Anda di halaman 1dari 4

KEDALAMAN MAKNA DOA

CHAIRIL ANWAR
DOA
Kepada Pemeluk Teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut nama Mu
Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh
Caya Mu panas suci
Tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk
Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
Di pintu Mu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling
13 November 1943

Chairil Anwar lahir pada tanggal 26 Juli 1922 di Medan. Chairil mengenyam
pendidikan M.U.L.O. namun tidak tamat. Chairil mulai menulis dan menerbitkan
sajak-sajaknya pada zaman pendudukan Jepang. Chairil pernah menjadi redaktur
Gelanggang (ruang kebudayaan Siasat, 1948-1949) dan redaktur Gema Suasana
(1949). Chairil membawa perubahan radikal dalam bidang sastra Indonesia lewat
puisi-puisinya yang berbeda dan membawa aliran baru sehingga Chairil dikenal
sebagai pelopor angkatan 45 dalam bidang puisi. Karya-karyanya bersifat
revolusioner dan penuh vitalitas.
Chairil Anwar merupakan sastrawan yang sangat eksentrik. Semasa hidup
Chairil tidak memiliki pekerjaan tetap, suka keluyuran, jorok, pemabuk, perokok
berat, selalu kekurangan uang, penyakitan, dan tingkah lakunya menjengkelkan.
Hidupnya juga diwarnai oleh beberapa wanita yang dicintainya yang juga turut
berpengaruh dalam penciptaan puisi-puisinya, seperti Mirat, Dien Tamaela, Sri Ayati,
Corrie, Marsiti, dan Roosye. Chairil Anwar meninggal tanggal 28 April 1949 di
usianya yang ke-26 tahun karena sakit tifus dan dimakamkan di Karet (Jakarta).
Doa adalah puisi yang diciptakan Chairil pada tanggal 13 November 1943.
Budaya atau adat istiadat Medan yang merupakan tanah kelahirannya tidak
berpengaruh pada puisi yang mengusung tema religius ini yaitu hubungan antara
manusia dengan Sang Penciptanya, sehingga puisi ini bisa dikatakan bersifat
universal. Diksi yang digunakan Chairil dalam puisi ini sudah sangat sesuai dengan
tema, pilihan kata-katanya indah dan dapat mewakili perasaan manusia yang
mengucap doa pada Tuhan.
Nilai religius adalah nilai yang paling menonjol di puisi Doa karya pelopor
angkatan 45 ini. Bila dikaitkan dengan tahun penciptaannya yaitu pada tahun 1943,
dimana Indonesia masih berjuang melawan penjajah demi mencapai kemerdekaan,
puisi Doa seperti memberikan secercah kedamaian di tengah kemelut. Doa seakan
ditujukan untuk para pejuang agar dalam perjuangannya selalu disertai dengan doa
pada Sang Pencipta. Sebuah memo kecil di bawah judul yang menyatakan bahwa
puisi ini ditujukan untuk pemeluk teguh adalah strategi Chairil untuk menarik minat
pembaca. Sederhana saja, semua orang pasti menganggap dirinya pemeluk teguh
sehingga akan terpancing untuk menyelami Doa.
Melalui Doa, Chairil berpesan agar manusia hendaknya selalu mengingat
Tuhan baik saat susah maupun senang, hal ini tampak pada baris /Biar susah sungguh
// mengingat Kau penuh seluruh //. Chairil juga ingin menyampaikan bahwa manusia

begitu kecil, tak berdaya di hadapan Tuhannya, tersirat pada baris /Aku hilang
bentuk // remuk //, dan Chairil mengingatkan pada manusia bahwa dalam menjalani
hidup di dunia yang tak tentu arah ini, manusia harus tetap berpasrah pada Tuhan,
tersirat pada baris /Tuhanku // aku mengembara di negeri asing // Tuhanku // di pintu
Mu aku mengetuk // aku tidak bisa berpaling //.
Chairil cukup senang bermain-main dengan beberapa majas. Pada frase /kerdip
lilin/ terdapat majas personifikasi yang menyatakan bahwa lilin-lilin seolah-olah
berkerdip menemani si pemanjat doa. Majas metafora tampak pada frase /negeri
asing/ yang membandingkan secara langsung antara dunia fana ini dengan negeri
yang asing, juga pada kalimat /Di pintu Mu aku mengetuk/ yang membandingkan
secara langsung antara pintu Tuhan dengan pengampunan dan penyerahan diri pada
Tuhan. Majas hiperbola tampak pada baris /Aku hilang bentuk // remuk // yang
mengumpamakan secara berlebihan bagaimana sosok seorang manusia saat berdoa di
hadapan Tuhannya. Majas pleonasme ditampilkan pada frase /penuh seluruh/ dan
/kelam sunyi/ yang memberikan penegasan dengan pilihan kata yang tepat dan halus.
Majas-majas yang digunakan Chairil berhasil memberikan nilai estetika pada puisi
Doa ini.
Kebaikan puisi Doa ini terletak pada kesederhanaan tema yang diusung
Chairil Anwar. Tema tentang komunikasi antara makhluk dan Penciptanya sangat
akrab di kehidupan masyarakat baik sebelum, semasa, dan setelah zaman Chairil
Anwar sehingga puisi ini tak lekang dimakan zaman. Sebagai pelopor angkatan 45,
Chairil membawa pembaruan dari puisi-puisi lama sebelumnya. Pembaruan tersebut
tampak pada jumlah baris per bait yang bebas, tidak terikat pola-pola tertentu juga
pada banyaknya suku kata per baris yang bebas. Rima akhir berupa rima kembar
mirip rima syair mendominasi seluruh rima puisi Doa, hal ini digunakan oleh
Chairil Anwar untuk memperindah kalimat-kalimat puisi dan membuat pembaca yang
membacanya terlarut dan merasa nyaman.
Sebagai seorang penyair, Chairil cukup egois dalam berkarya, bahasa yang
sangat lugas yang dimuntahkan begitu saja dari pikirannya, cukup menyulitkan
pembaca untuk memahami Doa secara keseluruhan. Pembaca hanya dapat
menangkap sebagian makna yang tersurat dan hanya dapat mengambil inti Doa
bahwa Doa adalah tentang seorang hamba yang berdoa, pembaca tidak dapat benarbenar memahami secara keseluruhan puisi yang sebenarnya memiliki makna yang

dalam di setiap kata-katanya ini. Kelemahan yang vital ini sungguh sangat
disayangkan.
Penyair-penyair yang sejalan dengan sosok Chairil Anwar diharapkan dapat
sedikit luwes dalam menulis puisi dengan mempertimbangkan bagaimana caranya
agar sebuah puisi dapat dimengerti oleh para pembaca baik penikmat sastra maupun
pembaca awam sekalipun, tanpa mengurangi estetika dan idealisme gaya penulisan
puisi tersebut, sehingga makna dan amanat dari puisi dapat benar-benar dipahami oleh
pembaca, tidak hanya sepotong-potong saja. Solusi yang dapat dipertimbangkan
adalah dengan memperkaya diri dengan bahasa-bahasa yang mendarah daging dalam
masyarakat, serta dengan senantiasa mengujicobakan puisi tersebut pada satu atau dua
pembaca terlebih dahulu dan banyak menerima advis-advis dari para senior.

Anda mungkin juga menyukai