Anda di halaman 1dari 9

Ekonomi Islam dan Soal Bunga Bank

Dari berbagai perdebatan soal ekonomi Islam vs. konvensional (baca:


kapitalisme), perbandingan mengenai praktek pembiayaan dan transaksi finansial
adalah yang paling sering dibahas. Selain paling sering, perdebatan di ranah ini juga
yang paling spesifik dan terstruktur dibandingkan, misalnya, persoalan moralitas dan
keadilan.
Hal ini tentunya tidak bisa terlepas dari sejarah ekonomi modern. Penemuan
mekanisme pembiayaan transaksi, yang mendorong lahirnya sistem dan lembaga
keuangan, adalah hal yang tak terpisahkan dalam kapitalisme. Uang adalah darah
perekonomian. Adanya institusi yang kuat untuk mengatur peredaran uang adalah
kunci kemajuan perekonomian.
Perbedaan (dan pembedaan) antara sistem keuangan dan perbankan Islam dan
konvensional berujung pada satu pertanyaan: apakah bunga halal atau haram (riba)?
Perdebatan ini sudah berlangsung lama. Masing-masing pihakbaik yang mengatakan
haram atau tidakpunya argumen yang valid. Tulisan ini tidak akan masuk ke ranah
fikih perdebatan itu. Tapi, katakanlah bunga bank itu haram. Lalu apa? Solusi apa
yang ditawarkan oleh pemikiran ekonomi Islam dalam hal transaksi keuangan?
Menurut para pengusungnya, jawaban Islam adalah bagi hasil dan bagi risiko.
Ada tiga skema yang ditawarkan: mudharabah, musyarakah dan murabahah. Dalam
skema mudharabah, seorang atau sekelompok investor memercayakan uang mereka
pada satu pihak atau lembaga untuk dikelola ke dalam kegiatan yang produktif.
Keuntungan dari pengelolaan uang itu akan dibagi sesuai dengan kesepakatan awal.
Sebaliknya, kerugian yang terjadi juga akan dibagi sesuai perjanjian.
Praktek musyarakah pada dasarnya mirip dengan mudharabah. Bedanya,
dalam musyarakah pihak pengelola uang juga ikut menanamkan uangnya. Menurut
proponen ekonomi Islam, ada dua hal yang membedakan praktek mudharabah dan
musyarakah dengan praktek bunga konvensional. Pertama adalah unsur bagi risiko
(risk-sharing). Kedua, besarnya nisbah bagi hasil ditetapkan atas dasar kesepakatan
bersama, bukan ditetapkan sebelumnya seperti dalam bunga konvensional.

Model bagi hasil dan bagi risiko memiliki kelebihan. Dalam model ini, pihak
yang mengelola dana akan dipaksa untuk melakukan kalkulasi yang matang dalam
memilih kegiatan ekonomi untuk dibiayai. Inilah yang menjadi alasan mengapa bankbank syariah umumnya relatif lebih aman dan sehat. Saat krisis ekonomi
menyebabkan kolapsnya sejumlah bank konvensional, bank-bank syariah tidak ikut
kolaps, bahkan menjamur setelahnya.
Pembahasan Konsep Bagi Risiko
Ada tiga hal yang bisa dikritisi dari konsep ini. Pertama, harus diingat bahwa
praktek perbankan yang sehat seperti ini akan bisa terjadi jika skala uang yang
berputar relatif kecil. Artinya, untuk tetap sehat dan aman, perbankan syariah memang
tak bisa menjadi besar. Konsekuensinya, jika perbankan syariah akan tetap kecil,
kemampuannya menjadi penggerak ekonomi juga tidak akan signifikan. Sebaliknya,
jika aset dan dana yang dikelola bank syariah jauh lebih besar dari yang ada sekarang,
maka kapasitas yang ada sekarang akan terbatas. Bank syariah pun akan dihadapkan
pada problem yang sama dengan yang dihadapi perbankan konvensional.
Kedua, seberapa konsisten perbankan syariah menjalankan praktek bagi hasil
dan bagi risiko tanpa adanya rasio bagi hasil yang ditetapkan sebelumnya? Jika hal ini
dijalankan konsisten, harusnya bank akan memiliki kontrak individual yang berbedabeda untuk tiap nasabah. Ini bisa dijalankan jika jumlah nasabah yang dikelola relatif
sedikit. Jika jumlah nasabahnya banyak, biaya transaksi untuk memberlakukan
kontrak spesifik akan makin membengkak, sehingga mungkin sekali tidak efisien bagi
pihak bank.
Faktanya, semua bank syariah di Indonesia sekarang ini menetapkan nisbah
bagi hasil secara ex-ante, baik untuk simpanan maupun pinjaman. Artinya dalam
praktek, bank syariah sebenarnya menerapkan mekanisme yang tidak jauh berbeda
dengan bank konvensional yang berdasarkan bunga.
Untuk pinjaman, beberapa bank syariah tidak hanya menentukan nisbah yang
ditetapkan sebelumnya, tapi nilainya bahkan bisa lebih tinggi dari bunga pinjaman
konvensional. Itu terjadi setelah adanya berbagai biaya dan fee tambahan. Ini tentunya

menimbulkan pertanyaan tambahan: seberapa jauh bank syariah konsisten dengan


kritiknya terhadap bunga yang dianggap memberatkan dan eksploitatif.
Ketiga, pertanyaan lain adalah ke mana bank syariah memutarkan dana
nasabah. Secara prinsip, dana yang dihimpun oleh bank syariah hanya dibenarkan
untuk membiayai kegiatan produktif yang halal. Artinya, bank syariah tidak
dibenarkan memutar kembali uangnya di kegiatan-kegiatan spekulatif atau
menanamkan dananya di investasi berbasiskan bunga.
Seberapa konsisten bank syariah dalam menjalankan usahanya bisa dilihat dari
besaran nisbah bagi hasil yang ditawarkan dari waktu ke waktu. Jika bank syariah
benar-benar memutar dana nasabah ke kegiatan produktif, kita akan melihat
pergerakan nisbah bagi hasil antar waktu yang lebih fluktuatif dari pergerakan bunga
konvensional.
Faktanya, merujuk pada statisik bulanan yang dikeluarkan oleh Divisi Syariah
Bank Indonesia, fluktuasi nisbah bagi hasil bersih rata-rata hampir sama dan sebangun
dengan pergerakan suku bunga deposito bank konvensional. Sebagai perbandingan,
ekonom Timur Kuran (2004) menemukan hal yang sama di Turki. Pergerakan yang
sejalan ini mengindikasikan besarnya kemungkinan bahwa dalam mengelola dana
nasabahnya, bank syariah masih menanamkan uang di sektor investasi berbasiskan
bunga. Setidaknya, kondisi ideal bahwa seluruh dana ditanamkan di kegiatan
produktif tidak terjadi.
Bentuk pembiayaan yang ketiga, murabahah, sederhananya adalah mark-up.
Seorang konsumen ingin membeli mobil tetapi tidak punya uang. Ia bisa datang ke
bank atau lembaga keuangan syariah yang akan membeli mobil tersebut. Dalam
jangka waktu tertentu, si konsumen akan membayar kembali ke bank ditambah
jumlah tertentu. Di kalangan praktisi ekonomi Islam sendiri ada perdebatan mengenai
kehalalan model transaksi ini. Beberapa pihak menganggap transaksi murabahah
termasuk syubhat karena melibatkan nilai mark-up yang berfungsi sebagai bunga
siluman.
Menariknya, transaksi murabahah ini adalah model yang paling populer di
banyak negara yang punya sistem perbankan Islam. Timur Kuran menyebutkan bahwa

80-90 persen transaksi bank Islam di dunia menggunakan metode ini. Di tahun 1980an, 80 persen portfolio aset milik Islamic Development Bank juga berasal dari
pembiayaan murabahah.
Sistem bagi hasil yang diterapkan dalam perbankan syariah sangat berbeda
dengan sistem bunga, di mana dengan sistem bunga dapat ditentukan keuntungannya
diawal, yaitu dengan menghitung jumlah beban bunga dari dana yang di simpan atau
dipinjamkan. Sedang pada sistem bagi hasil ketentuan keuntungan akan ditentukan
berdasarkan besar kecilnya keuntungan dari hasil usaha, atas modal yang telah
diberikan hak pengelolaan kepada nasabah mitra bank sayariah.

Konsep Syariah Bank Islam, perlu diberikan sautu penjelasan atau perbedaan
antara bagi hasil dan pemberian bunga, dalam bidang perniagaan, khususnya dalam
bank. Karena banyak terdapat kesalahpahaman dikalangan orang banyak yang
menganggap bahwa bagi hasil sama dengna pemberian/ pengambilan bunga.
1. Dasar perniagaan adalah untuk mencari keuntungan karena itu setiap pemilik
modal mengharapkan setiap uang yang dikeluarkan akan mendatangkan
keuntungan, ini sesuai dengan kaedah fikih, yaitu: Pembayaran/ pembiayaan
dibalas dengan ganjaran.Karena itu Islam menggalakkan umatnya untuk
berdagang.
2. Dalam pandangan Islam, uang yang disimpan tanpa digunakan tidak akan
bertambah, justru jumlahnya semakin menurun dari tahun ke tahun, karena ia
wajib membayar zakat 2,5% pertahun hingga sampai dibawah nisab (batas
minimal jumlah harta yang wajib dikeluarkan). Karena itu Islam tidak
mengakui konsep bunga yang diperoleh seseorang jika menyimpan uangnya di
Bank misalnya dan dianggap riba, kecuali jika Bank itu diberikan kekuasaan
untuk memakai uang tersebut. Lalu, jika bank itu mendapat keuntungan , maka
dibagi dengan orang tersebut berdasarkan berapa persen dari uang yang
disimpan. Maka jumlah yang diterima dari Bank itu dianggap untung. .
3. Islam tidak mengakui bunga dalam pembayaran hutang, sebagaimana sabda
Rasulullah SAW., yang artinya Bahwa setiap hutang yang membawa
keuntungan material bagi si pemberi adalah riba. Tujuan Islam mengharamkan
riba selain karena mengandung unsur penindasan, riba juga merupakan suatu

sistem yang hanya mengutamakan kepentingan masyarakat, padahal Islam


lebih mengutamakan kepentingan masyarakat daripada Individu.
Dampak Bunga.
Harus dicatat, bahwa Al-quran membicarakan riba (bunga) dalam ayat tersebut
dalam konteks ekonomi makro, bukan hanya ekonomi mikro. Kesalahan manusia
kapitalis, termasuk ahli agama Islam yang tak berlatar belakang ekonomi, adalah
menempatkan dan membahas riba dalam konteks ekonomi mikro semata.
Membicarakan riba dalam konteks ekonomi makro adalah mengkaji dampak riba
terhadap ekonomi masyarakat secara agregat (menyeluruh), bukan individu atau
perusahaann (institusi). Sedangkan membicarakan riba dalam lingkup mikro, adalah
membahas riba hanya dari sisi hubungan kontrak antara debitur dan kreditur. Biasanya
yang dibahas berapa persen bunga yang harus dibayar oleh si A atau perusahaan X
selaku debitur kepada kreditur. Juga, apakah bunga yang dibayar debitur sifatnya
memberatkan atau menguntungkan. Ini disebut kajian dari perspektif ekonomi mikro.
Padahal ayat Al-Quran menyoroti riba dari perspektif ekonomi makro, yaitu
mengkaji kaitan dan dampak riba terhadap inflasi, pengaruh riba terhadap investasi,
produksi dan pengangguran juga dampak riba terhadap volasitias mata uang.
Mengkaji riba dari sisi ekonomi makro juga mengkaji praktek riba yang telah sistemik,
yaitu riba yang telah menjadi sistem di mana-mana, riba yang telah menjadi instrumen
ekonomi dalam institusi di lingkup negara dan global, sebagaimana yang diyakini para
penganut sistem ekonomi kapitalisme.Dalam sistem kapitalis ini, bunga bank (interest
rate) merupakan jantung dari sistem perekonomian. Hampir tak ada sisi dari
perekonomian, yang luput dari mekanisme kredit bunga bank (credit system). Mulai
dari transaksi lokal pada semua struktur ekonomi negara, hingga perdagangan
internasional.
Jika riba telah menjadi sistem yang mapan dan telah mengkristal sedemikian
kuatnya, maka sistem itu akan dapat menimbulkan dampak buruk bagi perekonomian
secara luas. Dampak sistem ekonomi ribawi tersebut sangat membahayakan
perekonomian.

Pertama, Sistem ekonomi ribawi telah banyak menimbulkan krisis ekonomi di


mana-mana sepanjang sejarah, sejak tahun 1929, 1930, 1940an, 1950an, 1970an.
1980an, 1990an, 1997 dan sampai saat ini. Sistem ekonomi ribawi telah membuka
peluang para spekulan untuk melakukan spekulasi yang dapat mengakibatkan
volatilitas ekonomi banyak negara. Sistem ekonomi ribawi menjadi punca utama
penyebab tidak stabilnya nilai uang (currency) sebuah negara. Karena uang senantiasa
akan berpindah dari negara yang tingkat bunga riel yang rendah ke negara yang
tingkat bunga riel yang lebih tinggi akibat para spekulator ingin memperoleh
keuntungan besar dengan menyimpan uangnya dimana tingkat bunga riel relatif
tinggi. Usaha memperoleh keuntungan dengan cara ini, dalam istilah ekonomi disebut
dengan arbitraging. Tingkat bunga riel disini dimaksudkan adalah tingkat bunga
minus tingkat inflasi.
Kedua, di bawah sistem ekonomi ribawi, kesenjangan pertumbuhan ekonomi
masyarakat dunia makin terjadi secara konstant, sehingga yang kaya makin kaya yang
miskin makin miskin. Data berikut menunjukkan bagaimana kesenjangan tersebut
terjadi.

Ketiga, Sukubunga juga berpengaruh terhadap investasi, produksi dan


terciptanya pengangguran.Semakintinggisukubunga,maka investasi semakin menurun.
Jika investasi menurun, produksijuga menurun. Jika produksi menurun, maka akan
meningkatkan angka pengangguran.
Keempat, Teori ekonomi juga mengajarkan bahwa sukubunga akan secara
signifikan menimbulkan inflasi. Inflasi yang disebabkan oleh bunga adalah inflasi
yang terjadi akibat ulah tangan manusia. Inflasi seperti ini sangat dibenci Islam,
sebagaimana ditulis Dhiayauddin Ahmad dalam buku Al-Quran dan Pengentasan
Kemiskinan. Inflasi akan menurunkan daya beli atau memiskinkan rakyat dengan
dasar cateris paribus.
Kelima, Sistem ekonomi ribawi juga telah menjerumuskan negara-negara
berkembang kepada debttrap (jebakan hutang) yang dalam, sehingga untuk
membayar bunga saja mereka kesulitan, apalagi bersama pokoknya

