Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
PADA TRAUMA KEPALA

Dosen Pembimbing :

dr. Budiawan Atmadja, SpRad

Disusun oleh :

Ottiara Febriannisa Akbariah (09-148)

KEPANITERAAN ILMU RADIOLOGI


PERIODE 17 FEBRUARI 15 MARET 2014
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
1

BAB I
PENDAHULUAN

Trauma kepala merupakan penyebab utama kematian di berbagai negara di dunia,


terutama pada kelompok usia di bawah 40 tahun. Di negara berkembang seperti Indonesia,
seiring dengan kemajuan teknologi dan pembangunan, frekuensi trauma kepala cenderung makin
meningkat.
Trauma kepala didefiniskan sebagai trauma non degeneratif-non kongenital yang terjadi
akibat trauma yang mencederai kepala yang kemungkinan berakibat gangguan kognitif, fisik,
dan psikososial baik sementara atau permanen yang berhubungan dengan berkurang atau
berubahnya derajat kesadaran. Mekanisme dari cedera kepala itu sendiri dapat berasal dari
cedera langsung ke jaringan otak, rudapaksa luar yang mengenai bagian luar kepala (tengkorak)
yang menjalar ke dalam otak, ataupun pergerakan dari jaringan otak di dalam tengkorak.
Trauma kepala berperan pada kematian akibat trauma, mengingat kepala merupakan
bagian yang rentan dan sering terlibat dalam kecelakaan. Laki-laki 2 3 kali lebih sering
dibandingkan wanita, terutama pada kelompok usia resiko tinggi (usia 15 24 tahun dan >75
tahun). Berdasarkan studi epidemiologi, kecelakaan sepeda motor dan violence-related injuries
merupakan penyebab trauma kepala yang paling sering.
Pasien dengan trauma kepala memerlukan penegakan diagnosis sedini mungkin agar
tindakan terapi dapat segera dilakukan untuk menghasilkan prognosa yang baik. Peranan
diagnosa imajing juga diperlukan terutama pada pasien dengan tingkat resiko sedang-berat.
Tujuan utama dari pemeriksaan imajing pada pasien trauma kepala adalah untuk mengkonfirmasi
adakah cedera intrakranial yang berpotensi mengancam jiwa pasien bila tidak segera dilakukan
tindakan.
Hadirnya modalitas imajing seperti CT scan telah merevolusi cara mengevaluasi diagnosa
trauma kepala. Penelitian menunjukkan tindakan operasi pada trauma kepala berat dalam rentang
waktu 4 jam pertama setelah kejadian, dapat menyelamatkan kurang lebih 70% pasien.
Sebaliknya, tingkat mortalitas dapat naik sampai 90% bila tindakan intervensi dilakukan lebih
2

dari 4 jam. Penegakan diagnosa trauma kepala diperoleh dengan pemeriksaan klinis awal yang
diteliti dan tentu ditunjang oleh diagnosa imajing.

BAB II
TRAUMA KEPALA

II.1. Anatomi Fisiologi Kepala dan Bagiannya


II.1.1 Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit, connective
tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponeurotika, loose connective tissue
atau jaringan penunjang longgar, dan pericranium.
II.1.2 Tulang Tengkorak
Anatomi normal tengkorak ditunjukkan pada Gambar 1 dan Gambar 2. Masalah yang
paling umum pada foto tengkorak polos adalah membedakan sutura tengkorak dari alur
pembuluh darah dan fraktur. Sutura utama adalah koronal, sagital, dan lambdoid. Sebuah sutura
juga berjalan dalam bentuk pelangi di atas telinga. Pada orang dewasa, sutura berbentuk simetris
dan memiliki tepi yang sklerotik (sangat putih). Alur vaskular biasanya terlihat pada tampilan
lateral dan meluas pada sisi posterior dan superior dari hanya di depan telinga. Alur vaskular
tersebut merupakan gambaran dari Arteri Meningea Media, yang mana jika terjadi trauma kepala
dapat menyebabkan arteri ini
pecah,

sehingga

menyebabkan

dapat
terjadinya

perdarahan epidural.

