Anda di halaman 1dari 2

Sejarah Balai Pustaka

Pada tahun 1908 pemerintah Belanda mendirikan lembaga bacaan rakyat yang
bernama Volkslectur dengan Dr. G.A.J Hazeu sebagai ketuanya di Jakarta.
Lembaga ini
bertugas memilih karangan-karangan dan kemudian menerbitkannya sebagai
bacaan umum
(rakyat), untuk anak-anak dan orang dewasa, guna mengisi waktu senggang dan
menambah
pengetahuan sekaligus mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar
yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan
peraniyaan (cabul) dan dianggap memiliki misi politis.
Angkatan balai pustaka sekaligus menjadi cikal bakal perkembangan sastra
Indonesia.
Pada tahun 1917 Volkslektur itu diubah namanya menjadi Balai Pustaka serta
para
redakturnya terdiri atas para penulis dan ahli bahasa melayu.
Tugas-tugas balai pustaka antara lain :
- Menerbitkan naskah-naskah lama yang telah diubah dan disempurnakan.
- Menerbitkan saduran dan terjemahan hasil karya pujangga-pujangga asing
seperti Shakespeare, Cervantes, Alexander Damas, Jules Verne, Tolstoi,
Rudyat Klipling, Rabindranath Tagore.
- Menerbitkan naskah-naskah pengarang muda bangsa Indonesia, baik
berupa puisi maupun prosa.
- Menerbitkan majalah-majalah: Panji Pustaka dan Sari Pustaka dalam
bahasa Melayu, Kejawen dalam bahasa Jawa, dan Parahiangan dalam
bahasa Sunda.
- Mendirikan perpustakaan
- Membimbing pengarang-pengarang Indonesia, dengan memberi
kesempatan untuk menulis dan memberi dorongan untuk kemajuan di
bidang mengarang
Ketentuan karangan yang hanya diterima oleh balai pustaka pada zaman itu
antara lain :
- Karangan-karangan yang bersifat mendidik
- Karangan-karangan yang tidak berhubungan dengan SARA
- Karangan-karangan yang tidak mengandung propaganda politik / tidak
menentang pemerintahan Belanda pada zaman itu
Tema-tema yang biasa diangkat oleh sastrawan balai pustaka, antara lain :
- Kawin paksa
- Penjodohan paksa anak-anak oleh orang tua
- Konflik kaum tua dan muda
- Penjajahan Eropa
Ciri-ciri karangan angkatan balai pustaka :
- Menyorot realitas hidup, namun sejalan dengan pemerintahan kolonial
- Penokohan dibuat jauh bertentangan. Protagonis biasanya dibuat sebaikbaik mungkin, sedangkan antagonis biasanya jahat dan tidak beradab

Tema Adat Kawin Paksa lebih dominan


Memiliki sifat kemelayuan, yaitu menggunakan nada yang mendayu-dayu
dan perumpamaan-perumpamaan

Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi,
bahasa Jawa dan bahasa Sunda; dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa Bali,
bahasa Batak, dan bahasa Madura.
Nur Sutan Iskandar dapat disebut sebagai "Raja Angkatan Balai Pustaka" oleh
sebab banyak karya tulisnya pada masa tersebut. Umumnya, novel-novel
Indonesia yang terbit pada angkatan ini adalah "novel Sumatera", dengan
Minangkabau sebagai titik pusatnya.
Pada masa ini, novel Siti Nurbaya dan Salah Asuhan menjadi karya yang cukup
penting. Keduanya menampilkan kritik tajam terhadap adat-istiadat dan tradisi
kolot yang membelenggu. Dalam perkembangannya, tema-teman inilah yang
banyak diikuti oleh penulis-penulis lainnya pada masa itu.

Anda mungkin juga menyukai