Anda di halaman 1dari 124

1

Skenario 2
Nyeri
Seorang laki laki berusia 53 tahun datang dengan keluhan nyeri perut hebat
disekitar pusar yang menjalar ke punggung sejak 1 minggu yang lalu. Keluhan
dirasajan memperberat ketika setelah makan. Keluhan disertai demam, mual,
muntah, dan diare. Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan di regio
umbilikalis. Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan enzim
amilase dan lipase pada serum. Oleh dokter, pasien diberi obat pancrelipase.
STEP 1
1. Amilase adalah enzim yang berasal dari pancreas yang mengubah zat pati
menjadi oligosakarida dan disakarida maltosa.
2. Lipase adalah enzim yang berasal dari pancreas yang menghidrolisis
lemak netral menjadi asam lemak bebas.
STEP 2
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Mengapa nyeri menjalar ke belakang ?


Mengapa nyeri diperberat ketika setelah makan ?
Bagaimana mekanisme gejala penyerta demam mual muntah dan diare ?
Mengapa pada pemeriksaan lab lipase dan amilasi meningkat ?
Bagaimana penegakan diagnosis pada kasus ?
Patogenesis penyakit pada kasus ?
Mengapa dokter memberikan pancrelipase ?
Bagaimana penatalaksanaan pada kasus ?

STEP 3
1.

Mengapa nyeri menjalar ke belakang ?


Nyeri menjalar kepunggung karena adanya nyeri alih karena dari
persarafan th 6-9. Spasme spingter oddi, peningkatan tekanan dipunggung
menjadi nyeri di punggung.adanya nyeri visceral karena sistem embrional

2.

atau anatomi
Mengapa nyeri diperberat ketika setelah makan ?
Memberat saat makan karena defisiensi amylase memnyebabkan
intoleransi untuk makanan yang mengandung zat pati. Gangguan pada
ampulla vaterii.

3.

Mekanisme gejala penyerta demam mual muntah dan diare, adalah sebagai
berikut :
a)
Mual disebabkan oleh penurunan peristaltik yang membuat penurunan
kerja tonus yang menyebabkan pengosongan lambung menjadi
b)
c)

terlambat.
Diare disebabkan karena adanya malabsorbsi.
Demam diakibatkan pengeluaran mediator untuk inflamasi (pirogen)

d)

berupa sitokin (endogen).


Muntah dikarenakan keterlambatan pengosongan lambung. Refluks
merangsang persarafan aferen melalui nervus vagus menuju ke
medulla oblongata di trigger zone untuk muntah. Peradangan pankreas
menyebabkan peningkatan permeabilitas vasa yang menyebabkan

4.

enzim pankreas merembes masuk ke dalam aliran darah.


Mengapa pada pemeriksaan lab lipase dan amilasi meningkat ?
Pemeriksaan laboratorium ditemukan peningkatan amilase yang
menandakan adanya peradangan pankreas. Adanya sumbatan di ampulla
vateri karena tripsin diaktifkan oleh asam empedu yang menyebabkan

5.

6.

7.

8.

peningkatan lipase.
Penegakan diagnosis pada kasus yakni :
a)
anamnesis: seven secrets
b)
Pemeriksaan fisik
c)
pemeriksaan penunjang
Patogenesis penyakit pada kasus ?
a.
Obstruksi duktus
b.
Cedera sel asinus
c.
Gangguan transport intrasel
Faktor iskemik eksosendokrin menyebabkan pengaktifan enzim intra
pankreas. Terdiri dar 3 fase pada patogenesi pnkreatitis :
a.
Pengaktifan enzim intrasel
b.
Pengaktifan neutrofil
c.
Enzim proteolitik merusak sel sel pankreas
Mengapa dokter memberikan pancrelipase ?
Karena mengandung enzim untuk memecah zat zat makanan yang
gagal dicerna akibat defisiensi enzim pancreas.
Bagaimana penatalaksanaan pada kasus ?
a.
Farmakologi : enzim pankreas, analgetik
b.
Non farmakologi: cairan , diet makanan yang berpotensi terjadinya
nyeri seperti asam , lemak dan protein.

STEP 4

1.

Nyeri alih bekerja pada organ yang dipersarafi oleh nervus yang sama.
Nyeri akibat edema pankreas merangsang peregangaan peritoneum
menimbulkan nyeri.spasme spingter oddi. Nyeri visceral berasal dari
pembentukan saat embrional midgut dan forgut menyebabkan nyeri

2.

epigastrium.
Nyeri memberat setelah makan. Karena

adanya peningkatan gerakan

peristaltik dan terkenanya peritoneum yang membuat nyeri timbul.


Masuknya makanan ke lambung membuat lambung mengisi cairan HCL
dalam

lambung,

pengeluaran

HCL

merangsang

pankreas

untuk

mengeluarkan enzim eksokrinnya, namun karena ada sumbatan enzim akan


5.

aktif di dalam pankreas dan malah mencerna pankreas.


Penagakan diagnosis
a.
Anamnesis : pasien mengeluhkan nyeri perut di daerah epigastrium,
diare , penurunan berat badan,perut kembung, mata kuning , mual dan
b.

muntah, dan nyeri menjalar ke punggung.


Pemeriksaan fisik : inspeksi tampak pasien memegang daerah yang
sakit, pasien lebihnyaman saat membungkuk, nyeri saat terlentang.
Pada palpasi ditemukan nyeri tekan epigastrium. Auskultasi

c.

didapatkan bising usus menurun.


Pemeriksaan penunjang: leukositosis, lipase dan amilase meningkat
pada serum.

Mind Map !

STEP 5
1.

Fungsi sekresi enzim pencernaan dan gangguan yang berkaitan dengan


sekresi enzim !

2.

Patofisiologi,

gejala

klinis

penegakan

diagnosis

sampai

dengan

penatalaksanaan pada gangguan yang mungkin ada karena sekresi enzim !


3.

Farmakologi (obat pada gangguan) berdasarkan farmakodinamik dan


farmakokinetik !

STEP 6
(Belajar Mandiri)

STEP 7
1.

Fungsi sekresi enzim pencernaan dan gangguan yang berkaitan dengan


sekresi enzim

A.

Fungsi sekresi enzim pada pencernaan adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Fungsi sekresi Enzim


Organ

Enzim

Mulut
Amilase/ptialin
Kelenjar ludah

Fungsi
Mencernakan

amilum

(polisakarida)
Membunuh kuman
Mencerna

HCl
Lambung

Pepsin
Renin

protein

menjadi

pepton
Mengubah kaseinogen menjadi
kasein
Mengubah lemak menjadi asam
lemak dan gliserol
Mengubah pepton menjadi asam
amino

Tripsin
Mengubah disakarida (maltosa,
Pankreas

Disakarase
Lipase

sukrosa,

laktosa)

monosakarida

menjadi
(glukosa,

fruktosa, galaktosa)
Mengubah lemak menjadi asam
lemak dan gliserol
Mengemulsi (melarutkan) lemak
Kandung
Empedu

Usus halus

Asam empedu

dalam air
Menetralkan HCl yang masuk

Enterokinase

ke usus halus dari lambung


Mengubah pepton menjadi asam
amino

Disakarase
Mengubah disakarida menjadi
Lipase

monosakarida
Mengemulsi lemak

B.

Gangguan yang mungkin terjadi apabila ada kelainan pada sekresi


enzim, antara lain :
a)

Gastritis

b)

GERD (Gastro Esophageal Disease)

c)

Tukak Gaster

d)

Tukak Duodenum

e)

Enteritis

f)

Pankreatitis

g)

Gangguan Usus Besar

h)

Hepatobilier (Kolisistisis, Kolelitiasis, Koledokolitiasis, dan


Kolangitis)

2.

Patofisiologi pada gangguan sekresi enzim beserta gejala klinis, penegakan


dignosis dan penatalaksanaannya, adalah sebagai berikut :
A.

Gastritis
Definisi
Secara sederhana gastritis berarti proses inflamasi pada mukosa
dan submukosa lambung. Gastritis merupakan gangguan kesehatan
yang sampai saat ini masih sering dijumpai. Gastritis adalah
peradangan pada mukosa lambung yang dapat bersifat akut, kronik,
atau lokal (Price & Wilson, 2014).

Berdasarkan pengetian di atas, penulis menyimpulkan bahwa


inflamasi yang terjadi pada mukosa lambung di tandai dengan adanya
radang pada daerah tersebut yang disebabkan karena mengkonsumsi
makanan yang dapat meningkatkan asam lambung (seperti makanan
yang asam atau pedas) atau bisa di sebabkan oleh merokok dan
minum alkohol (Price & Wilson, 2014).
Kasus gastritis dapat hanya superficial yang berarti belum begitu
bahaya namun bila berlangsung lama dapat menyebabkan atrofi
mukosa lambung, dapat juga dalam beberapa kasus menjadi sangat
akut dan berat dengan ekskoriasi ulserativa mukosa lambung oleh
sekresi peptik lambung sendiri. Penelitian menunjukkan bahwa
gastritis banyak disebabkan oleh infeksi bakterial dan beberapa
berasal dari bahan yang dimakan yaitu alkohol dan aspirin. Hal ini
bersifat sangat merusak sawar mukosa lambung, yaitu mukosa
kelenjar dan sambungan epitel yang rapat (tight junctions) diantara sel
pelapis lambung (Price & Wilson, 2014).
Jenis - Jenis Gastritis
Terdapat dua jenis gastritis yang paling sering terjadi yaitu
gastritis superfisial akut dan gastritis atrofik kronis.
a)

Gastritis superfisialis akut


Gastritis superfisialis

akut biasanya

bersifat jinak.

Penyebab penyakit ini adalah endotoksin bakteri, kafein,


alkohol, dan aspirin (OAINS). Destruksi sawar mukosa lambung
diduga merupakan mekanisme patogenik yang menyebabkan
cedera. Pada gastritis superficialis didapatkan gambaran mukosa
tampak memerah, edema, ditutupi oleh mukus yang melekat
serta sering disertai erosi kecil dan perdarahan. Gastritis akut
mereda

bila

agen

penyebab

dihilangkan.

Penggunaan

penghambat Histamin 2 (H2) dapat mengurangi sekresi asam,

antasid dapat menetralkan asam yang tersekresi, sehingga


mempercepat penyembuhan (Price & Wilson, 2014).
b)

Gastritis atrofi kronis


Gastritis atrofi kronis ditandai oleh atrofi epitel kelenjar
disertai kehilangan sel parietal dan chief cell. Dinding lambung
menjadi tipis dan permukaan mukosa menjadi rata. Ada dua
jenis, pertama gastritis kronis tipe A, merupakan penyakit
autoimun yang disebabkan oleh autoantibodi terhadap sel
parietal kelenjar lambung dan faktor intrinsik. Tidak adanya sel
parietal dan chief cell dapat menurunkan sekresi asam dan
meningkatnya kadar gastrin. Kedua adalah gastritis kronik tipe
B atau disebut juga gastritis antral karena umumnya mengenai
daerah antrum dan lebih sering terjadi. Penyebab utamanya
adalah Helicobacter pylori (H.pylori). Selain itu dapat juga
disebabkan oleh alkohol, merokok, dan refluk empedu (Price &
Wilson, 2014).
Gastritis atrofi yang berupa penipisan lapisan mukosa
lambung ini ditandai dengan hilangnya kelenjar karena jejas
mukosa yang berulang dan kronis. Gambaran awal atrofi berupa
fokus yang multipel (Multifokal Atrophic Gastritis) pada daerah
peralihan antrum dan korpus di daerah kurvatura minor. Bila
berlangsung kronis akan mengenai seluruh antrum, namun
korpus

hanya

relatif

sedikit.

Hilangnya

kelenjar

dapat

diakibatkan oleh erosi atau tukak pada mukosa yang disertai


rusaknya lapisan kelenjar, proses radang kronik dan kerusakan
yang terjadi sedikit demi sedikit ("piecemeal'). Pada umumnya
regenerasi dapat melalui berbagai jalur diferensiasi, Pada daerah
yang mengalami regenerasi menghasilkan gambaran kelenjar
metaplasi pseudo-pilorik' (pada korpus) dan metaplasia
intestinal. Prevalensi dan beratnya atrofi pada pasien gastritis
meningkat sesuai dengan meningkatnya umur. Faktor makanan

tertentu dapat mempengaruhi keadaan ini seperti konsumsi


garam

berlebihan,

makanan

diasap,

nitrit,

nitrosamin.

Nitrosamin dapat dirubah menjadi nitrit, yang membantu


kolonisasi an-aerobik bakteri ini dalam suasana hiprokhlorhidria
lambung. Konsumsi sayuran dan buah-buahan antioksidan
vitamin C, E, p-karoten dan selenium dapat mencegah
perkembangan gastritis atrofi (Price & Wilson, 2014).
Terdapat dua jenis Gastritis Kronis yaitu :
Gastritis Kronis Tipe A
Gastritis kronis tipe A merupakan suatu penyakit autoimun
yang disebabkan oleh adanya autoantibodi terhadap sel parietal
kelenjar lambung dan faktor intrinsik, dan berkaitan dengan
tidak adanya sel parietal dan chief cell, yang menurunkan
sekresi asam dan menyebabkan tingginya kadar gastrin. Dalam
keadaan sangat berat, tidak terjadi produksi faktor intrinsik.
Anemia pernisiosa seringkali dijumpai pada pasien karena tidak
tersedianya faktor intrinsik untuk mempermudah absorpsi
vitamin B12 dalam ileum (Price & Wilson, 2014).
Jadi, anemia pernisiosa itu disebabkan oleh kegagalan
absorpsi vitamin B12 karena kekurangan faktor intrinsik akibat
gastritis kronis autoimun. Autoimunitas secara langsung
menyerang sel parietal pada korpus dan fundus lambung yang
menyekresikan faktor intrinsik dan asam (Price & Wilson,
2014).
Reaksi autoimun bermanifestasi sebagai sebukan limfoplasmasitik pada mukosa sekitar sel parietal, yang secara
progresif berkurang jumlahnya. Netrofil jarang dijumpai dan
tidak didapati Helicobacter pylori. Mukosa fundus dan korpus
menipis dan kelenjar-kelenjar dikelilingi oleh sel mukus yang
mendominasi. Mukosa sering memperlihatkan metaplasia

10

intestinal yang ditandai dengan adanya sel goblet dan sel paneth.
Pada stadium akhir, mukosa menjadi atrofi dan sel parietal
menghilang (gastritis kronis tipe A) (Price & Wilson, 2014).
Gastritis Kronis Tipe B
Gastritis kronis tipe B disebut juga sebagai gastritis antral
karena umumnya mengenai daerah antrum lambung dan lebih
sering terjadi dibandingkan dengan gastritis kronis tipe A.
Gastritis kronis tipe B lebih sering terjadi pada penderita yang
berusia tua. Bentuk gastritis ini memiliki sekresi asam yang
normal dan tidak berkaitan dengan anemia pernisiosa. Kadar
gastrin yang rendah sering terjadi. Penyebab utama gastritis
kronis tipe B adalah infeksi kronis oleh Helicobacter pylori.
Faktor etiologi gastritis kronis lainnya adalah asupan alkohol
yang berlebihan, merokok, dan refluks empedu kronis dengan
kofaktor Helicobacter pylori (Price & Wilson, 2014).
Gastritis kronis tipe B secara maksimal melibatkan bagian
antrum, yang merupakan tempat predileksi Helicobacter pylori.
Kasus-kasus dini memperlihatkan sebukan limfoplasmasitik
pada mukosa lambung superfisial. Infeksi aktif Helicobacter
pylori hampir selalu berhubungan dengan munculnya nertrofil,
baik pada lamina propria ataupun pada kelenjar mukus antrum.
Pada saat lesi berkembang, peradangan meluas yang meliputi
mukosa dalam dan korpus lambung. Keterlibatan mukosa bagian
dalam menyebabkan destruksi kelenjar mukus antrum dan
metaplasia intestinal (gastritis atrofik kronis tipe B) (Price &
Wilson, 2014).
Pada 60-70% pasien, didapatkan Helicobacter pylori pada
pemeriksaan histologis atau kultur biopsi. Pada banyak pasien
yang tidak didapati organisme ini, pemeriksaan serologisnya
memperlihatkan antibodi terhadap Helicobacter pylori, yang

11

menunjukkan sudah ada infeksi Helicobacter pylori sebelumnya


(Price & Wilson, 2014).
Helicobacter pylori adalah organisme yang kecil dan
melengkung, seperti vibrio, yang muncul pada lapisan mukus
permukaan yang menutupi permukaan epitel dan lumen kelenjar.
Bakteri ini merupakan bakteri gram negatif yang menyerang sel
permukaan, menyebabkan deskuamari sel yang dipercepat dan
menimbulkan respon sel radang kronis pada mukosa lambung.
Helicobacter pylori ditemukan lebih dari 90% dari hasil biopsi
yang menunjukkan gastritis kronis. Organisme ini dapat dilihat
pada irisan rutin, tetapi lebih jelas dengan pewarnaan perak
Steiner atau Giemsa. Keberadaan Helicobacter pylori berkaitan
erat dengan peradangan aktif dengan netrofil. Organisme dapat
tidak ditemukan pada pasien gastritis akut inaktif, terutama bila
terjadi metaplasia intestinal(Price & Wilson, 2014).
Etiologi
Lambung adalah sebuah kantung otot yang kosong, terletak pada
bagian kiri atas perut tepat dibawah tulang iga. Lambung orang
dewasa mempunyai panjang berkisar antara 10 inchi dan dapat
mengembang untuk menampung makanan atau minuman sebanyak 1
gallon. Bila lambung dalam keadaan kosong, maka ia akan melipat,
mirip seperti sebuah akordion. Ketika lambung mulai terisi dan
mengembang, lipatan - lipatan tersebut secara bertahap membuka
(Price & Wilson, 2014).
Lambung memproses dan menyimpan makanan dan secara
bertahap melepaskannya ke dalam usus kecil. Ketika makanan masuk
ke dalam esophagus, sebuah cincin otot yang berada pada sambungan
antara esophagus dan lambung (esophageal sphincter) akan membuka
dan membiarkan makanan masuk ke lambung. Setelah masuk ke
lambung cincin in menutup. Dinding lambung terdiri dari lapisan

12

lapisan otot yang kuat. Ketika makanan berada di lambung, dinding


lambung akan mulai menghancurkan makanan tersebut. Pada saat
yang sama, kelenjar - kelenjar yang berada di mukosa pada dinding
lambung mulai mengeluarkan cairan lambung (termasuk enzim enzim dan asam lambung) untuk lebih menghancurkan makanan
tersebut (Price & Wilson, 2014).
Salah satu komponen cairan lambung adalah asam hidroklorida.
Asam ini sangat korosif sehingga paku besi pun dapat larut dalam
cairan ini. Dinding lambung dilindungi oleh mukosa - mukosa
bicarbonate (sebuah lapisan penyangga yang mengeluarkan ion
bicarbonate secara regular sehingga menyeimbangkan keasaman
dalam lambung) sehingga terhindar dari sifat korosif asam
hidroklorida (Price & Wilson, 2014).
Gastritis biasanya terjadi ketika mekanisme pelindung ini
kewalahan dan mengakibatkan rusak dan meradangnya dinding
lambung. Beberapa penyebab yang dapat mengakibatkan terjadinya
gastritis antara lain :
a.

Infeksi bakteri. Sebagian besar populasi di dunia terinfeksi oleh


bakteri H. Pylori yang hidup di bagian dalam lapisan mukosa
yang melapisi dinding lambung. Walaupun tidak sepenuhnya
dimengerti bagaimana bakteri tersebut dapat ditularkan, namun
diperkirakan penularan tersebut terjadi melalui jalur oral atau
akibat memakan makanan atau minuman yang terkontaminasi
oleh bakteri ini. Infeksi H. pylori sering terjadi pada masa kanak
- kanak dan dapat bertahan seumur hidup jika tidak dilakukan
perawatan. Infeksi H. pylori ini sekarang diketahui sebagai
penyebab utama terjadinya peptic ulcer dan penyebab tersering
terjadinya gastritis. Infeksi dalam jangka waktu yang lama akan
menyebabkan

peradangan

menyebar

yang

kemudian

mengakibatkan perubahan pada lapisan pelindung dinding


lambung. Salah satu perubahan itu adalah atrophicgastritis,

13

sebuah keadaan dimana kelenjar-kelenjar penghasil asam


lambung secara perlahan rusak. Peneliti menyimpulkan bahwa
tingkat asam lambung yang rendah dapat mengakibatkan racunracun yang dihasilkan oleh kanker tidak dapat dihancurkan atau
dikeluarkan

secara

sempurna

dari

lambung

sehingga

meningkatkan resiko (tingkat bahaya) dari kanker lambung. Tapi


sebagian besar orang yang terkena infeksi H. pylori kronis tidak
mempunyai kanker dan tidak mempunyai gejala gastritis, hal ini
mengindikasikan bahwa ada penyebab lain yang membuat
sebagian orang rentan terhadap bakteri ini sedangkan yang lain
tidak (Price & Wilson, 2014).
b.

Pemakaian obat penghilang nyeri secara terus menerus.


Obat analgesik anti inflamasi nonsteroid (AINS) seperti aspirin,
ibuprofen dan naproxen dapat menyebabkan peradangan pada
lambung dengan cara mengurangi prostaglandin yang bertugas
melindungi dinding lambung. Jika pemakaian obat - obat
tersebut hanya sesekali maka kemungkinan terjadinya masalah
lambung akan kecil. Tapi jika pemakaiannya dilakukan secara
terus

menerus

atau

pemakaian

yang

berlebihan

dapat

mengakibatkan gastritis dan peptic ulcer (Price & Wilson, 2014)


c.

Penggunaan alkohol secara berlebihan. Alkohol dapat


mengiritasi dan mengikis mukosa pada dinding lambung dan
membuat dinding lambung lebih rentan terhadap asam lambung
walaupun pada kondisi normal (Price & Wilson, 2014).

d.

Penggunaan kokain. Kokain dapat merusak lambung dan


menyebabkan pendarahan dan gastritis (Price & Wilson, 2014).

e.

Stress fisik. Stress fisik akibat pembedahan besar, luka trauma,


luka bakar atau infeksi berat dapat menyebabkan gastritis dan
juga borok serta pendarahan pada lambung (Price & Wilson,
2014)

14

f.

Kelainan autoimmune. Autoimmune atrophicgastritis terjadi


ketika sistem kekebalan tubuh menyerang sel-sel sehat yang
berada dalam dinding lambung. Hal ini mengakibatkan
peradangan dan secara bertahap menipiskan dinding lambung,
menghancurkan kelenjar-kelenjar penghasil asam lambung dan
menganggu produksi faktor intrinsic (yaitu sebuah zat yang
membantu tubuh mengabsorbsi vitamin B-12). Kekurangan B12, akhirnya, dapat mengakibatkan pernicious anemia, sebuah
konsisi serius yang jika tidak dirawat dapat mempengaruhi
seluruh sistem dalam tubuh. Autoimmune atrophicgastritis
terjadi terutama pada orang tua (Price & Wilson, 2014).

g.

Crohn's disease. Walaupun penyakit ini biasanya menyebabkan


peradangan kronis pada dinding saluran cerna, namun kadangkadang dapat juga menyebabkan peradangan pada dinding
lambung. Ketika lambung terkena penyakit ini, gejala-gejala
dari Crohn's disease (yaitu sakit perut dan diare dalam bentuk
cairan) tampak lebih menyolok daripada gejala-gejala gastritis
(Price & Wilson, 2014).

h.

Radiasi and kemoterapi. Perawatan terhadap kanker seperti


kemoterapi dan radiasi dapat mengakibatkan peradangan pada
dinding lambung yang selanjutnya dapat berkembang menjadi
gastritis dan peptic ulcer. Ketika tubuh terkena sejumlah kecil
radiasi, kerusakan yang terjadi biasanya sementara, tapi dalam
dosis besar akan mengakibatkan kerusakan tersebut menjadi
permanen dan dapat mengikis dinding lambung serta merusak
kelenjar-kelenjar penghasil asam lambung ( Price & Wilson,
2014 ).

i.

Penyakit bile reflux. Bile (empedu) adalah cairan yang


membantu mencerna lemak-lemak dalam tubuh. Cairan ini
diproduksi oleh hati. Ketika dilepaskan, empedu akan melewati
serangkaian saluran kecil dan menuju ke usus kecil. Dalam

15

kondisi normal, sebuah otot sphincter yang berbentuk seperti


cincin (pyloric valve) akan mencegah empedu mengalir balik ke
dalam lambung. Tapi jika katup ini tidak bekerja dengan benar,
maka

empedu

akan

masuk

ke

dalam

lambung

dan

mengakibatkan peradangan dan gastritis (Price & Wilson, 2014)


Patofisiologi
Gangguan keseimbangan faktor agresif (asam lambung dan
pepsin) dan faktor defensif (ketahanan mukosa). Penggunaan aspirin
atau obat anti inflamasi non steroid (AINS) lainnya, obat-obatan
kortikosteroid, penyalahgunaan alkohol, menelan substansi erosif,
merokok, atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut dapat mengancam
ketahanan mukosa lambung. Gastritis dapat menimbulkan gejala
berupa nyeri, sakit, atau ketidaknyamanan yang terpusat pada perut
bagian atas ( Price & Wilson, 2014 ).
Gaster memiliki lapisan epitel mukosa yang secara konstan
terpapar oleh berbagai faktor endogen yang dapat mempengaruhi
integritas mukosanya, seperti asam lambung, pepsinogen/pepsin dan
garam empedu. Sedangkan faktor eksogennya adalah obat-obatan,
alkohol dan bakteri yang dapat merusak integritas epitel mukosa
lambung, misalnya Helicobacter pylori. Oleh karena itu, gaster
memiliki

dua

faktor

yang

sangat

melindungi

integritas

mukosanya,yaitu faktor defensif dan faktor agresif. Faktor defensif


meliputi produksi mukus yang didalamnya terdapat prostaglandin
yang memiliki peran penting baik dalam mempertahankan maupun
menjaga integritas mukosa lambung, kemudian sel-sel epitel yang
bekerja mentransport ion untuk memelihara pH intraseluler dan
produksi asam bikarbonat serta sistem mikrovaskuler yang ada
dilapisan subepitelial sebagai komponen utama yang menyediakan ion
HCO3-sebagai penetral asam lambung dan memberikan suplai
mikronutrien dan oksigenasi yang adekuat saat menghilangkan efek
toksik metabolik yang merusak mukosa lambung. Gastritis terjadi

16

sebagai akibat dari mekanisme pelindung ini hilang atau rusak,


sehingga dinding lambung tidak memiliki pelindung terhadap asam
lambung ( Price & Wilson, 2014 ).

Bagan 1. Patofisiologi Gastritis (Price & Wilson, 2014).


Obat-obatan, alkohol, pola makan yang tidak teratur, stress, dan
lain-lain dapat merusak mukosa lambung, mengganggu pertahanan
mukosa lambung, dan memungkinkan difusi kembali asam pepsin ke
dalam jaringan lambung, hal ini menimbulkan peradangan. Respons
mukosa lambung terhadap kebanyakan penyebab iritasi tersebut
adalah dengan regenerasi mukosa, karena itu gangguan-gangguan
tersebut seringkali menghilang dengan sendirinya. Dengan iritasi yang
terus menerus, jaringan menjadi meradang dan dapat terjadi

17

perdarahan. Masuknya zat-zat seperti asam dan basa kuat yang


bersifat korosif mengakibatkan peradangan dan nekrosis pada dinding
lambung. Nekrosis dapat mengakibatkan perforasi dinding lambung
dengan akibat berikutnya perdarahan dan peritonitis (Price & Wilson,
2014).
a.

Gastritis Akut
Gastritis akut dapat disebabkan oleh karena stres, zat

kimiamisalnya obat-obatan dan alkohol, makanan yang pedas, panas


maupunasam. Pada para yang mengalami stres akan terjadi
perangsangan sarafsimpatis Nervus vagus yang akan meningkatkan
produksi asamklorida (HCl) di dalam lambung. Adanya HCl yang
berada di dalamlambung akan menimbulkan rasa mual, muntah dan
anoreksia. (Price & Wilson, 2014)
Zat

kimia

maupun

makanan

yang

merangsang

akan

menyebabkansel epitel kolumner, yang berfungsi untuk menghasilkan


mukus,mengurangi produksinya. Sedangkan mukus itu fungsinya
untukmemproteksi mukosa lambung agar tidak ikut tercerna. Respon
mukosalambung

karena

penurunan

sekresi

mukus

bervariasi

diantaranyavasodilatasi sel mukosa gaster. Lapisan mukosa gaster


terdapat sel yangmemproduksi HCl (terutama daerah fundus) dan
pembuluh darah (Price & Wilson, 2014)
Vasodilatasi mukosa gaster akan menyebabkan produksi
HClmeningkat. Anoreksia juga dapat menyebabkan rasa nyeri. Rasa
nyeri iniditimbulkan oleh karena kontak HCl dengan mukosa gaster.
Responmukosa lambung akibat penurunan sekresi mukus dapat
berupa eksfeliasi(pengelupasan). Eksfeliasi sel mukosa gaster akan
mengakibatkan erosipada sel mukosa. Hilangnya sel mukosa akibat
erosi memicu timbulnya perdarahan. (Price & Wilson, 2014)
Perdarahan yang terjadi dapat mengancam hidup penderita,
namundapat juga berhenti sendiri karena proses regenerasi, sehingga

18

erosimenghilang dalam waktu 24-48 jam setelah perdarahan (Price &


Wilson, 2014)
b.

