Anda di halaman 1dari 25

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Jaksa Penuntut Umum (JPU) merupakan salah satu subjek hukum,


dimana jaksa merupakan pejabat fungsional yang mewakili negara atau rakyat
untuk

menuntut

seorang

pelaku

guna

mempertanggungjawabkan

perbuatannya.
Dalam melaksanakan fungsinya sebagai seorang penuntut terkadang
jaksa tidak melulu mengikuti faham legalistik seperti yang dianut di negara
kita. Hal ini dikarenakan, negara kita khususnya hukum acara pidana negara
kita menganut asas oportunitas yaitu mengesampingkan perkara demi
kepentingan umum. Sehingga suatu perkara dapat di tutup apabila telah tidak
sesuai dengan kepentingan umum yang ada pada saat itu.
Dalam hal mengesampingkan perkara demi kepentingan umum yang
merupakan kewenangan dari Jaksa Agung (bukan Jaksa Penuntut Umum), di
Negara Indonesia sendiri ada istilah yang cukup populer yaitu deponeering.
Dimana deponeering ini marak di perbincangkan pasca munculnya kasus
kriminalisasi terhadap Bibit-Chandra anggota Komisi Pemberantasan Korupsi
aktif.
Deponeering dapat diartikan sebagai mengesampingkan tindak pidana
demi kepentingan umum. Dimana dalam Kamus Hukum Belanda-Indonesia
(1999), Deponeren; mengesampingkan (perkara), mendepot, memetieskan,
mendeponir. Seponeren; mengesampingkan, mendeponir, memetieskan. Een

zaak seponeren; mengesampingkan perkara, memetieskan perkara (Lihat


juga pada kolom Politik & Hukum, Koran Kompas 30/10/2010).
Prof. Sahetapy ( TV.one, 12-11-2010) mengatakan bahwa Seponeren itu
adalah keadaan perkara tidak dapat dipenuhi unsur penuntutannya, sedangkan
Deponeren merupakan kondisi pengesampingan perkara karena kepentingan umum. 1

Melihat pengertian diatas, maka deponeering itu sebetulnya diambil


dari bahasa Belanda, hal ini tidak terlepas dari sejarah hukum yang berlaku di
Indonesia. Di Indonesia sendiri istilah deponeering ini baru di terapkan pada
kasus Bibit-Chandra.
Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan deponeering ini berlandaskan
pada pasal 35 C Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia. Sedangkan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana sendiri hal ini mengacu kepada asas oportunitas.
Walaupun dalam pelaksanaannya deponeering ini menuai pro dan
kontra dari kalangan hukum terutama hukum pidana, pasalnya dengan jaksa
melakukan deponeering ini berarti jaksa telah melanggar asas equality before
the law yaitu persamaan di muka hukum hal ini berarti adanya suatu
kekebalan terhadap kelompok tertentu di muka hukum, sedangkan menurut
asas oportunitas maka suatu perkara dapat dikesampingkan apabila
kepentingan umum mendesak.
YM, Polemik Deponeering. http://hukum.kompasiana.com/2010/11/01/polemikdeponeering/.diakses pada November 2011.

Muhammad Yahya. Deponir Kasus Bibit Chandra (Tinjauan Praksis YuridisKepentingan Umum-Etika). Diakses pada November 2011.

Selain itu, pro kontra yang terjadi terhadap deponeering Bibit-Chandra


dikarenakan kasus tersebut sudah mencapai tahap pra penuntutan artinya
sudah masuk kedalam sistem peradilan pidana. Dengan tidak diteruskannya
perkara tersebut ke pengadilan membuat sebagian orang menyatakan bahwa
seharusnya hal tersebut dilanjutkan mengenai terbukti atau tidak nya
perbuatan yang mereka lakukan hal ini akan dibuktikan pada sidang
pengadilan.
Bahwa, dengan berkas perkara dinyatakan lengkap oleh penuntut
umum, berarti alat bukti telah dinyatakan lengkap dan siap untuk dibuktikan
dalam persidangan. Hal ini jelas pemberian deponeering menjadi kontradiksi
dalam proses penegakkan hukum.
Pemberian deponering terhadap terdakwa membuat dugaan terjadi atau
tindaknya tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka menjadi bias karena
tidak pernah dibuktikan dalam proses persidangan walaupun jaksa penuntut
umum sudah memiliki keyakinan terhadap alat bukti yang dimilikinya guna
membuktikan kesalahan tersangka.

