05karakteristik Swastika PDF
05karakteristik Swastika PDF
Pendahuluan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Indonesia telah terjadi
peningkatan laju konversi lahan pertanian ke nonpertanian. Laju konversi
lahan sawah secara nasional pada periode 1981-1999 sekitar 90 ribu
ha/th, maka hanya dalam kurun waktu singkat, yaitu periode 1999-2002
laju konversi lahan sawah meningkat drastis menjadi 188 ribu ha/th
(Badan Litbang Pertanian 2006). Isa (2006) menambahkan bahwa laju
konversi lahan sawah di Pulau Jawa jauh lebih besar dibandingkan
dengan di luar Jawa. Dengan kontribusi pemenuhan kebutuhan beras
nasional sebagian besar berasal dari Pulau Jawa, maka kondisi ini akan
berdampak buruk terhadap penyediaan pangan penduduk Indonesia yang
laju pertumbuhan penduduknya masih cukup tinggi yaitu sekitar 1,49%
pada periode 2000-2010 jika tidak ditangani secara baik. Selain itu,
kebutuhan lahan yang semakin meningkat, langkanya lahan pertanian
yang subur dan potensial, serta adanya persaingan penggunaan lahan
antara sektor pertanian dan nonpertanian, memerlukan ketersediaan
lahan baru untuk menjaga keamanan pangan nasional (Djaenudin et al.
2003).
Lahan sulfat masam, dengan arealnya yang cukup luas (sekitar 3,5
juta ha, termasuk lahan pasang surut), dapat diandalkan untuk
dikembangkan sebagai areal pertanian yang produktif asal dikelola
dengan baik sesuai dengan karakteristik lahannya (Mulyani dan Agus
2006). Noor (1996) mengemukakan bahwa lahan sulfat masam biasanya
berasosiasi dengan lahan gambut, sehingga luasnya terus mengalami
peningkatan karena terjadinya penipisan lapisan gambut yang berada di
lapisan atas sehingga mendekatkan lapisan pirit ke permukaan.
Pengembangan lahan sulfat masam untuk lahan pertanian
menghadapi banyak kendala, antara lain kemasaman tanah yang tinggi
dan ketersediaan hara P yang rendah karena difiksasi oleh Al dan Fe.
Dent (1986) menambahkan bahwa rendahnya produktivitas lahan sulfat
masam selain disebabkan oleh tingginya kemasaman tanah yang
menyebabkan meningkatnya kelarutan unsur beracun seperti Al, Fe, dan
Mn, juga karena rendahnya kejenuhan basa. Kemasaman tanah yang
tinggi memicu larutnya unsur beracun dan meningkatnya kahat hara
sehingga tanah menjadi tidak produktif.
96
Karakteristik dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan
Tabel 1.
Bahan
induk
Aluvium
97
Sub
landform
Aluvial
(lakustrin)
Dataran
aluvial
Dataran
aluviokoluvial
Jalur
aliran
sungai
Fluviomarin
Marin
Aluvium
dan
Aluvial
Organik
Marin
Rawa
belakang
delta atau
dataran
Estuarin
Dataran
pasang
surut
Pesisir
pantai
Basin
aluvial
(lakustrin)
Dataran
pasang
surut
Tanah 1
Tanah 2
Total (ha)
Endoaquepts
Dystrudepts
89.189
Endoaquepts
Endoaquents
Endoaquents
82.993
873.681
Sulfaquepts
Endoaquepts
Sulfaquents
Endoaquents
400.238
409.306
Endoaquepts
Dystrudepts
4.608.883
Endoaquepts
Udifluvents
Sulfaquents
3.884.093
653.445
Endoaquepts
Sulfaquents
2.224.988
Endoaquepts
Endoaquents
1.308.263
Hydraquents
Udipsamments
Halaquepts
Sulfaquents
Endoaquents
302.959
3.200.213
1.482.386
Endoaquepts
Haplohemists
835.590
Endoaquents
Haplohemists
2.513.207
Total
27.845.233
dKarakteristik dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan
98
yang memiliki endapan laut (marine). Di lapangan banyak cara dan ciri
dapat digunakan untuk mengindentifikasi adanya lapisan pirit. Adanya
hutan mangrove, konsistensi lumpur/tak matang atau bercak jarosite
berwarna kekuningan jerami pada tanah memastikan adanya lapisan pirit
dalam tanah. Selanjutnya sifat atau ciri lain yang dapat membantu dalam
mengidentifikasi lapisan pirit adalah: a) adanya warna reduksi kelabu atau
kelabu kehijauan, baik dengan maupun tanpa bercak hitam; b) adanya
bahan organik, terutama berupa akar serabut, atau berseling dengan
lapisan mineral berkonsistensi setengah matang; dan c) adanya bau H2S
pada tanah yang terganggu atau diolah.