Gastritis Kronis
Helicobacter pylori merupakan bakteri gram negatif. Organisme

inimenyerang

sel

permukaan

gaster,

memperberat

timbulnya

desquamasi seldan muncullah respon radang kronis pada gaster yaitu :


destruksi kelenjardan metaplasia (Price & Wilson, 2014)
Metaplasia adalah salah satu mekanisme pertahanan tubuh
terhadapiritasi, yaitu dengan mengganti sel mukosa gaster, misalnya
dengan seldesquamosa yang lebih kuat. Karena sel desquamosa lebih
kuat makaelastisitasnya juga berkurang. Pada saat mencerna makanan,
lambungmelakukan gerakan peristaltik tetapi karena sel penggantinya
tidak elastismaka akan timbul kekakuan yang pada akhirnya
menimbulkan rasa nyeri.Metaplasia ini juga menyebabkan hilangnya
sel mukosa pada lapisanlambung, sehingga akan menyebabkan
kerusakan pembuluh darah lapisanmukosa. Kerusakan pembuluh
darah ini akan menimbulkan perdarahan (Price & Wilson, 2014)
Manifestasi Klinis
Gejala umum gastritis yaitu :
1.

Sakit saat buang air besar

2.

Mual dan muntah

3.

Sering merasa lapar

4.

Perut kembung

5.

Nyeri yang terasa perih pada perut dan dada

6.

Sering bersendawa

7.

Anoreksia

19

8.

Nyeri panas pada ulu hati

9.

Demam, perdarahan, hematemesis

10.

Ketika makan memperberat sakit (Price & Wilson, 2014)

Berdasarkan jenis gastritis :


a.

Gastritis akut
1)

Nyeri

epigastrium,

hal

ini

terjadi

karena

adanya

peradangan pada mukosa lambung.


2)

Mual, kembung, muntah merupakan salah satu keluhan


yang sering muncul. Hal ini dikarenakan adanya
regenerasi mukosa lambung sehingga terjadi peningkatan
asam lambung yang mengakibatkan mual hingga muntah.

3)

Ditemukan

pula

perdarahan

saluran

cerna

berupa

hematesis dan malena, kemudian disusul dengan tandatanda anemia pasca perdarahan (Price & Wilson, 2014)
b.

Gastritis kronis
Pada pasien gastritis kronis umumnya tidak mempunyai
keluhan. Hanya sebagian kecil mengeluh nyeri ulu hati,
anoreksia, nausea dan pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan
kelainan (Price & Wilson, 2014)

Pemeriksaan Penunjang
Bila seorang pasien didiagnosa terkena gastritis, biasanya
dilanjutkan dengan pemeriksaan tambahan untuk mengetahui secara
jelas penyebabnya. Pemeriksaan tersebut meliputi :
1)

Pemeriksaan darah.
Tes ini digunakan untuk memeriksa adanya antibodi H. pylori
dalam darah. Hasil tes yang positif menunjukkan bahwa pasien

20

pernah kontak dengan bakteri pada suatu waktu dalam hidupnya,


tapi itu tidak menunjukkan bahwa pasien tersebut terkena
infeksi. Tes darah dapat juga dilakukan untuk memeriksa
anemia, yang terjadi akibat pendarahan lambung akibat gastritis.
2)

Pemeriksaan pernapasan.
Tes ini dapat menentukan apakah pasien terinfeksi oleh bakteri
H. pylori atau tidak.

3)

Pemeriksaan feces.
Tes ini memeriksa apakah terdapat H. pylori dalam feses atau
tidak. Hasil yang positif dapat mengindikasikan terjadinya
infeksi. Pemeriksaan juga dilakukan terhadap adanya darah
dalam feces. Hal ini menunjukkan adanya pendarahan pada
lambung (Price & Wilson, 2014)

4)

Endoskopi saluran cerna bagian atas.


Dengan tes ini dapat terlihat adanya ketidaknormalan pada
saluran cerna bagian atas yang mungkin tidak terlihat dari sinarX. Tes ini dilakukan dengan cara memasukkan sebuah selang
kecil yang fleksibel (endoskop) melalui mulut dan masuk ke
dalam esophagus, lambung dan bagian atas usus kecil.
Tenggorokan akan terlebih dahulu dimati-rasakan (anestesi)
sebelum endoskop dimasukkan untuk memastikan pasien
merasa nyaman menjalani tes ini. Jika ada jaringan dalam
saluran cerna yang terlihat mencurigakan, dokter akan
mengambil sedikit sampel (biopsy) dari jaringan tersebut.
Sampel itu kemudian akan dibawa ke laboratorium untuk
diperiksa. Tes ini memakan waktu kurang lebih 20 sampai 30
menit. Pasien biasanya tidak langsung disuruh pulang ketika tes
ini selesai, tetapi harus menunggu sampai efek dari anestesi
menghilang, kurang lebih satu atau dua jam. Hampir tidak ada

21

resiko akibat tes ini. Komplikasi yang sering terjadi adalah rasa
tidak nyaman pada tenggorokan akibat menelan endoskop (Price
& Wilson, 2014)
5)

Rontgen saluran cerna bagian atas.


Tes ini akan melihat adanya tanda-tanda gastritis atau penyakit
pencernaan lainnya. Biasanya akan diminta menelan cairan
barium terlebih dahulu sebelum dilakukan rontgen. Cairan ini
akan melapisi saluran cerna dan akan terlihat lebih jelas ketika
di rontgen (Price & Wilson, 2014)

Penatalaksanaan Gastritis
Maag bisa disembuhkan tetapi tidak bisa sembuh total, maag
adalah penyakit yang dapat kambuh apabila penderita tidak makan
teratur, terlalu banyak makan, atau sebab lain. Biasanya untuk
meredakan atau menyembuhkannya penderita harus mengkonsumsi
obat jika diperlukan. Tetapi maag dapat di cegah, yaitu dengan cara
makan teratur, makan secukupnya, cuci tangan sebelum makan dan
jangan jajan sembarangan (Price & Wilson, 2014)
Obat-obatan untuk sakit maag umumnya dimakan dua jam
sebelum makan dan dua jam sesudah makan. Adapun dengan tujuan
obat dikonsumsi dua jam sebelum makan yaitu untuk menetralisir
asam lambung, karena pada saat tersebut penumpukkan asam lambung
sudah sangat banyak dan didalam lambung penderita pasti telah terjadi
luka-luka kecil yang apabila terkena asam akan terasa perih.
Kemudian obat yang diminum dua jam sesudah makan bertujuan
untuk melindungi dinding lambung dari asam yang terus diproduksi.
Akhirnya dua jam setelah makan, asam yang di lambung akan terpakai
untuk mencerna makanan sehingga sudah ternetralisir dan tidak akan
melukai dinding lambung (Price & Wilson, 2014)
Obat-obatan yang biasanya digunakan :

22

1)

Antasida (Menetralisir asam lambung dan menghilangkan rasa


nyeri)

2)

Pompa Proton pencegah pertumbuhan bakteri(Menghentikan


produksi asam lambung dan menghambat infeksi bakteri
helicobacter pylori)

3)

Agen Cytoprotektif (Melindungi jaringan mukosa lambung dan


usus halus)

4)

Obat anti sekretorik (Mampu menekan sekresi asam)

5)

Pankreatin (Membantu pencernaan lemak, karbohidrat, protein


dan mengatasi gangguan sakit pencernaan seperti perut
kembung, mual, dan sering mengeluarkan gas)

6)

Ranitidin (Mengobati tukak lambung)

7)

Simetidin (Mengobati dispepsia)


(Price & Wilson, 2014)
Selain itu penyakit ini dipercaya memiliki beberapa jenis

minuman dan makanan yang kurang baik untuk dikonsumsi yaitu :


1)

Minuman yang merangsang pengeluaran asam lambung antara


lain : kopi, anggur putih, sari buah sitrus, dan susu.

2)

Makanan yang sangat asam atau pedas seperti cuka, cabai, dan
merica (makanan yang merangsang perut dan dapat merusak
dinding lambung).

3)

Makanan

yang

sulit

dicerna

dan

dapat

memperlambat

pengosongan lambung. Karena hal ini dapat menyebabkan


peningkatan peregangan di lambung yang akhirnya dapat
meningkatkan asam lambung antara lain makanan berlemak, kue
tar, coklat, dan keju.

23

4)

Makanan yang melemahkan klep kerongkongan bawah sehingga


menyebabkan cairan lambung dapat naik ke kerongkongan
seperti alkohol, coklat, makanan tinggi lemak, dan gorengan
(Price & Wilson, 2014)

5)

Makanan dan minuman yang banyak mengandung gas dan juga


yang terlalu banyak serat, antara lain :
a.

Sayur-sayuran tertentu seperti sawi dan kol

b.

Buah-buahan tertentu seperti nangka dan pisang ambon

c.

Makanan berserat tinggi tertentu seperti kedondong dan


buah yang dikeringkan

d.

Minuman yang mengandung banyak gas (seperti minuman


bersoda).
Selain itu, kegiatan yang dapat meningkatkan gas didalam

lambung juga harus dihindari, antara lain makan permen


khususnya permen karet serta merokok ( Price & Wilson, 2014 )
Gastritis akut
penatalaksaan medis pada pasien gastritis akut diatasi dengan
menginstruksikan pasien untuk menghindari alkohol dan makanan
sampai gejala berkurang. Bila pasien mampu makan melalui mulut,
diet mengandung gizi dianjurkan. Bila gejala menetap, cairan perlu
diberikan

secara

parenteral.

Bila

perdarahan

terjadi,

maka

penatalaksanaan adalah serupa dengan prosedur yang dilakukan untuk


hemoragi saluran gastrointestinal atas. Bila gastritis diakibatkan oleh
mencerna makanan yang sangat asam, pengobatan terdiri dari
pengenceran dan penetralisasian agen penyebab. Untuk menetralisr
asam digunakan antacid umum. Dan bila korosi luas atau berat
dihindari karena bahaya perforasi ( Price & Wilson, 2014 )

24

Sedangkan menurut Sjamsuhidajat, 2004 penatalaksanaannya


jika terjadi perdarahan, tindakan pertama adalah tindakan konservatif
berupa pembilasan air es disertai antacid dan antagonis reseptor H 2pemberian obat yang berlanjut memerlukan ti ndakan bedah ( Price &
Wilson, 2014 )
Gastritis kronik
Penatalaksanaan medis pada pasien gastritis kronik diatasi
dengan memodifikasi diet pasien, meningkatkan istirahat, mengurangi
stress dan memuli farmakoterapi. Helicobacter pylori dapat diatasi
dengan antibiotic dan bismuth. ( Price & Wilson, 2014 )
Penatalaksanaan yang dilakukan pertama kali adalah jika tidak
dapat dilakukan endoskopi caranya yaitu dengan mengatasi dan
mengindari penyebab pada gastritis akut, kemudian diberikan
pengobatan empiris berupa antacid. Tetapi jika endoskopi dapat
dilakukan berikan terapi eradikasi. ( Price & Wilson, 2014 )
B.

Gastroesophageal Refluks Disease (GERD)


Definisi
Pada gastroesophageal refluks (GERD) adalahkondisi di mana
esophagus mengalami iritasi atau inflamasi karena refluks asam dari
lambung. Refluks terjadi ketika otot berbentuk cincin yang secara
normal mencegah isi lambung mengalir kembali menuju esophagus
disebabkan esophageal sphincter bagian bawah tidak berfungsi
sebagaimana mestinya.Gejala yang paling umum adalah rasa panas
atau nyeri terbakar di sekitar dada. Diagnosa tersebut didasarkan pada
gejala-gejala. (Setiati, 2014)
Esophagus mengeluarkan lapisan pelindung tetapi akibat asam
lambung dan enzim yang mengalir ke belakang (refluks) menuju
esophagus secara rutin menyebabkan gejala-gejala dan pada beberapa
kasus esophagusmengalami kerusakan yang berat pada mukosa.Asam

25

dan enzim mengalir kembali ketika esophageal sphincter bagian


bawahtidak berfungsi sebagaimana mestinya. Ketika seseorang berdiri
atau duduk, gravitasi membantu untuk mencegah isi perut mengalir
kembali menuju esophagus , hal ini menjelaskan kenapa refluks bisa
memburuk ketika seseorang sedang berbaring. Refluks dapat terjadi
segera setelah makan, ketika jumlah dan keasaman isi di dalam
lambung lebih tinggi dan otot sphincter tidak mungkin untuk bekerja
sebagaimana mestinya. (Setiati, 2014)
Faktor

yang

menyebabkan

terjadinya

refluks

termasuk

pertambahan berat badan, makanan berasam, coklat, minuman


berkafein dan berkarbonat, alkohol, merokok tembakau, dan obatobatan tertentu. Jenis obat-obatan yang bertentangan dengan fungsi
esophageal sphincter bagian bawah termasuk apa yang memiliki efek
antikolinergik
antihistamin).

(seperti

berbagai

Penghambat

saluran

antihistamin
kalsium,

dan

beberapa

progesteron,

dan

nitrat.Alkohol dan kopi juga berperan dengan merangsang produksi


asam.Penundaan pengosongan lambung (disebabkan diabetes atau
penggunaan opioid) bisa juga memperburuk refluks. (Setiati, 2014)
Etiologi
Refluks gastroesofageal terjadi sebagai konsekuensi berbagai
kelainan fisiologi dan anatomi yang berperan dalam mekanisme
antirefluks di lambung dan esofagus. Mekanisme patofisiologis
meliputi

relaksasi

transien

dan

tonus

Lower

Esophageal

Sphincter(LES) yang menurun, gangguan clearance esofagus,


resistensi mukosa yang menurun dan jenis reluksat dari lambung dan
duodenum, baik asam lambung maupun bahan-bahan agresif lain
seperti pepsin, tripsin, dan cairan empedu serta faktor-faktor
pengosongan lambung. Asam lambung merupakan salah satu faktor
utama etiologi penyakit refluks esofageal, kontak asam lambung yang
lama dapat mengakibatkan kematian sel, nekrosis, dan kerusakan
mukosa pada pasien GERD. (Setiati, 2014)

26

Ada 4 faktor penting yang memegang peran untuk terjadinya GERD :


1.

Rintangan Anti-refluks (Anti Refluks Barrier).


Kontraksi tonus Lower Esofageal Sphincter (LES) memegang
peranan penting untuk mencegah terjadinya GERD, tekanan
LES < 6 mmHg hampir selalu disertai GERD yang cukup
berarti, namun refluks bisa saja terjadi pada tekanan LES yang
normal, ini dinamakan inappropriate atau transient sphincter
relaxation, yaitu pengendoran sfingter yang terjadi di luar proses
menelan. Akhir-akhir ini dikemukakan bahwa radang kardia
oleh infeksi kuman Helicobacter pylori mempengaruhi faal LES
denagn akibat memperberat keadaan.Faktor hormonal, makanan
berlemak, juga menyebabkan turunnya tonus LES.

2.

Mekanisme pembersihan esofagus.


Pada keadaan normal bersih diri esofagus terdiri dari 4 macam
mekanisme, yaitu gaya gravitasi, peristaltik, salivasi dan
pembentukan bikarbonat intrinsik oleh esofagus. Proses
membersihkan esofagus dari asam (esophageal acid clearance)
ini sesungguhnya berlangsung dalam 2 tahap. Mula-mula
peristaltik esofagus primer yang timbul pada waktu menelan
dengan cepat mengosongkan isi esofagus, kemudian air liur
yang alkalis dan dibentuk sebanyak 0,5 mL/menit serta
bikarbonat yang dibentuk oleh mukosa esofagus sendiri,
menetralisasi asam yang masih tersisa. Sebagian besar asam
yang masuk esofagus akan turun kembali ke lambung oleh
karena gaya gravitasi dan peristaltik. Refluks yang terjadi pada
malam hari waktu tidur paling merugikan oleh karena dalam
posisi tidur gaya gravitasi tidak membantu, salivasi dan proses
menelan boleh dikatakan terhenti dan oleh karena itu peristaltik
primer dan saliva tidak berfungsi untuk proses pembersihan

27

asam di esofagus. Selanjutnya kehadiran hernia hiatal juga


menggangu proses pembersihan tersebut.
3.

Daya perusak bahan refluks.


Asam pepsin dan mungkin juga empedu yang ada dalam cairan
refluks mempunyai daya perusak terhadap mukosa esofagus.
Beberapa jenis makanan tertentu seperti air jeruk nipis, tomat
dan kopi menambah keluhan pada pasien GERD.

4.

Isi lambung dan pengosongannya.


Reluks gastroesofagus lebih sering terjadi sewaktu habis makan
dari pada keadaan puasa, oleh karena isi lambung merupakan
faktor penentu terjadinya refluks. Lebih banyak isi lambung
lebih sering terjadi refluks. Selanjutnya pengosongan lambung
yang lamban akan menambah kemungkinan refluks tadi.
(Setiati, 2014)
Penyakit

refluks

gastroesofageal

bersifat

multifaktorial.

Esofagitis dapat terjadi sebagai akibat dari refluks gastroesofageal


apabila :
1.

Terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahan


refluksat dengan mukosa esofagus.

2.

Terjadi

penurunan

resistensi

jaringan

mukosa

esofagus,

walaupun waktu kontak antara bahan refluksat dengan esofagus


tidak lama. (Setiati, 2014)
Patogenesis
Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi
yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter (LES).
Pada individu normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada
saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat menelan, atau
aliran retrograd yang terjadi pada saat sendawa atau muntah. Aliran

28

balik dari gaster ke esophagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus
LES tidak ada atau sangat rendah. (Setiati, 2014)
Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3
mekanisme :
a.

Refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat.

b.

Aliran retrograde yang mendahului kembalinya tonus LES


setelah menelan.

c.

Meningkatnya tekanan intraabdominal. (Setiati, 2014)


Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis

terjadinya GERD menyangkut keseimbangan antara faktor defensif


dari esophagus dan faktor ofensif dari bahan refluksat.Yang termasuk
faktor defensif esophagus, adalah pemisah antirefluks (lini pertama),
bersihan asam dari lumen esophagus (lini kedua), dan ketahanan
epithelial esophagus (lini ketiga).Sedangkan yang termasuk faktor
ofensif adalah sekresi gastrik dan daya pilorik. (Setiati, 2014)
Pemisah antirefluks
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES.
Menurunnya tonus LES dapat menyebabkan timbulnya refluks
retrograde

pada

saat

terjadinya

peningkatan

tekanan

intraabdomen.Sebagian besar pasien GERD ternyata mempunyai


tonus LES yang normal. Faktor-faktor yang dapat menurunkan tonus
LES adalah adanya hiatus hernia, panjang LES (makin pendek LES,
makin rendah tonusnya), obat-obatan (misal antikolinergik, beta
adrenergik, teofilin, opiate, dll), dan faktor hormonal. Selama
kehamilan, peningkatan kadar progesteron dapat menurunkan tonus
LES. (Setiati, 2014)
Namun dengan perkembangan teknik pemeriksaan manometri,
tampak bahwa pada kasus-kasus GERD dengan tonus LES yang

29

normal yang berperan dalam terjadinya proses refluks ini adalah


transient LES relaxation (TLESR), yaitu relaksasi LES yang bersifat
spontan dan berlangsung lebih kurang 5 detik tanpa didahului proses
menelan. Belum diketahui bagaimana terjadinya TLESR ini, tetapi
pada

beberapa

individu

diketahui

ada

hubungannya

dengan

pengosongan lambung yang lambat (delayed gastric emptying) dan


dilatasi lambung. (Setiati, 2014)
Peranan hiatus hernia pada patogenesis terjadinya GERD masih
kontroversial.Banyak

pasien

GERD

yang

pada

pemeriksaan

endoskopi ditemukan hiatus hernia, namun hanya sedikit yang


memperlihatkan gejala GERD yang signifikan.Hiatus hernia dapat
memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk bersihan asam dari
esophagus serta menurunkan tonus LES. (Setiati, 2014)
Bersihan asam dari lumen esophagus
Faktor-faktor yang berperan dalam bersihan asam dari
esophagus adalah gravitasi, peristaltik, ekskresi air liur, dan
bikarbonat. (Setiati, 2014)
Setelah terjadi refluks, sebagian besar bahan refluksat akan
kembali ke lambung dengan dorongan peristaltic yang dirangsang oleh
proses menelan. Sisanya akan dinetralisir oleh bikarbonat yang
disekresi oleh kelenjar saliva dan kelenjar esophagus. (Setiati, 2014)
Mekanisme bersihan ini sangat penting, karena makin lama
kontak antara bahan refluksat dengan esophagus (waktu transit
esophagus) makin besar kemungkinan terjadinya esofagitis.Pada
sebagian besar pasien GERD ternyata memiliki waktu transit
esophagus yang normal sehingga kelainan yang timbul disebabkan
karena peristaltic esophagus yang minimal. (Setiati, 2014)

30

Refluks malam hari (nocturnal reflux) lebih besar berpotensi


menimbulkan kerusakan esophagus karena selama tidur sebagian
besar mekanisme bersihan esophagus tidak aktif. (Setiati, 2014)
Ketahanan epithelial esophagus
Berbeda dengan lambung dan duodenum, esophagus tidak
memiliki lapisan mukus yang melindungi mukosa esophagus. (Setiati,
2014)
Mekanisme ketahanan epithelial esophagus terdiri dari :
a)

Membran sel

b)

Batas intraselular (intracellular junction) yang membatasi difusi


H+ ke jaringan esophagus.

c)

Aliran darah esophagus yang mensuplai nutrien, oksigen, dan


bikarbonat, serta mengeluarkan ion H+ dan CO2

d)

Sel-sel esophagus memiliki kemampuan untuk mentransport ion


H+

dan

Cl-

intraseluler

dengan

Na+

dan

bikarbonat

ekstraseluler. (Setiati, 2014)


Nikotin dapat menghambat transport ion Na+ melalui epitel
esophagus, sedangkan alcohol dan aspirin meningkatkan permeabilitas
epitel terhadap ion H. Yang dimaksud dengan faktor ofensif adalah
potensi daya rusak refluksat.Kandungan lambung yang menambah
potensi daya rusak refluksat terdiri dari HCl, pepsin, garam empedu,
dan enzim pancreas. (Setiati, 2014)
Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung dari bahan yang
dikandungnya.

Derajat

kerusakan

mukosa

esophagus

makin

meningkat pada pH < 2, atau adanya pepsin atau garam empedu.


Namun dari kesemuanya itu yang memiliki potensi daya rusak paling
tinggi adalah asam. (Setiati, 2014)

31

Faktor-faktor lain yang berperan dalam timbulnya gejala GERD


adalah kelainan di lambung yang meningkatkan terjadinya refluks
fisiologis, antara lain dilatasi lambung, atau obstruksi gastric outlet
dan delayed gastric emptying. (Setiati, 2014)
Peranan infeksi helicobacter pylori dalam patogenesis GERD
relatif kecil dan kurang didukung oleh data yang ada.Namun demikian
ada hubungan terbalik antara infeksi H. pylori dengan strain yang
virulens (Cag A positif) dengan kejadian esofagitis, Barretts
esophagus dan adenokarsinoma esophagus.Pengaruh dari infeksi H.
pylori terhadap GERD merupakan konsekuensi logis dari gastritis
serta pengaruhnya terhadap sekresi asam lambung.Pengaruh eradikasi
infeksi H. pylori sangat tergantung kepada distribusi dan lokasi
gastritis.Pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala refluks prainfeksi H. pylori dengan predominant antral gastritis, pengaruh
eradikasi

H.

pylori

dapat

menekan

munculnya

gejala

GERD.Sementara itu pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala


refluks pra-infeksi H. pylori dengan corpus predominant gastritis,
pengaruh eradikasi H. pylori dapat meningkatkan sekresi asam
lambung serta memunculkan gejala GERD.Pada pasien-pasien dengan
gejala GERD pra-infeksi H. pylori dengan antral predominant
gastritis, eradikasi H. pylori dapat memperbaiki keluhan GERD serta
menekan sekresi asam lambung.Sementara itu pada pasien-pasien
dengan gejala GERD pra-infeksi H. pylori dengan corpus predominant
gastritis, eradikasi H. pylori dapat memperburuk keluhan GERD serta
meningkatkan sekresi asam lambung.Pengobatan PPI jangka panjang
pada pasien-pasien dengan infeksi H. pylori dapat mempercepat
terjadinya gastritis atrofi.Oleh sebab itu, pemeriksaan serta eradikasi
H. pylori dianjurkan pada pasien GERD sebelum pengobatan PPI
jangka panjang. (Setiati, 2014)
Walaupun belum jelas benar, akhir-akhir ini telah diketahui
bahwa non-acid reflux turut berperan dalam patogenesis timbulnya

32

gejala GERD. Yang dimaksud dengan non-acid reflux adalah berupa


bahan refluksat yang tidak bersifat asam atau refluks gas. Dalam
keadaan ini, timbulnya gejala GERD diduga karena hipersensitivitas
visceral. (Setiati, 2014)
Diagnosis GERD
Anamnesis
Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak
di epigastrium atau retrosternal bagian bawah.Rasa nyeri biasanya
dideskripsikan sebagai rasa terbakar (heartburn), kadang-kadang
bercampur dengan gejala disfagia (kesulitan menelan makanan), mual
atau regurgitasi dan rasa pahit di lidah.Walau demikian, derajat berat
ringannya keluhan heartburn ternyata tidak berkorelasi dengan temuan
endoskopik.Kadang-kadang timbul rasa tidak enak retrosternal yang
mirip dengan keluhan pada serangan angina pectoris.Disfagia yang
timbul saat makan makanan padat mungkin terjadi karena striktur atau
keganasan yang berkembang dari Barretts esophagus.Odinofagia
(rasa sakit saat menelan makanan) bisa timbul jika sudah terjadi
ulserasi esophagus yang berat. (Setiati, 2014)
Peradangan pada kerongkongan (esophagitis) bisa menyebabkan
pendarahan yang biasanya ringan tetapi bisa jadi besar.Darah
kemungkinan dimuntahkan atau keluar melalui saluran pencernaan,
menghasilkan kotoran berwarna gelap, kotoran berwarna ter (melena)
atau darah merah terang, jika pendarahan cukup berat. (Setiati, 2014)
Penyempitan

(stricture)

pada

kerongkongan

dari

reflux

membuat menelan makanan keras meningkat lebih sulit. Gejala-gejala


lain pada gastroesophageal reflux termasuk nyeri dada, luka
tenggorokan, suara parau, ludah berlebihan (water brash), rasa
bengkak pada tenggorokan (rasa globus), dan peradangan pada sinus
(sinusitis). (Setiati, 2014)

33

Dengan iritasi lama pada bagian bawah kerongkongan dari


refluks berulang, lapisan sel pada kerongkongan bisa berubah
(menghasilkan

sebuah

kondisi

yang

disebut

Barretts

esophagus).Perubahan bisa terjadi bahkan pada gejala-gejala yang


tidak ada.Kelainan sel ini adalah sebelum kanker dan berkembang
menjadi kanker pada beberapa orang. (Setiati, 2014)
GERD dapat juga menimbulkan manifestasi gejala ekstra
esophageal yang atipik dan sangat bervariasi mulai dari nyeri dada
non-kardiak (non-cardiac chest pain/NCCP), suara serak, laryngitis,
batuk karena aspirasi sampai timbulnya bronkiektasis atau asma.
(Setiati, 2014)
Di lain pihak, beberapa penyakit paru dapat menjadi faktor
predisposisi untuk timbulnya GERD karena timbulnya perubahan
anatomis di daerah gastroesophageal high pressure zone akibat
penggunaan obat-obatan yang menurunkan tonus LES (misalnya
teofilin). (Setiati, 2014)
Gejala GERD biasanya berjalan perlahan-lahan, sangat jarang
terjadi episode akut atau keadaan yang bersifat mengancam
nyawa.Oleh sebab itu, umumnya pasien dengan GERD memerlukan
penatalaksanaan secara medik. (Setiati, 2014)
Pemeriksaan fisik
Pada kasus GERD pemeriksaan fisik tidak terlalu banyak
membantu. (Setiati, 2014)
Pemeriksaan Penunjang
Disamping anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama,
beberapa pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk menegakkan
diagnosis GERD, yaitu :
Endoskopi saluran cerna bagian atas

