Anda di halaman 1dari 6

MEKANISME KEUANGAN SYARIAH

BERBASIS BAGI HASIL

A. Keuangan Syariah Berbasis Bagi Hasil

Kontrak keuangan yang telah dikembangkan dengan tujuan merubah atau bahkan
menggantikan praktik mekanisme bunga yaitu mekanisme bagi hasil di mana mekanisme ini
disebut sebagai bentuk khusus sebuah kontrak terlebih dalam keuangan syariah (Muhammad,
2014). Profit & Loss Sharing (PLS) adalah metode yang digunakan dalam perbankan syariah
untuk mematuhi larangan bunga. Solusi Islami, yang biasa disebut sebagai Profit & Loss Sharing
(PLS) ini, menyarankan pembagian risiko dan keuntungan yang adil antara pihak-pihak yang
terlibat dalam transaksi keuangan. Dalam bisnis perbankan terdapat 3 (tiga) pihak yaitu
pengusaha atau pemakai modal yang sebenarnya, bank yang berfungsi sebagai pemakai
sebagian dana modal dan sebagai perantara keuangan, serta para deposan di bank yang menjadi
pemasok simpanan atau dana modal. Terdapat 2 (dua) jenis kemitraan yang berbeda dari jenis
yang disebutkan dalam Islam: kemitraan antara penabung dan bank, juga kemitraan antara
pengusaha (atau peminjam) dan bank. Berdasarkan proposal akad/kontrak dengan berbasis PLS
ini, lembaga keuangan

tidak akan menerima tingkat bunga tetap atas pinjaman mereka yang belum dibayar, melainkan
mereka berbagi keuntungan atau kerugian dari pemilik bisnis yang telah mereka berikan
dananya. Demikian pula, orang-orang yang menyimpan dananya di bank akan berbagi
untung/rugi dengan lembaga keuangan tersebut.

Syariah mendukung kebebasan berkontrak; kreativitas didukung dan umat Islam


didorong untuk menginvestasikan kekayaan mereka, terutama dalam investasi yang akan
berkontribusi pada masyarakat secara keseluruhan. Syariah terutama berkaitan dengan keadilan
sosial-ekonomi serta pembangunan ekonomi yang lebih luas. Sistem keuangan Islam
mempromosikan keadilan, kesetaraan, kemitraan dan kesejahteraan sosial. Ini adalah sistem etika
yang mendukung persaudaraan di antara anggota masyarakat serta menciptakan nilai dan
memaksimalkan keuntungan. Namun, yang terakhir harus ditetapkan tanpa membahayakan
persyaratan etika dan moral keuangan Syariah. Bahkan, keuangan Islam meletakkan dasar bagi
pembentukan moral dan ekonomi yang tumbuh secara konsisten kemudian pada akhirnya akan
melayani kesejahteraan sosial yang lebih luas.1

Sementara penciptaan kekayaan didorong, keserakahan dan penimbunan uang tidak.


Muslim didorong untuk menginvestasikan uang mereka dan upaya mereka untuk menciptakan
lebih banyak kekayaan. Akibatnya, menyimpan uang menganggur tidak disarankan serta
menyimpannya di bank dengan imbalan pembayaran bunga berkala. Transaksi dan struktur yang
mengikuti prinsip Syariah, antara lain, larangan riba (pembebanan dan penerimaan bunga).
Pembebanan bunga adalah bentuk transfer risiko yang terlihat dalam kontrak utang berbasis
bunga. Selain itu, keuangan Islam didasarkan pada prinsip keuntungan dan pembagian risiko
alih-alih transfer risiko, dan tidak seperti sistem kapitalis, keuangan Islam berbasis ekuitas
daripada berbasis utang.

Keuangan Islam tidak mendukung penghindaran risiko; namun, itu juga tidak mendukung
spekulasi dan perjudian. Bagaimanapun, unsur risiko melegitimasi semua transaksi Islam, karena
transaksi tanpa

risiko tidak diterima menurut keuangan Islam. Unsur risiko dan jumlah usaha yang dilakukan
seseorang untuk membuat bisnis berhasil pada akhirnya lebih penting daripada modal yang
disuntikkan. Risiko dapat didefinisikan sebagai kemungkinan terjadinya suatu peristiwa yang
mengakibatkan kerugian. Risiko tidak terbatas pada risiko gagal bayar, tetapi meluas ke semua
jenis risiko yang pada akhirnya akan menyebabkan kerugian (misalnya risiko pasar, risiko
modal, risiko ekonomi, dll.) Menurut Syariah, risiko yang disajikan harus ditanggung bersama
oleh pemberi pinjaman dan peminjam, bukan hanya dibebankan ke satu pihak saja.