Pirit (FeS2) pada kondisi anaerob atau tergenang adalah senyawa
yang stabil dan tidak berbahaya, akan tetapi menjadi berbahaya jika
kondisi tanah berubah menjadi aerob. Senyawa pirit dalam kondisi aerob
akan teroksidasi dan menghasilkan senyawa beracun serta meningkatkan
kemasaman tanah, yang berbahaya bagi pertumbuhan tanaman. Ada dua
keadaan yang menyebabkan pirit berada dalam kondisi aerob yaitu
apabila tanah pirit diangkat ke permukaan tanah (misalnya pada waktu
mengolah tanah, membuat saluran, atau membuat surjan) dan jika
permukaan air tanah turun (misalnya pada musim kemarau). Dent (1986)
dan Langenhoff (1986) melaporkan bahwa hasil oksidasi pirit, antara lain
asam sulfat dan hidroksida besi yang menyebabkan reaksi tanah sangat
masam. Senyawa yang terbentuk secara alamiah dapat mengalami reaksi
penetralan dengan terbentuknya senyawa jarosit yang berupa bercakbercak karatan berwarna kuning jerami. Lebih jauh Dent (1986)
menambahkan bahwa reaksi oksidasi pirit berlangsung beberapa tahap,
baik berupa reaksi kimia maupun biologi. Pada reaksi tahap awal, oksigen
terlarut secara lambat akan bereaksi dengan pirit menghasilkan 4 molekul
H+ per molekul pirit yang dioksidasi, dengan reaksi sebagai berikut:
FeS2 + 15/4O2 + 7/2H2O Fe(OH)3 + 2SO42- + 4H+
Apabila pada reaksi tahap awal mengakibatkan pH tanah turun
hingga di bawah 4, maka feri (Fe3+) akan larut dan mengoksidasi pirit
dengan cepat. Reaksi oksidasi pirit oleh Fe3+ secara lengkap akan
menghasilkan 16 molekul H+ digambarkan dengan reaksi sebagai berikut:
FeS2 + 14Fe3+ + 8H2O
Pada nilai pH kurang dari 3,5 reaksi oksidasi kimia ini berjalan
sangat lambat dengan waktu paruh 1.000 hari. Kecepatan oksidasi pirit
oleh Fe3+ sangat dipengaruhi oleh pH, karena Fe3+ hanya larut pada nilai
pH di bawah 4 dan Thiobacillus ferrooxidans tidak tumbuh pada pH yang
tinggi. Besi oksida dan pirit di dalam tanah mungkin secara fisik berada
pada tempat yang berdekatan, namun ada tidaknya reaksi di antara
mereka sangat dipengaruhi oleh kelarutan Fe3+.
Karakteristik dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan
99
dKarakteristik dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan
100
Tipologi lahan
Lahan
potensial
(Sulfat
masam
Potensial)
Lahan sulfat
masam
potensial
Sulfat masam
aktual
Simbol
Kriteria
SMP
SMA
Kode
Tipologi lahan
SMP-1
SMP-2
SMP-3/A
SMA-1*
SMA-2*
SMA-3
HSM
Pasang surut air asin/
payau
SMP-1/S
SMP-2/S
SMP3/A/S
Kedalaman
pirit (cm)
<50
50 100
>100
<100
<100
>100
<501)
<50
50-100
>100
SMA-1 = belum memenuhi ciri horizon sulfurik, pH 3,5 dan sering tampak bercak berpirit;
SMA-2 = menunjukkan adanya ciri horizon sulfuric 1) Diukur mulai dari permukaan tanah
mineral
Sumber: Widjaja-Adhi et al. (2004)
Karakteristik dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan
101
dKarakteristik dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan
102
Karakteristik dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan
103
dKarakteristik dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan
104
Keracunan aluminium
Keracunan aluminium berhubungan langsung dengan pH tanah yang
biasanya terjadi pada pH kurang dari 5. Terjadinya keracunan aluminium
tergantung pada berbagai faktor diantaranya konsentrasi Al, pH tanah,
jenis, dan umur tanaman, serta kadar P dalam tanah. Untuk tanaman
padi, Al meracuni tanaman padi di persemaian pada konsentrasi 0,5-2
mg/l dalam kultur air. Pada tanaman padi yang berumur 3 4 minggu
setelah tanam, gejala keracunan muncul jika konsentrasi Al mencapai 25
mg/l. Gejala keracunan Al yang umum dijumpai di lapangan antara lain
berupa perakaran padi yang kurang berkembang, terjadi perubahan
warna antara tulang daun, dan menjadi kuning oranye pada ujung dan
tepi daun serta diikuti oleh bercak coklat, terjadinya perubahan warna
daun menjadi oranye terutama pada persemaian.
Keracunan besi
Dalam kondisi pH tanah rendah yang dibarengi dengan rendahnya tingkat
kesuburan tanah, terutama rendahnya kandungan P dan K tanah tersedia,
tanaman padi sudah akan mengalami gejala keracunan jika konsentrasi
besi mencapai 50 mg/l, tetapi pada tanah yang tingkat kesuburannya
baik, tanaman masih toleran terhadap keracunan besi walaupun
konsentrasinya lebih dari 200 mg/l. Gejala yang muncul pada tanaman
padi yang mengalami keracunan besi antara lain adanya bercak kecil
berwarna coklat (bercak karatan) dimulai dari ujung daun, pertumbuhan
daun dan anakan tertekan, dan sistem perakarannya kasar, jarang, dan
berwarna coklat gelap.
Keracunan hidrogensulfida
Keracunan H2S dapat terjadi pada tanah sulfat masam yang banyak
mengandung bahan organik, sebagai hasil dari reduksi sulfat dalam tanah
yang tergenang. Tanaman yang keracunan H2S sangat mudah terkena
infeksi.
Defisiensi fosfat
Tingginya kelarutan Al dan Fe dalam larutan tanah dapat menyebabkan
rendahnya ketersediaan P pada tanah sulfat masam. Hal ini terjadi karena
P membentuk komplek dengan Al atau Fe yang mengendap sehingga
tidak tersedia bagi tanaman. Defisiensi P merupakan hambatan yang
Karakteristik dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan
105
dKarakteristik dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan
106
<15 untuk lahan sulfat masam ditata sebagai sawah tadah hujan atau
dibentuk surjan secara bertahap. Sedangkan lahan dengan tipe luapan D
adalah lahan yang tidak terluapi oleh pasang besar maupun kecil dengan
kedalaman muka air tanah > 50 cm (Tabel 4).
Tabel 4. Penataan dan pola pemanfaatan lahan yang dianjurkan pada
setiap tipologi lahan dan tipe luapan air di pasang surut
Kode
Tipologi lahan
C
D
SMP-1 Aluvial bersulfida
Sawah
Sawah
Sawah
dangkal
Aluvial bersulfida
SMP-2
Sawah Sawah/surjan Sawah/surjan Sawah/tegalan/kebun
Dalam
SMP-3 Aluvial bersulfida
Sawah/tegalan
Sawah/surjan
sangat dalam
/kebun
SMA-1 Aluvial bersulfat 1
Sawah/surjan Sawah/surjan Sawah/tegalan/kebun
SMA-2 Aluvial bersulfat 2
Sawah/surjan Sawah/surjan Sawah/tegalan/kebun
SMA-3 Aluvial bersulfat 3
Sawah/kebun
Tegalan/kebun
Aluvial bersulfida
HSM
Sawah
Sawah/tegalan
Tegalan/kebun
dangkal bergambut
G-1 Gambut dangkal
Sawah
Sawah/tegalan
Tegalan/kebun
G-2 Gambut sedang
Kebun/kebun
Kehutanan
G-3 Gambut dalam
Kebun/kebun
Konservasi
Karakteristik dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan
Saluran primer/jalur
Stoplog
Stoplog
107
Stoplog
Saluran keliling
Saluran
cacing
Stoplog
Saluran tersier pengeluaran
Gambar 1. Jaringan tata air sistem tabat untuk tipe luapan C dan D
Pengeloaan air
Pengelolaan air pada pengembangan lahan pasang surut perlu dilakukan
sejak penggalian saluran mulai dikerjakan untuk menghindari penurunan
muka air tanah secara drastis karena akan mengakibatkan teroksidasinya
lapisan pirit. Tata air di tingkat usaha tani pada lahan bertipe luapan A
dan B diatur dalam sistem aliran satu arah (one way flow system) agar
pencucian bahan beracun berjalan dengan baik (Gambar 2).
Dalam rancangan infrastruktur hidrologi, pengelolaan air dibedakan
dalam: 1) pengeloalan air makro, yaitu pengelolaan air pada tingkat
kawasan reklamasi; dan 2) pengelolaan air mikro, yaitu pengaturan air di
tingkat lahan petani. Pengelolaan air di tingkat tersier mengkaitkan
pengelolaan air makro dan pengelolaan air mikro.
dKarakteristik dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan
Saluran primer/jalur
Flapgate (inlet)
Flapgate (outlet)
Flapgate (inlet)
Saluran tersier pemasukan
A
Saluran kuarter
pengeluaran
Flapgate (outlet)
108
Karakteristik dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan
109
dKarakteristik dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan
110
berdasarkan metode inkubasi; 2) metode titrasi; dan 3) berdasarkan Aldd. Penetapan kebutuhan kapur dengan metode inkubasi dilakukan
dengan mencampurkan kapur dan tanah serta air dalam beberapa dosis
kapur selama beberapa waktu tertentu, biasanya dari satu minggu sampai
beberapa minggu. Lalu kebutuhan kapur ditentukan pada nilai pH
tertentu. Menurut (Mc. Lean 1982 dalam Al-Jabri 2002), kelemahan
metode ini adalah terjadinya akumulasi garam (Ca, Mg, dan K)
sehubungan dengan aktivitas mikroba sehingga takaran kapurnya lebih
tinggi.
Penetapan kebutuhan kapur berdasarkan metode titrasi dengan
NaOH 0,05 N untuk mencapai pH tertentu lebih rendah jika dibandingkan
dengan metode inkubasi dan Al-dd KCl 1 N, tetapi cara ini lambat tidak
sesuai untuk analisis rutin (Al-Jabri 2002). Walaupun kebutuhan kapur
dengan metode titrasi lebih rendah, tetapi sebagian besar dari
kemasaman tanah tidak dinetralisir oleh basa. Hal ini disebabkan reaksi
antara kation-kation asam yang dapat dititrasi berlangsung sangat
lambat.
Penetapan kebutuhan kapur berdasarkan Al-dd KCl 1,0 N banyak
dipertanyakan, sebab tingkat keracunan Al bervariasi dengan tanaman
dan tanah. Tingkat keracunan untuk suatu jenis tanaman mempunyai
variasi lebar dalam tanah yang berbeda, maka Al-dd tidak digunakan
sebagai parameter yang menentukan keracunan tetapi persentase
kejenuhannya. Hasil penelitian di rumah kaca dan lapangan, ternyata
pemberian dosis kapur berdasarkan titrasi dan inkubasi dapat
diaplikasikan pada tanah SMP bergambut di Lamunti eks. PLG Kalimantan
Tengah (Suriadikarta dan Sjamsidi 2001).
Pentingnya pemberian amelioran juga ditunjukkan oleh penelitian
yang dilakukan tahun 2009 di lahan sulfat masam potensial Simpang
Jaya, Barito Kuala, Kalimantan Selatan oleh Koesrini et al. (2011).
Pemberian amelioran kapur dapat meningkatkan pH tanah, menurunkan
kejenuhan Al serta meningkatkan hasil tanaman kedelai. Pemberian
dolomit dengan dosis 40% dari kejenuhan Al awal dapat meningkatkan
hasil kedelai 49% lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol yaitu dari 1,85
t/ha biji kering menjadi 2,75 t/ha.
Pentingnya pemberian bahan organik, ditunjukkan oleh hasil
penelitian Annisa et al. (2011) yang menyatakan bahwa pemberian bahan
organik jerami dan rumput purun 5 t/ha dapat menurunkan dan
mempertahankan kondisi reduksi tanah, sehingga meningkatkan pH tanah
dan menekan kelarutan Fe2+ tanah. Dengan pemberian bahan organik,
kondisi reduksi tanah nilai potensial redoks dapat dipertahankan dengan
kisaran nilai +200 mV, sehingga oksidasi pirit dapat ditekan.
Karakteristik dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan
111
dKarakteristik dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan
112
Lokasi
P2O5
Tabung Anen,
Kalsel
Belawang, Kalsel
Telang Muba,
Sumsel
Unitalas, Kalteng
Lamunti, Ex PLG
K2O
.. kg/ha ..
98,5
62,7
Kaptan/dolo
mit
Hasil
GKG
Varietas
IR-64
229
300
104
60
4 kaptan
2 dolomit
3,25
4,0
IR-64
IR-64
135
56
50
60
1 kaptan
2 kaptan
2,4
2,0
IR-64
Kubis
pH tanah
Kandungan Ca
Kandungan Al
Buncis
pH tanah
Kandungan Ca
perlakuan
Bo
B1
B2
Bo
B1
B2
Bo
B1
B2
Bo
B1
B2
Bo
Periode pengamatan
Awal
9 MST
3,4
4,18
5,07
5,07
0,75
7,23
8,60
10,05
4,44
0,48
0,03
0,09
3,44
0,41
4,32
4,93
4,73
7,22
Karakteristik dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan
Kandungan Al
Terong
pH tanah
Kandungan Ca
Kandungan Al
Kacang
panjang
pH tanah
Kandungan Ca
Kandungan Al
B1
B2
Bo
B1
B2
4,50
Bo
B1
B2
Bo
B1
B2
Bo
B1
B2
4,66
Bo
4,28
B1
B2
Bo
B1
B2
Bo
B1
B2
0,40
0,00
6,97
0,70
113
15,19
11,54
0,93
0,44
0,59
4,28
4,67
4,60
9,44
13,84
12,50
0,52
0,02
0,22
4,07
4,04
4,12
5,87
6,14
8,19
1,21
1,18
0,88
Pemupukan
Tanah sulfat masam umumnya ketersediaan hara P dan K rendah namun
bila bahan organiknya tinggi maka P dan K biasanya tinggi pula (Tabel 7).
dKarakteristik dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan
114
Fluvaquentic
Typic
Sulfaquept
Fluvaquentic
Sulfaquept
3,4
%
1,2
Sifat
P
Bray
ppm
2,2
3,9
5,86
31,5
17
23
71,8
41
SMP
bergambut
SMP-G
Sulfat masam
aktual
Sulfat masam
potensial
Histic
Sulfaquept
4,1
7,53
45,7
12
68
70,0
16
Typic
Sulfaquept
Typic
Sulfaquent
3,5
0,89
2,2
4,99
10,2
80
24
15,42 54,9
5
1,35
68
Sulfat masam
potensial
Sulfat masam
potensial
Sulfat masam
aktual
Typic
Sulfaquent
Typic
Sulfaquent
Histic
Sulfaquept
4,4
4,89
32,2
29
4,27
61
4,9
3,83
19,6
40
22
0,66
3,4
22,93
17,2
26
104
16,83
>
100
5
Lokasi
Tipologi
USDA Klasifikasi
K.A I
PI
PS-I Sumsel
KA I
P II
PS-14
Sumsel
Lamunti
Ex PLG
Kalteng
P. Petak
Kalteng
Parit Ampera
Sungai
Kakap Kalbar
Telang,
Muba Sumsel
Tabung Anen
Kalsel
Belawang
Kalsel
SMA
SMA
bergambut
SMA 2
pH
C-org
tanah
K
P HCl Al-dd
K2O
mg/100 g
%
4
1
88,2
%
7
KB
Karakteristik dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan
115
lebih tinggi pada tanah SMP yang baru teroksidasi dibandingkan tanah
SMA (Setyorini 2001). Oleh karena itu, diperlukan kehati-hatian dalam
mereklamasi atau melakukan pencucian/drainase di tanah SMP, apalagi
jika kandungan liat tinggi.
Lebih lanjut dinyatakan bahwa erapan P maksimum pada tanah
SMA mencapai 2,000 g/g P sedangkan pada SMP sedikit lebih rendah
yaitu sekitar 1,666 g/g P. Nilai erapan maksimum yang tinggi pada SMA
dari pada SMP diakibatkan perbedaan kadar dan jenis liat, kadar pirit, pH,
Al, dan Fe, serta bahan organik. Ditinjau dari distribusi bentuk Panorganik pada tanah sulfat masam tersebut, terlihat bahwa fraksi Fe-P
dan Al-P mendominasi jumlah P anorganik pada tanah SMP sedangkan
fraksi Al-P dan Ca-P dominan pada SMA. Faktor-faktor yang
mempengaruhi ketersediaan P pada tanah sulfat masam antara lain pH,
Alo, Feo, Ald, Fed, dan pirit. Tingginya kadar Fe dan Al bentuk amorf pada
tanah sulfat masam mempengaruhi distribusi fraksi P-anorganik (Setyorini
2001).
Dari hasil penelitian Konsten dan Sarwani (1990), di Pulau Petak,
Kalimantan Selatan, diperoleh bahwa oksidasi pirit setelah reklamasi
membuat tanah di daerah tersebut sangat masam, dijenuhi oleh Al dan
mempunyai pH antara 3 dan 4. Adanya garam-garam besi bebas dan Al
menyebabkan keracunan tanaman dan defisiensi K dan Ca sangat sering
terjadi. Kemasaman tanah aktual dari tanah sulfat masam di Pulau Petak
diduga dengan titrasi cepat pada pH 5,5, jumlah Al-dd sampai 60 mmol/g.
Kemasaman tanah aktual untuk tanah pH kurang dari 4 adalah 20
mmol/100 g yang setara dengan keperluan kapur 15 t/ha. Potensi
kemasaman sangat tinggi dengan kandungan pirit mencapai 8%.
Selanjutnya Konsten dan Sarwani (1990) mengemukakan bahwa untuk
mengatasi kemasaman aktual yang tinggi dapat dilakukan dengan
drainase dangkal, pencucian intensif tanah lapisan atas, yang
dikombinasikan dengan pemberian kapur dan pupuk kalium.
