PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Tuberkulosis paru (TB paru) hampir dikenal di seluruh dunia, sebagai
penyakit kronis yang dapat menurunkan daya tahan tubuh penderitanya secara serius.
Hal ini disebabkan oleh karena adanya kerusakan jaringan paru yang bersifat
permanen. Di samping proses destruksi, terjadi pula secara simultan proses restorasi
atau penyembuhan jaringan paru sehingga terjadi perubahan struktural yang bersifat
menetap serta bervariasi yang menyebabkan berbagai macam kelainan fungsi paru
(Depkes, 2006).
Diperkirakan sepertiga populasi dunia terinfeksi Mycobacterium tuberculosis,
bakteri penyebab tuberkulosis (TB). Dan dari populasi yang terinfeksi tersebut,
setiap tahun lebih dari 8 juta orang menjadi sakit, serta 2 juta orang meninggal
karena TB (WHO, 2010). Indonesia berada pada peringkat keempat tertinggi di
dunia dalam jumlah penderita TB. Di dunia diperkirakan penyakit ini dapat
menyebabkan kematian kurang lebih 8.000 orang per hari atau 2 sampai 3 juta orang
setiap tahunnya. Di Indonesia sendiri terdaftar hampir 400 kematian yang
berhubungan dengan TB setiap harinya, atau sebesar 140.000 per tahun, dan kurang
lebih juta penduduk diduga terinfeksi TB setiap tahun. 1 Permasalahan tuberkulosis
di Jawa Barat termasuk kota Depok tidak luput dari perhatian pemerintah,
dikarenakan diperkirakan terdapat 2168 kasus tuberculosis positif selama tahun 2014
berdasarkan data dinas kesehatan kota Depok. Hasil program ketuk pintu di 11
kecamatan kota Depok 10-15 % warganya suspek TB dan kecamatan dengan suspek
TB tertinggi yaitu Beji, Limo, Cilodong dan Sukmajaya.( Pikiran Rakyat Online,
2015)
Penyakit TB paru merupakan penyakit infeksi yang penyebarannya sangat
mudah sekali, yaitu melalui percikan air liur (droplet) yang keluar saat batuk, bersin,
maupun berbicara. Untuk mengurangi bertambahnya jumlah penderita TB paru dan
1
masalah yang ditimbulkan, penanganan awal yang dapat dilakukan dimulai dari
lingkungan keluarga, di mana keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang
terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu
tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan.Keluarga dalam hal
ini sangat berperan sebagai pengawas minum obat maupun pengingat untuk selalu
hidup sehat, sehingga pengobatan TB paru dapat berhasil dan penularan dapat
diminimalkan (Depkes, 2006)
Pada kasus ini, diperlukan peranan dokter keluarga yang dapat menangani
penderita tersebut secara holistik dan komprehensif sehingga pengobatan TB paru
dapat berjalan dengan baik dan mencegah penularannya.
I.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dibahas adalah
penatalaksanaan yang akan dilakukan pada pasien TB paru dengan pendekatan
dokter keluarga
I.3
Tujuan
I.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui penatalaksanaan penyakit dengan mengidentifikasi masalah
klinis pada pasien dan keluarga serta faktor-faktor yang berpengaruh,
menyelesaikan masalah klinis pasien dan keluarga, mengubah prilaku
kesehatan pasien dan keluarga serta partisipasi keluarga dalam mengatasi
masalah kesehatan dengan pendekatan kedokteran keluarga.
I.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui penilaian keluarga, struktur keluarga dan komposisi keluarga
pasien, termasuk kedalamnya family mapping, genogram dan siklus
kehidupan keluarga.
2. Mengidentifikasi masalah keluarga pasien
3. Menentukan diagnosis holistik dan diagnosis keluarga pasien
Manfaat
I.4.1 Manfaat Teoritis
Mengaplikasikan ilmu pengetahuan mengenai kedokteran keluarga yang
telah didapatkan selama menjalani pendidikan di Fakultas Kedokteran
Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta.
I.4.2 Manfaat Praktis
I.4.2.1 Manfaat Bagi Pasien dan Keluarga
1. Pasien dan keluarga mengetahui mengenai penyakit yang dialami
pasien,pencegahan,
bagaimana
cara
penularannya,
dan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Dokter Keluarga
II.1.1 Pengertian Dokter Keluarga
Dokter keluarga adalah dokter praktek umum yang menyelenggarakan
pelayanan primer yang komprehensif, kontinyu, mengutamakan pencegahan,
koordinatif, mempertimbangkan keluarga, komunitas dan lingkungannya
dilandasi ketrampilan dan keilmuan yang mapan.
Pelayanan dokter keluarga melibatkan dokter keluarga sebagai penyaring
di tingkat primer sebagai bagian suatu jaringan pelayanan kesehatan terpadu
yang melibatkan dokter spesialis di tingkat pelayanan sekunder dan rumah
sakit ujukan sebagai tempat pelayanan rawat inap, diselenggarakan secara
komprehensif, kontinu, integrative, holistic, koodinatif dengan mengutamakan
pencegahan,
menimbang
peran
keluarga
dan
lingkungannya
serta
pekerjaannya.(Anies, 2003 )
II.1.2 Tujuan Pelayanan Dokter Keluarga
Skala kecil
efisien dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia (kemenkes RI, 2015 )
II.1.3. Fungsi dan Tugas Dokter Keluarga
Dokter keluarga memiliki 5 fungsi yang dimiliki, yaitu (Azwar, 1995) :
a. Care Provider (Penyelenggara Pelayanan Kesehatan)
Yang mempertimbangkan pasien secara holistik sebagai seorang individu dan
sebagai bagian integral (tak terpisahkan) dari keluarga, komunitas,
lingkungannya, dan menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang berkualitas
tinggi, komprehensif, kontinu, dan personal dalam jangka waktu panjang
dalam wujud hubungan profesional dokter-pasien yang saling menghargai dan
5
berdasarkan
kaidah
ilmiah
yang
mapan
dengan
yang
dapat
diaudit
dan
dapat
dipertangungjawabkan
(Starfield,2001)
II.1.6. Wewenang Dokter Keluarga
Seorang dokter keluarga dalam menjalankan tugasnya memiliki wewenang berupa:
Sasaran pelayanan
Sasaran pelayanan dokter keluarga adalah kelurga sebagai suatu unit.
