KIPRAH BALAI PUSTAKA DALAM MENCEMERLANGKAN
KIPRAH BALAI PUSTAKA DALAM MENCEMERLANGKAN
KESUSASTERAAN INDONESIA
Ahmad Zikri
NIM. 2010721033
Ahmad Zikri
NIM. 2010721033
A. Pendahuluan
Sastra Indonesia dalam perkembangannya tidak terlepas dari kehadiran
Balai Pustaka. Peranannya dalam menerbitkan sumber bacaan dalam berbagai
bahasa daerah di Hindia Belanda pada saat itu menciptakan jalan yang luas untuk
perkembangan Sastra Indonesia. Perlu diketahui, saat itu masyarakat pribumi
mulai sadar untuk memberikan kritikan kepada pemerintahan Belanda. Tahu akan
ketindasan yang diterimanya, masyarakat pribumi banyak membuat tulisan yang
bernada kritikan terhadap Belanda. Ihwal tersebut menjadi alasan dibentuknya
Balai Pustaka.
B. Pembahasan
2
pula yang menuliskan pembagian sejarah sastra Indonesia berdasarkan angkatan.
Junus (1960) membagi sastra Indonesia dengan beberapa angkatan, yakni pra
pujangga baru atau pra angkatan ’33 (1928—1933), pujangga baru angkatan ’33
(1933—1945), angkatan ’45, dan seterusnya. Menurutnya pula, karya-karya yang
terbit sebelum tahun 1928 digolongkan ke dalam angkatan ’20 atau angkatan
Balai Pustaka. Ia juga menekankan bahwa karya yang lahir pada tahun itu tiidak
dapat digolongkan ke dalam hasil “sastra Indonesia”, melainkan sebagai hasil
“sastra Melayu Baru/Modern”.
Balai Pustaka dalam iringan sastra Indonesia telah menerbitkan novel Azab
dan Sengsara (1920) dan Siti Nurbaya (1922), serta karya-karya lainnya. Adanya
karya tersebut menjadi tonggak perkembangan Sastra Indonesia. Pada awalnya
Balai Pustaka hanya menerbitkan bacaan sastra daerah lalu diterjemahkan.
Meskipun di awal didirikannya (1908—197), Balai Pustaka barulah benar-benar
produktif setelah tahun 1920-an. Pada waktu itu Balai Pustaka melahirkan
berbagai jenis karya, seperti majalah, alamnak, dan buku.
3
Terbitnya buku sastra pada tahun 1920-an tersebut menandai lahirnya
kesusastraan modern Indonesia. Ketika itu para pemuda Indonesia sudah mulai
menyatakan perasaan dan idenya dalam bentuk sastra yang memiliki perbedaan
dengan bentuk-bentuk sastra Jawa, Melayu, dan sastra lainnya, baik secara lisan
maupun tulisan (Teeuw, 1980). Teeuw juga mengatakan bahwa pada masa itu
masyarakat dilarang menulis dalam ranah politik sehingga mereka mencoba
mencari jalan lain dengan cara mengutaraan perasaan, emosi, dan cita-cita.
Terlepas dari kepentingan politik yang diatur oleh kolonial Belanda, Balai
Pustaka sangat banyak memberikan dampak positif kepada masyarakat pribumi.
Balai Pustaka telah banyak melahirkan berbagai macam karya, seperti: buku,
majalah, dan alamnak yang dianggap karya-karya tersebut dapat meningkatkan
pengetahuan bagi masyarakat pribumi. Sebuah lembaga penerbitan yang didirikan
oleh kolonial Belanda itu, sewajarnya saja melarang tulisan-tulisan yang
mengarah kepada aroma kritikan atau sindiran kepada pemerintahannya. Namun,
jika berada dalam posisi masyarakat pribumi, tentu mereka juga sewajarnya
melakukan tulisan yang bernada politik terhadap pemerintahan Belanda.
Roman yang cukup fenomal pada saat itu hingga sekarang ialah roman Siti
Nurbaya yang diterbitkan pada tahun 1922. Roman tersebut merupakan buah
tangan dari Marah Rusli. Dalam roman tersebut memuat kritikan terhadap
keburukan adat yang berhubungan dengan persoalan perkawinan. Marah Rusli
selama hidupnya juga melahirkan karya yang berjudul La Hami yang terbit
setelah 30 tahun diterbitkannya Siti Nurbaya. Kemudian menyusul Anak dan
Kemenakan yang terbit pada 1956. Semua buku tersebut merupakan terbitan dari
Balai Pustaka.
Salah satu roman yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1920-an
adalah Salah Asuhan (1928). Dalam karya tersebut, pengarangnya lebih
menekankan hal yang realistis. Berbeda dengan roman Siti Nurbaya, yang
menjadi perhatian bukan lagi tentang kawin paksa. Pertentangan antara kaum
muda dan tua dalam hal pernikahan tidak lagi secara hitam dan putih. Melainkan
4
dengan jelas meyakinkan kebaikan dan keburukan yang terdapat di antara kedua
pihak tersebut.
Sejak pendiriannya hingga 1910, Balai Pustaka (saat itu bernama Komisi
Bacaan Rakyat) belum menghasilkan bacaan sama sekali. Barulah tahun setelah
itu di bawah kepemimpinan Dr. D.A. Rinkes dapat melakukan tugasnya hingga
tahun 1916 (Sumardjo, 1992). Mengingat bahwa tujuan didirikan Balai Pustaka
untuk melegitimasi kekuasan kolonial Belanda di Indonesia, sejumlah persyaratan
diberlakukan untuk menerbitkan naskah di Balai Pustaka. Syarat-syarat yang
harus diikuti yaitu mengandung unsur kenetralan mengenai agama, ketertiban, dan
budi pekerti. Untuk memudahkan tugas dan arah Balai Pustaka, dibentuklah
empat bagian di dalamnya, yaitu Bagian Perpustakaan, Bagian Pers, Bagian
Redaksi, dan Bagian Administrasi.
C. KESIMPULAN
Pandangan penulis terhadap perkembangan kesusasteraan Indonesia di
masa penjajahan Belanda, tidak terlepas dari peranan Balai Pustaka. Sebagai
lembaga penerbitan yang memiliki posisi yang kuat, Balai Pustaka mampu
menjadi pilar utama melahirkan sumber bacaan bagi masyarakat pribumi. Dalam
penubuhannya, Balai Pustaka banyak menerbitkan karya sastra yang mengarah
kepada sastra modern. Roman seperti Siti Nurbaya, Salah Asuah, dan sebagainya
menjadi tonggak kemunculan karya sastra bernuansa modern berikutnya.
5
Kesusasteraan Indonesia dibagi menjadi beberapa angkatan. Angkatan
tersebut dipilah agar memudahkan penggambaran perkembangan sastra Indonesia.
Salah satu badan yang menjadi bagian dari angkatan itu adalah Balai Pustaka.
Balai Pustaka menerbitkan Siti Nurbaya—novel yang cukup fenomenal dari awal
kemunculan. Ini berarti menunjukkan bahwa Balai Pustaka memiliki posisi yang
sangat berperan menumbuhkembangkan kesusasteraan Indonesia.
Terlepas dari kepentingan politik yang diatur oleh kolonial Belanda, Balai
Pustaka sangat banyak memberikan dampak positif kepada masyarakat pribumi.
Balai Pustaka dibentuk untuk menghadirkan bahan bacaan yang memiliki mutu
tinggi dan sepatutnya dapat membangun moral bangsa. Berdasarkan semua itu,
Balai Pustaka masih tetap eksis hingga sekarang dalam penyebaran dampak
positif kepada masyarakat dan menghasilkan bahan bacaan yang bermutu.
6
DAFTAR PUSTAKA
Erowati, R., Bahtiar, A. (2011). Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah.
Junus, U. (1960). Istilah dan Masa Waktu ‘Sastera Melayu’ dan ‘Sastera
Indonesia,’. Medan Ilmu Pengetahuan, Tahun I, (3), 245-260.
Sumardjo, J. (1992). Lintasan Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Citra Aditya
Bakti.
Tasai, S. A., dkk. (2002). Semangat Nasionalisme dalam Puisi Indonesia sebelum
Kemerdekaan. Jakarta: Pusat Bahasa.
Teeuw, A. (1980). Tergantung pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya.