Anda di halaman 1dari 11

Resep 1

25/7/2011
R/

Furosemid

XXV

S 1-1/2-0
R/

KSR

XV

S 1 dd 1
R/

Metformin 500

XLV

S 3 dd 1
R/

Glibenklamide 5

XV

S 1-0-0
R/

Diazepam 2

XXX

S 2 dd 1
R/

Aspilet

XV

S 1 dd 1
R/

ISDN 5

XV

S 1 dd 1 SL bila nyeri dada


R/

Antasida Fl.

S 4 dd IC
R/

Simvastatin

XV

S 0-0-1
R/

Gemfibrozil 300

XV

S 0-0-1

Pro

a.

: Tn. A (40 Th)

Anamnesa
Pasein menyatakan telah lama menderita penyakit kolesterol, sakit jantung, diabetes mellitus dan
tekanan darah tinggi (140 mmHg).

b. Analisa Kasus

Dalam kasus ini Tn. A yang berusia 40 tahun, mendapat 10 item obat dalam satu kurun waktu
pengobatan. Pasien mengalami diabetes mellitus dengan diagnosa penyerta tekanan darah tinggi,
hiperlipidemia, dan gangguan jantung. Obat-obat yang diresepkan dokter adalah sebagai berikut:
-

Furosemid, sebagai antihipertensi golongan diuretik loops diuretik

KSR/ Kalium klorida 600 mg, sebagai suplemen kalium untuk mencegah hipokalemia akibat
penggunaan diuretik

Metformin dan glibenklamid sebagai antidiabetes oral

Diazepam, sedative golongan benzodiazepin

Aspilet sebagai antiplatelet

ISDN, sebagai antiangina

Antasida, untuk menetralkan asam lambung

Simvastatin dan gemfibrozil sebagai antihiperlipidemia


Furosemid digunakan sebagai agen antihipertensi tunggal, karena hipertensi yang dialami
pasien masih berada pada stage 1 (tekanan diastolik antara 140-159 mmHg). Sehingga
penggunaan agen tunggal umumnya cukup efektif. Penggunaan furosemid (loop diuretik) pada
pasien yang memiliki diagnose penyerta berupa diabetes mellitus dan gagal jantung seperti pada
kasus ini, diperbolehkan. Sehingga pemilihan furosemid dapat dianggap rasional.
Dari segi dosis, umumnya furosemid diberikan sekali sehari (40 mg/hari), yaitu pada pagi
hari. Namun dalam kasus ini, pasien menerima furosemid 40 mg pada pagi hari dan 20 mg pada
siang hari (60 mg/hari). Dosis tersebut masih berada pada dosis yang dianjurkan, terlebih pasien
juga menderita gagal jantung, sehingga dosis yang lebih tinggi diperbolehkan. Waktu pemberian
furosemid juga masih aman, yaitu pada pagi dan siang hari, sehingga resiko terjadinya diuresis
nokturnal masih dapat dihindarkan. (Dipiro; 233-236)
Pemberian KSR/ kalium klorida, sebagai suplemen kalium, dapat dibenarkan, mengingat
furosemid merupakan diuretik yang boros kalium, sehingga dapat memicu terjadinya
hipokalemia. (Dipiro; 197).
Disamping kemungkinan terjadinya hipokalemia, pengguna furosemid juga berpeluang
mengalami kekurangan kadar ion-ion lainnya, akibat peningkatan urinasi, seperti natrium
(hiponatremia), magnesium (hipomagnesemia), serta kemungkinan terjadinya gout. (BNF 57; 76)

Pasien dapat dipastikan menderita diabetes mellitus tipe 2, karena dokter hanya meresepkan
andiabetik oral, tanpa insulin. Pasien diberi kombinasi metformin 500 mg tiga kali sehari, dan
glibenklamide 5 mg satu kali sehari.
Metformin merupakan antidiabetik golongan biguanide, yang bekerja dengan cara
meningkatkan sensitivitas insulin dan menurunkan resistensinya. Dan metformin merupakan
agen antidiabetik utama untuk terapi diabetes tipe 2, selama penggunaannya tidak
dikontraindikasikan pada pasien tersebut. Metformin yang dikombinasi dengan glibenklamide,
sangat diperbolehkan. Dosis kombinasi kedua obat tersebut juga masih dalam batas aman.
Dimana dosis maksimum keduanya adalah 20 mg/hari untuk glibenkalmid, dan 2000 mg/hari
untuk metformin. (Dipiro; 1369, 1384, 1385).
Baik metformin maupun glibenklamide dapat menyebabkan ketidaknyamanan pada saluran
cerna berupa mual, muntah, dan diare. (BNF; 376).
Penggunaan ISDN, Aspilet dan diazepam kemungkinan digunakan untuk terapi gangguan
jantungnya.
Diazepam kemungkinan diberikan untuk memberi efek antiansiolitik dan sedasi yang
menenangkan sehingga, mengurangi beban kerja jantung. Kemungkinan juga untuk mengatasi
insomnia yang dapat disebabkan oleh gemfibrozil. (BNF 57; 693, 146)
Aspilet diberikan sebagai antiplatelet yang dapat mengencerkan dan memperlancar
peredaran darah. ISDN digunakan sewaktu-waktu saat terjadi serangan sesak nafas, atau nyeri
dada, atau serangan angina. ISDN diberikan secara sublingual, untuk mempercepat onset kerja
ISDN, dan mencegah terjadinya metabolism lintas pertama dihati.
Kombinasi simvastatin 10 mg/hari dan gemfibrozil 300 mg/hari dalam dosis tunggal pada
malam hari ditujukan sebagai terapi antihiperlipidemia. Suatu studi menunjukkan bahwa
pemberian simvastatin mampu mengurangi 42% resiko kejadian panyakit jantung koroner pada
penderita diabetes mellitus yang memiliki konsentrasi kolesterol LDL dalam darahnya tinggi.
Diabetes mellitus merupakan salah satu faktor resiko terjadinya penyakit jantung koroner. Dalam
studi ini simvastatin digunakan sebagai agen tunggal. (Dipiro; 476-479, 1398)
Penggunaan bersamaan simvastatin (golongan statin) dengan gemfibrozil (golongan fibrat)
meningkatkan resiko rhabdomyolisis, sehingga kombinasi tersebut tidak boleh digunakan. (BNF
57; 140)

Penggunaan simvastatin lebih dari 10 mg/hari harus disertai dengan pemantauan klirens
kreatininnya (harus >30 ml/menit). (BNF 57; 813)
Penggunaan antasida kemungkinan sebagai penanganan efek samping obat yang dapat
mengiritasi lambung, sehingga meningkatkan sekresi asam lambung. Aspilet dapat mengiritasi
lambung, akibat adanya penghambatan pada pembentukan prostaglandin. Diazepam dapat
menyebabkan ketidaknyamanan lambung, begitu pun dengan furosemid.
Interaksi obat yang mungkin terjadi pada kasus ini antara lain:
-

Jus anggur dapat meningkatkan konsentrasi plasma dari simvastatin

Gemfibrozil dapat meningkatkan efek antidiabetik dari sulfonylurea (BNF 57; 746)

c.

Saran
Berdasarkan ulasan pustaka diatas dapat disarankan :

Sebaiknya antihiperlipidemia yang digunakan merupakan agen tunggal, yaitu simvastatin atau
gemfibrozil saja, bukan sebagai kombinasi keduanya. Dan tampaknya penggunaan simvastatin
lebih aman, dibandingkan dengan gemfibrozil. Karena gemfibrozil berinteraksi dengan
sulfonylurea, dan mengakibatkan peningkatan efek hipoglikemia sulfonylurea.

Ingatkan pada pasien untuk tidak mengkomsumsi jus anggur selama pasien masih
mengkonsumsi simvastatin

Sarankan pada pasien untuk melakukan diet karbohidrat dan lemak yang ketat, untuk menjaga
suapaya kadar glukosa dan lipid dalam darah tetap berada pada rentang yang aman

Sarankan juga pada pasien untuk selalu menyediakan asuapan glukosa cepat (permen, atau
minuman manis) jika sewaktu-waktu terjadi hipoglikemia.

Pasien juga harus cukup istirahat, dan menghindari kelelahan, untuk menjaga kerja jantung tetap
normal. Pasien juga harus menghindari rokok dan alkohol. Olah raga ringan yang teratur masih
diperbolehkan, sebatas tidak menimbulkan kelelahan.

