PROGRAM KEAHLIAN ANALISIS KIMIA PROGRAM DIPLOMA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 Pendahuluan Secara normal feses hewan mamalia seperti anjing memiliki struktur lembut dan mengandung air sebanyak 75% jika mendapat intake cairan yang cukup, sedangkan 25% lagi adalah bagian padat yang tersusun atas 30% bakteri mati, 10-20% lemak, 10-20% bahan inorganik, 2-3% protein, dan 30% serat-serat makanan yang tidak dicerna dan unsur-unsur kering dari getah pencernaan, seperti pigmen empedu dan sel-sel epitel yang terlepas (Kurt 1999). Sedangkan sapi yang merupakan hewan ruminansia pada umumnya memiliki komposisi kotoran dengan karakteristik sebagai berikut. Tabel 1 Karakteristik kotoran sapi (Neva et al 1994) Komponen Massa (%) Total padatan 3-6 Total padatan volatile (mudah menguap) 80-90 Total Kjeldahl Nitrogen 2-4 Selulosa 5-20 Lignin 5-10 Hemiselulosa 20-25 Feses terdiri atas sisa makanan seperti selulosa yang tidak direncanakan dan zat makanan lain yang seluruhnya tidak dipakai oleh tubuh, berbagai macam mikroorganisme, sekresi kelenjar usus, pigmen empedu, dan cairan tubuh. feses yang normal terdiri atas masa padat, berwarna coklat karena disebabkan oleh mobilitas sebagai hasil reduksi pigmen empedu dan usus kecil. Secara umum, terdapat dua macam refleks yang membantu proses defekasi yaitu pertama, refieks, defekasi intrinsik yang dimulai dari adanya zat sisa makanan (feses) dalam rektum sehingga terjadi distensi, kemudian flexus mesenterikus merangsang gerakan peristaltik, dan akhirnya feses sampai di anus, lalu pada saat sfingter interna relaksasi, maka terjadilah proses defekasi. Kedua, refleks defekasi para simpatis. Adanya feses dalam rektum yang merangsang saraf rektum, ke spinal cord, dan merangsang ke kolon desenden, kemudian ke sigmoid, lalu kerektum dengan gerakan peristaltik dan akhirnya terjadi relaksasi sfingter interna, maka terjadilah proses defekasi saat sfingter interna berelaksasi (Kurt 1999).
Tujuan Percobaan bertujuann untuk melakukan pemeriksaan feses pada feses anjing dan babi serta membandingkannya. Pemeriksaan mikroskopik dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya protozoa, larva atau telur cacing. Pemeriksaan makroskopik dilakukan untuk mengetahui F (formed), S (soft), L (loose), atau W (watery). Teknik konsentrasi sedimentasi dan teknik konsentrasi pengapungan dengan garam jenuh dilakukan untuk mengetahui jenis tipe telur cacing, larva, protozoa serta kista. Pemeriksaan juga dilakukan pemeriksaan stercobilin dengan menggunakan metode Schmidt.
Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam percobaan ialah lidi kayu, kaca preparat, cover glass, mikroskop. Pena atau marker untuk melabel, sentrifuse, tabung sentrifuse, kaca penutup, corong, kain kasa, bulp, rak tabung reaksi, gelas piala tabung reaksi, pipet tetes, pipet mohr, batang pengaduk, cawan, dan botol semprot. Bahan-bahan yang digunakan ialah sampel feses sapi segar dan ditambah formalin , feses anjing sapi segar dan ditambah formalin, salin solution, isotonik, lugol iodin 1 %, BMB, formalin 10 %, eter (etil- asetat), HgCl 2 jenuh, dan akuades.
Prosedur Percobaan Pemeriksaan makroskopik dan mikroskopik terhadap endoparasit, pemeriksaan makroskopik dilakukan dengan pengamatan feses seperti F (formed), S (soft), L (loose), atau W (watery). Sedangkan pengamatan mikroskopik dilakukan dengan cara ulas basah iodine dan ulas basah Buffered Methylene Blue (BMB). Spesimen (feses) diambil dengan lidi lalu dibuat dua ulasan pada kaca preparat. Ulasan pertama ditambah dengan iodine lalu ulasan kedua ditambahkan BMB. Ulasan ditutup dengan cover glass lalu diamti dengan mikroskop. Udentifikasi ulasan seperti identifikasi adanya kista, telur cacing, cacing, tropozoit amoeba, serta flagellata. Teknik konsentrasi sedimentasi, sampel feses yang sudah ditambahkan formalin disaring dengan kain kasa ke dalam gelas piala. Sebanyak 7 ml sampel dimasukkan ke dalam tabung senrifuse, kemudian ditambahkan 3 ml eter dan disentrifuse selama 1 menit sehingga terpisah bagian sedimen dan supernatan. Lapisan eter dibuang terlebih dahulu dan selanjutnya dibuang lapisan filtratnya. Endapan diamati dengan mikroskop pada perbesaran 10 kali dan 40 kali. Pemeriksaan Stercobilin Metode Schmidt dilakukan dengan menghaluskan beberapa gram feses menggunakan mortar, lalu dimasukkan kedalam tabung reaksi sebanyak beberapa gram, lalu ditambahkan pereaksi HgCl 2 lalu dpanaskan, dan dilihat perubahan warna yang terjadi Teknik Konsentrasi Pengapungan dengan Garam Jenuh. Sampel feses anjing dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse. Larutan garam (NaCl) jenuh ditambahkan beberapa tetes ke dalam feses, lalu diaduk sampai homogen. Setelah itu, larutan garam jenuh ditambahkan kembalisampai tabung hampir penuh membentuk meniskus cembung. Sebuah kaca preparat diletakkan di atas tabung dan didiamkan selama 20 menit. Kaca preparat diangkat secara perlahan lalu ditutup dengan cover glass dan diamati di bawah mikroskop.
Data dan Hasil Pengamatan Tabel 1 Hasil analisis tinja dan sapi Metode sampel Sampel Anjing Sapi 1 2 3 4 5 6 1.Makro -skopik Soft soft soft soft soft Soft
Lanjutan Tabel 1 Hasil analisis tinja dan sapi Metode sampel Sampel Anjing Sapi 1 2 3 4 5 6 2.Ulas basah
a.Iodine
b.BMB -
-
-
3.Konse ntrasi
a.Sedim- entasi (tinja+fo rmalin) - - -
-
b.Garam jenuh (tinja fresh)
4.Sterco- billin -
- - -
-
-
Pembahasan Pemeriksaan makroskopik feses normal pada sampel feses sapi daan anjing mempunyai konsistensi agak lunak dan bebentuk. Pada diare konsistensi menjadi sangat lunak atau cair, sedangkan sebaliknya feses yang keras didapatkan pada konstipasi. Peragian karbohidrat dalam usus menghasilkan tinja yang lunak dan bercampur gas (Kurt 1999). Berdasarkan percobaan diperoleh konsistensi tinja yang lunak (soft). Feses tidak berlendir dan tidak berdarah. Pemeriksaan mikroskopik dilakukan dengan ulas basah iodine dan ulas basah Buffered Methylene Blue (BMB). Pemeriksaan ulas basah iodine, iodine akan mewarnai glikogen, sehingga dapat diketahui inti kista serta dapat memeriksa amoebik dan kista flagellate. Pemeriksaan ulas basah BMB. BMB berfungsi sebagai pengganti iodine, yaitu sebagai pewarna, sehingga hasil pengidentifikasian feses dapat terlihat lebih jelas. Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, pemeriksaan mikroskopis pada feses anjing maupun sapi ditemukan seperti telur cacing atau larva, cacing, serta kista. Pemeriksaan mikroskopis dilakukan untuk melihat adanya unsur-unsur organik dan anorganik. Pada praktikum kali ini pemeriksaan sedimentasi pada sampel tinja menggunakan metode seimentasi. Metode sedimentasi mempunyai prinsip pemeriksaan yaitu sampel diendapkan melalui proses sentrifugasi kemudian diperiksa dibawah mikroskop dengan pembesaran 10 kali dan 40 kali. Metode sedimentasi ini membutuhkan alat sentrifuge untuk mengendapkan telur cacing ke dasar tabung maupun partikel partikel lainnya yang terdapat dalam sampel feses (Gandahusada 2000). Adapun kelebihan dan kekurangan dari pemeriksaan telur cacing cara sedimentasi dibandingkan dengan cara pengapungan (fluotasi) dan cara langsung adalah cara sedimentasi lebih sensitif sebab volume tinja yang diperiksa lebih banyak, dengan demikian hasil negatif dari pemeriksaan langsung bisa menunjukkan hasil positif bila diperiksa dengan konsentrasi. Meskipun pada sediaan cara sedimentasi terdapat partikel partikel tinja, namun semua protozoa, telur dan larva yang ada akan terdeteksi, telur telur cacing tetap utuh dan tidak terdistorsi mengendap didasar tabung, dan cara ini juga merupakan cara yang lebih kecil kemungkinannya menjadi subjek kesalahan teknik. Namun jika proses sentrifugasi tidak dilakukan dengan benar maka kemungkinan besar akan memberikan hasil negatif palsu sebab partikel partikel rusak atau tidak mengendap secara utuh akibat dari kesalahan proses sentrifugasi (Gandahusada 2000). Berdasarkan percobaan tidak terlihat adanya telur cacing maupun partikel- partikel lain dalam sampel. Hal ini mungkin disebabkan karena saat sentrifuse endapan yang diperoleh sangat sedikit sehingga saat terlihat pada mikroskop sampel sudah mengering. Obstruksi biliaris adalah tersumbatnya saluran empedu sehingga empedu tidak dapat mengalir kedalam usus untuk dikeluarkan sebagai sterkobilin dalam feses, etiologi dari obstruksi bilinaris adalah saluran empedu belum terbentuk sempurna sehingga tersumbatnya pada saat amnion tertelan masuk ( Wafi 2010). Tujuan percobaan ini adalah untuk memeriksa adanya stercobilin dalam feses, prinsipnya yaitu urobilin atau stercobilin aakan bereaksi dengan sublimat yaitu HgCl 2 akan membentuk warna merah, pemanasan berguna agar reaksinya berjalan sempurna ( Wafi 2010). Berdasarkan percobaan maka diketahui bahwa feses anjing dan feses sapi yang diteliti negatif stercobilin, hal ini diketahui berdasarkan perubahan warna dari feses yang ditambahkan pereaksi, berdasarkan hasil tersebut, feses yang sudah dipanaskan tidak berubah warna menjadi merah. sehingga, tidak terjadi reaksi antara urobilin atau stercobilin dengan HgCl 2 , sehingga tidak timbul warna merah. Metode pengapungan dengan garam jenuh merupakan salah satu uji kualitatif untuk mengetahui adanya telur cacing dan parasit dalam tinja. Konsentrasi kista dan telur ditentukan berdasarkan perbedaan berat jenis antara larutan kimia tertentu sekitar 1120 sampai 1210 dan telur larva cacing serta kista protozoa sekitar 1050 sampai 1150. Larutan kimia yang umum digunakan ialah larutan gula, NaCl atau ZnSO 4 . Pada percobaan larutan yang digunakan ialah NaCl jenuh sebagai cairan pengapung. Larutan NaCl jenuh menyebabkan partikel- partikel dalam tinja akan terpisah dan telur akan mengapung dan mudah diamati. Telur dan kista mengapung di permukaan larutan yang lebih berat, sedangkan tinja tenggelam perlahan-lahan ke dasar. Larutan NaCl jenuh dipilih karena larutan ini paling efektif untuk menemukan telur cacing dalam pemeriksaan metode pengapungan dengan NaCl jenuh yaitu larutan yang dibuat dari bahan garam murni. Satu hal yang perlu dicermati adalah setiap kenaikan berat jenis larutan yang digunakan dalam pemeriksaan metode pengapungan dengan NaCl jenuh selalu diikuti kenaikan jumlah telur yang ditemukan (Neva 1994). Penambahan NaCl jenuh dilakukan secara perlahan sampai permukaan cairan cembung kemudian didiamkan selama 20 menit untuk memberikan kesempatan telur cacing mengapung ke permukaan. Namun, diusahakan larutan tidak didiamkan lebih dari 20 menit karena jika terlalu lama, kista protozoa dan telur nematoda berdinding tipis akan rusak dan menjadi terdistorsi dalam penampilan karena berat jenis yang tinggi dari larutan (Kurt 1999). Saat melakukan pemeriksaan digunakan kaca preparat yang disentuh pada permukaan cairan kemudian diletakkan di atas gelas obyek. Pemeriksaan dilakukan di bawah mikroskop dengan pembesaran obyektif 45X. Hasil percobaan yang diperoleh pada sampel feses anjing tidak ditemukan adanya cacing ataupun larva pada feses saat dilakukan pengujian dibawah mikroskop. Hal serupa juga terjadi pada sampel feses sapi yang digunakan juga tidak ditemukan adanya cacing. Metode penentuan konsentrasi dengan garam jenuh ini memiliki kekurangan dan kelebihan. Kekurangannya diantaranya penggunaan feses banyak dan memerlukan waktu yang lama serta perlu ketelitian tinggi agar telur di permukaan larutan tidak turun lagi, namun kelebihannya yaitu dapat digunakan untuk infeksi ringan dan berat, telur dapat terlihat jelas (Neva 1994). Flotasi (pengapungan) lebih baik dari pada sedimentasi pada pembuatan konsentrasi kista dan telur karena lebih untuk memisahkan partikel-partikel yang besar yang terdapat dalam tinja sehingga telur yang terapung terlihat jelas. Prinsip metabolisme Bilirubin terjadi saat sel darah merah yang sudah beredar didalam tubuh mengalami kematian sel kira-kira ketika umur sel darah merah kisaran 120 hari, dan hemoglobin terpecah atau terdekstruksi menjadi heme dan globin. Globin dimanfaatkan kembali oleh tubuh, sedangkan heme berubah menjadi biliverdin. Biliverdin berubah menjadi bilirubin indirect atau bilirubin bebas. Reaksi yang terbentuk sebagai berikut:
Gambar 1 Rumus bagun biliverdin dan bilirubin Bilirubin bebas masuk ke dalam hepar, dan berikatan dengan albumin menjadi bilirubin direct atau bilirubin yang terkonjugasi. Bilirubin yang terkonjugasi akan dikeluarkan dari hepar melalu saluran empedu kemudian bilirubin yang terkonjugasi masuk ke dalam usus dan diubah oleh kerja bakteri menjadi urobilinogen. Rumus bangun dari urobilinogen sebagai berikut:
Gambar 2 Rumus bagun urobilinogen sebagian urobilinogen berada di usus, sedangkan sebagian lainnya diserap kembali ke dalam aliran darah dan menuju ke ginjal. Urobilinogen yang teroksidasi di usus berubah benjadi stercobilin, struktur dari stercobilin sebagai berikut:
Gambar 3 Rumus bagun stercobilin Stercobilin akan membuat warna feses berwarna, dan uroblilnogen yang teroksidasi dalam ginjal berubah menjadi urobilin dan siklus ini disebut siklus urobilinogen enterohepatik. Reaksi yang terjadi pada metabolisme bilirubin keseluruhan sebagai berikut:
Gambar 4 Reaksi metebolisme bilirubin
Simpulan Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, pemeriksaan makroskopis pada sampel feses anjing maupun sapi yaitu soft. Pemeriksaan mikroskopis diperoleh hasil pengamatan bahwa di sampel feses anjing maupun sapi terdapat cacing, telur cacing, serta kista.teknik konsentrasi sedimentasi diperoleh hasil adanaya telur cacing serta partikel-partikel lain yang terdapat pada sampel feses anjing maupun sapi. Teknik konsentrasi pengapungan dengan garam jenuh dip[eroleh hasil adanya telur cacing dan partikel-partikel lain dalam feses anjing maupun sapi. Sedangkan pemeriksaan stercobillin metode Schmidt semua sampel menghasilkan hasil negatif.
Daftar Pustaka Gandahusada S W, Pribadi, D I Heryy. 2000. Parasitologi Kedokteran. Jakarta : UI Press. Kurt. 1999. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Neva F A, H W Brown. 1994. Basic Clinical Parasitology. New York : Appleton and Lange. Wafi N. 2010. Asuhan Neonatus Bayi dan Balita. Yogyakarta : Fitrimaya.