Oleh karena itu, Lembaga Keuangan Syariah diajak untuk menjalin kemitraan atau joint
venture dengan pengusaha yang mencari pendanaan, bukan hanya menjadi kreditur. Perjanjian
kemitraan harus secara jelas menyatakan hak dan kewajiban para pihak, peran, rasio keuntungan
serta sejauh mana kewajiban masing-masing pihak. Dalam hal ini, para mitra akan memiliki
tujuan yang sama untuk menciptakan perusahaan yang sukses dan pada akhirnya akan

1
Muhammad, Teknik Perhitungan Bagihal.asil di Bank Syariah. (Yogyakarta, UII Press,
2001)
menghasilkan keuntungan besar bagi mereka. Tidak seperti perjanjian pinjaman konvensional,
pengusaha tidak menanggung sendiri beban pembayaran pinjaman. Juga, entitas pemberi
pinjaman (yaitu bank atau lembaga keuangan lainnya) mendapat peluang untuk mencapai return
besar yang dapat mencapai kelipatan pembayaran bunga. Perlu diperhatikan bahwa dalam
perjanjian pinjaman biasa, terdapat konflik kepentingan yang jelas antara peminjam dan pemberi
pinjaman. Perhatian utama peminjam hanya berkisar pada mendapatkan dana yang diperlukan.
Di sisi lain, pemberi pinjaman prihatin dengan menerima jumlah pokok yang dipinjamkan dan
bunga yang diperoleh dari pinjaman itu. Namun, pada kenyataannya peminjam tidak dapat
menjamin keberhasilan perusahaan yang dia pinjam dananya. Terdapat banyak ketidakpastian
di pihaknya (terutama jika peminjam memulai usaha atau proyek baru) dan probabilitas yang
cukup besar untuk gagal membayar pinjaman. Selain itu, sering ada informasi asimetris dalam
situasi seperti ini yang pada akhirnya dapat mengakibatkan risiko asimetris

Adapun bank, karena tidak berkepentingan untuk memantau pengusaha, kegiatannya


dan/atau kinerja perusahaan di masa depan, peminjam cenderung mengalokasikan dana untuk
kegiatan yang sangat berisiko dan terkadang sangat spekulatif serta pada akhirnya berisiko
kehilangan uang dan gagal membayar kembali pinjamannya. Namun, ketika lembaga keuangan
dan pengusaha memiliki tujuan yang sama (yaitu menciptakan kekayaan dan mengembangkan
perusahaan), tingkat kerja sama meningkat dan kemungkinan informasi asimetris berkurang,
seperti halnya seleksi yang merugikan dan moral hazard1 (bahaya moral).2

Prinsip bagi hasil dan risiko merupakan landasan bagi semua kegiatan ekonomi Islam.
Akibatnya, bank dan lembaga keuangan diundang untuk bermitra dengan pengusaha alih-alih
meminjamkan mereka dana dengan imbalan pembayaran tetap di masa depan. Dengan
demikian, jika risiko terjadi, kedua belah pihak akan menanggung risiko secara proporsional
dengan kontribusi modal mereka. Namun, mengenai pembagian keuntungan, para pihak bebas
untuk menyepakati persentase keuntungan mereka terlepas dari kontribusi modal mereka. Sangat
penting untuk dicatat bahwa dalam struktur Islam, keuntungan bergantung pada kinerja
perusahaan atau usaha bisnis itu sendiri dan oleh karena itu tidak dapat ditetapkan secara ex-
ante.
2
. Syafi’I Antonio, Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum, (Jakarta:Tazkia Institut,
1999),hal.129
Banyak Bank Syariah dan bank dengan jendela Syariah menawarkan pendanaan yang
berbeda dari bank konvensional. Struktur kemitraan Islam seperti musyarakah (usaha patungan)
dan mudharabah (kemitraan pasif) adalah yang paling sering ditawarkan kepada pengusaha yang
mencari pendanaan. Kontrak ini menekankan prinsip Islam tentang pembagian keuntungan dan
risiko yang menyelaraskan kepentingan peminjam dan pemberi pinjaman.

1 Sebagai analogi sederhana, moral hazad seperti risiko bagi perusahaan asuransi di mana
pemegang polis akan menghancurkan harta benda yang diasuransikan untuk mengumpulkan
penggantian uang yang tersedia berdasarkan polis. Artinya, risiko tersebut disebabkan oleh
individu atau organisasi yang berperilaku sembrono atau tidak bermoral ketika dilindungi dari
konsekuensinya.