Pelayanan dokter keluarga harus memperhatikan kebutuhan dan tuntutan
kesehatan
keluarga
sebagai
satu
kesatuan,
harus
memperhatikan
Terbatas
DOKTER KELUARGA
Lebih Luas
Menyeluruh, Paripurna,
Sifat Pelayanan
Sesuai Keluhan
Cara Pelayanan
Jenis Pelayanan
tanpa mengabaikan
penyakit tertentu
pengobatan dan
rehabilitasi
Peran keluarga
Kurang dipertimbangkan
Hubungan dokter-pasien
Dokter pasien
Awal pelayanan
Secara individual
10
Skor
Keterangan
Mandiri dalam perawatan
diri, bekerja di dalam
dan di luar rumah
11
Mulai
mengurangi
aktivitas kantor
luar rumah
Mampu melakukan perawatan
diri,
tetapi
tidak
mampu
diri,
sebagian
aktivitas
haya
mampu
bekerja ringan
4
besar
duduk dan
anggota keluarga
berbaring
Perawatan diri oleh orang lain,
hanya berbaring pasif
hanya
berbaring
pasif
12
1. Kemiskinan penduduk
2. Perubahan demografik dengan meningkatnya penduduk dunia dan
perubahan dari struktur usia manusia yang hidup
3. Perlindungan kesehatan yang tidak mencukupi pada penduduk di kelompok
yang rentan terutama di negara-negara miskin
4. Tidak memadainya pendidikan mengenai TB di antara para dokter
5. Terlantar dan kurangnya biaya untuk obat, sarana diagnostic, dan
pengawwasan kasus TB di mana terjadi deteksi dan tatalaksana kasusu
yang tidak adekuat
6. Adanya epidemic HIV terutama di Afrika dan Asia (Amir dan Bahar, 2009)
II.3.3 Cara dan Resiko Penularan
Sumber penularan adalah pasien Tuberkulosis Basil Tahan Asam (TBC
BTA) positif. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke
udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat
menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam
ruangan di mana percikan dahak berada dalam waktu yang lama.
Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari
langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa
jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Daya penularan seorang pasien
ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi
derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.
Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman tuberkulosis ditentukan
oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak.
Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan resiko
penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif. Risiko
penularan setiap tahunnya ditunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis
Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TBC selama
satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 orang diantara 1000 penduduk
terinfeksi setiap tahun. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi
tuberkulin negatif menjadi positif (Depkes, 2006)
13
II.3.4 Patogenesis
Bakteri TB mempunyai ukiran yang sangat kecil (<5m) yang
mengakibatakan bakteri ini mudah terhirup dan masuk mencapai alveolus. Pada
sebagian kasus, bakteri TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme
imunologis nonspesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak
seluruhnya dapat dihancurkan. Sebagian kecil bakteri TB yang tidak dapat
dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag, dan akhirnya
menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya, bakteri TB membentuk lesi di tempat
tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon (Depkes, 2006)
Dari fokus tersebut, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di
saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang
terkena.gabungan antara focus primer, limfangitis, dan limfadenitiss dinamakan
kompleks primer. Waktu yang diperlukan sejak masuknya bakteri TB hingga
terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut masa inkubasi. Masa
inkubasi TB bervariasi selama 2-12 minggu, biasanya berlangsung selama 48minggu. Selama masa inkubasi, bakteri berkembang biak hingga mencapai
jumlah 103-104 (rahajoe dan setyanto 2013)
II.3.5 Tanda dan Gejala
Gejala dari penderita TB terdiri dari gejala utama dan gejala tambahan.
a. Gejala utama
Batuk terus-menerus dan berdahak selama 2 minggu atau lebih
b. Gejala tambahan yang sering dijumpai
1) Sesak nafas dan rasa nyeri dada
2) Badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak
14
a. Diagnosis TB paru
1) Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu
sewaktupagisewaktu (SPS).
2) Diagnosis TB paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya
kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui
pemeriksaan
dahak
mikroskopis
merupakan
diagnosis
utama.
Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat
digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan
indikasinya.
3) Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto
toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas
pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.
4) Gambaran kelainan radiologik paru tidak selalu menunjukkan aktifitas
penyakit.
b. Diagnosis TB ekstra paru
1) Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk
pada meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (pleuritis), pembesaran
kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang
belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya.
2) Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat
ditegakkan berdasarkan gejala klinis TBC yang kuat (presumtif) dengan
menyingkirkan kemungkinan penyakit lain.
3) Ketepatan diagnosis tergantung pada metode pengambilan bahan
15
16
Etambutol. Tablet ini digunakan untuk pengobatan setiap hari dalam tahap
intensif dan untuk sisipan. Tablet 2 FDC mengandung 2 macam obat yaitu:
150 mg Isoniasid (INH) dan 150 mg Rifampisin. Tablet ini digunakan untuk
pengobatan intermiten 3 kali seminggu dalam tahap lanjutan. Baik tablet
4FDC maupun tablet 2FDC pemberiannya disesuaikan dengan berat badan
pasien. Untuk melengkapi paduan obat kategori II tersedia obat lain yaitu:
tablet etambutol @400 mg dan streptomisin injeksi (vial @750 mg) (Depkes,
2004)
Tabel II.3 Dosis dan Aturan Pakai FDC Sesuai Berat Badan
Berat Badan
30 37 kg
38 54 kg
55 70 kg
71 kg
selama 56 hari
2 tablet 4FDC
3 tablet 4FDC
4 tablet 4FDC
5 tablet 4FDC
Sedangkan untuk pasien TB dewasa yang masuk dalam kategori II, dosis
dan aturan pakai FDC yang harus diberikan yaitu:
Tabel II.4. Dosis dan Aturan Pakai FDC Kategori II
Berat
badan
Tahap
Selama 28 hari
Lanjutan
kali
seminggu
selama 20 minggu
2 tab 4FDC
30 37 kg + 500 mg Streptomisin2 tab 4FDC
38 54 kg
Inj.
3 tab 4FDC + 750 mg
Streptomisin Inj.
3 tab 4FDC
17
55 70 kg
71 kg
4 tab 4FDC
5 tab 4FDC
Observed
Treatment
Short-course).
Strategi
terapi
ini
18
pasien dalam minum OAT. Setiap pasien TB harus memiliki kartu pengobatan
dan kartu identitas pasien. Kedua kartu tersebut diperoleh saat pasien berobat
di unit pelayanan kesehatan. Adapun fungsi kedua kartu tersebut yaitu sebagai
laporan terhadap hasil pengobatan pasien sehingga jalannya pengobatan dapat
terkontrol dengan baik (Depkes, 2006)
II.3.9 Evaluasi Hasil Terapi
Untuk monitoring pengobatan WHO merekomendasikan pemeriksaan
pada akhir Intensif fase (bulan ke-2) pada pada pasien kasus baru baik pada
inisial pengobatan mempunyai hasil BTA +, atau (-) bahkan yang tidak
dilakukan pemeriksaan awal sama sekali serta dilakukan ulangan lagi pada
bulan ke-5 dan ke-6 (akhir pengobatan). Khusus pada pasien TB paru yang
diawal pengobatan tidak dilakukan pemeriksaan sputum maka jika hasil
pemeriksaan pada bulan ke-2 menunjukan hasil negatif maka pengobatan tetap
dilanjutkan tetapi tidak dilakukan pengulangan pemeriksaan sputum pada
bulan ke-5 atau akhir pengobatan dan monitoringnya dilakukan secara klinis
serta dapat menggunakan peningkatan berat badan sebagai salah satu predictor
(WHO, 2010)
Pada pasien dengan kasus re-treatment atau sering dimasukan pada
kategori II dan mendapatkan pengobatan 2HREZES+1HRZE+5HRE maka
pemeriksaan ulangan sputum dilakukan pada bulan ke 3 (akhir fase intensif),
bulan ke-5 serta akhir pengobatan pada bulan ke-8. Satu hal yang perlu digaris
bawahi adalah pada pasien yang sudah mempunyai hasil kultur sputum serta
sudah mempunyai hasil resistensi obat TB maka jika didapati hasil resisten
terhadap INH dan Rifampicin, serta merta langsung dianggap sebagai kasus
gagal (treatment failure). Begitu juga jika pada akhir pengobatan bulan ke-5/6
jika hasil pemeriksaan ulangan dahak tetap menunjukan sputum BTA (+) maka
pasien ini dikategorikan sebagai kasus gagal pengobatan dan jika belum pernah
dilakukan
pemeriksaan
kultur/resistensi
obat
TB
maka
WHO
19
II.3.10 Pencegahan
Pencegahan untuk pasien TBC antara lain : minum obat secara teratur
sampai selesai, menutup mulut waktu bersin atau batuk, tidak meludah di
sembarang tempat (meludah di tempat yang terkena sinar matahari/dalam wadah
tertutup yang telah diisi dengan cairan sabun/lisol), jemur kasur bekas penderita
secara teratur setiap minggu, buka jendela lebar-lebar agar udara segar dan sinar
matahari dapat masuk, keluarga yang mempunyai gejala TB paru sebaiknya
memeriksakan diri ke puskesmas ( Depkes, 2006)
II.4 Cemas
II.4.1 Definisi
Kecemasan merupakan unsur kejiwaan yang menggambarkan perasaan,
keadaan emosional yang dimiliki seseorang pada saat menghadapi kenyataan atau
kejadian dalam hidupnya. (Kaplan, 1997) Kecemasan adalah perasaan individu dan
pengalaman subjektif yang tidak diamati secara langsung dan perasaan tanpa objek
yang spesifik dipacu oleh ketidaktahuan dan didahului oleh pengalaman yang baru
(Muslim, 2001). Berdasarkan definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa
kecemasan adalah perasaan yang tidak menyenangkan, tidak enak, khawatir dan
gelisah. Keadaan emosi ini tanpa objek yang spesifik, dialami secara subjektif
dipacu oleh ketidaktahuan yang didahului oleh pengalaman baru, dan
dikomunikasikan dalam hubungan interpersonal.
20
II.4.2 Etiologi
Upaya untuk menjelaskan penyebab dari munculnya gangguan kecemasan,
Accocella dkk (1976) memaparkan dari beberapa sudut pandang teori. Menurut
para ahli psikofarmaka. Gangguan Kecemasan Menyeluruh bersumber pada
neurosis, bukan dipengaruhi oleh ancaman eksternal tetapi lebih dipengaruhi oleh
keadaan internal individu (Muslim, 2001)
Sebagamana diketahui, Sigmund Freud sebagai bapak dari pendekatan
psikodinamika mengatakan bahwa jiwa individu diibaratkan sebagai gunung es.
Bagian yang muncul dipermukaan dari gunung es itu, bagian terkecil dari kejiwaan
yang disebut sebagai bagian kesadaran. Agak di bawah permukaan air adalah
bagian yang disebut pra-kesadaran, dan bagian yang terbesar dari gunung es
tersebut ada di bawah sekali dari permukaan air, dan ini merupakan alam
ketidaksadaran (uncounsciousness). Ketidaksadaran ini berisi ide, yaitu dorongandorongan primitif, belum dipengaruhi oleh kebudayaan atau peraturan-peraturan
yang ada dilingkungan. Dorongan-dorongan ini ingin muncul ke permukaan/ ke
kesadaran, sedangkan tempat di atas sangat terbatas. Ego, yang menjadi pusat dari
kesadaran, harus mengatur dorongan-dorongan mana yang boleh muncul dan mana
yang tetap tinggal di ketidaksadaran karena ketidaksesuaiannya dengan superego,
yaitu salah satu unit pribadi yang berisi norma-norma sosial atau peraturanperaturan yang berlaku di lingkungan sekitar. Jika ternyata ego menjadi tidak
cukup kuat menahan desakan atau dorongan ini maka terjadilah kelainan-kelainan
atau gangguan-gangguan kejiwaan. Neurosis adalah salah satu gangguan kejiwaan
21
yang muncul sebagai akibat dari ketidakmampuan ego menahan dorongan ide
(Eldido, 2008)
Jadi, individu yang mengalami Gangguan Kecemasan Menyeluruh, menurut
pendekatan psikodinamika berakar dari ketidakmampuan egonya untuk mengatasi
dorongan-dorongan yang muncul dari dalam dirinya secara terus menerus sehingga
ia akan mengembangkan mekanisme pertahanan diri. Mekanisme pertahanan diri
ini sebenarnya upaya ego untuk menyalurkan dorongan dalam dirinya dan bisa
tetap berhadapan dengan lingkungan. Tetapi jika mekanisme pertahanan diri ini
dipergunakan secara kaku, terus-menerus dan berkepanjangan maka hal ini dapat
menimbulkan perilaku yang tidak adaptif dan tidak realistis.
Ada beberapa mekanisme pertahanan diri yang bisa dipergunakan oleh individu,
antara lain (Tomb, 2000):
1. Represi, yaitu upaya ego untuk menekan pengalaman yang tidak menyenangkan
dan dirasakan mengancam ego masuk ke ketidaksadaran dan disimpan di sana agar
tidak menganggu ego lagi. Tetapi sebenarnya pengalaman yang sudah disimpan itu
2.
