Anda di halaman 1dari 7

ARTIKEL POPULER

KIPRAH BALAI PUSTAKA DALAM MENCEMERLANGKAN

KESUSASTERAAN INDONESIA

Tugas Ini Dibuat untuk Memenuhi Syarat Mata Kuliah


Sejarah Kesusasteraan Indonesia

Ahmad Zikri
NIM. 2010721033

Program Studi Sastra Indonesia


Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Andalas
Padang
2024
KIPRAH BALAI PUSTAKA DALAM MENCEMERLANGKAN
KESUSASTERAAN INDONESIA

Ahmad Zikri
NIM. 2010721033

A. Pendahuluan
Sastra Indonesia dalam perkembangannya tidak terlepas dari kehadiran
Balai Pustaka. Peranannya dalam menerbitkan sumber bacaan dalam berbagai
bahasa daerah di Hindia Belanda pada saat itu menciptakan jalan yang luas untuk
perkembangan Sastra Indonesia. Perlu diketahui, saat itu masyarakat pribumi
mulai sadar untuk memberikan kritikan kepada pemerintahan Belanda. Tahu akan
ketindasan yang diterimanya, masyarakat pribumi banyak membuat tulisan yang
bernada kritikan terhadap Belanda. Ihwal tersebut menjadi alasan dibentuknya
Balai Pustaka.

Pada 1908, lebih tepatnya tanggal 14 September, Pemerintah Belanda


menubuhkan sebuah lembaga yang bernama Commissie voor de Inlandsche
School en Volkslectuur atau dalam bahasa Indonesia disebut Komisi Bacaan
Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat. Kemudian, seiring penambahan usianya,
yakni pada tahun 1917 lembaga tersebut berganti nama menjadi Balai Pustaka.
Pembentukan lembaga tersebut bertujuan untuk memerangi bacaan-bacaan yang
berseliweran pada abad ke-20. Belanda menyebutnya sebagai saudagar kitab yang
kurang suci hatinya, penerbit tidak bertanggung jawab, agitator, dan bacaan liar
(dalam Erowati & Bahtiar, 2011).

B. Pembahasan

Sejarah Sastra Indonesia dibagi menjadi beberapa periode. Hal tersebut


menurut Erowati & Bahtiar (2011: 14) bertujuan untuk memudahkan
pengembangan sejarah sastra. Periode-periode tersebut terdiri atas: periode 1850
—1933, periode 1933—1942, periode 1942—1945, periode 1945—1961, periode
1961—1971, 1971—1998, 1998—sekarang. Namun, sisi yang berbeda banyak

2
pula yang menuliskan pembagian sejarah sastra Indonesia berdasarkan angkatan.
Junus (1960) membagi sastra Indonesia dengan beberapa angkatan, yakni pra
pujangga baru atau pra angkatan ’33 (1928—1933), pujangga baru angkatan ’33
(1933—1945), angkatan ’45, dan seterusnya. Menurutnya pula, karya-karya yang
terbit sebelum tahun 1928 digolongkan ke dalam angkatan ’20 atau angkatan
Balai Pustaka. Ia juga menekankan bahwa karya yang lahir pada tahun itu tiidak
dapat digolongkan ke dalam hasil “sastra Indonesia”, melainkan sebagai hasil
“sastra Melayu Baru/Modern”.

Balai Pustaka banyak menerbitkan majalah, buku, dan koran. Berbagai


jenis tulisan memiliki kesempatan untuk diterbitkan di Balai Pustaka, kecuali
tulisan yang memiliki unsur perjuangan. Pengecualian tersebut telah diatur oleh
pemerintah Belanda agar masyarakat pribumi tidak sadar bahwa mereka sedang
dijajah. Dasar yang membuat pemerintah Belanda mengeluarkan aturan demikian
adalah saat itu maraknya tulisan-tulisan yang beredar secara luas di masyarakat
yang mengkritik pemerintahannya.

Tasai (2002) berpendapat bahwa perkembangan bacaan liar memunculkan


kekhawatiran Belanda terhadap penjajahannya di Indonesia. Itulah mengapa Balai
Pustaka hadir di tengah masyarakat pribumi. Bacaan-bacaan liar seperti Cina
peranakan dianggap merusak moral bangsa. Sisi lainnya pula, Balai Pustaka
dibentuk untuk menghadirkan bahan bacaan yang memiliki mutu tinggi dan
sepatutnya dapat membangun moral bangsa. Pemerintah Belanda dengan tegas
menyatakan bahwa Balai Pustaka hadir untuk menyiapkan bacaan yang
memajukan pengetahuan. Namun, dibalik itu jelas sekali untuk menjauhkan segala
hal yang dapat merusak kekuasaannya di Indonesia saat itu.