Secara sederhana, mudharabah atau kemitraan pasif, satu mitra memberikan kontribusi
modal sementara mitra lainnya menyumbangkan pekerjaan, keterampilan dan keahliannya.
Akibatnya, bank akan mendanai perusahaan sementara pengusaha hanya akan mengelolanya.
Dalam hal ini, bank tidak berhak ikut campur dalam pengelolaan perusahaan. Namun, dalam
kesepakatan mereka, para mitra dapat membatasi peran pengusaha. Sangat penting untuk dicatat
bahwa pemodal adalah pemilik tunggal dari aset yang dibeli dalam transaksi mudharabah dan
oleh karena itu hanya pemodal yang akan mendapat manfaat dari apresiasi nilainya. Dalam
mudharabah, keuntungan dibagi antara para mitra sesuai dengan rasio yang disepakati,
sedangkan kerugian finansial ditanggung oleh pemodal yang menyumbangkan seluruh modal.
Kerugian pengusaha terbatas pada hilangnya waktu dan usaha atau tenaga yang diinvestasikan
dalam perusahaan.

Adapun akad/kontrak musyarakah atau kontrak usaha patungan Islam dapat melibatkan
lebih dari dua mitra yang menyumbangkan modal dalam bentuk tunai atau barang. Mitra juga
dapat menyumbangkan pengetahuan, keterampilan, layanan konsultasi dan/atau pengalaman
mereka selain kontribusi modal. Ketika diterapkan, bank dan pengusaha menjadi mitra dalam
usaha di mana pengusaha menginvestasikan sebagian dari modal di samping usaha,
keterampilan dan pengetahuan sementara bank memberikan kontribusi modal. Ada
kemungkinan bagi bank untuk memiliki peran manajerial dalam perusahaan sebagai tambahan
untuk layanan konsultasi apa pun. Ini akan tergantung pada preferensi para pihak. Mengenai
alokasi laba, laba yang dihasilkan bergantung pada kinerja perusahaan. Keuntungan tidak dapat
dijamin oleh pihak manapun dan tidak dapat ditetapkan secara ex-ante. Namun, alokasi kerugian
dibagi rata sesuai dengan kontribusi modal masing-masing mitra. Ketika modal dikumpulkan,
bank dan pengusaha menjadi mitra dalam perusahaan dan pemilik bersama asetnya. Oleh karena
itu, keduanya dapat memperoleh manfaat dari apresiasi nilai aset.

Selanjutnya, terdapat beberapa prinsip dasar konsep bagi hasil yang dikemukakan oleh Usmani
(1999), yakni di antaranya (Ascarya, 2017) :

1. Bagi hasil tidak berarti meminjamkan uang, akan tetapi partisipasi dalam usaha. Dalam
musyarakah misalnya yakni keikutsertaan aset dalam usaha yang hanya sebatas proporsi
pembiayaan masing-masing pihak.

2. Investor atau pemilik dana harus ikut menanggung risiko kerugian usaha sebatas proporsi
pembiayannya.

3. Para mitra usaha bebas menentukan dengan persetujuan bersama terkait rasio pembiayaan
yang disertakan.

4. Kerugian yang ditanggung oleh masing-masing pihak harus sama besarnya dengan
proporsi investasi yang mereka berikan.

Sebagaimana diketahui bahwa Karim (2004) berpendapat bahwa ada lima karakteristik nisbah
bagi hasil yaitu:

1. Persentase

Sebaiknya dalam bentuk persentase (%), nisbah bagi hasil itu disajikan bukan dalam bentuk
rupiah atau nominal uang tertentu.

2. Bagi Untung dan Bagi Rugi

Berdasarkan kesepakatan nisbah, maka keuntungan dapat dibagi. Di sisi lain, berdasarkan
besaran atau porsi modal masing-masing pihak, maka rugi dapat dibagi.
3. Jaminan

Karakter risiko atau risk character akan menentukan terhadap jaminan yang diminta pada
mudharib. Alasannya apabila terjadi kerugian yang diakibatkan kelalaian atau keburukan
karakter mudharib, tentu mudharib wajib menutupi kerugian. Berbeda apabila business risk
menjadi penyebab kerugian yang ada, jelas mudharib tidak berhak untuk dimintai jaminan oleh
shahibul maal.

4. Besaran Nisbah

Dari adanya tawar-menawar antara shahibul maal dan mudharib maka terciptalah angka besaran
bagi hasil dan ditutup dengan kata sepakat bersama.

5. Cara Menyelesaikan Kerugian

Apabila terjadi kerugian maka langkah awal yang dilakukan yaitu adanya keuntungan yang
difungsikan sebagai pelindung modal. Akan tetapi, apabila yang terjadi keuntungan lebih kecil
dari kerugian maka pokok modal mau tak mau harus diambil.3

3
Muhammad, Manajemen Bank Syariah,(Yogyakarta: UPP AMP YKPN,2002)hal.101-105

Anda mungkin juga menyukai