22
menimbulkan
kecemasan,
dihubungkan
dengan
stimulus
yang
23
Hiperaktivitas Otonomik
Kewaspadaan
berlebihan
Penangkapan berkurang
dan
II.4.4 Diagnosis
Diagnosis Gangguan Cemas Menyeluruh (DSM-IV halaman 435, 300.02)
ditegakkan bila terdapat kecemasan kronis yang lebih berat (berlangsung lebih dari
6 bulan; biasanya tahunan dengan gejala bertambah dan kondisi melemah) dan
termasuk gejala seperti respons otonom (palpitasi, diare, ekstremitas lembab,
berkeringat, sering buang air kecil), insomnia, sulit berkonsentrasi, rasa lelah,
sering menarik nafas, gemetaran, waspada berlebihan, atau takut akan sesuatu yang
akan terjadi. Ada kecenderungan diturunkan dalam keluarga, memiliki komponen
genetik yang sedang dan dihubungkan dengan fobia sosial dan sederhana serta
depresi mayor (terdapat pada 40% atau lebih pasien; meningkatkan resiko bunuh
24
diri. Biasanya pada kondisi ini tidak`ditemukan etiologi stres yang jelas, tetapi
harus dicari penyebabnya. (Kaplan, 1998)
Diagnosis gangguan cemas menyeluruh menurut PPDGJ-III ditegakkan
berdasarkan (Muslim, 2001):
Penderita harus menunjukkan anxietas sebagai gejala primer yang berlangsung
hampir setiap hari untuk beberapa minggu sampai beberapa bulan, yang tidak
terbatas atau hanya menonjol pada keadaan situasi khusus tertentu saja (sifatnya
dsb)
Adanya gejala-gejala lain yang sifatnya sementara (untuk beberapa hari),
khususnya depresi, tidak membatalkan diagnosis utama Gangguan Anxietas
Menyeluruh, selama hal tersebut tidak memenuhi kriteria lengkap dari episode
depresif (F.32.-), gangguan anxietas fobik (F.40.-), gangguan panik (F42.0),
25
dirinya. Asumsinya adalah jika individu bisa menghadapi dan memahami konflik
yang dialami, ego akan lebih bebas dan tidak harus terus berlindung di balik
mekanisme pertahanan diri yang dikembangkannya (Eldido, 2008)
Teknik dasar yang digunakan disebut free association, individu diminta untuk
menjelaskan secara sederhana tentang hal-hal yang ada di dalam pikirannya, tanpa
melihat apakah itu logis atau tidak, tepat atau tidak, ataupun pantas atau tidak. Halhal dari alam bawah sadar atau tidak sadar yang diungkapkan akan dicatat oleh
terapis untuk diinterpretasikan. Tehnik ini juga bisa dimanfaatkan saat
menggunakan teknik dream interpretation; individu diminta untuk menceritakan
mimpinya secara detail dan tepat. Kedua teknik ini memiliki kelebihan dan
kelemahan masing-masing. Dalam melaksanakan teknik-teknik tersebut di atas, ada
dua hal yang biasanya muncul, yaitu apa yang disebut dengan resistance (yaitu
individu bertahan dan beradu argumen dengan terapis saat terapis mulai sampai
pada bagian sensitif), dan transference (yaitu individu mengalihkan perasaannya
pada terapis dan menjadi bergantung ( Muslim, 2000)
Sementara para ahli dari pendekatan humanistik eksistesialis yang melihat
kecemasan sebagai hasil konflik diri yang terkait dengan keadaan sosial dimana
pengembangan diri menjadi terhambat, maka mereka lebih menyarankan untuk
membangun kembali diri yang rusak (damaged self). Tekhniknya sering disebut
sebagai client centered therapy yang berpendapat bahwa setiap individu memiliki
kemampuan yang positif yang dapat dikembangkan sehingga ia membutuhkan
situasi yang kondusif untuk mengeksplorasi dirinya semaksimal mungkin (Yates,
2008)
Tehnik yang digunakan untuk mengurangi kecemasan adalah systematic
desentisitization, yaitu mengurangi kecemasan dengan menggunakan konsep
hirarki ketakutan, menghilangkan ketakutan secara perlahan-lahan mulai dari
ketakutan yang sederhana sampai ke hal yang lebih kompleks. Pemberian
reinforcement (penguat) juga dapat digunakan dengan secara tepat memberikan
variasi yang tepat antara pemberian reward- jika ia memperlihatkan perilaku yang
mengarah keperubahan ataupun punishment jika tidak ada perubahan perilaku
atau justru menampilkan perilaku yang bertolak belakang dengan rencana
26
perubahan perilaku. Adanya model yang secara nyata dapat dilihat dan menjadi
contoh langsung kepada individu juga efektif dalam upaya melawan pikiran-pikiran
yang mencemaskan (Eldido, 2008)
Pendekatan kognitif yang melihat gangguan kecemasan sebagai hasil dari
kesalahan dalam mempersepsikan ancaman (misperception of threat) menawarkan
upaya mengatasinya dengan mengajak individu berpikir dan mendesain suatu pola
kognitif baru. David Clark dkk (dalam Acocella dkk, 1996) mengembangkan
desain kognitif yang melibatkan 3 bagian yaitu :
1. Identifikasi interpretasi negatif yang dikembangkan individu tentang sensasi
tubuhnya
2. Tentukan dugaan atau asumsi dan arahkan alternatif intrepretasi, yang
noncatastropic.
3. Bantu individu menguji validitas penjelasan dan alternatif-alternatif tersebut.
Dengan kata lain, para ahli dari pendekatan kognitif ini menyatakan bahwa tujuan
dari terapi sebagai upaya menangani gangguan kecemasan adalah membantu
individu melakukan intrepretasi sensasi tubuh dengan cara yang noncatastropic.
Dalam beberapa hal, penanganan terhadap penderita gangguan kecemasan tidak
selalu hanya berpegang pada satu tehnik saja, atau hanya mengikuti pendapat salah
satu ahli dari suatu pendekatan saja. Terapi yang diberikan dapat sekaligus dengan
menggunakan lebih dari satu pendekatan atau lebih dari satu tehnik, asalkan
tujuannya jelas dan tahapan-tahapannya juga terinci (Adiwena, 2007)
Pertimbangkan penggunaan obat-obatan maupun psikoterapi. Anti depresan
yang baru, venlafaksin XR, tampaknya cukup efektif dan aman untuk pengobatan
gangguan
cemas
menyeluruh.
Gunakan
benzodiazepin
dengan
tidak
Nama Dagang
Diazepin
Sediaan
Tab. 2-5 mg
Lovium
Tab. 2-5 mg
Stesolid
Tab. 2-5 mg
Cetabrium
Amp. 10mg/2cc
Drg. 5-10 mg
Arsitran
Tab. 5 mg
Lorazepam
Tensinyl
Ativan
Cap. 5 mg
Tab. 0,5-1-2 mg
2-3 x 1 mg/h
4.
5.
Clobazam
Alprazolam
Renaquil
Frisium
Xanax
Tab. 1 mg
Tab. 10 mg
Tab. 0,25-0,5 mg
2-3 x 1m mg/h
0,75-1,50 mg/h
6.
7.
8.
Sulpiride
Buspirone
Hydroxyzine
Alganax
Dogmatil
Buspar
Iterax
Tab. 0,25-0,5 mg
Cap. 50 mg
Tab. 10 mg
Caplet 25 mg
100-200 mg/h
15-30 mg/h
3x25 mg/h
2.
3.
Nama Generik
Diazepam
Chlordiazepoxide
Obat
anti-anxietas
Benzodiazepine
yang
bereaksi
Dosis Anjuran
10-30 mg/h
15-30 mg/h
dengan
reseptornya
(benzodiazepine receptors) akan meng-reinforce the inhibitory action of GABAergic neuron, sehingga hiperaktivitas tersebut di atas mereda (Maslim, 2007)
II.4.6 Prognosis
Prognosis Gangguan Kecemasan Menyeluruh sukar untuk untuk diperkirakan.
Nemun demikian beberapa data menyatakan peristiwa kehidupan berhubungan
dengan onset gangguan ini. Terjadinya beberapa peristiwa kehidupan yang negatif
secara jelas meningkatkan kemungkinan akan terjadinya gangguan. Hal ini
berkaitan pula dengan berat ringannya gangguan tersebut (Ashadi, 2008)
28
BAB III
ILUSTRASI KASUS
III.1
Identitas Pasien
Nama
: Nn. W
29
Umur/Tgl.Lahir
Alamat
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Pendidikan
Pekerjaan
: pelayan toko
: Anak
Status Perkawinan
: Belum Menikah
Asuransi Kesehatan
III.2 Anamnesis
Pasien datang ke poli TB untuk pengambilan OAT bulan ketiga. Pasien
sebelumnya sudah menjalani pengobatan 2 bulan pertama dan sudah menjalani
tes dahak untuk kedua kalinya. Pasien mengeluh selama menjalani pengobatan 2
bulan pertama, pasien sering merasakan gejala-gejala yang membuat pasien takut
akan penyakitnya. 10 hari pertama minum OAT pasien mengeluhkan kepalanya
menimbulkan bunyi kretek-kretek, 10 hari berikutnya pasien mengeluh badan
pasien merasa ngilu, lalu 10 hari ketiga terdapat benjolan di sekitar leher pasien,
mual muntah, tidak nafsu makan dan pasien merasa gampang sariawan. Hal ini
membuat pasien sering untuk bulak balik ke puskesmas untuk berobat karena
pasien khawatir akan penyakitnya, yang terparah adalah 10 hari ketiga pasien
datang ke puskesmas sambal nangis-nangis dan berteriak takut mati. Pasien
mengira penyakitnya sama dengan penyakit yang diderita alm Olga Syahputra.
Pasien sering mendengar perkataan banyak orang yang membuat pasien bingung,
sampai pernah membuat pasien hamper tidak meminum OAT nya, namun
untungnya pasien segera bertanya kepada petugas puskesmas.
30
Riwayat keluarga
31
A. Deskripsi Umum
1. Penampilan
Pasien merupakan seorang wanita berusia 22 tahun, penampilan tampak
sesuai dengan usianya, berpakaian rapi, perawatan diri baik.
Kesadaran
: compos mentis
Kontak psikis
: dapat dilakukan pasien dan cukup wajar
2. Perilaku dan Aktivitas Psikomotor
Cara berjalan : baik
Aktivitas psikomotor : sikap pasien kooperatif, kontak mata dengan
pemeriksa baik, tidak terdapat gerakan involunter, pasien tidak
terlihat gelisah, dan pasien dapat fokus serta menjawab pertanyaan
dengan baik.
3. Pembicaraan
Kuantitas : baik, pasien dapat menjawab pertanyaan dokter dengan
32
33
G. Daya Nilai
1. Norma Sosial
Baik, pasien dapat berinteraksi dan bersosialisasi dengan baik dengan
lingkungan sekitarnya.
2. Uji Daya Nilai
Baik, karena apabila pasien bertemu dengan seorang nenek-nenek di jalan
yang akan menyeberang, maka pasien akan membantu nenek tersebut
untuk menyeberang.
3. Penilaian Realita
Baik, tidak terdapat gangguan dalam menilai realita pada pasien ini
karena tidak ditemukan adanya halusinasi dan waham.
34
Penilaian Keluarga
III.5.1 Nilai APGAR Keluarga
APGAR adalah suatu penentu sehat-tidaknya suatu keluarga yang
dikembangkan oleh Rosan, Guyman, dan Leyton dengan menilai 5 fungsi
pokok keluarga antara lain (Balgis,2009) :
1. Adaptasi (Adaptation)
Penilaian : dari tingkat kepuasan anggota keluarga dalam menerima
bantuan yang dibutuhkan.
2. Kemitraan (Partnership)
Penilaian : tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap komunikasi
dalam mengambil keputusan dan menyelesaikan masalah.
3. Pertumbuhan (Growth)
Penilaian : tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kebebasan
yang diberikan keluarga dalam mematangkan pertumbuhan dan
kedewasaan semua anggota keluarga.
4. Kasih Sayang (Affection)
Penilaian : tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kasih saying
serta interaksi emosional yang berlangsung.
35
5. Kebersamaan (Resolve)
Penilaian : tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kebersamaan
dalam membagi
waktu, kekayaan
Affection
Resolve
Total skor:
8-10 = fungsi keluarga sehat
36
PATOLOGI
KETERANGAN
Kemantapan
stabilitas
37
+
Tingkat pendidikan dan
pengetahuan/pemahaman pasien dan
anggota keluarga kurang mengenai
kesehatan
Tidak memiliki jaminan pelayanan
kesehatan atau asuransi kesehatan
Dari tabel family screem keluarga diatas total jumlah positifnya adalah 2.
III.5.3 Genogram
Keluarga terdiri atas 2 generasi dengan kepala keluarga berusia 32 tahun
yang merupakan kakak pertama pasien, menikah dengan perempuan yang saat ini
berusia 30 tahun. Mereka sudah mempunyai 2 orang anak, anak pertama
perempuan usia 7 tahun dan anak kedua laki-laki berusia 5 tahun. Pasien sendiri
merupakan anak bungsu dari 4 bersaudara. Orang tua pasien tinggal di kampung
halaman yaitu di daerah Cikampek. Ayah berusia 75 tahun anak pertama dari 4
bersaudara dan ibu berusia 65 tahun anak kedua dari 2 bersaudara. Bentuk
keluarga pasien saat ini yaitu keluarga besar (extended).
38
Tn. X
Tn. X
Ny. Y
Ny. Y
Ny. W
Tn.M
MMM
Tn. S
Ny. N
Ny. D
Tn. B
Tn. A
Pasien
An. F
An. S
An. M
: pasien
: perempuan
: meninggal
: satu rumah
39
Tn. S
Ny. N
An. M
An. S
Bagan
III.2. Family Mapping
Keterangan :
: hubungan erat
: hubungan tidak erat
40
III.6
N
o
Nama
Tn. S
Ny. N
An. S
An.M
Pasien
Pendidikan
Pekerjaan
SMA
Buruh pabrik
37 thn
SMA
7 thn
SD
Ibu Rumah
Tangga
Pelajar
5 thn
TK
Pelajar
22 thn
SMP
Pelayan toko
41
mempunyai
rasa
cemas
yang
berlebih
terhadap
42
43
44
Pasien dari kecil usia 7 tahun sudah ditinggal oleh ayahnya karena ayahnya
nikah kembali, namun setelah istri kedua ayahnya meninggal 2tahun yang
lalu, ayahnya kembali tinggal bersama ibu pasien. Pasien hanya dekat dengan
ibunya. Semua kakak pasien sudah tinggal berpisah dengan orang tua, mereka
sudah ada yang berkeluarga dan tidak. Pasien masa anak-anak pasien tumbuh
di lingkungan yang keluarganya kurang harmonis karena bapanya menikah
kembali, pasien hidup dengan rasa malu karena memilki tangan kanan yang
tidak sempurna.
e. Kesehatan reproduksi
Kesehatan reproduksi keluarga ini kurang baik, ibu pasien bukan akseptor KB.
Mereka masih menganut kepercayaan banyak anak banyak rejeki. Sulitnya
akses fasilitas kesehatan membuat ibu pasien malas untuk menggunakan KB.
f. Latihan Jasmani/ Aktivitas Fisik
Pasien tidak pernah berolahraga. Pasien beralasan karena tidak adanya waktu
untuk berolahraga mengingat setiap hari dia harus berjualan d pasar. Namun
pasien selalu berjalan kaki setiap pagi dari rumahnya ke pasar tempat pasien
berjualan
g. Penggunaan Pelayanan Kesehatan
Pasien menyadari jika berobat mendatangi fasilitas kesehatan yang terdekat
dari rumah yaitu puskesmas. Namun pasien belum mempunyai asuransi
kesehatan seperti BPJS atau Jamkesda. Mengingat dia sebagai pendatang, dan
KTP masih KTP daerah, sehingga pasien tidak mau dipusingkan dengan
administrasi.
h. Kebiasaan / perilaku buruk bagi kesehatan
Kakak pasien yang tinggal bersama pasien merokok 1 bungkus/hari.
45
angkutan umum, tidak ada kendala dalam transportasi menuju puskesmas, karena
ada angkutan umum.
Pasien lebih menyukai mendatangi puskesmas jika sakit karena tarif
murah dan kualitas pelayanan baik. Keluarga pasien tidak ada kendala masalah
biaya dalam berobat jika ke puskesmas karena dengan biaya yang murah sudah
bisa mendapatkan obat, akan tetapi pasien belum mempunyai jaminan kesehatan,
dengan alasan tidak mau pusing dengan mengurus administrasi.
III.8
jongkok dan terdapat bak mandi dengan lantai kamar mandi keramik.
PINTU
KAMAR
MANDI
KAMAR TIDUR
46
6m
DAPU
PINTU
TERAS
PINTU
1m
4m
Gambar III.1. Denah Rumah Pasien
III.9
Diagnosis Holistik
Aspek Personal :
Keluhan
Harapan
Kekhawatiran : Paisen khawatir ginjalnya akan rusak karena harus selalu minum
obat ditambah lagi saat ini bulan puasa, pasien tidak dapat minum banyak air
putih. Pasien juga khawatir akan terkena penyakit diabetes karena nafsu makan
pasien yang meningkat.
Aspek Klinis : Tuberkulosis paru ICPC 2: A70, status gizi Normoweight
DD : gangguan cemas (F41.1) ICPC 2 : P74
Diagnosis banding ini diambil karena ditemukan adanya
kecemasan.
47
Aspek Individual : Pasien tidak pernah mau untuk memakai masker. Pasien
memiliki ketakutan berlebih terhadap penyakit dan keadaan
pada tubuhnya.
Aspek Psikososial :
48
Faktor biologi
Pasien anak keempat,
yang tinggal bersama
kakak
pertamanya
yang
sudah
berkeluarga dengan 2
orang anak. Tidak
ada anggota keluarga
yang
mempunyai
keluhan yang sama
dengan pasien
Lingkungan
fisik
Derajat
Tidak adanya
ventilasi dan
penerangan sinar
matahari di pasar
kesehatan Nn.
W
TB paru BTA (-)
Lingkungan pasar
yang lembab
Ventilasi dan
penerangan di
rumah kurang
Penderita TBC
BTA (+)
Lingkungan
ekonomi
psiko
sosio
Rencana Intervensi
Dalam menindaklanjuti permasalahan kesehatan pasien dan keluarganya,
dilakukan rencana penatalaksanaan secara farmakologis dan nonfarmakologis
49
50
hasil kuesioner kepada pasien dan mengajak pasien agar mau berkonsultasi
dengan dokter spesialis untuk membicarakan hasil kuesioner tersebut.