Kenam, dalam konteks Indonesia, dampak bunga tidak hanya sebatas itu,
tetapi jugaberdampak terhadap pengurasan dana APBN. Bunga telah membebani
APBN untuk membayar bungaobligasi kepada perbakan konvensional yang telah
dibantu engan BLBI. Selain bunga obligasi juga membayar bunga SBI. Pembayaran
bunga yang besar inilah yang membuat APBN kita defisit setiap tahun. Seharusnya
APBN kita surplus setiap tahun dalam jumlah yang besar, tetapi karena sistem
moneter Indonesia menggunakan sistem riba, maka takayal lagi, dampaknya bagi
seluruh rakyat Indonesiasangat mengerikan .
Dalam pendangan seorang banker atau debitur, sistem bunga yang mereka
terapkan yang dilandasi saling ridha dan terkesan tidak ada saling menzalimi diantara
mereka, dianggap sebagai sebuah sistem yang wajar dan tidak menjadi masalah.
Bahkan bersifat positif konstruktif bagi masyarakat. Inilah pandangan ekono mimikro
yang sering menjerumuskan banyak orang yang akalnya terbatas, termasuk
parailmuwan muslim yang bukan ekonom. Begitulah, akal manusia ering kali tidak
bisa menjangkau apa yang dibalik realitas ekonomi (metaekonomi). Padahal sistem
riba itu justru merusak dan sama sekali tidak membawa pertumbuhan ekonomi yang
sebenarnya.
Perbedaan-perbedaan antara system bunga dan bagi hasil.
Bunga
1 Penentuan bunga dibuat sewaktu

Bagi hasil
1 Penentuan bagi hasil dibaut sewaktu

perjanjuan tanpa berdasarkan kepada

perjanjianj dengan berdasarkan kepada

untung/ rugi

untung/ rugi

2 jumlah bunga berdasarkan jumlah uang

2 Jumlah nisbah bagi hasil berdasarkan

(modal) yang ada

jumlah keuntungan yang telah dicapai.

3 Pembayaran bunga tetap seperti

3 Bagi hasil tergangtung pada hasil

perjanjian tanpa diambil pertimbangan

proyek, jika proyek tidak mendapat

apakah proyek yang dilaksanakan pihak

keuntungan atau mengalami kerugian,

kedua untung atau rugi

maka resikonya ditanggung kedua belah


pihak.

4 Jumlah pembayaran bunga tidak


meningkat walaupun jumlah keuntungan

4 Jumlah pemberian hasil keuntungan

berlipat ganda.

meningkat sesuai dngan peningkatan


keuntungan yang didapat

5 Pengambilan ./ pembayaran bunga


adalah haram

5 Penerimaan / pembagian keuntungan


adalah halal.

Kesimpulan
System bagi hasil dan bagi risiko memiliki kelebihan. Dalam system ini, pihak
yang mengelola dana akan dipaksa untuk melakukan kalkulasi yang matang dalam
memilih kegiatan ekonomi untuk dibiayai. Inilah yang menjadi alasan mengapa bankbank syariah umumnya relatif lebih aman dan sehat. Hal ini bisa dilahat saat krisis
ekonomi menyebabkan kolapsnya sejumlah bank konvensional, bank-bank syariah
tidak ikut kolaps, bahkan menjamur setelahnya.
Untuk tetap sehat dan aman, perbankan syariah memang tak bisa menjadi
besar, akan tetapi jika perbankan syariah akan tetap kecil, kemampuannya menjadi
penggerak ekonomi juga tidak akan signifikan. Sebaliknya, jika aset dan dana yang
dikelola bank syariah jauh lebih besar dari yang ada sekarang, maka kapasitas yang
ada sekarang akan terbatas. Bank syariah pun akan dihadapkan pada problem yang
sama dengan yang dihadapi perbankan konvensional.
Semua bank syariah di Indonesia sekarang ini menetapkan nisbah bagi hasil
secara ex-ante, baik untuk simpanan maupun pinjaman. Artinya dalam praktek, bank
syariah sebenarnya menerapkan mekanisme yang tidak jauh berbeda dengan bank
konvensional yang berdasarkan bunga.
Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1264
Oleh Ari A. Perdana
Oleh : Agustianto
Sekretaris Umum DPP Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) dan Pengajar
pada
Program Pascasarjana PSTTI UI
11/06/2007

PAPER

KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN METODE BUNGA


(BK) DAN METODE BAGI HASIL (BS)

Oleh:
HARI GUNAWAN
I1B005035

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK
PRODI TEKNIK SIPIL
PURWOKERTO
2007

Anda mungkin juga menyukai