Anda di halaman 1dari 3

MANUSIA SUKSES

(Sebuah renungan Sufistik)

Oleh : E. Nadzier Wiriadinata

Dalam kehidupan ini setiap orang senantiasa berupaya dengan segenap tenaga dan
fikirannya meraih keberhasilan. Namun, tidak semua orang memilki tolak ukur yang
sama tentang keberhasilan. Sebagian ada yang menempatkan nilai-nilai duniawi
sebagai pijakan dalam memformulasikan ukuran keberhasilannya. Sebagian lagi ada
yang membingkai ukuran keberhasilan dengan menggunakan nilai-nilai ruhaniah
sebagai pijakannya. Ada sebagian lainnya yang bingung seperti apa formulasi
keberhasilan yang harus ia yakini dan ia perjuangkan.

Apapun formulasi keberhasilan yang dia pilih tentunya memiliki konsekwensinya


masing-masing. Karenanya, sejak awal sudah seharusnya seseorang secara jeli dan
kritis bisa menentukan secara tepat tolak ukur kebehasilan seperti apa yang akan
dipilihnya. Penentuan sejak dini tentang tolak ukur keberhasilan hidup yang dipilih
seseorang akan sangat menentukan pola hidup (life style) nya dan kualitas kehidupan
masa depannya, baik di dunia maupun di akhirat. Tidak hanya itu, penentuan tolak
ukur tersebut juga akan memberikan dampak terhadap lingkungan dimana ia tinggal
dan juga lingkungan dimana dia bekerja.

Ketika seseorang menentukan formulasi keberhasilan berdasarkan pijakan ukuran-


ukuran duniawi maka tolak ukur keberhasilan yang dia anut senantiasa beorientasi
materi. Artinya bahwa dalam sikap pandang penganut faham tersebut keberhasilan
seseorang sangat bergantung pada sejauh mana dia mampu meraih
materi/keduniawian. Bagi penganut faham keberhasilan versi ini, semakin kaya dia,
semakin berhasillah dia. Semakin miskin dia semakin jauhlah dia untuk dikatakan
sebagai manusia berhasil. Dimata seorang penganut faham orientasi hidup semacam
ini, ‘wong ndeso’ yang datang ke kota dan kemudian pulang kampung tidak
mengalami peningkatan dari aspek duniawi, maka ‘wong ndeso’ ini tidak akan
dikatakan sebagai manusia berhasil, meskipun secara ruhaniah, kualitas keimanan dan
ketaqwaannya mengalami peningkatan. Dampak psikologis dari faham tersebut
terhadap kepribadian penganutnya adalah :

1. seorang penganut faham ini sangat mudah tergoda untuk melakukan berbagai
cara agar bagaimana kekayaan bisa diraihnya sebanyak mungkin;
2. tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya;
3. tertanam sifat rakus;
4. sulit untuk mendapatkan ketenangan/ketentraman batin dalam hidupnya
karena ketenangan/ketentraman batinnya sangat tergantung kepada
materi/benda yang dimilikinya
5. rapuh jiwanya. Apalagi saat bencana merenggut materi/benda yang
dimilikinya
6. diperbudak oleh materi

Berbeda halnya dengan seseorang yang meyakini bahwa keberhasilan dalam hidup itu
tidak terletak pada nilai-nilai keduniawian. Bagi penganut faham ini, hal-hal yang
bersifat duniawi memang dibutuhkan sekali dalam mengarungi kehidupan yang begitu
keras dan kompetitif ini, tetapi nilai-nilai keduniawian tersebut hanyalah faktor
penunjang semata dalam meraih keberhasilan yang sesungguhnya, yaitu MANUSIA
SEJATI/INSAN KAMIL/MANUSIA MUTTAQIN.

Bagi penganut faham ini, apalah artinya kekayaan yang diraihnya apabila kemudian
kekayaan itu tidak mampu membantu upaya peningkatan kualitas nilai-nilai
ruhaniah/Ilahiah yang harus dia pegang teguh dalam menjalani hidup kesehariannya.

Menurut faham ini, hidup yang sebenarnya adalah setelah mati. Kehidupan di dunia
hanyalah tempat baginya untuk menumbuh-kembangkan nilai-nilai ruhaniah agar bisa
dipetik buahnya di kehidupan akhirat kelak. Nilai-nilai ruhaniah yang dimaksud
bukan hanya diwujudkan dalam bentuk aktivitas ibadah ritual semata tetapi juga
diwujudkan dalam dinamika kehidupan sosial. Seorang penganut faham ini senantiasa
mempertanyakan dalam hatinya sejauh mana kehadirannya dalam kehidupan
ditengah-tengah masyarakat bisa dirasakan manfaatnya. Semakin bermanfaat dia
dalam kehidupan sosialnya, semakin berhasillah dia. Dan aktivitas kehidupan
sosialnya itu senantiasa berpijak atas nilai-nilai moralitas yang sangat dia junjung
tinggi.

Dampak psikologis faham tersebut terhadap penganutnya adalah :

1. menjunjung tinggi moralitas dalam meraih apa yang dicita-citakannya;


2. munculnya sifat qonaah ( rasa puas yang didasari rasa syukur atas apapun
yang sudah diraih);
3. senantiasa memposisikan dirinya untuk selalu memberikan manfaat buat
sesama dimanapun dia berada
4. Kokoh jiwanya
5. tidak diperbudak oleh materi

Berdasarkan uraian diatas kita bisa menganalisis fenomena yang terjadi dalam
kehidupan berbangsa di negara yang kita cintai ini. Secara kasat mata betapa falsafah
hidup yang berorientasi materi begitu kuat merasuki tidak hanya orang-orang yang
hidup di perkotaan tetapi juga di pedesaan, bahkan juga merasuki para politisi, pelaku
ekonomi bahkan aparat penegak hukum. Berbagai kasus yang berkaitan dengan
‘markus’ atau ‘mafia hukum’ semuanya berujung dan/atau berkaitan dengan materi.
Dan itu adalah fakta sekaligus indikator betapa falsafah hidup berbasis/berorientasi
materi benar-benar telah mewabah dan merasuk kesegenap lapisan masyarakat.
Memperbaiki kebobrokan moralitas yang terjadi di negara kita tentunya harus dimulai
dari upaya membangun tolak ukur keberhasilan yang tepat. Sila pertama dalam
Pancasila yang senantiasa diikrarkan dalam setiap upacara resmi begitu jelas
terdengar dan terucap melalui telinga dan mulut kita. Tolak ukur keberhasilan yang
dianut oleh bangsa kita seharusnya berbasis Ketuhanan Yang Maha Esa. Itu artinya
nilai-nilai religiositas dan moralitas adalah pijakan utama sekaligus bingkai dari
sebuah tolak ukur keberhasilan yang seharusnya kita anut. Dengan demikian, falsafah
hidup yang berbasis dan/atau berorientasi materi/duniawi tidak seharusnya tumbuh
dan berkembang di negara Pancasila ini.

Pertanyaan kita adalah tolak ukur keberhasilan mana yang selama ini kita anut ?
Hanya kita sendiri yang bisa menilainya. Mudah-mudahan Allah memberikan
bimbingan dan petunjuk agar kita senantiasa dipilihkan jalan hidup yang terbaik untuk
masa depan kita.

Anda mungkin juga menyukai