B. Identifikasi masalah
1. Kepentingan umum seperti apakah yang menjadi dasar Jaksa Agung dalam

memberikan Deponeering atas suatu perkara?


2. Apakah pemberian deponeering dengan alasan kepentingan umum sesuai

dengan kewenangan Jaksa Agung menurut Undang-Undang No. 16 Tahun


2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia?

BAB II
PEMBAHASAN
KEPENTINGAN UMUM SEBAGAI DASAR DEPONEERING YANG
DILAKUKAN OLEH JAKSA AGUNG DIKAITKAN DENGAN UNDANGUNDANG NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK
INDONESIA

a. Kepentingan Umum sebagai dasar pemberian deponeering oleh Jaksa

Agung
Istilah

deponeering mulai bergaung di masyarakat semenjak

munculnya kasus Bibit-Chandra dimana mereka sebagai anggota Komisi


Pemberantasan Korupsi aktif di duga melakukan tindak pidana, karena di duga
ada politisasi terhadap mereka maka masyarakat menekan Jaksa Penuntut
Umum (JPU) untuk menutup kasus tersebut dikarenakan masyarakat menduga
adanya suatu upaya pengkriminalisasian terhadap Bibit-Chandra dengan
tujuan untuk melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Dimana saat itu,
negara kita sedang gencar melakukan pemberantasan korupsi.
Menurut Prof. J. M. Van Bemmelen, terdapat tiga alasan untuk tidak
melakukan penuntutan, yaitu : 2
1. Demi Kepentingan Negara (staatsbelang)
Kepentingan Negara tidak menghendaki suatu penuntutan jika terdapat
kemungkinan bahwa aspek-aspek tertentu dari suatu perkara akan
memperoleh tekanan yang tidak seimbang. Sehingga kecurigaan yang
2

Andi Hamzah. 2004. Hukum Acara Pidana Edisi Revisi. Jakarta: Sinar Grafika. Hal. 156.

dapat timbul pada rakyat, dalam keadaan tersebut menyebabkan kerugian


besar pada negara. Contohnya ialah bila terjadi penuntutan akan berakibat
suatu pengumuman (openbaring) yang tidak dikehendaki dari rahasia
negara.
2. Demi Kepentingan Masyarakat (maatschapelijk belang)
Tidak dituntutnya perbuatan pidana karena secara sosial tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Termasuk dalam kategori ini tidak menuntut atas
dasar pemikiran-pemikiran yang telah atau sedang berubah dalam
masyarakat. Contohnya pendapat-pendapat yang dapat berubah atau
sedang berubah tentang pantas tidaknya dihukum beberapa delik susila.
3. Demi Kepentingan Pribadi (particular belang)
Termasuk di dalamnya kategori-kategori bila kepentingan pribadi
menghendaki tidak dilakukannya penuntutan ialah persoalan-persoalan
hanya perkara-perkara kecil. Dan atau jika yang melakukan tindak pidana
telah membayar kerugian dan dalam keadaan ini masyarakat tidak
mempunyai cukup kepentingan dengan penuntutan atau penghukuman.
Bagi si petindak sendiri kepentingan-kepentingan pribadinya terlampau
berat terkena jika dibandingkan dengan kemungkinan hasil dari proses
pidana yang bagi kepentingan umum tidak akan bermanfaat. Jadi
keuntungan yang diperoleh dari penuntutan adalah tidak seimbang dengan
kerugian-kerugian yang timbul terhadap terdakwa dan masyarakat.
Sehingga dengan alasan demi kepentingan umum lah jaksa
melakukan deponeering dimana Jaksa yang berwenang melakukan

deponeering adalah Jaksa Agung. Seperti deponeering yang pernah


dilakukan oleh Jaksa Agung Darmono terhadap Bibit-Chandra.
Dalam pendeponeerannya Jaksa Agung dalam hal ini mengacu kepada
asas oportunitas seperti yang terjadi dalam kasus Bibit-Chandra tersebut.
A.Z. Abidin Farid memberi perumusan tentang asas oportunitas
sebagai berikut. 3
Asas hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum
untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau
korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum.
Apabila penafsiran demi kepentingan umum ini dikaitkan dengan
pendapat Prof. J.H.A. Logemann, dimana disebutkan bahwa :
Dalam melakukan penafsiran hukum, seorang ahli hukum
diwajibkan untuk mencari maksud dan kehendak pembuat
undang-undang sedemikian rupa sehingga menyimpang dari apa
yang dikehendaki oleh pembuat undang-undang itu.
Kepentingan umum sendiri menurut pedoman pelaksanaan KUHAP
memberi penjelasan sebagai berikut: 4

Andi Hamzah. 2005. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Hal. 14.
Mohammad Aldiyan. Penafsiran dan Konstruksi Hukum. Diakses dari
http://masyarakathukum.blogspot.com/2008/03/macam-macam-penemuan-hukum.html. Oktober
2011.
4
Op.Cit Hal. 17.

.dengan demikian kriteria demi kepentingan umum dalam


penetapan asas oportunitas di negara kita adalah untuk kepentingan negara dan
masyarakat bukan untuk kepentingan masyarakat.
Hal tersebut berarti bahwa demi kepentingan umum yang terkandung
di dalam asas oportunitas yang mana asas tersebut menjadi dasar di buatnya
deponeering, dimaksudkan bahwa alasan jaksa mengeluarkan deponeering
adalah demi kepentingan negara dan masyarakat, hal ini semata-mata untuk
mencapai suatu keadilan.
Apabila demi kepentingan umum ini diartikan secara historis atau
Penafsiran Sejarah (historische interpretatie), yaitu penafsiran yang dilakukan
terhadap isi suatu peraturan perundang-undangan dengan meninjau latar
belakang sejarah dari pembentukan atau terjadinya peraturan undang-undang
yang bersangkutan.
Maka menurut Andi Hamzah, Indonesia yang secara historis yuridis
menganut asas oportunitas, mengartikan kepentingan umum terlalu sempit
dimana hanya Jaksa Agung yag berwenang menyampingkan perkara demi
kepentingan umum. Lalu kepentingan umum diartikan terlalu sempit yaitu
kepentingan negara atau masyarakat. Dimana hal ini sangat berbeda dengan
penerapan asas oportunitas yang di berlakukan oleh negara Inggris yang
notabene menganut sistem Anglo Saxon.
Di Negara Iggris yang merupakan negara penganut sistem hukum
Anglo Saxon, asas oportunitas dan asas legalitas ini tidak di kenal secara
resmi, dalam hal kebijakan penuntutan di Inggris sendiri di praktekan dalam
hal mengenyampingkan perkara demi kepentingan umum. Kepentingan umum

disini diartikan luas, termasuk kepentingan anak dibawah umur, dan orang
yang sudah terlalu tua. Sedangkan di Indonesia hanya terbatas pada
kepentingan negara dan masyarakat saja.
Dalam deponeering yang diberikan oleh Jaksa Agung sebenarnya
menuai kontradiksi. Dimana kontradiksi yang terjadi dalam memberlakukan
deponeering ini ialah deponeering tidak sesuai dengan asas equality before
the law.
Dimana prinsip equality before the law ini dirumuskan dalam Pasal
28 D ayat 1 Amandemen Kedua Undang-Undang 1945 dan Pasal 5 ayat 1
Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 ini merupakan asas yang bersifat
universal. Pasal 7 Universal Declaration of Human Rights menjelaskan
bahwa:
all

are equal before the law and are entitled without

discrimination to equal protection of law


Dikaitkan dengan peradilan sistem terpadu dapat dinyatakan bahwa
jenis kelamin, agama, ras, warna kulit, etnis, status sosial, status ekonomi
maupun ideologi politik tidak boleh menjadi dasar untuk memperlakukan
orang secara berbeda, doktrin yang dikemukakan Dicey berbunyi:
all person weather high official or ordinary citizens are subject to the same
law administered by ordinary courts

Dimana doktrin tersebut menguatkan asas equality before the law


begitu juga dengan Pasal 14 International Convenant on Civil and Political

10

Right menguatkan bahwa all person shall be equal before the court and
tribunals.5
Persamaan di hadapan hukum harus diartikan secara dinamis dan tidak
diartikan secara statis. Artinya, kalau ada persamaan di hadapan hukum bagi
semua orang maka harus diimbangi juga dengan persamaan perlakuan (equal
treatment) bagi semua orang. Jika ada dua orang bersengketa datang ke
hadapan hakim, maka mereka harus diperlakukan sama oleh hakim tersebut
(audi et alteram partem). 6
Pemberian deponering seharusnya murni dari hasil penelaahan dan
pengkajian bukan dari desakan masyarakat ataupun pimpinan Negara sehingga
dikeluarkan deponeering. Sehingga, alasan yang paling utama bagi Jaksa
Agung untuk memberikan deponeering (mengesampingkan perkara) ini
adalah demi kepentingan umum dimana kepentingan umum ini diartikan
sebagai kepentingan negara dan kepentingan masyarakat.
Apabila demi kepentingan umum ini di tafsirkan secara gramatikal.
Dimana penafsiran gramatikal (taatkundige interpretatie), yaitu penafsiran
yang dilakukan terhadap peristilahan atau kata-kata, tata kalimat didalam
suatu konteks bahasa yang digunakan pembuat undang-undang dalam
merumuskan peraturan perundang-undangan tertentu.
Demi kepentingan umum dapat diartikan sebagai kepentingan
Negara/bangsa dan masyarakat luas. Jadi kepentingan umum disini diartikan
sebagai kepentingan disemua aspek dalam bernegara, berbangsa dan
5

Yesmil Anwar dan Adang. 2009. Sistem peradilan Pidana. Bandung: Widya Padjajaran. Hal,

113.

Aminah. Persamaan Dihadapan Hukum. http://aminahhumairoh.wordpress.com. Diakses


pada Oktober 2011.

11

bermasyarakat dalam arti yang seluas-luasnya dan yang menyangkut


kepentingan hajat hidup dan kepentingan masyarakat luas. Dengan demikian
pengertiannya akan meliputi aspek-aspek antara lain ideologi, ekonomi,
politik, sosial, budaya, pertahanan keamanan, pendidikan, keadilan, Hak Asasi
Manusia, agama, yang mempunyai cakupan yang luas. Jadi demi kepentingan
umum (publik) bukan kepentingan pribadi atau kelompok (privat). 7
b. Pemberian deponeering dengan alasan kepentingan umum sesuai dengan

kewenangan Jaksa Agung menurut Undang-Undang No. 16 Tahun 2004


tentang Kejaksaan Republik Indonesia
Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenag oleh undangundang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain
berdasarkan undang-undang. Hal tersebut diatur di dalam Pasal 1 ayat 1
Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Di dalam Pasal 30 Undang-Undang Kejaksaan Republik Indonesia,
diatur bahwa:
(1) Dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang :
a. Melakukan penuntutan;
b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap;


c. Melakukan

pengawasan

terhadap

pelaksanaan

putusan

pidana

bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;


7

Dnox. Pengertian dan Istilah Deponeering. http://berkahlangkah.com. Diakses pada


Oktober 2011.

12

d. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan

undang-undang;
e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan

pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang


dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
(2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus
dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas
nama negara atau pemerintah.
(3)Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut
meyelenggarakan kegiatan:
a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum;
c. Pengawasan peredaran barang cetakan;
d. Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan

negara;
e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
f.

Penelitian dan pengembangan hukum serta statik kriminal.


Melihat isi pasal tersebut maka tidak tampak pengaturan mengenai

deponeering yang dilakukan oleh Jaksa, akan tetapi deponeering ini hanya di
lakukan oleh Jaksa Agung.
Dalam melakukan deponeering, Jaksa Agung menggunakan UndangUndang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagai

13

dasar hukumnya, pasalnya di dalam Pasal 35 Undang-Undang tersebut, diatur


bahwa Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang:

a. Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegak hukum dan keadilan

dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan;


b. Mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undang-

undang;
c. Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum;
d. Mengajukan kasasi dem kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung

dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara;


e. Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung

dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana;


f.

Mencegah atau menangkal orang tertentu masuk atau keluar wilayah


Negara Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam
perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Di dalam Pasal 35 huruf C diatas disebutkan bahwa Jaksa Agung

berwenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Adapun


kepentingan umum yang dimaksud seperti apa yang telah di bahas pada
pointer 1 diatas yaitu kepentingan negara dan masyarakat bukan hanya
kepentingan masyarakat saja.
Selain itu didalam penjelasan Undang No. 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia ini, disebutkan bahwa: yang dimaksud dengan
kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau

14

kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara sebagaimana


dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas, yang
hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan
pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan
dengan masalah tersebut.
Kepentingan umum dalam suatu negara hukum mempunyai peranan
penting terhadap hukum, yaitu peranan aktif dan peranan pasif. Dalam
peranan aktif, kepentingan umum menuntut eksistensi dari hukum dan sebagai
dasar menentukan isi hukum agar tujuan hukum dapat dicapai. Jadi peranan
aktif kepentingan umum dalam hal ini adalah mengenai cita-cita hukum.Bagi
bangsa Indonesia cita-cita hukum diwujudkan pada pokok-pokok pikiran yang
terkandung dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yaitu memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan turut serta
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial. 8
Apabila kita ambil contoh pada kasus Bibit-Chandra, maka Jaksa
Agung dalam memberlakukan deponeeringnya mendapat masukan dari
Presiden, DPR dan masyarakat luas. Sehingga, status deponeering demi
kepentingan umum tersebut bukan semata-mata demi kepentingan suatu
kelompok ataupun bertentangan dengan kepastian hukum dan asas equality

Universitas Sumatera Utara. Asas Oportunitas Sebagai Dasar Kewenangan Jaksa Agung
Yang Dapat Menjadi Alasan Penghentian Penuntutan. http://repository.usu.ac.id/. Diakses pada
Oktober 2011. Hal. 21.

15

before the law, tetapi semata-mata untuk terbukanya suatu keadilan yang
merupakan tujuan utama dari hukum itu sendiri.
Keadilan menurut Aristoteles adalah kelayakan dalam tindakan
manusia. Kelayakan diartikan sebagai titik tengah diantara kedua ujung
ekstrem yang terlalu banyak dan terlalu sedikit. Kedua ujung ekstrem itu
menyangkut dua orang atau benda. Bila kedua orang tersebut mempunyai
kesamaan dalam ukuran yang telah ditetapkan, maka masing-masing orang
akan menerima bagian yang tidak sama, sedangkan pelanggaran terhadap
proposi tersebut berarti ketidak adilan. 9
Dimana menurut Aristoteles, bahwa tujuan hukum adalah untuk
mencapai keadilan. Aristoteles mengemukakan ada dua macam keadilan, yaitu
keadilan distributief dan keadilan commutatief. Keadilan distributief ialah
keadilan yang diberikan kepada tiap-tiap orang dengan mengingat jasa yang
diberikannya. Tidak mengharuskan semua orang mendapat keadilan yang
sama, dalam konsep ini yang dicari bukanlah persamaan akan tetapi
keseimbangan atau kesebandingan.
Aristoteles

mengajarkan

bahwa

tujuan

hukum

semata-mata

menghendaki keadilan. Teori-teori yang mengajarkan hal tersebut disebut teori


ethis, karena menurut teori itu isi hukum semata-mata harus ditentukan oleh
kesadaran ethis kita mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil. Ia
melebih-lebihkan
9

kadar

keadilan

hukum,

karena

ia

tidak

cukup

Diakses dari http://ocw.gunadarma.ac.id/course/psychology/study-program-of-psychologys1/ilmu-budaya-dasar/manusia-dan-keadilan, pada Oktober 2010.

16

memperhatikan keadaan sebenarnya. Hukum menetapkan peraturan-peraturan


umum yang merupakan pedoman bagi masyarakat dalm pergaulan hidup. Jika
hukum semata-mata menghendaki keadilan, jadi semata-mata mempunyai
tujuan member setiap orang apa yang patut diterimanya, maka ia tidak dapat
membentuk peraturan-peraturan umum. Yang terakhir ini harus dilakukan,
karena merupakan syarat baginya untuk dapat berfungsi. Tertib hukum yang
tidak mempunyai aturan umum, tertulis atau tidak tertulis, adalah tidak
mungkin. Tidak adanya peraturan umum, berarti ketidaktentuan yang
sungguh-sungguh mengenai apa yang disebut adil atau tidak adil.
Ketidaktentuan itu selalu akan menyebabkan perselisihan antara orang-orang,
jadi menyebabkan keadaan yang tidak teratur dan bukan keadaan yang
teratur.10
Sedangkan teori komutatief menurut Aristoteles, yaitu keadilan yang
bertujuan untuk memelihara ketertiban masyarakat dan kesejahteraan umum.
Bagi Aristoteles pengertian keadilan ini merupakan asas pertalian dan
ketertiban dalam masyarakat. Semua tindakan yang bercorak ujung ekstrem
menjadikan ketidakadilan dan akan merusak atau bahkan menghancurkan
pertalian dalam masyarakat. 11
Apabila teori keadilan komutatief ini dikaitkan dengan perkara
deponeering terhadap kasus Bibit-Chandra, maka kasus Bibit-Chandra dinilai
tidak adil pasalnya jika kasus tersebut tidak diteruskan, maka akan merusak
10

Wahyu Wiriadinata. 2008. Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Penuntut Umum. Bandung:
Java Publishing. Hal. 1-2.
11
Efrin Firmansyah. 2009. Manusia dan Keadilan. Diakses
darihttp://efrin4mzil.blogspot.com/2009/03/manusia-dan-keadilan.html, pada bulan Oktober 2011.

17

ketertiban masyarakat begitu juga kesejahteraan masyarakat. Hal ini


dikarenakan upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), dimana Bibit dan Chandra ini merupakan
pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang aktif, diduga diperlemah oleh
pihak-pihak tertentu sehingga hal ini akan dirasa tidak adil bagi kepentingan
umum yaitu bagi kepentingan Negara dan kepentingan masyarakat.
Apabila kita mengacu kedalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, khususnya dalam Pasal
140

diatur

bahwa:

Pihak

kejaksaan

selaku

penuntut

umum dapat

menghentikan proses penuntutan suatu perkara apabila


(1) tidak ditemukan bukti yang cukup,
(2) perkara yang sedang diperiksa ternyata bukan perkara pidana dan
(3) perkara ditutup demi hukum.
Jika kita melihat kasus Bibit-Chandra, maka berdasarkan ketentuan
tersebut maka pada Oktober 2009 Kejaksaaan Agung mengeluarkan Surat
Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) atas kasus Bibit-Chandra. Dalam
perjalanannya, SKP2 digugat keberadaannya melalui pengajuan proses
praperadilan oleh Pihak Anggodo Widjoyo. Atas proses praperadilan ini
Kejaksaan Agung melakukan perlawanan dengan mengajukan banding kepada
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Sayangnya Pengadilan Tinggi menolak
banding dan merekomendasikan agar proses penuntutan Bibit-Chandra
diteruskan sampai ke pengadilan untuk membuktikan apakah Bibit-Chandra

18

bersalah atau tidak. Kejaksaan Agung tidak kehabisan upaya, mereka terus
melakukan perlawanan dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung
(MA). Sayangnya di MA, kasasi ditolak dengan alasan yang lebih bersifat
administratif formil, yaitu bahwa MA tidak berwenang memeriksa kasus
dimaksud. 12
Kejaksaan Agung, yang kemudian dipimpin oleh Basri Arief
menggunakan kewenangannya yang diamatkan oleh Pasal 35 huruf (c)
Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung, Jaksa
Agung mempunyai wewenang untuk mengenyampingkan perkara demi
kepentingan umum. 13
Dalam konsep deponeering kali ini, yang dimaksud dengan
kepentingan

umum

adalah kepentingan

bangsa

dan

negara

dan/atau

kepentingan masyarakat luas. Demi mendukung kelangsungan pemberantasan


korupsi, yang nota bene adalah untuk kepentingan negara dan bangsa ini,
Kejaksaan Agung memutuskan mengenyampingkan perkara kasus pemerasan
yang disangkakan kepada Bibit-Chandra. Deponeering kali ini bersifat final
and binding (terakhir dan mengikat), tidak ada upaya hukum lagi untuk
menggagalkannya. 14
Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuanketentuan di atas merupakan pelaksanaan asas oportunitas dalam hukum acara
12

Efrin Firmansyah. 2009. Manusia dan Keadilan. Diakses


darihttp://efrin4mzil.blogspot.com/2009/03/manusia-dan-keadilan.html, pada bulan Oktober 2011.
13
ibid.
14
ibid.

19

pidana di Indonesia dimana Jaksa Agung dapat mengesampingkan perkara


setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan
negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. 15
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas jelas bahwa proses deponeering
oleh

Jaksa

Agung

mempunyai

dasar

hukum

yang

kuat.

Namun

mengingat konsep Deponeering bersifat diskresi dan opportunitas, tentu saja


unsur subyektivitas didalamnya masih bisa dipertanyakan. Alasan kepentingan
umum

yang

dijadikan

dasar

mengeluarkan

deponeering masih

dapat diperdebatkan (debatable). Beberapa argumen menyatakan bahwa


pengenyampingan perkara tidak berarti bahwa Bibit-Chandra tidak bersih dari
statusnya

sebagai

tersangka

karena

menurut

mereka

yang

mendukung argumen ini pengenyampingan perkara mempunyai arti bahwa


kasus yang dimaksud telah terpenuhi unsur pidananya hanya saja tidak
dilanjutkan proses penuntutannya. 16
Terlepas dari hal tersebut, maka perihal pemberian deponeering oleh
Jaksa Agung ini sebenarnya sudah mempunyai dasar hukum yang kuat, yaitu
Pasal 35 huruf C Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia. Sehingga untuk dikemudian hari pun apabila terdapat
suatu perkara yang layak untuk diberikan deponeering, maka Jaksa Agung
harus memberikan deponeering tanpa melihat unsur subjektifitas. Walaupun
memang dalam kenyataannya hal tersebut berlaku. Akan tetapi kembali lagi

15
16

ibid.
ibid.

20

bahwa tujuan awal diberlakukannya deponeering adalah demi kepentingan


umum yaitu kepentingan negara dan masyarakat dengan mana Jaksa Agung
pun harus memperhatikan saran dari pihak-pihak yang berwenang.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Dari penjelasan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa:


a. Alasan demi kepentingan umum sebagai dasar pemberian deponeering

oleh Jaksa Agung dimaksudkan bahwa kepentingan umum tersebut apabila


ditafsirkan secara gramatikal maka mencakup kedalam kepentingan
Negara dan kepentingan masyarakat. Dimana Demi kepentingan umum
dapat diartikan sebagai kepentingan Negara/bangsa dan masyarakat luas.
Jadi kepentingan umum disini diartikan sebagai kepentingan disemua

21

aspek dalam bernegara, berbangsa dan bermasyarakat dalam arti yang


seluas-luasnya dan yang menyangkut kepentingan hajat hidup dan
kepentingan masyarakat luas. Dengan demikian pengertiannya akan
meliputi aspek-aspek antara lain ideologi, ekonomi, politik, sosial, budaya,
pertahanan keamanan, pendidikan, keadilan, Hak Asasi Manusia, agama,
yang mempunyai cakupan yang luas. Jadi demi kepentingan umum
(publik) bukan kepentingan pribadi atau kelompok (privat). Selain itu
apabila dikaitan dengan asas oportunitas makademi kepentingan umum
di negara kita adalah untuk kepentingan negara dan masyarakat bukan
untuk kepentingan masyarakat.
b. Pemberian deponeering dengan alasan kepentingan umum sesuai dengan

kewenangan Jaksa Agung menurut Undang-Undang No. 16 Tahun 2004


tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Maka didalam Pasal 35 UndangUndang tersebut, diatur bahwa Jaksa Agung mempunyai tugas dan
wewenang:
a. Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegak hukum dan

keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan;


b. Mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh

undang-undang;
c. Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum;
d. Mengajukan kasasi dem kepentingan hukum kepada Mahkamah

Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara;


e. Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah

Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana;

22

f.

Mencegah atau menangkal orang tertentu masuk atau keluar


wilayah

Negara

Kesatuan

Republik

Indonesia

karena

keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan


perundang-undangan.
Di dalam Pasal 35 huruf C diatas disebutkan bahwa Jaksa Agung
berwenang

mengesampingkan

perkara

demi

kepentingan

umum.

Kejaksaan Republik Indonesia ini, disebutkan bahwa: yang dimaksud


dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara
dan/atau kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas
oportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah
memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara
yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.

B. Saran

Dengan adanya deponeering yang mana hal ini mendasarkan pada asas
oportunitas dan Pasal 35 C Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia, maka penulis memberikan saran bahwa:
a. Dalam perkara Deponeering yang mendasarkan pada kepentingan

umum ini, maka hendaklah pengertian kepentingan umum ini


diperluas. Hal ini bukan semata-mata hanya pada kepentingan Negara
dan masyarakat saja tetapi, diperluas pula seperti apa yang
diberlakukan di Negara Anglo Saxon, contohnya Inggris yaitu
kepentingan umum disini diartikan luas, termasuk kepentingan anak

23

dibawah umur, dan orang yang sudah terlalu tua. Sehingga


deponeering yang diberikan oleh Jaksa Agung ini tidak berbuntut pada
adanya

suatu

subyektifitas

tetapi

pada

realita

yang

terjadi

dimasyarakat.
b. Apabila kita melihat kepentingan umum seperti yang tercantum di

dalam Pasal 35 C Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang


Kejaksaan Republik Indonesia, maka sebetulnya Jaksa Agung sudah
mempunyai

dasar

hukum

yang

kuat

dalam

memberlakukan

Deponeering selain itu deponeering pun diatur pula di dalam asas


oportunitas,

sehingga

semua

pihak

hendaknya

tidak

saling

mempertentangkan masalah keabsahan dari pemberian deponeering


tersebut. Karena didalam Undang-Undang Kejaksaan sendiri sudah
diatur secara jelas.

24

DAFTAR PUSTAKA

a. Buku-buku

Andi Hamzah. 2005. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Wahyu Wiriadinata. 2008. Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Penuntut Umum.
Bandung: Java Publishing. Hal. 1-2.
Yesmil Anwar dan Adang. 2009. Sistem peradilan Pidana. Bandung: Widya
Padjajaran.

b. Undang-Undang

Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.


Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

c. Sumber lain

Aminah.

Persamaan
Dihadapan
Hukum.
Diakses
http://aminahhumairoh.wordpress.com/2010/03/10/persamaandihadapan-hukum/. Oktober 2011.

dari

25

Diakses dari http://ocw.gunadarma.ac.id/course/psychology/study-program-ofpsychology-s1/ilmu-budaya-dasar/manusia-dan-keadilan,


pada
Oktober 2010.
Dnox.

Pengertian
dan
Istilah
Deponeering.
Diakses
http://berkahlangkah.com/nasionalisme/pengertian-dan-istilahdeponeering.php. Oktober 2011.

Efrin

Firmansyah.
2009.
Manusia
dan
Keadilan.
darihttp://efrin4mzil.blogspot.com/2009/03/manusia-dankeadilan.html, pada bulan Oktober 2011.

dari

Diakses

Mohammad Aldiyan. Penafsiran dan Konstruksi Hukum. Diakses dari


http://masyarakathukum.blogspot.com/2008/03/macam-macampenemuan-hukum.html. Oktober 2011.
Universitas Sumatera Utara. Asas Oportunitas Sebagai Dasar Kewenangan
Jaksa Agung Yang Dapat Menjadi Alasan Penghentian Penuntutan.
http://repository.usu.ac.id/. Diakses pada Oktober 2011.
YM, Polemik Deponeering. http://hukum.kompasiana.com. diakses pada
November 2011.

Anda mungkin juga menyukai