Penatalaksanaan Farmakologis
Tatalaksana secara farmakologis sesuai dengan apa yang diberikan saat
pengobatan di puskesmas diberikan OAT selama 6 bulan
III.11. Indikator Keberhasilan
Pasien dapat memperbaiki kualitas hidupnya dengan pengetahuan yang
sudah diberikan selama kunjungan agar pasien tidak cemas lagi terhadap
penyakit yang dideritanya, kondisi tubuhnya yang menurut passion berbeda
dengan orang normal lainnya dan dapat dengan tenang menjalani pengobatan TB
paru. Pasien pun diharapkan mau memeriksakan keadaan pasien kepada dokter
spesialis kejiwaan dengan membutat rujukan dari puskesmas agar pasien tidak
terus dilanda rasa cemas setiap perubahan yang terjadi pada tubuhnya. Indikator
keberhasilan pada keluarga adalah setiap anggota keluarga memahami
pentingnya peranan keluarga dalam menjadi pengawasan menelan minum obat
terutama bagi pelaku rawat dan dapat mendeteksi gejala serupa jika ditemukan di
lingkungan keluarga dan lingkungan sekitar. Keluarga pun turut memberikan
motivasi terhadap pasien agar pasien mau berkonsultasi kepada dokter spesialis
jiwa mengenai rasa cemas yang diderita pasien.
II.12. Koping Skor
Dilakukan penilaian terhadap penguasaan masalah dan kemampuan
beradaptasi, penilaian kemampuan mengatasi masalah secara keseluruhan dan
kemampuan adaptasi dengan skala :
5:
4:
dari
3:
51
2:
1:
99 :
No
1.
Masalah
Hasil Intervensi
Koping
Awal
Memberi
edukasi
mengenai penyakit TB
paru termasuk menjelaskan
efek mekanisme dan efek
samping obat
Fungsi Biologis :
Pasien menderita
penyakit TB dalam
pengobatan OAT bulan
ketiga
2.
Rencana Intervensi
Faktor psikologi :
a) Pasien memiliki
rasa cemas yang
berlebih terhadap
kondisi kesehatan
dirinya
Memberikan
edukasi
mengenai perilaku hidup
sehat dan memfasilitasi Terdapat
penurunan
pasien
untuk
dapat tingkat kecemasan pada
bertanya kapanpun via sms pasien
dari
hasil
kuesioner DASS 42.
Memotivasi pasien dengan Pasien lebih optimis dan
sharing
pengalaman tidak
malu
lagi
b) Pasien memiliki mengenai hal memiliki memperlihatkan kondisi
rasa
kurang tubuh yang tidak sempurna tangannya
percaya
diri
terhadap
Untuk psikologi pasien
kekurangan pada dinilai dengan kuesioner
tangannya
DASS 42
c) Pasien
belum Memberikan
penjelasan
52
Ko
Ak
menyadari bahwa
kecemasan yang
dialaminya adalah
suatu
penyakit
yang
perlu
dikonsulkan
kepada
dokter
spesialis
3.
Pasien sudah
menggunakan masker
Keluarga
sudah
melakukan
pemeriksaan BTA.
untuk screening
kesehatan untuk
mengetahui apakah ada
yang menderita TB paru
pada anggota keluarga
lain
53
4.
b) Tidak adanya
pencahayaan yang
bersumber dari
matahari di pasar
Edukasi
dan Pintu dan jendela
memotivasi
seluruh
rumah sudah dibuka
anggota keluarga agar
di pagi hari.
setiap pagi pintu dan
jendela di buka agar
sirkulasi udara dan
pencahayaan
dapat
masuk dan agar kuman
TB yang ada di dalam
rumah mati
Edukasi mengenai
bahwa sinar matahari
pagi baik untuk
kesehatannya terlebih
lagi untuk penyakit
yang sedang
dideritanya yaitu TB
Paru.. Namun karena
kondisi yang tidak
memungkinkan, maka
edukasi pasien agar
berjalan kaki tiap pagi
menuju ke pasar dan
sesekali pasien keluar
dari toko pada saat
sedang berisitirahat
Total koping
16/8
=2
54
32/
=4
BAB IV
PEMBAHASAN
Dalam penanganan kasus ini dilakukan pendekatan kedokteran keluarga untuk
memberikan pelayanan kesehatan yang holistik, komprehensif, berkesinambungan,
terpadu dan paripurna, dengan memandang pasien sebagai bagian dari dirinya sendiri,
keluarga dan lingkungannya. Karena penyakit yang di derita oleh pasien membutuhkan
kerja sama antar anggota keluarga untuk memutus rantai penyebaran.
Studi kasus kedokteran keluarga dilakukan pada psien Nn. W usia 22 tahun,
seorang pasien dengan gangguan cemas yang sedang menjalani pengobatan TB paru
OAT bulan ketiga.
Pasien pertama kali datang ke puskesmas dengan keluhan pusing yang tidak
tertahankan lagi dan pasien merasa badannya ngilu, lalu setelah dilakukan anamnesis
lebih lanjut ternyata pasien sudah mengalami batuk 2 bulan terakhir yang tidak kunjung
sembuh, namun pasien tidak merasa terganggu dengan gejala ini karena dianggap batuk
biasa. Lalu pasien juga mengalami keluhan lain yaitu pasien suka berkeringat di malam
hari, dan sudah 6 bulan terakhir pasien merasakan berat badannya semakin menurun.
55
Sebagaimana di klasifikasikan bahwa gejala klinik dari TB ada 2 yaitu gejala utama dan
gejala tambahan. Penegakkan TB paru berdasarkan pemeriksaan hasil foto rontgen
thorax yang mengesankan TB aktif dan gejala TB paru, namun pemeriksaan dahak pada
pasien memiliki hasil negatif. Sesuai dengan Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
Tuberkulosis Indonesia, dikatakan pasien adalah penderita tuberkulosis dan diobati
dengan OAT. Pasein dikategorikan sebagai pasien baru dengan BTA negatif.
Pasien tidak mengetahui siapa orang sekitarnya yang memiliki keluhan serupa.
Sebenarnya kontak TB sangat diperlukan agar sumber penularan dapat diobati dan rantai
penularan dapat diputus. Menurut WHO, dalam 1 tahun, jika seorang dengan BTA
positif tidak diobati, maka dapat menularkan penyakit TB ke 10-15 orang per tahunnya.
Hal ini juga menjadi salah satu dasar mengapa Pembina menyarankan keluarga pasien
yang lain untuk memeriksakan diri mereka untuk deteksi TB.
Pasien sudah menjalani pengobatan fase intensif yaitu 2 bulan pertama saat ini
pasien masuk ke fase lanjutan yaitu masuk bulan ketiga. Selama 2 bulan pertama
pengobatan
pasien
mengatakan
mengalami
keluhan-keluhan
yang
nampaknya
diakibatkan oleh efek samping obat, seperti mual-muntah, kemerahan pada kulit, pusing,
dan ketajaman penglihatan yang menurun. Sesuai dengan teori mengenai efek samping
OAT yaitu rifampisin dapat menimbulkan efek samping mual muntah, etambutol
penurunan ketajaman penglihatan, pirazinamid dapat menimbulkan efek samping
kemerahan pada kulit ( UKK respirologi, 2007) Hal ini membuat pasien sering
berkunjung ke puskesmas atau ke klinik terdekat di tempat pasien bekerja. Berdasarkan
cerita pasien dan petugas puskesmas pasien pernah ke puskesmas menangis ketakutan
karena dia berpikir dia takut menderita sakit seperti Olga Syahputra karena pasien pada
saat itu mengeluhkan kepalanya yang sakit dan mengeluarkan bunyi kretek-kretek
akunya.
