Anda di halaman 1dari 17

Laporan Praktikum Farmakologi dan Toksikologi I

FA2241
Praktikum 4
Sistem Pencernaan

Tanggal Praktikum : Jumat, 26 Maret 2021


Tanggal Pengumpulan : Jumat, 2 April 2021
Nama Asisten : Sinar Kasih (20720003)

Kelompok 2
11619006 Fakhri Dhiya Hidayat
11619013 Maureen Stefani Valentina
11619020 Alfina Mithwa Anisa
11619028 Muhammad Ricko Nugroho
11619035 Safira Santosa
11619042 Edwin Evryandi Gultom

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIK KOMUNITAS


SEKOLAH FARMASI
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
BANDUNG
2021
I. PENDAHULUAN

1.1. Tujuan Praktikum


1.Menentukan komponen-komponen mikroskopik dalam saliva.
2. Menentukan pH normal saliva menggunakan indikator pH.
3. Menentukan keberadaan mucin dan protein dalam saliva.
4. Menentukan pengaruh suhu dan pH terhadap aktivitas amilase.
5. Menentukan aktivitas pepsin terhadap protein secara in vitro.
6. Menentukan kondisi pH dan suhu optimum untuk aktivitas pepsin.
7. Membandingkan kecepatan albumin pada serum darah dan albumin pada putih telur
oleh enzim pankreatin.
8. Menentukan kerja garam empedu pada proses pencernaan lemak.
9. Membandingkan pengaruh garam katartik MgSO4 25%, NaCl 0.9%, dan MgSO4
0.2% pada pencernaan tikus.
10. Menentukan efek morfin terhadap motilitas saluran pencernaan.
1.2. Prinsip Praktikum
Sistem pencernaan terdiri dari organ dalam pencernaan dan organ aksesori. Pada
setiap organ pencernaan terdapat fungsi spesifik yang berbeda-beda, misalnya mulut
yang berfungsi sebagai jalur masuk makanan kemudian diteruskan proses pencernaan
makanan hingga berakhir di anus yang berfungsi untuk membuang kotoran yang tidak
terpakai oleh tubuh. Selain itu, tiap organ aksesori juga memiliki fungsi yang berbeda
dan hampir semua organ aksesori menghasilkan cairan yang membantu proses
pencernaan, salah satunya kelenjar air liur yang menyekresikan saliva. Saliva ini
terbentuk dari berbagai komponen yang dapat diidentifikasi melalui uji mikroskopik dan
penambahan zat kimia, salah satu komponennya adalah senyawa amilase. Senyawa
amilase ini beraktivitas di dalam rongga mulut dan kinerjanya dapat dipengaruhi oleh
faktor-faktor tertentu. Faktor-faktor ini diuji melalui pengamatan terhadap amilase yang
telah diberi zat kimia atau dididihkan.
Selain saliva, cairan atau enzim yang disekresi oleh organ pencernaan yakni
pepsin. Pepsin yang awalnya berbentuk pepsinogen disekresi oleh mukosa lambung yang
berfungsi untuk memecah molekul protein menjadi polipeptida. Namun, pepsinogen
harus diaktifkan menjadi pepsin oleh HCl untuk dapat beraktivitas. Pepsin beraktivitas
di dalam lambung dan sama seperti saliva, kinerjanya dapat dipengaruhi oleh faktor-
faktor tertentu dan diuji melalui pengondisian pepsin dalam pH atau suhu tertentu.
Setelah melewati lambung, makanan diproses secara kimiawi dalam usus halus. Molekul
yang baru mengalami proses pemecahan pada sistem pencernaan di usus halus ialah
lemak. Lemak tak dapat bercampur dengan air sehingga diperlukan proses emulsifikasi.
Proses ini dilakukan oleh garam empedu yang disekresi oleh kantung empedu.
Pada saluran pencernaan, garam katartik dan senyawa morfin dapat mempengaruhi
kinerja usus. Hal ini diuji dengan menggunakan segmen usus tikus yang masih hidup
dengan diberi larutan hipertonis, isotonis, dan hipotonis. Selain itu, segmen tikus yang
sudah mati diberi senyawa morfin. Garam katartik dan senyawa morfin dikenal sebagai
laksan. Laksan adalah zat-zat yang dapat menstimulasi gerakan peristaltik usus sehingga
dapat mengatur defekasi kotoran. Garam katartik bekerja dengan meningkatkan retensi
cairan dalam usus melalui efek osmotik yang dapat digunakan untuk mengatasi
konstipasi, sedangkan morfin bekerja dengan memperlambat peristaltik usus dan
meningkatkan tonus otot polos saluran pencernaan yang dapat digunakan untuk
mengatasi diare.
II. METODE

2.1. Pemeriksaan Komponen Saliva


a. Uji Mikroskopik
Digunakan satu tetes saliva dan diwarnai dengan metilen biru. Proses nya dilakukan
diatas object glass dan ditutup dengan cover glass. Selanjutnya, dilakukan pengamatan
dibawah mikroskop dan dilihat keberadaan sel-sel epitel, butir-butir lemak, leukosit, dan
bakteri.
b. Pengamatan pH normal saliva
Dikumpulkan sejumlah saliva dan ditentukan pH saliva dengan menggunakan kertas pH
indikator (indikator universal).
c. Pemeriksaan mucin dalam saliva
Saliva dikumpulkan kemudian ditetesi dengan asam asetat 6%. Saliva mengandung
mucin ditandai dengan terbentuknya endapan putih pada saliva.
d. Pemeriksaan protein dalam saliva
Diambil saliva 5ml dan dimasukkan kedalam tabung reaksi dan dilakukan uji biuret
dengan membasahkan salive dengan cara ditambahkan 5ml larutan NaOh encer. Setelah
saliva terbasahkan, ditambahkan larutan Cu-Sulfat 1 % tetes demi tetes sampai muncul
warna merah ungu yang menandakan adanya protein pada saliva.

2.2. Pengaruh berbagai faktor terhadap aktivitas amilase


a. Penyiapan amilase
Saliva dikumpulkan dari seorang sukarelawan dan ditampung di dalam wadah
b. Penyiapan Kontrol
Dibuat satu seri tabung kontrol. Disiapkan 2 buah tabung dan diberi label. Label tabung
1 mengandung 1 tetes pati ditambahkan dengan 2 tetes larutan iodium dengan hasil
menunjukkan warna biru hitam. Tabung 2 mengandung 1 tetes aquadest ditambahkan 2
tetes larutan iodium dengan hasil menunjukkan warna yang ke kuning-kuningan.
c. Pengamatan pengaruh suhu pada aktivitas amilase
Pada percobaan ini dibandingkan aktivitas amilase pada suhu 250C dan suhu 370C.
Disiapkan inkubator untuk tiap suhu tersebut. Disiapkan 10 tabung dan diberi nomor (1-
10) dan disusun di rak tabung. Pada setiap tabung tersebut ditambahkan 1 tetes pati. Rak
tabung dan wadah saliva ditempatkan dalam penangas air dan dibiarkan selama 5 menit
untuk mencapai kestabilan temperatur. Dicatat waktunya dan ditambahkan 1 tetes saliva
pada tiap -tiap tabung dan pastikan tiap tetesan jatuh langsung pada pasta dan tidak
menyusuri dinding tabung. Diagitasi (menggunakan alat agitator) untuk mencampurkan
saliva dan pati. Setelah sati menit tabung menerima pati, ditambahkan 2 tetes larutan
iodium kedalam tabung 1. Setelah satu menit ditambahkan 2 tetes larutan iodium
kedalam tabung 2. Penambahan iodium dilanjutkan ke tiap tabung pada interval 1 menit
sampai pada tabung ke-10 menerima larutan iodium. Setelah semua tabung ditambahkan
iodium, tabung-tabung tersebut dipindahkan dari penangas air dan dibandingkan dengan
warna dari larutan uji dengan warna pada kontrol untuk menentukan waktu yang
diperlukan untuk mencerna pati.
d. Pengamatan pengaruh pendidihan pada aktivitas amilase
Disiapkan 3 tabung dan diberi momor 1-3. Dimasukkan 5 tetes larutan saliva ke dalam
tabung 1 dan 2. Dimasukkan 5 tetes aquadest kedalam tabung 3. Ditempatkan 100 ml air
dalam beaker glass (gelas ukur) dan dipanaskan sampai mendidih. Kemudian tabung 1
ditempatkan dalam gelas ukur yang berisi air mendidih selama 3 menit. Ditambahkan 1
tetes pasta amilum ke dalam masing-masing tabung dan dicampur dengan cara agitasi.
Tabung-tabung tersebut ditempatkan kedalam penangas air pada suhu 370C selama 5
menit. Tabung dipindahkan dari penangas air dan ditambahkan 2 tetes larutan iodium ke
masing-masing tabung dan dicatat hasilnya.
e. Pengamatan pengaruh pH pada aktivitas amilase
Disiapkan 9 tabung dan diberi nomor 1-9 dan ditambahkan 1 tetes larutan dapar sebagai
berikut: pH 5 ke tabung 1, 4, dan 7; pH 7 ke tabung 2, 5, dan 8; pH 9 ke tabung 3, 6, dan
9. Ditambahkan 2 tetes larutan saliva kedalam masing-masing tabung dan dicampurkan
dengan agitasi. Tabung- tabung tersebut ditempatkan dalam rak dan dimasukkan kedalam
penangas air pada suhu 370C. wadah saliva ditempatkan dalam penangas air dan
dibiarkan 5 menit untuk mencapai suhu yang stabil. Dicatat waktu nya. Dimulai dengan
tabung 1, ditambahkan 1 tetes pasta kedalam masing-masing tabung, dan dicampur
dengan cara agitasi. Pada menit ke-2 ditambahkan 4 tetes larutan iodium ke tabung 1, 2,
dan 3. Pada menit ke-4 ditambahkan 4 tetes larutan iodium ke tabung 4,5 dan 6. Pada
menit ke-6 ditambahkan 4 tetes larutan iodium ke tabung 7, 8, dan 9. Tabung
dipindahkan dari penangas air setelah dilakukan penambahan larutan iodium dan
dibandingkan dengan kontrol.