Gambar 1.a Foto Polos Kepala


dari Proyeksi Lateral

Gambar 1.b. Skematik Foto Polos Kepala Proyeksi


Lateral (A) dan AP (B)

Gambar 2. Vaskularisasi
pada Tulang Tengkorak

II.1.3 Meningia

Gambar 3. Potongan
Melintang Tulang Tengkorak
dan Meningens

Meningia merupakan selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang belakang.
Fungsi meningia yaitu melindungi struktur saraf halus yang membawa pembuluh darah dan
cairan sekresi (cairan serebrospinal), dan memperkecil benturan atau getaran. Meningiaterdiri
atas 3 lapisan, yaitu :
5

a. Duramater (Lapisan sebelah luar)


Duramater adalah selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal
dan kuat, dibagian tengkorak terdiri dari selaput tulang tengkorak dan duramater
propia di bagian dalam. Duramater pada tempat tertentu mengandung rongga yang
mengalirkan darah vena dari otak, rongga ini dinamakan sinus longitudinal superior
yang terletak diantara kedua hemisfer otak.
b. Arachnoid (Lapisan tengah)
Arachnoid adalah membran impermeabel halus yang meliputi otak dan terletak
diantara piamater di sebelah dalam dan duramater di sebelah luar. Ruang sub
arachnoid pada bagian bawah serebelum merupakan ruangan yang agak besar disebut
sistermagna.
c. Piamater (Lapisan sebelah dalam)
Piamater merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak.
Piameter berhubungan dengan arachnoid melalui struktur jaringan ikat.

II.1.4 Otak
Otak merupakan suatu organ tubuh yang sangat penting karena merupakan pusat dari
semua organ tubuh, bagian dari saraf sentral yang terletak di dalam rongga tengkorak (kranium)
yang dibungkus oleh selaput otak yang kuat. Otak terdiri dari otak besar (cerebrum), otak kecil
(cerebellum), dan batang otak (Trunkus serebri). Besar otak orang dewasa kira-kira 1300 gram,
7/8 bagian berat terdiri dari otak besar.

Gambar 4. Bagian Utama dari


Otak

a. Otak besar (cerebrum)


Otak besar adalah bagian terbesar dari otak dan terdiri dari dua hemispherium cerebri
yang dihubungkan oleh massa substansia alba yang disebut corpus callosum. Setiap
hemisfer terbentang dari os frontale sampai ke os occipitale, diatas fossa cranii
anterior, media, dan posterior, diatas tentorium cerebelli. Hemisfer dipisahkan oleh
sebuah celah dalam, yaitu fossa longitudinalis cerebri, tempat menonjolnya falx
cerebri.
Otak mempunyai 2 permukaan, permukaan atas dan permukaan bawah. Kedua
lapisan ini dilapisi oleh lapisan kelabu (substansia grisea) yaitu pada bagian korteks
serebral dan substansia alba yang terdapat pada bagian dalam yang mengandung
serabut saraf. Fungsi otak besar yaitu sebagai pusat berpikir (kepandaian), kecerdasan
dan kehendak. Selain itu otak besar juga mengendalikan semua kegiatan yang
disadari seperti bergerak, mendengar, melihat, berbicara, berpikir dan lain sebagainya.

b. Otak kecil (cerebellum)


Otak kecil terletak dibawah otak besar. Terdiri dari dua belahan yang dihubungkan
oleh jembatan varol, yang menyampaikan rangsangan pada kedua belahan dan

menyampaikan rangsangan dari bagian lain. Fungsi otak kecil adalah untuk mengatur
keseimbangan tubuh serta mengkoordinasikan kerja otot ketika bergerak.
c.

Batang Otak (Trunkus serebri)


Batang otak terdiri dari :
1. Diensefalon
Bagian batang otak paling atas terdapat diantara serebellum dengan mesensefalon,
kumpulan dari sel saraf yang terdapat dibagian depan lobus temporalis terdapat
kapsula interna dengan sudut menghadap kesamping. Diensefalon ini berperan dalam
proses vasokonstriksi (memperkecil pembuluh darah), respiratorik (membantu proses
pernafasan), mengontrol kegiatan refleks, dan membantu pekerjaan jantung.
2. Mesensefalon
Atap dari mesensefalon terdiri dari empat bagian yang menonjol ke atas, dua di
sebelah atas disebut korpus kuadrigeminus superior dan dua disebelah bawah disebut
korpus kuadrigeminus inferior. Mesensefalon ini berfungsi sebagai pusat pergerakan
mata, mengangkat kelopak mata, dan memutar mata.
3. Pons varoli
Pons varoli merupakan bagian tengah batang otak dan arena itu memiliki jalur lintas
naik dan turun seperti otak tengah. Selain itu terdapat banyak serabut yang berjalan
menyilang menghubungkan kedua lobus cerebellum dan menghubungkan cerebellum
dengan korteks serebri.
4. Medula Oblongata
Medula oblongata merupakan bagian dari batang otak yang paling bawah yang
menghubungkan pons varoli dengan medulla spinalis. Medulla oblongata memiliki
fungsi yang sama dengan diensefalon.