Pasien memilki rasa cemas yang berlebih terhadap kondisi kesehatan tubuhnya.
Terlebih lagi saat ini pasien sedang menjalani pengobatan OAT 6 bulan yang harus
teratur dan tidak boleh putus obat. Terbukti setelah menjalani pengobatan 2 bulan
pertama, saat ini pasien mengaku nafsu makan meningkat namun pasien takut terkena
56
penyakit diabetes mellitus jika makan terlalu banyak seperti yang dia dengar dari orangorang sekitar, dia pun mencemaskan efek obat terhadap ginjalnya karena saat ini
bertepatan dengan bulan puasa dan pasien merasa tidak bisa minum air putih sebanyak
hari biasa. Hal ini sesuai dengan teori respon emosional yang akan ditimbulkan oleh
pasien yang didiagnosa penyakit kronis yaitu timbul rekasi penolakan, cemas dan
depresi Selain pasien merasa cemas terhadap kondisi kesehatannya, pasien juga dari
segi psikologi memiliki masalah yaitu pasien kurang percaya diri dengan anggota
tubuhnya. Pasien sempat mengalami musibah kecelakaan motor pada kelas 4 SD yang
membuat ketiga jari tangan kanannya diamputasi. Hal ini membuat pasien merasa
dirinya tidak berguna terlebih lagi jika pasien kesulitan beraktifitas yang mengharuskan
dirinya menggunakan tangan kanan. Pasien merasa malu dengan keadaannya. Pasien
hanya mau memberi lihat tangannya kepada orang-orang terdekat pasien. Selama pasien
bekerja pasien kerap membungkus tangan kanannya menggunakan sarung agar
pelanggan tidak melihat tangan kanannya tersebut.
Maka dari itu, penulis menggunakan kuesioner DASS 42 untuk menilai tingkat
kecemasan, depresi dan stress yang dialami pasien. Penulis memberi kuesioner di
minggu pertama dan minggu ketiga. Dari hasil kuesioner pertama diperoleh, pada pasien
terdapat tingkat depresi ringan, tingkat kecemasan sedang, dan stress yang normal. Dari
kondisi kondisi yang diterangkan di atas maka penulis mendiagnosis banding pasien
dengan gangguan cemas (F41.1)
Selain penatalaksanaan secara farmakologi, pasien pun ditatalaksana secara non
farmakologi dengan edukasi mengenai informasi penyakit yang sedang diderita
termasuk cara penularan, pengobatan, pencegahan, memfasilitasi pasien untuk dapat
bertanya kapanpun jika ada hal yang pasien ingin tanyakan, sharing pengalaman
mengenai memiliki tubuh tidak normal seperti orang biasanya dan edukasi mengenai
perilaku hidup sehat dan mengedukasi pasien untuk membita rujukan dari puskesmas
untuk dapat berkonsultasi dengan dokter spesialis jiwa untuk dapat menangani gangguan
cemas yang terjadi pada dirinya. Masih sedikit sulit memang untuk membujuk pasien
agar dapat berkonsultasi kepada dokter spesialis karena pasien sulit untuk meminta ijin
57
kepada bos tempat dia bekerja di pasar dan stigma pasien yang masih menganggap
bahwa berobat kepada dokter spesialis jiwa adalah pasien yang gila
Dari hasil kunjungan didapatkan perbaikan dari pasien, terlihat dari hasil
kuesioner DASS 42 yaitu tingkat kecemasan pasien sudah turun menjadi normal, namun
untuk depresi pasien masih depresi ringan. Untuk pengetahuan pasien mengenai
penyakit yang sedang diderita pasien saat ini lebih mengetahui dan memahami apa itu
TB paru, pasien juga tetap berolahraga dengan berjalan kaki setiap pagi dari rumah
menuju ke pasar, hal ini dilakukan agar pasien dapat terkena sinar matahari pagi dan
tubuh pasien tetap bugar, pasien juga memakai masker setiap aktifitas, untuk lingkungan
rumah anggota keluarga sudah memahami pentingnya pencahayaan sinar matahari,
sehingga saat ini semua jendela yaitu 2 jendela sudah dibuka dan tidak terhalang gordyn,
pintu rumah pun setiap pagi di buka. Anggota keluarga yang tinggal serumah dengan
pasien pun sudah memeriksakan diri ke puskesmas untuk pemeriksaan BTA.
58
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
V.1 Kesimpulan
Dalam studi kasus ini diterapkan berbagai upaya untuk mencapai tujuan
pelayanan kedokteran keluarga dengan hasil :
1. Keluarga terdiri atas 2 generasi dengan keluarga inti ditambah sanak saudara
yaitu adik dari kepala keluarga maka bentuk keluarga adalah keluarga besar
(extended family). Keluarga inti terdiri dari kepala keluarga yaitu kakak
kandung pasien yang menikah dan mempunyai 2 orang anak. Hubungan antar
keluarga inti dekat namun hubungan pasien dengan kakak kandungnya tidak
begitu dekat. Keluarga ini masuk dalam siklus keluarga 4 yaitu keluarga dengan
anak usia sekolah dengan anak tertua yaitu usia 6-13 tahun.
2. Identifikasi masalah yang ditemukan :
Masalah dalam fungsi biologis
Pasien terkena TB paru, belum pernah mengalami penyakit ini sebelumnya
dan pasien mengalami gangguan cemas yang tidak disadari oleh pasien
sebagai penyakit
Masalah dalam fungsi psikologi
59
60
sebelum sakit
Hasil koping skor :
Awal : 2 (partisipasi keluarga hanya berupa keinginan saja karena tidak
V.2 Saran
Saran bagi kesinambungan pelayanan adalah:
Untuk pembina berikutnya :
1. Sumber Daya Manusia :
Dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan, maka pembinaan kesehatan perlu
kerjasama yang baik antara petugas kesehatan dengan keluarga maupun
masyarakat sekitar
2. Mental psikologikal :
61
62
DAFTAR PUSTAKA
63
LAMPIRAN
65
66
67
68
69
70
71