusi dada didapatkan hipersonor, batas paru hati
lebih rendah, tukak jantung berkurang. Suara nafas berkurang dengan
expirasi panjang. Foto thorak juga menunjukkan adanya gambaran
emphysematous lung sehingga COPD dapat ditegakkan.

3.6 Terapi
Selama MRS di RSSA mulai 16 September 2011 hingga 21 September
2011, penatalaksanaan yang telah dilakukan pada pasien berupa :
-

O2 2-4 lpm nasal canule


IVFD NS 0,9% + drip aminophiline 240 mg
Comtbivent nebule 3x1/hari
Inj. Methyprednisolon 3x 62,5mg iv
Inj. Ceftriaxone 2x1 gr iv
Inj. Levofloxacine 1x750 mg

Ambroxole 3x30 mg
Inj. Captopril 3x 6,25mg
Diet TKTP
Chest fisioterapi

BAB IV
PEMBAHASAN
Dari anamnesa didapatkan pasien dengan keluhan sesak nafas kumatkumatan sejak 1 tahun yang lalu. Sesak muncul bila pasien melakukan aktivitas

berat dan terkadang disertai dengan mengi. Sesak memberat sejak 3 hari yang lalu.
Pasien juga mengeluh batuk kumat-kumatan sejak 1 tahun yang lalu, biasanya tidak
berdahak. Tetapi sejak 3 hari yang lalu batuk memberat dengan dahak kental
berwarna kuning. Batuk disertai panas sejak 3 hari yang lalu. Riwayat merokok
selama 50 tahun, berhenti sejak 1 tahun yang lalu. Dari anamnesa sesuai dengan
tinjauan pustaka, bahwa pada COPD didapatkan sesak kumat-kumatan dengan atau
tanpa mengi, batuk berulang dengan atau tanpa dahak. Juga didapatkan riwayat
merokok selama 50 tahun. Hal ini memnunjukkan bahwa anamnesa pada pasien
sudah sesuai dengan tinjauan pustaka.
Pada pemeriksaan fisik pada oasien dan pada tinjauan pustaka sesuai. Pada
tinjauan pustaka pasien dengan COPD akan ditemukan pursed lips breathing, barrel
chest, penggunaan otot bantu nafas, hypertrophy otot banyu nafas, pelebaran sela
iga, dan bila telah terjadi gagal jantung kanan akan terlihat denyut vena jugulatris
leher dan edema tungkai. Pada pasien didapatkan pursed lip breathing, pelebaran
sela iga dan barrel chest pada inspeksi. Namun tidak didapatkan penggunanaan otot
bantu nafas, hipertrofi otot bantu nafas, dan belum terjadi gagal jantung kanan.
Pada pasien didapatkan perkusi dada hipersonor, batas paru hati lebih
rendah, batas jantung berkurang. Suara nafas berkurang dengan expirasi panjang,
suara vesikuler melemah, dan didapatkan ronki pada lapang paru kiri dan mengi
pada seluruh lapang paru. Sedangkan pada tinjauan pustaka didapatkan palpasi
pada pasien dengan COPD emfisema fremitus melemah dan sela iga melebar. Pada
perkusi didapatkan hipersonor, batas jantung mengecil letak diafragma rendah dan
letak hepar terdorong. Pada auskultasi suara nafas vesikuler melemah, terdapat
ronki atau mengi pada waktu bernafas biasa atau pada ekspirasi paksa, ekspirasi
memanjang, dan bunyi jantung terdengar jauh. Sehingga dapat disimpulkan pada
pemeriksaan fisik pasien didapatkan tanda-tnada COPD yang disebabkan oleh
emfisema.
Setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dilakukan.

Pada pasien dilakukan foto rontgen thorax, didapatkan gambaran hyperaerated lung,
tulang iga kanan dan kiri flattening, sela iga melebar, dan hemidiafragma
memanjang.

Gambaran pada foto thorax pasien sesuai dengan gambaran foto

thorax COPD emfisema pada tinjauan pustaka, yaitu hiperinflasi, hiperlusen, ruang
retrosternal melebar, diafragma mendatar dan jantung pendulum.
Sesuai anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yaitu
spirometri dan foto thoraks maka pada pasien ini dapat diklasifikasikan sebagai
COPD AE type I karena sesuai dengan klasifikasi pada tinjauan pustaka bahwa
COPD AE type I adalah COPD eksaserbasi akut tipe 1 dimana didapatkan gejala
perburukan

dibandingkan

dengan

kondisi

sebelumnya.

Eksaserbasi

dapat

disebabkan infeksi atau faktor lainnya seperti polusi udara, kelelahan atau timbulnya
komplikasi. Gejala eksaserbasi adalah sesak bertambah, produksi sputum
meningkat, dan perubahan warna sputum. Timbulnya komplikasi pada pasien ini
adalah ada infeksi sekunder paru yaitu pneumonia. Sehingga pasien ini masuk
indikasi untuk rawat inap.
Penatalaksanaan COPD pada pasien ini yaitu dengan pemberian oksigen,
nebulizer, obat-obatan seperti bronkodilator, antiinflamasi, antibiotik, mukolitik,
antitussive dan krotikosteroid. Hal ini sudah sesuai dengan pentalaksanaan pada
tinjauan pustaka, namun beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu keseimbangan
asam basa, nutrisi enteral atau parenteral yang seimbang, rehabilitasi awal dan
edukasi untuk pasca rawat.

BAB V
PENUTUP

Penyakit paru obstruksi saluran napas yang sering didapatkan adalah asma
bronkial, PPOK dan SOPT. Mekanisme terjadi obstruksi saluran napas berbeda pada
tiap penyakit.
Penatalaksanaan

bertujuan

mengatasi

dan

menghilangkan

obstruksi,

mempertahankan bronkodilatasi dan mencegah atau mengurangi perburukan


penyakit. Bronkodilator merupakan obat utama pada penatalaksanaan penyakit.
Obat yang teri bronkodilator ini adalah golongan simpatoinimetik, antikolinergik dan
xanthin. Pemberian obat secara inhalasi merupakan pilihan karena mempunyai
beberapa keuntungan. Pemberian bronkodil ator secara kombinasi memberikan efek
yang lebih baik kanena bronkodilatasi yang terjadi lebih besar dan efek samping obat
lebih rendah. Obat antibiotika diberikan pada infeksi atas indikasi dan dipakai secara
tepat. Kortikosteroid bermanfaat pada keadaan eksaserbasi dan pemberian secara
inhalasi memperbaiki perjalanan penyakit. Pemberian kortikosteroid inhalasi jangka
lama mengurangi progresivitas penyakit. Terapi oksigen pada penderita hipoksemi
dapat memperbaiki perjalanan penyakit. Tindakan rehabilitasi yang meliputi
fisioterapi, rehabilitasi psikis dan pekerjaan bertujuan mengoptimalisasi kemampuan
dan aktivitas penderita

DAFTAR PUSTAKA
Adil .S,Ruth.M, Edward.E. 2007. Pulmonary hypertension and chronic corpulmonale
in COPD. International journal of COPD ,2 (3): 273-282

Weitzenblum.E. Choronic cor Pulmonale.2003.Heart;89:225-230

Anda mungkin juga menyukai