2.3.Pencernaan protein di lambung


a. Proses pencernaan protein secara in vitro
Dipotong-potong putih telur (sampai seperti telah dikunyah), dan dimasukkan kedalam
gelas kimia. Putih telur tersebut direndam dengan larutan pepsin (5%) atau papain.
Dicatat banyaknya putih telur dan pepsin yang dipergunakan (sampai putih telur
terendam pepsin). Ditetesi dengan HCl 0,4% sampai tercapai pH 1,5 atau 2 (digunakan
indikator universal atau pH meter). Ditutup gelas kimia yang berisi campuran putih telur
dan pepsin dengan plastik dan di inkubasi pada suhu 370C selama 3 hari. Campuran putih
telur dengan pepsin ini harus sering diaduk dan dijaga pH nya (sekitar 1,5 - 2) dengan
penambahan HCl bila diperlukan. Setelah proses inkubasi selama 3 hari, campuran putih
telur dengan pepsin tersebut disaring, dinetralkan dengan beberapa tetes NaOH 40%.
Apabila terdapat endapan, maka campuran tersebut harus dipanaskan sampai mendidih
dan kemudian disaring. Diambil sedikit campuran putih telur dengan pepton dan diberi
uji biuret. Diambil sedikit pepton dan kemudian direaksikan dengan biuret.
b. Kondisi optimum untuk aktivitas pepsin
Disiapkan 6 tabung reaksi dan beri label tabung 1 - 6. Tabung 1 mengandung5 mL pepsin
5%, Tabung 2 mengandung 5 mL larutan HCl 0,4%, Tabung 3 mengandung 2 mL pepsin
5% + 3 mL HCl s/d pH 1,5-2, Tabung 4 mengandung 2 mL pepsin 5% + 3 mL Na2CO3
0,5%, Tabung 5 mengandung 5 mL Na2CO3 0,5%, Tabung 6 mengandung 5 mL
aquadest 2. Pada tabung 1 - 6 dimasukkan sedikit protein. Dimasukkan tabung 1 - 6 ke
dalam inkubator (water bath) pada suhu 400C selama ½ jam. Diamati perubahan yang
terjadi pada tabung 1 - 6 dengan cara melakukan Uji Biuret pada setiap tabung. Dicampur
isi tabung 1 dan tabung 2. Diinkubasikan pada suhu 400 C selama 15-20 menit. Diamati
perubahan yang terjadi.

2.4. Pencernaan kimiawi di usus halus


a. Perbandingan Kecepatan Pencernaan Albumin dan Serum Darah
Disiapkan 2 vial, pada vial 1 dimasukkan 5 ml larutan pankreatin dan sedikit putih telur
dan vial 2 dimasukkan 5 ml larutan pankreatin dan sedikit serum darah. Diinkubasikan
pada suhu 40 derajat. Diamati kecepatan pencernaan oleh pankreatin dengan uji biuret
setiap selang 15 menit, dalam durasi waktu 90 menit.
b. Kerja Garam Empedu pada Proses Pencernaan Lemak
Disiapkan 2 tabung reaksi, diisi dengan air 5 ml pada tabung pertama dan air dengan
garam empedu 5% pada tabung kedua. Kedua tabung kemudian ditetesi 1 tetes minyak
sayur dan pewarna, dilakukan pengocokan dan biarkan 5-10 menit.

2.5. Pengujian efek obat yang mempengaruhi saluran cerna


a. Pengaruh garam-garam katartik terhadap saluran pencernaan
Selama 24 jam, tikus dipuasakan dengan hanya diberi minum, tikus dibius dan
disuntikkan ketamin 100 mg/kg bobot tubuh secara intraperitoneal. Usus dipamerkan
dengan torehan ventral sagital, dibasahi dengan larutan NaCl fisiologik. Usus diikat
dengan benang steril pada jarak lebih kurang 8 cm hingga didapat tiga segmen terpisah.
Pada tiga segmen yang berbeda disuntikkan secara berturut-turut 1 ml larutan MgSO4
25%, 1 mL larutan NaCl 0,9% dan 1 mL larutan MgSO4 0,2%. Tempatkan kembali
segmen-segmen usus dan jahit otot juga kulit perut tikus, dibasahi dengan NaCl 0,9%.
Setelah 2 jam Usus dipamerkan lagi dan dibaca volume yang terambil.
b. Efek morfin terhadap saluran cerna
Mencit dipuasakan dengan hanya diberi air selama 18 jam sebelum percobaan, tikus
dikelompokkan menjadi 2 kelompok, dengan kelompok pertama diberi morfin HCl 0,04
mg/g bobot tubuh dan kelompok kedua diberi NaCl fisiologik volume sama. Setelah 40
menit, semua mencit diberi tinta per oral 0,01 mL/g bobot tubuh dan 40 menit setelahnya
mencit-mencit disembelih. Rongga perutnya dibedah, dikeluarkan usus dan dibersihkan
dari jaringan mesenterium lalu letakan ususnya di kertas saring. Panjang dari usus mencit
diukur dan dibandingkan dengan panjang keseluruhan.

III. DISKUSI DAN PEMBAHASAN


Sistem pencernaan merupakan sekumpulan organ yang berfungsi untuk mencerna
makanan menjadi nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh melalui proses ingesti (proses
pemasukkan makanan melalui mulut), digesti (penyederhanaan bentuk makanan), absorbsi
(penyerapan nutrisi), dan eliminasi (pembuangan zat-zat sisa yang tidak tercerna). Organ-organ
yang menyusun sistem pencernaan adalah mulut, faring, esofagus, lambung, usus kecil
(duodenum, jejunum, ileum), usus besar, rektum, dan anus. Selain itu, terdapat organ aksesori
atau pelengkap dalam sistem pencernaan, seperti lidah, gigi, kelenjar air liur, kantung empedu,
hati, dan pankreas. Organ aksesori ini berfungsi untuk membantu proses pencernaan dengan
menyekresikan cairan pencernaan, seperti contohnya saliva, enzim, dan lain-lain menuju organ
pencernaan sesuai kebutuhan.
Saliva adalah cairan bening kompleks yang disekresikan oleh kelenjar saliva ke rongga
mulut untuk menjaga lingkungan rongga mulut agar dalam kondisi yg optimal. Terdapat tiga
jenis kelenjar saliva yaitu, kelenjar parotid yang terletak di sisi kanan dan kiri rongga mulut
dan memiliki peran dalam menghasilkan banyak amilase saliva, kelenjar submandibularis yang
terletak di bagian bawah rahang sejajar dagu dan berperan dalam menghasilkan campuran
dapar, glikoprotein yang disebut mucin, dan amilase saliva. Kelenjar saliva selanjutnya adalah
kelenjar sublingual yang terletak di bawah lidah dan berperan memproduksi mukus yang
berperan sebagai dapar dan lubrikan. Pada percobaan uji mikroskopik, dilakukan pengamatan
saliva di bawah mikroskop untuk mengamati komponen yang terdapat dalam saliva. Hasil
pengamatan menunjukan bahwa di dalam saliva terdapat sel-sel epitel yang berasal dari
mukosa di rongga mulut, sisa-sisa makanan yang diingesti ke dalam rongga mulut, sel leukosit
yang berperan dalam pertahan tubuh dari infektor atau mikroba yang masuk bersama makanan,
serta terdapat bakteri. Adanya bakteri di dalam saliva disebabkan karena rongga mulut
merupakan gerbang utama masuknya zat-zat asing ke dalam tubuh termasuk mikroorganisme.
Lingkungan rongga mulut yang kotor juga akan memicu pertumbuhan bakteri di rongga mulut.
Namun meskipun begitu, terdapat saliva yang akan menjaga rongga mulut tetap dalam kondisi
optimal.
Saliva memiliki rentang pH normal sebesar 6,2-7,6 untuk menjaga kerja enzim tetap
optimal, mencegah penumpukan asam yang diproduksi oleh bakteri, serta melindungi
komponen di dalam rongga mulut terutama gigi. Pada percobaan ini, didapatkan hasil bahwa
pH saliva dari sampel menunjukan pH 7 yang mana hal tersebut merupakan rentang pH normal.
Hal ini dipengaruhi oleh adanya dapar sebagai salah satu komponen saliva yang menjaga pH
saliva tetap mendekati 7. Pada percobaan berikutnya dilakukan pemeriksaan mucin dalam
saliva. Mucin adalah glikoprotein yang dihasilkan oleh sel epitel di saluran pencernaan
termasuk rongga mulut. Mucin memiliki sifat lubrikan sehingga dapat melumatkan makanan
serta berfungsi sebagai protektan. Keberadaan mucin dalam saliva dapat dideteksi dengan cara
menambahkan asam asetat 6% pada saliva. Penambahan asam asetat berperan dalam proses
denaturasi struktur protein sehingga kelarutan protein akan menurun hingga akhirnya akan
terbentuk endapan berwarna putih. Hasil dari percobaan ini menunjukan adanya endapan
berwarna putih sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat mucin di dalam saliva tersebut.
Selain dengan menggunakan asam asetat untuk mendeteksi adanya glikoprotein berupa mucin,
keberadaan protein juga dapat dideteksi dengan penambahan NaOH dan CuSO 4 pada saliva.
NaOH berperan dalam pemutusan ikatan peptida pada protein sehingga pada akhirnya menjadi
bentuk asam amino yang bersifat basa. Atom N pada ikatan peptida akan membentuk kompleks
dengan ion Cu2+ dalam suasana basa sehingga terbentuk warna ungu. Dalam percobaan ini
didapatkan hasil adanya warna biru keunguan setelah saliva ditambahkan reagen. Percobaan
ini disebut uji biuret yang berfungsi untuk mengetahui keberadaan protein dengan ditandai
warna ungu apabila hasilnya positif.
Enzim amilase merupakan enzim yang berfungsi mencerna karbohidrat. Enzim amilase
terdapat dalam saliva dan bekerja optimum pada suhu tubuh 37ºC hingga 40ºC. Sebelum
dilakukan percobaan, terlebih dahulu dibuat dua kontrol, yaitu kontrol positif dan kontrol
negatif. Kontrol positif yang terdiri atas campuran pati dan iodium memiliki warna biru-hitam
yang nantinya berhubungan dengan kemampuan kerja dari amilase bergantung pada perlakuan
yang diberikan. Sedangkan, kontrol negatif yang terdiri atas campuran akuades dan iodium
memiliki warna kuning yang nantinya berhubungan dengan ketidakaktifan amilase.
Pada simulasi percobaan yang dilakukan dengan suhu lebih rendah dari 37ºC (misalnya
5ºC), enzim tidak akan menjadi aktif dan tidak dapat melakukan kerjanya. Hal tersebut
menunjukkan bahwa pati tidak bereaksi dengan enzim amilase yang terkandung dalam saliva.
Namun semakin lama interval waktu pemberian larutan iodium, maka warna yang dihasilkan
semakin mirip dengan kontrol negatif sehingga dapat disimpulkan bahwa enzim amilase
membutuhkan kurun waktu tertentu untuk menguraikan pati. Warna kuning yang timbul
disebabkan oleh larutan iodium tidak bereaksi dengan pati karena pati sudah bereaksi dengan
enzim amilase terlebih dahulu. Sebaliknya, pada simulasi percobaan yang dilakukan dengan
suhu lebih tinggi dari 40ºC (misalnya 70ºC), enzim justru akan menjadi rusak. Tentunya
terdapat kemungkinan enzim bekerja, tetapi menunggu terbentuknya enzim amilase baru dan
kerjanya pun tidak akan optimal karena akan langsung mengalami kerusakan setelahnya. Pada
simulasi percobaan yang menggunakan suhu 37ºC, didapat bahwa amilase dapat bekerja paling
