Anda di halaman 1dari 46

LAPORAN PRAKTIKUM

LABORATORIUM LINGKUNGAN

MODUL VI
ANALISA KLOR AKTIF
DENGAN METODE IODOMETRI


DISUSUN OLEH:

KELOMPOK II




Andrew Alexander Lamba (1006680663)
Mikaela Antoinette 1006680865)
Ratu Aliah Sanada (1006773912)
Riris Kusumaningsih (1006660964)

Tanggal Praktikum : 2 November2012
Asisten : Ingen Augdiga Sidauruk
Tanggal disetujui :
Paraf :
Nilai :

LABORATORIUM TEKNIK PENYEHATAN DAN LINGKUNGAN
PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN
DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2012
1. TUJUAN
Untuk mengetahui jumlah klor yang dibutuhkan untuk air baku dengan
kualitas tertentu sehingga tercapai titik breakpoint chlorination (BPC).
2. DASAR TEORI
2.1 Desinfeksi
Desinfeksi merupakan suatu proses yang bertujuan untuk menghilangkan
mikroorganisme yang bersifat patogen (tidak untuk mikroorganisme yang
tidak patogen ataupun patogen yang yang sedang berada dalam bentuk spora)
baik secara kimia maupun fisik.
Mikroorganisme patogenik merupakan mikroorganisme yang dapat
menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia. Patogen yang sering
ditemukan di dalam air terutama adalah bakteri-bakteri penyebab infeksi
saluran pencernaan seperti Vibrio cholera penyebab penyakit kolera, shigella
dysentereae penyebab disentri basiler, salmonella typhosa penyebab tifus dan
S. Paratyphy penyebab paratifus, virus polio dan hepatitis.
Sebelum proses desinfeksi dilakukan, pemisahan zat padat harus
dilakukan terlebih dahulu. Ini dikarenakan sering terdapat mikroorgamisme di
dalam zat padat yang tidak dapat dimusnahkan oleh proses oksidasi-reduksi.
Oksidan akan tereduksi oleh zat organik di dalam flok sebelum bisa
menembus mikroorganisme untuk dimusnahkan.
2.2 Desinfektan
Desinfektan merupakan bahan kimia yang digunakan untuk mencegah
terjadinya infeksi atau pencemaran jasad renik seperti bakteri dan virus, dan
untuk membunuh atau menurunkan jumlah mikroorganisme pada benda mati.
Desinfektan dapat dikelompokan atas beberapa golongan, yaitu :
1. Grup Alkohol Larut
Contoh : Etanol, Isopropil alkohol
Cara kerja : Koagulasi protein dan melarutkan membran
Konsentrasi : 70-90%
Keuntungan : Bakterisidal cepat, tuberkulosidal
Kelemahan : Tidak membunuh spora, menyebabkan korosi metal
kecuali jika ditambahkan komponen pereduksi (2% Na-
nitrit), mengeringkan kulit
2. Grup Gas Sterilisasi
Contoh : Etilen Oksida
Cara kerja : Substitusi grup alkil di dalam sel dengan atom Hydrogen
yang labil
Waktu reaksi : 1-18 jam
Keuntungan : Tidak berbahaya untuk kebanyakan bahan yang tidak
panas
Kelamahan : Membutuhkan peralatan khusus

3. Grup Gas Desinfektan
Contoh : Formal dehida
Cara kerja : Seperti etilen oksida
Konsentrasi : Larutan jenuh dalam bentuk gas
Keuntungan : Membunuh spora, tidak korosif, digunakan untuk bahan
yang tidak panas
Kelemahan : Membutuhkan peralatan khusus

4. Grup Halogen
Contoh : Klorin, Iodium
Cara kerja : Oksidasi grup sulfhidril bebas
Konsentrasi : Hipoklorit konsentrasi tertinggi; HClO (warexin) larutan
1.5%; Yodium tinkur - konsentrasi tinggi;
Keuntungan : Klorin tuberkolosidal; Yodium Pencuci dan
desinfektan, tidak meninggalkan warna, meninggalkan
residu anti bakteri; Yodium tinkur bersifat tuberkolosidal
Kelemahan : Klorin memutihkan bahan, korosi logam, tidak stabil di
dalam air sadah, larutan harus segar; Yodium
menimbulkan warna dan iritasi kulit, Iodofor tidak stabil,
aktifitasnya hilang didalam air sadah, korosif terhadap
logam, menyebabkan pengeringan
Kriteria-kriteria suatu desinfektan dapat dikatakan ideal :
1. Bekerja dengan cepat untuk menginaktifasi mikroorganisme pada suhu
kamar
2. Aktivitasnya tidak dipengaruhi oleh bahan organik, pH, temperatur dan
kelembaban.
3. Tidak toksik pada hewan dan manusia
4. Tidak berbau / baunya masih menjaga estetika
5. Tidak bersifat korosif
6. Bersifat biodegradable
7. Larutan stabil
8. Mudah digunakan dan ekonomis
9. Tidak berwarna dan meninggalkan noda
Lima cara kerja desinfektan yaitu :
1. Merusak dinding sel bakteri, yang mengakibatkan sel pecah dan mati.
Beberapa zat, seperti penisilin, dapat menghambat sintesis dari dinding sel
bakteri.
2. Merubah permeabilitas sel, yang diakibatkan oleh zat-zat seperti senyawa
fenol dan deterjen. Zat-zat ini merusak permeabilitas dari selektif
membran sitoplasma sehingga nutrien-nutrien penting, seperti nitrogen dan
fosfor, dilepaskan.
3. Merubah sifat koloid alami dari protoplasm, yang dapat dilakukan dengan
pemanasan, radiasi, dan penambahan zat-zat yang bersifat sangat asam
atau sangat basa. Pemanasan akan mengkoagulasikan sel protein dan asam
atau basa akan merusak protein sehingga mengakibatkan efek kematian
sel.
4. Merubah susunan DNA atau RNA mikroorganisme.
5. Menghambat aktivitas enzim. Zat pengoksidasi, seperti klorin dapat
merubah susunan kimia dari enzim dan menon-aktifkan enzim pada
bakteri.
2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Desinfeksi
1. Jenis disinfektan yang digunakan
Jenis disinfektan yang digunakan pada proses desinfeksi sangat
mempengaruhi efisiensi dan efektivitas dari proses desinfeksi yang
dilakukan. Ada beberapa jenis disinfektan yang merupakan oksidator yang
lebih kuat dari disinfektan lainnya. Contohnya adalah ozon dan klorin
dioksida yang lebih kuat sebagai oksidator dibandingkan dengan klorine.
2. Kondisi mikroorganisme yang terkandung di dalam air
Kondisi mikroorganisme di dalam alam sangatlah bervariasi. Hal ini
dapat dipengaruhi oleh :
a. Jenis mikroorganisme
Jenis dari mikroorganisme yang kemungkinan terdapat di dalam air
adalah jenis bakteri, virus, dan parasit. Dari berbagai jenis ini, ada
beberapa mikroorganisme patogen yang memiliki ketahanan terhadap
disinfektan. Terutama bagi mikroorganisme yang dapat membentuk
spora. Secara umum resistensi terhadap desinfeksi berurutan sebagai
berikut : bakteri vegetatif < virus enteric < bakteri pembentuk spora
spore-forming bacteria) < kista protozoa.
b. Jumlah mikroorganisme
Jumlah mikroorganisme berbanding lurus dengan kadar disinfektan
yang dibutuhkan untuk proses desinfeksi.

c. Umur mikroorganisme
Umur dari mikroorganisme akan mempengaruhi efektivitas dari
disinfektan yang digunakan

d. Penyebaran mikroorganisme
Kondisi mikroorganisme yang menyebar akan lebih mudah ditembus
oleh disinfektan. Bakteri cenderung membentuk clam dengan
supended solids yang ada dalam air yang keruh harus dicurigai
sebagai air yang mempunyai bakteri pathogen lebih banyak.

3. Waktu kontak
Inaktivasi mikroorganisme patogen oleh senyawa disinfektan
bertambah sesuai dengan waktu kontak dan idealnya mengikuti kinetika
reaksi orde pertama. Waktu kontak itu sendiri dapat didefinisikan sebagai
waktu yang tersedia untuk interaksi antara klor dengan bahan-bahan
pereduksi klor di dalam air. Biasanya, Cl
2
memiliki waktu kontak antara
30-60 menit.
Inaktivasi terhadap waktu mengikuti garis lurus apabila data diplot
pada kertas log-log.
Nt/No = e-kt
No = Jumlah mikro-organisme pada waktu 0.
Nt = Jumlah mikro-organisme pada waktu t.
k = decay constant atau konstanta pemusnahan (waktu-1) .
t = waktu.
Namun demikian data inaktivasi di lapangan menunjukkan deviasi
dari kinetik orde satu seperti terlihat pada Gambar 1 (Hoff dan Akin,
1986). Kurva C pada Gambar 12.1 menunjukkan deviasi dari kinetika orde
satu. Bagian ujung kurva merupakan akibat adanya subpopulasi dari
populasi heterogen mikro-organisme yang resistan terhadap disinfektan.
Kurva A menunjukkan populasi mikroorganisme homogen yang sensitif
terhadap disinfektan, Sedangkan kurva B menujukkan populasi
mikroorganisme homogen yang agak resistan terhadap disinfektan.

Gambar 2.1. Kurva inaktivasi mikroorganisme di dalam proses desinfeksi
Efektifitas disinfektan dapat digambarkan sebagai C.t. C adalah
konsentrasi disinfektan dan t adalah waktu yang diperlukan untuk proses
inaktivasi sejumlah persentasi tertentu dari populasi pada kondisi tertentu
(pH dan suhu). Hubungan antara konsentrasi disinfektan dengan waktu
kontak diberikan oleh hukum Watson sebagai berikut (Clark, 1989) :
K = C.n.t
Dimana :
K = Konstanta mikro-organisme tertentu yang terpapar disinfektan
pada kondisi tertentu.
C = Konsentrasi disinfektan (mg/l).
t = Waktu yang diperlukan untuk memusnahkan persentasi tertentu
dari populasi (menit)
n = Konstanta yang disebut koefisien pelarutan.
Penentuan nilai C.t dapat melibatkan temperatur dan pH dari
medium suspensi. Sebagai contoh persamaan dikembangkan untuk
mengetahui inaktivasi kista dari Giardia Lamblia pada proses pengolahan
dengan disinfektan klor (Clark,1989 ; Hibler, 1987).
C.t = 0,9847 C0,1758 pH2,7519 T-0,1467
Dimana :
C = Konsentrasi klor (C < 4,23 mg/l).
t = waktu untuk inaktivasi 99,99 % kista.
pH = pH (antara 6 dan 8).
T = temperatur (antara 0,5 dan 5,0 oC).
Nilai Ct untuk mikro-organisme patogen dapat dilihat pada Tabel
12.1. Tingkat ketahanan terhadap klorin sebagai berikut kista protozoa >
virus > bakteri vegetatif

Gambar 2.2 Waktu inaktivasi beberapa jenis mikroorganisme

4. Konsentrasi disinfektan
Konsentrasi dari disinfektan berkaitan dengan waktu kontak antara
desinfektan dengan senyawa-senyawa pengotor pada air.
5. Pengaruh pH
Setiap desinfektan akan berfungsi dengan optimal pada pH tertentu,
misalnya ozon lebih stabil pada pH rendah (pH= 6). Dalam hal desinfeksi
dengan senyawa klor, pH akan mengontrol jumlah HOCl (asam
hypoklorit) dan OCl- (hypoklorit) dalam larutan. HOCl 80 kali lebih
efektif dari pada OCl- untuk E.Coli.
Di dalam proses desinfeksi dengan klor, harga Ct meningkat sejalan
dengan kenaikan pH, sebaliknya inaktivasi bakteria, virus dan kista
protozoa umumnya lebih efektif pada pH tinggi. Pengaruh pH pada
inaktivasi mikroba dengan kloramin tidak diketahui secara pasti karena
adanya hasil yang bertentangan. Pengaruh pH pada inaktivasi patogen
dengan ozon juga belum banyak diketahui secara pasti.

6. Pengaruh suhu
Inaktivasi patogen dan virus akan semakin meningkat seiring dengan
meningkatnya suhu.
7. Pengaruh Kimia Dan Fisika Pada Desinfeksi
Beberapa senyawa kimia yang dapat mempengaruhi proses
desinfeksi antara lain adalah senyawa nitrogen anorganik maupun organik,
besi, mangan dan hidrogen sulfida. Senyawa organik terlarut juga
menambah kebutuhan klor dan keberadaannya menyebabkan penurunan
efisiensi proses desinfeksi.
Kekeruhan dalam air disebabkan adanya senyawa anorganik (misal
lumpur, tanah liat, oksida besi) dan zat organik serta sel-sel mikroba.
Kekeruhan diukur dengan adanya pantulan cahaya (light scattering) oleh
partikel dalam air. Hal ini dapat menggangu pengamatan coliform dalam
air, disamping itu kekeruhan dapat menurunkan efisiensi klor maupun
senyawa disinfektan yang lain.
Kekeruhan (turbidity) harus dihilangkan karena mikroorganisme
yang bergabung partikel yang ada di dalam air akan lebih resistan terhadap
disinfektan dibandingkan dengan mikroorganisme yang bebas. Gabungan
Total Organic Carbon (TOC) dengan kekeruhan akan menaikkan
kebutuhan klor.
Efek proteksi dari partikel di dalam air terhadap ketahanan
mikroorganisme di dalam proses desinfeksi tergantung pada ukuran dan
sifat alami dari partikel tersebut. Sel yang bergabung dengan poliovirus
lebih tahan terhadap inaktivasi klor, sedangkan bentonite dan aluminium
phosphat bila bergabung dengan virus tidak memberikan efek proteksi
seperti tersebut di atas. Virus dan bakteri yang bergabung dengan
bentonite tidak tahan terhadap inaktivasi ozon. Studi di lapangan
menunjukkan virus yang bergabung dengan padatan lebih tahan terhadap
klor dari pada keadaan bebas. Menurunkan kekeruhan ke tingkat lebih
kecil dari 0,1 NTU dapat menjadi ukuran untuk menghindari efek proteksi
dari partikel pada saat proses desinfeksi.
8. Faktor Lain
Beberapa studi menunjukkan bahwa patogen dan indikator bateri
yang ditumbuhkan di laboratorium lebih sensitif terhadap disinfektan dari
pada yang berada di alam. Flavobacterium yang berada di alam 200 kali
lebih tahan terhadap klor dari pada yang dibiakkan di laboratorium.
Klebsiella pneumoniae lebih tahan terhadap kloramin apabila tumbuh pada
kondisi nutrient rendah.
Penambahan ketahanan terhadap kloramin disebabkan oleh beberapa
faktor physiological, misal penambahan pengelompokan sel dan produksi
extracellular polymer, perubahan membran lipid, dan pengurangan
oksidasi kelompok sulfhydryl. Kekebalan yang terjadi pada strain bakteri
alami karena keterbatasan makanan dan zat perusak seperti disinfektan,
mungkin pula disebabkan oleh synthesis dari protein tertekan, namun
prosesnya tidak dapat dimengerti. Fenomenanya masih menjadi tanda
tanya karena tidak bergunanya data diinfeksi di laboratorium untuk
mengamati inaktivasi patogen pada keadaan di lapangan.
Paparan pertama dapat menambah ketahanan mikroba terhadap
disinfektan. Paparan pengulangan mikroorganisme pada klor
menghasilkan adanya bakteri dan virus tertentu yang tahan terhadap
disinfektan. Penggumpalan/penggabungan mikroorganisme patogen
umumnya mengurangi efisiensi disinfektan. Sel bakterial, partikel viral
dan kista protozoa di dalam gumpalan sangat terlindung dari aksi
disinfektan (Chen, 1985).
9. Kualitas Air
Air yang mengandung zat organik dan unsur lainnya, akan mempengaruhi
besarnya clorine demand sehingga diperlukan konsentrasi klorin yang
makin tinggi.

10. Pengolahan Air
Proses pendahuluan yang dilakukan desinfeksi, misalnya pengendapan dan
filtrasi, akan mempengaruhi hasil akhir yang akan dicapai. Selain itu saat
yang tepat bagi penambahan klorin yang akan mempengaruhi pula akhir
yang akan dicapai.
2.4 Klorinasi
Dari beberapa contoh tersebut, teknik klorinasi meruapakan teknik yang
paling umum digunakan, karena selain harganya yang relatif murah, klorin
juga efektif pada konsentrasi yang rendah, serta dapat membentuk sisa klorin
jika digunakan dalam dosis yang tepat.
Klorinasi merupakan teknik desinfeksi kimiawi yang menggunakan klorin
atau hipoklorit untuk mengoksidasi dan mendesinfeksi untuk menjadikan
suatu sumber air menjadi layak untuk dikonsumsi. Klorin merupakan senyawa
yang baik dijadikan desinfektan, namun dapat dengan mudah menjadi tidak
aktif akibat kotoran. Klorin efektif dalam membasmi bakteri dan berbagai
macam virus yang terdapat dalam air, dan akan menjadi lebih aktif dalam air
yang hangat. Terkadang, larutan klorin dapat mengiritasi kulit dan
menyebabkan korosi pada logam.
2.5 Definisi Klor
Klor, berasal dari bahasa Yunani kloros adalah unsur kimia yang
termasuk ke dalam golongan halogen (Golongan VII) dengan nomor atom 17
dan memiliki massa atom 35,453. Klor bersifat sangat reaktif dan merupakan
oksidator yang kuat dan mudah bereaksi dengan berbagai unsur. Unsur ini
bukan logam, tetapi berupa gas berwarna kuning kehijauan, memiliki titik
beku -103C dan titik didih -34,6C. Ditemukan oleh K. Scheele membentuk
banyak senyawa mineral padat. Logam klorida sering diperoleh dengan
penguapan air laut dan endapan garam. Dapat diperoleh dengan cara
elektrolisis dan oksidasi senyawa. Penggunaan klor dan senyawanya yaitu
sering digunakan sebagai bahan pemutih, desinfektan, bahan baki kimia, obat
antiseptic, pestisida, herbisida, obat-obatan, makanan pelarut, bahan peledak,
korek api, cat, plastic, dan tekstil. Lebih kurang 0,15% tubuh manusia tersusun
oleh senyawa ini. Klor merupakan unsur yang sangat beracun, simbol
kimianya adalah Cl.
2.6 Jenis Senyawa Klorin
Bentuk Gas
Klor dalam suhu kamar berbentuk gas (Cl
2
) dianggap sebagai bahan yang
aktif, berwarna kuning kehijauan, dan merupakan oksidator yang kuat dan
mudah bereaksi dengan unsur. Klor termasuk ke dalam unsur golongan
halogen (Golongan VII). Penggunaannya sebagai bahan desinfeksi untuk
air minum masih perlu penanganan yang lebih efektif mengingat daya
reaktifitas dan toksisitasnya yang tinggi. Klor dalam bentuk gas dapat
diperoleh dengan mengekstraksi larutan garam NaCl dengan cara
elektrolisis. Proses elektrolisa larutan garam ini dapat diuraikan sebagai
berikut :

Bentuk Ion

Dalam bentuk ion klorida (Cl
-
), unsur ini merupakan pembentuk garam
dan senyawa lain yang tersedia di alam dalam jumlah yang sangat
berlimpah dan diperlukan untuk pembentukan hampir semua bentuk
kehidupan, termasuk manusia. Cl
-
merupakan ion yang tidak aktif,
sehingga tidak dapat berfufungsi sebagai pembasmi mikroorganisme.
Secara alami, klorin terdapat dalam bentuk ion klorida dengan jumlah
relatif jauh lebih besar dibandingkan ion-ion halogen lainnya

Bentuk Cair atau Padat
Pada suhu 340C, klorin berbentuk cair dan pada suhu 1030C berbentuk
padatan kristal kekuningan. Dalam bentuk cair atau padat, klor sering
digunakan sebagai oksidan, pemutih, atau desinfektan.

2.7 Mekanisme Cara Kerja Klor
Klor dapat menyebabkan dua jenis kerusakan pada sel bakteri. Kerusakan
tersebut diantaranya :
Perusakan kemampuan permeabilitassel (disruption of cell
permeability).
Klor bebas merusak membran dari sel bakteri, hal ini menyebabkan sel
kehilangan permeabilitasnya (kemampuan menembus) dan merusak fungsi
sel lainnya. Pemaparan pada klor menyebabkan kebocoran protein, RNA
dan DNA. Sel mati merupakan hasil pelepasan TOC dan material yang
menyerap sinar UV, pengurangan pengambilan (uptake) potasium dan
pengurangan sintesis protein dan DNA. Perusakan kemampuan
permeabilitas merupakan juga penyebab perusakan spora bakteri oleh klor
(Bitton,1994).
Perusakan asam nukelat dan enzim (Damage to nucleic acids and
enzymes).
Klorin merusak juga asam nukleat bakteri, demikian pula enzym. Salah
satu akibat pengurangan aktivitas katalis adalah penghambatan oleh
akumulasi hidrogen peroxida. Cara kerja klor terhadap virus tergantung
pada jenis virus. Perusakan asam nukleat merupakan cara utama pada
inaktivasi bakteri phage 12 atau poliovirus tipe 1. Pelapis protein
merupakan sasaran untuk virus jenis lain (Bitton ,1994).

2.8 Residu Klor
2.8.1 Klor Bebas (Free Chlorine)
Setiap jenis klor yang ditambahkan ke dalam air akan menghasilkan
bentuk asam hipoklorus (HOCl) dan ion hipoklorit (OCl
-
), yang
merupakan senyawa utama dalam mendesinfeksi air.
A form of chlorine + H
2
O HOCl + OCl
-
Asam hipoklorus merupakan asam lemah dan terdisosiasi menurut
reaksi berikut :
HOCl H
+
+ OCl
-

Diantara kedua bentuk tersebut (asam hipoklorus dan ion hipoklorit),
asam hipoklorus merupakan yang paling efektif. Jumlah masing-masing
senyawa tersebut yang muncul/terbentuk pada air bergantung pada tingkat
pH air sebelum ditambahkan klor. Pada pH yang lebih rendah, asam
hipoklorus akan lebih dominan.

Gambar 2.3 Pengaruh keberadaan ion hipoklorit dan asam hipoklorit
terhadap tingkat pH
Kombinasi dari asam hipoklorus dan ion hipoklorit disebut dengan
klor bebas (free chlorine). Klor bebas memiliki potensial oksidasi yang
tinggi dan lebih efektif dibandingkan dengan bentuk klor lainnya, seperti
kloramin. Potensial oksidasi merupakan pengukuran seberapa cepat
senyawa tersebut bereaksi dengan senyawa lain. Senyawa dengan
potensial oksidasi yang tinggi menandakan bahwa banyak jenis senyawa
yang dapat bereaksi dengan senyawa tersebut. Dapat pula berarti bahwa
senyawa tersebut dengan cepatnya dapat tersedia untuk bereaksi dengan
senyawa lain. Klor bebas bereaksi cepat dengan senyawa anorganik dan
lebih lambat jika bereaksi dengan senyawa organik.
2.8.2 Klor Terikat (Combined Chlorine)
Klor terikat (combined chlorine) merupakan kombinasi senyawa
nitrogen organik dengan kloramin, yang dihasilkan dari reaksi antara
klorin dan amonia. Kloramin juga merupakan desinfektan yang efektif
seperti halnya klor bebas, namun tidak seefektif klor bebas dan memiliki
potensial oksidasi yang lebih rendah. Karena reaksi dengan amonia
membentuk kloramin (bukan klor bebas), amonia merupakan kandungan
yang tidak diinginkan pada proses pengolahan air, namun bisa saja
ditambahkan pada akhir pengolahan untuk membentuk kloramin sebagai
desinfektan kedua (secondary disinfectant), yang dapat tinggal pada sistem
lebih lama daripada klor karena sifatnya yang lebih stabil, untuk menjamin
air minum bersih di seluruh sistem distribusi. Reaksi yang terjadi antara
klor dengan amonia adalah sebagai berikut :
Ammonia + Hypochlorous Acid Monochloramine + Water
NH
3
+ HOCl NH
2
Cl + H
2
O
Monokloramin dapat berekasi dengan asam hipoklorus untuk
membentuk dikloramin
Monochloramine + Hypochlorous Acid Dichloramine + Water
NH
2
Cl + HOCl NHCl
2
+ H
2
O
Dikloramin dapat bereaksi dengan asam hipoklorus untuk
membentuk trikolramin
Dichloramine + Hypochlorous Acid Trichloramine + Water
NHCl
2
+ HOCl NCl
3
+ H
2
O
Selain dengan sengaja ditambahakn ke dalam air pada proses
pengolahan, amonia dapat pula berasal dari hasil oksidasi zat organik
sebagai kontaminan ataupun terkandung di sumber air, misalnya air
permukaan.
Proses pembentukan kloramin bergantung pada lamanya waktu
kontak dan juga level pH. Semakin tinggi pH, reaksi yang terjadi akan
semakin cepat.
Total residu klor merupakan gabungan antara klor bebas dan klor
terikat. Klor bebas tidak memiliki bau yang mengganggu, sedangkan
kloramin memiliki bau yang tidak sedap.
2.8.3 Klor yang Dibutuhkan (Chlorine Demand)
Jumlah klor yang dibutuhkan untuk proses desinfeksi bergantung
pada tingkat pengotor yang terdapat di dalam air yang akan diolah. Klor
yang ditambahkan pertama-tama akan bereaksi dengan pengotor di dalam
air, kemudian barulah muncul residu klor. Jumlah klor yang dibutuhkan
untuk menghilangkan semua pengotor disebut dengan kebutuhan klor
(chlorine demand). Dapat pula dikatakan sebagai klor yang dibutuhkan
sebelum klor bebas diproduksi.
2.9 Breakpoint Klorinasi
Breakpoint merupakan suatu titik dimana kebutuhan klor telah terpenuhi
seluruhnya klor telah bereaksi dengan seluruh agen pereduksi, zar organik,
dan amonia di dalam air. Apabila ada penambahan klor setelah melewati
breakpoint, klor tersebut akan bereaksi dengan air membentuk asam
hipoklorus. Grafik di bawah ini menunjukkan proses apa saja yang terjadi
ketika klor ditambahkan ke dalam air.

Gambar 2.4 Grafik penentuan breakpoint (dosis klorin vs klor aktif) dan
proses yang terjadi pada tiap zona
Pada zona I, klor (Cl
-
) dioksidasi menjadi klorida (Cl
2
) oleh senyawa-
senyawa pereduksi, seperti H
2
S. Fe
2+
, dll. Pada zona II, klor bereaksi dengan
zat organik dan amonia jika air tersebut mengandung amonia, sehingga akan
terbentuk klor terikat-kloramin. Pada zona III, yaitu breakpoint, reaksi telah
selesai, zat organik dan amonia telah habis, dan terbentuk gas nitrogen (N
2
)
yang kemudian dilepaskan ke lingkungan. Pada zona IV, akan terbentuk klor
bebas akibat kelebihan klor setelah melewati breakpoint. Daya pembasmian
bakteri pada sisi kanan breakpoint 25 kali lebih besar daripada sisi kiri.
2.10 Toksikologi (Sifat Racun) Senyawa Klor dan Hasil Samping
Senyawa Klor
Secara umum resiko adanya bahan kimia dalam air tidak sejelas adanya
mikroorganime patogen. Hal ini disebabkan kurangnya data hasil samping
proses desinfeksi. Sifat racun senyawa klor dan hasil sampingnya (by
products) merupakan hal yang penting untuk diketahui. Sekitar 79 % dari
populasi di USA terpapar oleh klor yang berasal dari air minum (US EPA
1989). Ada keterkaitan antara klorinasi air minum dengan dengan
meningkatnya risiko kanker usus. Keterkaitan ini sangat kuat untuk konsumen
yang terpapar air yang diklorinasi selama lebih dari 15 tahun (Craun, 1988).
Trihalomethan (THM) seperti kloroform, diklorometan,
bromodiklorometan, dibromo-klorometan, bromoform, 1,2 dikloroetan, dan
karbon tetraklorida merupakan senyawa klor yang dihasilkan akibat proses
klorinasi air. Senyawa senyawa tersebut bersifat karsinogen. Kemungkinan
pula ada hubungan antara klorinasi air dengan meningkatnya risiko
cardiovascular namun masih perlu diteliti lagi (Craun, 1988). Pengetahuan ini
mendorong U.S EPA untuk menentukan batas kandungan maximum (MCL)
THM sebesar 100 g/l.
Pengolahan air dengan kloramin tidak menghasilkan trihalometan, oleh
sebab itu konsumen yang meminum air yang diolah dengan kloramin
menunujukkan penurunan penyakit kanker dibandingkan mengkonsumsi air
yang diolah dengan proses klorinasi (Zierler, 1987).
Ada beberapa pendekatan untuk mengontrol dan mengurangi
trihalometan (THM) dalam air minum adalah sebagai berikut (Wolfe, 1984) :
Menghilangkan senyawa senyawa penyebab terbentuknya THM
sebelum dilakukan klorinasi. Terdapat hubungan yang kuat antara total
senyawa yang berpotensi membentuk senyawaTHM dengan total
karbon organik(TOC) di dalam air.
Menghilangakan senyawa THM yang telah terjadi dengann cara
adsorbsi dengan menggunakan filter karbon aktif.
Menggunakan alternatif disinfektan yang lain untuk proses desinfeksi
yang tidak menimbulkan THM (misal kloramin, ozon atau ultra
violet).
2.11 Pengukuran Jumlah Klor yang Dibutuhkan
Kebutuhan akan jumlah klor yang dibubuhkan ke dalam suatu
pengolahan air akan berbeda antara sumber air yang satu dengan sumber air
yang lain, bahkan dalam satu sumberpun dapat berbeda kebutuhannya,
tergantung pada faktor lingkungan, seperti pH, suhu, waktu kontak, dll.
Pengujian yang dilakukan untuk mengetahuinya harus menggunakan klor,
dalam bentuk apapun, sesuai dengan yang akan digunakan pada pengolahan
yang sesungguhnya.
Pengukuran klor yang dibutuhkan dapat dilakukan dengan
memperlakukan serangkaian sampel air dengan penambahan variasi dosis
klor yang berbeda-beda. Penentuan klor yang dibutuhkan akan diperlihatkan
pada suatu titik dari grafik (klor aktif vs klor yang dibubuhkan), dimana pada
titik tersebut telah terpenuhi seluruh kebutuhan klor untuk menghilangkan zat
pengotor dan amonia yang terkandung di dalam air (breakpoint).
2.12 Metode Penentuan Total Klor Residu
Metode yang paling umum dalam menentukan total klor residu yaitu
metode iodometri. Iodometri merupakan suatu analisa titrimetrik secara tidak
langsung untuk zat yang bersifat oksidator, seperti besi III, tembaga II,
dimana zat ini akan mengoksidasi iodida yang ditambahkan membentuk
iodium. Iodium yang terbentuk akan ditentukan dengan menggunakan larutan
baku tiosulfat. Reaksi yang terjadi antara klor dengan iodida adalah sebagai
berikut :
Cl
2
+ 2I
-
I
2
+ 2Cl
-

Iodium yang terbentuk apabila ditambahkan dengan amilum akan
membentuk warna biru pada larutan
I
2
+ amilum blue color (qualitative test)
Artinya, dengan timbulnya warna biru pada larutan mengindikasikan
bahwa terdapat residu klor, tetapi tentu saja tidak dapat menunjukkan jumlah
residu klor tersebut.
Jumlah residu klor dapat ditentukan dengan mentitrasi iodin yang
terbentuk tadi dengan larutan standar. Larutan standar yang biasa digunakan
sebagai reagent yaitu natrium tiosulfat, yang pada produk akhir dari titrasinya
adalah hilangnya warna biru.
I
2
+ 2Na
2
S
2
O
3
Na
2
S
4
O
3
+ 2NaI
Metode iodometri ini cocok digunakan untuk mengukur total residu
klor yang memiliki konsentrasi lebih besar dari 1 mg/l.
2.13 Dampak Klor Terhadap Kesehatan=
Dampak akibat klor terhadap tubuh manusia tergantung pada
konsentrasi klor yang terdapat dalam air, serta lama dan frekuensi masuknya
klor ke dalam tubuh manusia. Mengkonsumsi air yang mengandung klor
yang melebihi standar yang diperbolehkan dapat menyebabkan iritasi pada
mata dan kulit, serta dapat menyebabkan rasa yang tidak nyaman pada perut
dan dapat pula terakumulasi pada paru-paru. Oleh karena itu terdapat standar
yang harus dipenuhi untuk menghindari dampak-dampak tersebut. Untuk
lebih jelasnya, dampak klor berdasarkan rentang dosis yang terkandung di
dalam air dapat dilihat pada tabel berikut :
Dosis Klorin Dampak
0.2 0.4 ppm Mengganggu indera pembau dalam beberapa waktu
1 3 ppm
Iritasi membran mukosa, mampu ditoleransi kurang lebih
satu jam
5 15 ppm Iritasi pada sistem pernafasan
30 ppm Sakit dada, sulit bernapas, muntah, dan batuk
40 60 ppm Beracun, pneumonitis and pulmonary edema
430 ppm Letal lebih dari 30 menit
1000 ppm Fatal dalam waktu beberapa menit
Tabel 2.1 Dampak klorin dengan dosis tertentu
Berdasarkan Permenkes Nomor 492 tahun 2010 mengenai Persyaratan
Kualitas Air Minum, kadar klor yang diperbolehkan yaitu sebesar 5 mg/l

Gambar 2.5 Batas maksimum klor untuk air minum berdasarkan Permenkes
No.492 tahun 2012
Sedangkan, berdasarkan ketentuan USEPA MRDL, batas aman
keberadaan klor dalam air minum adalah 4 mg/l.

Gambar 2.6 Batas maksimum klor untuk air bersih berdasarkan
Peratiran Pemerintah Nomor 82 tahun 2001
Sedangkan, untuk standar air bersih yang peruntukannya dibedakan atas
4 kelas, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001 tentang
Kualitas Air Bersih, suatu air dikatakan sebagai air yang bersih yaitu apabila
kadar klor bebasnya maksimum 0.03 mg/l.
2.14 Aplikasi Klorin
Klorin digunakan secara luas dalam berbagai bidang produksi, termasuk
produksi kertas, bahan pencelup, tekstil, produk peminyakan, farmasi,
aseptic, insektisida makanan, pelarut, cat dan produk- produk lainnya.
Kebanyakan klorin yang diproduksi digunakan dalam pembuatan komponen
klorinasi untuk sanitasi, penjernih limbah dan desifektan. Klorin pertama kali
digunakan sebagai desinfektan untuk pengolahan limbah pada tahun 1908 di
Amerika Serikat. Klorin adalah pengoksidasi kuat. Di dalam air, klorin
terhidrolisis membentuk asam hipoklorus (HOCl) (Cheremisinoff et al., 1981,
diacu dalam Harianja 2005). Kegunaan klorin antara lain adalah :
1. Disinfektan
Klorin digunakan untuk desinfeksi air termasuk air untuk mandi, kolam
renang dan juga air minum. Klorin digunakan sebagai desinfektan air minum
karena mempunyai efek dapat membunuh bakteri E. Coli serta Giardia dan
harganya murah. Penambahan klorin pada air minum dimulai sejak tahun
1800. Sejak tahun 1904, penambahan klorin pada air minum menjadi standar
yang harus dipenuhi penyedia layanan air minum hingga sekarang. Cairan
klorin juga dapat digunakan sebagai cairan pembersih alat-alat rumah tangga.
Di bidang kesehatan, larutan klorin 0,5% telah sejak lama digunakan untuk
dekontaminasi alat-alat bedah seperti jahit set dan partus set.
2. Pemutih
Pada proses produksi kertas dan pakaian, klorin digunakan sebagai
cairan pemutih (bleaching). Di pasaran, klorin dikemas sebagai agen pemutih
pakaian dengan berbagai merk. Bahan dasar dari pemutih ini dibuat dari
natrium hidroksida dan gas klor (gas klorin dialirkan ke dalam larutan
natrium hidroksida sehingga membentuk natrium hipoklorit NaOCl yang
disebut zat pemutih)
3. Senjata kimia
Sifat klorin yang dapat menyebabkan iritasi membuat klorin dapat
digunakan sebagai senjata.
4. Bidang Pertanian
Pestisida dari kelompok organoklorin merupakan pestisida yang
mengandung klorin yaitu dikloro difenil trikloroetana (DDT), metoksklor,
aldrin dan dieldrin. DDT merupakan pestisida yang pertama kali dihasilkan.
5. Industri Kimia dan Industri Lainnya
Pemakaian klorin dalam berbagai industri dapat dijumpai, misalnya
pada produk yang berbahan dasar plastik, seperti poly vinyl chloride (PVC).
Selain itu juga pada produk pelarut (solvent), dry cleaning, dan berbagai
produk lainnya yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, seperti
lem, semen, dan pembungkus. Dalam Chlorine Chemistrys Role in Our
Daily Lives disebutkan bahwa penggunaan klorin terbesar adalah untuk
produksi Vinyl (PVC) sebesar 34%, bahanbahan organik 21%, pelarut
klorinasi 6%, pulp dan kertas 6%, pengolahan air 6%, dan untuk lain-lain
27%. Gambar 1 menunjukkan penggunaan klorin dalam berbagai produk, di
mana gambar tersebut merupakan bagian kecil yang diambil dari bagan
pohon produkproduk klorin (Products of the Chlorine Tree) yang terdapat
dalam Chlorine Chemistrys Role in Our Daily Lives.
6. Bidang Pembangkit Listrik
Pada pembangkit listrik seperti Pembang-kit Listrik Tenaga Uap
(PLTU) dan Pembang-kit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), pemakaian klorin
yang digunakan pada sistem pendingin (cooling system) sebagai pengontrol
biological fouling. Untuk PLTU yang menggunakan air sungai maupun air
tanah sebagai pendingin, klorin digunakan sebagai bioside untuk mengatasi
fouling mussels. Pada PLTU yang menggunakan air laut sebagai pendingin,
biasanya dilengkapi dengan unit klorinasi (chlorination plant).
Fungsi klorin di sini adalah untuk mencegah tumbuhnya alga yang
menjadi nutrisi tritip (barnacles) pada dinding pipa kondensor. Apabila
terjadi penempelan alga dan tritip pada dinding pipa kondensor, akibatnya
akan mengurangi efisiensi kondensor tersebut.
Tujuan yang paling mendasar dari penambahan klorin tersebut adalah
untuk menciptakan suatu kondisi yang bertentangan dengan kondisi
lingkungan hidup organisme laut, sehingga mereka tidak dapat tumbuh dan
berkembang. Penambahan klorin ini juga ada yang bersifat kontinyu maupun
dengan kejutan (frekuensi waktu). Penambahan klorin pada kepala pipa
intake secara kontinyu, akan efektif dalam mengontrol moluska, alga, slime
dan weed, serta mencegah kerang/tritip mengendap di pipa. Penambahan
klorin dekat dengan kepala house pump adalah untuk menjaga air agar bebas
dari biofouling.



3. ALAT DAN BAHAN
Alat :
Buret 25 ml
Pipet 5 ml, 1 ml
Kertas pH
Karet penghisap (bulb)

Bahan :
Asam asetat (glacial) yang pekat
Kalium Iodida (KI) kristal (hablur)
Standar natrium tiosulfat (Na
2
S
2
O
3
0.1 N)
Indikator amilum

4. PROSEDUR










Siapkan 9
buah botol
winkler, beri
label 1- 9.
Masukkan
100 ml
sampel ke masing-
masing botol
Tambahkan
kaporit sebanyak
0.5; 1; 1.5; 2; 2.5;
3; 3.5 ml ke dalam
botol 1 7,
kemudian
homogenkan dan
diamkan 30 menit
Tentukan
konsetrasi
klor aktif
(Ambil 1 botol)
Tambahkan 5
ml asam asetat,
aduk agar pH
merata (3-4)
cek dengan
kertas pH

Tambahkan
1 gr KI, aduk
(larutan akan
berwarna
kuning)























Titrasi dengan
Na
2
S
2
O
3
0,1 N
hingga kuning
seulas (warna
kuning hampir
hilang)
Tambahkan
3 tetes
amilum
(larutan akan
berwarna
biru)



Titrasi dengan
Na
2
S
2
O
3
0,1 N
warna biru
hilang

Lakukan
langkah-langkah
tersebut untuk
botol 2 7
BLANKO






















Tambahkan
3 tetes
amilum
Masukkan
100 ml air
suling ke
dalam
botol winkler
Tambahkan 5
ml asam asetat,
aduk agar pH
merata (3-4)
cek dengan
kertas pH

Tambahkan
1 gr KI,
homogen
kan



Titrasi dengan
larutan iodine
0.0282 N
hingga warna
biru keluar



Titrasi dengan
Na
2
S
2
O
3
0,01
N warna biru
hilang
Jika volume
iodine >
natriumtiosulfat,
blanko bernilai
negatif





















Plot grafik breakpoint
dengan klor aktif (mg Cl
2
/l
VS mol ClO
-
/l, cari titik
breakpoint untuk mendapat
jumlah klor yang
dibutuhkan




Tambahkan klor
(kaporit) sebanyak
yang dibutuhkan ke
dalam botol 8 & 9
8
9
9
8
Diamkan 5 menit
Diamkan 2 jam
Tentukan
konsetrasi
klor aktif
Tentukan
konsetrasi
klor aktif
5. PENGOLAHAN DATA
5.1 Data Pengamatan
Botol 1 7
Tabel 5.1 Data pengamatan volume titran untuk botol 1-7
Titrasi 1 (ml) Titrasi 2 (ml)
Botol 1 0.9 0.35
Botol 2 0.9 0.5
Botol 3 1.1 0.65
Botol 4 3.22 0.58
Botol 5 5.4 0.6
Botol 6 6.95 0.6
Botol 7 8.83 0.47

Blanko
Tabel 5.2 Data pengamatan volume titran untuk blanko
Titrasi Iodine
(ml)
Titrasi Na2S2O3
(ml)
0.15 0.33

Botol 8 & 9
Tabel 5.2 Data pengamatan volume titran untuk botol 8 & 9

Titrasi 1 (ml) Titrasi 2 (ml)
Botol 8 10.3 0.92
Botol 9 9.2 1.53

Keterangan :
Titrasi 1 : Titrasi dengan Na
2
S
2
O
3
hingga warna larutan
kuning seulas
Titrasi 2 : Titrasi dengan Na
2
S
2
O
3
hingga warna biru larutan hilang
5.2 Pengolahan Data
Data volume titran yang diperoleh dari percobaan digunakan untuk
menghitung besar klor aktif, dengan rumus sebagai berikut :


( )


dengan :
A : Volume titran Na
2
S
2
O
3
untuk sampel (ml)
B : Volume titran Na
2
S
2
O
3
untuk blanko (ml) [bisa bernilai +/-]
N : Normalitas larutan titran Na
2
S
2
O
3
(N)
35453 : berat molekul Cl
2

fp : Faktor pengenceran
V : Volume sampel (ml)

Volume titran Na
2
S
2
O
3
yang Digunakan
Volume titran Na
2
S
2
O
3
yang dimasukkan ke dalam perhitungan
merupakan jumlah dari proses titrasi 1 dan titrasi 2
Titrasi 1 (ml) Titrasi 2 (ml) Jumlah (ml)
Botol 1 0.9 0.35 1.25
Botol 2 0.9 0.5 1.4
Botol 3 1.1 0.65 1.75
Botol 4 3.22 0.58 3.8
Botol 5 5.4 0.6 6
Botol 6 6.95 0.6 7.55
Botol 7 8.83 0.47 9.3
Botol 8 10.3 0.92 11.22
Botol 9 9.2 1.53 10.73
Blanko 0.33

Konsentrasi Klor Aktif (Botol 1 7)
Dikarenakan volume iodine yang digunakan untuk mentitrasi
blanko lebih kecil daripada volume Na
2
S
2
O
3
, maka blanko bernilai
positif.
Normalitas larutan standar Na
2
S
2
O
3
yang digunakan pada
percobaan ini tidak tepat 0.01 N, melainkan 0.0098 N.
Botol 1


( )



Botol 2


( )



Botol 3


( )



Botol 4


( )



Botol 5


( )



Botol 6


( )



Botol 7


( )






Grafik
Selanjutnya, hasil perhitungan yang diperoleh diplot dalam sebuah
grafik, yaitu grafik klor aktif VS klor yang dibubuhkan.

Grafik 5.1 Klor aktif VS klor yang dibubuhkan dalam bentuk Ca(ClO)
2
(kaporit)
Jumlah Klor yang Ditambahkan
Jumlah klor yang ditambahkan ke dalam botol 8 dan 9 yaitu ketika pada
grafik, proses telah mencapai breakpoint. Namun, seperti yang terlihat
pada grafik 5.1, titik breakpoint tersebut belum tercapai, sehingga jumlah
klor yang ditambahkan pada botol 8 dan 9 yaitu sebanyak 3.5 ml (titik
terakhir kurva)
Konsentrasi Klor Aktif (Botol 8 & 9)
Botol 8
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
35.00
0 1 2 3 4
K
l
o
r

A
k
t
i
f

(
m
g
/
l
)

Kaporit (ml)
Klor Aktif VS Klor Dibubuhkan


( )



Botol 9


( )



Kadar klor aktif yang terbentuk pada larutan kemudian dibandingkan
berdasarkan waktu detensinya. Hubungan tersebut dapat dilihat dari graik
berikut :

Grafik 5.2 Pengaruh waktu detensi terhadap kadar klor aktif




0
5
10
15
20
25
30
35
40
0 20 40 60 80 100 120 140
K
a
d
a
r

K
l
o
r

A
k
t
i
f

(
m
g
/
l
)

Waktu Detensi (menit)
Grafik Pengaruh Waktu Detensi terhadap
Kadar Klor Aktif


6. ANALISA
6.1 Analisa Praktikum
Praktikum analisa klor aktif dengan menggunakan metode iodometri
ini bertujuan untuk menentukan jumlah klor yang dibutuhkan untuk air
baku dengan kualitas tertentu sehingga tercapai titik breakpoint
chlorination (BPC).
Sampel air yang akan diuji kadar klor aktifnya pada praktikum kali
ini adalah air hujan yang telah melewati talang air (tidak langsung dari
langit). Air hujan ini berasal dari wilayah Kukusan Teknik, Beji, Depok.
Pengambilan air hujan dilakukan dengan cara ditampung pada botol
plastik transparan yang diletakkan tepat di bawah talang air, yang
sebelumnya telah dibilas menggunakan air hujan tersebut agar tidak
terdapat kontaminan lain yang berasal dari luar. Air tersebut diambil
sebanyak 1.5 liter pada dua hari sebelum praktikum dan diletakkan di
tempat yang terpapar sinar matahari.
Keadaan fisik air tersebut keruh berwarna agak hijau kekuningan.
Kekeruhan dalam air disebabkan adanya senyawa anorganik (misal
lumpur, tanah liat, oksida besi) dan zat organik serta sel-sel mikroba.
Senyawa-senyawa tersebut kemungkinan besar terkontaminasi ke dalam
air hujan pada proses transportasi air melalui genting kemudian melewati
talang air, dimana keadaan genting dan talang air itu sendiri tidak bersih,
banyak debu dan pengotor-pengotor lainnya. Kontaminan dapat pula
berupa gas-gas yang mengkontaminasi ketika air melewati atmosfer,
seperti nitrogen, nitrat, karbondioksida, amonia.
Air sampel yang digunakan masih dalam keadaan alami, tidak ada
perlakuan apapun, termasuk penambahan kaporit ke dalamnya. Dengan
kondisi yang terpapar sinar matahari, suhu menjadi tidak stabil dan bakteri
di dalam air hujan yang mungkin tergolong bakteri fotoautotrof
memanfaatkan sinar matahari tersebut untuk mendapatkan energi,
sehingga mempengaruhi pertumbuhannya.
Praktikum ini diawali dengan memasukkan 100 ml sampel air ke
dalam 9 buah botol winkler. Penggunan winkler ini dimaksudkan agar
proses pencampuran larutan yang akan dilakukan pada percobaan ini lebih
mudah. Selanjutnya, ditambahkan kaporit ke dalam botol 17 sebanyak
0.5; 1; 1.5; 2; 2.5; dan 3 ml, kemudian dihomogenkan dan didiamkan
selama 30 menit.
Kaporit (Ca(ClO)
2)
merupakan senyawa kimia yang bersifat korosif
pada kadar tinggi, dan pada kdar rendah dapat dimanfaatkan sebagai
desinfektan. Kaporit merupakan desinfektan yang umum digunakan untuk
membunuh mikroorganisme patogen, seperti Escherichia coli, Legionella,
Pneumophilia, Streptococcus,Facalis, Bacillus, Clostridium, Amoeba,
Giardia, Cryptosporidium, dan Pseudomonas (Anonim. 2008). Pada
praktikum ini, kaporit tersebut berfungsi sebagai desinfektan pembasmi
mikroorganisme, tepatnya sebagai sumber klor yang ditambahkan pada air.
Klor yang dimasukkan ke dalam air, pertama kali akan mereduksi
senyawa anorganik dan senyawa organik, lalu kemudian berfungsi sebagai
desinfektan (Spellman, 2003). Ketika dilarutkan ke dalam air, kaporit akan
berubah menjadi asam hipoklorit (HOCl) dan ion hipoklorit (OCl
-
), kedua
senyawa tersebutlah yang memiliki sifat desinfektan dan sangat reaktif
terhadap berbagai komponen sel bakteri, yang kemudian disebut sebagai
klor aktif. Reaksi yang terjadi ketika kaporit tersebut ditambahkan ke
dalam air yaitu sebagai berikut :
Ca(OCl)
2
+ 2 H
2
O 2 HOCl + Ca(OH)
2

(kaporit) (asam hipoklorit)
HOCl + H
2
O H
3
O
+
+ OCl
-
(ion hipoklorit)
OCl
-
Cl
-
+ O
(ion klorida)
Ion klorida (Cl
-
) merupakan ion yang tidak aktif, sedangkan Cl
2
,
HOCl, dan OCl
-
dianggap sebagai bahan yang aktif. Asam hipoklorit
(HOCl) yang tidak terurai adalah zat pembasmi yang paling efisien bagi
bakteri (Lestari, dkk.2008).
Larutan didiamkan selama 30 menit untuk memberikan waktu reaksi
antara klor dengan senyawa organik dan inorganik yang terdapat di dalam
sampel air, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya. Setelah 30 menit,
ditambahkan asam asetat 5 ml ke dalam masing-masing botol 1 7.
Penambahan asam asetat ini bertujuan untuk membuat larutan dalam
keadaan asam (pH 3-4), untuk memastikannya, masing-masing larutan
dicek pH nya dengan menggunakan kertas pH.
Terdapat hubungan antara waktu dentensi dengan tingkat pH, seperti
contohnya persamaan yang dikembangkan untuk mengetahui inaktivasi
kista oleh Giardia Lamblia pada proses pengolahan dengan disinfektan
klor (Clark,1989 ; Hibler, 1987) berikut :
C.t = 0,9847 C0,1758 pH2,7519 T-0,1467
Semakin lama waktu detensi (t), maka pH akan semakin tinggi dan
sifat larutan akan semakin basa. Dengan penambahan asam asetat, larutan
terkondisikan dalam keadaan asam sehingga dapat menghasilkan residu
klor asam hipoklorit (HOCl) yang lebih dominan dibanding dengan ion
hipoklorit (ClO
-
), dikarenakan asam hipoklorit lebih efektif karena
sifatnya yang lebih reaktif daripada ion hipoklorit dalam proses desinfeksi,
sedangkan asam hipoklorit tersebut akan terbentuk lebih banyak pada
keadaan larutan yang asam. Selain itu, asam hipoklorit memiliki sifat
dapat menaikkan nilai pH, sehingga pH awal larutan harus dibuat dalam
tingkat yang rendah.
Kemudian, ditambahkan kalium iodida (KI) dalam bentuk bubuk
sebanyak 1 gr ke dalam masing-masing botol 17, lalu dihomogenkan.
Karena metode yang digunakan adalah metode iodometri, maka perlu
ditambahkan iodin, dan KI merupakan sumber iodin tersebut. Metode
iodometri digunakan untuk konsentrasi total klor yang lebih besar dari 1
mg/l, sedangkan jika dilihat dari sumber air dan keadaan fisiknya, dapat
diprediksi bahwa kandungan klornya akan lebih besar dari 1 mg/l. KI
yang ditambahkan akan bereaksi dengan HOCl yang terbentuk dan
melepaskan iodida, sesuai dengan reaksi berikut :
OCl
-
+ 2 KI + 2 HAs I
2
+ 2 KAs + Cl
-
+ 2 H
2
O
Klor mengoksidasi iodin sehingga membentuk iodida. Penambahan
KI ini akan menghasilkan warna kuning pada larutan. Warna kuning
tersebut berasal dari iodida (I
2
) yang terbentuk dari reaksi di atas.
Setelah itu, larutan dititrasi dengan menggunakan larutan standar
Na
2
S
2
O
3
0.0098 N hingga warna kuning menjadi warna kuning seulas.
Titrasi ini hanya dilakukan pada larutan dengan warna kuning yang agak
pekat hingga sangat pekat. Untuk larutan yang telah memiliki warna
kuning seulas tidak perlu dititrasi. Tujuan dari titrasi ini adalah untuk
meminimalisasi jumlah iodida, karena dalam konsentrasi yang tinggi, jika
ditambahkan dengan amilum, akan terbentuk senyawa kompleks dalam
keadaan stabil (tidak reversibel).
Kemudian dilanjutkan dengan penambahan 3 tetes amilum ke dalam
larutan, yang akan menimbulkan warna biru pada larutan. Penambahan
indikator amilum ini dikarenakan amilum sangat peka dengan keberadaan
iodida dalam larutan, artinya semakin pekat warna biru yang terbentuk,
maka semakin banyak jumlah iodida yang terdapat pada larutan.
Selanjutnya, larutan tersebut dititrasi kembali dengan larutan standar
Na
2
S
2
O
3
0.0098 N hingga warna biru hilang. Titrasi yang dilakukan kedua
kalinya ini bertujuan untuk mereduksi iodida pada larutan, sehingga
terbentuk iodin kembali. Reaksi yang terjadi yaitu :
Na
2
S
2
O
3
+ I
2
NaI +Na
2
S
4
O
6

Saat warna biru tepat hilang, artinya iodida pada larutan tersebut
telah habis tereduksi, sehingga jumlahnya dapat diketahui dari jumlah
titran yang digunakan untuk titrasi. Dengan mengetahui jumlah iodida,
dapat pula diketahui jumlah klor aktifnya, berdasarkan reaksi yang telah
dijelaskan sebelumnya, yaitu :
OCl
-
+ 2 KI + 2 HAs I
2
+ 2 KAs + Cl
-
+ 2 H
2
O
Dapat dilihat pada reaksi tersebut I
2
dan Cl
-
memiliki jumlah mol
yang sama, yaitu satu mol. Sehingga, berdasarkan persamaan kimia, kedua
unsur tersebut setara dan memiliki konsentrasi yang sama pula.
Langkah-langkah yang dilakukan dari mulai titrasi pertama hingga
titrasi kedua harus dilakukan sampai selesai untuk satu buah botol terlebih
dahulu, baru kemudian melakukan langkah-langkah yang sama untuk 6
botol lainnya.
Jumlah Na
2
S
2
O
3
yang digunakan pada titrasi pertama dan kedua
kemudian dijumlah, dan digunakan dalam perhitungan konsentrasi klor
aktif. Hasil perhitungan klor aktif tersebut kemudian di plot dalam grafik
klor aktif vs klor yang dibubuhkan. Dari grafik tersebut kemudian
ditentukan titik breakpoint untuk menentukan berapa banyak klorin yang
dibutuhkan. Namun, dikarenakan pada praktikum ini praktikan tidak
mendapatkan titik breakpointnya, maka jumlah klor yang akan
ditambahkan untuk percobaan selanjutnya digunakan jumlah klor pada
titik kurva terakhir, yaitu 3.5 ml.
Selanjutnya, dilakukan perlakuan untuk blanko sebagai pembanding.
Pertama-tama, air kran dimasukkan ke dalam botol winkler sebanyak 100
ml, kemudian ditambahkan asam asetat 5 ml, KI 1 gr, dan 3 tetes amilum.
Jika setelah diberi amilum muncul warna biru pada larutan, selanjutnya
larutan tersebut dititrasi dengan Na
2
S
2
O
3
0.0098 N, sedangkan jika tidak,
larutan tersebut dititrasi dengan larutan iodin 0.0282 N hingga tepat
muncul warna biru pada larutan. Kemudian, larutan tersebut ditirasi
kembali dengan Na
2
S
2
O
3
0.0098 N hingga warna biru hilang. Blanko yang
dikerjakan oleh praktikan tidak muncul warna biru setelah penambahan 3
tetes amilum. Hal ini dapat dikarenakan oleh air kran tersebut tidak
mengandung iodin, oleh karena itu dititrasi oleh larutan iodin hingga
muncul warna biru, yang artinya pada larutan tersebut terdapat unsur
iodida. Jika iodida telah diketahui, klor dapat diketahui dengan mentitrasi
dengan Na
2
S
2
O
3
0.0098 N hingga warna biru hilang, yang artinya iodida
pada larutan telah habis bereaksi.
Setelah mengetahui berapa ban
yak jumlah klor yang dibutuhkan, percobaan dilanjutkan dengan menambahkan
sejumlah klor tersebut ke dalam masing-masing botol 8 dan 9 yang sebelumnya
telah diisi dengan 100 ml sampel. Selanjutnya, untuk botol 8 didiamkan selama 5
menit dan untuk botol 9 didiamkan selama 2 jam, untuk kemudian dicek
konsentrasi klor aktifnya mengikuti langkah-langkah yang sama dengan
sebelumnya.
Jika pada percobaan sebelumnya, yang dilakukan pada botol 17
bermaksud untuk mengetahui banyaknya klor yang dibutuhkan untuk
menghilangkan kandungan oraganik, anorganik, dan amilum pada sampel,
percobaan yang dilakukan pada botol 8 dan 9 ini bertujuan untuk
mengetahui keefektifan kerja klor terhadap waktu kontak.
6.2 Analisa Hasil
Hasil yang diperoleh dari pengolahan data yaitu kadar klor aktif atau
residu klor dari variasi penambahan kaporit ke dalam larutan. Kadar klor
aktif berdasarkan jumlah kaporit yang dimasukkan, sebagai berikut :
Kaporit (ml) Kadar Klor Aktif (mg/l)
0.5 3.20
1.0 3.72
1.5 4.93
2.0 12.06
2.5 19.70
3.0 25.09
3.5 31.17

Klor aktif yang diperoleh merupakan total residu klor yang
dihasilkan setelah kebutuhan klor terpenuhi. Perhitungan di atas bertujuan
untuk menentukan jumlah klor yang dibutuhkan untuk menghilangkan
senyawa-senyawa organik, anorganik, dan amonia yang terdapat dalam
larutan (breakpoint). Untuk menentukan breakpoint tersebut, hasil
perhitungan kadar klor aktif di plot dalam grafik yang ditinjau dari jumlah
kaporit yang ditambahkan (Grafik 5.1)
Dari grafik 5.1, tidak didapatkan titik breakpointnya. Breakpoint
pada grafik ditandai dengan adanya titik balik penurunan dan kenaikan
kurva.

Jika diperhatikan, grafik 5.1 baru mencapai zona antara titik 2 dan 3,
dimana proses yang terjadi adalah reakasi antara klorin dengan amonia
pada air yang membentuk kloramin. Tidak ditemukannya breakpoint pada
percobaan ini dapat disebabkan oleh kadar amonia yang terlampau banyak,
sehingga dengan kadar klorin yang dibubuhkan sebanyak 3.5 ml, amonia
tersebut belum seluruhnya, sehingga belum dapat terjadi penurunan
kloramin dan pelepasan gas nitrogen, dimana proses tersebut terjadi pada
zona antara titik 3 dan 4, artinya klor yang dibutuhkan seharusnya lebih
banyak dari 3.5 ml. Reaksi pembentukan kloramin pada zona antara titik 2
dan 3, yaitu sebagai berikut :
NH
3
+ HOCl NH
2
Cl + H
2
O
NH
2
Cl + HOCl NHCl
2
+ H
2
O
NHCl
2
+ HOCl NCl
3
+ H
2
O
Selain akibat faktor amonia yang mungkin terlalu banyak dalam
sampel air, dapat pula disebabkan oleh senyawa lain, seperti nitrogen
anorganik maupun organik, besi, mangan, dan hidrogen sulfida. Senyawa-
senyawa tersebut dapat menambah kebutuhan klor dan keberadaannya
dapat menyebabkan penurunan efisiensi proses desinfeksi. Selain senyawa
kimia, kandungan mikroorganisme patogenik pada sampel air juga dapat
menyebabkan kadar klor yang dibutuhkan menjadi tidak mencukupi untuk
mencapai titik breakpoint.
Mikroorganisme yang terkandung dapat merupakan mikroorganisme
yang sangar resisten terhadap desinfektan, terutama mikroorganisme yang
dapat membentuk spora. Jumlah mikroorganisme yang terdapat pada
sampel juga dapat mempengaruhi jumlah klor yang dibutuhkan, kedua
variabel tersebut memiliki hubungan yang saling berbanding lurus. Selain
itu, penyebaran mikroorganisme pada sampel kemungkinan sangat kecil
(mikroorganisme membentuk ikatan dengan materi tersuspensi yang
terdapat di dalam air), sehingga menjadi lebih sulit ditembus oleh
desinfektan.
Oleh karena tidak ditemukannya breakpoint, jumlah klor yang
dibutuhkan untuk ditambahkan dalam proses desinfeksi juga tidak dapat
diketahui, sehingga dalam percobaan selanjutnya untuk menentukan
pengaruh waktu detensi terhadap klor aktif yang terbentuk, digunakan
jumlah klor pada titik terakhir kurva (3.5 ml)
Dengan perlakuan berbeda, dimana botol 8 didiamkan selama 5
menit dan botol 9 didiamkan selama 2 jam, klor aktif yang dihasilkan yaitu
:

Waktu detensi (menit) Klor akttif (mg/l)
5 37.84
30 31.17
120 36.13
Ketiga variasi waktu detensi tersebut kemudian diplot dalam sebuah
grafik (Grafik 5.2). Dari grafik tersebut terlihat bahwa terjadi penurunan
kadar klor aktif pada waktu detensi 30 menit, namun terjadi kenaikan lagi
pada waktu detensi 2 jam. Sedangkan, seharusnya semakin lama waktu
kontak, residu klor/klor aktif yang terdapat pada larutan semakin kecil.
Ketidaksesuaian hasil percobaan dengan teori dapat disebabkan oleh
beberapa hal yang akan dijelaskan pada analisa kesalahan.
Hubungan antara konstanta mikroorganisme yang terpapar oleh klor
(K), konsentrasi klor (C), dan waktu detensi (t), dapat dilihat pada
persamaan : K = C.n.t. Dari persamaan tersebut, terlihat bahwa semakin
besar waktu detensi, semakin kecil konsentrasi klor yang dibutuhkan,
artinya Inaktivasi mikroorganisme patogen oleh senyawa disinfektan
bertambah sesuai dengan waktu kontak dan idealnya mengikuti kinetika
reaksi orde pertama.
Jika ditinjau dari standar baku keberadaan klor sebagai hasil
sampingan proses desinfeksi menurut Permenkes Nomor 492 tahun 2010
mengenai Persyaratan Kualitas Air Minum, yaitu sebesar 5 mg/l, sampel
yang diberikan kaporit sebanyak 0.5 ml 1.5 ml masih memenuhi standar,
sehingga aman untuk dikonsumsi. Sedangkan, pada air dengan
penambahan klor sebanyak 2 ml 3.5 ml, tidak memenuhi standar
tersebut. Air dengan kadar klor berlebih berpotensi mengganggu kesehatan
manusia, seperti yang telah dijelaskan pada landasan teori.
Sedangkan, jika ditinjau dari Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun
2001 tentang Kualitas Air Bersih, seluruh sampel dengan penambahan
kadar kaporit yang berbeda-beda memenuhi syarat kualitas air bersih.
Syarat maksimum klor pada air bersih menurut peraturan pemerintah
tersebut yaitu 0.03 mg/l dengan kebermanfaatan air diantaranya
peternakan, pertanian, sarana umum, dll. Nilai maksimum tersebut berarti
bahwa apabila kadar klor telah lebih besar dari 0.03 mg/l, kandungan
tersebut tidak efektif jika penggunaannya hanya sebagai air bersih saja.
6.3 Analisa kesalahan
Ketidaksesuaian hubungan antara waktu kontak dengan konsentrasi
klor aktif dengan teori yang ada dapat dikarenakan kurang telitinya
praktikan dalam proses titrasi, baik pada titrasi pertama atau kedua dengan
menggunakan larutan Na
2
S
2
O
3
0.0098 N, maupun dengan larutan iodin
0.0282 N.
Pada titrasi pertama dengan Na
2
S
2
O
3
0.0098 N, larutan dititrasi
hingga warna menjadi kuning seulas, sedangkan beberapa larutan yang
praktikan titrasi tidak benar-benar tepat pada warna kuning yang seulas.
Kurang telitinya hasil titrasi ini juga dikarenakan tidak adanya standar
yang pasti tentang warna kuning seulas yang dimaksud. Selain itu, akibat
takut warna kuning menjadi benar-benar hilang, praktikan cenderung
menghentikan proses titrasi ketika warna larutan masih cukup kuning.
Pada titrasi kedua dengan Na
2
S
2
O
3
0.0098 N, titrasi dilakukan
hingga warna biru tepat hilang, sedangkan pada praktikum ini mungkin
saja titrasi yang dilakukan praktikan berlebih, yaitu tidak berhenti pada
saat warna biru tepat hilang. Sedangkan pada titrasi dengan larutan iodin
0.0282 N, yaitu sampai timbul warna biru pada larutan, kesalahan yang
mungkin terjadi yaitu warna biru yang muncul terlalu pekat (tidak benar-
benar tepat ketika warna biru muncul). Dengan berlebihnya titrasi dengan
larutan iodin ini, dapat berpengaruh pada titrasi selanjutnya yaitu dengan
Na
2
S
2
O
3
0.0098 N. Jumlah Na
2
S
2
O
3
yang digunakan untuk titrasi hingga
warna biru tersebut hilang tentu akan lebih besar dan berpengaruh pada
perhitungan klor aktif nantinya.
Selain dari faktor yang terjadi pada saat praktikum, kesalahan dapat
pula disebabkan dari perlakuan awal praktikan terhadap sampel yang
kurang tepat, dari mulai meletakkannya pada tempat yang terpapar sinar
matahari sedangkan botol yang digunakan adalah botol transparan, dan
tempat tersebut juga tidak memiliki suhu yang stabil, sehingga dapat
menimbulkan reaksi-rekasi yang terjadi antar senyawa , baik organik
maupun anorganik, dan mikroorganisme yang terkandung di dalam air,
yang dapat berpeluang meningkatkan jumlah organisme di dalamnya.
7. KESIMPULAN
Kesimpulan yang diperoleh dari praktikum ini, antara lain :
Jumlah klor yang dibutuhkan untuk tepat menghilangkan seluruh senyawa-
senyawa kimia baik organik maupun anorganik, serta mikroorganisme
dalam sampel air hujan yang digunakan tidak dapat ditentukan karena
tidak ditemukannya breakpoint pada percobaan ini.
Tidak didapatkannya breakpoint dapat disebabkan oleh kadar kandungan
kontaminan air hujan yang terlampau banyak untuk dosis klor yang
ditambahkan, atau dapat pula akibat kandungan mikroorganisme resistan
yang dominan terdapat pada sampel tersebut.
Zat-zat pengotor yang juga menyebabkan kekeruhan dapat berpengaruh
terhadap kebutuhan klor karena mikroorganisme yang bergabung dengan
partikel pengotor tersebut bersifat lebih resisten.
Jalur yang dilalui air (genting dan talang) kemungkinan sangat kotor.
Dengan dosis kaporit yang ditambahkan sebanyak 0.5 ml 1.5 ml, sampel
air hujan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai air minum.
Sampel air hujan yang ditambahkan dengan seluruh variasi kaporit
tergolong ke dalam air bersih.
Waktu kontak mempengaruhi kadar klor aktif yang tersisa, yaitu dengan
hubungan semakin lama waktu kontak, klor aktif semakin kecil.



8. DAFTAR PUSTAKA
Modul Praktikum Laboratorium Lingkungan. 2009. Laboratorium Teknik
Penyehatan dan Lingkungan, Program Studi Teknik Lingkungan.
Depok: Universitas Indonesia.

Sawyer, Clair N. Perry L. McCarty. Gene F.Parklin. Chemistry for
Environmental Engineering and Science, Fifth Edition. Mc Graw Hill.

Reynolds, Tom D. Paul A. Richards. Unit Operations and Process in
Environmental Engineering, Second Edition. PWS Publishing
ompany.

Peraturan Menteri Kesehatan No. 492 Tahun 2010 mengenai Persyaratan
Kualitas Air Minum
Joan S.Jeffrey. Santation-Disinfection Basics.
http://animalscience.ucdavis.edu/avian/pfs27.htm. Diakses pada
tanggal 4 November 2012 pukul 05.50
http://water.me.vccs.edu/concepts/chlorchemistry.html. Diakses pada tanggal
4 November 2012 pukul 05.50
Graham Anderson & Geroge Bowman. The Secrets of Breakpoint
Chlorination.http://dnr.wi.gov/regulations/labcert/documents/training
/CL2Breakpoint-c.pdf. Diakses pada tanggal 6 November 2012 pukul
03.00
alchemist08.files.wordpress.com/.../percoba... Diakses pada tanggal 6
November 2012 pukul 08.55
http://id.shvoong.com/exact-sciences/chemistry/2119946-pengertian-klor/.
Diakses pada tanggal 7 November 2012 pukul 08.20
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20807/4/Chapter%20II.pdf.
Diakses pada tanggal 8 November 2012 pukul 12.30

9. LAMPIRAN





Botol winkler 1 7 yang telah diisi Penambahan asam asetat
sampel air ke dalam masing-masing botol





Penimbangan 1 gram KI Penambahan KI ke dalam
masing-masing botol





Warna kuning yang timbul pada Titrasi larutan dengan Na
2
S
2
O
3
larutan setelah penambahan KI 0.098 N hingga warna kuning seulas






Warna biru yang muncul Setelah Larutan dititrasi dengan Na
2
S
2
O
3

ditambahkan indikator amilum 0.098 N kembali hingga bening

Anda mungkin juga menyukai