Anda di halaman 1dari 8

Laporan Praktikum Hari/Tanggal : Selasa/ 29 April 2014

Kimia Klinis Waktu : 13.00-17.00 WIB


Dosen : Dr. Drh. Erni Sulistiawati,
SP1
Asisten : Fajar Sakti, SKH
Lusiana Kresnawati
Hartono, S.Si



ANALISIS TINJA
Kelompok 2
Disusun oleh:
1. Fitri Yuranda (J3L112010) 1.
2. Mela Azra (J3L112033) 2.
3. Sugik Putrie Wulandari (J3L112062) 3.
4. Bayu Andrian (J3L112017) 4.
5. Della Lisdianti (J3L112117) 5.


















PROGRAM KEAHLIAN ANALISIS KIMIA
PROGRAM DIPLOMA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Pendahuluan
Secara normal feses hewan mamalia seperti anjing memiliki struktur
lembut dan mengandung air sebanyak 75% jika mendapat intake cairan yang
cukup, sedangkan 25% lagi adalah bagian padat yang tersusun atas 30% bakteri
mati, 10-20% lemak, 10-20% bahan inorganik, 2-3% protein, dan 30% serat-serat
makanan yang tidak dicerna dan unsur-unsur kering dari getah pencernaan, seperti
pigmen empedu dan sel-sel epitel yang terlepas (Kurt 1999). Sedangkan sapi yang
merupakan hewan ruminansia pada umumnya memiliki komposisi kotoran dengan
karakteristik sebagai berikut.
Tabel 1 Karakteristik kotoran sapi (Neva et al 1994)
Komponen Massa (%)
Total padatan 3-6
Total padatan volatile (mudah menguap) 80-90
Total Kjeldahl Nitrogen 2-4
Selulosa 5-20
Lignin 5-10
Hemiselulosa 20-25
Feses terdiri atas sisa makanan seperti selulosa yang tidak direncanakan
dan zat makanan lain yang seluruhnya tidak dipakai oleh tubuh, berbagai macam
mikroorganisme, sekresi kelenjar usus, pigmen empedu, dan cairan tubuh. feses
yang normal terdiri atas masa padat, berwarna coklat karena disebabkan oleh
mobilitas sebagai hasil reduksi pigmen empedu dan usus kecil. Secara umum,
terdapat dua macam refleks yang membantu proses defekasi yaitu pertama,
refieks, defekasi intrinsik yang dimulai dari adanya zat sisa makanan (feses)
dalam rektum sehingga terjadi distensi, kemudian flexus mesenterikus
merangsang gerakan peristaltik, dan akhirnya feses sampai di anus, lalu pada saat
sfingter interna relaksasi, maka terjadilah proses defekasi. Kedua, refleks defekasi
para simpatis. Adanya feses dalam rektum yang merangsang saraf rektum, ke
spinal cord, dan merangsang ke kolon desenden, kemudian ke sigmoid, lalu
kerektum dengan gerakan peristaltik dan akhirnya terjadi relaksasi sfingter
interna, maka terjadilah proses defekasi saat sfingter interna berelaksasi (Kurt
1999).

Tujuan
Percobaan bertujuann untuk melakukan pemeriksaan feses pada feses
anjing dan babi serta membandingkannya. Pemeriksaan mikroskopik dilakukan
untuk mengetahui ada tidaknya protozoa, larva atau telur cacing. Pemeriksaan
makroskopik dilakukan untuk mengetahui F (formed), S (soft), L (loose), atau W
(watery). Teknik konsentrasi sedimentasi dan teknik konsentrasi pengapungan
dengan garam jenuh dilakukan untuk mengetahui jenis tipe telur cacing, larva,
protozoa serta kista. Pemeriksaan juga dilakukan pemeriksaan stercobilin dengan
menggunakan metode Schmidt.

Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam percobaan ialah lidi kayu, kaca preparat,
cover glass, mikroskop. Pena atau marker untuk melabel, sentrifuse, tabung
sentrifuse, kaca penutup, corong, kain kasa, bulp, rak tabung reaksi, gelas piala
tabung reaksi, pipet tetes, pipet mohr, batang pengaduk, cawan, dan botol
semprot.
Bahan-bahan yang digunakan ialah sampel feses sapi segar dan ditambah
formalin , feses anjing sapi segar dan ditambah formalin, salin solution, isotonik,
lugol iodin 1 %, BMB, formalin 10 %, eter (etil- asetat), HgCl
2
jenuh, dan
akuades.

Prosedur Percobaan
Pemeriksaan makroskopik dan mikroskopik terhadap endoparasit,
pemeriksaan makroskopik dilakukan dengan pengamatan feses seperti F (formed),
S (soft), L (loose), atau W (watery). Sedangkan pengamatan mikroskopik
dilakukan dengan cara ulas basah iodine dan ulas basah Buffered Methylene Blue
(BMB). Spesimen (feses) diambil dengan lidi lalu dibuat dua ulasan pada kaca
preparat. Ulasan pertama ditambah dengan iodine lalu ulasan kedua ditambahkan
BMB. Ulasan ditutup dengan cover glass lalu diamti dengan mikroskop.
Udentifikasi ulasan seperti identifikasi adanya kista, telur cacing, cacing, tropozoit
amoeba, serta flagellata.
Teknik konsentrasi sedimentasi, sampel feses yang sudah ditambahkan
formalin disaring dengan kain kasa ke dalam gelas piala. Sebanyak 7 ml sampel
dimasukkan ke dalam tabung senrifuse, kemudian ditambahkan 3 ml eter dan
disentrifuse selama 1 menit sehingga terpisah bagian sedimen dan supernatan.
Lapisan eter dibuang terlebih dahulu dan selanjutnya dibuang lapisan filtratnya.
Endapan diamati dengan mikroskop pada perbesaran 10 kali dan 40 kali.
Pemeriksaan Stercobilin Metode Schmidt dilakukan dengan
menghaluskan beberapa gram feses menggunakan mortar, lalu dimasukkan
kedalam tabung reaksi sebanyak beberapa gram, lalu ditambahkan pereaksi HgCl
2
lalu dpanaskan, dan dilihat perubahan warna yang terjadi
Teknik Konsentrasi Pengapungan dengan Garam Jenuh. Sampel feses
anjing dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse. Larutan garam (NaCl) jenuh
ditambahkan beberapa tetes ke dalam feses, lalu diaduk sampai homogen. Setelah
itu, larutan garam jenuh ditambahkan kembalisampai tabung hampir penuh
membentuk meniskus cembung. Sebuah kaca preparat diletakkan di atas tabung
dan didiamkan selama 20 menit. Kaca preparat diangkat secara perlahan lalu
ditutup dengan cover glass dan diamati di bawah mikroskop.

Data dan Hasil Pengamatan
Tabel 1 Hasil analisis tinja dan sapi
Metode
sampel
Sampel
Anjing Sapi
1 2 3 4 5 6
1.Makro
-skopik
Soft soft soft soft soft Soft





Lanjutan Tabel 1 Hasil analisis tinja dan sapi
Metode
sampel
Sampel
Anjing Sapi
1 2 3 4 5 6
2.Ulas
basah

a.Iodine



b.BMB -



-

-





3.Konse
ntrasi

a.Sedim-
entasi
(tinja+fo
rmalin)
- - -



-


b.Garam
jenuh
(tinja
fresh)





4.Sterco-
billin
-

- - -

-

-


Pembahasan
Pemeriksaan makroskopik feses normal pada sampel feses sapi daan
anjing mempunyai konsistensi agak lunak dan bebentuk. Pada diare konsistensi
menjadi sangat lunak atau cair, sedangkan sebaliknya feses yang keras didapatkan
pada konstipasi. Peragian karbohidrat dalam usus menghasilkan tinja yang lunak
dan bercampur gas (Kurt 1999). Berdasarkan percobaan diperoleh konsistensi
tinja yang lunak (soft). Feses tidak berlendir dan tidak berdarah.
Pemeriksaan mikroskopik dilakukan dengan ulas basah iodine dan ulas
basah Buffered Methylene Blue (BMB). Pemeriksaan ulas basah iodine, iodine
akan mewarnai glikogen, sehingga dapat diketahui inti kista serta dapat
memeriksa amoebik dan kista flagellate. Pemeriksaan ulas basah BMB. BMB
berfungsi sebagai pengganti iodine, yaitu sebagai pewarna, sehingga hasil
pengidentifikasian feses dapat terlihat lebih jelas. Berdasarkan percobaan yang
telah dilakukan, pemeriksaan mikroskopis pada feses anjing maupun sapi
ditemukan seperti telur cacing atau larva, cacing, serta kista. Pemeriksaan
mikroskopis dilakukan untuk melihat adanya unsur-unsur organik dan anorganik.
Pada praktikum kali ini pemeriksaan sedimentasi pada sampel tinja
menggunakan metode seimentasi. Metode sedimentasi mempunyai prinsip
pemeriksaan yaitu sampel diendapkan melalui proses sentrifugasi kemudian
diperiksa dibawah mikroskop dengan pembesaran 10 kali dan 40 kali. Metode
sedimentasi ini membutuhkan alat sentrifuge untuk mengendapkan telur cacing ke
dasar tabung maupun partikel partikel lainnya yang terdapat dalam sampel feses
(Gandahusada 2000).
Adapun kelebihan dan kekurangan dari pemeriksaan telur cacing cara
sedimentasi dibandingkan dengan cara pengapungan (fluotasi) dan cara langsung
adalah cara sedimentasi lebih sensitif sebab volume tinja yang diperiksa lebih
banyak, dengan demikian hasil negatif dari pemeriksaan langsung bisa
menunjukkan hasil positif bila diperiksa dengan konsentrasi. Meskipun pada
sediaan cara sedimentasi terdapat partikel partikel tinja, namun semua protozoa,
telur dan larva yang ada akan terdeteksi, telur telur cacing tetap utuh dan tidak
terdistorsi mengendap didasar tabung, dan cara ini juga merupakan cara yang
lebih kecil kemungkinannya menjadi subjek kesalahan teknik. Namun jika proses
sentrifugasi tidak dilakukan dengan benar maka kemungkinan besar akan
memberikan hasil negatif palsu sebab partikel partikel rusak atau tidak
mengendap secara utuh akibat dari kesalahan proses sentrifugasi (Gandahusada
2000). Berdasarkan percobaan tidak terlihat adanya telur cacing maupun partikel-
partikel lain dalam sampel. Hal ini mungkin disebabkan karena saat sentrifuse
endapan yang diperoleh sangat sedikit sehingga saat terlihat pada mikroskop
sampel sudah mengering.
Obstruksi biliaris adalah tersumbatnya saluran empedu sehingga empedu
tidak dapat mengalir kedalam usus untuk dikeluarkan sebagai sterkobilin dalam
feses, etiologi dari obstruksi bilinaris adalah saluran empedu belum terbentuk
sempurna sehingga tersumbatnya pada saat amnion tertelan masuk ( Wafi 2010).
Tujuan percobaan ini adalah untuk memeriksa adanya stercobilin dalam feses,
prinsipnya yaitu urobilin atau stercobilin aakan bereaksi dengan sublimat yaitu
HgCl
2
akan membentuk warna merah, pemanasan berguna agar reaksinya berjalan
sempurna ( Wafi 2010). Berdasarkan percobaan maka diketahui bahwa feses
anjing dan feses sapi yang diteliti negatif stercobilin, hal ini diketahui berdasarkan
perubahan warna dari feses yang ditambahkan pereaksi, berdasarkan hasil
tersebut, feses yang sudah dipanaskan tidak berubah warna menjadi merah.
sehingga, tidak terjadi reaksi antara urobilin atau stercobilin dengan HgCl
2
,
sehingga tidak timbul warna merah.
Metode pengapungan dengan garam jenuh merupakan salah satu uji
kualitatif untuk mengetahui adanya telur cacing dan parasit dalam tinja.
Konsentrasi kista dan telur ditentukan berdasarkan perbedaan berat jenis antara
larutan kimia tertentu sekitar 1120 sampai 1210 dan telur larva cacing serta kista
protozoa sekitar 1050 sampai 1150. Larutan kimia yang umum digunakan ialah
larutan gula, NaCl atau ZnSO
4
. Pada percobaan larutan yang digunakan ialah
NaCl jenuh sebagai cairan pengapung. Larutan NaCl jenuh menyebabkan partikel-
partikel dalam tinja akan terpisah dan telur akan mengapung dan mudah diamati.
Telur dan kista mengapung di permukaan larutan yang lebih berat, sedangkan
tinja tenggelam perlahan-lahan ke dasar. Larutan NaCl jenuh dipilih karena
larutan ini paling efektif untuk menemukan telur cacing dalam pemeriksaan
metode pengapungan dengan NaCl jenuh yaitu larutan yang dibuat dari bahan
garam murni. Satu hal yang perlu dicermati adalah setiap kenaikan berat jenis
larutan yang digunakan dalam pemeriksaan metode pengapungan dengan NaCl
jenuh selalu diikuti kenaikan jumlah telur yang ditemukan (Neva 1994).
Penambahan NaCl jenuh dilakukan secara perlahan sampai permukaan
cairan cembung kemudian didiamkan selama 20 menit untuk memberikan
kesempatan telur cacing mengapung ke permukaan. Namun, diusahakan larutan
tidak didiamkan lebih dari 20 menit karena jika terlalu lama, kista protozoa dan
telur nematoda berdinding tipis akan rusak dan menjadi terdistorsi dalam
penampilan karena berat jenis yang tinggi dari larutan (Kurt 1999). Saat
melakukan pemeriksaan digunakan kaca preparat yang disentuh pada permukaan
cairan kemudian diletakkan di atas gelas obyek. Pemeriksaan dilakukan di bawah
mikroskop dengan pembesaran obyektif 45X.
Hasil percobaan yang diperoleh pada sampel feses anjing tidak ditemukan
adanya cacing ataupun larva pada feses saat dilakukan pengujian dibawah
mikroskop. Hal serupa juga terjadi pada sampel feses sapi yang digunakan juga
tidak ditemukan adanya cacing. Metode penentuan konsentrasi dengan garam
jenuh ini memiliki kekurangan dan kelebihan. Kekurangannya diantaranya
penggunaan feses banyak dan memerlukan waktu yang lama serta perlu ketelitian
tinggi agar telur di permukaan larutan tidak turun lagi, namun kelebihannya yaitu
dapat digunakan untuk infeksi ringan dan berat, telur dapat terlihat jelas (Neva
1994). Flotasi (pengapungan) lebih baik dari pada sedimentasi pada pembuatan
konsentrasi kista dan telur karena lebih untuk memisahkan partikel-partikel yang
besar yang terdapat dalam tinja sehingga telur yang terapung terlihat jelas.
Prinsip metabolisme Bilirubin terjadi saat sel darah merah yang sudah
beredar didalam tubuh mengalami kematian sel kira-kira ketika umur sel darah
merah kisaran 120 hari, dan hemoglobin terpecah atau terdekstruksi menjadi
heme dan globin. Globin dimanfaatkan kembali oleh tubuh, sedangkan heme
berubah menjadi biliverdin. Biliverdin berubah menjadi bilirubin indirect atau
bilirubin bebas. Reaksi yang terbentuk sebagai berikut:

Gambar 1 Rumus bagun biliverdin dan bilirubin
Bilirubin bebas masuk ke dalam hepar, dan berikatan dengan albumin
menjadi bilirubin direct atau bilirubin yang terkonjugasi. Bilirubin yang
terkonjugasi akan dikeluarkan dari hepar melalu saluran empedu kemudian
bilirubin yang terkonjugasi masuk ke dalam usus dan diubah oleh kerja bakteri
menjadi urobilinogen. Rumus bangun dari urobilinogen sebagai berikut:

Gambar 2 Rumus bagun urobilinogen
sebagian urobilinogen berada di usus, sedangkan sebagian lainnya diserap
kembali ke dalam aliran darah dan menuju ke ginjal. Urobilinogen yang
teroksidasi di usus berubah benjadi stercobilin, struktur dari stercobilin sebagai
berikut:

Gambar 3 Rumus bagun stercobilin
Stercobilin akan membuat warna feses berwarna, dan uroblilnogen yang
teroksidasi dalam ginjal berubah menjadi urobilin dan siklus ini disebut siklus
urobilinogen enterohepatik. Reaksi yang terjadi pada metabolisme bilirubin
keseluruhan sebagai berikut:

Gambar 4 Reaksi metebolisme bilirubin

Simpulan
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, pemeriksaan makroskopis
pada sampel feses anjing maupun sapi yaitu soft. Pemeriksaan mikroskopis
diperoleh hasil pengamatan bahwa di sampel feses anjing maupun sapi terdapat
cacing, telur cacing, serta kista.teknik konsentrasi sedimentasi diperoleh hasil
adanaya telur cacing serta partikel-partikel lain yang terdapat pada sampel feses
anjing maupun sapi. Teknik konsentrasi pengapungan dengan garam jenuh
dip[eroleh hasil adanya telur cacing dan partikel-partikel lain dalam feses anjing
maupun sapi. Sedangkan pemeriksaan stercobillin metode Schmidt semua sampel
menghasilkan hasil negatif.

Daftar Pustaka
Gandahusada S W, Pribadi, D I Heryy. 2000. Parasitologi Kedokteran. Jakarta :
UI Press.
Kurt. 1999. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume 2. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Neva F A, H W Brown. 1994. Basic Clinical Parasitology. New York : Appleton
and Lange.
Wafi N. 2010. Asuhan Neonatus Bayi dan Balita. Yogyakarta : Fitrimaya.

Anda mungkin juga menyukai