II.1.5 Cairan Serebrospinal

Cairan serebrospinal adalah hasil sekresi plexus khoroid. Cairan ini bersifat alkali, bening
mirip plasma dengan tekanannya 60-140 mmH2O. Sirkulasi cairan serebrospinal yaitu cairan ini
disalurkan oleh plexus khoroid ke dalam ventrikel-ventrikel yang ada di dalam otak. Cairan itu
masuk ke dalam kanalis sentralis sumsum tulang belakang dan juga ke dalam ruang subaraknoid
melalui celah-celah yang terdapat pada ventrikel keempat. Setelah itu cairan ini dapat melintasi
ruangan di atas seluruh permukaan otak dan sumsum tulang belakang hingga akhirnya kembali
ke sirkulasi vena melalui granulasi araknoid pada sinus sagitalis superior. Oleh karena susunan
ini maka bagian saraf otak dan sumsum tulang belakang yang sangat halus terletak diantara dua
lapisan cairan. Dengan adanya kedua bantalan air ini maka sistem persarafan terlindungi
dengan baik. Cairan serebrospinal ini berfungsi sebagai buffer, melindungi otak dan sumsum
tulang belakang dan menghantarkan makanan ke jaringan sistem persarafan pusat.
II.1.6 Tekanan Intra Kranial (TIK)
Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat mengakibatkan peningkatan tekanan
intrakranial yang selanjutnya akan mengganggu perfusi otak dan akan memacu terjadinya
iskemia. Tekanan intrakranial normal pada saat istirahat adalah 10 mmHg. Tekanan intrakranial
yang lebih dari 20 mmHg khususnya bila berkepanjangan dan sulit diturunkan akan
menyebabkan hasil yang buruk kepada penderita
Doktrin Monro-Kellie
Doktrin Monro-Kellie adalah suatu konsep sederhana namun penting sekali dapat
menerangkan pengertian dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa volume total
intrakranial harus selalu konstan, karena rongga kranium pada dasarnya merupakan rongga yang
tidak mungkin membesar. Oleh karena itu segera setelah cedera kepala, suatu massa perdarahan
dapat membesar sementara tekanan intrakranial masih tetap normal. Namun bila batas
penggeseran cairan serebrospinal dan darah intravaskuler terlampaui maka tekanan intrakranial
akan mendadak meningkat dengan cepat.
Doktrin Monro-Kellie(kompensasi intrakranial terhadap massa yang berkembang):
Votak + VCSS + Vdarah + Vmassa = Konstan

Dalam Doktrin Monro-Kellie, dijelaskan bahwa volume isi intrakranial akan selalu
konstan. Bila terdapat penambahan massa seperti adanya hematoma akan menyebabkan
tergesernya CSS dan darah vena keluar dari ruang intrakranial dengan volume yang sama, TIK
akan tetap normal. Namun bila mekanisme kompensasi ini terlampaui maka kenaikan jumlah
massa yang sedikit saja akan menyebabkan kenaikan TIK yang tajam.
Kurva Volume-Tekanan

menjelaskan bahwa isi intrakranial dapat mengkompenasi

sejumlah massa baru intrakranial, seperti perdarahan subdural atau epidural sampai pada titik
tertentu. Bila volume masa perdarahan ini telah mencapai 100-150 ml, akan terjadi peningkatan
tekanan intrakranial yang sangat cepat dan akan menyebabkan penghentian aliran otak.

II.2

Trauma Kepala

II.2.1 Definisi
Trauma kepala atau trauma kepala adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa
struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan fungsional
jaringan otak. Menurut Brain Injury Association of America, trauma kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh
serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang
mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
II.2.2 Patofisiologi
Lesi pada kepala dapat terjadi pada jaringan luar dan dalam rongga kepala. Lesi jaringan
luar terjadi pada kulit kepala dan lesi bagian dalam terjadi pada tengkorak, pembuluh darah
tengkorak maupun otak itu sendiri. Terjadinya benturan pada kepala dapat terjadi pada tiga jenis
keadaan yaitu, kepala diam dibentur benda yang bergerak, kepala yang bergerak membentur
benda yang diam, dan kepala yang tidak dapat bergerak karena bersandar pada benda yang lain
dibentur oleh benda yang bergerak.
Dalam mekanisme trauma kepala dapat terjadi peristiwa contre coup dan coup. Contre
coup dan coup pada trauma kepala dapat terjadi kapan saja pada orang orang yang mengalami
percepatan pergerakan kepala. Trauma kepala pada coup disebabkan hantaman otak bagian
10

dalam pada sisi yang terkena sedangkan contre coup pada sisi yang berlawanan dengan daerah
benturan.
Berdasarkan patofisiologinya trauma kepala dibagi menjadi trauma kepala primer dan
trauma kepala sekunder. Trauma kepala primer merupakan cedera yang terjadi saat atau
bersamaan dengan kejadian cedera, dan ini merupakan suatu fenomena mekanik. Cedera ini
umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali membuat
fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sakit dapat menjalani proses penyembuhan yang optimal
Trauma kepala sekunder merupakan proses lanjutan dari trauma kepala primer dan lebih
merupakan fenomena metabolik. Pada penderita trauma kepala berat, pencegahan trauma kepala
sekunder dapat mempengaruhi tingkat kesembuhan penderita. Penyebab trauma kepala sekunder
antara lain penyebab sistemik (hipotensi, hipoksemia, hipo atau hiperkapnea, hipertermia, dan
hiponatremia) dan penyebab intrakranial (tekanan intrakranial meningkat, hematoma, edema,
pergeseran otak (brain shift), vasospasme, kejang, dan infeksi.
II.2.3 Tingkat Keparahan Trauma kepala dengan Skala Koma Glasgow (SKG)
Skala koma Glasgow adalah nilai (skor) yang diberikan pada pasien trauma kepala,
gangguan kesadaran dinilai secara kuantitatif pada setiap tingkat kesadaran. Bagian-bagian yang
dinilai adalah:
1. Proses membuka mata (Eye Opening)
2. Reaksi gerak motorik ekstrimitas (Best Motor Response)
3. Reaksi bicara (Best Verbal Response)
Pemeriksaan tingkat keparahan trauma kepala disimpulkan dalam suatu tabel Skala Koma
Glasgow (SKG).
Tabel 1. Skala Koma Glasgow
Eye Opening(E)
Mata terbuka dengan spontan

Mata membuka setelah diperintah

11

Mata membuka setelah diberi rangsang nyeri

Tidak membuka mata

Best Motor Response (M)


Menurut perintah

Dapat melokalisir nyeri

Menghindari nyeri

Fleksi (dekortikasi)

Ekstensi (decerebrasi)

Tidak ada gerakan

Best Verbal Response (V)


Menjawab pertanyaan dengan benar

Salah menjawab pertanyaan

Mengeluarkan kata-kata yang tidak sesuai

Mengeluarkan suara yang tidak ada artinya

Tidak ada jawaban

Berdasarkan Skala Koma Glasgow, trauma kepala dibagi atas:


1. Trauma kepala Ringan
Trauma kepala ringan adalah trauma kepala dengan SKG 14-15 dimana tidak
dijumpai keadaan hilangnya kesadaran (< 30 menit), pasien dapat mengeluh
pusing dan nyeri kepala, pasien dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematoma
kulit kepala serta tidak adanya kriteria cedera sedang-berat.
2. Trauma kepala Sedang
Trauma kepala sedang adalah trauma kepala dengan SKG 9-13. Pasien mungkin
bingung atau somnolen namun tetap mampu untuk mengikuti perintah sederhana.
Dapat dijumpai konkusi, amnesia pasca-trauma, muntah, kejang serta tanda
kemungkinan fraktur kranium (Battle sign, mata rabun, otorea, atau rinorea cairan
serebrospinal).
12

3.

Trauma kepala Berat


Trauma kepala berat adalah trauma kepala dengan SKG 3-8 dimana terdapat
penurunan derajat kesadaran secara progresif (koma). Pada keadaan ini dapat
dijumpai tanda neurologis fokal, serta trauma kepala penetrasi atau teraba fraktur
depresi kranium. Hampir 100% trauma kepala berat dan 66% trauma kepala
sedang menyebabkan cacat yang permanen. Pada trauma kepala berat terjadinya
cedera otak primer seringkali disertai cedera otak sekunder apabila proses
patofisiologi sekunder yang menyertai tidak segera dicegah dan dihentikan.

II.2.4 Fraktur Tulang Kepala


Fraktur tulang kepala atau tengkorak dapat terjadi pada atap maupun dasar tengkorak,
dapat berbentuk garis atau bintang, dan dapat pula terbuka ataupun tertutup. Adanya tanda-tanda
klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan kita untuk melakukan
pemeriksaan lebih rinci. Tanda-tanda tersebut antara lain ekimosis periorbital (raccoon eyes
sign), ekimosis retroaurikular (battles sign), kebocoran cairan serebrospinal dari hidung
(rhinorrhea) atau dari telinga (otorrhea) dan gangguan fungsi saraf kranialis VII (fasialis) dan
VII (gangguan pendengaran) yang mungkin timbul segera atau beberapa hari paska trauma
kepala.
II.2.5 Perdarahan Intrakranial
II.2.5.1 Perdarahan Subgaleal
Subgaleal hematoma adalah perdarahan antara periosteum dan galea aponeurosis.
Sebagian besar terjadi karena tindakan vaccum pada saat persalinan (ventouse assisted delivery),
dimana terjadi ruptur pada vena emissary (penghubung antara dural sinus dan vena scalp) yang
menyebabkan akumulasi darah dibawah aponeurosis dan di permukaan periosteum. Subgaleal
hematoma juga sering terjadi pada trauma kepala, perdarahan intrakranial, atau fraktur
tengkorak. Hal-hal tersebut tidak berhubungan secara signifikan dengan tingkat keparahan
perdarahan subgaleal.
II.2.5.2 Perdarahan Epidural
13

Perdarahan epidural adalah perdarahan antara tulang kranial dan duramater, yang
biasanya disebabkan oleh robeknya arteri meningea media. Kelainan ini pada fase awal tidak
menunjukkan gejala atau tanda. Baru setetelah hematoma bertambah besar akan terlihat tanda
pendesakan dan peningkatan tekanan intrakranial. Penderita akan mengalami mual dan muntah
diikuti dengan penurunan kesadaran. Gejala perdarahan epidural yang klasik atau temporal
berupa kesadaran yang semakin menurun (biasanya somnolen), disertai oleh anisokoria pada
mata ke sisi dan mungkin terjadi hemiparese kontralateral.
II.2.5.3 Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural adalah perdarahan yang terletak diantara duramater dan arakhnoid.
Perdarahan subdural merupakan perdarahan intrakranial yang paling sering terjadi. Karakteristik
perdarahan subdural biasanya dibagi berdasarkan ukuran, lokasi dan lama kejadian.
a.

Perdarahan subdural akut


Secara umum perdarahan subdural akut terjadi dibawah 72 jam dan biasanya

pasien dalam keadaan koma. Gejala klinis perdarahan subdural akut dapat berupa
pusing, mual, bingung, penurunan kesadaran, sulit berbicara, henti napas dan hilangnya
kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.
b.

Perdarahan subdural subakut


Perdarahan subdural subakut, biasanya terjadi dari hari ketiga hingga minggu

ketiga setelah cedera.


c.

Perdarahan subdural kronis


Perdarahan subdural kronis biasanya terjadi setelah 21 hari atau lebih. 25 hingga

50 persen dari pasien yang menderita perdarahan subdural kronis tidak memiliki riwayat
trauma kepala, biasanya trauma kepala yang terjadi adalah trauma kepala ringan. Gejala
klinis dari perdarahan ini dapat berupa penurunan kesadaran, pusing, kesulitan berjalan
atau keseimbangan, disfungsi kognitif atau hilang ingatan, perubahan kepribadian,
defisit motorik, kejang, dan inkontinensia.
II.2.5.4 Perdarahan Subarachnoid

14

Perdarahan subarachnoid adalah ekstravasasi darah ke dalam rongga subaraknoid yang


terdapat di antara lapisan piamater dan membran araknoid. Etiologi yang paling sering dari
perdarahan subaraknoid non traumatik adalah

pecahnya aneurisma intrakranial (berry

aneurism). Gejala klinisnya biasanya tampak sepuluh hingga dua puluh hari setelah terjadinya
ruptur. Gejala yang paling sering berupa sakit kepala, nyeri daerah orbital, diplopia, gangguan
penglihatan, gangguan sensorik dan motorik, kejang, ptosis, disfasia.
II.2.5.5 Perdarahan Intraventrikular
Perdarahan intraventrikular merupakan penumpukan darah pada ventrikel otak.
Perdarahan intraventrikular selalu timbul apabila terjadi perdarahan intraserebral.
II.2.5.6 Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intraserebral merupakan penumpukan darah pada jaringan otak yang semakin
lama semakin banyak dan menimbulkan tekanan pada jaringan otak sekitar. Hal ini
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial yang dapat menyebabkan konfusi dan letargi.
Gejala klinis biasanya timbul dengan cepat bergantung pada lokasi perdarahan. Gejala yang
paling sering adalah sakit kepala, nausea, muntah, letargi atau konfusi, kelemahan mendadak
atau kebas pada wajah, tangan atau kaki yang biasanya pada satu sisi, hilangnya kesadaran,
hilang penglihatan sementara, dan kejang.

15

BAB III
INTERPRETASI RADIOLOGIS PADA TRAUMA KEPALA

III.1 Indikasi Pemeriksaan Radiologis


Tidak semua pasien dengan cedera kepala membutuhkan pemeriksaan neuroradiologis.
Penelitian menunjukkan bahwa kurang dari 10% pasien dengan cedera kepala ringan ternyata
memiliki hasil yang positif pada pemeriksaan CT scan, dimana kurang dari 1% yang
membutuhkan intervensi. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada sejumlah kecil pasien yang
diuntungkan dengan pencitraan radiologis.
Pasien harus diperiksa secara klinis dan diagnosis dibuat berdasarkan apakah pada
pemeriksaan fisik dan riwayat perjalanan penyakit menunjukkan cedera kepala sedang hingga
berat atau cedera kepala ringan. CT, MRI, atau radiografi tengkorak tidak diperlukan untuk
pasien berisiko rendah. Risiko rendah didefinisikan sebagai mereka yang tidak menunjukkan
gejala atau hanya pusing, sakit kepala ringan, kulit kepala lecet, atau hematoma, usia lebih dari 2
tahun, dan tidak memiliki temuan yang berisiko sedang ataupun tinggi.
Pasien dengan resiko sedang adalah mereka yang memiliki salah satu kondisi berikut:
riwayat penurunan tingkat kesadaran beberapa waktu ataupun setelah terjadi cedera kepala, sakit
16

kepala berat atau progresif, kejang pasca-trauma, muntah terus menerus, multipel trauma, cedera
wajah yang serius, tanda-tanda dari fraktur tengkorak basilar (hemotympanum, raccoon eyes,
rinorrea atau otorrea), dugaan kekerasan pada anak, gangguan perdarahan, atau usia lebih muda
dari 2 tahun.
Pasien berisiko tinggi adalah mereka dengan salah satu kondisi berikut: temuan
neurologis fokal, pasien dengan derajat kesadaran berdasarkan GCS dengan skor 8 atau kurang,
dipastikannya terdapat penetrasi tengkorak, gangguan metabolik, keadaan postictal, atau
penurunan atau depresi tingkat kesadaran (tidak berhubungan dengan narkoba, alkohol , atau
obat-obatan depresan pada system saraf pusat lainnya). Jika terdapat cedera sedang atau berat
dan pasien dengan kondisi neurologis yang tidak stabil, CT scan harus dilakukan untuk
menyingkirkan adanya hematoma. Jika pasien dengan kondisi neurologis yang stabil, MR scan
lebih digunakan untuk mencari cedera dengan penekanan parenkim. Dalam cedera kepala ringan
(tanpa kehilangan kesadaran atau defisit neurologis), pasien dapat hanya diobservasi. Jika sakit
kepala terus-menerus terjadi setelah trauma, CT scan harus dilakukan.

III.2 Foto Polos Kepala


Foto polos kepala hanya menunjukkan ada tidaknya patah tulang, dan tidak mampu
menghasilkan visibilitas yang baik pada otak atau adanya darah untuk menunjukkan cedera
intrakranial. Adanya patah tulang tengkorak tanpa kelainan neurologis tidak begitu signifikan.
Patah tulang tengkorak yang ditentukan berdasarkan pemeriksaan foto polos kepala pada pasien
dengan cedera kepala ringan telah dilaporkan dengan angka sangat rendah, mulai dari 1,9%
hingga 4,3%. Patah tulang tengkorak tidak selalu berarti cedera intrakranial yang signifikan,
meskipun tidak adanya patah tulang tengkorak, pasien dapat memiliki kelainan patologis yang
signifikan pada intrakranialnya.
Foto polos kepala sangat membantu pada pasien yang dicurigai tidak cedera akibat
kecelakaan, patah tulang tengkorak depresi, cedera kepala akibat penetrasi oleh benda asing, atau
trauma kepala pada anak-anak kurang dari 2 tahun,walaupun tanpa gejala neurologis.

III.2.1 Fraktur pada Tulang Tengkorak


17

Pemeriksaan foto polos kepala untuk melihat pergeseran (displacement) fraktur tulang
tengkorak, tetapi tidak dapat menentukan ada tidaknya perdarahan intrakranial. Fraktur pada
tengkorak dapat berupa fraktur impresi (depressed fracture), fraktur linear, dan fraktur diastasis
(traumatic suture separation). Fraktur impresi biasanya disertai kerusakan jaringan otak dan
pada foto terlihat sebagai garis atau dua garis sejajar dengan densitas tinggi pada tulang
tengkorak (Gambar 9.a). Fraktur linear harus dibedakan dari gambaran pembuluh darah normal
atau dengan garis sutura interna, yang tidak bergerigi seperti sutura eksterna. Garis sutura interna
bersifat superimposisi pada sutura yang bergerigi, sedangkan fraktur akan menyimpang dari itu
di beberapa titik. Selain itu, pada foto polos kepala, fraktur ini terlihat sebagai garis radiolusen,
paling sering di daerah parietal (Gambar 9.a). Garis fraktur biasanya lebih radiolusen daripada
pembuluh darah dan arahnya tidak teratur. Fraktur diastasis lebih sering pada anak-anak dan
terkihat sebagai pelebaran sutura (Gambar 9.a).

Gambar 9.a Gambaran Fraktur Impresi (kiri), Fraktur Linear (tengah),


Fraktur Diastasis (kanan) pada Foto Polos Kepala

dan

III.3 CT scan (Computerized Tomography, CT) Kepala


III.3.1 Indikasi CT scan pada Trauma Kepala

18

Dengan CT scanisi kepala secara anatomis akan tampak dengan jelas. Pada trauma
kepala, fraktur, perdarahan dan edema akan tampak dengan jelas baik bentuk maupun ukurannya.
Indikasi pemeriksaan CT scanpada kasus trauma kepala adalah seperti berikut:
1. Bila secara klinis didapatkan klasifikasi trauma kepala sedang dan berat.
2. Trauma kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak.
3. Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii.
4. Adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan kesadaran.
5. Sakit kepala yang hebat.
6. Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi jaringan
otak.
7. Kesulitan dalam mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral.
Melalui pemeriksaan ini dapat dilihat seluruh struktur anatomis kepala, dan merupakan
alat yang paling baik untuk mengetahui, menentukan lokasi dan ukuran dari perdarahan
intrakranial.
III.3.2 Interpretasi Gambaran CT Scan pada Trauma Kepala
III.3.2.1 Fraktur Tulang Kepala
Fraktur pada dasar tengkorak seringkali sukar dilihat. Fraktur dasar tengkorak (basis
kranii) biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan dengan teknik Jendela Tulang (bone
window) untuk mengidentifikasi garis frakturnya. Fraktur dasar tengkorak yang melintang
kanalis karotikus dapat mencederai arteri karotis (diseksi, pseuoaneurisma ataupun trombosis)
perlu dipertimbangkan untuk dilakukan pemeriksaan angiography cerebral.

Gambar 10. Gambaran Fraktur Basis Kranii

pada

CT Scan Kepala
19

Pada Gambar 10, memperlihatkan gambaran fraktur tulang temporal petrous kiri, yang
melibatkan telinga tengah (panah kecil). Dapat dilihat juga adanya gambaran sedikit udara pada
fossa posterior dari tulang tengkorak (panah terbuka).
III.3.2.2 Perdarahan Epidural
Hematoma epidural didefinisikan sebagai perdarahan ke dalam ruang antara duramater,
yang tidak dapat dipisahkan dari periosteumtengkorak dan tulang yang berdekatan
Hematoma epidural biasanya dapat dibedakan dari hematoma subdural dengan bentuk
bikonveks dibandingkan dengan crescent-shape dari hematoma subdural. Selain itu, tidak seperti
hematoma subdural, hematoma epidural biasanya tidak melewati sutura. Hematoma epidural
sangat sulit dibedakan dengan hematoma subdural jika ukurannya kecil. Dengan bentuk
bikonveks yang khas,elips, gambaran CT scan padahematoma epidural tergantung pada sumber
perdarahan, waktu berlalu sejak cedera, dan tingkat keparahan perdarahan. Karena dibutuhkan
diagnosis yang akurat dan perawatan yang cepat, diperlukan pemeriksaan CT scan dengan cepat
dan intervensi bedah saraf
Pada Gambar 11, pasien mengalami kecelakaan kendaraan bermotor, terlihat peningkatan
kepadatan (hiperdens) di daerah lenticular pada CT Scan aksial non kontras di wilayah parietalis
kanan. Ini biasanya terjadi akibat pecahnya arteri meningeal media. Sedikit perdarahan juga
terlihat di lobus frontal kiri (perdarahan intraserebral).

Gambar 11. Gambaran Perdarahan Epidural pada


CT Scan Kepala Non-kontras

20

III.3.2.3 Perdarahan Subdural


Sebelum CT scan dan teknologi pencitraan magnetik (MRI), hematoma subdural
didiagnosis hanya berdasarkan efek massa, yang digambarkan sebagai perpindahan dari
pembuluh darah pada angiogram atau sebagai kalsifikasi kelenjar hipofisis pada foto polos
kepala. Munculnya CT scan dan MRI telah menjadi pilihan diagnosik rutin bahkan untuk
perdarahan kecil.
Temuan CT scan dalam hematoma subdural tergantung pada lamanya perdarahan
(Gambar 11).
Pada fase akut, hematoma subdural muncul berbentuk bulan sabit, ketika cukup besar,
hematoma subdural menyebabkan pergeseran garis tengah. Pergeseran dari gray matter-white
matter junction merupakan tanda penting yang menunjukkan adanya lesi.

Gambar 13. Gambaran


Perdarahan Subdural pada
CT Scan
Jika ditemukan hematoma subdural pada CT scan, penting
untuk memeriksa adanya cedera terkait lainnya, seperti patah tulang tengkorak (Gambar 14),
kontusio intra parenkimal, dan darah pada subaraknoid (Gambar 14). Adanya cedera parenkim
pada pasien dengan hematoma subdural adalah faktor yang paling penting dalam memprediksi
hasil klinis mereka.

21

Gambar 14. Gambaran Perdarahan Subdural dengan Fraktur Tengkorak (kiri)


dan Perdarahan Subdural disertai Perdarahan Subarakhnoid (kanan)

III.3.2.4 Perdarahan Subaraknoid


Pada CT scan, perdarahan subaraknoid (SAH) terlihat mengisi ruangan subaraknoid yang
biasanya terlihat gelap dan terisi CSF di sekitar otak. Rongga subaraknoid yang biasanya hitam
mungkin tampak putih di perdarahan akut. Temuan ini paling jelas terlihat dalam rongga
subaraknoid yang besar.

Gambar
Perdarahan

15.

Gambaran
Subarakhnoid

pada CT Scan Kepala

Ketika CT scan dilakukan beberapa hari atau minggu setelah perdarahan awal, temuan
akan tampak lebih halus. Gambaran putih darah dan bekuan cenderung menurun, dan tampak
sebagai abu-abu. Sebagai tambahan dalam mendeteksi SAH, CT scan berguna untuk melokalisir
sumber perdarahan.
III.3.2.5 Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intraserebral biasanya disebabkan oleh trauma terhadap pembuluh darah,
timbul hematoma intraparenkim dalam waktu -6 jam setelah terjadinya trauma. Hematoma ini
bisa timbul pada area kontralateral trauma. Pada CT scan sesudah beberapa jam akan tampak
daerah hematoma (hiperdens), dengan tepi yang tidak rata.
22

Gambar 17. Gambaran Perdarahan Intraserebral pada CT Scan Kepala


III.3.2.6 Perdarahan Intraventrikular
Perdarahan intraventrikular merupakan penumpukan darah pada ventrikel otak.
Perdarahan intraventrikular selalu timbul apabila terjadi perdarahan intraserebral (Gambar
18).Pada perdarahan intraventrikular akan terlihat peningkatan densitas dari gambaran CT scan
kepala. Jika terlambat ditangani, perdarahan intraventrikular akan menyebabkan terjadinya
ventrikulomegali pada sistem ventrikel (hidrosefalus) dari gambaran CT scan.

Gambar 18. Gambaran Perdarahan Intraserebral disertai


Perdarahan Intraventrikular pada CT Scan Kepala

23

BAB IV
KESIMPULAN

Trauma kepala adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa struktur kepala sehingga
dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan fungsional jaringan otak.
Berdasarkan Skala Koma Glasgow, trauma kepala dibagi atas trauma kepala ringan (SKG 1415), sedang (SKG 9-13) dan berat (SKG 3-8). Trauma kepala dapat menimbulkan perdarahan
intrakranial berupa fraktur yulang kepala, perdarahan epidural, perdarahan subdural, perdarahan
subarakhnoid, perdarahan intraventrikular, dan perdarahan intraserebral. Pemeriksaan foto polos
kepala digunakan untuk melihat pergeseran (displacement) fraktur tulang tengkorak, tetapi tidak
dapat menentukan ada tidaknya perdarahan intrakranial.
Pemeriksaan tomografi komputer(CT Scan) kepala sangat berguna pada trauma kepala
karena isi kepala secara anatomis akan tampak dengan jelas. Pada trauma kepala, fraktur,
perdarahan dan edema akan tampak dengan jelas baik bentuk maupun ukurannya.

24

DAFTAR PUSTAKA

1. American College of Surgeons. Advance Trauma Life Support For Doctor. 7th ed. 2004.
USA: First Impression.
2. Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I. Radiologi Diagnostik. Edisi 7. 2001. Balai Penerbit
FKUI
3. Snell RS. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi ke -6. 2006.Jakarta: EGC.
4.

Irwan O. Trauma Kepala. Fakultas Kedokteran Universitas Riau. 2006.

5. Mansjoer A., Suprohaita, Wardhani WI., SetiowulanW. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi
Ketiga. 2000. Jakarta: Media Aesculapius.
6. Malueka R. G. Radiologi Diagnostik.Edisi 2. 2007. Yogyakarta: Pustaka Cendekia Press

Yogyakarta

25

Anda mungkin juga menyukai