optimal, dapat menguraikan pati dalam waktu singkat. Hampir semua isi tabung menghasilkan
warna kuning yang menunjukkan bahwa pati sudah bereaksi dengan enzim amilase.
Dalam percobaan penentuan pengaruh pendidihan terhadap aktivitas amilase, pengujian
iodium dilakukan untuk membuktikan kandungan amilum atau pati yang bereaksi dengan
iodium akan membentuk warna biru-hitam. Hal tersebut disebabkan karena dalam larutan pati,
terdapat unit-unit glukosa yang membentuk rantai heliks karena adanya ikatan dengan
konfigurasi pada tiap unit glukosanya. Bentuk ini menyebabkan pati dapat membentuk
kompleks dengan molekul iodium yang dapat masuk ke dalam spiralnya, sehingga
menyebabkan warna biru tua pada kompleks tersebut (Fessenden, 1994). Di dalam larutan
iodium terkandung I2 dan KI. I2 tidak dapat larut air sehingga ditambahkan KI dan saat bersatu
akan membentuk ion iodida dengan rumus pembentukannya yaitu I 2 + I- ® I3-. I2 tadi akan
membentuk poliodida yang akan membentuk warna dan I3- yang terbentuk akan terperangkap
dalam struktur amilosa.
Selain dari suhu, enzim amilase juga dapat bekerja optimum pada rentang pH 6,5-7,5.
Pada simulasi percobaan yang dilakukan dengan pH lebih rendah dari 6,5 (misalnya 5), enzim
tidak akan menjadi aktif dan tidak dapat melakukan kerjanya. Hal tersebut menunjukkan bahwa
pati sama tidak bereaksi dengan enzim amilase yang terkandung dalam saliva. Hal serupa juga
terjadi pada simulasi percobaan yang dilakukan dengan pH lebih tinggi dari 7,5ºC (misalnya
8). Pada simulasi percobaan yang menggunakan pH 6,8, didapat bahwa amilase dapat bekerja
dengan optimal, dapat menguraikan pati dalam waktu singkat. Hampir semua isi tabung
menghasilkan warna kuning yang menunjukkan bahwa pati sudah bereaksi dengan enzim
amilase.
Setelah dicerna baik secara kimiawi maupun mekanik di mulut maka dilanjutkan
kedalam lambung yang terdapat Chief cell yang mengsekresikan pepsinogen yaitu bentuk
inaktif dari Enzim Pepsin yang berfungsi untuk memecah protein menjadi ikatan peptide yang
lebih sederhana dan asam amino. Pepsin aktif bekerja ketika disekresikannya juga asam
lambung pada rentang Ph 1,5-2 dengan suhu 37⁰C - 40⁰C. Dalam lambung lemak tidak tercerna
dengan maksimal karna enzim lipase lambung tidak bekerja optimal dalam kondisi asam. Maka
dari itu lemak akan tercerna dengan maksimal pada usus duodenum karna disini terdapat garam
ampedu yang dapat mengemulsika lemak menjadi globul-globul lemak yang lebih mudah
dicerna menjadi asam lemak dan gliserol oleh enzim lipase pankreas.Setelah diketahui prinsip
pencernaan protein pada lambung maka dilakukan percobaan aktivasi pepsin terhadap protein
secara in vitro yang berarti dilakukan diluar organ tersebut
Pada percobaan in vitro sampel menggunakan potongan putih telur sebagai sumber
protein dan untuk kontrol menggunakan pepton lalu dinkubasi pada suhu 37⁰C selama 3 hari.
Setelah percobaan dilakukan maka selanjutnya dilakukan uji biuret untuk mendeteksi adanya
protein sisa dalam proses penguraian.Hasil yang didapatkan kedua larutan uji menunjukkan
warna ungu kemerahan baik kontrol positif maupun sampel uji berate keduanya terjadi
penguraian protein yang berbentuk proteosa dan pepton.Yang membedakan yaitu kepekatan
warna hasil tes biuret kontrol positif lebih pekat dibandingkan sampel uji,hal ini dapat terjadi
karena protein dari putih telur tidak terurai dengan baik sehingga kurang pekat atau ikatan
proteosa dan pepton sudah terputus menjadi yang lebih sederhana yaitu asam amino yang tidak
dapat bereaksi kompleks dengan Cu2+ yang terdapat dalam biuret yang menghasilkan warna
ungu kemerahan.Penambahan NaOH pada percobaan ini yaitu untuk mengubah suasa asam
sampel menjadi basa karna larutan biuret membutuhkan suasana basa untuk bekerja optimal.
Percobaan selanjutnya akan menentukan kondisi optimum aktivasi pepsin. Dalam
percobaan ini siapkan 6 tabung reaksi berisikan Pepsin dengan kondisi yang berbeda-beda lalu
tabung itu dipanaskan dalam waterbath 40⁰C selama 30 menit. Setelah dipanaskan tabung
tersebut dilakukan uji biuret,lalu perubahan warna terjadi pada tabung 3 berubah warna
menjadi coklat sedangkan tabung yang lain berwarna ungu dengan kepekatan berbeda yang
menandakan bahwa ada ikatan peptide dalam tabung tersebut. Berdasarkan teori tabung 3 itu
memang yang paling menyerupai kondisi didalam lambung dengan penambahan pepsin dan
HCL 0,4% dilingkungan optimal 40⁰C yang memang memungkinkan semua ikatan protein
diubah menjadi ikatan yang sederhana yaitu asam amino. Hal tersebut yang membuat biuret
tidak dapat bereaksi dengan larutan tabung 3.
Pada percobaan in vitro albumin pada serum darah dan albumin pada putih telur oleh
enzim pankreatin, dilakukan perbandingan kecepatan pencernaan dengan uji Biuret. Albumin
merupakan suatu protein yang memiliki jumlah paling banyak dalam plasma darah dan dapat
dipecah oleh enzim pankreatin menjadi pepton. Keberadaan pepton dapat dideteksi oleh reagen
Biuret yang ditandai dengan perubahan warna menjadi merah keunguan. Jika dalam percobaan
ini tidak terdapat warna merah keunguan, maka hal tersebut dapat disebabkan oleh jumlah
reagen yang dipakai terlalu banyak hingga perubahan warnanya tidak terdeteksi. Warna merah
keunguan yang muncul dapat menunjukkan durasi kepekatan yang berbeda, tergantung sampel
yang dipakai. Sampel putih telur memiliki durasi kepekatan yang lebih singkat dibanding
sampel serum darah dan lebih dulu memudar. Hal ini menunjukkan bahwa albumin pada putih
telur lebih cepat dicerna oleh enzim pankreatin sehingga sesuai dengan teori yang menyatakan
jika ukuran substrat dapat mempengaruhi kerja enzim sebab albumin pada putih telur memiliki
ukuran yang lebih kecil (42700 Da) dibanding ukuran albumin pada serum darah (66500 Da).
Pada percobaan ini, pengamatan terhadap kerja garam empedu dilihat dari hasil
perbandingan yang terjadi saat minyak sayur dikocok dengan air dan saat minyak sayur
ditambahkan dengan air dan garam empedu. Pada hasil percobaan akan terbentuk pemisahan
antara air dan minyak pada tabung yang berisi air dan minyak sayur. Pada tabung air ditambah
asam empedu terlihat pecahnya minyak menjadi tetesan-tetesan kecil yang terdispersi. Proses
tersebut menggambarkan kerja garam empedu dalam mengemulsi lemak dalam tubuh kita.
Garam empedu merupakan molekul amfifatik yang memiliki sisi hidrofobik dan hidrofilik.
Sifat umum lemak adalah tidak larut dalam air, untuk mengatasi hal tersebut maka sangat
diperlukan untuk melakukan proses emulsifikasi (pencampuran) lemak. Proses emulsifikasi
lemak berlanjut di bagian atas usus halus tepatnya dibagian duodenum dengan adanya bantuan
asam empedu yang dihasilkan kantung empedu. Enzim lipase juga berperan dalam mengemulsi
lemak secara hidrolisis menjadi gliserol dan asam lemak. Kedua senyawa tersebut yang akan
bereaksi dengan garam empedu untuk menghasilkan molekul-molekul lemak yang lebih kecil
yang disebut dnegan misel.
Terakhir, pada percobaan kali ini, dilakukan pengujian kepada objek hewan percobaan
berupa tikus untuk mengetahui efek obat yang mempengaruhi saluran cerna. Uji ini dilakukan
dengan melihat pengaruh garam katartik terhadap saluran pencernaan serta efek morfin pada
saluran pencernaan dengan membandingkan panjang usus mencit yang dapat dilalui tinta
dengan atau tanpa pemberian morfin.
Pada uji garam katartik, digunakan larutan MgSO4 25%, NaCl 0.9%, dan MgSO4 0.2%.
Larutan larutan ini berturut-turut merupakan larutan yang bersifat hipertonis, isotonis dan
hipotonis. Garam magnesium sulfat yang bersifat hipertonis ini akan bertindak sebagai laksan
dimana akan meningkatkan volume cairan pada rongga usus sehingga didapatkan bahwa
volume air pada segmen tersebut paling tinggi. Diikuti oleh percobaan menggunakan NaCl
0.9%, dihasilkan volume cairan segmen yang lebih sedikit dibanding dengan larutan hipertonis
MgSO4 25%. Berbeda dengan MgSO4 25%, pada magnesium sulfat 0.2% yang mana larutan
ini bersifat hipotonis, sehingga menghasilkan hasil volume cairan segmen yang paling rendah.
Hal ini dapat terjadi karena, dengan penambahan garam hipertonis akan membuat cairan sel
intestinal keluar sel menuju daerah yang hipertonis, sehingga volume cairan pada segmen akan
meningkat. Pada larutan isotonis cenderung tidak adanya perubahan atau pergerakan cairan
karena tidak ada perbedaan tonisitas. Sementara kebalikannya dengan mekanisme hipertonis,
dengan penambahan larutan hipotonis, justru akan menyebabkan volume cairan pada segmen
bergerak masuk ke sel intestinal. Selama proses pembedahan pengujian ini, dilakukan
pembasahan terus menerus dengan NaCl dengan tujuan untuk menjaga lingkungannya agar
tetap isotonis sehingga menghindari adanya kematian sel. Hal ini dikhawatirkan aakn
mengarah kepada kematian tikus itu sendiri yang mana akan membuat proses penelitian
menjadi tidak dapat teramati.
Sistem tersebutlah yang dapat dimanfaatkan untuk mengatasi penyakit diare dan
konstipasi. Larutan hipertonis dapat diberikan kepada orang yang sedang menderita konstipasi
sehingga feses akan melunak dikarenakan terjadinya peningkatan volume segmen, sementara
pada penderita diare dapat diberikan suatu larutan hipotonis. Adapun NaCl yang bersifat
hipertonis tidak dapat digunakan sebagai katartik atau sebagai alternatif pengobatan
konstipasi., karena NaCl merupakan garam yang mudah diabsorpsi sehingga tidak terjadi
peningkatan volume segmen. Dengan penggunaan NaCl hipertonis ini, larutan akan mudah
diserap oleh usus ke dalam cairan intestinal dan digunakan oleh jaringan sehingga tidak terjadi
resistensi cairan.
Alternatif lain dalam pengobatan konstipasi lain adalah dengan menggunakan minyak
jarak. Namun, mekanisme minyak jarak dalam mengatasi konstipasi ini berbeda dengan
pemberian larutan hipertonis. Minyak jarak bekerja dengan merangsang otot polos pada usus
yang membuat otot usus menjadi lebih rileks, sehingga feses lebih mudah untuk bergerak
keluar.
Hampir serupa dengan minyak jarak, penggunaan morfin sebagai pengobatan gangguan
pencernaan ini juga bekerja dengan merangsang otot polos pada usus. Namun, pemberian
morfin akan menyebabkan penurunan aktivitas peristaltik pada otot polos usus. Morfin
merupakan golongan opioid yang meiliki kemampuan untuk mengaktivasi reseptor µ-opioid
ynag terdapat pada dinding lambung, usus halus, dan usus besar. Dengan berikatannya morfin
dengan reseptor tersebut, akan terjadi inhibisi jalur neural yang dapat menekan aktivitas
peristaltik usus, serta meningkatkan aktivitas otot saluran pencernaan. Mekanisme ini akan
mengakibatkan waktu pengosongan lambung dan transit pada usus lebih lama, sehingga cocok
untuk mengatasi penyakit diare yang mana terjadi pengeluaran feses secara masif atau terlalu
banyak. Dengan pemberian morfin, pergerakan feses menjadi melambat sehingga pengeluaran
feses lebih terkendali. Selain mengatasi konstipasi, morfin adalah obat opioid yang digunakan
untuk mengobati nyeri jangka pendek maupun jangka panjang. Morfin seringkali diberikan
ketika seseorang akan menjalani operasi tertentu. Pada otak, morfin membantu melepaskan
neurotransmitter dopamin yang menghalangi sinyal rasa sakit dan menciptakan perasaan yang
menyenangkan. Itu sebabnya morfin digunakan sebagai pereda nyeri.
Pada percobaan pengamatan aktivitas kerja morfin pada saluran cerna ini, tikus yang
digunakan harus dalam keadaan mati. Hal ini dikarenakan untuk menghindari pergerakan yang
terjadi apda tinta yang akan dimasukkan ke dalam usus. Jika terjadi pergerakan, proses untuk
mengamati panjang tinta pada usus pun akan sulit diamati, sehingga tujuan pengujian tidak
tecapai.

IV. KESIMPULAN

1.Secara mikroskopik, komponen saliva yang terdapat pada saliva diantaranya adalah sel-
sel epitel, butir-butir lemak, leukosit, dan bakteri.
2.Pada hasil pengujian menggunakan pH indikator, diperoleh pH saliva normal, yaitu pada
pH 7. PH yang diperoleh berada pada rentang pH normal yaitu, sekitar 6,2-7,6.
3.Pada data hasil percobaan terdapat mucin dan protein dalam saliva yang ditandai dengan
terbentuknya endapan putih pada reaksi dan adanya perubahan warna menjadi warna
ungu dan merah pada uji biuret.
4.Beberapa faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim amilase diantaranya adalah suhu,
pendidihan, dan pH. Enzim amilase bekerja pada suhu sekitar suhu tubuh norml yaitu
370C, dan pada rentang pH 5-7.
5.Peran pepsin adalah untuk mengubah protein menjadi protease dan pepton yang ditandai
dengan terbentuknya warna merah merah keunguan saat ditambahkan uji biuret pada
uji In Vitro
6.Pepsin bekerja pada suhu dilingkungan optimal 40°C dan pada pH asam, yaitu sekitar 1,5
– 2.
7.Albumin pada putih telur lebih cepat dicerna oleh enzim pancreatin dibandingkan serum
darah, karena ukuran substrat dapat mempengaruhi kerja enzim sebab albumin pada
putih telur memiliki ukuran yang lebih kecil (42700 Da) dibanding ukuran albumin
pada serum darah (66500 Da).
8.Garam empedu bekerja untuk mengemulsikan lemak dan membentuknya menjadi globul-
globul yang lebih kecil untuk mempermudah proses pencernaan lemak. Proses ini
dibantu dengan adanya enzim lipase dalam pencernaan lemak menjadi asam lemak dan
gliserol untuk diabsorbsi.
9.Garam katartik MgSO4 25% bersifat hipertonis akan meningkatkan volume cairan
segmen usus sehingga dapat digunakan sebagai pengobatan konstipasi, NaCl 0,9%
bersifat isotonis tidak menghasilkan perubahan atau pergerakan cairan, sedangkan
larutan hipotonis MgSO4 0.2% , justru akan menyebabkan volume cairan pada segmen
bergerak masuk ke sel intestinal pada system pencernaan tikus.
10. Morfin sebagai obat diare bekerja dengan berikatan dengan reseptor sehingga akan
terjadi inhibisi jalur neural yang dapat menekan aktivitas peristaltik usus, serta
meningkatkan aktivitas otot saluran pencernaan.
DAFTAR PUSTAKA

Fessenden, R.J., & Fessenden, J. S. (1994). Organic Chemistry (5th ed.). Belmont, California,
USA.: Wadsworth, Inc.
Makarim, F. (2020). Berguna Secara Medis Ini Efek Samping Morfin pada Tubuh. Retrieved
April 2, 2021, from Halodoc: http://www.halodoc.com
Martini, Frederic H., Nath, Judi L. (2012). Fundamentals of Anatomy & Physiology (9th ed.).
Boston: Pearson Education, Inc. Hal 862-913,
Neal, M. J. (2012). Medical Pharmacology at a Glance (7th ed.). London: Wiley-Blackwell.
Hal 64-64.
Poedjiadi, A. (1994). Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta: Universitas Indonesia.
Sudarmadji, dkk. (1996). Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta: Libery
Yogyakarta.
Tortora, G., & Derrickson, B. (2012). Principles of Anatomy and Physiology (13th ed.). United
States of America: John Wiley & Sons, Inc. Hal 974-976.

LAMPIRAN
Tabel 1. Pengujian saliva
Pengujian Hasil

Uji pH

pH 7

Uji mucin

Endapan bewarna putih


Uji protein

Warna biru keunguan

Tabel 2. Pengamatan pengaruh suhu pada aktivitas amilase


Suhu Pengujian Hasil

5°C

37°C

70°C

Tabel 3. Pengamatan pengaruh pendidihan pada aktivitas amilase


Isi Tabung Hasil
Saliva + pati + iodin Kuning tetapi tidak terlalu intens
Saliva (telah dididihkan) + pati + iodin Biru tetapi masih lebih terang
Akuades + pati + iodin Biru-hitam gelap
Tabel 4. Pengamatan pengaruh pH pada aktivitas amilase
pH Pengujian Hasil

6,8

Tabel 5. Pengamatan proses pencernaan protein secara in vitro

Hari 0

pH = 2

pH Hari 1

pH = 1,5

Hari 2

pH = 1,5
Hari 3

pH = 1,5

Hasil Uji
Biuret

Tabung Kiri: tabung kontrol; menggunakan pepton, terbentuk warna ungu


kemerahan
Observasi Tabung Kanan: tabung uji; campuran putih telur dan pepsin setelah
inkubasi selama tiga hari, terbentuk warna ungu kemerahan dengan
intensitas warna sedikit lebih terang dibanding kontrol

Tabel 6. Kondisi optimum untuk aktivasi pepsin


Setelah Uji Biuret Keterangan
Keterangan gambar hasil setelah uji biuret dari kiri ke
kanan:
Tabung 1 : 5mL 5% pepsin
Tabung 2: 5mL 0.4% HCl
Tabung 3: 2 mL 5% pepsin + 3mL 0.4% HCl pH 1.5-2
Tabung 4 : 2 mL 5% pepsin + 3mL 0.5% Na2CO3
Tube 5: 5 ml 0.5% Na2CO3
Tube 6: 5 ml aquadest

Tabel 7. Kerja garam ampedu pada proses pencernaan lemak

Tabung Pengamatan awal Pengamatan akhir


(setelah 5-10 menit)
1
Globul-globul kecil minyak Globul-globul kecil terdispersi,
(dengan garam
terdispersi merata, terdapat busa terjadi creaming, berbusa
empedu)
2 (tanpa garam Terbentuk globul-globul besar Terpisah menjadi 2 fasa dengan
empedu) di permukaan minyak di atas

Tabel 9. Pengujian pengaruh garam katartik

Tikus No. Garam katartik Volume (ml)


MgSO4 25% 3
1 NaCl 0,9% 2
MgSO4 0,2% 3
MgSO4 25% 3
2 NaCl 0,9% 1
MgSO4 0,2% 1
MgSO4 25% 4
3 NaCl 0,9% 1
MgSO4 0,2% 1
MgSO4 25% 4,6564
4 NaCl 0,9% 2,275
MgSO4 0,2% 1,615
t-Test: Two-Sample Assuming Equal t-Test: Two-Sample Assuming Equal
Variances Variances
MgSO4 25% - MgSO4 25%
MgSO4 0.2% NaCl 0,9%
Variable Variable Variabl
1 2 e1 Variable 2
Mean 3.175 1.65 Mean 3,175 1,575
2,589,1
Variance 2.589167 0.89 Variance 67 0,455833
Observations 4 4 Observations 4 4
Pooled Variance 1.739583 Pooled Variance 15,225
Hypothesized Hypothesized
Mean Difference 0 Mean Difference 0
df 6 df 6
1,833,8
t Stat 1.635167 t Stat 18
0,05818
P(T<=t) one-tail 0.076566 P(T<=t) one-tail 5
t Critical one-tail 1.94318 t Critical one-tail 194,318
0,11637
P(T<=t) two-tail 0.153131 P(T<=t) two-tail 1
2,446,9
t Critical two-tail 2.446912 t Critical two-tail 12

t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances


MgSO4 0.2% -
NaCl 0.9%
Variable 1 Variable 2
Mean 1.65 1.575
Variance 0.89 0.455833
Observations 4 4
Pooled Variance 0.672917
Hypothesized
Mean
Difference 0
df 6
t Stat 0.129299
P(T<=t) one-tail 0.450673
t Critical one-
tail 1.94318
P(T<=t) two-tail 0.901347
t Critical two-
tail 2.446912

Tabel 9. Pengujian pengaruh morfin

Tikus Zat Uji Jarak Transit Tinta (cm) Panjang Usus (cm)
5 40
Morfin 0,04 mg/g bb 12 64
6,5 39,5
1
23,5 52
NaCl 0,9% 20,5 42
12,5 48,5
9 52
Morfin 0,04 mg/g bb 21 70
12 70
2
26 57
NaCl 0,9% 13,5 63
22,5 75
12 60
Morfin 0,06 mg/g bb 10 63
9 58
3
11,5 51,5
NaCl 0,9% 54 70
16,5 56,5

t-Test: Two-Sample
Assuming Equal
Variances

Variable 1 Variable 2
Mean 0,181718 0,383882
Variance 0,00241 0,032105
Observations 9 9
Pooled Variance 0,017258
Hypothesized Mean
Difference 0
df 16
t Stat -326,452
P(T<=t) one-tail 0,002435
t Critical one-tail 1,745,884
P(T<=t) two-tail 0,00487
t Critical two-tail 2,119,905

Anda mungkin juga menyukai