Peranan pupuk hayati juga menunjukkan peran yang penting dalam
meningkatkan kualitas tanah sulfat masam. Haryono (2013), menyatakan
bahwa Pupuk hayati Biosure (Mukhlis) di tanah sulfat masam Kalimantan
Selatan mampu menigkatkan pH tanah lebih dari 40%, mensubstitusi
kebutuhan kapur di atas 80% , menurunkan kadar sulfat lebih dari 20%,
dan meningkatkan produktivitas tanaman padi. Produksi padi dengan
menggunakan Biosure meningkat 26 27 % yaitu dari 3,69 t/ha menjadi
atau 4,65 4,70 t/ha dibandingkan tanpa pupuk hayati. Haryono (2013)
juga menambahkan bahwa penggunaan pupuk hayati Biotara yang
mengandung mikroba dekomposer Trichoderma sp., mikroba pelarut P
Bacillus sp., dan bakteri penambat N Azospirillium sp. dapat memperbaiki
sifat fisik, kimia, dan biologi tanah, dapat mengendalikan penyakit tular
dKarakteristik dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan
116
Karakteristik dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan
117
Daftar Pustaka
Al-Jabri, M. 2002. Penentapan Kebutuhan Kapur dan Pupuk Fosfat untuk
Tanaman Padi (Oryza sativa L.) pada Tanah Sulfat Masam Aktual
Belawang, Kalimantan Selatan. Disertasi. Program Pascasarjana.
Universitas Padjadjaran Bandung.
Annisa, W., B.H. Purwanto, dan D. Shiddieq. 2011. Pengaruh pemberian
jerami padi dan purun tikus pada berbagai tingkat dekomposisi
terhadap konsentrasi besi di Tanah Sulfat Masam. Jurnal Tanah dan
Iklim, Edisi Khusus Rawa, Juli 2011: 25-32.
Badan Litbang Pertanian. 2006. Multifungsi dan Revitalisasi Pertanian.
Dent, David. 1986. Acid sulphate soils: a base line for research and
development. ILRI Publication 39. International Institute for Land
Reclamation and Improvement. Wageningen, TheNetherlands.
Djaenudin, D., Marwan H., Subagjo H., dan A. Hidayat. 2003. Petunjuk
Teknis Evaluasi Lahan Untuk Komoditas Pertanian. Balai Penelitian
Tanah. Bogor.
Hartatik, W., I B. Aribawa, dan J.S. Adinigsih. 1999. Pengelolaan hara
terpadu pada lahan sulfat masam. Prosiding Seminar Nasional
Sumber Daya Tanah, Iklim, dan Pupuk. Puslitbangtanak, Indonesia.
6-8 Desember 1995. Bogor.
Haryono. 2013. Lahan Rawa Lumbung Pangan Masa Depan Indonesia.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Hasibuan, B.E. 2008. Pengelolaan Tanah dan Air Lahan Marginal. USU.
Medan.
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_su
byek=12¬ab=2).
Indrayati, L. A. Supriyo, dan S. Umar. 2011. Integrasi teknologi tata air,
amelioran, dan pupuk dalam budi daya padi pada tanah sulfat
masam Kalimantan Selatan. Jurnal Tanah dan Iklim, Edisi Khusus
Rawa, Juli 2011: 47-54.
Isa, Wasa. 2006. Strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian. Hal 116 dalam Ai Dariah et al. (eds.). Prosiding Seminar Multifungsi dan
Revitalisasi Pertanian. Badan Litbang Pertanian, MAFF dan ASEAN
Secretariat, Jakarta.
Khairullah, I., L. Indrawati, A. Hairani, dan A. Susilowati, 2011.
Pengaturan waktu tanam dan tata air untuk mengendalikan
keracunan besi pada tanaman padi di lahan rawa pasang surut
dKarakteristik dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan
118
sulfat masam potensial tipe B. Jurnal Tanah dan Iklim, Edisi Khusus
Rawa, Juli 2011: 13-24.
Koesrini, E. William, L. Indrayati, dan E. Berlian. 2005. Stratifikasi Daya
Toleransi Tanaman Hortikultura Menurut Tingkat Cekaman FisikoKimia Lahan Sulfat Masam Potensial. Laporan Hasil Penelitian.
Balitra-Banjarbaru. 22 hal. (Tidak dipublikasikan)
Koesrini, E. William, M. Saleh, L. Indrayati, dan E. Berlian. 2006.
Stratifikasi Cekaman Lahan Sulfat Masam Potensial untuk Tanaman
Padi dan Berbagai Tanaman Hortikultura. Laporan Hasil Penelitian.
Balitra-Banjarbaru. 22 hal. (Tidak dipublikasikan)
Koesrini, I.Khairullah, S. Sulaeman, S. Subowo, R. Humairie, F. Azzahra,
M. Imberan, E. William, M. saleh, dan D. Hatmoko. 2003. Daya
Toleransi Tanaman di Lahan Sulfat Masam. Laporan Hasil
Penelitian. Balitra-Banjarbaru. 20 hal. (Tidak dipublikasikan)
Koesrini, K. Anwar, dan Nurita. 2011. Perbaikan Kualitas Lahan untuk
Meningkatkan Produktivitas Kedelai di Lahan Rawa Sulfat Masam
Potensial. Jurnal Tanah dan Iklim, Edisi Khusus Rawa, Juli 2011:
55-62.
Konsten, C.J.M. and M. Sarwani. 1990. Actual and potential acidity and
related chemical charactericties of acid sulfate soil in Pulau Petak
Kalimantan. Workshop on acid sulfate soil in the Humid Tropics, 2022 November, Bogor Indonesia. AARD and LAWOO, Bogor,
Indonesia.
Langenhoff, R. 1986. Distribution, Mapping, Classification and Use of Acid
Sulphate Soils in the Tropics. A literature Study. STIBOKA Intern.
Comm. No. 74, Wageningen, The Netherlands.
Manuelpillai, R.G., M. Damanik, and R.S. Simatupang. 1986. Site specific
soil characteristies and the amelioration of a Sulfic Tropaquepts
(Acid sulfate) in Central Kalimantan. Symposium Lowland
Development in Indonesia. Jakarta, 24-31 August 1986.
McLean, E. O. 1982. Soil pH and lime requirement. In Page, A. L., R. H.
Miller and D. R. Keeney (Eds.). Methods of Soil Analysis. Part 2 Chemical and Microbiological Properties. (2nd Ed.). Agronomy
9:199-223.
McLean, E.O., R.C. Hartwig, D.J. Eckert, and G.B. Triplett. 1983. Basic
cation saturation ratios as a basis for fertilizing and liming
agronomic crops. II. Field Studies. Agron. J. 75:635-639.
Mulyani, A. dan Agus, F. 2006. Potensi lahan mendukung revitalisasi
pertanian. Hal. 279-295 dalam Prosiding Seminar Multifungsi dan
Karakteristik dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan
119
dKarakteristik dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan
120
Widjaja Adhi, I.P.G. 1985. Pengapuran tanah masam untuk kedelai. Hal
171-188 dalam S.S. Somaatmadja et al. (eds.). Kedelai.
Puslitbangtan. Bogor.
Wijaya Adhi, I.P.G. 1986. Pengelolaan lahan rawa pasang surut dan lebak.
Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian V(1): 1-9.
Widjaja Adhi, I.P.G. 1995. Pengelolaan, Pemanfaatan dan Pengembangan
Rawa untuk
Usaha Tani dalam Pembangunan Berkelanjutan dan
Berwawasan Lingkungan. Pusat Penelitian dan Agroklimat. Bogor.
Widjaja Adhi, I.P.G. Suriadikarta, D.A., Sutriadi, M.T., Subiksa, IGM., dan
Suastika,
IW.
2004.
Pengelolaan,
pemanfaatan,
dan
pengembangan lahan rawa. Hal. 127-164 dalam Abdurachman
Adimihardja et al. (eds.). Sumber Daya Lahan Indonesia dan
Pengelolaannya. Pusat Penelitian Pengembangan Tanah dan
Agroklimat, Badan Litbang Pertanian.
Karakteristik dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan