Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sekertaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada masanya
Javier Perez de Culler pernah mengungkapkan:
The way of society treats its children reflect not only its qualities of
compassion and protective caring, but also is its sence of justice, its
commitment to the future and its urge to exhance the human condition for
coming generation. This is indisputably true of the community of nations
as it is of nations individually (Paulus Hadisuprapto, 1997:81)
Ungkapan tersebut pantas dikedepankan sebagai bahan renungan awal
bagi masyarakat bangsa-bangsa di dunia yang mengaku mempunyai komitmen
terhadap anak-anak, generasi penerus bangsanya. Ungkapan petinggi PBB di
depan forum organisasi negara-negara di dunia yang sedang membicarakan
permasalahan anak-anak tersebut di nilai sangat penting dan mengandung
makna yang sangat strategis, karena dimaksudkan untuk menggugah
kesadaran seluruh masyarakat dan bangsa akan perlunya peningkatan
perhatian terhadap nasib sebagian besar anak-anak di belahan bumi yang
masih terbelenggu oleh berbagai masalah sosial dan ekonomi.
Pada tataran ideal, umumnya bangsa-bangsa di dunia meyakini bahwa
anak-anak merupakan masa depan bangsa dan negara yang harus dibina dan
ditumbuhkembangkan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai anak,
namun dalam kenyataannya, anak yang tidak berdaya sering dijadikan objek
eksploitasi oleh orang dewasa. Masih banyak bangsa di dunia yang kurang
memberikan perhatian dan perlindungan pemerintah khusus terhadap anak.
Padahal dalam ketidakberdayaannya, anak sangat membutuhkan perhatian dan
perlindungan pemerintah, orang tua dan orang dewasa pada umumnya.
Sejalan dengan itu, Forum anak-anak perserikatan bangsa-bangsa yang
di seelnggarakan di markas besar PBB New York (amerika Serikat), untuk

pertama kalinya menghadirkan sekitar 400 anggota delegasi anak-anak di


seluruh dunia. Kehadiran delegasi anak secara langsung dan diberi kesempatan
untuk bersuara dan berkeluh kesah dalam forum tersebut memiliki makna yang
sangat strategis untuk sekali lagi menggugah perhatian para pemimpin
pemerintah dunia. Forum yang kemudian dilanjutkan dengan Konferensi Tingkat
Tinggi (KTT) anak-anak PBB yang juga dihadiri oleh hamper 189 negara
anggota PBB kembali menekankan pentingnya komitmen yang jelas terhadap
kepentingan anak, menyerukan semua umat dunia, terutama pemerintah dan
orang

tua,

diingkatkan

agar

melakukan

upaya

lebih

konkrit

untuk

menyelamatkan anak-anak dari bahaya kelaparan, kekurangan gizi, kemiskinan,


penyakit, perang, dan perlakuan buruk. (Harian Kompas, Senin, 13 Mei 2002).
Tentu

saja

seruan

tersebut

tidak

hanya

menggugah

komitmen

masyarakat dunia terhadap pentingnya perlindungan hak-hak anak yang


normal, tetapi mencakup pula komitmen terhadap perlindungan hak-hak anak
yang

bermasalah, baik fisik, mental, maupun

anak yang

berperilaku

menyimpang atau yang menjurus kepada tindak pidana. Artinya kepekaan akan
rasa keadilan, komitmen dan sikap peduli terhadap usaha-usaha perlindungan
hak-hak anak yang bermasalah dalam perilakunya.
Bertolak dari pandangan di atas, maka tidaklah keliru bila dinyatakan
bahwa permasalahan merupakan sub sistem dari perlindungan anak pada
umumnya.
Pembicaraan tentang perlindungan hak-hak anak yang melakukan
penyimpangan

dalam

perilakunya

biasanya

membawa

kita

kepada

permasalahan pemahaman mengenai bentuk-bentuk perilaku criminal di


kalangan

anak,

beserta

latar

belakangnya,

termasuk

usaha-usaha

penanggulangan perilaku tersebut di masyarakat.


Dalam upaya penanggulangan kejahatan pada umumnya, dikenal istilah
kebijakan criminal yaitu suatu usaha yang rasional masyarakat dalam

menanggulangi

kejahatan

(Sudarto,

1981:38).

Sementara

itu,

usaha

perlindungan hak-hak anak sendiri sangat ditentukan oleh adanya kebijakan


perlindungan anak, kebijakan kesejahteraan anak yang kondusif terhadap
usaha-usaha perlindungan hak-hak anak itu sendiri (Paulus Hadisuprapto,
1997:82).
Sebagaimana

halnya

bangsa-bangsa

lain

di

dunia,

Indonesia

memposisikan pelbagai subjek dan objek pembangunan, karena ia adalah


bagian pembangunan, karena ia adalah bagian cita-cita perjuangan bangsa dan
sumber daya manusia bagi pembangunan nasional.
Dalam rangka membentuk anak sebagai sumber daya manusia
Indonesia yang berkualitas, mampu memimpin serta mampu memelihara
persatuan dan kesatuan bangsa, diperlukan pembinaan secara terus-menerus
demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan
sosial serta perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membahayakan
mereka dan bangsa di masa depan.
Bertolak dari pemahaman itulah maka, dalam Pasal 2 ayat (3) dan ayat
(4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak,
dinyatakan bahwa anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik
semasa kandungan maupun sesudah dilahirkan, anak berhak atas perlindungan
terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat
pertumbuhannya secara wajar. Hal tersebut semakna dengan isi deklarasi hakhak anak oleh Majelis Umum PBB pada Tanggal 20 November 1959 yang asas
utamanya menegaskan bahwa umat manusia berkewajiban memberikan yang
terbaik bagi anak-anak.
Dalam berbagai hal, upaya

pembinaan dan perlindungan anak

dihadapkan pada berbagai permasalahan dan tantangan. Dalam masyarakat,


sering dijumpai penyimpangan perilaku di kalangan anak-anak, bahkan lebih
dari itu terdapat pula anak yang melakukan perbuatan melanggar hukum, tanpa

mengenal status sosial dan ekonomi. Di samping itu terdapat pula anak yang
karena satu dan yang lain hal tidak mempunyai kesempatan memperoleh
perhatian, baik secara fisik, mental, amupun sosial oleh karena keadaan diri
yang tidak memadai tersebut, maka baik sengaja maupun tidak sengaja, sering
juga anak melakukan tindakan atau perilaku yang dapat merugikan dirinya
dan/atau masyarakat.
Statistik criminal menunjukkan bahwa dalam dekade terakhir ini ada
kecenderungan keterlibatan anak sebagai pelaku dalam beberapa jenis
kejahatan mengalami peningkatan, baik kuantitas, maupun kualitas. Fenomena
semakin meningkatnya perilaku menyimpang (kejahatan/pelanggaran) yang
melibatkan anak sebagai pelakunya tersebut sangat meresahkan sekaligus
mengundang keprihatinan semua pihak. Oleh karena itu, dari sudut pandang
hukum positif, perilaku anak tersebut tentu saja mengharuskan nakal yang
bersangkutan terseret ke dalam proses peradilan pidana. Namun pada sisi lain,
penanganan penyimpangan perilaku (pelanggaran/kejahatan) anak melalui
sarana hukum pidana tanpa memperhatikan aspek perlindungan akan
menimbulkan dampak negative pada perkembangan mental anak.
Upaya perlindungan anak dalam sistem peradilan pidana sesungguhnya
didukung oleh berbagai perangkat hukum, baik berupa konvensi-konvensi yang
dikeluarkan oleh PBB, amupun produk hukum nasional dalam bentuk undangundang. Landasan hukum dalam bentuk konvensi antara lain:
1. Resolusi PBB Nomor 44/25 Tanggal 20 November 1989 tentang
Convention on the right of the child (konvensi-konvensi hak-hak anak)
disingkat dengan KHA yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia
dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990.
2. Resolusi PBB Nomor 40/33 Tanggal 29 November 1985 tentang standar
minimum rules for the administration of juvenile justice (ketentuan standar

minimum untuk pelaksanaan peradilan remaja) disingkat dengan


KSMPPR.
3. Resolusi PBB Nomor 45/112 tentang guidelines for the prevention of
juvenile delinquency (pedoman-pedoman untuk pencegahan kenakalan
remaja).
Ketiga resolusi PBB tersebut, memuat prinsip-prinsip yang harus
dipenuhi oleh semua negara anggota PBB dalam merumuskan kebijakan untuk
menanggulangi kejahatan yang dilakukan oleh anak melalui sarana hukum
pidana. Ketiga landasan hukum tersebut, kemudian ditindaklanjuti oleh
pemerintah Indonesia dengan membentuk Undang-Undang Nomor

3 Tahun

1997 tentang Pnegadilan Anak (UUPAnak) yang ditetapkan pada Tanggal 3


Januari 1997 dan dinyatakan mulai berlaku Tanggal 3 Januari 1998.
Sudah lebih dari 4 Tahun berlakunya UUP Anak, namun kenyataan
menunjukkan bahwa, masih banyak terdapat berbagai kasus di mana tersangka
atau terdakwanya adalah anak, penangananya masih mengabaikan prinsip
perlindungan anak.
Ditinjau dari segi kebijakan criminal, tingkah laku menyimpang si anak
tidak dapat dijadikan alasan untuk menyamakannya dengan orang dewasa
anak-anak adalah anak-anak, anak bukanlah orang dewasa, karena itu mereka
tidak pantas, belum, dan bahkan tidak boleh memikul tanggung jawab yang
sama dengan orang dewasa.
Berdasarkan fenomena tersebut, maka dapat dikatakan bahwa prinsipprinsip perlindungan anak yang terkandung dalam instrument-instrumen hukum
internasional dan nasional tersebut, belum terimplikasi dengan baik dan efektif.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka adapun
rumusan masalah yang menjadi pokok kajian dalam makalah ini adalahs
sebagai berikut:
1. Apakah pengaturan sistem pemidanaan dalam Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1997 tentang Perlindungan Anak secara substansial telah
memenuhi prinsip-prinsip perlindungan anak yang diakui dalam
intrumen hukum internasional?
2. Bagaimanakah penerapan sistem pemidanaan menurut UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak?

BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian terdahulu bahwa, menurut
doktrin, hukum pidana mempunyai fungsi ganda, yakni fungsi primer debagai
sarana penanggulangan kejahatan yang rasional (sebagai bagian politik
kriminal), dan fungsi sekunder sebagai sarana pengaturan tentang kontrol sosial
sebagaimana yang dilaksanakan secara spontan atau secara dibuat oleh
negara atau dengan alat perlengkapan.
Dalam fungsi yang kedua ini, tugas hukum pidana adalah policing the
police, yakni melindungi warga masyarakat dari campur tangan penguasa yang
mungkin

menggunakan

hukum

pidana

sebagai

sarana

penaggulangan

kejahatan yang secara tidak benar.


Guna memenuhi kedua fungsi tersebut secara optimal, maka hukum
pidana yang dituangkan dalam undang-undang sebagai suatu sistem, harus
dirumuskan secara jelas, sinkron, dan konsisten sesuai dengan landasan filosofi
pembentukannya.
Sehubungan

dengan

itu,

Paul

Scholten

(Soedarto,

1986,

129)

menguraikan bahwa, tata hukum merupakan suatu sistem, dalam arti bahwa
berbagai peraturan ada hubungannya satu sama lain, peraturan yang satu
dituangkan oleh yang lain, bahwa peraturan-peraturan itu dapat disusun secara
logis, dari yang hal-hal khusus diperoleh aturan-aturan yang umum sehingga
sampai pada asas-asasnya. Dalam tata hukum tidak dikehendakinya adanya
peraturan yang bertentangan satu sama lain. Kalau hal itu sampai terjadi, maka
tidak dapat dikatakan ada tata hukum, yang ada ialah kekacauan hukum. Itu
mungkin ada hal-hal yang bertentangan satu sama lain, akan tetapi apabila
dihadapkan kepada peraturan lain tampak ketidakserasian itu menimbulkan
ketidakpastian hukum beserta segala akibatnya.

Dengan tidak bermaksudnya mengabaikan fungsi primer hukum pidana


sebagai sarana penanggulangan kejahatan yang rasional, maka uraian yang
lebih lanjut akan dititikberatkan pada kajian terhadap UUP Anak dalam
fungsinya sebagai policing the police dalam arti melindungi masyarakat
(termasuk anak) dari kemungkinan penggunaan hukum pidana secara tidak
benar dalam proses peradilan pidana. Dalam kerangka tersebut, maka kajian
terhadap sistem pemidanaan dalam UUP Anak sebagai sarana perlindungan
anak, akan diarahkan untuk menilai apakah dapat mengatur dan mengendalikan
perilaku aparat penegak hukum guna memenuhi fungsi hukum pidana.
Sebagimana diketahui bahwa saat ini landasan hukum utama dalam
proses peradilan anak yang berlaku di Indonesia adalah Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang diterapkan dan
diundangkan pada Tanggal 3 Januari 1997 (Lembaran Negara Republik
Indonesia 1997 Nomor 3). Pasal 18 menegaskan bahwa, undang-undang ini
mulai berlaku satu tahun terhitung sejak tanggal diudangkan, yang berarti
bahwa undang-undang ini efektif mulai berlaku pada Tanggal 3 Januari 1998.
Patut pula dicatat bahwa, pada saat ini mulai berlakunya UUP Anak.
Sebelum berlakunya UUP Anak ini, peradilan pidana anak praktis tunduk
pada ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ada pun
hukum pidana materil, mengacu pada KUHP, dengan demikian memperhatikan
Pasal 45, 46, dan 47 KUHP. Namun demikian keberlakuan UUP Anak tidak
berarti mengesampingkan atau terlepas sama sekali dari ketentuan KUHAP dan
KUHP, UUP Anak hanya mengatur ketentuan-ketentuan khusus (lex specialis)
yang merupakan pengecualian dari KUHAP dan KUHP.
Dipandang dari segi bentuk hukumnya, kehadiran UUP Anak dalam
sistem hukum pidana nasional, mau tidak mau harus diakui sebgai suatu
ekmajuan yang menunjukkan adanya keinginan politik penentu kebijakan

negara dalam rangka memberikan perlindungan khusus bagi anak yang


berkonflik dengan hukum.
Substansi (materi) khusus dalam uup Anak yang juga dapat dipandang
sebagai suatu kemajuan yaitu:
1. Pembatasan umur (Pasal 1 butir 1 Jo. Pasal 4 ayat 1)
Anak yang dapat diperiksa dalam acara pengadilan anak ditentukan
secara limitatif yaitu minimal berumur 8 tahun dan maksimal berumur 18 tahun
dan belum pernah kawin. Ketentuan ini mengandung kemajuan dalam dua hal,
yaitu pertama, batas usia kategori anak ditingkatkan menjadi 18 tahun (sama
dengan pengertian anak menurut Pasal 1 Konvensi Hak Anak), kedua,
ditentukan, abtas usia minimal yaitu 8 tahun. KUHP hanya menentukan batas
usia tanpa menentukan batas usia minimal, sehingga berdasarkan KUHP, anak
yang baru berusia satu hari pun seandainya melakukan tindak pidana dapat
diajukan ke sidang pengadilan.
2. Perkara Pidana anak ditangani oleh pejabat khusus (Pasal 1 ayat 2)
Dalam undang-undang pengadilan anak ditentukan bahwa, perkara
pidana anak ditangani pejabat-pejabat yang diangkat secara khusus seperti,
ditingkat penyidikan oleh penyidik anak, ditingkat penuntutan oleh penuntut
umum anak, dan hakim anak.
Sebelumnya, penyidik, penuntut umum, dan hakim yang memeriksa
perkara anak sama saja dengan pejabat yang memeriksa perkara pidana orang
dewasa dalam arti tidak diangkat secara khusus.
3. Pengakuan tentang pentingnya peranan pembimbing kemasyarakatan,
pekerja sosial, dan pekerja sukarela dalam pemeriksaan perkara pidana
anak (Pasal 1 ayat 11, Pasal 33)
Berbeda dengan KUHAP, pemeriksaan perkara anak melibatkan petugas
kemasyarakatan yang terdiri dari atas pembimbing kemasyarakatan dari
departemen kehakiman, pekerja sosial dari departemen sosial, dan pekerja

sosial sukarela dari organisasi sosial kemasyarakatan yang bertugas membantu


penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam memperlancar proses pemeriksaan
perkara pidana anak dan pelaksanaan putusan hakim.
4. Suasana kekeluargaan dalam pemeriksaan (Pasal 42 ayat1)
Pemeriksaan perkara pidana anak di pengadilan dilakukan dalam
suasana kekeluargaan, oleh karena itu hakim, penuntut umum dan penasihat
hukum tidak memakai toga.
5. Keharusan Splitsing (Pasal 7)
Anak tidak boleh diadili bersama dengan orang dewasa. Jika terjadi
kasus di mana anak melakukan tindak pidana dengan orang dewasa, maka si
anak diadili dengan sidang pengadilan anak, sedangkan orang dewasa diadili
dengan sidang penagdilan biasa, atau jika orang dewasa itu berstatus militer di
pengadilan militer.
6. Acara pemeriksaan tertutup
Demi kepentingan si anak, acara pemeriksaan di sidang pengadilan anak
dilakukan secara tertutup, tetapi putusan harus diucapkan dalam sidang yang
terbuka untuk umum.
7. Diperiksa oleh hakim tunggal (pasal 8 ayat 1)
Pemeriksaan perkara anak, baik pada tingkat pengadilan negeri,
pengadilan tinggi, maupun mahkamah agung dilakukan dengan hakim tunggal.
tetapi dalam hal-hal tertentu dan dipandang perlu dapat dilakukan dengan
majelis hakim.
8. Jangka waktu penahanan lebih singkat (Pasal 44 sampai Pasal 49)
Maksimal jangka waktu penahanan mulai dari tingkat penyidikan sampai
pada tingkat pemeriksaan kasasi adalah dari jangka waktu penahanan pada
masing-masing tingkat pemeriksaan tersebut menurut KUHAP.
9. Ancaman pidana lebih ringan (Pasal 22 sampai dengan Pasal 32)

Ancaman pidana terhadap anak lebih ringan dibandingkan dengan


ancaman pidana dalam rumusan tindak pidana, baik yang terdapat dalam
KUHP, maupun di luar KUHP. Terhadap anak tidak dapat diterapkan pidana mati
dan pidana seumur hidup. Maksimum pidana penjara, denda atau kurungan
bagi anak diancam dengan dari maksimum ancaman pidana yang terdapat
dalam tindak pidana yang bersangkutan.
10. Lembaga pemasyarakatan khusus anak (Pasal 60 sampai dengan Pasal
64)
Anak

yang

dijatuhi

pidana

penjara

di

tempatkan

di

lembaga

pemasyarakatan khusus anak. Anak pidana yang menjalani masa pidana


penjara tidak boleh bercampur dengan narapidana dewasa.

Anda mungkin juga menyukai