Balai Pustaka dalam iringan sastra Indonesia telah menerbitkan novel Azab
dan Sengsara (1920) dan Siti Nurbaya (1922), serta karya-karya lainnya. Adanya
karya tersebut menjadi tonggak perkembangan Sastra Indonesia. Pada awalnya
Balai Pustaka hanya menerbitkan bacaan sastra daerah lalu diterjemahkan.
Meskipun di awal didirikannya (1908—197), Balai Pustaka barulah benar-benar
produktif setelah tahun 1920-an. Pada waktu itu Balai Pustaka melahirkan
berbagai jenis karya, seperti majalah, alamnak, dan buku.

3
Terbitnya buku sastra pada tahun 1920-an tersebut menandai lahirnya
kesusastraan modern Indonesia. Ketika itu para pemuda Indonesia sudah mulai
menyatakan perasaan dan idenya dalam bentuk sastra yang memiliki perbedaan
dengan bentuk-bentuk sastra Jawa, Melayu, dan sastra lainnya, baik secara lisan
maupun tulisan (Teeuw, 1980). Teeuw juga mengatakan bahwa pada masa itu
masyarakat dilarang menulis dalam ranah politik sehingga mereka mencoba
mencari jalan lain dengan cara mengutaraan perasaan, emosi, dan cita-cita.

Terlepas dari kepentingan politik yang diatur oleh kolonial Belanda, Balai
Pustaka sangat banyak memberikan dampak positif kepada masyarakat pribumi.
Balai Pustaka telah banyak melahirkan berbagai macam karya, seperti: buku,
majalah, dan alamnak yang dianggap karya-karya tersebut dapat meningkatkan
pengetahuan bagi masyarakat pribumi. Sebuah lembaga penerbitan yang didirikan
oleh kolonial Belanda itu, sewajarnya saja melarang tulisan-tulisan yang
mengarah kepada aroma kritikan atau sindiran kepada pemerintahannya. Namun,
jika berada dalam posisi masyarakat pribumi, tentu mereka juga sewajarnya
melakukan tulisan yang bernada politik terhadap pemerintahan Belanda.

Balai Pustaka dan Roman Terbitannya

Roman yang cukup fenomal pada saat itu hingga sekarang ialah roman Siti
Nurbaya yang diterbitkan pada tahun 1922. Roman tersebut merupakan buah
tangan dari Marah Rusli. Dalam roman tersebut memuat kritikan terhadap
keburukan adat yang berhubungan dengan persoalan perkawinan. Marah Rusli
selama hidupnya juga melahirkan karya yang berjudul La Hami yang terbit
setelah 30 tahun diterbitkannya Siti Nurbaya. Kemudian menyusul Anak dan
Kemenakan yang terbit pada 1956. Semua buku tersebut merupakan terbitan dari
Balai Pustaka.

Salah satu roman yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1920-an
adalah Salah Asuhan (1928). Dalam karya tersebut, pengarangnya lebih
menekankan hal yang realistis. Berbeda dengan roman Siti Nurbaya, yang
menjadi perhatian bukan lagi tentang kawin paksa. Pertentangan antara kaum
muda dan tua dalam hal pernikahan tidak lagi secara hitam dan putih. Melainkan

4
dengan jelas meyakinkan kebaikan dan keburukan yang terdapat di antara kedua
pihak tersebut.

Tokoh-Tokoh yang Memimpin Balai Pustaka

Sejak pendiriannya hingga 1910, Balai Pustaka (saat itu bernama Komisi
Bacaan Rakyat) belum menghasilkan bacaan sama sekali. Barulah tahun setelah
itu di bawah kepemimpinan Dr. D.A. Rinkes dapat melakukan tugasnya hingga
tahun 1916 (Sumardjo, 1992). Mengingat bahwa tujuan didirikan Balai Pustaka
untuk melegitimasi kekuasan kolonial Belanda di Indonesia, sejumlah persyaratan
diberlakukan untuk menerbitkan naskah di Balai Pustaka. Syarat-syarat yang
harus diikuti yaitu mengandung unsur kenetralan mengenai agama, ketertiban, dan
budi pekerti. Untuk memudahkan tugas dan arah Balai Pustaka, dibentuklah
empat bagian di dalamnya, yaitu Bagian Perpustakaan, Bagian Pers, Bagian
Redaksi, dan Bagian Administrasi.