34

Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan


standar baku untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal
break di esophagus (esofagitis refluks). (Setiati, 2014)
Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi dapat dinilai
perubahan makroskopik dari mukosa esophagus, serta dapat
menyingkirkan keadaan patologis lain yang dapat menimbulkan gejala
GERD. Jika tidak ditemukan mucosal break pada pemeriksaan
endoskopi saluran cerna bagian atas pada pasien dengan gejala khas
GERD, keadaan ini disebut non-erosive reflux disease (NERD). \
Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi
yang dipastikan dengan pemeriksaan histopatologi (biopsi), dapat
mengkonfirmasikan bahwa gejala heartburn atau regurgitasi tersebut
disebabkan oleh GERD (Setiati, 2014)

Gambar 1. Barret's Esofagus ( Setiatidi, 2014)


Pemeriksaan histopatologi juga dapat memastikan adanya
Barretts esophagus, displasia, atau keganasan.Tidak ada bukti yang
mendukung perlunya pemeriksaan histopatologi/biopsy pada NERD.
(Setiati, 2014)

35

Terdapat

beberapa

klasifikasi

kelainan

esofagitis

pada

pemeriksaan endoskopi pada pasien GERD, antara lain klasifikasi Los


Angeles dan klasifikasi Savarry-Miller ( Setiati, 2014 )
Tabel 2. Klasifikasi Los Angeles
Derajat
Kerusakan Gambaran Endoskopi
Erosi kecil-kecil pada mukosa esofagus dengan
A

diameter < 5 mm
Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter >

5 mm tanpa saling berhubungan


Lesi

yang

konfluen

tetapi

tidak

mengenai/mengelilingi seluruh lumen


Lesi mukosa esofagus yang bersifat sirkumferensial

(mengelilingi seluruh lumen esofagus)


( Setiati, 2014 )

Esofagografi dengan barium


Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka
dan seringkali tidak menunjukkan kelainan, terutama pada kasus
esofagitis ringan.Pada keadaan yang lebih berat, gambar radiology
dapat berupa penebalan dinding dan lipatan mukosa, ulkus, atau
penyempitan lumen. Walaupun pemeriksaan ini sangat tidak sensitive
untuk diagnosis GERD, namun pada keadaan tertentu pemeriksaan ini
mempunyai nilai lebih dari endoskopi, yaitu pada stenosis esophagus
derajat ringan akibat esofagitis peptic dengan gejala disfagia, dan pada
hiatus hernia ( Setiati, 2014 )
Pemantauan pH 24 jam
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian
distal esophagus.Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan

36

menempatkan

mikroelektroda

pH

pada

bagian

distal

esophagus.Pengukuran pH pada esophagus bagian distal dapat


memastikan ada tidaknya refluks gastroesofageal.pH dibawah 4 pada
jarak 5 cm di atas LES dianggap diagnostik untuk refluks
gastroesofageal ( Setiati, 2014 )
Tes Bernstein
Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang
transnasal dan melakukan perfusi bagian distal esophagus dengan HCl
0,1 M dalam waktu kurang dari 1 jam. Tes ini bersifat pelengkap
terhadap monitoring pH 24 jam pada pasien-pasien dengan gejala
yang tidak khas.Bila larutan ini menimbulkan rasa nyeri dada seperti
yang biasanya dialami pasien, sedangkan larutan NaCl tidak
menimbulkan rasa nyeri, maka test ini dianggap positif. Test Bernstein
yang negative tidak menyingkirkan adanya nyeri yang berasal dari
esophagus ( Setiati, 2014 )
Pemeriksaan Darah Samar
Perdarahan di dalam saluran pencernaan dapat disebabkan baik
oleh iritasi ringan maupun kanker yang serius. Bila perdarahannya
banyak, bisa terjadi muntah darah, dalam tinja terdapat darah segar
atau mengeluarkan tinja berwarna kehitaman (melena). Jumlah darah
yang terlalu sedikit sehingga tidak tampak atau tidak merubah
penampilan tinja, bisa diketahui secara kimia; dan hal ini bisa
merupakan petunjuk awal dari adanya ulkus, kanker dan kelainan
lainnya. Pada pemeriksaan colok dubur, dokter mengambil sejumlah
kecil tinja .Contoh ini diletakkan pada secarik kertas saring yang
mengandung zat kimia. Setelahditambahkan bahan kimia lainnya,
warna tinja akan berubah bila terdapat darah ( Setiati, 2014 )
Penatalaksanaan GERD
Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi
gaya hidup, terapi medikamentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini
mulai dilakukan terapi endoskopik.Target penatalaksanaan GERD

37

adalah menyembuhkan lesi esophagus, menghilangkan gejala/keluhan,


mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup, dan mencegah
timbulnya komplikasi. ( Setiati, 2014 )
Non Medikamentosa
Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari
penatalaksanaan GERD, namun bukan merupakan pengobatan primer.
Walaupun

belum

ada

studi

yang

dapat

memperlihatkan

kemaknaannya, namun pada dasarnya usaha ini bertujuan untuk


mengurangi frekuensi refluks serta mencegah kekambuhan ( Setiati,
2014 )
Hal-hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup, yaitu :
a.

Meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta menghindari


makan sebelum tidur dengan tujuan untuk meningkatkan
bersihan asam selama tidur serta mencegah refluks asam dari
lambung ke esophagus. Makan makanan terakhir 3-4 jam
sebelum tidur.

b.

Berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol karena keduanya


dapat menurunkan tonus LES sehingga secara langsung
mempengaruhi sel-sel epitel.

c.

Mengurangi konsumsi lemak serta Mengurangi jumlah makanan


yang dimakan karena keduanya dapat menimbulkan distensi
lambung.

d.

Menurunkan berat badan pada pasien kegemukan.

e.

Menghindari pakaian ketat sehingga dapat mengurangi tekanan


intraabdomen.

f.

Menghindari makanan/minuman seperti coklat, teh, peppermint,


kopi dan minuman bersoda karena dapat menstimulasi sekresi
asam.

g.

Jika

memungkinkan

menurunkan

tonus

menghindari
LES

seperti

obat-obat

yang

antikolinergik,

dapat
teofilin,

38

diazepam, opiate, antagonis kalsium, agonis beta adrenergic,


progesterone ( Setiati, 2014 ).
Medikamentosa
Terdapat berbagai tahap perkembangan terapi medikamentosa
pada penatalaksanaan GERD ini.Dimulai dengan dasar pola pikir
bahwa sampai saat ini GERD merupakan atau termasuk dalam
kategori gangguan motilitas saluran cerna bagian atas.Namun dalam
perkembangannya sampai saat ini terbukti bahwa terapi supresi asam
lebih efektif daripada pemberian obat-obat prokinetik untuk
memperbaiki gangguan motilitas ( Setiati, 2014 ).
Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa, yaitu step
up dan step down. Pada pendekatan step up pengobatan dimulai
dengan obat-obat yang tergolong kurang kuat dalam menekan sekresi
asam (antagonis reseptor H2) atau golongan prokinetik, bila gagal
diberikan obat golongan penekan sekresi asam yang lebih kuat dengan
masa terapi lebih lama (penghambat pompa proton/PPI). Sedangkan
pada pendekatan step down pengobatan dimulai dengan PPI dan
setelah berhasil dapat dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan dengan
menggunakan dosis yang lebih rendah atau antagonis reseptor H2 atau
prokinetik atau bahkan antacid ( Setiati, 2014 ).
Menurut Genval Statement (1999) serta Konsensus Asia Pasifik
tentang penatalaksanaan GERD (2003) telah disepakati bahwa terapi
lini pertama untuk GERD adalah golongan PPI dan digunakan
pendekatan terapi step down ( Setiati, 2014 )
Berikut adalah obat-obatan yang dapat digunakan dalam terapi
medikamentosa GERD :
a.

Antasid.
Golongan

obat

ini

cukup

efektif

dan

aman

dalam

menghilangkan gejala GERD tetapi tidak menyembuhkan lesi


esofagitis.Selain sebagai buffer terhadap HCl, obat ini dapat
memperkuat

tekanan

sfingter

esophagus

bagian

bawah.

39

Kelemahan

obat

golongan

ini

adalah

rasanya

kurang

menyenangkan, dapat menimbulkan diare terutama yang


mengandung magnesium serta konstipasi terutama antasid yang
mengandung aluminium, penggunaannya sangat terbatas pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
b.

Antagonis reseptor H2.


Obat yang termasuk dalam golongan obat ini adalah simetidin,
ranitidine, famotidin, dan nizatidin.Sebagai penekan sekresi
asam, golongan obat ini efektif dalam pengobatan penyakit
refluks gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali lebih tinggi
dan dosis untuk terapi ulkus.Golongan obat ini hanya efektif
pada pengobatan esofagitis derajat ringan sampai sedang serta
tanpa komplikasi.

c.

Obat-obatan prokinetik.
Secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk pengobatan GERD
karena

penyakit

ini

lebih

condong

kearah

gangguan

motilitas.Namun, pada prakteknya, pengobatan GERD sangat


bergantung pada penekanan sekresi asam.
d.

Metoklopramid.
Obat ini bekerja sebagai antagonis reseptor dopamine.
Efektivitasnya rendah dalam mengurangi gejala serta tidak
berperan dalam penyembuhan lesi di esophagus kecuali dalam
kombinasi dengan antagonis reseptor H2 atau penghambat
pompa proton.Karena melalui sawar darah otak, maka dapat
timbul efek terhadap susunan saraf pusat berupa mengantuk,
pusing, agitasi, tremor, dan diskinesia.

e.

Domperidon.
Golongan obat ini adalah antagonis reseptor dopamine dengan
efek samping yang lebih jarang dibanding metoklopramid
karena tidak melalui sawar darah otak.Walaupun efektivitasnya

40

dalam mengurangi keluhan dan penyembuhan lesi esophageal


belum banyak dilaporkan, golongan obat ini diketahui dapat
meningkatkan tonus LES serta mempercepat pengosongan
lambung.
f.

Cisapride.
Sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat
mempercepat

pengosongan

lambung

serta

meningkatkan

tekanan tonus LES.Efektivitasnya dalam menghilangkan gejala


serta penyembuhan lesi esophagus lebih baik dibandingkan
dengan domperidon.
g.

Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat).


Berbeda dengan antasid dan penekan sekresi asam, obat ini tidak
memiliki efek langsung terhadap asam lambung. Obat ini
bekerja

dengan

cara

meningkatkan

pertahanan

mukosa

esophagus, sebagai buffer terhadap HCl di eesofagus serta dapat


mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat ini cukup
aman diberikan karena bekerja secara topikal (sitoproteksi).
h.

Penghambat pompa proton (Proton Pump Inhhibitor/PPI).


Golongan obat ini merupakan drug of choice dalam pengobatan
GERD. Golongan obat-obatan ini bekerja langsung pada pompa
proton sel parietal dengan mempengaruhi enzim H, K ATP-ase
yang dianggap sebagai tahap akhir proses pembentukan asam
lambung ( Setiati, 2014 )
Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi

inisial)

yang

dapat

dilanjutkan

dengan

dosis

pemeliharaan

(maintenance therapy) selama 4 bulan atau on-demand therapy,


tergantung dari derajat esofagitisnya. ( Setiati, 2014 )
C.

Tukak Peptik
Definisi
Ulkus Peptikum (UP) atau tukak peptik adalah putusnya

41

kontinuitas mukosa gastrointestinal (GI) atau lesi pada lambung dan


duedenum yang meluas sampai ke epitel. Kerusakan yang tidak
meluas kebawah epitel disebut erosi. Tukak peptik bisa terjadi di
setiap bagian saluran pencernaan yang terpapar asam lambung atau
gastrin yaitu esofagus, lambung, duedenum dan jejenum (Priyanto,
2009).
Tukak peptik lebih mungkin terjadi pada doudenum daripada
lambung. Biasanya, ini terjadi secara tunggal, tapi dapat terjadi dalam
bentuk multipel. Tukak peptik kronik cenderung terjadi pada
kurvatura minor dari lambung, dekat pilorus (Smeltzer, 2002).

Gambar 2. Ulkus peptikum (Smeltzer, 2002).


Etiologi
Ada beberapa hal yang dianggap sebagai penyebab tukak peptik,
yaitu karena infeksi Helicobacter pylori, efek samping obat obat anti
inflamasi non steroid (AINS) atau Non Steroid Anti Inflamasion
Drugs

(NSAID),

stres,

kepekaan

atau

rentannya

mukosa

gastrointestinal terhadap asam lambung dan gastrin, dan merokok.


Zollinger-Ellizon syndrome adalah bentuk tukak peptik yang jarang
terjadi yang disebabkan oleh hipersekresi asam lambung dan gastrin
karena tumor (Smeltzer, 2002).
Patogenesis
Kebanyakan tukak terjadi disebabkan oleh peningkatan asam
lambung, pepsin dan gastrin atau sekresi zat ini normal tetapi mukosa
GI rentan terhadap zat ini. Tukak karena Helicobacter pylori, terjadi

42

karena mikroba ini mengeluarkan toksin dan enzim yang dapat


menggangu keutuhan mukosa melalui perubahan respon imun,
inflamasi, dan peningkatan sekresi gastrin yang menstimulasi sekresi
asam lambung. Merokok dapat meningkatkan resiko terjadinya tukak
peptik, resikonya proporsional dengan jumlah konsumsi. Merokok
juga mengganggu proses penyembuhan dan memacu kekambuhan
(Priyanto, 2009).
a.

Helicobacter pylori (HP)


Helicobacter pylori adalah penyebab lebih dari 50%
populasi penderita tukak peptik. Bakteri ini menyebabkan tukak
peptik dengan cara merusak lapisan mukosa yang melindungi
lapisan lambung dan duodenum kemudian selanjutnya bersama
sama dengan asam lambung, pepsin dan gastrin mengiritasi
lapisan lambung dan duodenum sehingga menyebabkan tukak
peptik (Salinas, 2007).

Gambar 3. Helicobacter pylori (Smeltzer, 2002).

Helicobacter pylori merupakan bakteri pleomorfik yang


dapat

berbentuk

spiral

atau

batang

bengkok.

Bakteri

Helicobacter pylori ini bersifat gram negatif. Helicobacter


pylori hidup pada lapisan mukus lambung yang menutupi
mukosa lambung dan dapat melekat pada permukaan epitel
mukosa lambung. Bakteri ini mempunyai keunggulan yakni

43

dapat bertahan dan berkembang biak dalam lambung. Faktor


yang menentukan virulensi kuman Helicobacter pylori adalah
adanya flagella dan enzim seperti urease, protease, dan
fosfolipase. Flagella berperan dalam hal pergerakan aktif bakteri
menembus lapisan mukus yang melapisi mukosa lambung.
Sedangkan protease dan fosfolipase berturut-turut berperan
dalam menghancurkan gliko-protein dan fosfolipid yang
terdapat dalam lapisan mukus (Suraatmaja, 2007).
b.

Non Steroid Anti Imflamatory Drugs (NSAID)


Bila

membran

mengalami

kerusakan

oleh

suatu

rangsangan kimiawi, fisik maupun mekanis, maka enzim


fosfolipase

akan

arachidonat.

mengubah

Kemudian

fosfolipida

sebagiannya

menjadi

diubah

oleh

asam
enzim

cyclooxigenase menjadi asam endoperoksida. Bagian lainnya


akan

diubah

oleh

enzim

lipooxigenase

hidroperoksida dan selanjutnya akan

menjadi

asam

menjadi leukotrien.

Leukotrien bertanggung jawab bagi sebagian besar gejala


peradangan. Cyclooxygenase mempunyai dua iso-enzim yaitu,
COX-1 dan COX-2. COX-1 terdapat pada plat darah, ginjal, dan
saluran cerna. COX-1 berperan melindungi lambung dengan
membentuk bikarbonat dan mukosa serta menghambat produksi
asam.

COX-2

bertanggung

jawab

bagi

sebagian

peradangan (Wallece, 2008).

Fosfolipida
(Membran Sel)
Fosfolipase

Asam Arachidonat
Cyclooxygenase

Lipooxigenase

besar

44

NSAID

As. Hidroperoksida

As. Endoperoksida

COX-2

COX-1

Sekresi
mukosa dan
bicarbonat

Menghambat
sekresi asam

Leukotrien

Peradangan
Peradangan

Bagan 3. Hubungan NSAID dengan tukak peptik. (Wallece, 2008).

NSAID bekerja pada Cyclooxygenase sehingga produksi


COX-1 dan COX-2 akan di hambat. Dengan dihambatnya COX1 oleh NSAID maka produksi mukosa lambung dan bikarbonat
tidak dihasilkan untuk menetralisir asam lambung yang terus
diproduksi oleh sel epitel lambung sehingga asam lambung
dapat langsung terpapar pada lapisan dinding lambung, yang
akhirnya dapat menyebabkan ulkus (Wallece, 2008).
Gambaran Klinis
Gambaran klinis pada tukak peptik adalah kronik dan nyeri
epigastrum. Kabanyakan pasien tukak peptik mengalami kesakitan
pada malam hari saat lambung kosong sehingga sulit untuk tidur.
Pesien juga mengeluh nyeri ulu hati kadang kadang menjalar sampai
ke pinggang disertai mual dan muntah. Nyeri berlangsung selama 1
sampai 3 jam setelah makan. Nyeri ini seringkali digambarkan sebagai
teriris, terbakar atau rasa tidak enak (Priyanto, 2009).
Makanan kecil yang tidak mengiritasi dan yang terus menerus
dimakan dalam selang waktu yang pendek dapat mengurangi nyeri.
Dengan pengobatan biasanya rasa sakit akan menghilang dalam 10
hari, tetapi proses penyembuhan berlangsung 1 2 bulan (Priyanto,
2009).

45

Secara umum pesien tukak peptik mengeluh dispepsia.


Dispepsia adalah suatu sindrom atau kumpulan keluhan beberapa
penyakit saluran cerna seperti, mual, muntah, kembung, nyeri ulu hati,
sendawa, rasa terbakar, rasa penuh ulu hati, dan cepat merasa kenyang
(Priyanto, 2009).
Penegakan diagnosis
Biasanya tidak mungkin untuk membedakan antara tukak
lambung dan tukak duodenum bila hanya berdasarkan pada
enamnesis. Diagnosa tukak peptik biasanya dipastikan dengan
pemeriksaan barium radiogram. Bila barium radiogram tidak berhasil
membuktikan adanya tukak lambung atau tukak duodenum tetapi
gejala tetap ada, maka ada indikasi untuk melakukan pemeriksaan
endoskopi. Pengujian kadar serum dapat dilakukan jika diduga ada
karsinoma lambung atau sindrom Zolliger-Ellison (Price 2012).
Diagnosis tukak lambung ditegakkan berdasarkan pangamatan
klinis, hasil pemeriksaan radiologi dan endoskopi, disertai biopsi
untuk pemeriksaan histopatologi, tes CLO (Campylobacter Light
Organism), dan biakan kuman Helicobacter pylori (Priyanto, 2009).
Upaya penegakkan diagnosa tukak peptik yang lain adalah
dengan pemeriksaan Helicobacter pylori sebagai penyebab utama
seharusnya diperiksa sebelum memberikan pengobatan. Pemeriksaan
Helicobacter pylori dapat dilakukan secara invasif atau non-invasif.
(Price 2012)

Pemeriksaan Penunjang
Gold Standar adalah pemeriksaan endoskopi saluran cerna
bagian atas ( UGIE-Upper Gastrointestinal Endoscopy) dan biopsi
lambung (untuk deteksi kuman H.Pylori, massa tumor, kondisi
mukosa lambung) (Price 2012).
a)

Pemeriksaan Radiologi.

46

Barium

Meal

Kontras

Ganda

dapat

digunakan

untuk

menegakkan diagnosis tukak peptik. Gambaran berupa kawah,


batas jelas disertai lipatan mukosa teratur dari pinggiran tukak.
Apabila permukaan pinggir tukak tidak teratur dicurigai ganas.
(Price 2012).
b)

Pemeriksaan Endoskopi .
Berupa luka terbuka dengan pinggiran teratur, mukosa licin dan
normal disertai lipatan yang teratur yang keluar dari pinggiran
tukak. Gambaran tukak akibat keganasan adalah :BoormanI/polipoid, B-II/ulcerative, B-III/infiltrative, B-IV/linitis plastika
(scirrhus). Dianjurkan untuk biopsi & endoskopi ulang 8-12
minggu

setelah

terapi

eradikasi.

Keunggulan

endoskopi

dibanding radiologi adalah : dapat mendeteksi lesi kecil


diameter < 0,5 cm, dapat melihat lesi yang tertutupi darah
dengan penyemprotan air,dapat memastikan suatu tukak ganas
atau jinak, dapat menentukan adanya kuman H.Pylori sebagai
penyebab tukak (Price 2012).
c)

Invasive Test.
Rapid Urea Test adalah tes kemampuan H.pylori untuk
menghidrolisis urea. Enzim urea katalase menguraikan urea
menjadi amonia bikarbonat, membuat suasana menjadi basa,
yang diukur dengan indikator pH. Spesimen biopsi dari mukosa
lambung diletakkan pada tempat yang berisi cairan atau medium
padat yang mengandung urea dan pH indikator, jika terdapat
H.Pylori pada spesimen tersebut maka akan diubah menjadi
ammonia, terjadi perubahan pH dan perubahan warna(Price
2012). Untuk pemeriksaan histologi, biopsi diambil dari
pinggiran dan dasar tukak minimum 4 sampel untuk 2 kuadran,
bila ukuran tukak besar diambil sampel dari 3 kuadran dari
dasar, pinggir dan sekitar tukak, minimal 6 sampel. Pemeriksaan
kultur tidak biasa dilakukan pada pemeriksaan rutin (Price

47

2012).
d)

Non Invasive Test. Urea Breath Test adalah untuk mendeteksi


adanya infeksi H.pylori dengan keberadaan urea yang dihasilkan
H.pylori, labeled karbondioksida (isotop berat,C-13,C-14)
produksi dalam perut, diabsorpsi dalam pembuluh darah,
menyebar dalam paru-paru dan akhirnya dikeluarkan lewat
pernapasan. Stool antigen test juga mengidentifikasi adanya
infeksi H.Pylori melalui mendeteksi keadaan antigen H.Pylori
dalam faeces (Price 2012).

Penatalaksanaan Tukak Peptik


Tujuan pengobatan tukak peptik adalah menghilangkan keluhan
atau gejala penderita, menyembuhkan tukak, mencegah relaps atau
kekambuhan

dan

mencegah

komplikasi.

Secara

garis

besar

pengobatan tukak peptik adalah eradikasi kuman Helicobacter pylori


serta pengobatan atau pencegahan gastropati NSAID (Tarigan, 2006).
Pada saat ini, penekanan pangobatan ditujukan pada peran luas
infeksi Helicobacter pylori sebagai penyebab tukak peptik. Eradikasi
Helicobacter pylori dapat dilakukan dengan pengobatan antibiotik
yang sesuai. Penderita tukak peptik harus menghentikan pengobatan
dengan NSAID atau apabila hal ini tidak dapat dilakukan pemberian
agonis prostaglandin yang bekerja lama, misalnya misoprostol
(Tarigan, 2006).
Dalam pemberian terapi terhadap tukak peptik akut pada
umumnya serupa dengan penderita tukak peptik kronik. Bila
ditemukan penderita dengan keluhan berat, maka sebaiknya dirawat
dirumah sakit, serta perlu istirahat untuk beberapa minggu. Penderita
dengan keluhan ringan umumnya dapat dilakukan dengan berobat
jalan (Tarigan, 2006).
Secara garis besar pengobatan penderita tukak peptik adalah
sebagai berikut :
Non Farmakologi

48

a)

Istirahat.
Secara umum pasien tukak peptik dianjurkan pengobatan rawat
jalan, bila kurang berhasil atau ada komplikasi baru dianjurkan
rawat inap. Penyembuhan akan lebih cepat dengan rawat inap
walaupun

mekanismenya

belum

jelas,

kemungkinan

bertambahnya jumlah jam istirahat, berkurangnya refluks


empedu, menurunnya stres dan penghentian penggunaan
analgesik. Stres dan kecemasan memegang peran dalam
peningkatan asam lambung dan penyakit tukak (Tarigan, 2006).
b)

Diet.
Makanan

lunak

apalagi

bubur

saring,

makanan

yang

mengandung susu tidak lebih baik daripada makanan biasa,


karena makanan halus akan merangsang pengeluaran asam.
Cabai, makanan yang merangsang, makanan yang mengandung
asam dapat menimbulkan rasa sakit pada beberapa pasien,
walaupun belum didapat bukti keterkaitannya. Beberapa peneliti
menganjurkan makanan lunak, tidak merangsang dan diet
seimbang (Tarigan, 2006).
c)

Pantang Merokok.
Merokok menghalangi penyembuhan tukak gaster kronik,
menghambat sekresi bikarbonat pankreas, menambah keasaman
bulbus duodenum, menambah refluk duogonegastrik akibat
relaksasi sfingter pilorus sekaligus meningkatkan kekambuhan
tukak (Tarigan, 2006). Alkohol belum terbukti mempunyai efek
yang merugikan. Air jeruk yang asam, cola cola, bir, kopi
tidak mempunyai pengaruh ulserogenik pada mukosa lambung
tetapi dapat menambah sekresi asam dan belum jelas dapat
menghalangi penyembuhan tukak dan sebaiknya diminum
jangan pada waktu perut sedang kosong (Tarigan, 2006).

Farmakologi
Beberapa obat yang termasuk anti tukak :

49

a)

Antagonis Reseptor H2
Mekanisme kerjanya memblokir histamin pada reseptor H2
sel

pariental

sehingga

sel

pariental

tidak

terangsang

mengeluarkan asam lambung. Inhibisi ini bersifat revelsibel


(Tarigan, 2006).
Antagonis reseptor H2 mengurangi sekresi asam lambung
dengan cara berkompetisi dengan histamin untuk berikatan
dengan reseptor H2 pada sel periental lambung. Bila histamin
berikatan dengan H2 maka akan dihasilkan asam. Efek samping
yang sering terjadi adalah sakit kepala kantuk, lesu, sakit pada
otot dan konstipasi (Tarigan, 2006).
Tabel 4. Obat obat Antagonis Reseptor H2
Obat
Simetidin

Ranitidin

Famotidin

Nizatidin

Dosis
Per oral 300 mg atau

Frekuensi
4x sehari

400 mg

2x sehari

800mg

1x sehari

IV 300 mg
Per oral 150 mg atau

4x sehari
2x sehari

300 mg

1x sehari

IV 50 mg
Per oral 20 mg atau

3-4x sehari
2x sehari

40 mg

1x sehari

IV 20 mg
Per oral 150 mg atau

1x sehari
2x sehari

300 mg

1x sehari
(Bruton, 2008)

Simetidin, ranitidin, dan famotidin kecil pengaruhnya


terhadap fungsi otot polos lambung dan tekanan sfingter
esofagus. Sementara terdapat perbedaan potensi yang sangat
jelas diantara efikasinya dibandingkan obat lain dalam
mengurangi sekresi asam. Nizatidin memacu aktifitas kontraksi
asam lambung sehingga memperpendek waktu pengosongan

50

lambung (Katzung, 2014).


Efek samping sangat kecil antara lain agranulasitosis,
gangguan mental khususnya pada usia lanjut, dan gangguan
fungsi ginjal dijumpai terutama pada pemberian simetidin
(Tarigan, 2006).
b)

PPI (Proton Pump Inhibitor)


Inhibitor pompa proton merupakan prodrug, yang
memerlukan aktifasi dilingkaran asam. Mekanisme kerjanya
adalah memblokir kerja enzim K+/H+ ATPase yang akan
memecah K+/H+ ATP. Pemecahan ini akan menghasilkan energi
yang akan digunakan untuk mengeluarkan asam dari kanalikuli
serta pariental ke dalam lumen lambung (Tarigan, 2006).
Inhibitor pompa proton memiliki efek yang sangat besar
terhadap produksi asam. Omeprazol juga secara selektif
menghambat karbonat anhidrase mukosa lambung, yang
kemungkinan turut berkontribusi terhadap sifat suspensi
asamnya (Tarigan, 2006).
Efek samping obat golongan ini jarang terjadi. Kalaupun
ada biasanya meliputi sakit kepala, diare, konstipasi, muntah,
dan ruam merah pada kulit. Ibu hamil dan menyusui sebaiknya
menghindari penggunaan PPI (Tarigan, 2006).

c)

Obat Penangkal Kerusakan Mukus


1)

Bismuth Subcitrate.
Mekanisme kerja melalui sitoprotektif membentuk lapisan
bersama protein pada dasar tukak dan melindunginya
terhadap

rangsangan

pepsin

dan

asam.

Obat

ini

mempunyai efek penyembuhan hampir sama dengan


H2RA

serta

adanya

efek

bakterisidal

terhadap

Helicobacter pylori sehingga memungkinkan relaps


berkurang (Tarigan, 2006). Dosis obat 2 x 2 tablet sahari.

51

Efek samping tinja berwarna kehitaman sahingga timbul


keraguan dengan perdarahan (Tarigan, 2006).
2)

Sukralfat.
Pada kondisi adanya kerusakan yang disebabkan oleh
asam, hidrolisis protein mukosa yang diperantarai oleh
pepsin turut berkontribusi terhadap terjadinya erosi dan
ulserasi mukosa. Protein ini dapat dihambat oleh
polisakarida bersulfat. Selain mengambat hidrolisis protein
mukosa oleh pepsin, sukralfat juga memiliki efek
sitoprotektif tambahan, yakni stimulasi produksi lokal
prostaglandin dan faktor pertumbuhan epidermal. Karena
diaktifasi oleh asam, maka disarankan agar sukralfat
digunakan pada kondisi lambung kosong, satu jam
sebelum makan, selain itu harus dihindari penggunaan
antasida dalam waktu 30 menit setelah pemberian
sukralfat (Tarigan, 2006). Dosis sukralfat 1g 4x sehari atau
2g 2x sehari. Efek samping yang sering di laporkan adalah
konstipasi, mual, perasaan tidak enak pada perut (Tarigan,
2006).

3)

Analog Prostaglandin : Misoprostol


Mekanisme kerjanya mengurangi sekresi asam lambung,
menambah

sekresi

mukus,

sekresi

bikarbonat

dan

meningkatkan aliran darah mukosa. Misoprostol dapat


menyebabkan eksaserbasi klinis pada pasien yang
menderita radang usus, sehingga pemakaiannya harus
dihindari pada pasien ini. Misoprostol dikontraindikasikan
selama kehamilan, karena dapat menyebabkan aborsi
akibat terjadinya peningkatan kontraktilitas uteru. Dosis 4
x 200mcg atau 2 x 400mg pagi dan malam hari. Efek
samping yang sering terjadi adalah diare, mual, muntah,
dan menimbulkan kontraksi otot uterus sehingga tidak

52

dianjurkan pada wanita hamil (Tarigan, 2006).


4)

Antasida
Pada saat ini digunakan untuk menghilangkan keluhan
nyeri dan sebagai obat dispepsia. Mekanisme kerjanya
menetralkan asam lambung secara lokal. Preparat yang
mengandung
sedangkan

magnesium
aluminium

akan

menyebabkan

menyebabkan

diare

konstipasi.

Kombinasi keduanya saling menghilangkan pengaruh


sehingga tidak terjadi diare dan konstipasi. Dosis 3 x
200mg (1 tablet) atau 4 x 30cc (3 x sehari, pada malam
hari sebelum tidur). Efek samping yang sering terjadi
adalah diare, berinteraksi dengan obat digitalis, barbiturat,
salisilat, dan kinidin (Tarigan, 2006).
5)

Regimen Terapi
Terapi yang diinginkan menggunakan kombinasi antibiotik
dengan proton pump inhibitor (PPI) dan histamine-2
receptor antagonist (H2RA). Antibiotik berguna untuk
eradikasi Helicobacter pylori karena penyebab utama
tukak peptik adalah Helicobacter pylori. Penggunaan PPI
dan H2RA untuk mengurangi sekresi asam lambung yang
berlebihan pada tukak peptik (Tarigan, 2006).

Tabel 5. Regimen Terapi Helicobacter pylori


Obat 1

Obat 2

Obat 3

Obat 4

Proton Pump Inhibitor sebagai dasar terapi 3 obat (Terapi Triple)


Omeprazol

20

mg Clarithromycin

2xsehari, atau
Lansoprasol

500mg 2xsehari 2xsehari atau


30mg

2xsehari atau
Pantoprazol

Metronidazol
500mg 2xsehari

40mg

2xsehari, atau
Esomeprasol

Amoxicillin 1g -

40mg

53

1xsehari, atau
Rabeprazol

20mg

2xsehari
Bismuth sebagai dasar terapi 4 obat (Terapi Quadruple)
Omeprazol

40mg

Tetracyclin

2xsehari, atau
Lansoprasol

500mg

30mg

2xsehari atau
Pantoprazol

40mg

2xsehari, atau
Esomeprasol

40mg

4xsehari, atau
Bismuth

Metronidazol

subsalisilat

250-500mg 4x 500mg

525mg 4xsehari sehari

4xsehari, atau
Clarithromycin

1xsehari, atau
Rabeprazol

Amoxicillin

250-500mg

20mg

4xsehari

1xsehari
(Chisholm-Burns, 2008).

Pilihan pertama untuk terapi adalah menggunakan proton pump


inhibitor (PPI) sebagai dasar terapi 3 obat selama minimal 7 hari,
tetapi lebih dianjurkan selama 10 sampai 14 hari. Terapi menggunakan
PPI dan H2RA direkomendasikan pada pasien yang memiliki resiko
tinggi komplikasi tukak dan pesien yang gagal dalam eradikasi
Helicobacter pylori (Tarigan, 2006).
Tabel 6. Regimen Terapi yang digunakan untuk Penyembuhan
Pengobatan
Obat

Tukak Perawatan

Lambung atau Tukak Lambung

Tukak
atau

Duodenum

Tukak Duodenum

(mg/dosis)

(mg/dosis)

Omeprazol

20-40 sehari

20-40 sehari

Lanzoprazol

15-30 sehari

15-30 sehari

Rabeprazol

20 sehari

20 sehari

Pantoprazol

40 sehari

40 sehari

Proton Pump Inhibitor

54

Esomeprasol

20-40 sehari

20-40 sehari

300 4xsehari

400-800 menjelang

400 2xsehari

tidur

H2-Receptor Antagonits
Simetidin

800 menjelang tidur


Famotidin
Nizatidin

20 2xsehari

20-40

40 menjelang tidur

tidur

menjelang

150 2xsehari

Ranitidin

300 menjelang tidur

150-300 menjelang

150 2xsehari

tidur

300 menjelang tidur

150-300 menjelang
tidur

Penangkal
Mukosa

Kerusakan 1 (4xsehari)
Sukralfat 2 (2xsehari)

1-2 (2xsehari)
1 (4xsehari)

(g/dosis)
(Chisholm-Burns, 2008).
Berkurangnya nyeri epigastrik harus di monitor dengan
seksama. Umumnya nyeri tukak berkurang dalam beberapa hari ketika
NSAID tidak digunakan atau 7 hari dengan terapi anti tukak (Tarigan,
2006).
Penggunaan NSAID jangka panjang memiliki 2 4% atau
resiko berkembangnya ulser simtomatik, perdarahan gastrointestinal
bahkan perforasi. NSAID dihentikan sama sekali atau diganti dengan
inhibitor COX-2 selektif. Meskipun terus menggunakan NSAID,
penyembuhan dapat dilakukan dengan menggunakan obat-obat
pensuspensi asam, biasanya dengan dosis yang lebih tinggi dan durasi
yang jauh lebih lama (8 minggu). PPI mempunyai efek yang lebih
baik daripada H2RA dan misoprostol dalam mendorong tukak aktif,
juga untuk mencegah kambuhnya tukak (Tarigan, 2006).
Tindakan Operasi
Tujuan utama dari terapi pembedahan pada tukak peptik adalah:

55

a)

Untuk menekan faktor agresif terutama sekresi asam lambung


dan pepsin terhadap petogenesis tukak peptik.

b)

Pada tukak lambung terutama untuk mengeluarkan tempat yang


paling resisten di antrum dan mengoreksi statis di lambung.

Indikasi pembedahan pada tukak peptik :


a)

Gagal pengobatan.

b)

Adanya komplikasi perforasi, pendarahan dan stenosis pilori.

c)

Tukak peptik dengan serangan keganasan (Tarigan, 2006).

Tindakan pembedahan ada 2 macam, yaitu:


a)

Reseksi bagian distal lambung atau gastrektomi sebagian


(partial gastrectomy).

b)

Vagotomi yang bermanfaat untuk mengurangi sekresi asam


lambung terutama pada tukak duodenum.
Pada gastrektomi sekitar 20-50% lambung disekresi (20% bila

seluruh antrum dibuang, 50% seluruh antrum dan sebagian korpus


dibuang). Tindakan operasi gaster yang lain saat ini jarang dilakukan
akibat kemajuan terapi farmakologi dan eradikasi kuman Helicobacter
pylori (Tarigan, 2006)
Alogiritma Terapi

56

Bagan 3. Alogiritma Terapi (Wofford, 2009).


Komplikasi Tukak Peptik
Sekitar 25% penderita tukak peptik

dapat mengalami

Pasien yang menunjukan gejala


Ulcer

Dispepsia tanpa
gejala

Menunjukan gajala seperti


perdarahan, anemia &
kehilangan berat badan

Menggunakan
NSAID?

y
a

tida
k

Menghentikan
NSAID jika tidak
mengurangi dosis
atau mengubah
COX-2 inhibitor

Terapi unt HP
sebelumnya

Gejala
Berubah

tida
k

Gejala
Tetap

Endoscopy sampai diagnosa


ulcer

Menunjukan
ulcer

y
a

Tes HP

Negati
f

Positif

PPI

Gejala
Berubah

PPI

Negati
f

Positif

Terapi dengan PPI-Regimen


dasar eradikasi HP

Gejala
Tetap

Melanjutkan H2RA /

Pertimbangan
etiologi lain untuk
gejala seperti
GERD, NUD

Melakukan tes
Serologi

Tidak ada
terapi
lanjutan
Dimulai H2RA /

Tidak menunjukan
ulcer

Menggunaka
n NSAID

Melanjutkan
NSAID

Tidak
menggunakan
NSAID
Tidak ada
terapi
lanjutan

tida
k

Tanda atau
gejala 1-2
minggu setelah
terapi

ya

Menghentika
n NSAID

Terapi dengan
H2RA / PPI

Terapi dengan
H2RA / PPI

Terapi dengan PPI,


dilanjutkan dengan
koterapi PPI atau
misoprostol atau
mengganti NSAID
dengan COX-2 inhibitor

Menggunaka
n NSAID

Melanjutkan
NSAID

komplikasi, seperti pendarahan, perforasi, obstruksi dan kanker

57

lambung (Tarigan, 2006).


a)

Pendarahan
Pendarahan merukapan komplikasi yang paling sering
terjadi, sedikitnya ditemukan pada 15-25% kasus selama
perjalanan panyakit. Walaupun tukak peptik disetiap tempat
dapat mengalami pendarahan, namun tempat pendarahan yang
paling sering adalah dinding posterior bulbus duodenum dan
lambung karena ditempat ini dapat terjadi erosi arteri
pankreatikoduodenalis atau arteri gastroduodenalis (Tarigan,
2006).
Gejala yang berkaitan dengan pendarahan tukak peptik
bergantung pada kecepatan kehilangan darah. Kehilangan darah
yang ringan dan kronis dapat menyebabkan terjadinya anemia
dan defisiensi besi. Perdarahan dapat dilihat saat melena dan
hematemesis. (Tarigan, 2006).

b)

Perforasi
Sekitar 2-3% dari semua tukak peptik mengalami
perforasi, dan menyebabkan 65% kematian akibat tukak peptik.
Perforasi ulkus lambung atau ulkus duodenum adalah kondisi
medis serius yang memerlukan perhatian segera. Perforasi
digambarkan dalam tiga fase. Selama fase awal perforasi ulkus
terjadi 2 jam setelah onset, pasien mungkin mengalami gejala
nyeri epigastrium hebat dengan cepat menyebar ke seluruh
perut. Pasien sering tidak mau bergerak bahkan mengambil
napas karena sangat menyakitkan.
Gejala ini mengindikasikan adanya pelepasan cairan asam
ke dalam rongga peritoneum. Fase kedua terjadi 2-12 jam
setelah onset di mana rasa sakit sebagian dapat mereda. Fase
ketiga terjadi 12 jam setelah onset) ditandai dengan distensi
abdomen. Syok peritonitis dan sepsis mungkin terjadi jika ada
keterlambatan dalam diagnosis dan pengobatan medis (Tarigan,

58

2006).
c)

Obstruksi
Obstruksi bisa terjadi karena pembengkakan atau adanya
jaringan yang meradang disekitar ulkus atau jaringan parut
karena ulkus sebelumnya. Obstruksi lebih sering terjadi pada
penderita tukak doudenum tetapi kadang kadang terjadi bila
tukak terletak pada lambung dekat sfingter pilorus (Tarigan,
2006).
Gejala yang sering timbul adalah anoreksia, mual,
hematemesis

berulang

dan

berkurangnya

nafsu

makan.

Seringnya hematemesis dapat memicu penurunan berat badan,


dehidrasi, dan ketidakseimbangan mineral tubuh (Tarigan,
2006).
d)

Kanker Lambung
Helicobacter pylori di identifikasi sebagai karsinogen
kanker lambung. Berdasarkan estimasi International Agency on
Researce for Cancer (IARC), Helicobacter pylori bertanggung
jawab sebagai penyebab sekitar 36-47% dari semua kanker
lambung. Pencegahannya adalah dengan eradikasi Helicobacter
pylori (Tarigan, 2006).

D.

Tukak duodenum
Etiologi
Walaupun faktor penyebab yang penting adalah aktivitas
pencernaan peptik oleh getah lambung, namun terdapat bukti yang
menunjukkan bahwa banyak faktor yang berperan dalam patogenesis
ulkus peptikum. Misalnya, bakteri H.Pylori dijumpai pada sekitar 90%
penderita ulkus duodenum. Penyebab ulkus peptikum lainnya adalah
sekresi bikarbonat mukosa, ciri genetik, dan stress. Ulkus peptikum
dan duodenum dapat memiliki penyebab yang berbeda. Sejumlah
penyakit yang dihubungkan dengan meningkat resiko terjadi ulkus

59

peptikum, yaitu sirosis hati akibat alkohol, pankreatitis kronis,


penyakit paru kronis, hiperparatiroidisme, gagal ginjal, transplantasi
ginjal, tumor jinak- tumor ganas, dan sindrom Zollinger-Ellison.
(Hadi, Sujono, 1999)
Infeksi Helicobacter pylori (H.pylori) merupakan penyebab
ulkus yang paling sering. Akibatnya, pemberian antibiotik telah
memperlihatkan bahwa hal ini merupakan pengobatan yang paling
efektif bagi sebagian besar pasien ulkus yang tidak mengonsumsi obat
anti-inflamasi nonsteroid (OAINS). H.pylori dapat bertahan dalam
lingkungan yang asam di lapisan mukosa karena kuman ini memiliki
urease khusus. Bakteri ini menggunakan urease untuk menghasilkan
CO2 dan NH3. HCO3- serta NH4+ secara berurutan sehingga dapat
menyangga ion H+ di sekelilingnya. H.pylori dipindahkan dari satu
orang ke orang lain, menyebabkan inflamasi pada mukosa lambung
(gastritis, terutama di antrum). Ulkus peptikum atau duodenum
sepuluh kali lebih sering terjadi pada kasus di atas dibandingkan bila
orang tersebut tidak menderita gastritis tipe ini. Penyebab utama ulkus
ini adalah gangguan fungsi sawar epitel yang disebabkan oleh infeksi.
(Hadi, Sujono, 1999)
Mungkin bersamaan dengan pembentukan ulkus akibat infeksi,
terdapat juga Peningkatan serangan kimia, seperti oleh radikal oksigen
yang dibentuk oleh bakteri sendiri, serta leukosit dan makrofag yang
mengambil bagian dalam respons imun, atau oleh pepsin karena
H.pylori merangsang sekresi pepsinogen. (Hadi, Sujono, 1999)
Penyebab lain yang sering menimbulkan ulkus adalah
penggunaan OAINS atau NSAID (Non-Steroidal Anti-Inflammatory
Drugs) merupakan kelompok obat-obatan yang digunakan untuk
meredakan rasa nyeri atau sakit, misal naproxen, ketorolac, oxaprozin,
ibuprofen, dan aspirin. Orang yang mengkonsumsi NSAID dalam
jangka waktu lama dengan dosis tinggi memiliki resiko besar untuk
terjadinya ulkus. Efek anti-inflamasi dan analgetiknya terutama
didasarkan

melalui

penghambatan

siklo-oksigenase

sehingga

60

menghambat sintesis prostaglandin (dari asam arakhidonat). Salah


satu efek OAINS yang tidak diinginkan adalah obat ini menghambat
sintesis prostaglandin secara sistemik, termasuk di epitel lambung dan
duodenum. Pada satu sisi, hal ini menurunkan sekresi HCO 3(memperlemah

perlindungan

mukosa),

tetapi

pada

sisi

lain

menghentikan penghambatan sekresi asam. Selain itu, obat ini


merusak mukosa secara lokal melalui difusi non-ionik ke dalam sel
mukosa (pH getah lambung <<pK3+ OAINS). Selama penggunaan
OAINS mungkin dapat timbul ulkus akut setelah beberapa hari atau
minggu. Efek penghambatan obat ini terhadap agregasi trombosit akan
meningkatkan bahaya perdarahan ulkus. (Hadi, Sujono, 1999)
Seringkali faktor psikogenik mempermudah pembentukan ulkus.
Stres emosional yang kuat tanpa penyaluran dari katup pengaman
(kadar kortisol tinggi) dan/atau gangguan kemampuan dalam
mengatasi stress yang normal, misalnya pekerjaan, merupakan
penyebab yang sering. Secara psikogenik, Peningkatan sekresi asam
lambung dan pepsinogen, serta kebiasaan buruk yang berkaitan
dengan stress (merokok dalam jumlah banyak, menggunakan obat
sakit kepala (OAINS), dan alkohol berkadar tinggi) seringkali
memainkan peranan penting. (Hadi, Sujono, 1999)
Merokok merupakan faktor resiko terjadinya ulkus. Keseluruhan
rangkaian, faktor tunggal yang cukup efektif tampak berakumulasi di
sini. Alkohol dalam jumlah yang banyak atau dalam konsentrasi yang
tinggi akan merusak mukosa, sedangkan minum anggur dan bir dalam
jumlah yang sedang akan meningkatkan sekresi gastrin melalui
komponen non-alkoholnya. (Hadi, Sujono, 1999)

Patofisiologis
Patogenesis terjadinya TP adalah ketidakseimbangan antara
faktor agresif yang dapat merusak mukosa dan faktor defensif yang

61

memelihara keutuhan mukosa lambung dan duodenum.


Fungsi sfingter pilorus yang abnormal mengakibatkan terjadinya
refluks empedu dan dianggap sebagai suatu mekanisme patogenik
dalam timbulnya ulkus peptikum. Empedu mengganggu sawar
mukosa lambung, menyebabkan timbulnya gastritis dan Peningkatan
kepekaan terhadap pembentukan ulkus. Mukosa yang rusak akhirnya
mengalami erosi dan dicerna oleh asam dan pepsin. Faktor Asam
Lambung No Acid No Ulcer Schwarst 1910; Pengaturan Sekresi
Asam Lambung pada Sel Parietal Sel parietal/oxyntic mengeluarkan
asam lambung HCl, sel peptik/zimogen mengeluarkan pepsinogen
yang oleh HCl diubah jadi pepsin dimana HCl dan pepsin adalah
faktor agresif terutama pepsin dengan mileu pH < 4 (sangat agresif
terhadap mukosa lambung). Bahan iritan akan menimbulkan defek
barier mukosa dan terjadi difusi balik ion H+. Histamin terangsang
untuk lebih banyak mengeluarkan asam lambung, timbul dilatasi dan
peningkatan permeabilitas pembuluh kapiler, kerusakan mukosa
lambung, gastritis akut/kronik dan tukak gaster. (Hadi, Sujono, 1999)
Membran plasma sel epitel lambung terdiri dari lapisan-lapisan
lipid bersifat pendukung barier mukosa. Sel parietal dipengaruhi
faktor genetik, yaitu seseorang dapat mempunyai massa sel parietal
yang besar/sekresi lebih banyak. Tukak gaster yang letak dekat pilorus
atau dijumpai bersamaan dengan tukak duodeni/antral gastritis
biasanya disertai hipersekresi asam, sedangkan bila lokasinya pada
tempat lain di lambung/pangastritis biasanya disertai hiposekresi
asam. Tukak terjadi bila terjadi gangguan keseimbangan antara faktor
agresif/asam dan pepsin dengan defensive (mukus, bikarbonat, aliran
darah, PG), bisa faktor agresif meningkat atau faktor defensif
menurun. (Hadi, Sujono, 1999)
Helycobacter pylori (HP) adalah kuman patogen gram negatif
berbentuk

batang/spiral,

microaerofilik

berflagela

hidup

pada

permukaan epitel, mengandung urease (Vac A, cag A, PAI dapat


mentrans lokasi cag A kedalam sel host), hidup diantrum, migrasi ke

62

proksimal lambung dapat berubah menjadi kokoid suatu bentuk


dorman bakteri. Infeksi kuman HP akut dapat menimbulkan pan
gastritis kronik diikuti atrofi sel mukosa korpus dan kelenjar,
metaplasia intestinal dan hipoasiditas. Proses ini dipengaruhi oleh
faktor host, lama infeksi (lokasi, respon inflamasi, genetik), bakteri
(virulensi, struktur, adhesion, porins, enzim (urease vac A, cag A, dll)
dan lingkungan (asam lambung, OAINS, empedu dan faktor iritan
lainnya) dan terbentuknya gastritis kronik tukak gaster, Mucosal
Associated Lymphoid Tissu (MALT) limfoma dan kanker lambung.
(Hadi, Sujono, 1999)
Penegakan diangnosis
Gambaran klinis
Tidak semua nyeri pada abdomen merupakan suatu ulkus.
Gejala yang paling penting dari ulkus adalah nyeri dan perdarahan.
Gambaran klinis utama ulkus peptikum adalah nyeri epigastrium/nyeri
ulu hati intermiten kronis yang secara khas akan mereda setelah
makan atau menelan antasid. Nyeri biasanya timbul 2 sampai 3 jam
setelah makan atau pada malam hari sewaktu lambung kosong. Nyeri
ulkus peptikum seringkali digambarkan sebagai nyeri terisi, terbakar,
atau rasa tidak enak/discomfort. Sekitar seperempat dari penderita
ulkus mengalami perdarahan, walaupun hal ini lebih lazim terjadi
pada ulkus duodenum. Gejala dan tanda penyakit ini adalah muntah,
muntahan berwarna merah, mual, anoreksia, dan penurunan berat
badan. Muntah kadang timbul pada tukak peptik disebabkan edema
dan spasme seperti tukak kanal pilorik (obstruksi gastric outlet).
Tukak prepilorik dan duodeni bisa menimbulkan gastric outlet
obstruction melalui terbentuknya fibrosis/oedem dan spasme. Ulkus
peptikum jarang bergejala sebagai nyeri perut bagian atas yang
menetap; namun ciri khas ulkus peptikum adalah eksaserbasi dan
remisi. Pola nyeri yang hilang setelah makan ini dapat saja tidak khas
pada ulkus peptikum. Bahkan pada beberapa penderita ulkus
peptikum, makanan dapat memperberat nyeri. Perdarahan pada ulkus

63

seperti melena, atau merah tua tidak memberikan gejala apa-apa


hingga pasien menjadi anemia, dimana gejala anemia yaitu fatigue,
nafas pendek, dan warna kulit pucat. (Hadi, Sujono, 1999)
Pemeriksaan Fisik.
Pada pemeriksaan fisik sedikit membantu diagnosa, pada non
komplikata adanya epigastic tenderness membantu diagnosa sedikit,
yaitu karena lokalisasi di epigastrium antara umbilikus dan prosesus
sifoideus. Timbulnya diffuse superfisial tenderness merupakan
kemungkinan refleks viserosomatik. Seperti telah diketahui, semua
serabut-serabut nyeri dari traktus gastrointestinalis melalui saraf
simpatis menuju ke spinalcord. Tetapi pada persarafan di lambung dan
duodenum oleh nervus splanknikus menuju ke segmen dari
spinalcord. Telah dicoba dengan memberi infiltrasi dengan anestesi
lokal pada dinding abdomen dan ternyata bahwa pada palpasi yang
dalam timbul rasa nyeri yang lebih terlokalisasi pada tempat tukak.
Pada sebagian penderita dengan palpasi dalam dan disertai dengan
penekanan atau dengan masase, maka rasa nyerinya bertambah hebat.
(Hadi, Sujono, 1999)
Tukak tanpa komplikasi jarang menunjukkan kelainan fisik.
Rasa sakit/nyeri ulu hati di kiri garis tengah perut, terjadi penurunan
berat badan merupakan tanda fisik yang dapat dijumpai pada tukak
gaster tanpa komplikasi. Perasaan sangat nyeri, nyeri tekan perut,
perut diam tanpa terdengar peristaltik usus merupakan tanda
peritonitis. Goncangan perut atau succusion splashing dijumpai 4-5
jam setelah makan disertai muntah-muntah yang dimuntahkan
biasanya

makanan yang dimakan

beberapa jam sebelumnya

merupakan tanda adanya retensi cairan lambung, dari komplikasi


tukak/gastric outlet obstruction atau stenosis pilorus. Takikardi, syok
hipopolemik, tanda dari suatu perdarahan. (Hadi, Sujono, 1999)
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang pada tukak duodenum adalah, sebagai

64

berikut :
1)

Pemeriksaan laboratorium.
Pada pemeriksaan laboratorium tidak ada yang spesifik untuk
penyakit tukak gaster.

2)

Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi dengan barium meal kontras ganda dapat
digunakan

dalam

menegakkan

diagnosis

tukak

peptik.

Gambaran radiologi suatu tukak berupa crater/kawah dengan


batas jelas disertai lipatan mukosa yang teratur keluar dari
pinggiran tukak dan niche dan gambaran suatu proses keganasan
lambung biasanya dijumpai suatu filling defect.
3)

Endoskopi
Sebelum

dilakukan

pemeriksaan

endoskopi,

penderita

dipuasakan sejak jam 12.00 malam dan pada saat akan


dilakukan pemeriksaan diberikan sulfas atropine 0,5 mg dan 20
mg Buscopan secara intrasmuskuler serta anestesi lokal pada
orofaring. Gambaran endoskopi untuk tukak jinak berupa luka
terbuka dengan pinggiran teratur, mukosa licin dan normal
disertai lipatan yang teratur keluar dari pinggiran tukak.
4)

Biopsi
Pemeriksaan Histopatologi Biopsi diambil dari pinggiran dan
dasar tukak minimal 4 sampel untuk 2 kuadran, bila ukuran
tukak besar diambil sampel dari 3 kuadran dari dasar, pinggir
dan sekitar tukak (minimal 3x2 = 6 sampel). Dengan
ditemukannya kuman Helicobacter pylori sebagai etiologi tukak
peptik maka dianjurkan pemeriksaan tes CLO, serologi, dan
UBT dengan biopsi melalui endoskopi. (Hadi, Sujono, 1999)

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada penyakit tukak duodenum yakni sebagai
brikut:

65

1)

Terapi konservatif
a)

Diet
Merupakan peranan yang terpenting. Pada garis
besarnya yang dipakai ialah cara pemberian diet lambung
dengan dasarnya makan sedikit berulang kali, makanan
yang banyak mengandung susu dalam porsi kecil. Jadi
makanan yang dimakan harus lembek dan mudah
dicernakan,

tidak

merangsang,

kemungkinan

dapat

menetralisir asam HCl. Pemberiannya dalam porsi kecil


dan berulang kali. Dilarang makan pedas, masam, alkohol.
(Hadi, Sujono, 1999)
Perut tidak boleh kosong atau terlalu penuh. Kalau
merasa lapar, harap segera diisi makanan lunak (boleh
bubur, roti, buah-buahan yang tidak masam atau minum
susu). Sebaliknya bila waktu makan, perut merasa penuh,
walaupun porsi makanannya belum habis, sebaiknya
dihentikan. Jangan memaksakan sampai porsi makanannya
dihabiskan, kemungkinan akan menambah sakit perut atau
timbul reaksi muntah. Jadi sebaiknya penderita tukak
peptik mengetahui kemampuan perut yang sedang sakit.
(Hadi, Sujono, 1999)
b)

Tata cara hidup


Penderita tukak peptik, terutama yang berat harus
banyak istirahat dan sebaiknya dirawat di rumah sakit
untuk mencegah timbulnya komplikasi. Mereka yang ada
dasar

kelainan

psikis,

emosional,

sebaiknya

perlu

ketenangan atau bila perlu dikonsulkan pada ahli jiwa


klinik

(psikologis

klinik).

Untuk

sementara

dapat

diberikan sedative atau pemenang (tranquilizer) lainnya.


Harus diingat bahwa obat ini bukan untuk mengobati
tukak peptiknya, dan hanya sebagai obat tambahan. Oleh

66

karena itu dosis yang diberikan sebaiknya yang rendah.


Dengan dosis rendah akan menenangkan jiwa, atau
mengurangi

emosi

penderita

dan

akan

membantu

mengurangi rasa nyeri, tetapi tidak menyembuhkan tukak.


(Hadi, Sujono, 1999)
c)

Merokok
Sampai saat sekarang tidak ada bukti bahwa
merokok merupakan predisposisi untuk timbulnya tukak
peptik. Akan tetapi, merokok akan mengurangi nafsu
makan,

dan

dengan

menghentikan

merokok

akan

menambah nafsu makan. Buat perokok yang biasa


merokok, dan sedang menderita tukak peptik atau
sindroma dispepsia lainnya, akan menghambat proses
penyembuhan. Sebaiknya penderita tukak peptik yang
mengurangi/menghentikan merokok akan ikut membantu
proses penyembuhannya. Oleh karena itu penderita
perokok dengan sindroma dispepsia apapun bentuknya,
dianjurkan untuk menghentikan kebiasaan merokok.
(Hadi, Sujono, 1999)
d)

Alkohol
Air jeruk yang asam, coca cola, bir, kopi tidak
mempunyai pengaruh ulserogenik pada mukosa lambung
tetapi dapat menambah sekresi asam lambung dan belum
jelas

dapat

menghalangi

penyembuhan

tukak

dan

sebaiknya diminum jangka sewaktu perut kosong.


Perubahan gaya hidup dan pekerjaan kadang-kadang
menimbulkan kekambuhan penyakit tukak. (Hadi, Sujono,
1999)
2)

Terapi Medikamentosa
Obat-obat tukak peptik adalah obat-obat yang bertujuan
menghilangkan rasa nyeri / keluhan, menyembuhkan tukak,

67

mencegah kekambuhan dan mencegah komplikasi. Berbagai


macam obat telah banyak beredar untuk mengobati tukak peptik,
di antaranya adalah: antasida, antikolinergik, prokinetik, obat
golongan sitoprotektif, H2 reseptor antagonis, dan omeprazol.
(Hadi, Sujono, 1999)
Penggunaan obat-obat ini sangat sering digunakan dengan
kombinasi karena mengingat banyaknya faktor penyebab tukak
peptik tersebut. Kombinasi obat digunakan karena hasil yang
diperoleh dari terapi tunggal kurang memuaskan untuk tujuan
pengobatan yang diinginkan. Perkembangan terapi kombinasi
ini sangat mendukung kepatuhan pasien, karena selain
efektifitas yang tinggi kemungkinan efek samping menjadi lebih
kecil walaupun relatif lebih mahal. Terapi kombinasi dapat
menekan angka kekambuhan dalam jangka panjang. (Hadi,
Sujono, 1999)
Untuk mencegah perkembangan ulkus pada pasien yang
mengkonsumsi NSAID dihubungkan dengan faktor resiko
(riwayat ulkus peptikum atau perdarahan lambung, usia lebih
dari 75 tahun, riwayat masalah pada kardiovaskuler) diberikan
Misoprostole 200 mg 3x1. (Hadi, Sujono, 1999)
3)

Terapi Pembedahan
Tujuan utama dari terapi pembedahan pada tukak peptik,
ada dua pokok yang penting, yaitu :
a)

Untuk menekan faktor agresif terutama sekresi asam


lambung dan pepsin terhadap pathogenesis tukak peptik.
Hal ini penting sekali pada tukak duodenum.

b)

Pada tukak lambung terutama untuk mengeluarkan tempat


yang paling resisten di antrum, dan mengoreksi stasis di
lambung. Untuk ini dilakukan reseksi antrum atau
melakukan vagotomi.

Tindakan pembedahan ada dua macam, yaitu:

68

1)

Reseksi bagian distal lambung atau gastrektomi sebagian


(partial

gastrectomy)

Gastroduodenostomi

ada
atau

dua

cara,

Billroth

yaitu
I

:
dan

gastroyeyenostomi atau Billroth II. Akibat tindakan


gastrektomi, akan timbul beberapa keluhan, di antaranya;
refluks esofagal, pengosongan lambung terlalu cepat
(sindroma dumping), refluks enterogastrik, gastritis dan
kemungkinan timbulnya karsinoma lambung di daerah
anstomosis.
2)

Vagotomi.

Umumnya

vagotomi

bermanfaat

untuk

mengurangi sekresi asam lambung terutama pada tukak


duodenum. Beberapa keluhan yang sering timbul akibat
vagotomi, di antaranya : disfagia, lambatnya pengosongan
lambung atau retensi lambung, refluks duodenogastrik,
muntah, dan diare. Ada tiga cara vagotomi, yaitu:
a)

Vagotomi Trunkal (VT)

b)

Vagotomi lambung selektif (VLS)

c)

Vagotomi lambung bagian proksimal (VLP) atau


disebut pula vagotomi proksimal selektif

4)

Tukak Akibat Obat / Drug Induced Ulcer / Gastropati OAINS.


Terapi tukak gastropati OAINS.
Intervensi pengobatan:
a)

Mencegah timbulnya tukak (selektip COX2 inhibitor) /


profilaksis (Misoproston 4x250 / PPI pada gastropati
OAINS menyembuhkan tukak aktif (OAINS distop diberi
ARH2/PPI, OAINS diteruskan diberi PPI.

b)

Infeksi Helicobacter pylori (eradikasi bila tukak aktif atau


pernah menderita tukak peptik).
(Hadi, Sujono, 1999)

E.

Pankreatitis

69

Pankreatitis akut
Pankreatitis akut adalah suatu proses peradangan akut yang
mengenai pankreas dan ditandai oleh berbagai derajat edema,
perdarahan, dan nekrosis pada sel-sel asinus dan pembuluh
darah.mortalitas dan gejala klinis bervariasi sesuai derajat proses
patologi. Pada 80-90% penderita pankreatitis akut adalah 10%,
sedangkan pankreatitis nekrotik berat mempunyai angka mortalitas
sebesar 50%, perbedaan tampaknya dapat menurunkan angka
kematian. (Price, 2014)
a)

Etiologi Dan Patogenesis


Faktor etiologi pankreatitis akut adalah saluran empedu
dan alkoholisme. Penyebab yang paling jarang adalah trauma,
terutama luka peluru atau pisau, tukak duodenum yang
mengadakan penetrasi, hiperparotiroideisme, hiperlipidemia,
infeksi virus, dan obat-obatan tertentu seperti kortikosteroid
dan diuretic tiazid. Pencetus pancreatitis sering kali tidak dapat
ditemukan. (Price, 2014)
Penyakit ini lebih sering dijumpai orang pada orang
dewasa, tetapi jarang pada anak-anak. Pancreatitis lebih sering
dikaitkan dengan alkoholisme pada laki-laki, dan lebih sering
dikaitkan dengan batu empedu pada perempuan. (Price, 2014)
Terdapat kesepakatan umum bahwa mekanisme patogenik
yang umum pada pankreatitis adalah autodigesti, tetapi
bagaimana proses pengaktifan enzim-enzim pankreas ini masih
belum jelas. Pada pankreas normal, terdapat sejumlah
mekanisme pelindung terhadap pengaktifan enzim secara tidak
sengaja

dan

autodigesti.

Yang

pertama,

enzim

yang

mencernakan protein disekresi sebagai bentuk precursor inaktif


(zimogen) yang harus diaktifkan oleh tripsin, tripsinogen
(bentuk inaktif tripsin) secara normal di ubah menjadi tripsin
oleh kerja enterokinase dalam usus halus. Setelah tripsin

70

terbentuk maka enzim ini mengaktifkan semua enzim


proteolitik lainnya. Inhibitor tripsin terdapat dalam plasma dan
pancreas, yang dapat berkaitan dan menginaktifkan setiap
tripsin yang dihasilkan secara tidak sengaja, sehingga pada
pancreas normal kemungkinan tidak terjadi pencernaan
proteolitik. (Price, 2014)
Refluks

empedu

dan

duodenum

kedalam

duktus

pankreatikus telah diajukan sebagai mekanisme yang terjadi


dalam pengaktifan enzim pankreas. Refluks dapat terjadi bila
terdapat saluran bersama, dan batu empedu menyumbat
ampula veteri. Atonia dan edema sfingter oddi dapat
mengakibatkan

refluks

duodenum.

Obstruksi

duktus

pankreatikus dan iskemia pancreas juga turut berperan.


Alcohol dapat merangsang terjadinya sapsme sfingter oddi
yang menyebabkan tekanan pada punggung dan menghambat
sekresi melalui duktus pankreatikus dan ampula veter, yang
dapat mengaktifkan enzim pancreas dalam pancreas. (Price,
2014)
Kedua enzim aktif yang diduga berperan penting dalam
autodigesti pancreas adalah elastase dan fosfolifase A dapat
diaktifkan oleh tripsin atau asam empedu dan mencerna
fosfolipid membrane sel elastase diaktifkan oleh tripsin dan
mencerna jaringan elastin dinding pembuluh darah sehingga
menyebabkan perdarahan. Pengaktifan kalikrein oleh tripsin
diyakini berperan penting dalam timbulnya kerusakan local
dan hipotensi sistemik. Kalikrein menyebabkan vasodilatasi,
peningkatan permeabilitas vascular, invasi leukosit, dan nyeri.
(Price, 2014)
b)

Gambaran klinis
Gejala pancreatitis yang paling menonjol adalah nyeri
perut hebat yang timbul mendadak dan terus menerus. Nyeri

71

biasanya di epigastrium, tetapi dapat terpusat ke kanan atau ke


kiri linea mediana. Nyeri sering menyebar kepunggung, dan
penderita merasa lebih enak bila duduk sambil membungkuk
kedepan. Posisi berbaring atau berjalan akan memperberat nyeri.
Nyeri tersebut sering disertai mual, muntah, berkeringat, dan
kelemahan. Nyeri biasanya hebat selama sekitar 24 jam
kemudian mereda selama beberapa hari. (Price, 2014)
c)

Penegakan Diagnosis
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat menunjukkan berbagai
derajat syok, takikardia, leukositosis, dan demam. Ikterus ringan
dapat timbul bila terjadi obstruksi biliaris. Timbulnya nyeri
tekan dan defans muscular otot abdomen dengan ditensi,
rigiditas, dan bukti lain adanya peritonitis yang timbul bila
peradangan mengenai peritoneum. Bising usus dapat menurun
atau

tidak

ada.

Perdarahan

retroperitoneal

berat

dapat

bermanifestasi sebagai memar pada pinggang atau sekitar


umbilicus. (Price, 2014)
Pemeriksaan Penunjang
1)

Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium biasanya ditemukan
peningkatan kadar amylase serum. Kadar amylase serum
meningkat selama 24 sampai 72 jam pertama dan
kadarnya sering mencapai lebih dua kali kadar normal.
Kadar amylase urin dapat tetap meningkat selama 2
minggu setelah pankreatitis akut. Kadar bilirubin serum
kadang sedikit meningkat. Perubahan biokimia lain adalah
peningkatan

kadar

lipase

serum,

hiperglikemia,

hipokalsemia, dan hipokalemia. Kadar lipase serum


meningkat selama beberapa hari setelah fase akut.
Hipokalsemia merupakan temuan yang cukup sering,

72

kelainan ini disebabkan oleh nekrosis lemak yang nyata


dan disertai pembentukan sabun kalsium. Hipokalemia
yang

terjadi

dapat

cukup

berat

sehingga

dapat

menyebabkan tetani. (Price, 2014)


2)

Pemeriksaan pencitraan
Pada foto polos abdomen saat stadium awal
penyakit, dapat ditemukan distensi yeyenum karena
paralisis segmental, distensi duodenum seperti hurup C,
gambaran kolon trasversum yang gembung dan tiba-tiba
menyempit disuatu tempat karena spasme atau inflamasi,
dan udem setempat dinding kolon. Gambaran otot ilopsoas
dapat menghilang karena adanya cairan eksudat di
retroperitoneum. (Price, 2014)
Pemeriksaan ultrasonografi harus dilakukan sejak
awal keluhan semua kasus pankreatitis akut untuk menilai
apakah ada batu kandung empedu sebagai penyebabnya.
Sensitivitas ultrasonografi untuk mendeteksi batu empedu
adalah

93%

dan

spesifitasnya

87%.

Kemampuan

ultrasonografi untuk menilai keadaan pancreas hanya


terbatas karena dapat terhalang oleh usus yang distensi.
(Price, 2014)
d)

Penatalaksanaan
1)

Pengobatan
Pengobatan awal utama pankreatitis akut adalah
obat-obatan, sedangkan pembedahannya hanya dilakukan
bila terjadi obstruksi atau komplikasi khusus seperti
pseudokista

pancreas.

Sasaran

pengobatan

adalah

mengatasi nyeri, mengurangi sekresi pankreas, mencegah


atau mengobati syok, memulihkan keseimbangan cairan
dan elektrolit, dan mengobati infeksi sekunder. (Price,
2014)

73

Syok dan hipovolemia diatasi dengan pemberian


infuse plasma dan elektrolit dengan menggunakan
hematokrit, tekanan vena sentral, dan keluaran urin
sebagai petunjuk cukupnya penggantian volume. (Price,
2014)
Untuk

mengatasi

nyeri

diberikan

meperidin

(Demerol) dan bukan opiate, karena kurang menyebabkan


spasme sfingter oddi. Penghentian semua asupan oral dan
penyedotan asam lambung secara terus menerus akan
mengurangi distensi usus, mencegah isi lambung yang
asam masuk kedalam duodenum, dan merangsang sekresi
pankreas. (Price, 2014)
Apabila terjadi infeksi, perlu diberikan antibiotic
untuk mengurangi risiko terjadinya infeksi sekunder.
Menurut penelitian terbaru, pengobatan rutin antibiotic
pada pankreatitis akut ringan hingga sedang tidak efektif,
namun demikian, terapi pankreatitis berat dengan nekrosis
luas akan mengurangi angka mortalitas. Inhibitor protease
juga dapat mengurangi kerusakan pankreas. (Price, 2014)
Abses pankreas diobati dengan drainase melalui
dinding anterior abdomen atau pinggang. Pseudokista
dirawat dengan drainase interna antara dinding anterior
kista dan dinding posterior antrum lambung. (Price, 2014)
Bila fase akut mereda, dapat diberikan makanan
oral. Setelah bising usus pulih diberikan cairan jernih yang
berkembang menjadi makanan rendah lemak dan tinggi
karbihidrat sehingga stimulasi sekresi pamkreas bersifat
minimal. Usahakan untuk menentukan sebab peradangan.
Penderita dinasehati untuk tidak minum alcohol sedikitnya
selama 3 bulan, dan bila pankreatitis di duga akibat
alkoho, sebaiknya penderita benar-benar tidak minum

74

alcohol selamanya. (Price, 2014)


Pankreatitis Kronik
Pankreatitis kronik ditandai oleh detruksi progresif kelenjar
disertai penggantian jaringan fibrosis yang menyebabkan terbentuknya
striktur dan kalsifikasi. Faktor etiologinya sama dengan etiologi
pankreatitis akut, walaupun sekitar 75% pasien dewasa dengan
pankreatitis kronik di Amerika Serikat merupakan peminum alcohol,
fibrosis kistik merupakan penyebab tersering pada anak. (Price, 2014)
Pada pankreatitis kronik, terjadi kerusakan parenkim dan system
duktus

pankreas

yang

tak

berpulih

dan

disertai

fibrosis.

Patogenesisnya tidak jelas walapun ketagihan alcohol sering menjadi


penyebabnya. Komponen obstruksi disertai dengan naiknya tekanan
intraduktus juga sering ditemukan. (Price, 2014)
a)

Gambaran Klinis
Gejala pankreatitis kronis yang khas adalah nyeri hebat
terus menerus atau berkala. Nyeri dirasakan diperut bagian atas
dan pinggang. Umumnya penderita duduk membungkuk dengan
kedua lengan memeluk lutut. Kadang ada tanda ikterus,
obstruksi duodenum, kista semu, dan mungkin disertai
insufisiensi ekskresi endokrin maupun eksokrin dan hipertensi
portal. (Price, 2014)

b)

Penegakan Diagnosis
Pemeriksaan yang paling sensitive untuk mendeteksi
pankreatitis kronik adalah penentuan kadar bikarbonat dan
keluaran dalam duodenum setelah dirangsang dengan sekretin.
Tindakan diagnostik lain yang bermanfaat adalah tindakan untuk
menentukan lemak feses, kadar glukosa darah puasa untuk
menentukan kerusakan pulau Langerhans, dan pemeriksaan
arteriografi dan radiografi untuk mengetahui adanya fibrosis dan
kalsifikasi. (Price, 2014)

75

Pada pencitraan dan endoskopi biasanya ditemukan


saluran pancreas lebar yang kadang mengandung batu dan
pengapuran parenkim. Penyakit ini biasanya akan menyurut dan
hilang setelah 8 sampai 10 tahun disertai insufisiensi pancreas
total. (Price, 2014)
c)

Pengobatan
Pankreatitis kronik ditangani secara konservatif, tidak
endoskopik, atau tindakan bedah. Terapi konservatif ditunjukkan
untuk mengatasi nyeri dan mengistirahatkan pankreas, dan
dilakukan pemberian analgesic, anjuran diet, serta pantang
alcohol mutlak. Jika dengan terapi konservatif nyeri tidak dapat
dihilangkan dan mengganggu aktivitas pasien, sedangkan
penyebab lain telah disingkirkan harus dilakukan pembedahan.
(Price, 2014)
Pengobatan pankreatitis kronik ditunjukan langsung pada
pemulihan dua masalah utama yaitu nyeri dan malabsorpsi.
Penyembuhan nyeri membutuhkan pengobatan meperidin
(Demerol) dalam dosis yang bersar dan sering. Reseksi local
kelenjar pankreas terkadang dapat menyembuhkan nyeri.
Enzim-enzim pankreas juga telah digunakan secara efektif pada
pasien-pasien tertentu untuk menurunkan nyeri abdomen pada
pankreatitis kronis. Steatorea dirawat dengan diet rendah lemak
dan pemberian vitamin-vitamin yang larut dalam lemak.
Diabetes

membutuhkan

pengendalian

dengan

obat

hipoglikemiik oran maupun insulin. Minum alcohol merupakan


kontraindikasi. (Price, 2014)

F.

Koledokolitiasis

76

Definisi
Koledokolitiasis merupakan adanya batu di kandung empedu,
atau pada saluran kandung empedu yang pada umumnya komposisi
utamanya adalah kolesterol. (Smeltzer, 2002)
Etiologi Koledokolitiasis
Penyebab pasti dari Koledokolitiasis atau batu empedu belum
diketahui.

Satu

teori

menyatakan

bahwa

kolesterol

dapat

menyebabkan supersaturasi empedu di kandung empedu. Setelah


beberapa lama, empedu yang telah mengalami supersaturasi menjadi
mengkristal dan memulai membentuk batu. Tipe lain batu empedu
adalah batu pigmen. Batu pigmen tersusun oleh kalsium bilirubin,
yang terjadi ketika bilirubin bebas berkombinasi dengan kalsium.
(Smeltzer, 2002)
Patofisiologi Koledokolitiasis
Ada dua tipe utama batu empedu: batu yang terutama tersusun
dari pigmen dan batu yang terutama tersusun dari kolesterol.
(Smeltzer, 2002)
1)

Batu Pigmen
Terbentuk bila pigmen yang tidak terkonjugasi dalam empedu
mengadakan presipitasi (pengendapan) sehingga terjadi batu.
Resiko terbentuknya batu semacam ini semakin besar pada
pasien sirosis, hemolisis dan infeksi percabangan bilier. Batu ini
tidak dapat dilarutkan dan harus dikeluarkan dengan jalan
operasi. (Smeltzer, 2002)

2)

Batu Kolesterol
Kolesterol yang merupakan unsur normal pembentuk empedu
bersifat tidak larut dalam air. Kelarutannya bergantung pada
asam-asam empedu dan lesitin (fosfolipid) dalam empedu. Pada
pasien yang cenderung menderita batu empedu akan terjadi
penurunan sintesis asam empedu dan peningkatan sintesis

77

kolesterol dalam hati; keadaan ini mengakibatkan supersaturasi


getah empedu oleh kolesterol yang kemudian keluar dari getah
empedu, mengendap dan membentuk batu empedu. Getah
empedu yang jenuh oleh kolesterol merupakan predisposisi
untuk timbulnya batu empedu dan berperan sebagai iritan yang
menyebabkan perdangan dalam kandung empedu. (Smeltzer,
2002)
Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian
dalam pembentiukan batu empedu, melalui peningkatan dikuamasi sel
dan pembentukan mukus. Mukus meningkatkan viskositas dan unsur
seluler dan bakteri dapat berperan sebagi pusat presipitasi. Akan tetapi
infeksi lenih sering menjadi akibat dari pembentukan batu empedu
dari pada sebab pembentukan batu empedu (Smeltzer, 2002)
Insidensi Koledokolitiasis
Jumlah wanita berusia 20-50 tahun yang menderita batu empedu
sekitar 3 kali lebih banyak dari pada laki-laki. Setelah usia 50 tahun,
rasio penderita batu empedu hampir sama antara pria dan wanita.
Insidensi batu empedu meningkat seiring bertambahnya usia.
(Smeltzer, 2002)
Tanda Dan Gejala Koledokolitiasis
a)

Rasa nyeri dan kolik bilier. Jika duktus sistikus tersumbat oleh
batu empedu, kandung empedu akan mengalami distensi dan
akhirnya infeksi. Pasien akan menderita panas dan mungkin
teraba massa padat pada abdomen. Pasien dapat mengalami
kolik bilier disertai nyeri hebat pada abdomen kuadaran kanan
atas yang menjalar ke punggung atau bahu kanan; rasa nyeri ini
biasanya disertai mual dan muntah dan bertambah hebat dalam
makan makanan dalam porsi besar. Pada sebagian pasien rasa
nyeri bukan bersifat kolik melainkan persisten. Serangan kolik
bilier semacam ini disebabkan kontraksi kandung empedu yang
tidak dapat mengalirkan empedu keluar akibat tersumbatnya

78

saluran oleh batu. Dalam keadaan distensi, bagian fundus


kandung empedu akan menyentuh dinding abdomen pada daerah
kartilago kosta 9 dan 10 kanan. Sentuhan ini menimbulkan nyeri
tekan yang mencolok pada kuadran kanan atas ketika pasien
melakukan inspirasi dalam dan menghambat pengembangan
rongga dada. (Smeltzer, 2002)
b)

Ikterus

Obstruksi

pengaliran

getah

empedu

ke

dalam

dudodenum akan menimbulkan gejala yang khas, yaitu: getah


empedu yang tidak lagi dibawa kedalam duodenum akan diserap
oleh darah dan penyerapan empedu ini membuat kulit dan
menbran mukosa berwarna kuning. Keadaan ini sering disertai
dengan gejal gatal-gatal pada kulit. (Smeltzer, 2002)
c)

Perubahan warna urine dan feses. Ekskresi pigmen empedu oleh


ginjal akan membuat urine berwarna sangat gelap. Feses yang
tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu aka tampak kelabu, dan
biasanya pekat yang disebut Clay-colored (Smeltzer, 2002)

d)

Defisiensi vitamin Obstruksi aliran empedu juga akan


mengganggu absorbsi vitamin A,D,E,K yang larut lemak.
Karena itu pasien dapat memperlihatkan gejala defisiensi
vitamin-vitamin ini jika obstruksi bilier berlangsung lama.
Defisiensi vitamin K dapat mengganggu pembekuan darah yang
normal.(Smeltzer, 2002)

e)

Regurgitasi gas: flatus dan sendawa (Smeltzer, 2002)

Pemeriksaan Penunjang Koledokolitiasis


1)

Radiologi Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi


oral sebagai prosedur diagnostik pilihan karena pemeriksaan
ini dapat dilakukan dengan cepat dan akurat, dan dapat
digunakan

pada penderita

disfungsi hati dan ikterus.

Disamping itu, pemeriksaan USG tidak membuat pasien


terpajan radiasi inisasi. Prosedur ini akan memberikan hasil
yang paling akurat jika pasien sudah berpuasa pada malam

79

harinya sehingga kandung empedunya berada dalam keadan


distensi. Penggunaan ultra sound berdasarkan pada gelombang
suara yang dipantulkan kembali. Pemeriksan USG dapat
mendeteksi kalkuli dalam kandung empedu atau duktus
koleduktus yang mengalami dilatasi. (Smeltzer, 2002)
2)

Radiografi: Kolesistografi Kolesistografi digunakan bila USG


tidak tersedia atau bila hasil USG meragukan. Kolangiografi
oral dapat dilakukan untuk mendeteksi batu empedu dan
mengkaji kemampuan kandung empedu untuk melakukan
pengisian,

memekatkan

isinya,

berkontraksi

serta

mengosongkan isinya. Oral kolesistografi tidak digunakan bila


pasien jaundice karena liver tidak dapat menghantarkan media
kontras ke kandung empedu yang mengalami obstruksi.
(Smeltzer, 2002)
3)

Sonogram Sonogram dapat mendeteksi batu dan menentukan


apakah dinding kandung empedu telah menebal. (Williams,
2003)

4)

ERCP

(Endoscopic

Retrograde

Colangiopancreatografi)

Pemeriksaan ini memungkinkan visualisasi struktur secara


langsung yang hanya dapat dilihat pada saat laparatomi.
Pemeriksaan ini meliputi insersi endoskop serat optik yang
fleksibel ke dalam esofagus hingga mencapai duodenum pars
desendens. Sebuah kanula dimasukan ke dalam duktus
koleduktus serta duktus pankreatikus, kemudian bahan kontras
disuntikan ke dalam duktus tersebut untuk menentukan
keberadaan batu di duktus dan memungkinkan visualisassi serta
evaluasi percabangan bilier. (Williams, 2003)
5)

Pemeriksaan darah

Kenaikan serum kolesterol

Kenaikan fosfolipid

80

Penurunan ester kolesterol

Kenaikan protrombin serum time

Kenaikan bilirubin total, transaminase

Penurunan urobilirubin

Peningkatan sel darah putih

Peningkatan serum amilase, bila pankreas terlibat atau bila


ada batu di duktus utama 1) (Williams, 2003)

Penatalaksanaan Koledokolitiasis
a)

Penatalaksanaan pendukung dan diet


Kurang lebih 80% dari pasien-pasien inflamasi akut
kandung empedu sembuh dengan istirahat, cairan infus,
penghisapan nasogastrik, analgesik dan antibiotik. Intervensi
bedah harus ditunda sampai gejala akut mereda dan evalusi yang
lengkap dapat dilaksanakan, kecuali jika kondisi pasien
memburuk. Manajemen terapi :
1)

Diet rendah lemak, tinggi kalori, tinggi protein

2)

Pemasangan pipa lambung bila terjadi distensi perut.

3)

Observasi keadaan umum dan pemeriksaan vital sign

4)

Dipasang infus program cairan elektrolit dan glukosa


untuk mengatasi syok.

5)

Pemberian antibiotik sistemik dan vitamin K (anti


koagulopati)
(Williams, 2003)

b)

Pengangkatan batu empedu tanpa pembedahan


1)

Pelarutan batu empedu Pelarutan batu empedu dengan


bahan pelarut (misal : monooktanoin atau metil tertier
butil eter/MTBE) dengan melalui jalur : melalui selang
atau kateter yang dipasang perkutan langsung kedalam

81

kandung empedu; melalui selang atau drain yang


dimasukkan melalui saluran T Tube untuk melarutkan batu
yang belum dikeluarkan pada saat pembedahan; melalui
endoskop ERCP; atau kateter bilier transnasal. (Williams,
2003)
2)

Pengangkatan non bedah Beberapa metode non bedah


digunakan untuk mengelurkan batu yang belum terangkat
pada saat kolisistektomi atau yang terjepit dalam duktus
koledokus. Prosedur pertama sebuah kateter dan alat
disertai jaring yang terpasang padanya disisipkan lewat
saluran T Tube atau lewat fistula yang terbentuk pada saat
insersi T Tube; jaring digunakan untuk memegang dan
menarik keluar batu yang terjepit dalam duktus koledokus.
Prosedur kedua adalah penggunaan endoskop ERCP.
Setelah endoskop terpasang, alat pemotong dimasukkan
lewat endoskop tersebut ke dalam ampula Vater dari
duktus koledokus. Alat ini digunakan untuk memotong
serabut-serabut mukosa atau papila dari spingter Oddi
sehingga mulut spingter tersebut dapat diperlebar;
pelebaran ini memungkinkan batu yang terjepit untuk
bergerak dengan spontan kedalam duodenum. Alat lain
yang dilengkapi dengan jaring atau balon kecil pada
ujungnya dapat dimsukkan melalui endoskop untuk
mengeluarkan batu empedu. Meskipun komplikasi setelah
tindakan ini jarang terjadi, namun kondisi pasien harus
diobservasi dengan ketat untuk mengamati kemungkinan
terjadinya

perdarahan,

perforasi

dan

pankreatitis.

(Williams, 2003)
3)

ESWL (Extracorporeal Shock-Wave Lithotripsy) Prosedur


noninvasiv ini menggunakan gelombang kejut berulang
(Repeated Shock Wave) yang diarahkan pada batu empedu
didalam kandung empedu atau duktus koledokus dengan

82

maksud

memecah batu tersebut menjadi beberapa

sejumlah fragmen (Williams, 2003)


c)

Penatalaksanaan bedah
Penanganan bedah pada penyakit kandung empedu dan batu
empedu dilaksanakan untuk mengurangi gejala yang sudah
berlangsung lama, untuk menghilangkan penyebab kolik bilier
dan untuk mengatasi kolesistitis akut. Pembedahan dapat efektif
jika gejala yang dirasakan pasien sudah mereda atau bisa
dikerjakan sebagai suatu prosedur darurat bilamana kondisi
psien mengharuskannya Tindakan operatif meliputi :
1)

Sfingerotomy endosokopik

2)

PTBD (perkutaneus transhepatik bilirian drainage)

3)

Pemasangan T Tube saluran empedu koledoskop

4)

Laparatomi kolesistektomi pemasangan T Tube


(Williams, 2003)

d)

Penatalaksanaan pra operatif :


1)

Pemeriksaan sinar X pada kandung empedu

2)

Foto thoraks

3)

Ektrokardiogram

4)

Pemeriksaan faal hati

5)

Vitamin k (diberikan bila kadar protrombin pasien rendah)

6)

Terapi komponen darah

7)

Penuhi kebutuhan nutrisi, pemberian larutan glukosa scara


intravena bersama suplemen hidrolisat protein mungkin
diperlikan untuk membentu kesembuhan luka dan
mencegah kerusakan hati (Williams, 2003)

83

G.

Kolangitis
Definisi
Kolangitis adalah suatu infeksi bakteri akut pada sistem saluran
empedu. Charcot ditahun1877 menjelaskan tentang keadaan klinis dari
kolangitis, sebagai trias, yaitu demam, ikterus dan nyeri abdomen
kuadran kanan atas, yang dikenal dengan Charcot triad. Charcot
mendalilkan

bahwaempedu

stagnankarena

obstruksi

saluran

empedu menyebabkan perkembangan kolangitis (Williams, 2003)


Etiologi Kolangitis
Banyak faktor yang dapat menyebabkan obstruksi dari sistem
bilier seperti kelainan anatomi atau benda asing dalam saluran
empedu. Dalam keadaan ini terjadi kolonisasi bakteri yang dapat
menyebabkan kolangitis akut. Bilamana timbul obstruksi total dapat
terjadi supurasi dan penyakit yang lebih serius. (Williams, 2003)
Penyebab yang paling sering dari kolangitis akut di USA adalah
batu koledokus yang ditemukan pada + 10-20% pasien batu kandung
empedu. Batu yang terdapat di duktus koledokus adalah batu sekunder
yang

bermigrasi

dari

kandung

empedu.

Sebagai

kontras,

kolangiohepatitis oriental, yang berada endemis di Asia Tenggara


dikhaskan oleh kolangitis piogenik rekurens dan batu empedu intra
dan ekstrahepatik pada 70-80% dan kolelitiasis pada 50-70% pasien.
Penyebab kedua kolangitis akut adalah obstruksi maligna dari saluran
empedu oleh karsinoma pankreas, karsinoma papila Vateri, metastasis
dari tumor peri pankreas, metastasis porta hepatis.Obstruksi saluran
empedu dapat pula disebabkan oleh striktur bilier benigna,
pankreatitis kronik atau sebab lain seperti stenosis papiler, hemobili,
koledokokel dan ascaris lumbricoides. (Williams, 2003)
Pasien dengan striktur bilier pasca bedah memiliki insidens
bakteribili yang amat tinggi, terutama bila disertai dengan anastomosis
koledokoenterik. Pada obstruksi maligna, lebih jarang terjadi
kolangitis akut, tetapi berpotensi lebih serius. Kolangitis rekurens

84

dapat pula terjadi pada kolangitis sklerosing primer, tetapi biasanya


tidak mengancam jiwa. Kolangitis akut kriptogenik kadang-kadang
ditemukan pada penyakit sistemik seperti pada syok toksik Kolangitis
iatrogenik makin bertambah pada tahun-tahun terakhir ini dan kini
menunjukkan problem penatalaksanaan yang penting. Pada saat yang
lalu keadaan ini terbatas pada striktur pasca bedah atau masalahmasalah

manipulasi

T-tube;

kini

lebih

sering

mengikuti

kolangiografi perkutan, radiologi intervensi dan prosedur endoskopi.


Infeksi iatrogenik timbul melalui 3 cara: benda asing seperti stent
yang mengakibatkan obstruksi partial atau total; kedua adalah infeksi
nosokomial akibat prosedur-prosedur intervensi yang mengintroduksi
kuman-kuman seperti pada ERCP, infeksi yang naik melalui T-tube;
yang ketiga adalah mengikuti kolangiografi perkutan, kolangiografi
melalui T-tube. Pada seri dari Nurman, dkk, obstruksi saluran empedu
sebagian besar yakni +59% disebabkan oleh batu saluran empedu,
sebagian lagi (26,8%) karena keganasan. (Williams, 2003)
Patofisiologi Kolangitis
Adanya hambatan dari aliran cairan empedu akan menimbulkan
stasis cairan empedu, kolonisasi bakteri dan pertumbuhan kuman yang
berlebihan. Kuman-kuman ini berasal dari flora duodenum yang
masuk melalui sfingter Oddi, dapat juga dari penyebaran limfogen
dari kandung empedu yang meradang akut, penyebaran ke hati akibat
sepsis atau melalui sirkulasi portal dari bakteri usus. Karena tekanan
yang tinggi dari saluran empedu yang tersumbat, kuman akan kembali
(refluks) ke dalam saluran limfe dan aliran darah dan mengakibatkan
sepsis. Bakteribili (adanya bakteri disaluran empedu) didapatkan pada
20% pasien dengan kandung empedu normal. Walaupun demikian
infeksi terjadi pada pasien-pasien dengan striktur pasca bedah atau
pada anastomasi koledokoenterik. Lebih dari 80% pasien dengan batu
koledokus terinfeksi, sedangkan infeksi lebih jarang pada keganasan.
(Williams, 2003)

85

Kegagalan aliran yang bebas merupakan hal yang amat penting


pada patogenesis kolangitis akut. Mikroorganisme yang menyebabkan
infeksi pada kolangitis akut yang sering dijumpai berturut-turut adalah
kuman-kuman aeroba gram (-) enterik E. Coli, Klebsiella, kemudian
Streptococcus faecalis dan akhirnya bakteri anaerob Bacteroides
fragilis dan Clostridia. Pula kuman-kuman Proteus, Pseudomonas dan
Enterobacter enterococci tidak jarang ditemukan. Bacteribili tidak
akan menimbulkan kolangitis kecuali bila terdapat kegagalan aliran
bilier yang akan memudahkan terjadinya proliferasi kuman pada
saluran empedu yang mengalami stagnasi, dan atau tekanan dalam
saluran empedu di dalam hati meningkat sedemikian rupa sehingga
menyebabkan refluks kuman ke dalam darah dan saluran getah
bening. Kombinasi dari stagnasi dan peningkatan tekanan tersebut
akan menimbulkan keadaan yang serius pada kolangitis supuratif.
Beberapa dari efek serius kolangitis dapat disebabkan oleh
endotoksemia yang dihasilkan oleh produk pemecahan bahteri gram
negatif. Endotoksin diserap di usus lebih mudah bila terdapat
obstruksi bilier, karena ketiadaan garam empedu yang biasanya
mengkhelasi

endotoksin

sehingga

mencegah

penyerapannya.

Selanjutnya kegagalan garam empedu mencapai intestin dapat


menyebabkan perubahan flora usus. Selain itu fungsi sel-sel Kupfer
yang jelek dapat menghambat kemampuan hati untuk mengekstraksi
endotoksin dari darah portal. (Williams, 2003)
Bilamana kolangitis tidak diobati, dapat timbul bakteremia
sistemik pada sepertiga kasus dan pada kasus-kasus yang lanjut, dapat
timbul abses hati. (Williams, 2003)
Gejala Klinik
Gejala klinik bervariasi dari yang ringan yang memberikan
respons dengan penatalaksanaan konservatif sehingga memungkinkan
intervensi aktif sampai bentuk berat yang refrakter terhadap terapi
medik dan bisa berakibat fatal. (Williams, 2003)

86

Hampir selalu pada pasien kolangitis akut didapatkan ikterus


dan disertai demam, kadang-kadang menggigil. Pada sebagian kecil
kasus ini batu koledokus tidak didapatkan ikterus, hal ini dapat
diterangkan karena batu di dalam duktus koledokus tersebut masih
mudah bergerak sehingga kadang-kadang aliran cairan empedu lancar,
sehingga bilirubin normal atau sedikit saja meningkat. (Williams,
2003)
Kadang-kadang tidak jelas adanya demam, tetapi ditemukan
lekositosis. Fungsi hati menunjukkan tanda-tanda obstruksi yakni
peningkatan yang menyolok dari GGT atau fosfatase alkali.
SGOT/SGPT dapat meningkat, pada beberapa pasien bahkan dapat
mening-kat secara menyolok menyerupai hepatitis virus akut.
(Williams, 2003)
Seringkali didapatkan nyeri hebat di epigastrium atau perut
kanan atas karena adanya batu koledokus. Nyeri ini bersifat kolik,
menjalar ke belakang atau ke skapula kanan, kadang-kadang nyeri
bersifat konstan. Trias dari Charcot (demam, nyeri perut bagian atas
atau kanan atas serta ikterus) didapatkan pada 54%. (Williams, 2003)
Diagnosis kolangitis akut
Simptom yang paling sering ditemukan pada kolangitis akut
adalah nyeri perut, demam dan ikterus. Trias yang klasik dari Charcot
yakni demam, nyeri abdomen kuadran atas dan ikterus yang
dilukiskan oleh Charcot pada tahun 1877 hanya ditemukan pada 5060% pasien. (Williams, 2003)
Kombinasi lekositosis, hiperbilirubinemia dan peningkatan ALT
dan AST dan fosfastase alkali /GGTP serum ditemukan pada
kebanyakan pasien kolangitis akut. (Williams, 2003)
Ultrasonografi

abdomen

menunjukkan

pelebaran

saluran

empedu. Ultrasonografi dapat membedakan kolestasis ekstrahepatik


dan intrahepatik dengan ketepatan 96% pada kasus-kasus dengan
saluran empedu yang melebar. Namun angka deteksi untuk batu

87

koledokus sangat rendah. (Williams, 2003)


CT Scan dapat mendeteksi batu di saluran empedu sedikit lebih
banyak

dibandingkan

dengan

ultrasonografi

dan

dapat

juga

menentukan setinggi apa dan pula penyebab obstruksi.


Peranan nuclear scintigraphy seperti TC-HILA belum jelas
pada pasien-pasien kolangitis akut. Pada umumnya diperlukan
kolangiografi pada kebanyakan kasus untuk suatu diagnosis yang
akurat dan perencanaan pengobatan. Visualisasi langsung dari saluran
empedu dilakukan dengan cara PTC (Percutaneous Transhepatic
Cholangiography) atau ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio
Pancreatography). (Williams, 2003)
Pemilihan PTC atau ERCP tergantung pada adanya fasilitas
tersebut dan kemampuan melaksanakannya.Pada umumnya mulamula dilakukan kolangiografi melalui ERCP dan apabila gagal
dilakukan PTC. (Williams, 2003)
Penatalaksanaan
Setiap pasien dengan ikterus apapun penyebabnya yang disertai
dengan demam haruslah diwaspadai akan keberadaan kolangitis akut.
1)

Pada pasien ini segera dilakukan pemeriksaan USG abdomen.


Adanya pelebaran saluran empedu baik ekstra atau intrahepatik
mengkonfirmasikan

adanya

suatu

kolangitis

akut.

Dari

pemeriksaan USG selain adanya pelebaran saluran empedu


mungkin dapat pula diketahui adanya penyebab dari obstruksi
tersebut misalnya batu saluran empedu, karsinoma caput
pankreas, adanya askaris dalam duktus koledokus yang tampak
sebagai bayangan 2 buah garis yang pararel, dan sebagainya.
2)

Pemeriksaan kolangiografi secara langsung baik dengan ERCP


(Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography) atau PTC
(Percutaneous Transhepatic Cholangiography) dapat secara lebih
rinci mengetahui penyebab obstruksi dan setinggi apa obstruksi
tersebut pada saluran empedu misalnya tumor papil, kolangio

88

karsinoma, batu koledokus, dan sebagainya.


3)

Pemeriksaan

laboratorium

menunjukkan

lekositosis,

peningkatan yang menyolok dari fosfatase alkali atau GGT,


bilirubin biasanya meningkat, sebagian kecil normal atau sedikit
meningkat, SGOT/ SGPT dapat meningkat sekali pada obstruksi
yang akut.
4)

Tindakan utama adalah melancarkan aliran bilier untuk


mengatasi infeksi serta untuk memperbaiki fungsi hati, dan
pemberian antibiotika yang adekuat. Melancarkan aliran bilier
bisa dilakukan secara operatif atau non operatif yakni per
endoskopi atau perkutan bilamana memiliki fasilitas tersebut.
Ekstraksi

batu

sfingterotomi

dengan
dilakukan

endoskopi

sesudah

dilakukan

langsung

sesudah

dilakukan

kolangiografi. Bilamana usaha pengeluaran batu empedu gagal,


mutlak pula dipasang pipa nasobilier untuk sementara sambil
menunggu tindakan yang definitif.
5)

Pemilihan antibiotika
Mikroorganisme yang paling sering sebagai penyebab
adalah E. Coli dan Klebsiella, diikuti oleh Streptococcus
faecalis. Pseudomonas aeroginosa lebih jarang ditemukan
kecuali pada infeksi iatrogenik, walaupun demikian antibiotika
yang dipilih perlu yang dapat mencakup kuman ini. Walaupun
kuman anaerob lebih jarang, kemungkinan bahwa kuman ini
bertindak sinergis dengan kuman aerob menyebabkan bahwa
pada pasien yang sakitnya sangat berat, perlu diikutsertakan
antibiotika yang efektif terhadapnya. Tidak ada antibiotika
tunggal yang mampu mencakup semua mikroorganisme,
walaupun beberapa antibiotika yang baru seperti sefalosporin
dan kuinolon memiliki spektrum yang mengesankan.
Kombinasi aminoglikosida dan ampisilin pada waktu yang
lalu telah direkomendasikan karena dapat mencakup kuman

89

tersebut di atas selain harganya tidak mahal. Kerugian


kombinasi

adalah

bahwa

aminoglikosida

bersifat

nefrotoksik.Generasi ketiga sefalosporin telah dipakai dengan


berhasil pada kolangitis akut karena dieksresikan melalui
empedu. Terapi tunggal dengan cefoperazon telah terbukti lebih
baik daripada kombinasi ampisilin dan tobramisin, juga
septasidin. Golongan karbapenem yang baru yakni imipenem
yang memiliki spektrum luas juga berpotensi baik. Obat ini
diberikan bersama dengan silastatin. (Williams, 2003)
Siprofloksasin dari golongan kuinolon telah digunakan
pada sepsis bilier dan memiliki spektrum yang luas; obat ini
diekskresi melalui ginjal dan juga penetrasi ke empedu.
Bilamana dikombinasi dengan metronidasol untuk mencakup
flora anaerob, akan sangat efektif. Untuk pencegahan secara oral
terhadap kolangitis rekuren dapat dipilih terapi tunggal dengan
ampisilin, trimetoprin atau sefalosporin oral seperti sefaleksin
(Williams, 2003)
H.

Kolelitiasis
Definisi
Kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan
di dalam kandung empedu atau di dalam saluran empedu, atau pada
kedua-duanya. Sebagian besar batu empedu, terutama batu kolesterol,
terbentuk di dalam kandung empedu. (Williams, 2003)
Hati terletak di kuadran kanan atas abdomen di atas ginjal
kanan, kolon, lambung, pankreas, dan usus serta tepat di bawah
diafragma. Hati dibagi menjadilobus kiri dan kanan, yang berawal di
sebelah anterior di daerah kandung empedu dan meluas ke belakang
vena kava.Kuadran kanan atas abdomen didominasi oleh hati serta
saluran empedu dan kandung empedu. Pembentukan dan ekskresi
empedu merupakan fungsi utama hati. (Williams, 2003)

90

Kandung empedu adalah sebuah kantung terletak di bawah hati


yang mengonsentrasikan dan menyimpan empedu sampai ia
dilepaskan ke dalam usus. Kebanyakan batu duktus koledokus berasal
dari batu kandung empedu, tetapi ada juga yang terbentuk primer di
dalam saluran empedu. (Williams, 2003)
Batu empedu bisa terbentuk di dalam saluran empedu jika
empedu mengalami aliran balik karena adanya penyempitan saluran.
Batu empedu di dalam saluran empedu bisa mengakibatkan infeksi
hebat saluran empedu (kolangitis). Jika saluran empedu tersumbat,
maka bakteri akan tumbuh dan dengan segera menimbulkan infeksi di
dalam saluran. Bakteri bisa menyebar melalui aliran darah dan
menyebabkan infeksi di bagian tubuh lainnya. (Williams, 2003)
Adanya infeksi dapat menyebabkan kerusakan dinding kandung
empedu, sehingga menyebabkan terjadinya statis dan dengan
demikian menaikkan batu empedu. Infeksi dapat disebabkan kuman
yang berasal dari makanan. Infeksi bisa merambat ke saluran empedu
sampai ke kantong empedu. (Williams, 2003)
Penyebab paling utama adalah infeksi di usus. Infeksi ini
menjalar tanpa terasa menyebabkan peradangan pada saluran dan
kantong

empedu

sehingga

cairan

yang

berada

di

kantong

empedumengendap dan menimbulkan batu. Infeksi tersebut misalnya


tifoid atau tifus. Kuman tifus apabila bermuara di kantong empedu
dapat menyebabkan peradangan lokal yang tidak dirasakan pasien,
tanpa gejala sakit ataupun demam. Namun, infeksi lebih sering timbul
akibat dari terbentuknya batu dibanding penyebab terbentuknya batu.
(Williams, 2003)
Fisiologi
Kandung empedu mampu menyimpan 40-60 ml empedu. Diluar
waktu

makan, empedu disimpan sementara di dalam kandung

empedu. Empedu hati tidak dapat segera masuk ke duodenum, akan


tetapi setelah melewati duktus hepatikus, empedu masuk ke duktus

91

sistikus dan ke kandung empedu. Dalam kandung empedu, pembuluh


limfe dan pembuluh darah mengabsorpsi air dari garam-garam
anorganik, sehingga empedu dalam kandung empedu kira-kira lima
kali lebih pekat dibandingkan empedu hati. (Williams, 2003)
Empedu disimpan dalam kandung empedu selama periode
interdigestif dan diantarkan ke duodenum setelah rangsangan
makananPengaliran cairan empedudiatur oleh 3 faktor, yaitu sekresi
empedu oleh hati, kontraksi kandung empedu, dan tahanan sfingter
koledokus. Dalam keadaan puasa, empedu yang diproduksi akan
dialih-alirkan ke dalam kandung empedu. Setelah makan, kandung
empeduberkontraksi, sfingter relaksasi, dan empedu mengalir ke
duodenum.Memakan makanan akan menimbulkan pelepasan hormon
duodenum, yaitu kolesistokinin (CCK), yang merupakan stimulus
utama bagi pengosongan kandung empedu, lemak merupakan stimulus
yang lebih kuat. Reseptor CCK telah dikenal terletak dalam otot polos
dari dinding kandung empedu. (Williams, 2003)
Pengosongan maksimum terjadi dalam waktu 90-120 menit
setelah konsumsi makanan. Empedu secara primer terdiri dari air,
lemak, organik, dan elektrolit, yang normalnya disekresi oleh
hepatosit. Zat terlarut organik adalah garam empedu, kolesterol, dan
fosfolipid.Sebelum makan, garam-garam empedu menumpuk di dalam
kandung empedu dan hanya sedikit empedu yang mengalir dari hati.
Makanan di dalam duodenum memicu serangkaian sinyal hormonal
dan sinyal saraf sehingga kandung empedu berkontraksi. Sebagai
akibatnya, empedu mengalir ke dalam duodenum dan bercampur
dengan makanan. (Williams, 2003)
Empedu memiliki fungsi, yaitu membantu pencernaan dan
penyerapan lemak, berperan dalam pembuangan limbah tertentu dari
tubuh, terutama hemoglobin yang berasal dari penghancuran sel darah
merah dan kelebihan kolesterol, garam empedu meningkatkan
kelarutan kolesterol, lemak dan vitamin yang larut dalam lemak untuk
membantu proses penyerapan, garam empedu merangsang pelepasan

92

air oleh usus besar untuk membantu menggerakkan isinya, bilirubin


(pigmen utama dari empedu) dibuang ke dalam empedu sebagai
limbah dari sel darah merah yang dihancurkan,serta obat dan limbah
lainnya dibuang dalam empedu dan selanjutnya dibuang dari
tubuh.Garam empedu kembali diserap ke dalam usus halus, disuling
oleh hati dan dialirkan kembali ke dalam empedu. Sirkulasi ini dikenal
sebagai sirkulasi enterohepatik. (Williams, 2003)
Seluruh garam empedu di dalam tubuh mengalami sirkulasi
sebanyak 10-12 kali/hari. Dalam setiap sirkulasi, sejumlah kecil garam
empedu masuk ke dalam usus besar (kolon). Di dalam kolon, bakteri
memecah garam empedu menjadi berbagai unsur pokok. Beberapa
dari unsur pokok ini diserap kembali dan sisanya dibuang bersama
tinja.Hanya sekitar 5% dari asam empedu yang disekresikan dalam
feses. (Williams, 2003)
Gambaran Klinis
Batu empedu tidak menyebabkan keluhan penderita selama batu
tidak masuk ke dalam duktus sistikus atau duktus koledokus.
Bilamana batu itu masuk ke dalam ujung duktus sistikus barulah dapat
menyebabkan keluhan penderita. Apabila batu itu kecil, ada
kemungkinan batu dengan mudah dapat melewati duktus koledokus
danmasuk ke duodenum.Batu empedu mungkin tidak menimbulkan
gejala selama berpuluh tahun. Gejalanya mencolok: nyeri saluran
empedu cenderung hebat, baik menetap maupun seperti kolik bilier
(nyeri kolik yang berat pada perut atas bagian kanan) jika ductus
sistikus tersumbat oleh batu, sehingga timbul rasa sakit perut yang
berat dan menjalar ke punggung atau bahu. Mual dan muntah sering
kali berkaitan dengan serangan kolik biliaris. Sekali serangan kolik
biliaris dimulai, serangan ini cenderung makin meningkat frekuensi
dan intensitasnya. Gejala yang lain seperti demam, nyeri seluruh
permukaan perut, perut terasa melilit, perut terasa kembung, dan lainlain. (Williams, 2003)

93

Komplikasi
a.

Kolesistisis.
Kolesistisis adalah Peradangan kandung empedu, saluran
kandung empedu tersumbat oleh batu empedu, menyebabkan
infeksi dan peradangan kandung empedu.

b.

Kolangitis.
Kolangitis adalah peradangan pada saluran empedu, terjadi
karena infeksi yang menyebar melalui saluran-saluran dari usus
kecil setelah saluran-saluran menjadi terhalang oleh sebuah batu
empedu.

c.

Hidrops
Obstruksi kronis dari kandung empedu dapat menimbulkan
hidrops kandung empedu. Dalam keadaan ini, tidak ada
peradangan akut dan sindrom yang berkaitan dengannya.
Hidrops biasanya disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus
sehingga tidak dapat diisi lagi empedu pada kandung empedu
yang normal. Kolesistektomi bersifat kuratif.

d.

Empiema
Pada empiema, kandung empedu berisi nanah. Komplikasi ini
dapat membahayakan jiwa dan membutuhkan kolesistektomi
darurat segera (Williams, 2003)

Keluhan Penderita Kolelitiasis Berdasarkan Lokasi Batu Empedu


Istilah kolelitiasis menunjukkan penyakit batu empedu yang
dapat ditemukan di dalam kandung empedu, saluran empedu, atau
pada

kedua-duanya.Terbentuknya

batu

empedu

tidak

selalu

memunculkan gejala pada penderitanya. Gejala yang dirasakan pada


penderita batu empedu tergantung dari lokasi tempat batu empedu
berada. Batu empedu dapat masuk ke dalam usus halus ataupun ke
usus besar lalu terbuang melalui saluran cerna sehingga tidak
memunculkan keluhan apapun pada penderitanya. (Williams, 2003)

94

Jika tidak ditemukan gejala dalam kandung empedu, maka tidak


perlu dilakukan pengobatan. Nyeri yang hilang-timbul bisa dihindari
atau dikurangi dengan menghindari atau mengurangi makanan
berlemak. Namun, jika batu kandung empedu menyebabkan serangan
nyeri berulang meskipun telah dilakukan perubahan pola makan, maka
dianjurkan untuk pemeriksaan lanjut.Batu empedu yang berada dalam
kandung empedu bisa bertambah besar dan berisiko menyumbat
saluran empedu serta dapat menimbulkan komplikasi (kolesistisis,
hidrops, dan empiema). (Williams, 2003)
Kandung empedu dapat mengalami infeksi. Akibat infeksi,
kandung empedu dapat membusuk dan infeksi membentuk nanah,
Bilamana timbul gejala, biasanya karena batu tersebut bermigrasi ke
saluran empedu. Batu empedu berukuran kecil lebih berbahaya
daripada yang besar. Batu kecil berpeluang berpindah tempat atau
berkelana ke tempat lain.Nyeri yang muncul akibat penyumbatan pada
saluran empedu memiliki sensasi yang hampir sama dengan nyeri
yang muncul akibat penyumbatan pada bagian kandung empedu.
Apabila batu empedu menyumbat di dalam saluran empedu utama,
maka akan muncul kembali sensasi nyeri yang bersifat hilang-timbul.
Lokasi nyeri yang terjadi biasanya berbeda-beda pada setiap
penderita, tetapi posisi nyeri paling banyak yang dirasakan adalah
pada perut atas sebelah kanan dan dapat menjalar ke tulang punggung
atau

bahu.

Penderita

seringkali

merasakan

mual

dan

muntah.Peradangan pada saluran empedu atau yang disebut dengan


kolangitis dapat terjadi karena saluran empedu tersumbat oleh batu
empedu.Jika terjadi infeksi bersamaan dengan penyumbatan saluran,
maka akan timbul demam. (Williams, 2003)
Tipe Batu Empedu
Ada 3 tipe batu Empedu, yaitu:
1)

Batu Empedu Kolesterol


Batu

kolesterol

mengandung

paling

sedikit

70%

95

kolesterol, dan sisanya adalah kalsium karbonat, kalsium


palmitit, dan kalsium bilirubinat. Bentuknya lebih bervariasi
dibandingkan bentuk batu pigmen. Terbentuknya hampir selalu
di dalam kandung empedu, dapat berupa soliter atau multipel.
Permukaannya mungkin licin atau multifaset, bulat, berduri, dan
ada yang seperti buah murbei. (Williams, 2003)
2)

Batu Kolesterol
Terjadi kerena konsentrasi kolesterol di dalam cairan
empedu tinggi. Ini akibat dari kolesterol di dalam darah cukup
tinggi.

Jika

kolesterol

dalam

kantong

empedu

tinggi,

pengendapan akan terjadi dan lama kelamaan menjadi batu.