Resep 3
20-7-2011
R/

Metformin 500

XLV

S 3 dd 1
R/

Glibenklamide 5

XV

S 1 dd 1
R/

Captopril 50

XLV

S 3 dd 1
R/

furosemid

S -0-0
R/

BC

XLV

S 3 dd 1
R/

Amlodipin 5

XV

S 1 dd 1
R/

Na-diklofenak 50

XXX

S 0-0-1
R/

Simvastatin 10

XV

S 0-0-1

Pro

a.

: Tn. SS (66 tahun)

Anamnesa/ diagnose
Pasien dinyatakan mengalami diabetes mellitus, hipertensi, hiperkolesterolemia, ostheoartritis,
dan sindrom dispepsia.

b. Analisa resep
Dalam kasus ini pasien menerima 8 item obat, sebagai berikut :
-

Metformin, antidiabetes golongan biguanid

Glibenklamide, antidiabetes golongan sulfonilurea

Captopril, antihipertensi golongan inhibitor enzim pengkonversi angiotensin (ACEI)

Furosemid, antihipertensi golongan loop diuretik

BC/ vitamin B kompleks, suplemen kekurangan vitamin B

Amlodipin, antihipertensi golongan pemblok kanal kalsium (CCB)

Na-diklofenak, antiinflamasi nonsteroid

Simvastatin, antihiperlipidemia golongan statin

Kombinsai metformin dan glibenklamid pada kasus pasien diagnose lain berupa hipertensi
diperbolehkan. Seperti halnya pada kasus resep nomor 2. Dosis kombinasi kedua obat tersebut

juga masih dalam batas aman. Dimana dosis maksimum keduanya adalah 20 mg/hari untuk
glibenkalmid, dan 2000 mg/hari untuk metformin. (Dipiro; 1369, 1384, 1385).
Penanganan hipertensi dalam kasus ini digunakan kombinasi 3 antihipertensi, yaitu captopril
(ACE inhibitor), furosemid (loop diuretik), dan amlodipin (Pemblok kanal kalsium). Kombinasi
tersebut diperbolehkan. Dosis furosemid merupakan dosis terendah yaitu 20 mg, dengan waktu
pemberian yang tepat yaitu pada pagi hari. Sedangkan dosis captopril merupakan dosis
maksimum yaitu 150 mg/hari, dalam dosis terbagi 3. Sedangkan amlodipin yang diberikan
adalah dosis menengah, yaitu 5 mg/hari, lazimnya 2,5-10 mg/hari. Perlu diperhatikan pasien
telah cukup lanjut usianya (66 tahun), captopril diberikan pada dosis maksimum dikombinasi
dengan furosemid, dan amlodipin, akan berpotensi menimbulkan efek hipotensi. Dengan
pemberian furosemid, pasien akan mengalami diuresis, yang berarti volume darah menurun dan
menurun pula tekanan darahnya, sedangkan pemberian ACE inhibitor dapat menyebabkan
penurunan tekanan darah melalui berbagai mekanisme yang terlibat dalam pengaturan sistem
rennin-angiotensin-aldosteron (RAAS), sehingga resiko hipotensinya semakin meningkat,
terlebih pada pasien yang telah lanjut usia, ditambah dengan kombinasi dengan amlodipin.
Tekanan darah harus senantiasa dipantau. (Dipiro: 233-234)
Meski ada kemungkinan lain, bahwa maksud penggunaan furosemid dalam dosis rendah
adalah untuk mengatasi resiko efek samping amlodipin, berupa udema perifer. Amlodipin dapat
menyebabkan terjadinya udema perifer, dengan pemberian furosemid, maka aktivitas urinary
meningkat, sehingga tidak terjadi udema perifer.
Natrium diklofenak digunakan untuk mengobati gejala nyeri akibat osteoarthritis.
Diklofenak merupakan antiinflamasi nonsteroid (AINS) nonselektif. Dosis yang diberikan adalah
dosis tunggal pada malam hari sebesar 50 mg.
Sebagaimana AINS nonselektif lainnya, diklofenak dapat menginduksi terjadinya ulkus
peptikum, sedangkan dalam diagnosanya dokter telah menyatakan bahwa pasien mengalami
sindrom dispepsia. Meskipun efek buruk yang disebabkan diklofenak pada saluran cerna tidak
sekuat aspirin, namun pemilihan obat lain yang lebih aman, perlu dipertimbangkan, mengingat
pasien telah dinyatakan mengalami sindrom dispepsia. (Dipiro; 1131)
Dalam kasus ini, pasien telah didiagnose sindrome dispepsia, dan mendapat terapi AINS
yang dapat memperparah sindrom tersebut, namun pasien tidak mendapat obat untuk indikasi ini.
Tak ada obat yang diberikan untuk mengobati sindrom dispepsianya.

Simvastatin dosis tunggal pada malam hari 10 mg, untuk terapi hiperlipidemia.
Penggunaan simvastatin pada penderita diabetes diperbolehkan. Pemberian vitamin B kompleks,
yang mengandung asam nikotinat, akan membentu menghambat pembentukan kolesterol dan
trigliserida, sehingga akan membantu menekan kadar lipid dalam darah. (BNF 57; 539)
Interaksi yang mungkin terjadi :
-

Amlodipin (pemblok kanal kalsium) dan captopril (ACE inhibitor) yang digunakan bersamasama, cenderung berinteraksi menyebabkan efek hipotensif, ACE inhibitor juga akan bekerja
pada sistem kanal kalsium, meski tidak secara langsung, begitu pun dengan furosemid.

Captopril berinteraksi dengan makanan, dan menyebabkan absorpsi captopril menurun. (DIF)

c.

Saran
Dari uraian diatas dapat disarankan :

Kombinasi captopril, furosemid, dan amlodipin, perlu dipantau efeknya, ada baiknya dosis
captopril dikurangi

Konsumsi captopril 1 jam sebelum makan, untuk menghindari interaksinya dengan makanan

Pasien perlu diberi obat untuk mengatasi sindrome dispepsianya, terlebih dalam resep tersebut
terdapat obat-obat yang menimbulkan efek-efek yang tidak menyenangkan pada saluran cerna,
berupa iritasi lambung (natrium-diklofenak), mual, muntah, diare (metformin dan glibenklamid).
Ranitidine dan antiemetic seperti domperidon atau metoklopramid mungkin perlu diberikan.

Pasien juga harus diingatkan untuk senantiasa melakukan terapi non farmakologis, berupa diet
makanan rendah karbohidrat, lemak, dan garam.

Pasien juga harus menghindari konsumsi rokok dan atau alcohol

Olah raga ringan secara teratur sangat dianjurkan

Home Kesehatan Kondisi & Penyakit Tips Diabetes: 4 Tips Mencegah &
Memperlambat Kerusakan Ginjal

Tips Diabetes: 4 Tips Mencegah &


Memperlambat Kerusakan Ginjal
Amazine.co | Online Popular Knowledge

Baca juga

[TIPS] Memahami Prosedur & Cara Kerja Transplantasi Ginjal


[TIPS] Manfaat Asam Lemak Omega 3 untuk Pasien Cuci Darah
[TIPS] Gejala & Efek Jangka Panjang Gagal Ginjal Kronis

Penderita diabetes yang sudah lama, biasanya akan mengalami berbagai komplikasi.
Salah satu komplikasi diabetes yang sering muncul adalah kerusakan ginjal.
Secara umum, kerusakan ginjal terjadi setelah 15-25 tahun, dan jarang terjadi dalam 10 tahun
pertama diabetes.
Seseorang yang mengalami kerusakan ginjal karena diabetes pada awalnya akan mengalami
kebocoran protein darah (albumin) dalam jumlah kecil melalui urin.
Tahap pertama disebut mikroalbuminuria CKD (Chronic Kidney Disease). Fungsi penyaringan
ginjal biasanya tetap normal selama periode ini.
Selang beberapa tahun kemudian, akibat progres dari penyakit, kebocoran albumin dalam urin
akan lebih banyak. Tahap ini disebut macroalbuminuria atau proteinuria.

Seiring jumlah albumin yang meningkat dalam urin, fungsi penyaringan ginjal biasanya mulai
menurun. Akibat dari kerusakan ginjal yang semakin parah, tekanan darah akan ikut naik.
Tips Mencegah dan Memperlambat Kerusakan Ginjal
Berikut adalah 4 tips yang bisa dilakukan untuk mencegah dan memperlambat kerusakan ginjal:
1. Obat Tekanan Darah
Para ilmuwan telah membuat kemajuan besar dalam pengembangan metode yang memperlambat
onset dan progres penyakit ginjal pada penderita diabetes.
Obat yang digunakan untuk menurunkan tekanan darah dapat memperlambat perkembangan
penyakit ginjal secara signifikan.
Dua jenis obat, angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dan angiotensin receptor blocker
(ARB), telah terbukti efektif dalam memperlambat perkembangan penyakit ginjal.
Beberapa orang mungkin memerlukan dua atau lebih obat untuk mengontrol tekanan darah
mereka. Selain penghambat ACE atau ARB, obat diuretik juga dapat berguna.
Beta blockers, calcium channel blockers, dan obat-obatan tekanan darah lainnya mungkin
diperlukan juga.
Contoh dari ACE inhibitor efektif adalah lisinopril (Prinivil, Zestril). Dokter biasanya
memberikan resep ini untuk mengobati penyakit ginjal yang terjadi karena diabetes.
Selain untuk menurunkan tekanan darah, lisinopril juga dapat melindungi glomerulus ginjal,
sedangkan ACE inhibitor berfungsi menurunkan proteinuria dan memperlambat penurunan
fungsi ginjal.
Contoh dari ARB efektif adalah losartan (Cozaar), yang berguna untuk melindungi fungsi ginjal
dan menurunkan risiko terjadinya penyakit kardiovaskular.
2. Diet Rendah Protein
Pada penderita diabetes dan gagal ginjal, konsumsi protein yang berlebihan akan berbahaya.
Para ahli merekomendasikan penderita gagal ginjal harus mengonsumsi protein sesuai dengan
diet yang direkomendasikan dan sebaiknya menghindari diet tinggi protein.
Untuk orang dengan fungsi ginjal yang sudah sangat berkurang, diet rendah protein dapat
membantu menunda gagal ginjal.
Namun, siapapun yang melakukan diet rendah protein harus berkonsultasi dengan ahli gizi untuk
memastikan nutrisi yang cukup.

3. Manajemen Intensif Glukosa Darah


Obat anti hipertensi dan diet rendah protein dapat memperlambat munculnya CKD. Alternatif
pengobatan ketiga dikenal sebagai manajemen intensif glukosa darah atau kontrol glikemik.
Metode ini cukup menjanjikan bagi penderita diabetes, terutama bagi mereka yang berada pada
tahap awal CKD.
Tubuh manusia yang normal akan mengonversi makanan menjadi glukosa, gula sederhana yang
merupakan sumber utama energi untuk sel-sel tubuh.
Untuk masuk ke dalam sel, glukosa memerlukan bantuan insulin, hormon yang diproduksi oleh
pankreas.
Ketika seseorang tidak cukup memproduksi insulin atau tubuh tidak merespon insulin yang ada,
maka tubuh tidak dapat memroses glukosa, sehingga akan menumpuk dalam aliran darah.
Tingginya kadar glukosa akan mengakibatkan terjadinya diabetes.
Manajemen intensif glukosa darah adalah pengobatan yang bertujuan untuk menjaga kadar
glukosa darah mendekati normal.
Hal ini mencakup cek glukosa darah secara rutin, menggunakan insulin berdasarkan asupan
makanan dan aktivitas fisik, mengikuti diet, melakukan aktivitas fisik, dan berkonsultasi dengan
tim perawatan kesehatan secara teratur.
Beberapa orang menggunakan pompa insulin untuk menyuplai insulin sepanjang hari. Sejumlah
penelitian telah menunjukkan efek menguntungkan pengelolaan intensif glukosa darah.
Penelitian yang dilakukan selama beberapa dekade terakhir telah menetapkan bahwa program
apapun yang berfungsi dalam menurunkan kadar glukosa darah akan bermanfaat bagi pasien
yang berada pada tahap awal CKD.
4. Dialisis dan Transplantasi
Penderita diabetes yang mengalami gagal ginjal harus menjalani dialisis atau bisa saja
melakukan transplantasi ginjal.
Pada tahun 1970-an, dokter umumnya enggan merekomendasikan penderita diabetes untuk
melakukan dialisis maupun transplantasi, karena mereka merasa kerusakan yang disebabkan oleh
diabetes akan mengurangi manfaat dari perawatan ini.
Saat ini, karena kontrol dan tingkat ketahanan hidup yang lebih baik setelah pengobatan diabetes,
dokter tidak lagi ragu untuk menawarkan dialisis maupun transplantasi ginjal bagi penderita
diabetes.

Saat ini, tingkat harapan hidup transplantasi ginjal yang dilakukan pada penderita diabetes
hasilnya sama dengan tingkat harapan hidup transplantasi ginjal pada orang tanpa diabetes.[]

Anda mungkin juga menyukai