Adapun tokoh-tokoh yang pernah menjadi pemimpin Balai Pustaka di


antaranya tokoh dari Belanda, yaitu Dr. D.A. Dinkes, Dr. K.A. Hidding, dan Dr.
G.W.J. Drewes. Sementara itu, tokoh atau sastrawan Indonesia yang pernah
menjadi pegawai atau menjabat di Balai Pustaka adalah S. Takdir Alisjahbana,
Adinegoro, Armijn Pane, Nur Sutan Iskandar, dan H.B. Jassin. Pada masa yang
dipimpin oleh tokoh-tokoh di atas Balai Pustaka banyak menghasilkan berbagai
macam buku dan majalah. Salah satu majalah yang diterbitkan oleh Balai Pustaka
adalah majalah Sri Pustaka, berikutnya Panji Pustaka, Parahiangan, dan
Kejawen. Majalah-majalah tersebut ditulis menggunakan bahasa daerah, seperti
bahasa Melayu, bahas Sunda, dan bahasa Jawa.

C. KESIMPULAN
Pandangan penulis terhadap perkembangan kesusasteraan Indonesia di
masa penjajahan Belanda, tidak terlepas dari peranan Balai Pustaka. Sebagai
lembaga penerbitan yang memiliki posisi yang kuat, Balai Pustaka mampu
menjadi pilar utama melahirkan sumber bacaan bagi masyarakat pribumi. Dalam
penubuhannya, Balai Pustaka banyak menerbitkan karya sastra yang mengarah
kepada sastra modern. Roman seperti Siti Nurbaya, Salah Asuah, dan sebagainya
menjadi tonggak kemunculan karya sastra bernuansa modern berikutnya.

5
Kesusasteraan Indonesia dibagi menjadi beberapa angkatan. Angkatan
tersebut dipilah agar memudahkan penggambaran perkembangan sastra Indonesia.
Salah satu badan yang menjadi bagian dari angkatan itu adalah Balai Pustaka.
Balai Pustaka menerbitkan Siti Nurbaya—novel yang cukup fenomenal dari awal
kemunculan. Ini berarti menunjukkan bahwa Balai Pustaka memiliki posisi yang
sangat berperan menumbuhkembangkan kesusasteraan Indonesia.

Selama pendiriannya, Balai Pustaka sudah banyak melahirkan bahan


bacaan untuk meningkatkan pengetuan masyarakat pribumi. Bahan bacaan ditulis
berdasarkan bahasa daerah sehingga dapat dipahami dengan mudah oleh
masyarakat pribumi. Karya-karya sastra yang berhasil diterbitkan menjadi bukti
perkembangan kesusasteraan Indonesia. Perlu diyakini bahwa kehadiran Balai
Pustaka mampu membuat kesusasteraan Indonesia mengarah kepada
perkembangan yang baik.

Terlepas dari kepentingan politik yang diatur oleh kolonial Belanda, Balai
Pustaka sangat banyak memberikan dampak positif kepada masyarakat pribumi.
Balai Pustaka dibentuk untuk menghadirkan bahan bacaan yang memiliki mutu
tinggi dan sepatutnya dapat membangun moral bangsa. Berdasarkan semua itu,
Balai Pustaka masih tetap eksis hingga sekarang dalam penyebaran dampak
positif kepada masyarakat dan menghasilkan bahan bacaan yang bermutu.

Melalui tulisan ini, sebagai pemelajar sastra Indonesia, memandang bahwa


perkembangan kesusasteraan Indonesia sejauh ini tumbuh karena pilarnya, yakni
Balai Bahasa. Munculnya kesusasteraan yang modern, tidak hanya terpaku pada
kesusasteraan klasik. Nuansa atau aliran sastra yang menarik tentu membuat
perkembangan kesusasteraan Indonesia menjadi semakin berkembang dan mampu
memposisikan diri untuk menciptakan bahan bacaan yang bermutu bagi
masyarakat Indonesia.

6
DAFTAR PUSTAKA

Erowati, R., Bahtiar, A. (2011). Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah.
Junus, U. (1960). Istilah dan Masa Waktu ‘Sastera Melayu’ dan ‘Sastera
Indonesia,’. Medan Ilmu Pengetahuan, Tahun I, (3), 245-260.
Sumardjo, J. (1992). Lintasan Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Citra Aditya
Bakti.
Tasai, S. A., dkk. (2002). Semangat Nasionalisme dalam Puisi Indonesia sebelum
Kemerdekaan. Jakarta: Pusat Bahasa.
Teeuw, A. (1980). Tergantung pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya.

Anda mungkin juga menyukai