Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN

PENCERNAAN
Diajukan sebagai salah satu tugas mata kuliah praktikum fisiologi hewan

Disusun oleh :

Nama : Erna Pradika


NIM : 1157020021
Kelas/kelompok : 4A/3
Dosen : Risda Arba Ulfa., M.Si
Asisten Dosen : Siti Syifa Nadia
Tanggal Praktikum : 13 Februari 2017
Tanggal Pengumpulan: 20 Februari 2017

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2016 M / 1437 H
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Tujuan
- Pengamatan saliva dan kerja enzim pada proses pencernaan didalam mulut.
- Pengamatan kerja enzim amilase dalam beberapa lingkungan suhu yang berbeda

1.2 Dasar Teori


Sistem pencernaan pada hewan umumnya sama dengan manusia. Yaitu terdiri dari
mulut, faring, esofagus, lambung dan usus. Namun demikian struktur alat pencernaan
berbeda-beda dalam berbagai jenis hewan, tergantung pada tinggi rendanya tingkat organisai
sel gewan tersebut serta jenis makanannya. Pada hewan Invertebrata alat pencernaan
makanan umumnya masih sederhana, dilakukan secara fagosetosis dan secara intrasel,
sedangkan pada hewan-hewan Vertebrata sudah memiliki alat pencernaan yang sempurna
yang ilakukan secara ekstrasel. Bagian-bagian utamanya terdiri dari mulut, hulu
kerongkongan, kerongkongan, lambung, usus kecil dan usus besar (Isnaeni, 2006).
Proses pencernaan makanan yaitu makanan yang dicerna dipecah-pecah menjadi
molekul-molekul yang lebih sederhana, sehingga mudah diserap melalui dinding usus dan
masuk kedalam aliran darah. Pencernaan merupakan proses yang berlangsung secara terus
menerus. Bermula dari pengambilan pakan dan terakhir dengan pembuangan sisa pakan
(Indira, 2011).
Pada hewan tingkat tinggi, makanan dicerna dalam saluran khusus yang pada
umumnya sudah berkembang dengan baik. Jadi pencernaan makanan pada hewan ini
berlangsung di dalam organ gastrointestinal (secara ekstraseluler). Sistem ini tersusun atas
berbagai organ yang secara fungsional dapat dibedakan menjadi 4, yaitu daerah penerimaan,
daerah penyimpanan, daerah pencernaan dan daerah penyerapan nutrien, penyerapan air, dan
ekskresi (Budiansyah et al., 2010).
Secara umum, dalam mulut makanan dihancurkan secara mekanis oleh gigi dengan
jalan di kunyah. Makanan yang ukurannya besar diubah menjadi ukuran yang lebih kecil.
Selama penghancuran secara mekanis ini berlangsung, kelenjar yang ada disekitar mulu
mengeluarkan cairan yang disebut saliva atau ludah. Dalam mulut ini terdapat tiga kelenjar
yang mengeluarkan salove, yaitu kelenjar paroid, kelenjar sibmandibular dan kelenjar
sibingular. Didalam saliva ini juga terdapat enzim saliva, yaitu enzim amilase yang berfungsi
untuk memecah molekul amilum menjadi maltosa melalui proses hidrolisis. Proses ini akan
berjalan dengan baik apabila makanan dikunyah sampai halus. Selain itu juga saliva dalam
mulut ini berfungsi untuk membasahi makanan sehinhha akan mempermudah dalam proses
menelan makanan (Cartono, 2004).
Air liur juga mengandung enzim amilase dan lipase. Amilase akan memecah pati dan
glikogen menjadi maltosa dan oligosakarida. Selain itu, air liur juga mengandung senyawa
penyangga derajat keasaman (bufer) yang berguna untuk memecah terjadinya penurunan pH,
agar proses pencernaan dapat berjalan normal. Enzim ptialin dapat bekerja secara optimal
pada pH 6,6 (Budiansyah et al., 2010).
Enzim merupakan substansi penting dalam reaksi kimia di dalam sel. Enzim adalah
satu atau beberapa gugus polipeptida (protein) yang berfungsi sebagai katalis dalam suatu
reaksi kimia. Enzim merupakan katalisator organik dan dibuat dalam sel makhluk hidup
sehingga enzim ini disebut juga biokatalisator (Natali et al, 2003).
Enzim berperan untuk mempercepat reaksi kimia yang terjadi dalam tubuh makhluk
hidup, tetapi enzim tersebut tidak ikut bereaksi. Enzim ini berperan secara lebih spesifik
dalam hal menentukan reaksi mana yang akan dipacu dibandingkan dengan katalisator
anorganik sehingga ribuan produk samoingan yang beracun. Sehingga apabila tidak ada
enzim proses perombakan makanan dalam mulut secara kimiawi ini, maka akan
menyebabkan terjadinya kemacetan dalam jalut-jalur metabolismenya. Dalam proses
pencernaan makanan ini, enzim memiliki peran dalam proses pencernaan secara kimiawi.
Dengan adanya enzim ini penggunaan energi dalam proses pencernaannya akan lebih kecil.
Kerja enzim dalam preoses pencernaan seangan spesifik terhadap suhu, dimana suhu ini
berperan dalam proses mempercepat reaksi dengan naiknya suhu sampai batas waktu tertentu
dan pada suhu optimumnya enzim ini akan bekerja secara maksimum (Maryati, 2003).
Setelah melalui mulut, makanan kemudian menuju keesophagus (Zona Progresif)
melalui faring. Kemudian makanan menuju lambung (Duke, 1995). Dari lambung (Zona
Progresif), makanan masuk ke usus (Zona Degresif) yang berupa pipa panjang berkelok-
kelok dan sama besarnya. Usus bermuara pada anus (Zona Egresif). Didalam usus makanan
akan merangsang keluarnya hormon kolsistokinin. Hormin ini yang memacu keluarnya getah
empedu dar hati. Fungsi dari getah empedu ini yaitu untuk memperhalus butiran lemak
menjadi emulsi sehingga mudah larut dalam air dan diserap oleh usus, dan saluran untuk
ekskresi pigmen dan substansi tokstk dari aliran darah seperti alkohol dan bahan kimia
lainnya. Cara kerja enzim adalah dengan membentuk senyawa enzim. Substrat, kemudian
menghasilkan suatu produk terbentuk maka enzim akan melepaskan diri untuk membawa
senyawa baru dengan substrat yang lain (Cartono, 2004).
Menurut Anna Poedjiadi (2004), kerja enzim dipengaruhi oleh beberapa faktir,
diantarnaya :
1. Suhu; semakin tinggi suhunya, maka kerja enzim juga akan meningkat
2. pH; pengaruhnya sangat bervariasi tergantung jenisnya
3. Konsentrasi substrat; semakin tinggi konsentrasi sibstrat kerja enzim semakin
meningkat, akan tetapi enzim akan mencapai titik maksimal pada konsentrasi
tertentu
4. Konsentrasi enzim; semakin tinggi konsentrasi semakin meningkat juga kerja
enzim
5. Adanya aktivator (yang memicu kerja enzim)
6. Adanya inhibitor (zat yang menghambat kerja enzim)
Uji benedict adalah uji kimia untuk mengetahui kandungan gula (karbohidrat)
pereduksi. Gula pereduksi meliputi semua jenis monosakarida dan beberapa disakarida
seperti laktosa dan maltosa. Pada uji benedict ini memberikan hasil positif apabila dipanaskan
larutan berubah menjadi biru (tanpa adanya glukosa), hijau, kuning, orange, merah, & merah
bata / coklat (kandungan glukosa tinggi). Uji biuret merupakan uji umum untuk protein
(ikatan peptida) tetapi tidak dapat menunjukan asam amino bebas. Zat yang akan di uji mula-
mula ditetesi larutan NaOH, kemudian larutan tembaga (ii) suifat yang encer. Jika terbentuk
warna ungu, berarti zat itu mengandung protein, warna violet akan terbentuk pada larutan
CuSO4 alkatif (reagen biuret) dengan atau lebih ikatan peptide (CO-NH) yang saling terikat
atau pada atom N yang sama atau atom C yang sama (Almatsier, 2003).

BAB II
METODE
2.1. Alat dan Bahan
No Alat Jumlah Bahan Jumlah

1 Beaker glass 1 buah Saliva 2 ml

2 Tabung reaksi 6 buah Larutan 20 ml


amilum

3 Pipet tetes 1 buah Larutan iod Secukupny


a

4 Batang pengaduk 1 buah Larutan Secukupny


benedict a

5 Gelas ukur 1 buah Es dan air es Secukupny


a

6 Plat tetes 1 buah Alumunium Secukupny


foil a

7 Lumping & alun 1 pasang Kue crakers Secukupny


porselin asin a

8 Bunsen, kaki tiga dan 1 pasang


kasa

9 Thermometer 1 buah

2.2. Cara Kerja


a. Kerja enzim amylase pada proses pencernaan didalam mulut
2 buah crakers
- Sebagian dikunyah dan sebagian ditumbuk dalam lumpang
- Masing-masing hasil disimpan ditempat yang berbeda
- Masing-masing hasil ditetesi 5 tetes iod
- Lakukan uji iod pada interval waktu pengunyahan 30 detik, 1 menit,
2 menit, 3 menit, 4 menit, 5 menit, sampai 10 menit
- Amati perubahan yang terjadi
- Semua sample disimpan pada ruangan tanpa cahaya selama 30
menit
- Deskripsikan hasil pengamatan
Hasil

b. Kerja enzim amylase pada beberapa suhu lingkungan


2 ml filtrate saliva
- Dihomogenkan
- 20 ml larutan alumuniun dimasukan kedalam tabung reaksi
berbeda
- Masing-masing tabung reaksi disimpan di water bath yang telah
diatur suhunya secara beraturan pada suhu 5oC (es), 15oC (air es),
25oC (ruangan), 35oC (water bath), 45oC (bunsen), 55oC (Bunsen)
- Setelah 10 menit 0,5 ml (10 tetes) saliva dimasukan kedalam
masing-masing tabung reaksi
- Dengan interval waktu 2 menit, lakukan uji bennedict dan uji iod
pada ke enam tabung
- Amati perubahan yang terjadi pada masing-masing tabung
Hasil

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Kerja enzim amilase pada proses pencernaan di dalam mulut
a. ditumbuk

No Menit Ke Gambar H.Tangan Perubahan Warna Intensitas

1 30 detik Kuning +

2 1 menit Kuning kehitaman ++

3 2 menit Kuning kehitaman ++

4 3 menit Kuning +

5 4 menit Merah kekuningan ++++

6 5 menit Kuning +

7 6 menit Kuning kemerahan +++

8 7 menit Kuning +

9 8 menit Kuning kehijauan ++


10 9 menit Kuning +

11 10 menit Kuning +

b. dikunyah

No Menit ke Gambar H Tangan Perubahan warna Intensitas

1 30 menit Kuning kehijauan +

2 1 Menit Ungu kemerahan ++++

3 2 menit Kuning kemerahan ++

4 3 menit Kuning kemerahan ++

5 4 menit Merah +++

6 5 menit Merah +++

7 6 menit Ungu kemerahan ++++

8 7 menit Merah +++

9 8 menit Merah +++

10 9 menit Kuning kemerahan ++

11 10 menit Kuning kemerahan ++

3.2 Kerja enzim amulase pada beberapa suhu lingkungan


a. tabung reaksi disimpan pada suhu 25o C (suhu ruang)
Menit ke
Uji Iod Uji Benedict
Gambar Perubaha Intensitas Gambar Perubaha Intensitas
tangan n warna tangan n warna
Merah
2 ++++ Biru pucat +
kehitaman
Merah Biru
4 ++++ ++
kehitaman muda
Merah
6 ++++ Biru +++
kehitaman
Merah
8 ++++ Biru tua ++++
kehitaman
Merah
10 ++++ Biru tua +++++
kehitaman
Merah
12 ++++ Biru pekat ++++++
kehitaman
Merah
14 ++++ Biru pekat ++++++
kehitaman
Merah
16 ++++ Biru pekat +++++
kehitaman
Merah
18 ++++ Biru tua ++++
kehitaman
Merah
20 ++++ Biru tua ++++
kehitaman
Merah
22 ++++ Biru +++
kehitaman
Merah Biru
24 ++++ ++
kehitaman muda
Merah Biru
26 ++++ ++
kehitaman muda
Merah Biru
28 ++++ ++
kehitaman muda
Merah Biru
30 ++++ ++
kehitaman muda

b. tabung reaksi disimpan pada 5o C (es)

Uji Iod Uji Benedict


Menit ke
Gambar Perubaha Gambar Perubaha
Intensitas Intensitas
Tangan n Warna Tangan n Warna

3 Coklat + Biru ++
4 Coklat tua ++ Biru ++

6 Biru tua +++ Biru ++

8 Biru tua +++ Biru ++

10 Biru tua ++++ Biru ++

Biru
12 +++++ Biru ++
kehitaman
Biru
14 +++++ Biru ++
kehitaman
Biru
16 +++++ Biru ++
kehitaman
Biru
18 +++++ Biru ++
kehitaman
++++++
20 Hitam Biru ++
+
++++++
22 Hitam Biru ++
+
++++++
24 Hitam Biru ++
+
++++++
26 Hitam Biru ++
+
++++++
28 Hitam Biru ++
+
++++++
30 Hitam Biru ++
+

c. tabung reaksi disimpan pada 15o C (Aires)

Uji Iod Uji Benedict


Menit
ke Gambar Perubaha Gambar Perubaha
Intensitas Intensitas
Tangan n Warna Tangan n Warna

3 Orange + Biru ++

4 Orange ++ Biru ++
6 Orange ++ Biru ++

8 Merah +++ Biru ++

10 Merah +++ Biru ++

12 Merah +++ Biru ++

14 Merah ++++ Biru ++

16 Merah ++++ Biru ++

18 Merah +++++ Biru ++

Merah
20 +++++ Biru ++
hitam
Merah
22 ++++++ Biru ++
hitam
Merah
24 ++++++++ Biru ++
hitam
Merah
26 ++++++++ Biru ++
hitam

28 Hitam ++++++++ Biru ++

++++++++
30 Hitam Biru ++
+

d. tabung reaksi disimpan pada suhu lingkungan 35o C (water bath)

Uji Iod Uji Benedict


Menit ke
Gambar Perubaha Gambar Perubaha
Intensitas Intensitas
Tangah n Warna Tangah n Warna
Biru
2 Biru tua + ++
muda
Biru tua Biru
4 ++ ++
pekat muda
Biru tua Biru
6 ++ ++
pekat muda
Biru tua Biru
8 ++ ++
pekat muda
Biru tua Biru
10 ++ ++
pekat muda
Biru tua Biru
12 +++ ++
kehitaman muda
Biru tua Biru
14 +++ ++
kehitaman muda
Hitam Biru
16 ++++ ++
kebiruan muda
Hitam Biru
18 ++++ ++
kebiruan muda
Hitam Biru
0 ++++ ++
kebiruan muda
Hitam Biru
22 ++++ ++
kebiruan muda
Hitam Biru
24 ++++ ++
kebiruan muda
Hitam Biru
26 ++++ ++
kebiruan muda
Hitam Biru
28 ++++ ++
kebiruan muda
Hitam Biru
30 ++++ ++
kebiruan muda

e. tabung reaksi disimpan pada suhu 45o C (Bunsen)

Uji Iod Uji Benedict


Menit
ke Gambar Perubaha Gambar Perubaha
Intensitas Intensitas
Tangan n Warna Tangan n Warna
+++++++
2 Ungu + Biru
+
Ungu Hijau
4 ++ +++++++
pekat tosca
Hijau
6 Coklat +++ +++++++
tosca
Merah Hijau +++++++
8 ++++
bata tosca +
Coklat Biru
10 ++++++ ++++++
pekat muda
Coklat Biru
12 ++++++ ++++++
pekat muda
Coklat
14 ++++++ Biru +++++++
pekat
Coklat Biru
16 ++++++ ++++++
pekat muda
Coklat Biru
18 ++++++ +++++
pekat muda
Coklat Biru
20 ++++++ ++++
pekat muda
+++++++ Biru
22 Hitam +++
+++ muda
+++++++ Hijau
24 Hitam +++++++
++++++ tosca
+++++++ Hijau
26 Hitam ++
++++++ tosca
Hitam +++++++ Hijau
28 +
pekat +++++++ tosca
Hitam +++++++ Hijau
30 ++
pekat +++++++ tosca

f. tabung reaksi disimpan pada suhu 55o C (Bunsen)


Menit Uji Iod Uji Benedict
ke
Gambar Perubahan Gambar Perubahan
Intensitas Intensitas
tangan warna tangan warna
Hitam
2 + Biru muda +
keunguan
Hitam
4 ++ Biru muda +
keunguan
Hitam
6 ++ Biru muda +
pekat
Hitam
8 +++ Biru +
keunguan
Hitam
10 kecoklata +++ Biru ++
n
Hitam Biru
12 kecoklata ++ kekuninga +
n n
Hitam Biru
14 kecoklata +++ kekuninga ++
n n
Hitam Biru
16 kecoklata ++ kekuninga +++
n n
Hitam Biru
18 kecoklata +++ kekuninga +++
n n
Biru
Coklat
20 +++ kekuninga +++
kehitaman
n
Biru
Coklat
22 ++ kekuninga +++
kehitaman
n
Biru
Coklat
24 +++ kekuninga +++
kehitaman
n
26 Coklat ++++ Biru +++
kehitaman kekuninga
n

Biru
Coklat
28 +++ kekuninga +++
kehitaman
n
Biru
Coklat
30 ++++ kekuninga ++++
kehitaman
n

3.3 Grafik
Grafik suhu 5C
8
7
6
5
Intensitas 4
3
2
1
0
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30

Waktu (menit)

intensitas iod intensitas benedicit

Grafik suhu 15C


10

6
Intensitas
4

0
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30

Waktu (menit)

uji iod uji benedict


Grafik suhu 25C
7
6
5
4
Intensitas 3
2
1
0
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30

Waktu (menit)

uji iod uji benedict

Grafik suhu 35C


5

3
Intensitas
2

0
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30

Waktu (menit)

uji iod uji benedict


Grafik suhu 45 C
14
12
10
8
intensitas benedict
Intensitas 6 intensitas iod
4
2
0

Waktu

Grafik suhu 55C


5

3
Intensitas
2

0
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30

Waktu (menit)

intensitas benedict intensitas iod

Grafik titik akromatis


35
30
25
20
Waktu (menit) 15
10
5
0
5 15 25 35 45 55

Suhu (C)

uji iod uji benedict


3.4 Pembahasan
Pada pratikum pencernaan ini dilakukan dua uji percobaan, yang pertama yaitu craker
yang di kunyah dan craker yang di tumbuk. Diuji dengan dikunyah mulai dari 30detik, 1
menit, 2 menit, 3 menit, 4 menit, 5 menit, 6 menit, 7 menit, 8 menit, 9 menit dan 10 menit.
Ketika waktu kunyahannya semakin lama akan membuat enzim semakin baik, sehingga
warna sebelum ditetesi iodin semakin lama kunyahan semakin putih. Hasilnya pada kue
craker yang ditumbuk menghasilkan warna tetap yaitu warna hitam. Karena pada craker yang
ditumbuk tidak menggunakan kerja enzim sehingga warnanya tetap seperti semula.
Berdasarkan literatur, Enzim ptialin dalam saliva adalah suatu enzim amilase yang berfungsi
untuk memecah molekul amilum menjadi maltosa dengan proses hidrolisis. Proses ini
berjalan lebih baik apabila makanan dikunyah lebih halus (Poedjiadi, 2005). Dapat
disimpulkan tidak adanya perubahan warna yang terjadi pada cracker yang ditumbuk karena
disebakan tidak adanya kerja enzim, atau bisa jadi enzim amilase belum bekerja secara
optimal karena tidak adanya proses pengunyahan.
Kemudian untuk hasil dari pengunyahan dengan interval waktu tertentu menghasilkan
ke ragamana warna. Dikarenakan enzim amylase bekerja di mulut, terjadi perubahan warna
tiap waktu yang ditentukan. Selanjutnya, untuk hasil dari jenis perlakuan berupa
pengunyahan lalu ditambah iod dengan interval waktu tertentu
menunjukan keragaman warna yang terbentuk. Apabila proses
pengunyahan didalam mulut relatif sebentar, maka warna yang dihasilkan
beragam mulai dari merah sampai kekuningan. Hal ini dikarenakan
cracker hanya berada sebentar sekali didalam mulut sehingga penguraian
amilum menjadi disakarida juga sedikit (Goenarso 2005).
Sedangkan pada waktu yang lebih lama warna pun menjadi
berbeda, Hal tersebut terjadi disebabkan karena pada menit-menit
tersebut larutan iod dan enzim amilase bereaksi, sehingga terjadi
perubahan warna pada cracker yang di kunyah dan amilase merubah atau
menghidrolisis pati atau amilum menjadi bentuk karbohidrat lebih
sederhana, yaitu dekstrin, dan apabila berada dimulut cukup lama maka
sebagian akan diubah menjadi disakarida maltosa. (Almatsier, 2009).
Dapat disimpulkan bahwa adanya perubahan warna di akibatkan adanya
proses pengunyah terlebih dahulu beda halnya dengan yang ditumbuk
tidak ada perubahan warna karena tidak melalui proses pengunyahan
dahulu di dalam mulut.
Pada praktikum kali ini juga dilakukan uji pada saliva menggunakan larutan iodin dan
benedict. Kegunaan uji iod adalah untuk mengetahui kandungan amilum (polisakarida) pada
makanan atau kandungan karbohidrat. Begitupula dengan kegunaan uji benedict mengetahui
kandungan glukosa (monosakarida) pada karbohidrat yang akan di uji.(Poedjiadi, 2005).
Uji ini merupakan uji kerja enzim pada beberapa suhu lingkungan dengan
meggunakan iodin dan benedict dengan pengaturan suhu 5oC, 15oC, 25oC, 35oC, 45oC, dan
55oC. Dengan menguji amilum yang dicampur dengan saliva. Saliva adalah sutau cairan oral
yang kompleks, yang tidak berwarna yang terdiri atas campuran sekresi dari kelenjar ludah
besar dan kecil yang ada pada mukosa oral. Di uji mulai dari 0-30 dengan interval 2. Diuji
dengan larutan benedict dan larutan iod. Kerja enzim di pengaruhi oleh beberapa faktor
seperti, suhu, ph, kosentrasi substart, kosentrasi enzim, adanya activator, adanya inhibitor.
Berdasarkan hasil pengujian pengaruh suhu terhadap air liur atau saliva yang
ditamabahkan iodin dan benedict yang dipanaskan pada suhu 5oC, 15oC, 25oC, 35oC, 45oC,
dan 55oC memberikan hasil positif, yaitu larutan menjadi ber aneka ragam warna sesuai
dengan temperature suhu yang telah diatur hal ini membuktikan bahwa suhu mempengaruhi
kerja pada enzim. Jadi suhu optimum atau titik akromatis adalah pada suhu 35oC-45oC

Berdasarkan hasil pengamatan, enzim yang di simpan pada suhu yang berbeda
menunjukan perbedaan. Enzim tersebut diberi perlakuan yang berbeda, yaitu suhu 5, 15, 25,
35, 45 dan 550 C. Dari enzim yang disimpan pada keenam suhu berbeda tersebut menunjukan
titik akromatis yang berbeda. Titik akromatis adalah titik dimana sudah tidak terjadi
perubahan warna lagi. Titik akromatis bisa diartikan sebagai titik dimana terjadi perubahan
kimia dari polisakarida menjadi monosakarida. (Michael J. Pelczar.2006)
Dari hasil pengamatan, dilihat dari titik akromatisnya, suhu optimum untuk kerja
enzim adalah suhu 35-45 0 C, karena dilihat dari warna yang dihasilkan atau intensitas warna
yang dihasilkan setiap tetes iod dan benedict yang diberikan dalam interval waktu 2 menit
selama 15 kali tetesan. Pada suhu 35-45 0 C, titik akromatis terdapat pada interval waktu 18-
22 menit. Hal tersebut menunjukan bahwa kerja enzim optimum karena enzim amylase
selesai bekerja ketika tidak ada lagi karbohhidrat yang harus di ubah. Fungsi saliva terpusat
pada isinya, yaitu amylase saliva (ptyalin) suatu enzim untuk mengurai amilum pada tahap
awal. (Darmadi Gunarso.2005.2.27) rekasi dipercepat dengan naiknya suhu sampai batas
waktu tertentu dan akan bekerja maksimum pada suhu optimumnya. (Tim Pengajar.2013)
Setiap enzim memiliki suhu optimal dimana laju reaksinya berjalan paling cepat. Suhu ini
memungkinkan terjadinya tubrukan molekuler paling banyak tanpa mendenaturasi enzim itu.
Sebagian besar enzim manusia memiliki suhu optimal sekitar 350C sampai 400C (mendekati
tubuh manusia).
Berdasarkan hasil pengamatan titik akromatis paling tinggi terjadi pada suhu 55 0C,
semakin tinggi suhu maka enzim tidak akan bekerja secara optimal. Sampai pada suatu titik,
kecepatan suatu reaksi enzimatik meningkat sejalan dengan meningkatnya suhu. Sebagian
disebabkan karena substrat akan bertubrukan dengan tempat aktif lebih sering ketika molekul
itu beregerak lebih cepat. Namun demikian diluar suhu itu, kecepatan rekasi enzimatik akan
menurun drastis, sehingga molekul protein itu akan mengalami denaturasi.

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Pada praktikum mengenai pencernaan dapat disimpulkan bahwa hasil dari
pengunyahan craker dengan interval waktu tertentu menghasilkan keragaman warna.
Dikarenakan enzim amylase bekerja di mulut maka terjadinya perubahan warna tiap waktu.
0
Suhu optimum untuk kerja enzim adalah suhu 35-45 C, karena dilihat dari warna yang
dihasilkan atau intensitas warna yang dihasilkan setiap tetes iod dan benedict yang diberikan
0
dalam interval waktu 2 menit selama 15 kali tetesan. Pada suhu 35-45 C, titik akromatis
terdapat pada interval waktu 18-22 menit.

DAFTAR PUSTAKA
Almatsier. Sunita 2003. Prinsip Dasar Ilmu Biji. Jakarta Gramedia. Pustaka Utara.
Budianysah. A, Resmi, et al. 2010. Isolasi Dan Karakter Enzim Karbohidrase Cairan Rumen
Sapi Asal Rumah Porong Hewan. Media Peternakan. Vol 33(1) : 36 43.
Cartono. 2004. Biologi Umum. Bandung. Prisma Press.
Indira, Fitriliyani. 2011. Aktifitas Enzim Saluran Pencernaan Ikan Nila (Oreochromis
Niloticus) Dengan Pakan mengandung Temung Daun lamtaro (Leucaena
Leucophala) Terhidrolisis Dan Tanpa Hidrolisis Dengan Ekstrak Enzim Cairan
Rumen Domba. Jurnal Bioscientiae. Vol 8(2) . 16-31.
Isnaeni. Wiwi. 2006. Fisiologi Hewan. Yogyakarta. Kanisius
Maryati, Sri. 2003. Enzim. Jakarta Erlangga.
Natali, Miranda dan Orsi. 2003. Morphometry and Quantification Of The Myentheric
Meurons of The Duodenum Of Adult Rats Fed With Hypoproteic Chow. Int . J .
Morphology. Vol. 24(4) : 273-277.
Poedjiadi. Anna. 2006. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta. Universitas Indonesia.
Adi, S. 2000. Aktivitas enzim-enzim ekstra seluler pada sistem encernaan ikan gurame
(Osphronemus gouramy Lac). Bogor: IPB.
Aditya, D. 2009. Penelitian Deskriptif. Surakarta: Politeknik Kesehatan Surakarta.
Aiyer, P.V. 2005. Amylases and Their Applications. African Journal of Biotechnology. Vol
4(1): 125135.
Fitriliyani dan Indira. 2011. Aktivitas enzim saluran pencernaan ikan nila (Oreobromis
niloticus) dengan pakan mengandung tepung daun lamtoro (Leucaena leucophala)
terhidrolisis dan tanpa hidrolisis dengan ekstrak enzim cairan rumen domba.
Biocientiae. Vol. 8 (2): 16-31.
Gunarso, Darmadi dan Suripto. 2013. Panduan praktikum fiologi hewan. Bandung: UIN
Bandung.
Kosim, M. 2010. Pengaruh suhu pada protease dari Baccillus subtillis. Surabaya: Fakultas
MIPA ITS.
Michael J. Pelczar dan E.C.S. Chan. Dasar-dasar Mikrobiologi. 2006. Jakarta. UI-Press.
Nangin, Debora dan Aji Sutrisno. 2015. Enzim amilase pemecah pati mentah dari mikroba.
Kajian pustaka. Jurnal pangan dan agroindusri. Vol. 3(3): 1032-1039.
Noviyanti, Tri, Puji Ardiningsih dan Winda Rahmalia. 2012. Pengaruh temperatur terhadap
aktivitas enzim protease dari daun sansakus (Pyckarrkena cauliflova Diels). Jkk.
Vol. 1(1): 31-34.
Sirajuddin, Saifuddin. 2012. Penuntun Praktikum Penilaian Satus Gizi Secara Biokimia dan
Antropometri. Makassar : Universitas Hasanuddin.
Tobin, AJ. 2005. Asking About Life. USA Seeley: Mc Graw Hill Company, Inc.
Waryanti. 2004. Isolasi dan Penentuan Aktivasi Spesifik Enzim Bronulin dari Buah Nanas
(Ananas comosus L.) JSKIA. Vol. 7(3): 83-87.
Yazid, E. dan Nursanti, L. 2006. Penuntun Praktikum Biokimia. Yogyakarta: Andi.
Zambonino Infante, J.L., & Cahu, C. 2001. Ontogeny of the gastrointestinal tract in marine
fish larvae. Comp Biochem Physiol. Vol. 130C:477487.
Zulfa, Yandes, Ridwan, Affandi dan Ing. Mokoginta. 2003. Pengaruh pemberian selulosa
dalam pakan terhadap kondisi biologis benih ikan gurame (Osphronemis gouramy).
Jurnal Ikhtiologi Indonesia. Vol. 3(1): 1-4.

Anda mungkin juga menyukai