Penyebab lain adalah pengosongan cairan empedu di dalam
kantong empedu kurang sempurna, masih adanya sisa-sisa
cairan empedu di dalam kantong setelah proses pemompaan
empedu sehingga terjadi pengendap. (Williams, 2003)
3)

Batu Empedu Pigmem


Penampilan batu kalsium bilirubinat yang disebut juga
batu lumpur atau batu pigmen, tidak banyak bervariasi. Sering
ditemukan berbentuk tidak teratur, kecil-kecil, dapat berjumlah
banyak, warnanya bervariasi antara coklat, kemerahan, sampai
hitam, dan berbentuk seperti lumpur atau tanah yang rapuh.Batu
pigmen terjadi karena bilirubin tak terkonjugasi di saluran
empedu (yang sukar larut dalam air), pengendapan garam
bilirubin kalsium dan akibat penyakit infeksi. (Williams, 2003)

4)

Batu Empedu Campuran


Batu ini adalah jenis yang paling banyak dijumpai (80%)
dan terdiri atas kolesterol, pigmen empedu, dan berbagai garam
kalsium. Biasanya berganda dan sedikit mengandung kalsium
sehingga bersifat radioopaque. (Williams, 2003)

96

Patogenesis
Empedu adalah satu-satunya jalur yang signifikan untuk
mengeluarkan kelebihan kolesterol dari tubuh, baik sebagai kolesterol
bebas maupun sebagai garam empedu.Hati berperan sebagai
metabolisme lemak. Kira-kira 80 persen kolesterol yang disintesis
dalam hati diubah menjadi garam empedu, yang sebaliknya kemudian
disekresikan kembali ke dalam empedu; sisanya diangkut dalam
lipoprotein, dibawa oleh darah ke semua sel jaringan tubuh.Kolesterol
bersifat tidak larut air dan dibuat menjadi larut air melalui agregasi
garam empedu dan lesitin yang dikeluarkan bersama-sama ke dalam
empedu. Jika konsentrasi kolesterol melebihi kapasitas solubilisasi
empedu (supersaturasi),kolesterol tidak lagi mampu berada dalam
keadaan terdispersi sehingga menggumpal menjadi kristal-kristal
kolesterol monohidrat yang padat . Etiologi batu empedu masih belum
diketahui sempurna. Sejumlah penyelidikan menunjukkan bahwa hati
penderita batu kolesterol mensekresi empedu yang sangat jenuh
dengan kolesterol.Batu empedu kolesterol dapat terjadi karena
tingginya kalori dan pemasukan lemak. Konsumsi lemak yang
berlebihan akan menyebabkan penumpukan di dalam tubuh sehingga
sel-sel hati dipaksa bekerja keras untuk menghasilkan cairan
empedu.Kolesterol yang berlebihan ini mengendap dalam kandung
empedu dengan cara yang belum dimengerti sepenuhnya. (Williams,
2003)
Patogenesis batu berpigmen didasarkan pada adanya bilirubin
tak terkonjugasi di saluran empedu (yang sukar larut dalam air), dan
pengendapan garam bilirubin kalsium.Bilirubin adalah suatu produk
penguraian sel darah merah. (Williams, 2003)
Diagnosis kolelitiasis
a.

Anamnesis
Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah
asimtomatis. Keluhan yang mungkin timbul adalah dispepsia

97

yang kadang disertai intoleran terhadap makanan berlemak.


Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah
epigastrium, kuadran kanan atas atau perikomdrium. Rasa nyeri
lainnya adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari
15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian.
Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada 30%
kasus timbul tiba-tiba. Lebih kurang seperempat penderita
melaporkan bahwa nyeri berkurang setelah menggunakan
antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan
bertambah pada waktu menarik nafas dalam. (Williams, 2003)
b.

USG atau Pemeriksaan Ultrasonografi


USG ini merupakan pemeriksaan standard, yang sangat baik
untuk menegakkan diagnosa Batu Kantong Empedu. Kebenaran
dari USG ini dapat mencapai 95% di tangan Ahli Radiologi.

c.

CT Scanning.
Pemeriksaan dengan CT Scanning dilakukan bila batu berada di
dalam saluran empedu.

d.

Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Kadang-kadang diperlukan

pemeriksaan

ini

apabila

ada

komplikasi sakit kuning.


e.

Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimptomatik, umumnya tidak
menunjukkan kelainan laboratorik. Kenaikan ringan bilirubin
serum terjadi akibat penekanan duktus koledokus oleh batu, dan
penjalaran radang ke dinding yang tertekan tersebut. (Williams,
2003)

J.

Enteritis Regional (Crohns Disease)


Definisi
Penyakit Crohn adalah suatu gangguan radang kronis usus
idiopatik yang melibatkan bagian saluran pencernaan yang mana saja.

98

Ditemukan pada bagian saluran pencernaan dari mulut sampai anus


paling umum ditemukan pada usus halus (ileum terminal) . Penyakit
ini menyerang dinding usus bagian dalam. Lesinya bersifat diskontinu,
yang menimbulkan efek melompat-lompat, yaitu bagian usus yang
sakit dipisahkan oleh jaringan yang normal. Timbul fistura, fistula,
dan penebalan dinding usus. Walaupun banyak persamaan antara
kolitis ulserativa dan penyakit Crohn, ada juga perbedaan-perbedaan
besar dalam perjalanan klinis dan distribusi penyakit di dalam saluran
pencernaan. Proses radangnya cenderung eksentris dan segmental,
sering dengan daerah antara (yaitu daerah normal usus di antara
daerah-daerah radang). Sedangkan radang pada kolitis ulserativa
terbatas pada mukosa (kecuali pada megakolon toksik), keterlibatan
saluran pencernaan pada penyakit Crohn adalah transmural (Cecily
Lynn Betz, 2009).
Inflamasi

pada

penyakit

Crohn

timbul

sebagai

lesi

granulomatosa berbatas tegas dengan pola terpisah-pisah yang


tersebar di seluruh bagian usus yang terkena. Di antara daerah
inflamasi terdapat jaringan usus yang normal. Pada inflamasi kronis,
timbul jaringan ikat dan fibrosis sehingga usus menjadi kaku atau
tidak fleksibel. Apabila fibrosis terjadi di usus halus, penyerapan zat
gizi akan terganggu. Jika penyakit terlokalisasi terutama di kolon,
keseimbangan air dan elektrolit dapat terganggu. Saluran atau fistula
abnormal kadang-kadang terbentuk antara bagian saluran cerna dan
antara saluran GI dan vagina, kandung kemih, atau rektum. Hal ini
dapat menyebabkan malabsorbsi dan infeksi.
Kondisi ini diyakini sebagai hasil dari ketidakseimbangan antara
pro-inflamasi dan mediator anti-inflamasi. Sebagian besar kasus
enteritis regional melibatkan usus halus, khususnya ileum terminal.
Presentasi karakteristik enteristik regional adalah sakit perut dan diare,
yang mungkin menjadi rumit oleh fistula usus, obstruksi, atau
keduanya. Penyakit ini mempunyai sifat yang sulit diprediksi dan
mempunyai tingkat remisi jangka panjang (Aufses, 2001).

99

Pada tahun 1932, Crohn, Ginzberg, dan Oppenheimer


mendeskripsikan penyakit ini dengan melokalisasi segmen ileum dan
memengaruhi saluran gastrointestinal lainnya. Kondisi ini kemudian
didokumentasikan bahwa enteritis regional bisa melibatkan bagian
mana pun dari saluran gastrointestinal (Thoreson, 2007).
Etiologi
Penyebab dari enteritis regional masih belum diketahui secara
pasti. Beberapa predisposisi seperti genetik, lingkungan, infeksi,
imunitas, penyakit vaskular, dan faktor psikososial, termasuk
merokok, kontrasepsi oral, serta menggunakan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS), diyakini oleh sebagian besar ahli terlibat dalam
patogenesis enteritis regional (corwin, 2009).
Pada beberapa penelitian terdapat hubungan genetik pada
enteritis regional. Sebagian besar gen yang dianggap terlibat dalam
perkembangan penyakit ini berperan dalam imunitas mukosa dan
ditemukan pada epitel mukosa penghalang. Beberapa gen memberikan
kontribusi untuk fenotip yang kompleks, namun dalam mutasi gen
NOD2 telah ditunjukkan memiliki kerentanan terhadap enteritis
regional (Church, 2001).
Pengaruh lingkungan seperti penggunaan tembakau tampaknya
memiliki efek pada enteritis regional. Perokok aktif dan perokok pasif
mempunyai risiko rendah untuk pengenbangan enteritis regional dan
berbanding terbalik dengan terjadinya risiko kolitis ulseratif .
Kemungkinan infeksi seperti Mycobacterium paratuberculosis,
Pseudomonas,

dan

Listeria

mempunyai

keterlibatan

dalam

patogenesis enteritis regional. Hal ini menunjukkan bahwa radang


dengan penyakit menghasilkan kondisi disfungsi terhadap sumber
infeksi (Van Heel, 2001).
Interleukin dan tumor necrosis factor-alpha (TNF-alpha) juga
terlibat dalam proses enteritis regional. Enteritis regional ini ditandai
oleh pola respons imun selular T-helper tipe-1 yang mengarah pada

100

produksi interleukin 12 (IL-12), TNF, dan interferon gamma (IFNgamma). TNF telah ditunjukkan untuk memainkan peran penting
dalam peradangan pada penyakit ini. Peningkatan produksi TNF oleh
makrofag pada pasien dengan enteritis regional menyebabkan
peningkatan konsentrasi TNF pada tinja, darah, dan mukosa (corwin,
2009).
Manifestasi Klinis
Di antara anak-anak penderita penyakit Crohn, gejala permulaan
paling sering mengenai ileum dan kolon (yaitu ileokolitis), tetapi
dapat juga melibatkan usus halus saja pada 40% (50% anak menderita
ileitis terminal saja) atau kolon saja pada sekitar 10% (kolitis
granulomatosa). Penyakit Crohn jarang dijumpai pada umur 1 tahun
pertama. Seperti pada kolitis ulserativa, penyakit Crohn cenderung
mempunyai distribusi umur bimodal dengan puncak pertama mulai
pada akhir umur belasan (Arif Muttaqin, 2011).
Penyakit Crohn dapat muncul dalam beberapa bentuk;
manifestasinya cenderung ditentukan oleh daerah usus yang terlibat,
derajat radangnya, dan adanya komplikasi seperti striktura atau fistula.
Anak dengan ileokolitis khas menderita nyeri abdomen dengan kram
dan diare, kadang-kadang dengan darah. Ileitis dapat muncul dengan
nyeri abdomen kuadran kanan bawah saja. Kolitis Crohn dapat disertai
dengan diare bercampur darah, tenesmus, dan mendadak ingin buang
kotoran. Gejala dan tanda-tanda sistemik cenderung lebih sering
terjadi pada penyakit Crohn daripada pada kolitis ulserativa. Demam,
malaise, dan mudah lelah sering terjadi. Kegagalan pertumbuhan
dengan

keterlambatan

pematangan

tulang

dan

keterlambatan

perkembangan seksual dapat mendahului gejala-gejala lain 1 atau 2


tahun sebelumnya dan setidak-tidaknya 2 kali lebih sering terjadi pada
penyakit Crohn daripada pada kolitis ulserativa. Anak dapat datang
dengan gagal tumbuh sebagai satu-satunya manifestasi penyakit
Crohn. (Arif Muttaqin, 2011).

101

Retardasi pertumbuhan disertai dengan penurunan massa badan


tetapi tidak disertai pengurangan lemak badan; kehilangan protein
melalui usus dan laju perputaran (turnover) protein tubuh meningkat.
Amenore primer atau sekunder sering terjadi. Berlawanan dengan
kolitis ulserativa, sering terjadi penyakit perianal (umbai-umbai =
tags, fistula, abses). Keterlibatan lambung atau duodenum mungkin
disertai dengan muntah berulang dan nyeri epigastrik. Obstruksi usus
halus parsial, biasanya akibat penyempitan lumen usus karena radang
atau striktura, dapat menyebabkan gejala-gejala nyeri abdomen
dengan kram (terutama waktu makan), borborigmi, dan kembung
abdomen intermiten. Striktura harus dicurigai apabila anak merasakan
gejala mereda bersama dengan sensasi mendadak degukan (gurgling)
isi usus melalui regio tertentu abdomen. Obstruksi ureter akibat
perluasan proses radangnya merupakan komplikasi yang jarang pada
penyakit Crohn. Manifestasi klinis penyakit Crohn menurut Diane,
2000 sebagai berikut:
1)

Awitan gejala biasanya tersembunyi dan membahayakan, tanda


nyeri abdomen yang menonjol, dan diare tak sembuh dengan
defekasi.

2)

Diare terdapat pada 90% pasien penderita penyakit ini.

3)

Nyeri kram terjadi setelah makan; pasien cenderung untuk


mengurangi masukan makanan; menyebabkan penurunan berat
badan, malnutrisi, dan anemia sekunder.

4)

Mungkin terjadi diare kronis, mengakibatkan rasa sangan tidak


nyaman pada individu yang kurus dan kering akibat masukan
makanan yang tidak adekuat serta kehilangan cairan. Usus yang
mengalami

inflamasi

dapat

mengalami

perforasi

membentuk abses intraabdominal dan anal.


5)

Terjadi demam dan leukositosis.

6)

Abses, fistula, dan fisura merupakan hal yang umum terjadi.

dan

102

Patofisiologi
Secara mikroskopis, lesi awal dimulai sebagai fokus peradangan
diikuti dengan ulserasi mukosa yang dangkal. Kemudian, menyerang
sel-sel inflamasi dalam lapisan mukosa dan dalam proses mulai
membentuk granuloma. Granuloma menyelimuti semua lapisan
dinding usus dan masuk ke dalam mesenterium dan kelenjar getah
bening regional. Infiltrasi neutrofil ke dalam bentuk abses yang dalam,
menyebabkan kerusakan pada lapisan dalam dan atrofi dari usus besar.
Kerusakan kronis dapat dilihat dalam bentuk penumpukan vili di usus
kecil. Terbentuknya ulkus menjadi kondisi umum dan sering terlihat
(david, 2007).
Secara makrokospis kelainan awal adalah hiperemia dan edema
dari mukosa yang terlibat. Kemudian, diskrit terbentuk ulkus limfoid
dangkal dan dipandang sebagai bintik-bintik merah atau depresi
mukosa. Keadaan ini dapat menjadi mendalam, borok serpiginous
terletak melintang dan longitudinal di atas mukosa yang meradang.
Lesi sering segmental dan dipisahkan oleh daerah sehat (David, 2007).
Hasil peradangan transmural (meliputi mukosa dan seluruh
dinding) membentuk penebalan dinding usus dan penyempitan lumen.
Obstruksi pada awalnya disebabkan oleh edema dari mukosa dan
spasme usus terkait. Obstruksi biasanya bersifat intermiten dan sering
reversibel setelah mendapat agen antiinflamasi. Pada proses lanjut,
halangan menjadi kronis akibat jaringan parut, penyempitan lumen,
dan pembentukan striktur. Lanjutan dari enteritis regional berkembang
komplikasi oleh suatu obstruksi atau ulkus yang menyebabkan
terbentuknya fistula dengan jalan terbentuknya sinus yang menembus
serosa, mikroperforasi, pembentukan abses, adhesi, dan malabsorbsi.
Fistula dapat bersifat enteroenteral, enterovesikal, enterovaginal, atau
enterokutaneous. Proses inflamasi melalui dinding usus mungkin juga
melibatkan mesenterium dan kelenjar getah bening sekitarnya
(corwin, 2009).

103

Manifestasi pada enteritis regional akan terjadi nyeri abdomen


menetap dan diare yang tidak hilang dengan defekasi. Diare terjadi
pada 90% pasien. Jaringan parut dan pembentukan granuloma
memengaruhi kemampuan usus untuk mentranspor produk dari
pencernaan usus atas melalui lumen yang terkontriksi, mengakibatkan
nyeri abdomen berupa kram. (corwin, 2009).
Gerakan peristaltik usus dirangsang oleh makanan sehingga
nyeri kram terjadi setelah makan. Untuk menghindari nyeri kram ini,
pasien cenderung untuk membatasi masukan makanan, mengurangi
jumlah dan jenis makanan sehingga kebutuhan nutrisi normal tidak
terpenuhi. Akibatnya adalah penurunan berat badan, malnutrisi, dan
anemia sekunder. Selain itu, pembentukan ulkus di lapisan membran
usus dan di tempat terjadinya inflamasi, akan menghasilkan rabas
pengiritasi konstan yang dialirkan ke kolon dari usus yang tipis,
bengkak, yang menyebabkan diare kronis. Kekurangan nutrisi dapat
terjadi akibat absorbsi terganggu. Malabsorbsi terjadi sebagai akibat
hilangnya fungsi penyerapan permukaan mukosa. Fenomena ini dapat
mengakibatkan malnutrisi protein-kalori, dehidrasi, dan beberapa
kekurangan gizi. Keterlibatan ileum terminal dapat mengakibatkan
malabsorpsi asam empedu, yang mengarah ke steatorrhea (buang air
besar dengan feses bercampur lemak), kekurangan vitamin yang larut
lemak, dan batu ginjal. Malabsorpsi lemak, dengan penangkap
kalsium, dapat mengakibatkan peningkatan ekskresi oksalat dan
menyebabkan pembentukan batu ginjal (david, 2007).
Pemeriksaan Diagnostik
1)

Pemeriksaan laboratorium
a.

Anemia mungkin disebabkan oleh beberapa penyebab,


termasuk peradangan kronis, malabsorpsi besi, kehilangan
darah kronis, dan malabsorpsi vitamin B12 atau folat.

b.

Hipoalbuminemia,

hipokolesterolemia,

hipokalsemia,

hipomagnesemia, dan hipoprothrombinemia mungkin

104

mencerminkan malabsorpsi.
c.

Leukositosis mungkin disebabkan oleh peradangan kronis,


abses, atau pengobatan steroid.

d.

Marker inflamasi akut, seperti C-reactive protein (CRP)


dan orosomucoid, berkorelasi erat dengan aktivitas
penyakit. Laju endap darah/eritrosit sedimentation rate
(ESR) dianggap lebih bermanfaat dalam menilai aktivitas
enteritis regional daripada kolitis ileitis.

2)

Pemeriksaan radiografik
a.

Studi kontras barium.


Studi ini sangat berguna dalam mendefinisikan sifat,
distribusi, dan tingkat keparahan enteritis regional (patel,
2007). Setelah psien dapat menoleransi prosedur, barium
enema mungkin dapat membantu dalam evaluasi lesi
kolon. Studi kontras barium berguna dalam mengevaluasi
fitur seperti kekakuan, pseudodivertikula, fistula, dan
edema submukosa. Edema dan ulkus dari mukosa di usus
kecil mungkin tampak sebagai penebalan dan distorsi.
Fistula juga dapat dideteksi oleh studi barium saluran
pencernaan atau melalui suntikan ke dalam pembukaan
fistula yang dicurigai (Mackalski, 2006).

b.

Computed tomography scan.


CT scan yang membantu dalam penilaian di luar
komplikasi seperti fistula dan abses, serta hepatobiliary
dan komplikasi ginjal (Mackalski, 2006).

c.

Magnetic resonance imaging


Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat lebih unggul
daripada CT scan dalam menunjukkan lesi panggul. Oleh
karena kadar air diferensial, MRI dapat membedakan
peradangan aktif dari fibrosis darn dapat membedakan

105

antara inflamasi serta lesi fibrostenosis enteritis regional


(patel, 2007).
3)

Pemeriksaan Ultrasonography
Ultrasonography

(USG)

dapat

membantu

dalam

membedakan kelainan tubo-ovarium. Namun, modalitas ini


dapat juga mendeteksi pembesaran kelenjar getah bening, abses,
stenoses, dan bahkan fistula. USG dianggap sebagai cara yang
cepat dan murah metode penyaringan untuk membantu dalam
diagnosis IBD atau berulang-ulang mengevaluasi pasien untuk
komplikasi (corwin, 2009).
4)

Pemeriksaan Kolonoskopi
Kolonoskopi (Colonoscopy) dapat membantu ketika
barium

enema

satu

kontras

belum

informatif

dalam

mengevaluasi sebuah lesi kolon. Kolonoskopi berguna dalam


memperoleh jaringan biopsi, yang membantu dalam diferensiasi
penyakit lain, dalam evaluasi lesi massa, dan dalam pelaksanaan
surveilans

kanker.

Kolonoskopi

juga

memungkinkan

memvisualisasi fibrosis striktur pada pasien dengan penyakit


kronis. Selain itu, kolonoskopi juga dapat digunakan dalam
periode pasca-operasi bedah untuk mengevaluasi anatomosis
dan memprediksi kemungkinan kambuh klinis, serta respons
terhadap terapi pascaoperasi (Mackalski, 2006).
5)

Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP)


Endoscopic

retrograde

cholangiopancreatography

(ERCP) sangat membantu baik sebagai prosedur diagnostik dan


alat terapeutik pada pasien dengan striktur kolangitis sklerosa
(corwin, 2009).
Penatalaksanaan Medis
1)

Penurunan respons diare :


a.

Pemberian antidiare

106

b.

Pemberian diet rendah lemak

c.

Kram perut dapat dikurangi dengan propantheline (0,125


mg), dicyclomine (10-20 mg), atau hyoscyamine (0,125
mg)

d.
2)

Antiinflamasi

Terapi medikamentosa
Terapi steroid diindikasikan pada pasien dengan gejala
sistemik yang parah (misalnya: demam, mual, penurunan berat
badan) dan dalam kondisi mereka yang tidak merespons agen
anti-inflamasi. Prednison (40-60 mg/hari) umumnya membantu
dalam peradangan akut. Setelah resmi tercapai, agen perlahanlahan diturunkan (5-10 mg satu-dua minggu). Berikan juga
Kortikosteroid, Salazopirin, Azatioprin, Metronidazol, serta Fe,
asam folat, dan vitamin B12. Pada pasien yang kambuh setelah
pemberian steroid, pilihan perawatan lain diperlukan. Steroid
tidak diindikasikan untuk terapi perawatan karena komplikasi
serius, seperti nekrosis aseptik panggul, osteoporosis, katarak,
diabetes, dan hipertensi.

3)

Terapi imunosupresi
Pertimbangkan

imunosupresi

jika

steroid

tidak

memberikan hasil maksimal seperti azathioprine (2 mg/kg/hari)


atau metabolit aktif, 6-mercaptopurine (6-MP). Pengawasan
diperlukan karena adanya risiko supresi sumsum tulang.
4)

Terapi bedah.
Bedah memainkan peran integral dalam pengobatan enteritis
regional untuk mengontrol dan mengobati gejala komplikasi.
Jika terapi medis gagal, bedah reseksi dari usus yang meradang
dengan pemulihan secara berlanjut. Pembedahan dengan segera
mungkin diperlukan dalam kasus diare yang berkelanjutan atau
berulang kondisi pendarahan atau kondisi fistula enterovesicular,

107

enterocutaneous, cologastric, dan fistula coloduodenal.


Pembedahan akhirnya perlu dilakukan pada sekitar 30% kasus.
Reseksi usus halus yang terkena penyakit dan operasi pintas
mungkin perlu dilakukan dalam keadaan umum yang sakit berat
dan kronis, namun tindakan ini tidak bertujuan kuratif.
5)

Diet
Diet harus seimbang pada pasien dengan enteritis regional.
Suplemen serat dikatakan bermanfaat bagi pasien dengan
penyakit kolon karena fakta menyatakan bahwa serat makanan
dapat diubah menjadi rantai pendek asam lemak, yang
menyediakan bahan bakar untuk penyembuhan mukosa kolon,
sedangkan diet rendah serat biasanya diindikasikan untuk pasien
dengan gejala obstruksi.
Pasien dengan enteritis regional usus kecil sering memiliki
intoleransi laktosa sehingga perlu menghindari produk susu.
Namun, suplemen kalsium mungkin diperlukan.
Enteral terapi dengan diet elemental telah disarankan
untuk merangsang remisi pada enteritis regional akut, konsumsi
minimal 1.200 kkal/hari dikaitkan dengan tingkat lebih rendah
penyakit kambuh, tetapi pasien kondisi sering kambuh setelah
memulai diet normal. (Williams, 2003)
Indikasi untuk Total Parenteral Therapy (TPN) adalah sebagai
berikut :
a.

Penggunaan jangka pendek : pasien dengan inflamasi aktif


dan kekurangan gizi, serta mereka dengan fistula
(diberikan sejak preoperatif)

b.

Penggunaan

jangka

panjang

pasien

yang

telah

mengalami reseksi usus luas, mengakibatkan sindrom usus


pendek.
Komplikasi

108

Megakolon toksik (lebih lazim pada kolitis ulseratif)


a.

Dehidrasi dan malnutrisi akibat diare dan malabsorpsi. Vitamin


yang larut dalam lemak dan vitamin B12 yang terutama
cenderung terpengaruh.

b.

Perforasi usus dan pembentukan abses

c.

Kanker usus (lima kali lipat dari kontrol yang sama usianya)

d.

Penyakit ginjal antara lain urolitiasis (tidak ditemukan pada


kolitis ulseratif)

e.

Hemoragi

f.

Abses hati dan penyakit hati


(Williams, 2003)

K.

Diverkulitis
Patofisiologi
Radang dapat terjadi di dalam atau di sekitar kantung
divertikuler. Penyebab diverkulitis mungkin mekanis, berhubungan
dengan retensi sisa makanan yang tidak tercerna dan bakteri di dalam
divertikula yang dapat membentuk suatu massa keras yang disebut
fekalith. Fekalith mengganggu suplai darah ke kantung yang
berdinding tipis (terbuat hanya dari mukosa dan serosa) dan
menyebabkannya rentan terhadap invasi bakteri kolon. Proses radang
dapat bervariasi dari abses intramural kecil atau perikolon sampai
peritonitis umum. Beberapa serangan disertai dengan gejala minimal
dan tampaknya sembuh spontan. Penelitian spesimen yang direseksi
menunjukkan bahwa kebanyakan perforasi dari kantung divertikuler
adalah kecil dan menyebabkan radang dari kantung itu sendiri dan
permukaan serosa yang berdekatan. Divertikulitis terjadi lebih sering
pada laki-laki daripada perempuan dan tiga kali lebih sering di kolon
kiri daripada kanan. Hal ini menunjukkan bahwa divertikulitis dapat
berhubungan dengan tekanan intralumen yang lebih tinggi dan bahan
fekal yang lebih padat pada kolon sigmoid dan desendens.

109

(Isselbacher, 2014)
Penegakkan diagnosis
Gambaran klinis
Diverkulitis kolon akut merupakan penyakit yang beratnya
bervariasi dan ditandai dengan demam, nyeri abdomen kuadran kiri
bawah, dan iritasi peritoneum-spasme usus, defans muskuler, nyeri
lepas. Pemeriksaan rektal dapat menunjukkan massa yang nyeri jika
daerah radang berdekatan dengan rektum. Meskipin konstipasi bisa
tidak terjadi sebelum awitan penyakit, radang di sekitar kolon
seringkali menyebabkan berbagai derajat konstipasi atau obstipasi
akut. Perdarahan rektal, biasanya mikroskopik, terjadi pada 25 persen
kasus; perdarahan jarang masif. Leukositosis polimorfunuklear umum
terjadi. Komplikasi meliputi perforasi bebas, yang menyebabkan
peritonitis akut, sepsis dan syok, terutama pada orang tua. Perforasi
bisa tertutup oleh omentum yang melekat atau struktur yang
berdekatan seperti kandung kemih atau usus halus. Pembentukan
abses atau fistula kemudian terjadi pada saat massa radang menembus
ke dalam organ lain. Perikolitis berat bisa menyebabkan striktura
fibrosis di sekitar usus yang dapat berhubungan dengan obstruksi
kolon dan dapat mirip dengan neoplasma (Isselbacher, 2014)
Pemeriksaan penunjang
Selama fase akut diverkulitis, enema barium dan sigmoidoskopi
dapat berbahaya karena bahan kontras atau udara di bawah tekanan
dapat menyebabkan ruptur divertikulum yang terinsflamasi dan
mengubah lesi radang yang sudah tertutup menjadi perforasi bebas.
Pemeriksaan ini biasanya aman setelah pengobatan adekuat dan
penyembuhan di diverkulitis. Penemuan radiologik pada enema
barium yang mengarah kepada diverkulitis adalah kebocoran barium
dari suatu kantung di vertikular, pembentukan striktura dan adanya
massa radang perikolon. Pada banyak pasien, distorsi yang disebabkan
oleh radang mencegah perbedaan yang jelas antara kanker dan

110

diverkulitis. Pada kasus ini, kolonoskopi atau eksisi bedah bisa


diperlukan untuk diagnosis akurat. Pemindaian CT abdomen dapat
berguna untuk menunjukkan adanya abses perikolon.

(Isselbacher,

2014)
Penatalaksanaan
Kebanyakan pasien dengan divertikulitis akut sebaiknya dirawat
di rumah sakit untuk mengistirahatkan usus, diberi cairan intravena,
dan antibiotik spektrum luas. Serangan divertikulitis berulang pada
daerah yang sama umumnya memerlukan reseksi bedah. Serangan
berat dengan tanda peritoneal akut, kecurigaan abses, atau perforasi
memerlukan antibiotik intravena terhadap bakteri anaerobikgramnegatif, diikuti dengan drainase atau reseksi bedah. Prosedur umum
adalah kolostomi pengalihan dengan reseksi kolon yang terkena
reanastomosis kemudian dilakukan pada operasi kedua.(Isselbacher,
2014)
L.

Sindroma usus iritatif


Sindroma usus ititatif (IBS, irrtable bowel syndrome) adalah
penyakit saluran makanan yang paling sering terjadi dalam praktik
klinis, dan walaupun bukan merupakan penyakit yng mengancam
jiwa, sindroma ini menyebabkan distres hebat pada mereka yang
terkena dan perasaan ketidakberdayaan serta frustasi pada dokter yang
berupaya mengobati. Pasien IBS dapat datang dengan satu dari tiga
varian klinis. Pasien dengan penyakit yang disebut kolitis spastik
terutama mengeluh karena nyeri abdomen kronik dan konstipasi.
Kelompok kedua menderita diare kronik intermiten yang seringkali
tanpa nyeri. Beberapa pasien memiliki gambaran klinis dan keluhan
terhadap konstipasi dan diare yang berselang-seling (Isselbacher,
2014)
Sindroma usus iritatif ditandai oleh gejala intermiten, meliputi
nyeri abdomen berulang, biasanya di kuadran kiri bawah; frekuensi
defekasi berubah disertai feses yang keras (konstipasi) atau feses yang

111

encer (diare); rasa ingin buang air besar; perasaan bahwa evakuasi
belum semuanya; perasaan bahwa perutnya kembung; dan flatus yang
berlebihan. (Isselbacher, 2014)
Patofisiologi
Dua kelainan patofisiologik terlihat mendasari gejala ini:
motilitas usus berubah dan persepsi viseral meningkat. Pada pasien
diare, terjadi percepatan transit bahan feses saat melalui kolon
asendens dan transversum, sedangkan pasien konstipasi mengalami
kelambatan transit di seluruh kolon. Pola motilitas usus halus juga
tidak normal pada oasien IBS yang sadar, tetapi bukan di saat tidur,
hal ini menyatakan bahwa motilitas usus yang berubah dapat
diakibatkan (sebagian) dari asupan sistem saraf pusat. Meningkatnya
persepsi viseal pada pasien IBS telah diperlihatkan melalui sensitivitas
yang berlebihan terhadap distensi balon di dalam ileum, kolon, dan
rektum. Peningkatan sensitivitas terhadap distensi ini disertai dengan
perkembangan refleks aktivitas motorik usus yang meningkat. Diduga
bawa temuan ini dapat menjelaskan seringnya keluhan distensi gas
pada pasien IBS, meskipun volume gas usus pada pasien ini tidak
berbeda dari volume pada individu yang normal. (Isselbacher, 2014)
Bukti adanya gangguan psikologik yang signifikan dapat dilihat
pada beberapa pasien IBS. Sifat defresi, histeris, dan obsesifkompulsif lazim ditemukan, dan stres psikologik yang signifikan
seringkali memicu eksaserbasi gejala. Beberapa pasien perempuan
memiliki riwayat penganiayaan seksual di masa kanak-kanak mereka.
Walau demikian harus diperhatikan bahwa peningkatan tekanan
intrakolon telah dijumpai juga pada relawan normal selama stres akut.
Keadaan ini menyatakan bahwa stres psikologik kemungkinan
merupakan pemicu non spesifik terhadap gejala pada IBS, demikian
juga kasus pada berbagai penyakit lainnya dengan etilogi yang
berbeda. (Isselbacher, 2014)
Penegakkan diagnosis

112

Gambaran klinis
IBS merupakan penyakit kaum remaja atau orang dewasa dalam
usia-tengah; rasio perempuan dibanding laki-laki adalah 4:1.
Gambaran yang predomina ialah riwayat konstipasi kronik, diare,
atau keduanya yang timbul secara intermiten selama berbulan-bulan
atau bertahun-tahun. Diare biasanya jelek pada pagi hari setelah
bangun tdiur atau setelah makan pagi. Setelah mengeluarkan tiga atau
empat feses dengan mukus yang berlebihan, pasien dapat merasa lebih
baik di sepanjang hari tersebut. Diare sepanjang hari atau khususnya
diare nokturnal adalah hal yang paling tidak lazim. Diare dapat
berlangsung selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan dan
kemudian menghilang secara sopntan selama beberapa periode waktu.
Beberapa pasien menyatakan bahwa tinjanya lebih bersifat pasta,
mirip-pensil dibanding diare (Isselbacher, 2014)
Gambaran khas lainnya adalah bahwa nyeri abdomen kronik
dengan kosntipasi atau dengan konstipasi dan diare yang saling
berganti. Pasien ini menunjukkan nyeri abdomen bawah intermiten
yang bersifat kram, seringkali di atas kolon sigmoid, yang biasanya
mereda bila flatus atau feses keluar. Pasien dapat mengeluhkan rasa
kembung berlebih yang tidak dapat diketahui oleh dokter. Berbagai
keluhan lainnya, seperti dada serasa terbakar, kembung yang
berlebihan, nyeri punggung, kelemahan, pusing, dan palpitasi sering
didapati pada pasien IBS. Rasa nyeri tersebut kadang bisa berada di
kuadran kanan atas, atau nyeri tengah-epigastrium dapat menyebabkan
keracunan diagnostik dengan penyakit biliaris atau ulkus peptikum
(Isselbacher, 2014)
Pemeriksaan fisis mengungkapkan bahwa pasien penyakit ini
terlihat cemas, tetapi nyeri atau distensi abdomen yang signifikan
tidak lazim dijumpai. Sigmoid lunak yang penuh feses dapat dipalpasi
pada kuadran kiri bawah. Sigmoidoskopi dapat mengungkapkan
adanya pola vaskuler yang mencolok, spasme otot, atau mukus yang
berlebihan, tetapi mukosanya sendiri normal (Isselbacher, 2014)

113

Pemeriksaan penunjang
Evaluasi harus meliputi anamnesi yang seksama, pemeriksaan
fiisis menyeluruh, dan pemeriksaan feses untuk darah samar, parasit,
dan bakteri patogenik. Pada beberapa pasien akan diperlukan
kolonoskopi untuk menyingkirkan peradangan atau neoplasia. Barium
edema dapat mengungkapkan adanya spastisitas oada kolon sigmoid,
penonjolan haustra, dan penampilan tubulus sampai ke kolon
desendens. Defisiensi laktase dapat tersamar sebagai IBS dan harus
disingkirkan dengan percobaab pembatasan susu, tes toleransi laktosa,
atau tes hidrogen napas laktosa. Tirotoksikosis sangat mudah terancu
dengan IBS dan harus disingkirkan dengan penelitian laboratorium
yang tepat. Endometriosis juga dapat menyebabkan perubahan buang
air besar dan nyeri panggul. (Isselbacher, 2014)
Penatalaksanaan
Terapi IBS memerlukan keterampilan serta kesabaran. Adalah
penting meyakinkan pasien kembali bahwa kondisi ini normalnya
tidak berkembang mengarah ke penyakit radang usus kronik (yaitu,
kolitis ulserativa) atau keganasan kolon. Hal yang juga perlu disadari
oleh pasien dan dokter bahwa kondisi penyakit ini kronik, dan
walaupun dapat dilenyapkan, penyakit ini tidak dapat disembuhkan.
Pasien harus didorong beradaptasi dengan gejala penyakit untuk
meminimalkan pengaruh penyakit pada gaya

hidup mereka.

(Isselbacher, 2014)
Pemberian obat ditujukan untuk mengubah motilitas kolon yang
abnormal pada penyakit ini. Pasien dengan konstipasi dapat
merespons kenaikan bulk makanan dalam bentuk kulit padi yang
belum diproses atau laksans bulk psilium. Sedasi ringan dengan obat
penenang dapat diindikasikan, dan obat antikoligenik misalnya
disiklomin berguna pada beberapa pasien. Diare yang menyukarkan
dapat merespons difenoksilat atau loperamid. Tidak ada obat atau
regimen diet spesifik yang dapat meredakan gejala dengan baik pada

114

semua pasien dan oleh karena itu perlu dicoba sejumlah manuver
terapeutik.(Isselbacher, 2014)
M.

Kolitis iskemik
Iskemia kolon paling sering mengenai populasi usia lanjut
karena frekuensi oenyakit vaskuler lebih besar pada kelompom itu.
Kolitis iskemik hampir selalu merupakan penyakit nonoklusif, yaitu
obstruksi arteri utama tidak terlihat. Pemintasan darah menjauhi
mukosa dapat mendukung kondisi ini, namun mekanisme iskemia
tidak diketahui. (Isselbacher, 2014)
Gambaran klinis
Tergantung

pada

derajat

iskemia

dan

kecepatan

perkembangannya. Pada kolitis iskemik fulminan akut, manifestasi


utama adalah nyeri abdomen bawah hebat, perdarahan rektal, dan
hipotensi. Dilatasi kolon dan tanda fisis peritonitis terlihat pada kasus
berat (Isselbacher, 2014)
Kolitis iskemik subakut, varian klinis penyakit kolon iskemik
paling umum, menyebabkan derajat nyeri dan perdarahan yang lebih
ringan, seringkali terjadi selama beberapa hari atau minggu. Kolon
kiri dapat terkena, namun rektum biasanya tidak terkena karena aliran
darah kolateral, gambaran yang membedakan dengan kolitis ulserativa
akut. (Isselbacher, 2014)
Pemeriksaan penunjang
Otot polos abdomen dapat memperlihatkan cetakan ibu jari
akibat perdarahan submukosa dan edema. Enema barium bisa
berbahaya pada situasi akut karena risiko perforasi. Sigmoidoskopi
atau kolonoskopi dapat mendeteksi ulserasi, kerapuhan dan lipatan
yang menonjol dari perdarahan submukosa. Angiografi tidak
menolong dalam penatalaksanaan pasien dengan dugaan kolitis
iskemik karena lesi oklusif yang dapat disembuhkan sangat jarang
dijumpai. Reseksi bedah dapat diperlukan pada beberapa pasien
dengan kolitis iskemik fulminan untuk mengangkat usus yang

115

mengalami gangren; pasien lain dengan derajat iskemia yang lebih


ringan dapat berespons terhadap penatalaksanaan media konservatif.
(Isselbacher, 2014)
Enema barium pada iskemik subakut memperlihatkan edema,
gambaran batu bulat, cetakan ibu jari, dan kadang ulserasi superfisial.
Angiografi tidak diindikasikan karena hampir semua kasus adalah
nonoklusif. Kadang-kadang, pembentuan striktura dapat mengikuti
suatu serangan kolitis iskemik atau dapat terjadi de novo tanpa riwayat
nyeri yang mendahuluinya atau diare berdarah. Kebanyakan kasus
kolitis iskemik nonoklusif membaik dalam 2 sampai 4 minggu dan
tidak kambuh. Pembedahan tidak diperlukan kecuali untuk obstruksi
sekunder terhadap striktura pascaiskemik (Isselbacher, 2014)
N.

Kanker anus
Kanker anus meliputi 1 sampai 2 persen tumor ganas usus besar.
Mayoritas lesi seperti itu berasal dari kanalis anal yang didefinisikan
sebagai daerah anatomik yang meluas dari cincin anaroktal ke zona
setengah jalan antara pektineta (atau dentata) dan pinggir anal.
(Isselbacher, 2014)
Patofisiologi
Karsinoma berasal dari proksimal linea pektinata (yaitu daerah
transisional antara mukosa glandular rektum dan epitel skuamosa anus
distal) dikenal sebagai tumor basaloid, kuboidal, atau kloakogenik;
kurang lebih sepertiga kanker anus mempunyai pola histologik
ini.keganasan yang timbul dari distal linea pektinata mempunyai
histologi sel skuamosa, beruserasi lebih sering, dan mewakili kurang
lebih dari 55 persen dari kanker anus.prognosis untuk pasien dengan
kanker basaloid dan sel skuamosa adalah identik jika dinilai dari
ukuran tumor dan ada atau tidak adanya penyebaran kelenjar getah
bening regional. (Isselbacher, 2014)
Penegakkan diagnosis
Gambaran klinis

116

Kanker anus terjadi paling umum pada individu dengan riwayat


sebelumnya iritasi anus kronik. Iritasi seperti itu dapat disebabkan
oleh kondiloma akuminata (yaitu lesi viral yang diperkirakan
disebabkan oleh infeksi virus papiloma), fisura perianal dan/atau tidak
fistula, hemoroid kronik dan leukoplakia. Risiko untuk kanker anus
tampaknya meningkat pada laki-laki homoseksual, diduga akibat
trauma yang berhubungan dengan hubungan seks per anal. Tidak
adanya data saat ini untuk menunjukkan bahwa kanker anus adalah
tumor yang terkait dengan AIDS yang berhubungan dengan infeksi
langsung oleh virus imunodefesiensi manusia (HIV). Kanker anus
terjadi paling sering pada individu usia pertengahan, berkembang lebh
sering pada perempuan daripada laki-laki, dan paling sering
berhubungan dengan perdarahan, nyeri, perasaan adanya massa
perianaldan pruritus perianal pada waktu diagnosis (Isselbacher, 2014)
Penatalaksanaan
Sampai baru-baru ini, pembedahan radikal (reseksi abdominalperineal dengan pengambilan sampel kelenjar getah bening dan
kolostomi permanen) adalah pengobatan terpilih untuk jenis tumor ini.
Probabilitas kelangsungan hidup 5 tahun sesudah prosedur seperti itu
berkisar 55 sampai 70 persen dengan tidak adanya penyebaran ke
kelenjar getah bening regional dan menurun sampai kurang dari 20
persen jika ada keterlibatan kelenjar getah bening. Namun demikian,
pendekatan terapeutik alternatif yang mengkombinasi radiasi sinar
eksternal dengan kemoterapi secara bersamaan telah menghasilkan
hilangnya semua tumor yang terbukti secara biopsi pada lebih dari 80
persen pasien yang memiliki lesi awal kurang dari 3 cm. Rekurensi
tumor telah terjadi pada kurang dari 10 persen pasien ini. Maka,
tampaknya bahwa kurang lebih 70 persen pasien dengan kanker anus
dapat disembuhkan dengan pengobatan nonoperatif, dan pembedahan
yang menyebabkan kecacatan itu sebaiknya disediakan untuk
minoritas individu yang ditemukan mempunyai tumor residual
sesudah tatalalksana pada awalnya dengan radiasi yang dikombinasi

117

dengan kemoterapi (Isselbacher, 2014).


3.

Farmakologi (obat pada gannguan yang berkaitan dengan enzim)


berdasarkan farmakodinamik dan farmakokinetik
Mekanisme farmakokinetik dan farmakodinamik dan detail obatnya adalah
sebgaai berikut :
1.

Antasida
Antasida murni atau berkombinasi dengan simetikon dapat
digunakan dalam masalah-masalah lambung dan oedem usus halus.
Jika antasida dikonsumsi dalam jumlah besar akan menyebabkan efek
laksatif. Beberapa antasida, seperti aluminium karbonat dan
aluminium hidroksida, dapat diresepkan dengan diet rendah fosfat
untuk mengobati sakit hiperfosfatemia (terlalu banyak fosfat dalam
darah). Aluminium karbonat dan aluminium hidroksida dapat
digunakan untuk mencegah pembentukan beberapa batu ginjal. Kerja
antasida adalah berbasis netralisasi. Sebagai contoh, ketika asam
bereaksi dengan ion hidroksida, garam dan air terbentuk melalui
persamaan berikut :

HCl (aq) + NaOH (aq) NaCl (aq) + H2O

Apabila digunakan natrium bikarbonat (NaHCO3), maka reaksi


akan cepat terbentuk dengan asam lambung untuk meningkatkan pH
lambung. NaCl, CO2 dan H2O terbentuk sebagai hasil reaksi. Satu
gram NaHCO3 dapat menetralisir 11.9 mEq dari asam lambung.
Namun, dosis yang sangat besar dapat menyebabkan urin yang
bersifat basa dan mengakibatkan masalah pada ginjal. (Katzung, B.G,
2014)
Senyawa kalsium karbonat dan senyawa kalsium lainnya
digunakan secara murni atau berkombinasi dengan magnesium.
Senyawa magnesium terdiri dari magnesium oksida (MgO),

118

magnesium

hidroksida

(Mg(OH)2)

(MgCO3-Mg(OH)2-3H2O).

Mereka

dan

magnesium

bersenyawa

karbonat

dengan

asam

lambung dan menghasilkan magnesium klorida dan air. Satu gram


magnesium hidroksida dapat menetralisir 32,6 mEq dari asam
lambung (Katzung, B.G, 2014)
Senyawa magnesium memiliki kelebihan berupa absorpsi yang
kecil, aksi yang tahan lama dan tidak menghasilkan karbondioksida,
kecuali

magnesium

karbonat.

Namun

magnesium

klorida

menghasilkan efek laksatif sehingga formulasi yang digunakan


umumnya mengandung kalsium karbonat atau aluminium hidroksida
juga untuk mencegah efek.

Senyawa aluminium terdiri dari

aluminium hidroksida (Al(OH)3), aluminium karbonat (Al2O3-CO2)


dan aluminium glisinat, yang mengandung aluminium oksida dan
asam glisin. Aluminium hidroksida menghasilkan aluminium klorida
dan air. Setiap mililiternya menetralisir 0,4 1,8 mEq dari asam
lambung dalam jangka waktu 30 menit. Namun jika pH lebih dari 5,
maka reaksi netralisasinya tidak berlangsung sempurna. Aluminium
hidroksida memiliki waktu simpan yang lama, namun menyebabkan
konstipasi. Oleh karena itu perlu ditambahkan antasida magnesium.
(Katzung, B.G, 2014)
Efek Samping
a.

Gastrointestinal: konstipasi, kram lambung, fecal impaction,


mual, muntah, perubahan warna feses (bintik-bintik putih).
Endokrin dan metabolisme:hipofosfatemia, hipomagnesemia.

b.

Kardiovaskuler

hipotensi.

metabolisme:hipermagnesemia.

Endokrin

Gastrointestinal:diare,

dan
kram

perut. Neuromuskuler dan skeletal:kelemahan otot. Pernapasan :


depresi pernapasan
c.

Kadang-kadang menyebabkan konstipasi, kembung akibat


pelepasan karbondioksida pada beberapa pasien. Dosis tinggi
dan

penggunaan

jangka

panjang

dapat

menyebabkan

119

hipersekresi lambung dan kembalinya asam (acid rebound).


Kalsium karbonat dapat menyebabkan hiperkalsemia, khususnya
pada pasien dengan gangguan ginjal atau pada pemberian
dengan dosis tinggi. Alkalosis dapat juga terjadi akibat absorpsi
ion karbonat.
d.

Efek samping lain (1-10% pasien) : bengkak, CHF, hipertensi,


takikardi, aritmia, hypotensi, miocardial infark, demam,
infeksi,sepsis, perubahan berat badan, asma, sindrom seperti
flu,hipergikemi, hipoglikemi, pneumonia, depresi pernafasan.

2.

Proton Pump Inhibitor (PPI)


Pompa ion ini bekerja dengan bantuan energy dari ATP, terdapat
pada membrane sel parietal lambung dan terlibat dalam sekresi asam
lambung. Pompa ini disebut juga pompa proton dan merupakan target
aksi obat tukak lambung golongan penghambat pompa proton yang
bekerja menekan sekresi asam lambung. Contoh obatnya adalah
omeprazol, rabeprazol, dan lanzoprazol. (Katzung, B.G, 2014)

120

Omeprazol menghambat sekresi asam lambung dengan cara


berikatan pada pompa H+K+ATPase dan mengaktifkannya sehingga
terjadi pertukaran ion kalium dan ion hydrogen dalam lumen sel.
Omeprazole berikatan pada enzim ini secara irreversibel. Secara
klinis, tidak terdapat efek farmakodinamik yang berarti selain efek
obat ini terhadap sekresi asam. (Katzung, B.G, 2014)
Sekresi asam lambung dan aksi omeprazol menekan sekresi
asam lambung. H20 di dalam sel parietal akan terurai menjadi H+ dan
OH-. Gugus hidroksil OH- akan berikatan dengan CO2 membentuk
HCO3- dengan bantuan enzim carbonic anhydrase (CA). HCO3- akan
dikeluarkan ke cairan interstisial bertukar dengan ion Cl- dengan
bantuan antiport HCO3/Cl. Ion Cl- selanjutnya akan keluar menuju
rongga lambung melalui suatu kanal Cl. Sementara itu, ion H+ juga
akan keluar ke rongga lambung bertukar dengan ion K dengan
bantuan pompa H+/K+ATP ase. Di rongga lambung, ion H+ dan Clakan berinteraksi membentuk HCl atau asam lambung. Omeprazol
bekerja menghambat aksi pompa H+/K+ATPase, sehingga ion H+
tidak bisa keluar, dan akibatnya HCl tidak terbentuk. (Katzung, B.G,
2014)
3.

Antagonis reseptor h2
Terapi menggunakan antagonis reseptor histamin H2 merupakan
terapi yang digunakan untuk mengurangi sekresi asam lambung
berlebih. Mekanisme aksi obat golongan antagonis reseptor histamin
H2 yaitu dengan cara mem-blok kerja dari histamin atau berkompetisi
dengan histamin untuk berikatan dengan reseptor H2 pada sel parietal
sehingga mengurangi sekresi asam lambung. (Katzung, B.G, 2014)
Ada 4 antagonis reseptor histamin H2 yang sering digunakan
dalam pengobatan peptic ulcer disease yaitu cimetidine, ranitidine,
famotidine, dan nizatidine. Keempat obat tersebut dapat secara cepat
di absorbsi di usus halus. Cimetidine, ranitidine dan famotidine akan
mengalami first-pass hepatic metabolism yang akan mengakibatkan

121

bioavailabilitasnya menjadi sekitar 50%. Sedangkan nizatidine hanya


sedikit

mengalami

first-pass

hepatic

metabolism

sehingga

bioavalabilitasnya mendekati 100%. Waktu paruh (half life) dari


keempat obat tersebut adalah 1 hingga 4 jam dan durasinya tergantung
dari besarnya dosis yang diberikan. Obat golongan antagonis reseptor
histamin H2 akan dibersihkan dari tubuh melalui kombinasi
metabolisme di hati, flitrasi glomerolus dan sekresi tubulus renal.
(Katzung, B.G, 2014)
a.

Cimetidine
Indikasi
Terapi jangka pendek untuk ulkus duodenum aktif, terapi
pemeliharaan ulkus duodenum sesudah penyembuhan dari ulkus
aktif, terapi jangka pendek ulkus gaster aktif yang jinak, terapi
refluks gastroesofagus erosif, pencegahan pendarahan saluran
cerna bagian atas.

Kontra indikasi
Hipersensitif dengan cimetidine
Bentuk sediaan, dosis, dan aturan pakai
Tablet 200 mg dan tablet 400 mg. Ulkus duodenum aktif
800 mg 1x sehari pada malam hari atau 300 mg 4x sehari pada
waktu makan atau sebelum tidur atau 400 mg 2x sehari pada
pagi hari dan sebelum tidur. Lama terapi 4-6 minggu. Terapi
pemeliharaan ulkus duodenum 400 mg 1x sehari pada malam
hari sebelum tidur. Ulkus gaster aktif jinak 800 mg 1x sehari
pada malam hari sebelum tidur atau 300 mg 4x sehari pada saat
makan dan sebelum tidur selama 6-8 minggu. Refluks
gastroesofagus erosif 800 mg 2x sehari atau 400 mg 4x sehari
dalam dosis terbagi selama 12 minggu Hipersekresi patologis
300 mg 4x sehari pada saat makan dan sebelum tidur. Dosis

122

maksimal 2,4 gram sehari. (Katzung, B.G, 2014)


Efek samping
diare ringan, sakit kepala, mengantuk, agitasi, dpresi,
cemas, halusinasi, mual, muntah. (Katzung, B.G, 2014)
Resiko khusus
Wanita hamil dan menyusui. Cimetidine dapat melintasi
plasenta dan dapat mencapai air susu, sehingga tidak boleh
digunakan pada wanita hamil dan menyusui. (Katzung, B.G,
2014)
b.

Ranitidine
Indikasi
Ulkus duodenum, ulkus gaster non maligna, kondisi
hipersekresi patologi. (Katzung, B.G, 2014)
Kontra indikasi
Hipersensitif dengan ranitidine (Katzung, B.G, 2014)
Bentuk sediaan, dosis, dan aturan pakai
Tablet 150 mg, ampul 25 mg, ampul 50 mg. Ulkus
duodenum 150 mg 2x sehari atau 300 mg 1x sehari pada malam
hari. Pencegahan kekambuhan ulkus 150 mg sebelum tidur
Sindrom Zollinger Ellison 150 mg 3x sehari. (Katzung, B.G,
2014)
Efek samping
Efek antagonis reseptor H2 yang paling menonjol adalah
sekresi asam basal; selain itu adalah supresi produksi asam yang
distimulasi (oleh makanan, gastrin, hipoglikemia, atau stimulasi
vagus), yang walau efeknya tidak begitu besar tetapi signifikan.
Oleh karena itu, obat-obat ini terutama efektif dalam menekan
sekresi asam di malam hari (nokturnal), yang menggambarkan
aktivitas utama sel parietal basal. (Katzung, B.G, 2014)

123

Antagonis reseptor-H2 diabsorbsi dengan cepat setelah


pemberian oral, dengan konsentrasi puncak serum dicapai dalam
1 sampai 3 jam. Sejumlah kecil obat (dari <10% hingga 35%)
mengalami

metabolisme

dimetabolisme

maupun

di

hati.

Baik

produk

yang

tidak

dimetabolisme

akan

yang

diekskresikan oleh ginjal dengan cara filtrasi dan sekresi tubular


renal. (Katzung, B.G, 2014)
Secara kesulurahan, insidensi reaksi merugikan yang
timbul akibat pemakaian antagonis reseptor-H2 adalah rendah
(<3%). Efek samping yang terjadi umumnya ringan, meliputi
diare, sakit kepala, mengantuk, kelelahan, nyeri otot, dan
konstipasi. Efek samping lain yaitu ginekomastia pada pria
dan galaktorea pada wanita dapat muncul akibat ikatan
cimetidine

pada

reseptor

androgen

dan

penghambatan

hidroksilasi estradiol yang dikatalisasi oleh sitokrom P450.


(Katzung, B.G, 2014)

DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi : buku saku. Jakarta: EGC
Diabetes Mellitus: The New England Journal of Medicine, Vol.342, No. 13
Graber, Mark A. 2006. Buku saku dokter keluarga. Jakarta: EGC
Hadi, Sujono. 1999. Gastroenteronologi. Bandung: Penerbit P.T. Alumni.
Katzung, B.G., 2014. FARMAKOLOGI DASAR & KLINIK. EDISI 12. VOL

2.

JAKARTA : EGC
Muttaqin, Arif & Kumala Sari. 2011. Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi
Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika
Patel, Pradip R. 2007. Lecture Notes: Radiologi. Jakarta: Penerbit Erlangga

124

Price,S.A and L.M. Wilson.2014. Patofisiologi. Edisi ke 6. Volume 1. Jakarta.


EGC.
Priyanto, A .2009. Endoskopi Gastrointestinal, Salemba Medika, Jakarta
Ramakrishnan,

K.,

dan

Salinas

R.C.,

2007,

Peptic

Ulcer

Diseases,

http://www.pubmed.gov, diakses tanggal 10 Mei 2015 jam 1445.


Rubenstein, David., dkk. 2007. Lecture Notes: Kedokteran Klinis. Jakarta:
Penerbit Erlanga
Setiati, S dkk. 2014. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II.Edisi ke 6. Jakarta. EGC.
Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G, 2002, Buku Ajar Medikal Bedah
Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2), Alih bahasa oleh Agung Waluyo
(dkk), EGC, Jakarta.
Sudaryat Suraatmaja, 2007, Kapita Selekta Gastroenterologi Anak, Jakarta: CV.
Sagung Seto.
Tarigan Pengarepen dan Akil H.A.M . Tukak Gaster dan Tukak Duodenum.
Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keempat - Jilid I. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai