Anda di halaman 1dari 31

MITOS DAN KEBERATAN UMUM

Seperti yang ditunjukkan tadi, pemegang kepentingan keuangan islami memiliki beberapa
pertanyaan dan keberatan mengenai sistem yang mulai tumbuh tersebut;
Ada pula kebingungan yang cukup besar. Beberapa keberatan dan kesalahpahaman dibahas di
sini; namun, tujuannya bukanlah menjawab semua pertanyaan yang banyak diajukan akhir-
akhir ini.
Kritik yang berkaitan dengan filosofi dan konsep perbankan serta keuangan islami disebutkan
secara singkat sebagai berikut.
1. Konotasi kata Riba tidak diberikan defmisi secara jelas dalam sumber orisinal Syariah,
yakni Kitab Suci Alquran dan Sunnah. Terdapat dua pihak yang sangat berlawanan:
sementara banyak orang yang menganggap bunga komersial yang berlaku secara umum
bukanlah Riba, yang sebenamya dilarang, banyak juga yang meyakini bahwa ”bank”
tidak dapat bersifat islami dan semua jenis keuntungan atas tabungan serta investasi
fmansial pada dasamya dilarang seperti Riba. Keberatan utama lain yang berkaitan
dengan konsep Riba adalah:
a. Uang sama seperti komoditas lain yang digunakan, dibeli, atau dijual; jika
seseorang meminjam uang, ia harus membayamya kembali dan bunganya
adalah pcmbayaran atas penggunaannya; orang yang menyewakan aset dapat
me' ngenakan uang sewa dari pihak penyewa atas penggunaan aset atau atas
peng' alel'dll ulaluacu. atao ncuk pemantaatan. Orang yang memlnjarmcan uang
atau seorang kreditur seharusnya juga diperbolehkan mengenakan uang sewa
dari peminjam atau debitur.
b. Riba yang dilarang dalam Alquran adalah sejenis penambahan atas jumlah
pokok tertentu. Riba pada tingkatan terjauhnya adalah biaya yang dikenakan
pada utang atau pinjaman lama yang belum terbayarkan dan jika biaya tersebut
dikenakan pada pinjaman di awal periode pinjaman, ia bukanlah Riba.
c. Pada saat pewahyuan Kitab Suci Alquran, belum terdapat bunga komersial di
Arab. Dengan demikian, berarti bunga komersial yang ada pada zaman seka/
rang tidak dilarang. Hanya tingkat bunga yang sangat tinggi (disebut dengan
usury/Riba) yang dilarang dan biaya dalam taraf normal atas pinjaman dan
utang tidak termasuk dalam cakupan pelarangan.
d. Beberapa orang mengesahkan bunga dengan berdasarkan alasan inflasi dan
penurunan dalam dava beli atas nang yang dipinjamkan. Mereka mengatakan
bahwa pihak peminjam harus mengganti rugi pihak yang memberikan pinjaman
dalam kasus depresiasi jumlah pinjaman yang diakibatkan oleh infiasi. Mereka
mengkritik teori keuangan islami karena teori tersebut tidak menerima penge'
naan indeks atas kewajiban fmansial dengan emas, sekelompok barang, atau
valuta yang stabil.
e. Banyak juga yang memperdebatkan bahwa debitur di zaman sekarang bukanlah
orang miskin; oleh karena itu, pengenaan bunga dari mereka bukanlah per'
lakuan yang tidak adil.
2. ”Bunga" didasarkan pada konsep nilai waktu uang atau biaya kesempatan; penolakan
bunga berarti penolakan nilai waktu uang. Karenanya, bank islami seharusnya tidak
memberikan keuntungan atas simpanan atau bunga sedikit pun dari pengguna dana;
mereka seharusnya beroperasi hanya dengan berbasiskan Musyarakah/Mudharabah
atau memberikan pinjaman bebas bunga. Jika mereka terlibat dalam aktivitas-
perdagangan, harga kredit yang dapat mereka kenakan seharusnya sama dengan harga
tunai komoditas setupa di pasar. jika tidak, bank islami dapat dikatakan juga terlibat
dalam Riba.
3. Jika perbankan Islami berarti menghindari tingkat keuntungan tetap atau yang telah
ditentukan seperti yang terdapat dalam bunga konvensinal, ia seharusnya didasarkan
pada Mudharabah/Musyarakah dua tingkatan-memobilisasi dan memberikan dana
dengan berbasiskan pembagian keuntungan/kerugian. Karenanya, orang seharusnva
bukan merupakan bagian dari perbankan dan keuangan islami. Bank seharusnya
memberikan pinjaman bebas bunga guna memberikan bantuan kepada orang miskin
dan yang membutuhkan atau beroperasi dengan berbasiskan Musyarakah/Mudharabah
guna menyediakan modal yang berbasiskan risiko untuk pengembangan bisnis,
industri, dan perekonomian.
4. Bank, pada dasamya merupakan perantara dan hanya berurusan dengan dokumen;
rnereka seharusnya tidak melibatkan diri dalam perdagangan atau bisnis langsung
lainnya; jika tidak, mereka akan mendapatkan eksposur risiko yang tidak diperlukan
dan memungkinkan mereka mengakibatkan kerugian kepada investor serta sistem
keuangan.
5. Terdapat banyak pandangan berbeda berkenaan dengan beberapa konsep, model, dan
produk keuangan islami, yang karenanya sistem yang terstandardisasi tidak dapat
dikembangkan. Banyak produk yang dikembangkan di timur jauh dan bagian dunia lain
yang hampir serupa dengan produk yang berbasiskan bunga. Produk tersebut
memberikan tingkat keuntungan yang sama atau serupa kepada investor tampa adanya
dampak yang mungkin terjadi pada pertumbuhan perekonomian sosial, seperti yang
dinyatakan oleh pelopor keuangan islami. Contoh produk tersebut adalah penjualan
utang dan instrumen utang, memberikan keuntungan bagi investor dalam bentuk
hadiah, dan terakhir, Tawarruq, di mana bank islami hanya perlu menggunakan satu
atau dua broker untuk menandatangani bebetapa dokumen guna mendapatkan atau
menempatkan likuiditas dengan tingkat keuntungan tetap.

Berkenaan dengan praktik perbankan islami, kritik yang muncul biasanya berkaitan
dengan hal-hal berikut:

1) Adanya penyimpangan di antara teori keuangan islami dan praktiknya. Pelopor teori ini
menetapkan penggunaan Musyarakah dan Mudharabah (mode PLS); akan tetapi, dalam
praktiknya, andil mode PLS ini diabaikan dan bisnis utamanya didasarkan pada mode
penciptaan utang guna mendapatkan tingkat keuntungan tetap seperti yang terjadi
dalam sistem yang berbasiskan bunga.
2) Institusi finansial Islami (IF!) beroperasi dengan berbasiskan tingkat bunga te« tap dan
ditentukan terlebih dahulu serta mendapatkan keuntungan tetap. Hal yang disebut
dengan Sukuk juga menghasilkan keuntungan tetap, sama halnya dengan surat berharga
yang berpendapatan tetap. Bila benar demikian, bagai' mana hal itu dapat dikatakan
sesuai dengan Syariah?
3) Bank islami menetapkan harga produk dengan berbasiskan tolok ukur yang berkaitan
dengan bunga seperti LIBOR; mengenakan tingkat bunga yang telah ditetapkan kepada
nasabah pada sisi asetnya dan mengenakan tingkat bunga yang mengikuti tolok ukur
tertentu kepada deposan, seperti halnya yang diberi/ kan oleh bank konvensional
kepada investor dalam wilayah hukum tertentu.
4) Tldak ada perbedaan faktual di antara kegiatan operasional bank konvensional dan bank
islami. Bank islami melakukan kegiatan perantara yang menggunakan dasar sama yang
digunakan oleh institusi konvensional.
5) Hasil akhir pembiayaan bank konvensional dengan bank islami adalah sama. Dalam
penyewaan, misalnya, bank islami menambahkan semua biaya, termasuk asuransi,
transportasi, pendaftaran aset yang disewakan, dan sebagainya, guna menentukan uang
sewa yang berkaitan dengan tolok ukur berbasiskan bunga; dan pada akhimya,
memberikan aset yang disewakan kepada nasabah, seperti yang terjadi pada
pembiayaan pçnyewaan konvensional. Dalam pembiayaan hipotek, mereka jugaf
mengenakan keuntungan/uang sewa dengan berbasiskan IRR/tolok ukur. Bahkan
dalam mode yang berbasiskan Syirkah, perhatian utzv ma mereka adalah untuk
mendapatkan keuntungan yang berbasiskan tingkat keuntungan pasar atas investasi
mereka.
6) IFI sebenarnya tidak terlibat dalam aktivitas perdagangan. Mereka tidak memiliki
persediaan atas barang yang akan dijual, membuat nasabah mereka sebagai agen untuk
pembelian barang yang diminta nasabah, dan sering kali terlibat dalam aktivitas
pembelian kembali serta Tawarruq _(monetisasi atau perolehan dana melalui kontrak
(Akad) perdagangan yang dirancang sedemikian tupa).
7) Bank islami biasanya beroperasi dalam kerangka peraturan yang sama dengan bank
konvensional. ”] alur islami” atau cabang perbankan islami terpisah (Islamic Banking
Branches = IBB) mengalokasikan pendapatan bunga sebagai sumber atau modal dasar.
Dengan menawarkan ”jalur” yang demikian, mereka hanya akan menipu publik, yang
menghindari bunga dengan berbasiskan keyak'man. untuk memobilisasi dana dari hasil
ekspor minyak di Timur Tengah dan kelebihan kekayaan di negarafnegara yang
populasi umat Muslim-nya mayoritas ataupun minoritas. Bagaimana institusi
berbasiskan Riba memastikan kesesuaiannya dengan Syariah, tapi beroperasi di
lingkungan yang digerakkan oleh Riba? Hal ini menimbulkan keraguan mengenai
keislamian atau kredibilitasnya.
8) Bank islami mengambil jamlnan/kcamanan seperti pihak lawan dalam keuangan
konvensional. Mereka seharusnya memfasilitasi orang-orang tak mampu untuk
memberikan keamanan tampa harus adanya tuntutan jaminan, sementara pada
praktiknya mereka menuntut jaminan. bahkan dalam kasus Musyarakah/Mudhambah.
9) Untuk keabsahan tingat keuntungan tetap, bank islami mempeniapkan beberapa
dokumen dan memasuki beragam perjanjian yang berkaitan dengan transaksi secara
keseluruhan. Mereka menjadikan nasabah nbagai agen “md: beragam aktivitas tanpa
adanya pembayaran biaya keagenan, membuat ”jang" hampir dalam semua mode
pembiayaan yang ada. dan menggabungkan beben” konttak (Akad) yang berlawanan
dengan perintah Syariah yang melarang dua kontrak (Akad) dalam satu kontrak (Akad).
10) ]ika nang selalu dikaitkan dengan aset riil dan bisnis sektor riil, seperti Yang dinyatakan
dalam teori keuangan islami, bagaimana kebutuhan ata: nang mtuk membayar gaji
karyawan, tagihan listrik, air, da_n sebagainya dipenuhi?
11) Kitab Suci Alquran menganjurkan untuk memberikan waktu lebih panjang kg pada
debitur yang berada dalam kesulitan, atau bahkan memaafkanlmenghaggkan
keseluruhan utangnya; akan tetapi, bank islami mengenakan sauksi bag; nasabah yang
\alai.
Dalam patagrafvparagraf berikut, 'kita secara kritis mengamati mitos dan kritik tadi. Dalam
beberapa kasus, kita hanya secara singkat menyinggung bagian yang ber. sangkutan dengan
mengacu pada beragam bab berbeda dalam buku ini.

17.3 PENILAIAN KRITIK KONSEPTUAL

17.3.1 _KONOTASI KATA RIBA

Pengertian dan konotasi Riba dibahas secara terperinci di Bab 3 (Bagian 3.2.1) dan Bab 7
(Bagian 7.3). Di sini, kita hanya secara singkat menganalisis keberatan' keberatan terkait dan
mencoba menghapuskan mitos-mitos umum atasnya. Perlamatama, misalkan Alquran dan
Sunnah belum menjelaskan konotasi sebenamya tidaklah benar. Walaupun Alquran belum
memberikan defmisi legal atas Riba, seperti haima istilah'istilah lain yang digunakan oleh
Kitab Suci tersebut, Alquran telah secara memadai menguraikan konotasinya. Dalam ayat-ayat
terkait dari Suret Al'Bawarah (2: “4180, ia membedakan bisnis dan amal di satu sisi serta
aktivitas perdagangan dan yang berkaitan dengan _Riba di sisi lain. memperbolehkan
perdëgangan dan ke' untungannya sementara melarang Riba. Alquran memerintahkan bahwa
tuntutan apa pun yang melebihi dan di atas jumlah pokok sebuah pinjaman atau utang adalah
Riba dan karenanya dilarang. Hal ini secara eksplisit dan implisit menguraikan kewa' jiban
serta hak urnat manusia dan memerintahkan untuk menghindari eksploitasi hak masing'masing.
Hal sempa juga pemah diutarakan oleh Nabi Muhammad Saw» di mana ia secara pasti
melarang tambahan yang melebihi dan di atas jumlah pokok ”buah pinjaman atau utang karena
merupakan Riba.
Semantara Islam mendukung Qard al Hasan, atau pemberian pinjaman beba5 bunga, ia
melarang bisnis permkaran unit moneter dan barang lain yang memiliki 'Illah (sebab efektif
pelarangan) yang sama, kecuali jika dipertukarkan secara lang, çung (dalam kasus barang
heterogen), secara langsung dan seimbang (dalam kasus Pertukaran barang homogen). Hal ini
untuk memastikan ketika sebuah pihak dalam 5uatu pertukaran memberikan sumber daya/daya
bel'mya kepada pihak lain beserta dengan kesempatan untuk menggunakaxmya, pihak lain juga
seharusnya memberikan gumber daya yang telah ditentukan sesegara mungkin Schingga pihak
pertama da' pat pula menggunakannya sesuai dengan keleluasaannya. ]ika unit monëter tidak
dipertukarkan secara bersamaan, seseorang bisa mengambil manfaat dengan meng« gunakan
uang/valuta yang telah ia terima sedangkan ia belum m_emberikan nilai mndingan yang
membuat pihak lawan dapat merasakan manfaatnya.
Oleh sebab itu, telah ditentukan dalam teks Syariah bahwa bunga kometsial modem termasuk
dalam cakupan Riba dan tak ada satu pun bentuk pinjaman/utang berbasiskan bunga yang
terbebas dari pelarangan ini. Tak boleh ada pula perbedaan antare tingkat bunga rendah dan
tinggi yang dinyatakan dalam persentase tetap atau mengambang atas jumlah pokok atau yang
berkaitan dengan tujuan pinjaman, yakni untuk konsumsi atau produksi. 'ngkat bunga" adalah
istilah yang cukup luas dan, berdasarkan prinsip yang telah ditetapkan oleh Kitab Suci Alquran,
tambahan atas utang tersebut dengan sendirinya dilarahg, tampa memandang besar-kecilnya
tingkat bunga tersebut. Kita menjelaskan secara terperinci di Bab 3 bahwa bunga komersial
merupakan karakteristik utama dalam bisnis ketika Kitab Suci Alquran diwahyukan, dan
pembiayaan dengan berbasiskan Riba merupakan profesi orang kaya pada saat itu.
Karakteristik umum semua tmnsaksi yang berbasiskan Riba adalah adanya tambahan
biaya/jumlah atas jumlah pokok utang. Sering kali utang tersebut diciptakan melalui transaksi
penjualan dan juga pinjaman. Demikian pula, tambahan jumlah tersebut, Wring kali, dikenakan
secara periodik baik bulanan maupun tahunan, sedangkan iumlah pokoknya harus dibayarkan
pada tanggal yang telah ditentukan, dan terkadang tambahan jumlah tersebut disertakan dengan
jumlah pokok. Semua bentukini biasa disebut Riba. Karenanya, semua pinjaman yang
mengandung tambahan manfaat Ving melebihi dan di atas jumlah pokok sebagai prasyaratnya
dianggap tidak sah, tan..

DG memandang kenyataan bahwa persyaratannya mengandung tingkat bunga, tinggi ktau


rendah. atau tambahan dalum kuantitas ataupun kualitas

UANG SEWA ATAS MODAL UANG


Uang digunakan untuk memfasilitasi aktivitas perekonomian sosial umat manusia yang
berfungsi sebagai medium pertukaran. Syariah Islam menganjurkan penggunaan nang (dalam
bentuk apa pun) untuk menghindari eksploitasi antara manusia yang sam dan yang lain. Dalam
beberapa hadis temama, Nabi Muhammad saw. mengan. jurkan untuk tidak menukarkan
komoditas berkualitas rendah dari suatu jenis ter. tentu dengan komoditas berkualitas tinggi
dengan jenis sama (kecuali jika jumlah. nya same) dan memerintahkan seseorang seharusnya
menjual terlebih dahulu barang berkualitas rendah dan kemudian membeli, dengan uang yang
diterimanya, barang berkualitas tinggi, dan sebaliknya. Dasar rasional di baliknya adalah untuk
menye. lamatkan kedua belah pihak dari kemungkinan terjadinya kerugian atau eksploitasi atas
salah satu pihak yang dilakukan oleh pihak lain.
Transaksi fmansial, agar diperbolehkan dan untuk mendapatkan keuntungan, seharusnya
dikaitkan dengan aset riil atau instrumen yang mewakili aset riil. Uang tidak dapat
mendatangkan biaya tetap atas penggunaannya. Dalam hal ini, penting pula unmk mengamati
bahwa dalam perekonomian islami, upaya manusia dan aktivitas perekonomian telah
mendapatkan posisi yang lebih strategis dalam pendistribusian hasil produksi serta keuntungan
dibandingkan modal dalam bentuk uang. Pengaitan nang untuk tujuan produktif memerlukan
tenaga kerja dan sumber days lain yang dianugerahkan oleh Allah SWT. untuk memulai proses
di mana barang dan jasa dmasilkan dan manfaamya diteruskan kepada masyarakat. Berbeda
dengan sistem konvensional, di mana uang dianggap sebagai komoditas yang dapat dijual/
dibeli dan disewakan untuk keuntungan, atau nang sewa harus dibayar salah satu pihak tanpa
memandang penggunaan atau peran dari nang yang disewakan di taban pihak peminjam, sistem
islami mengaitkan modal dalam bentuk uang dengan akti' vitas bisnis aktual dan hasil yang
diperoleh dari aktivitas tersebut.
Modal sebagai faktor produksi dalam keuangan islami membenarkan barang yang dapat
digunakan dalam proses produksi sedemikian tupa sehingga dikonsumsi acau digunakan
sepenuhnya, seperti emas, perak di masa lalu, dan/atau valuta kertas pada zaman sekarang.
Barang'barang yang demikian tidak dapat disewakan karena tubuhnya ikur dikonsunul dcngan
penggunaannya. seperti dalam kasus baban baka! mau bahan yang dapat dimakan, dan
penyedia barang tersebut tidak betkedudukan untuk mengambil risiko yang terkait dengan
kepemilikannya. Unit moneter, yang juga mencakup uang kertas yang berfungsi sebagai medal
memiliki hak 'atas keuntungan, Malkanjuga menerima risiko kerugian yang ada. Dengan kata
lain, unit monetar tidak dapat dmakm katana fisika kemgiannya dikenakan maa moda! uen: “"
gendiri dan bentuknya bembah seluruhnya. Aset tetap seperti gedungdan permainan ddak
memiliki hak atas nang sewa karena pihak yang menyewakan mnguasai hak kepemilikan dan
menanggung semua tisiko terkait. Oleh sebab itu. sesem'ang tidak dapat menghasilkan
keuntungan dari nang kecuali ia menukarkannya “Muk komOv ditas atau jasa yang
menggunakan struktur dari salah satu kontrak (Akad) penjualan atau penyewaan yang sah
Transaksi biznis sektor riil mengambil salah satu dari ketiga bentuk berikut: pen.
jualan/pembelian yang dapat dilakukan secara tunai ataupun kredit, pemberian pin. jaman, atau
penyewaan. Ketika dilaksanakan, transaksi ini memiliki implikasi berbeda'beda dalam hal
pengalihan kepemilikan, tisiko, clan kewajiban. Pendapatan ' keuntungan yang bergantung
pada hasi! dari bisnis terkait diperbolehkan. Entah berupa bimi: sektor riil atau aktivitas
fmansial, risiko selalu mengikuti kepemilikan. Orang yang memberikan pinjaman memiliki
hak untuk mendapatkannya kembali; ia tidak mcnanggung risiko tanpa memandang apakah
pihak peminjam menghasilkan keuntungan atau mendcrim kemgian atau bahkan menggunakan
nang yang dipinjam untuk dikonsumsi. Olch sebab itu.ia mtidak dapat menuntut keuntungan
atas modal yang dipinjamkannya. lika omng yang menyediakan dana menginginkan
keuntungnn am uangnyn. la ham mcnyetujui mcnanggung risiko, jika ada. Dalam kasus ini,
keuntungan yang dihasilkm akan didistribusikan berdasarkan rasio yang telah disef tujui
semcntara kerugian akan dibagi berdmrkan proporsi investasi yang dilakukan oleh setiap
pemberl modul; kerugian seorang pcngguna dana tidak akan dibcri imbalan atas tenaga
kerjanya. Kamnanya. tidak ada kescmpatan atas ”bunga”. Dengan keta lain. seseorang berhak
ums kcuntungan hanya jika ia menanggung risiko kerugian.
lika seseomng membcli komoditas, mendapatkan kepemilikan/risikonya, ia dapat menjualnya
dengan marjin keuntungan, baik secara mnai maupun secara kredit. Ketika penjualan (secara
kredit) dilaksanakan, haknya adalah piutang yang tercipta. sememara risiko asemya dialihkan
kcpada pembeli. ]ika mengubah moda! uangnya ke dalum aset tetapltidak dapat dikonsumsi,
na memiliki hak untuk menyewakannya
denganhnbalanmngsewaanlkaniammnggtmgsemuarisikodanbebanyang terkait dengan
kepemilikan. Dengan mengingat prinsip ini, dapat dikatakan bahwa onng dapat menghasilkan
keuntungan ata: investasi atau pembiayaan, tapi haru: dikaidcan dengm aset tertentu yang takua
tisiko bisnis langsung ataupun ddak
M.Mpembaipmjamanamhedimddakmmanggungdsikoapapm dan hahah aus pelunasnn
keselumhan jumlab pinjaman atau utang, ia tidak beduk luanim: kamnmgan atau nang suva
schau apa pun.
INFLA51 DAN TINGKAT BUNGA

'l'ingkat bunga tidak dapat disahkan dengan berbasiskan inflasi, terutama karena faktanya
adalah pemberian pinjaman dalam Islam adalzih aktivitas yang bersifat nonkomutatif dan
dermawan. Ia sehamsnya tidak dicampurkan dengan bisnis yang dilakukan dengan sasaran
untuk menghasilkan keuntungan. Keuntungan dapat dipcroleh jika modalnya dikaitkan dengan
kewajiban, risiko, atau tanggung jawab_ Keuangan islami tidak memiliki ketentuan untuk
mengaitkan utang atau piutang dengan valuta/komoditas. Perintah Kitab Suci Alquran dan
Sunnah jelas mengung. kapkan bahwa jika kontribusi fmansial mengambil bentuk pinjaman
atau utang, ia harus dilunasi dalam jenis dan kuantitas yang sama, tanpa memandang perubahan
dalam nilai dari valuta atau harga komoditas terkait yang disewakan atau dipinjamkan pada
saat pengembalian pinjaman. ]ika seseorang ingin menghindari risiko depresiasi nilai, ia harus
mengubah uangnya ke dalam aset riil, menjalankan bisnis, menghasilkan keuntungan dengan
jalan tersebut, dan mendapatkan uang sewa atau bagian dari keuntungan yang dihasilkan
dengan memikul kewajiban kerugian. Di hadapan Nass (perintah yang jelas) dari Kitab Suci
Alquran (surat ke'Z: 279), gagas' an pengaitan pinjaman/utang dengan daya beli tidak dapat
dibenarkan dengan dasar Ijtihad, karena Ijtihad hanya akan dilakukan jika tidak ada petunjuk
yang jelas dari Alquran atau Sunnah.
Selama suatu periode inflasi, karakteristik intrinsik uang, yakni perannya sebagai medium
pertukaran dan unit nilai, tidaklah betubah. Hanya karakteristik yang relatif. yakni nilai waktu
nang di masa yang akan datang dalam hal nilai tukamya; akan terapi. nilai ini terus berubah
sejalan perkenalan uang, bahkan ketika era nang koin. Nilai dirham perak terdepresiasi jika
dikaitkan dengan dinar emas pada masa awal Zaman Kl'xalifah.2 Akan tetapi, kami tidak
menemukan acuan dalam semua literatur ilmtl hukum. islami mengenai konsep penggunaan
indeks atas dasar fluktuasi nilai nang. Pelarangan atas Riba pada dasamya menuntut semua
pertukaran setupa dilaksanakan Becara seimbang dalam unitounit. pertukaran yang relevan.
]ika hal ini tidak sesuai dengan keinginan seseorang, ia bebas menghindari pertukaran yang
demikian dan bebas pula mencari tindakan altematlf lain yang diperbolehkan, seperti
penjualanv penyewaan, atau kesepakatan yang berbasiskan perekanan. Misalnya, melalui pen’
jualan kredit, kebutuhan pembeli dapat dipenuhi, sementara pertimbangan pihak penjual dapat
diakomodasikan melalui mari in yang ditambahkan pada pembayaran harga yang ditunda.
Akan tetapi, sekali lagi, hatga, ketika telah disetujui, harus tidak berubah.
Emas, perak, dan udit rhoneter lain seperti valuta kertas adalah beberapa dari enam kombditas
yang pertukarannya hams sempa, seimbang, dan secara langsung. ]ika seseorang meminjam
100 dolar yang harus dilunasi dalam waktu setahun, dan jumlah ini, setelah dikenai indeks,
menjadi 105 dolar, itu termasuk kategori Riba. Seperti yang diuraikan di Bab ? (Bagian 7.17),
fuqaha ternama seperti AlzKasani dan Ibn Qudama jelasfjelas menyatakan pandangan mereka
bahwa pihak peminjam harus melunasi dalam koin atau valuta yang sama ketika meminjam,
tanpa memandang adanya peningkatan atau penurunan dalam nilai.
Berdasatkan prinsip Syariah, pinjaman/piutang yang mencari tambahan keuntungan ' atasnya
adalah Riba. Dalam kasus inflasi, nilai valuta terdepresiasi terhadap yang lain; tak akah ada
perbedaan apakah seseorang telah meminjamkannya atau menyinv pannya untuk diti sendiri
dalam bentuk likuidnya. ]ika ia meminjamkannya menggxmakan indeks yang berkaitan dengan
emas, misalnya, guna menghindari penurunan atas nilainya, hal ini berarti ia telah mengambil
manfaat dari utang karena debitur tentunya akan dapat memanfaatkan penurunan nilai dari
jumlah uang yang dipin' jamkan, sedangkan nang yang disimpan sepdiri oleh debitur juga akan
tetap kahi; langan nilai. Pengambilan manfaat seperti ini dari pinjaman melanggar Syariah. Hal
tcrpenting dari persoalan ini adalah pinjaman mempakan kontraijkad) yang tidak menghasilkan
remunerasi; dengan demikian, ia harus tetap bersifat demikian dan tidak digunakan sebagai
cara untuk menghasilkan atau mendapatkah kompensasi.
Bahkan dalam keuangan konvensional, pengenaan indeks biasanya tidak digunakan untuk
menutup kerugian yang terjadi karena inflasi. lnstitusi konvensional membuat ketentuan untuk
tingkat bunga mengambang dalam kesepakatannya, dengan tetap mengingat tekanan inflasi di
masa yang akan datang. Dengan demikian, dikenakan tingkax bunga baru atas periode
pinjaman yang akan datang, sedangkan 1a tidak memengaruhi kcwajiban utang yang telah
terclpta. Misalnya, dalam penyewaan, bank islami dapat mengenakan uang sewa dengan
tingkat lebih tinggi, jika telah d1tetapkan dalam keacpakatannya, untuk periode penyewaan
yang akan datang; akan tetapi nang sewa untuk periode tertentu yang telah diterlma tidak dapat
dikenai indeks.
Kita dapat mcnyimpulkan, karenanya, bahwa jika kontribusi fmansial mengambil bentuk
pinjaman. a_tau utang, la haru: dilunasl dalum jenis dan kuantitas yang sama tampa
memandahë perubahan nilal yang mungkin terjadi atas valuta di mana pinjam' an tersebut
diberikan atau harga komoditas yang dlsewakan atau dipinjamkan pada saat pengembalian
plnjaman.

NILAI WAKTU UANG DAN PERBANKAN ISLAMI

Beberapa orang yang meyakini pelarangan atas bunga mengkritik perbankan islami yang
menerapkan nilai waktu uang melalui penetapan harga, sementara yang lam berpendapat
menghindari bunga berarti meniadakan nilai waktu uang; oleh sebah itu, mereka berdebat
apakah bank islami yang mengenakan harga kredit yang lebih tinggi dibandingkan harga tunai
atas barang tidak bersifat islami atau bunga dari bank zaman sekamng tidaklah dilarang. Kedua
pandangan tersebut didasarkan pada kesalahpahaman. Kita membahas persoalan ini secara
terperinci di Bab 4. Pada bab tersebut dijelaskan bahwa nilai waktu diperbolehkan oleh Syariah
dalam perdagangan/ pertukaran barang riil, tapi tidak dalam Qard atau Dayn, di mana seseorang
tidak dapat menghasilkan keuntungan darinya. Penentuan harga dan hak pemanfaatan atasnya
adalah bagian utama transaksi bisnis mana pun, dan untuk tujuan penentuan harga, waktu serta
tempat transaski merupakan faktor krusial. Suatu komoditas mungkin bisa lebih murah di suatu
bagian atau pasar dari sebuah kota dibandingkan bagian atau pasar leiin dari kota yang sama.
Begitu pula sebuah komoditas bisa lebih murah pada saat puncak musimnya dibandingkan pada
saat awal musim. Syariah mengakui perbedaan nilai karena elemen waktu dan tempat, serta
tidak melarang pelaksanaan nilai waktu uang dalam transaksi bisnis yang didasarkan pada
pertukaran (penjualan dan penyewaan). Apa yang dilarang adalah tuntutan atas nilai waktu
uang sebagai jumlah yang ditentukan terlebih dahulu yang tidak terkait dengan bisnis sektor
riil apa pun.
Terdapat konsensus di antare para cendekiawan Syariah bahwa harga kredit suatu komoditas
dapat melebihi harga tunainya, asalkan salah satu harga tersebut disetujui pada seat
pelaksanaan kontrak (Akad) (seperti yang dibahas secara terper'mci dalam Bab 6; Bagian 6.5.3
dan 6.8). Begiçu pula dengan kontrak (Akad) forward seperti Salam. harga untuk penyerahan
di masa yang akan datang lebih murah dibandingkan dengan harga pada saat penyerahan
barëng. Yang dilarang adalah tambahan atas harga ketika telah disetuji karma adanya
ketërlambatan dalam pembayaran. Hal ini dikarenakan komoditasnya, ketika dijual (secara
kredit), menciptakan utang dan menjadi milik pembeli secara permanen dan pihak penjual tidak
memiliki hak untuk menetapkan ulang harga dari komoditas tersebut yang telah ia jual dan
tidak lagi menjadi miliknya. Konsep nilai waktu uang dalam konteks Syariah juga diciptakan
dari pelarangan atas Riba Al-Fadl, yang melibatkan emes dan perak sebagai tambahan atas
beberapa

komoditas la'm yang mungkin kita gunakan sebagai medium pertukaran. Pertukaran komoditas
tersebut yang melibatkan penundaan dilarang dijadikan peraturan. Hanya Pertukaran langsung
yang diperbolehkan, asalkan kuantitas kedua belah pihak sama, Hal ini berani Syariah
melarang pertukaran emas, perak, atau nilai valuta kecuali jika dilakukan secara bersamaan.
Hal ini dikarenakan seseorang dapat mengambil manfaat ataS medium pertukaran yang telah
ia terima sementara ia belum menyerahkan nilai mndingan yang dapat dimanfaatkan oleh pihak
lawan.

Penilaian suatu periode kredit untuk penentuan harga barang dan hak pemanfaatan atas barang
tersebut berbeda dengan konsep konvensional ”biaya kesempatan” atau "nilai waktu”. Dalam
hal ini, ”tambahan” dalam perdagangan diperbolehkan; asalf kan peraturan Syariah yang
berkaitan dengan penjualan barang ditaati, tapi bunga dilarang karena merupakan tambahan
atas pinjaman atau utang. Oleh sebab itu, nilai waktu uang tidak dapat ditambahkan pada
pinjaman atau utang setelah ia terf ciptakan atau kewajiban dari pihak pembeli telah ditetapkan.

Perekonomian islami memiliki ketentuan mumi mengenai pengonversian uang ke dalam aset,
dengan basis seseorang dapat mengukur manfaamya. Sementara sebagian besar fuqaha
mendukung konsep dan praktik penerapan harga kredit yang lebih tinggi dibandingkan harga
tunai barang, tak ada satu pun dari meteka yang memperbolehkan pengenaan uang sewa atas
jumlah pokok pinjaman dan utang. Karenanya, tidak ada pembenaran yang mengasumsikan
tingka bunga nol atas prefrensi waktu dalam perekonomian islami. Begitu pula, seseorang tidak
dapat menambahkan nilai pinjaman dan utang atas dasar waktu. Agen perekonomian dapat
memiliki preferensi waktu positif dan akan tersedia indikator dalam perekonomian untuk
memperkirakan tingkat preferensi waktu mereka, yang pada umumnya ditentukan oleh
kekuatan permintaan dan penawaran.

PENGENAAN BUNGA ATAS DEBITUR KAYA


Argumen bahwa, pada zaman sekarang ini, pihak peminjam dari institusi fmansial sebagian
besar dimiliki oleh komunitas bisnis yang kaya raya, dan pengenaan bul\ga kepada mereka
bukanlah tidak adil sama sekali tidak meyakini. Argumen ini dapat dipertahankan hanya jika
semua bisnis yang betutang menghasilkan keuntungan Yang jauh di atas tingkat bunga. Akan
tetapi, jika sebagian dari mereka “lenghasilkan keuntungah yang jumlahlwa berada di bawah
tingkat suku bunga, 8Gibagian dari mereka menghasilkan keuntungan di luar sewajamya,
sementara yang lain menderita kerugian, tuntutan tersçbut sudah tidak relevan lagi. Kritik ini
malah Memperkuat argumen yang menentang bunga karena kelas yang relatif lebih kava
mengambil dana dalam tingkat suku bunga yang jauh lebih murah dibandingkan de gan
keuntungan mereka dari bisnis. Mereka memberikan sebagian kecil keuntungn ën dalam
benmk bunga pada bank, yang diperlakukan sebagai beben dan pada hkhimya akan dikenakan
kembali kepada konsumen. ]ika sebagian dari mereka mengalami kemgian bisnis, mereka
biasanya mengambil jalan untuk menggunakaq praktik tidak etis berbeda guna menghindari
kerugian yang dapat membahaykaq masyarakat secara keseluruhan. Oleh karenanya, orang
kaya menjadi semakin kaya, meninggalkan orang miskin bertambah miskin. Solusi atas
permasalahan yang seperti ini adalah dengan menyediakan kerangka di mana seseorang dapat
menghasilkan keuntungan/imbalan/pendapatan hanya melalui penggunaan pikiran dan tenaga
kerja, atau dengan menanggung tanggung jawab dan risiko bisnis. Bunga akan me. nuntuq-
pada eksploitasi salah satu pihak yang ada, yakni debitur _atau kreditur, dan karenanya
dilarang, tanpa memandang siapa yang melakukan eksploitasi dalam tran. saksi tertentu.
Karena keterlibatan bunga dan perjudian dengan skala besar, sistem &nansial konvensional
menjadi sarana untuk mengeksploitasi penabung atau depo. san dan publik secara umum.

INTERPRETASI SYARIAH YANG BERBEDA'BEDA

Kritik lain terhadap keuangan islami adalah bahwa produknya tidak terstandardisasikan karena
beberapa konsepnya harus mengikuti beragam interpretasi Syariah berbeda. Para cendekiawan
islami tidak menggunakan Ijtihad dan karenanya keuangan islami tidak dapat menjadi dasar
yang kukuh bagi sistem fmansial untuk menggantikan sistem konvensional yang ada sekarang
ini. Namun, keti-ka pergerakan perbankan islami melalui kemajuan yang signiflkan karena
telah mengembangkan konsensus umum mengenai filosofi dan produk untuk bisnis, dengan
penerimaan skala besar atas teori dan praktik arus utama, perbedaan kecil dalam konsep tidak
lagi menjadi permasëlahan besar. Berkenaan dengan standardisasi produk, hal ini akan
membutuhkan waktu yang agak lama. Untuk sementara waktu, pengembangan produk besena
proses dan prosedumya adalah tantangan utamanya. Selam itu, _instif tusi seperti IDB,
AAOlFl, dan IFSB sedang menangani tantangan tersebut; hal ini dapat pula menuntun pada
standardisasi di masa yang akan datang.

Syariah Islam telah menyediakan fleksibilitas untuk ljtihad guna menanggapi perubahan dan
keberagaman dalam kehidupan sehari'hari. Dengan tetap berada dar lam batasan Syariah,
diperlukan banyak Ijtihad untuk mengambil kesimpulan dari 5umber orisinalnya mengenai
peraturan yang berkaitan dengan transaksi bisnis dan kenanganBelum lama ini, cendekiawan
Syariah telah dengan benar menggunakan
5umber ini untuk menurunkan prinsip dalam memfasilitasi pertumbuhan keuangan islami
dengan skala yang lebih luas. Akan tetapi, Ijtihad memiliki batasannya sen, diri. la bukanlah
sumber anarki atau sarana untuk mengonversikan Syariah dari hukum Agung menjadi hukum
buatan manusia. Konsep kebiasaan, kebaikan umum, manfaat, dan kebutuhan juga diikutkan
dalam pertimbangan proses Ijtihad, berdasar' kan analogi yang tepat, tapi faktor tcrsebut hanya
akan relevan bila prinsip dasarnya yang telah diberikan dalam Nass (teks Alquran dan Sunnah
yang jelas) diperhatikan dengan baik dan hasilnya sesuai dengan sasaran (Maqasid) Syariah.
Perkembangan ilmu pengetahuan yang didasarkan pada etika dan keyakinan bergantung pada
perihal dapat diterimanya dasar konseptual serta prosedur imple/ mentasinya. Teori keuangan
islami arus utama telah mendapatkan penerimaan ini dan industrinya harus dikembangkan
berdasarkan konsep yang dapat diterima. Beberapa konsep yang berfungsi sebagai dasar
penerapan dalam beberapa area belum mendapatkan penerimaan secara umum, dan banyak
cendekiawan, bahkan mereka yang berasal dari areayang bersangkutan, menunjukkan argumen
yang meyakinkan yang menentang konsep tersebut. Misalnya, produk yang melibatkan Bai’ al
Dayn (penjualan utang/piutang) dan Bai’ al ’Inah ( kesepakatan pembelian kembali) bukanlah
produk asli bisnis perbankan islami karena tidak sesuai dengan fllosofl yang ada.

Keuangan islami menyediakan dasar yang kukuh untuk sistem fmansial yang kuat dan eflsien
karena penyediaan moda! yang berkaitan dengan risiko dan struktur tingkat keuntungan yang
seimbang melalui pelarangan bunga dan Gharar dan ha; nya menjalankan bisnis-bisnis yang
berbasiskan aset yang mengikuti seperangkat peraturan yang terdefmisikan dengan jelas.
Dengan mengingat kebutuhan sejati IFI dan peraturan Syariah, para cendekiawan Syariah telah
membetikan beberapa pelonggaran. Pelonggaran tersebut mencakup diperbolehkannya
pengenaan sauksi dengan persentase tahunan bagi pihak yang lalai, walaupun dipemntukkan
rekening amel; perlindungan {award valuta asing melalui janji sepihak untuk menukar dua
valuta scara bersamaan pada nilai tukar yang telah ditetapkan; praktik penjualan dan
penyewaan kembali, khususnya dalam kasus sektor korporat dan pemerintah; beberapa
fleksibilitas dalam hal Sukuk dan pengonversian aset ke dalam surat berharga, seperti ketentuan
jaminan pihak ketiga untuk kemungkinan menjadikan Sukuk sebagai ”surat berharga
berpendapatan tetap” dan diperbolehkannya Tawarruq di mana perdagangan aktualnya dan
barang-barang dijual di pasar atau kepada pihak ketiga mana pan“; adalah bebetapa area umma
di mana cendekiawan Syariah telah memberikan bantuan bagi pergerakan keuangan islami
dengan cara Ijtihad. Sescomng seharusnya tidak mengharapkan pengumuman resmi yang
mendukung setiap pçoduk
BANK ISLAMI MENGGUNAKAN MODE-MODE PENCIPTAAN UTANG

Beberapa penulis keuangan islami, baik para ekonom fnaupun ahli keuangan, me. nyatakan
bahwa Musyarakah dan Mudharabah adalah mode yang semata'mata dapat berfungsi sebagai
altematif atas bunga dalam kerangka islami. Mereka berpendapat jika IFI harus menghindari
bunga, mereka seharusnya beroperasi tampa bunga atau menjalankan bisnis hanya dengan
berbasiskan Mudharabah/Musyarakah. Namun, hal ini hanyalah mitos dan kesalahpahaman.
Hal ini bukanlah tuntutan Syariah dan tidak mungkin terjadi pula dalam kehidupan nyata.
Perdagangan telah menjadi bagi' an paling utama dalam aktivitas manusia selamanya. Aktivitas
perekonomian utama urnat manusia, selain menghasilkan barang, juga melibatkan
perdagangan, penyewaan, atau penyediaan jasa bagi yang lain. Aktivitas ini dapat dilaksanakan
dalam beragam struktur seperti kewirausahaan mandiri dengan menyewa keahlian dan jasa
orang lain berdasarkan pembayaran imbalan serta kerja sama (partnership). Individu atau
institusi mana pun dapat memilih struktur mana pun dengan mengamati peraturan bisnis terkait.
Tuntutan saçuosatunya yang diajukan oleh Syariah hanyalah bila meng' inginkan keuntungan,
seseorang harus melakukan penambahan nilai melalui tenaga kerja, risiko, atau tanggung
jawab. ]ika memilih bisnis perdagangan, seseorang harus mendapatkan komoditas, mengambil
kepemilikan dan risiko atasnya, lalu menjualnya dengan menambahkan mari in keuntungan.
Dalam penyewaan, seseorang harus me' nanggung risiko yang terkait kepemilikan guna
mendapatkan hak atas uang sewa' Dalam aktivitas bisnis yang berbasiskan kerja sama
(partnership), pihak penvedif’ modal harus menanggung kemgian bisnis, jika ada, guna
mendapatkan hak atas ke/ untungan dari usaha bersama tersebut. lika bank islami memenuhi
semua tuntutan yang relevan tersebut, mereka dapat melakukan bisnis melalui salah sam
stmktuf tadi. Aspek ini membutuhkan pembahasan dalam dua hal: perihal diperbolehkannv3
dan preferensi beberapa mode dibandingkan mode lain dan kesesuaian/kemungkinan
penggunaan beragam mode, dengan meng'mgat kenyataan mendasar dan profil risiko serta
tuntutan deri para investor dan bank. Hal ini dibahas sebagai berikut.

Preferensi Dibandingkan dengan Perihal Diperbolehkannya Beragam Mode

Utang tëlah populer untuk waktu yang lama dan akan tetap menjadi bagian penting dalam
perekonomian individu dan bangsa. Nabi Muhammad saw. sendiri pemah meminjam dan
memikul utang (melalui pembelian kredit dan peminjaman), baik untuk keperluan pribadi
maupun keperluan Negara, seperti yang kita bahas di Bab 7. Satu-satunya hal yang harus
diperhatikan adalah utang seharusnya tidak mengandung biaya atas jumlah pokoknya. Oleh
sebab itu, mode'mode penciptaan utang seperti Mumbahah, Salam, dan ljarah akan tetap
menjadi sarana beroperasi di tangan institusi finansial Islami, dan perdagangan tunai, kredit,
dan/atau forward akan tetap menjadi aktivitas perekonomian utama dalam-kerangka islami.
Permasalahannya bukanlah diperbolehkannya mode-mode yang demikian atau tidak, tapi
preferensi atas model mode yang berbasiskan ekuitas dibandingkan dengan mode-mode
penciptaan utang.

Meskipun demikian, bebërapa orang mencampur aspek perihal diperbolehkan dengan


preferensi atau prioritas. Beberapa mode/produk dianggap sebagai teknik per» batasan,
terutama dikarenakan penetapan tingkat keuntungan bagi bank. Akan tetapi, penentuan maq'in
keuntungan itu dengan sendirinya tidak menjadi pennasalahan sama sekali. Semua transaksi
bank islami seharusnya didasarkan pada pemnkaran komoditas, barang, jasa, atau tenaga kerja.
]ika terjadi pertukaran barang atau jasa beserta dengna penerapan prinsip Syariah yang relevan,
transaksinya diperbolehkan. Mumbahah dan Ijarah diperbolehkan dan seharusnya tidak ada
keraguan mengenai hal ini. Ketika diterapkan oleh bank, salah satu mode dapat mengakibatkan
ketidakteraturan sehingga menjadikannya tidak sesuai dengan Syariah. Dalam hal ini,
seseorang dapat menyebut mode apa pun sebagai teknik perbatasan karena sedikit kelalaian
pada sisi [bankir atau nasabah dapat mengakibatkan permasalahan kesesuaian dengan Syariah.
Akan tetapi, permasalahan yang demikian juga dihadapi, bahkan dalam kasus Musyarakah dan
Mudharabah; haruskah kita menghindarinya dengan alasan beberapa lFI tidak menerapkan
persyaratan Musyarakah baik secara tenulis maupun secara jiwa? Tentu tidak. ]adi.
permasalahannya bukanlah ”utang dibandingkan dengna ekuitas”, tapi mcnggantungkan diti
lebih banyak pada ekuitas dan pengenaan utang pada primip Syartah bahwa utang, ketika
tercipta, seharusnya tidak bertambah qeperti yang terjadi dalam kasus sistem konvensional.

Misalnya, karena kctidakhati-hatian bank islami dalam berfungsi di Pakistan pada

tahun l980-an. ai mana Regiatan Murabahah mereka yang melibatkan ”pembelian kembali”
dan ”penggulungan” hanya mengalaml perubahan nama. (Hal ini mungkin

terjadi, bahkan dewasa ini, dalam kasus ”jalur” yang dioperasikan oleh institusi fmansial islami
tampa adanya pengawasan Syariah oleh para regulator atau penasihat Syariah.) Akibatnya,
Federal Sharia! Court di Pakistan langsung melarang penggunaan Murabahah secara
keseluruhan dalam penilaian yang diberikan pada November 1991. Pemerintah Pakistan
mengajukan banding kepada Shariat Appellate Bench ( SAB) dari Supreme Court of Pakistan
yang memperbolehkan penggunaan Murabahah dengan syarat semua prinsip Syariah dalam
Murabahah diterapkan dan bank benar'benar tetlibat dalam perdagangan serta memikul risiko
perdagangan yang ada.

Demikian pula, ljarah merupakan mode krusial yang dapat berguna dalam meningkatkan
pembentukan modal dalam perekonomian. Akan terapi, jika bank tidak meme, nuhi persyaratan
yang berkaitan dengan risiko dan imbalan dari aset yang disewakan, transaksinya akan menjadi
tidak sesuai dengan Syariah dan penasihat Syariah akan membenarkan penolakannya.

Bank islami dapat mengenakan keuntungan tetap/uang sewa jika mereka ikut serta dalam
perdagangan dan penyewaan, sedemikian rupa sehingga jika harga atau uang sewa tidak
ditentukan sejelas'jelasnya, transaksi akan kehilangan keabsahan. Oleh sebab itu, perihal
diperbolehkannya modermode penciptaan utang telah utuh dan kukuh. Pembiayaan melalui
mode-mode tersebut, agar sesuai dengan Syariah, harus dikaitkan dengan aktivitas sektor tiil
dan, karenanya, merupakan sumber produktivitas serta profutabilitas yang adil. Produk atau
mode seharusnya tidak dipev tanyakan hanya karena beberapa bankir tidak memenuhi
persyaratan Syariah yang telah ditentukan. lika kerangka kesesuaian Syariah telah berjalan
secara efektif dan penasihat dan/atau regulator Syariah tetap waspada dalam hal bemperas'mya
IFI, pro' duk mereka seharusnya dapat diterima.

Kesesuaian Mode-Mode Berbasiskan Syirkah untuk Pembiayaan


Berkenaan dengan penerapan mode berbasiskan prinsip Syirkah yang lebih disukai» pihak
manajemen bank atau regular dapat mengeluarkan instruksi kepada praktisi dalam bank
tersbeut untuk menempkannya dengan tetap mengingat profil risikO pemilik dana dan
kenyataan mendasar bisnis di masing'masing bagian. Dalam ba' nyak bagian bisnis,
penggunaan mode berbasiskan Syirkah bahkan mungkin tidall dapat digunakan. Orang yang
menjalankan bisnis keluarga mungkin membutuhkan pinjaman jangka pendek (bridge finance)
dan buken pembiayaan permanen atau jangka panjang, Kebutuhannya dapat dipenuhi melalui
mode-mode_berbasiskan peri dagangan atau penyewaan. Dalam kams lam. penggunaannya
mungkin tidak dianjuri kan karena rendahnya profil risiko investor. Bank menyimpan nang
deposan sebagai

dana kelolaan (trust) dan mereka hanya akan menginvestasikan nang yang demikian
berdasarkan keingingan atau inStruksi deposan, tampa harus berkompromi dengan prinsip
Syariah. ]ika deposan tidak menyukai risiko, uang mereka hanya akan di'm' vestasikan dalam
mode'mode yang berbasiskan perdagangan atau penyewaan. Misalnya, pensiunan atau janda
mungkin membutuhkan bankir islami untuk menginvestasikan nang dalam bisnis yang sesuai
Syariah dengan tingkat risiko yang rendah karena tidak mampu menanggung risiko kemgian
yang dapat muncul dari bisnis yang berbasiskan Syirkah. Bank, sebagai pihak Yang dipercaya
untuk mengelola dana (trustee), hanya menginvestasikan dana investor yang tidak menyukai
risiko ke dalam aktivitas perdagangan dan yang berbasiskan Ijarah. Demikian pula, pada sisi
aset, nasabah bank mungkin tidak bersedia menjadikan bank sebagai rekan dalam bisnis atau
mungkin tidak menyimpan dengan baik catatan yang benar dari usaha bersama tersebut; hal ini
dapat mengakibatkan kemgian bagi bank, kemudian bagi deposan/investomya sendiri.

Namun, harus diakui bahwa Musyarakah dan Mudharabah atau produk PLS lain adalah
alternauf terbaik atas bunga. Mereka tidak hanya membuat modalnya untuk menanggung
risiko, faktor yang sangat dibutuhkan dalam pertumbuhan dan perkembangan bahkan dalam
negara yang telah berkembang, tapi juga mendukung kewirausahaan. Namun, hal ini
seharusnya tidak menuntun pada penolakan modemode non-PLS, yang dapat pula memainkan
peran dalam pembentukan moda! dan perkembangan perekonomian. Oleh karena itu, terjadi
perubahan bertahap dalam pendekatan para ahli perbankan islami, dan semakin dirasakan
bahwa semua mode pembiayaan islami, jika digunakan dengan benar dan sesuai dengan
tuntutan Syariah yang relevan, bisa memainkan peran positif dalam proses pengembangannya.
Bank islami, sementara berfungsi dengan berdasarkan selain bunga, juga harus melak' sanakan
tugas krusial untuk memobilisasi sumber dava, pengalokasian sumber dava tersebut dengan
berbasiskan mode'mode dari kategori PLS ataupun non'PLS, dan memperkuat sistem
pembayaran guna memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan serta pengembangan
perekonomian.

INSTITUSI FINANSIAL ISLAm-BANK ATAU PERUSAHAAN PERDAGANGAN!


Petbankan Islami juge mendapatkan kritik atas dasar bahwa perbankan berani pihak perantara
di antare penabung dan pem'mjam; bank tidak bemrusan dengan bisnis sektor riil. Mereka
memfasilitasi perdagangan dan bisnis, tapi dalam kasus tersebuc

jaman bebas bunga mungkin dapat bempa aktivitas individu yang bergantung pada
kebijaksanaannya, atau akcivitas Negara dalam sejumlah keadaan tertentu. Penye« diaan dana
tampa keuntungan oleh institusi bisnis tidak mungkin terjadi berdasarkan hukum permintaan
dan penawaran. Dananya berasal dari mana jika bank tidak memberikan keuntungan bagi
deposan/investor? Penghasilan keuntungan bukanlah permasalahannya; permasalahannya
adalah bagaimana menghasilkan keuntunganmelalui pemberian pinjaman yang berbasiskan
bunga atau melalui bisnis sektor riil? Bank islami biasanya tidak memberikan pinjaman nang;
mereka menjalankan bisnis sektor riil dengan tetap mengingat prinsip Syariah.

IFI harus bekerja sebagai institusi bisnis sehingga dapat dengan benar menjalankan fungsinya
dalam memobilisasi dan mengalokasikan sumber daya secara eflsien. Mitos yang beredar di
beberapa pihak bahwa bank islami harus beroperasi sebagai pusat keamanan sosial yang
memberikan derma kepada yang membutuhkan dan untuk kebajikan haruslah dihilangkan
karena bisnis dan kebajikan adalah dua hal berbeda. Individu memiliki hak mengeluarkan uang
dengan tujuan kebajikan dari pendapatan mereka, di mana mereka akan mendapatkan imbalan,
baik di dunia ini maupun di Akhirat nanti. Akan tetapi, bank yang menyimpan uang deposan
dengan amanat tertentu tidak memiliki hak untuk melanggar amanet tersebut.

Bank islami akan menjual barang yang mereka beli dengan menguntungkan, menyewakan aset
dengan imbalan uang sewa, dan membagi keuntungan (atau me» nanggung risiko) yang
dihasilkan dari investasi yang berbasiskan' Syirkah. Mereka akan membantu masyarakat untuk
berkembang dengan memfasilitasi inVestasi yang berbasiskan aset dan mehyediakan modal
yang berbasiskan risiko. Negara atau regulator akan dituntut untuk mengawasi fungsi mereka
guna memastikan kepentingan beragam' pemangku kepentingan benar'benar dilindungi.
Berdasarkan kebijaksanaan dewan mereka dan dengan berkonsultasi dengan pemangku
kepentingan, mereka dapat pula ikut serta dalam aktivitas sosial dan kesejahteraan, tapi hal ini
tidak akan menjadi tujuan utama bisnis mereka.

PENILAIAN KRITIK ATAS PRAKTIK PERBANKAN ISLAMI

Kita menganalisis beragam pertentangan dan kritik atas praktik perbankan islami sebagai
berikui.

PENYIMPANGAN ANTARA TEORI DAN PRAKTIK


Beberapa hasil karya cendekiawan mengenai perbankan islami berpendapat bahwa bank islami
telah menyimpang sedemikian tupa dari basis fllOSOfl mereka dan bahwa konsep perbankan
serta keuangan islami telah mengalami perubahan yang tampak dibandingkan dengan konsep
yang dibayangkan dalam semester kedua abad kesembilem belas. Pada awal tahapan evolusi
perbankan islami (tahun 1940-an hingga awa1 tahun 1980'an), dianggap bahwa, temtama,
mode pembagian keuntungan/kerugian akan menjadi altematif atas bunga guna memperbaiki
ketidakadilan perekonomian sosial yang diakibatkan oleh elemen bunga. Misalnya, hasil karya
Dr. Nejatullah Siddiqi, Banking without interest ataupun hasil karya Dr. Uzair Interestffree
Banking yang mengacu pada Mumbahah. Hasil laporati Council of Islamic Ideology di
Pakistan ( 1980) bahwa hasil karya awal atas subjek tersebut dengan ragu'rag memperbolehkan
penggunaan Murabahah dan membatasi penggunaannya bagi kasus-kasus yang tak
terhindarkan dalam proses transformasi. Shaikh Muhammad Taqi Usmani menulis mengenai
Murabahah dan Ijarah pada bab penutupnya dalam An Introduction w Islamic Finance:

"Para cendekiawan Syariah telah memperbolehkan penggunaannya untuk tujuan pembiayaan


hanya dalam bidangrbidang di mana Musyarakah tidak dapat diterapkan dan penggunaannya
harus pula disertai dengan beberapa persyaratan tertentu. Pem' bolehannya ini juga tidak dapat
dianggap sebagai peraturan permanen untuk semua jenis transaksi, dan keseluruhan kegiatan
operasional bank islami sebaiknya tidak berkisar di seputamya.

Bagaimanapun, pada praktiknya Murabahah dan Ijarah banyak digunakan serta penggunaan
mode PLS mulai ditinggalkan, bahkan dalam institusi di mana Shaikh yang terhormat menjabat
sebagai penasihat Syariah atau menjadi anggota dewan Syariah. Penyimpangan ini harus dilihat
dari perspektifyang tepat dan lebih luas karena akan menentukan tingkat kredibilitas sistem
yang mulai berkembang ini. Bahkan. fenomena ini lebih mengacu pada evolusi konsep
keuangan islami dibandingkan pe' nyimpangannya. Keuangan islami masih terus berevolusi
dengan berddsarkan 610805 dan primi!) dasm yang ditetapkan oleh Syariah.

Satu penyebab utama penyimpangan yang terlihat antara teori dan praktiknya adalah
penggunaan Murabahah yang terlalu berlebihan, yang memberikan tingkat

keuntungan tetap bagi bank. Hal ini dijuluki sebagai ”sindrom Mumbahah”, dengan perasaan
ironis yang berkaitan dengan beroperasinya IFI.4 Secara konseptual, ia bukanlah perasaan
sesungguhnya. Perdagangan adalah aktivitas yang diterima dalam sistem islami dan jika
larangan serta etika bisnis yang direkomendasikan, seperti yang ditunjukkan dalam buku Hadis
dan ilmu hukum diperhatikan baikobaik, ia bisa menuntun pada banyak fasilitas bagi umat
manusia, pertumbuhan kekayaan, dan pendistribusian karunia Yang Maha Kuasa secara'lebih
luas. Dalam banyak kasus, perdagangan atau penyewaan merupakan pilihan yang semata
tersedia. Sebagian besar deposan, khususnya di negara yang sedang berkembang, adalah orang-
orang berpenghasilan rendah seperti pensiunan, janda, dan kelompok kelas menengah ke
bawah lain. Uang mereka seharusnya tidak diinvestasikan ke usaha'usaha yang berisiko.
Namun, dalam kasus transaksi perdagangan tunggal atau di mana dokumentasi yang memadai
tersedia, bank islami sebaiknya menggunakan Musyarakah karena dapat menghasdkan
keuntungan lebih tinggi.

IFI MENGGUNAKAN PENDAPATAN BUNGA SEBAGAI MODAL AWAL/DASAR


Beberapa sumber tertentu mengkritik perbankan islami atas dasar bank berbasiskan bunga
konvensional menggunakan pendapatan bunganya untuk mendirikan ”jalur islami”, cabang
perbankan islami terpisah (Islamic Banking Branches " IBB), atau institusi perbankan islami
penuh. Keberatannya adalah pendapatan yang dihasilkan dari sumber-sumber yang terlarang
seharusnya tidak digunakan untuk bisnis yang berbasiskan prinsip Syariah. Akan tetapi,
argumen ini temyata tidak memiliki dasar Yang kuat. ]ika seseorang melakukan bisnis
ilegal/yang dilarang bermaksud, apa pun itu, untuk menghentikan perbuatan salahnya itu, ia
perlu didukung. Harus ada masa permulaan untuk mengubahnya menjadi aktivitas sah, baik,
dan hermanfaat secara sosial dari profesi ilegal yang buruk dan berbahaya. Ayat-ayat Alquran
memberikan prinsip bahwa ”Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhan-nya, lalu dia
berhenti, apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah)
kepada Allah” (2: 275) dan ”Tempi jika kamu bertobat, kamu berhak atas pokok hartamu" (2:
279). Prinsip ini memberikan jenis tindakan yang jelas: pendapatan yang berasal dari bunga
dapat dijadikan moda! awal untuk institusi fmansial islami-jalur, cabang, bank penuh, atau
NBFC. Tuntutan satu-satunya adalah kegiatan operasionalnya harus

xesuai dengan Syariah dan benar-benar terpisah dari bisnis yang berbasiskan bunga Selain itu,
dalam banyak kasus, modal keseluruhan bank bukanlah pendapatan bunga Model yang
dihasilkan pada awalnya tetap menjadi bagian darinya.

Keberatan yang terkait mungkin adalah, berdasarkan perintah Kitab Suci Alquran, bahwa
insitusi yang demikian sebaiknya sama sekali meninggalkan bisnis yang berbasiskan bunga
dan mengubah keseluruhan kegiatan operasionalnya pada kegiatan yang sesuai dengan
Syariah. Hal ini adalah tuntutan yang ideal dan pembuat kebijaksanaan/regulator, khususnya
di negara-negara yang memiliki populasi mayoritas urnat Muslim, harus memiliki target
transformasi untuk keseluruhan sistem dalam suatu periode yang ditentukan secara jelas. Akan
tetapi, hal ini dapat memiliki pengecualian: institusi fmansial konvensional multinasional
raksasa tidak dapat dihao rapkan berubah dalam waktu semalam; akan tetapi, ia tentu harus
didukung untuk meluncurkan bisnis yang sesuai dengan Syariah pada tingkatan apa pun
semampunya karena hal ini mungkin akan menjadi pendorong untuk peningkatan sistem yang
mulai berjalan di seluruh dunia.

PERBEDAAN ANTARA PERBANKAN ISLAMI DAN PERBANKAN


KONVENSIONAL

Kritik paling umum yang berkenaan dengan praktik perbankan islami adalah tidak adanya
perbedaan di antare beroperas'mya perbankan konvensional dan perbankan islami. Keberatan
ini diajukan atas dasar hal-hal berikut: lFI mengenakan nilai waktu uang dengan berbasiskan
perbedaa'n tingkat suku bunga, seperti institusi kom vensipnal, untuk menghasilkan tingkat
pendapatan yang same; mereka tidak benarbenar bertransaksi dalam barang (_lan hanya
memfasilitasi pembelian barang serta jasa oleh nasabah, seperti pihak lawannya dalam sistem
konvensional, dan karena' nya menghasilkan pendapatan tetap; mereka meinbutuhkan jaminan
dari nasabah, 'memberikan sauksi dalam kasus kelalaian, memberikan t'mgkat këuntungan
yang hampir sama kepada deposan dan investbr tidak pemah menëruskan ketugian kepada
deposan. Bagian-bagian berikut qieninjau keberatan-keberatan tersebut.

Pengenaan Nilai Waktu Uang seperti yang Dikenakan Bank Konvensional

IFI tidak dapat dan pada umumnya tidak mengenakan nilai waktu nang dalam pe. naprrian
konvensional. Mereka harus melakukan perdagangan dan oenvewaan, dan

mereka dapat benarrbenar mempertimbangkan faktor waktu unmk tujuan penetapan harga atau
hak pemanfaatan atasnya, seperti yang dibahas secara terperinci dalam beragam bagian buku
ini. Akan tetapi, ketika piutangnya telah tercipta pada saat Pelaksanaan kontrak (Akad) yang
sah, mereka tidak dapat menambah jumlah apa pun atas jumlah pokok tersebut, tidak hanya
dalam mode-mode penciptaan utang gepel'ti perdagangan dan penyewaan, tapi juga dalam hal
keuntungan yang dihasilkan dari Musyarakah dan Mudharabah. ”Biaya dana” dalam hal biaya
kesempatan kona vensional tidak dipertimbangkan dalam keuangan islami. Nilai waktu uang
diterima untuk tujuan penetapan harga atas barang/hak pemanfaatan barang saja dan buken
untuk penetapan harga atas uang atau utang/instrumen utang. Oleh karenanya, pandangan
bahwa bank islami mengenakan nilai waktu uang seperti halnya bank konvensional adalah
kesalahpahaman. ,

Penggunaan Tingkat Suku Bunga sebagai Tolok Ukur

Penggunaan tolok ukur yang berkaitan dengan tingkat suku bunga apa pun oleh bank islami
juga mendapat kritik. Hal penting yang perlu diamati dalam hal ini adalah tolok ukur atau
tingkat referensi adalah kebutuhan tulen bagi semua jenis bisnis. Tingkat referensi dapat
berbeda«beda antare sektor yang satu dan yang lain serta dari waktu ke waktu-tingkat pasar
formal akan berbeda dengan tingkat pasar informal; tingkat untuk sektor properti akan berbeda
dengan tingkat pasar sektor komoditas; tingkat pasar untuk sektor fmansial juga akan berbeda
dari industri atau agrikultur. Akan tetapi, tingkat pasar yang demikian harus ada, yang
memungkinkan pemain pasar terkait menentukan harga barang dan jasa mereka. Oleh sebab
itu, IFI juga memerlukan tingkat referensi atau tolok ukur. Karena pasar tempat mereka
berfungsi adalah fmansial, mereka dapat menggunakan t'mgkat referensi pasar fmansial, jika
tidak, akan terjadi gangguan dan kekacauan.
Pertanyaan teikait mungkin adalah mengapa bank islami tidak mengembangkan tingkat tolok
ukumya sendiri? Harus diakui bahwa tolok ukur yang mencerminkan &set f\ktif tidak akan
bemanfaat dalam mewujudkan sasaran perekonomian sosial dati perbankan dan keuangan
islami. Akan terapi, yang harus diperhatikan adalah dalam Skenario dewasa ini, di mana bagian
bank islami dalam pasa'r fmansial nasional dan global sangat kecil, mereka berkewajiban
menggunakan tolok ukur formal dari pasat konvensional tempat mereka beroperasi.
Pemerintah dan korporasi besar dari sektor publik serta sektor swas_ta menggalang dana dalam
jumlah besar dengan berbasiskan bunga. Mereka juga menempatkan kelebihan likuiditas pada
tingkat suku bunga

bebas risiko tertinggi yang ada. Bahkan sebagian saham perusahaan perseroan ter» batas tidak
memenuhi kriteria penyaringan untuk investasi yang sesuai Syariah. Hal ini menjadi alasan IFI
sekarang menggunakan tolok ukur berbasiskan bunga hampir dalam semua belahan dunia. Tak
diragukan lagi bahwa perbankan islami, yang sifat dasamya memang berbeda dari sistem
konvensional, membutuhkan tolok ukumya sendiri, tapi mengevolusikan tingkat referensl yang
terpisah dalam setiap . wilayah hukum akan membutuhkan waktu dan upaya berkelanjutan,
»yang tetap menjadi agenda masa mendatang bagi ekonom, bankir, pembuat kebijaksanaan,
dan cendekiawan Syariah.

Untuk sementara waktu, tolok ukur konvensional dapat digunakan oleh IFI katana hanya
digunakan sebagai alat dan dasar penetapan harga barang serta hak pemanfaatan atasnya, yang
dapat diterima oleh Syariah. Penjual dapat mengenakan harga dengan persetujuan pembeli dan
tetap bersaing dalam pasar. Penggunaan tolok ukur konvensional tidak berarti bahwa
perbankan islami dan perbankan konvensional sempa. Seperti yang dibahas sebelumnya,
subjek yang berbeda dari kedua sistem (nang dalam sistem pertama dan barang dalam sistem
kedua) menghasilkan perbedaan besar dalam hal hak dan kewajiban masingomasing pihak.

Tingkat Keuntungan yang Ditetapkan Terlebih Dahulu dalum Keuangan Islami

Sebuah mitos umum, khususnya di antara orang awam, adalah bahwa institusi (inansial islami
seharusnya mengenakan tingkat keuntungan variabel untuk akomodasi finansial dan
memberikan tingkat keuntungan variabel pula untuk simpanan; tingkat simpanan temp atau
tingkat fasilitas adalah bunga. Mitos “mi tidak perlu dihilang' kan karena tingkat keuntungan
bergantung pada sifat alamiah kontrak (Akad) atau kescpakatannya. Dalam semua transaksi,
tuntutan Syariah adalah bahwa seseorang sehamsnya telah oecara memadai mengetahui apa
yang diberikannya dan didapatkan sebaliknya dalam kontrak (Akad). Hal ini berani kepastian
dari subjek dan nilai WW» transparansi, pengungkapan, senë perserujuan tampa paksaan dari
semua pihak unmk 'mcmamki kontrak (Akad) adalah faktor penting dalam bisnis dan kenangan
islami.
ltu semua bergantung pads cifut alamiah transaksl. Dalam transaksi uang atau utang, tidak ada
tingkat bunga mengambang/variabel yang dapat ditetima. ]ika simpanv an pada bank berbenmk
pinjaman, neperti dalam kasus kewajiban rekening giro bank, mereka seharusnya tidak
menghasilkan keuntungan. Simpanan yang dimobilisasikan _

dengan berbasiskan Mudharabah seharusnya menghasilkan tingkat keuntungan Variabel, baik


bagi bank maupun deposan. Bila terjadi kemgian terhadap simpatian yang demikian, modal
deposan akan berkurang sementara bank tidak akan bisa men' dapatkan keuntungan atas
jasanya sebagai manajer pengelola dana. ]ika simpanan dikelola dengan berbasiskan Wakalatul
Istismar, bank akan mengenakan biaya tetap, sementara deposan akan menikmati keseluruhan
keuntungan atau menanggung ketugian yang ada.

Pemturan yang menyatakan bahwa seseorang seharusnya mengetahui secara memadai apa
yang diberikan dan apa yang sebaliknya akan diterima dalam sebuah kontrak (Akad) berarti
bahwa harga atau uang sewa harus ditetapkan dengan pasti. Dalam kasus perdagangan, bank
islami dituntut menetapkan harga secara defmitif dan, karenanya, dapat mengenakan
keuntungan tetap dalam Murabahah, sementara dalam Salam, keuntungan bank bergantung
pada harga di mana ia mampu memasarkan komoditas Salam. Dalam Ijarah, besamya uang
sewa haruslah ditentukan, jika tidak, transaksinya menjadi tidak sah. Akan terapi, karena pihak
yang menyewakan harus menanggung semua risiko dan beban yang terkait dengan
kepemilikan, keuntungan bagi bank sebagai pihak yang menyewakan atau pemegang Sukuk
Ijarah menyerupai recap dan tidak tetap secara absolut. Pada instrumen pemberian pinjaman
nang atau yang berbasiskan utang, bank islami tidak bisa mendapatkan keuntungan. Investasi
yang berbasiskan Syirkah dapat dikaitkan dengan mode-mode pendapatan tetap seperti
perdagangan dan Ijarah. Contohnya adalah Musyarakah Susut dengan berbasiskan
Syirkatulmilk dan pengonversian aset ke dalam surat berharga melalui Ijarah dan Syirkah.
Produk investasi islami dapat dirancang sedemikian tupa sehingga investor mendapatkan
keuntungan variabel atau mënyerupai tetap. Oleh sebab itu, penetapan biaya dengan sendirinya
bukanlah permasalahan; ia bergantung seluruhnya pada sifat alamiah transaksi atau hasil dan
implikasinya.

Keberatan yang befkaitan dengan tingkat suku bunga adalah walaupun bank islami
mendapatkan simpanan dengan berbasiskan Mudharabah, mereka tidak pernah meneruskan
kemgian kepada deposan. Keadaan yang. sebenamya adalah IFI memiliki beberapa kumpulan
dana simpanan dan investasi yang berbasiskan modemode pembagian serta penciptaan _utang
yang dikenakan untuk tiap-tiap kumpulan dana tersebut. dan dengan tetap mengingat prinsip
diversiflkasi. Semakin beëar kumpulan dana kelolaan dan semakin tinggi tingkat
diversiflkasinya, semakiri kecil kemungkinan kerugian bagi bank ataupun anggota kumpulan
dana tersebut. Misalnya, kumpulan dana yang dimiliki oleh seribu deposan berbeda dati
beragam kategori (jangka waktu) berbeda harus diinvestas'lkan; bank berinvestasi ke dalam
empat
&ektor/subsektor perekonomian atau lebih dengan memfasilitasi 200 wirausaha de. hgan
berbasiskan beragam mode seperti Mumbahah, Ijarah, Musyarakah Menurun, dan
Musyarakah, dengan mengamati semua alat manajemen risiko yang ada. Sebagai hasilnya,
dalam banyak kasus perdagangan dan penyewaan, bank akan menghasilkan tingkat keuntungan
yang telah ditetapkan terlebih dahulu; dalam kasus pembiayaan berbasiskan Syirkah, ia
mungkin akan menderita kerugian dalam beberapa kasus, sementara dalam sebagian besar
kasus akan me'nghasilkan keuntungan karena telah menerapkan semua alat pengurangan risiko
yang diperbolehkan oleh Syariah. Bahkan jika 'telah menderita kerugian dalam beberapa kasus
atau piutangnya gagal terlunasi, ia secara keseluruhan masih akan menghasilkan keuntungan.
Keuntungan keseluruhan yang dihasilkan dari kumpulan dana kelolaan tersebut didistribusikan
di antara kumpulan dana dan bank (Mudarib) serta kemudian bagian kumpulan dana
didistribusikan di antara para anggota kumpulan dana dengan berdasarkan produk harian
rata'rata dan pembobotannya diberikan pada setiap kategori di awal setiaf) periode.5 ]ika
tingkat keuntungan proyeksi telah ditentukan di muka, ia tidak akan memiliki dampak pada
pendistribusian keuntungan fmal; hanya jumlah keuntungan bersih yang terwujud yang harus
didistribusikan dengan berbasiskan [criteria 'yang telah ditetapkan dan bank memiliki ”alat”
terbatas untuk menutupi kekurangannya, jika ada.

Oleh karena itu, kita dapat mengatakan bahwa kerugian harus dikenakan pada kumpulan dana
simpanan, tapi keuntungan yang dihasilkan oleh bank dalam seba' gian besar kasus yang ada
mampu menutupi kemgiannya. Selain itu, IFI dapat men! ciptakan cadangan dari keuntungan,
di mana kerugian di masa yang akan datang dapat ditutup menggunakan cadangan tersebut.

Aspek penting lainnya adalah bank islami merupakan entitas bisnis yang bertujuan
mendapatkan keuntungan. Mereka dituntut menjadi pengusaha yang lebih berhati' hati
dibandingkan pihak lawan dalam kerangka konvensional karena menyimpan dana publik
sebagai dana kelolaan (trust). Semua bisnis menghindari risko dengan cara pengelolaan dan
penggunaan alat pengurang risiko yang tepat. Begitu pula bank islami yang menyimpan nang
deposan sebagai dana kelolaan (trust) dituntut mene'

Jrapkan semua langkah legal yang mungkin ada untuk menghindari risiko.

Ketetapan pasti atas keuntungan dari beragam jenis Sukuk, tentunya, merupakan

'persoalan yang penting. Kita membahas hal ini di Bab 15 (Bagian 15.3.7). lntisari pembahasan
tersebut adalah surat berharga atau Sukuk ”berpendapatan tetap” dalam
pengertian instrumen investasi konvensional tidak mungkin terjadi dalam keuangan islami.
Prospektus untuk menerbitkan Sukuk/sertiflkat (bukan hanya yang berbasiskan Syirkah) harus
mengandung klausul yang menyatakan bahwa penerbit bertanggung jawab mengganti rugi
pemegang sertifikat hingga nilai nominalnya dalam situasi-situasi selain kerugian dan
kelalaian, atau bahwa penerbit menjamin suatu persentase tetap keuntungan. Dalam Sukuk
yang berbasiskan Syirkah, hanya pihak ketiga independen yang dapat menyediakan jaminan
tampa remunerasi atas modal atau keuntungan. Akan tetapi, komitmen pihak ketiga tidak
menciptakan hak bagi penerima manfaat untuk mengaitkan kontrak (Akad) Syirkah dengan
pemenuhan jaminan. Dalam kasus ketidakmampuan atau penolakan pihak ketiga memenuhi
komitmennya, pemegang Sukuk tidak dapat menuntut ganti rugi dengan alasan mereka telah
membeli Sukuk dengan memperhitungkan pemberian jaminan oleh pihak ketiga atas
keuntungan atau modal."s '

Dalam kasus Ijarah atau Sukuk portofolio campuran, mungkin dapat terjadi kegagalan dalam
penerimaan piutang Mumbahah; dalam penyewaan, ada kemungkinan beben yang terkait
dengan kepemilikan dan kegagalan penerimaan uang s'ewa yang telah jatuh tempo. Pihak
pemilik/pihak yang menyewakan aset harus memastikan kepada pembeli (pemegang Sukuk),
sementara menjualnya ke SPV, mengenai kimetja pihak penyewa, seperti dalam kasus IDB
Trust. Akan tetapi, apa yang harus dilakukan bila asetnya hancur tanpa adanya kesalahan atau
kelalaian dari pihak penyewa? Kerugian ini harus ditanggung oleh pihak yang menyewakan-
pemegang Sukuk. 'Dalam kasus Murabahah atau piutang lain, SPV bisa memiliki jalan lain ke
institusi yang telah menjalankan transaksi yang mendasarinya, tapi, masih mungkin pula terjadi
kekurangan. Oleh sebab itu, tingkat keunnmgan dapat menyerupai tetap, tapi tidak benarobenar
tetap dalam Sukuk. Karenanya, hal ini harus diperhatikan

baik-baik untuk menjaga integritas dan dukungan berkelanjutan bagi sistem finansial yang
mulai berkembang ini.

Keterlibatan Aktual daiam Bisnis Sektor Riil

Bank islami juge dikritik dengan alasan tidak benar-benar terlibat dalam bisnis sektor riil. Hal
ini tidak benar; bank islami harus terlibat dalam bisnis riil, dengan semua

implikasinva, karena tidak diperbolehkan mengenakan biaya atas dana atau uang Sewa atas
nang dalum pinjaman jangka pendek, menengah, atau panjang, Penarikan Yang

melebihi saldo, jaminan, pembiayaan atas tagihan, piutang, atau instrumen lain atau menjual
instrumen ucang. Perbedaan yang paling strategik di antare peraturan islami dan konvensional
adalah bahwa, dalam peraturan konvensional, kedua barang yang dipertukarkan dalam
transaksi dapat ditunda/ditangguhkan dan barang yang dibeli, serta bahkan ”opsi”-nya dapat
dijual di muka tanpa mengambil kepemilikan atas asetaset yang mendasarinya dan semua risiko
terkait. Dalam keuangan islami, hanya satu barang dari kontrak (Akad) pertukaran yang dapat
ditangguhkan, sementara penyerahan/kepemilikan barang yang dipertukarkan harus diberikan
dan diterima, seperti yang ditetapkan dalam kontrak (Akad), beserta dengan pengalihan risiko
kepada pihak pembeli. Kegiatan operasional bank islami melibatkan pertukaran barang dengan
uang, yang dapat mengambil beragam bentuk, seperti pertukaran seketika secara bersamaan,
penyerahan seketika dengan pembayaran yang ditangguhkan, dan pembayaran seketika dengan
penyerahan yang ditangguhkan.

Subjek dalam perbankan islami adalah barang; IFI menggunakan uang hanya sebagai medium
pertukaran untuk membeli barang dengan tujuan untuk disewakan atau dijual kemudian
sehingga dapat menghasilkan uang sewa atau keuntungan. Seperti yang dibahas di Bab 4 dan
5, mereka harus benar'benar membeli komoditas, mengambil kepemilikan dan kepunyaan
atasnya, yang tentunya berani mangalihkan risiko kepemilikan kepada mereka; hanya dengan
demikianlah mereka dapat memiliki hak untuk menghasilkan keuntungan dengan menjualnya
di kemudian hari. Setelah pelaksanaan penjualan, risiko aset dialihkan kepada nasabah, yang
akan membayar harganya pada waktu yang telah ditentukan. Dalam Salam, bank harus
menerima penyerahan atas barang yang dibeli di muka tampa memandang peningkatan atau
penurunan dalam harga barang tersebut. Dalam lstisna’a, pemanufaktur menyerahkan aset ke
bank beserta semua risiko yang berkaitan dengan aset dan pasar. Dalam Ija' tah, kepemilikan
atas aëet yang disewakan tetap ada di bank dan berdasarkan pep aturan Syariah yang telah
ditetapkan, tisikonya juga ada di bank.

Bank islami, bagaimanapun, tidak dapat dan iidak bisa menyimpan persedian dari semua
barang yang mereka perdagangkan; mereka bukanlah toko serbaada. Bukan pula tuntutan
Syariah bahwa seseorang harus menempatkan semua barang dagang/ a_nnya di pajangan toko
sebelum kemudian menjualnya. Prosedur di mana IFI dapat hiembeli barang untuk dijual
kemudian atas dasar pemintaan pelanggan didasarkan pada praktik bisnis sektor riil yang
umum dan, karenanya, dapat diterima dari sudut pandang Syariah. Oleh sebab itu, Standar
Syariah mengenai Mumbahah yang telah dipersiapkan oleh AAOIFI diberi nama sebagai
Standar mengenai Mumbahah atas Pesanan Pembeli.

Penunjukan nasabah sebagai agen untuk pembelian atau penjualan barang oleh bank islami
juga dapat diterima oleh Syariah tampa adanya perbedaan pandangan. Barang yang disimpan
oleh agen tetap menjadi risiko penyewa agen (principal) selama tidak ada kelalaian atau
pelanggaran kepercayaan pada sisi agen yang terbukti. Sepertinya lebih disukai bagi bank
islami untuk mendirikan pemsahaan pengelolaan aset atau perusahaan perdagangan yang dapat
menyimpan persediaan barang dan aset yang biasanya dibutuhkan untuk pelaksanaan
perbankan perdagangan; akan tetapi, tidaklah mungkin menyimpan semua barang dan merek
barang yang dibutuhkan oleh semua nasabah, dan itu bukanlah persyarat'an Syariah bagi bisnis
perdagangan dan Ijarah yang sebenamya. '

Pengambilan Keamanan/Jaminan dan Dokumentasi

Keberatan yang diajukan lainnya adalah bahwa bank islami, seperti halnya pihak 'lawan dalam
sistem konvensional, mengambil jaminan/keamanan dalam semua pem! biayaan, juga
mencakup Musyarakah/Mudharabah. Keberatan terkait lainnya adalah bank islami meminta
terlalu banyak dokumentasi. Banyak yang salah memahami bahwa [FI seharusnya
memfasilitasi nasabah pada sisi aset tanpa harus ada jaminan. Secara prinsip, keberatan ini
tidak memiliki dasar yang kuat. Bank islami adalah institusi komersial; mereka dapat meminta
gadaian/jaminan yang memuaskan untuk perolehan kembali piutang mereka.7

Karena IFI bertransaksi dalam barang dan menciptakan piutang, mereka mernbutuhkan
jaminan dan juga dokumentasi melebihi yang dibutuhkan oleh institusi konvensional. Kitab
Suci Alquran dan Sunnah menekankan perlunya dokumentasi, trmmparansi, dan jaminan
dalam semua transaksi kredit, seperti yang kita bahas Secara terperinci di Bab 7. Kitab Suci
Alquran memerintahkan seseorang menulis dan menjadi saksi dalam semua transaksi yang
melibatkan kredit dengan satu atau [aia cara. Nabi Muhammad saw. jtiga mendukung
pengungkapan semua karakteristik barang yang diperdagangkan dan lingkungan kompetitif
tempat orang-orang mendapatkan informazi mcmadal mcngenai barang dan harganya di pasar.

Karenanya, dalam semua mode penciptaan utang, bank bisa minta nasabah m_emberikan
jaminan dalam bentuk surat gadal; akan terapi, bank tidak akan berhak nie; mahakan jaminan
jika kemgian dalam bisnis telah terjadi tanpa adanya perbuatan iahat atau kelalaian pada nisi
nasabah yang menjadi rekan bank tersebut.

Pada praktiknya, bagaimanapun, mungkin terdapat tuntutan bahwa, dalam bebetapa kasus
tertentu, persyaratan yang berkaitan dengan peringanan jaminan yang memungkinkan nasabah
kecil melakukan bisnis tingkatan mikro. Pengalaman menunjukkan bahwa bisnis kecil dari
nasabah kelas menengah institusi &nansial cenderung tidak lalai ataupun lambat dalam
pembayaran kewajiban. Oleh sebab itu, IFI juga harus mengeluarkan beberapa skema untuk
memfasilitasi para pengangguran dan orang miskin untuk memulai bisnis guna mencari nafkah
dengan berbasiskan jam'man pribadi dan/atau kelompok.

Profil Risiko Bank Islami

Kesalahpahaman lain adalah bahwa bank islami, seperti halnya bank konvensional, tidak
mengambil risiko; mereka mengadopsi mode dan teknik yang memungkinkan mereka
memperoleh pendapatan yang ditargetkan, seperti halnya dalam perbankan konvensional.
Maksud yang harus ditekankan dalam hal ini adalah pengambilan risiko dan manajemen risiko
merupakan dua aspek berbeda. Perbankan islami melibatkan pengambilan risiko bahkan dalam
sifat alamiahnya sendiri; risiko dapat diminimalkan melalui alat manajemen risiko yang sah,
tapi tidak dihindari atau dihilangkan secara total. Bank konvensional memberi dan menerima
keuntungan bebes risiko dalam pengertian pokok dan tambahan atasnya dalam bentuk bunga
dijamin; deposan dan bank berhak mendapatkan jumlah pinjaman penuh beserta bunga. lika
teq'adi keget galan, itu merupakan akibat permasalahan manajemen/pemerintahan karena hak
kontraktual unmk mendapatkan jumlahnya tetap ada. Hal ini bukanlah seperti yang terjadi
dalam keuangan islami; IFI harus melakukan bisnis riil, mereka dapat mengf hasilkan
keuntungan atau menderita kerugian, dan karenanya mengambil risiko. Risiko tambahan yang
harus dihadapi institusi fmansial islami jika dibandingkan Hengan institusi konvensional
adalah risiko aset, risiko pasar, risiko ketidaksesuaian dengan Syariah, risiko keuntungan yang
lebih besar, risiko &dusia yang lebih besar, dan risiko legal yang lebih besar pula. Risiko aset
ada dalam semua mode, khususnya dalam Mumbahah (sebelum penjualan di muka kepada
nasabah), Salam (setelah menerima penyerahan dari penjual Salam), dan ljarah, karena _semua
risiko yang berkaitan dengan kepemilikan berada pada sisi bank selama asetnya berada dalam
kepemilikannya; jika asemya hancur tanpa ada kegagalan pada sisi pihak penyewa dan tidak
mampu menyerahkan manfaat yang biasanya diinginkan, hak bank unmk mendapatkan nang
sewa akan berakhir. Dalam mode yang berbasiskan Syirkah, risiko akan ditanggung
berdasarkan bagian dalam kepemilikan. Risiko pasar muncul karena

bank mungkin tidak akan mampu memasarkan barang yang dibeli dengan berbasiskan Salam,
Istisna’a, dan sebagainya dengan harga yang menguntungkan. Risiko keuntung« an juga
muncul karena harga, ketika ditetapkan dalam Murabahah/Salam, tidak daf pat ditingkatkan.
Dengan tetap berpedoman pada prinsip Syariah, bank islami dipet» bolehkan mengambil
langkah-langkah manajemen/pengurangan risiko. Akan tetapi, pengalihan risiko kepada pihak
mana pun tanpa mengalihkan imbalan yang terkait tidaklah mungkin dilakukan. Oleh sebab
itu, kritik bahwa bank islami, seperti halnya bank konvensional, tidak mengambil risiko bisnis
tidaklah sah.

Hasil Akhir ldentik dari Perbankan Konvensional dan Perbankan Islami

Perbankan islami juga mendapat kritik dengan alasan bahwa hasil akhir kegiatan operasional
perbankan islami sama dengan hasil akhir perbankan konvensional. Rupanya, hal ini mungkin
tidak salah dengan alasan IFI menggunakan tolok ukur yang sama, 'bekerja dalam lingkungan
kompetitif tidaklah mungkin memberikan atau mengenakan tingkat bunga yang sangat berbeda
dari yang dikenakan oleh bank konvensional. Tolok ukur sektor fmansial membuat
administrasi dan regulasi oleh pihak manajemen dan regulator bank lebih mudah, efektif, serta
transparan. Karenanya, bank islami pada umumnya menggunakan tolok ukur yang digunakan
oleh intitusi konvensional. Walaupun demikian, penggunaan tolok ukur semata tidak berarti
hasil akhimya akan sama. Sementara bank konvensional menggunakan tolok ukur untuk
penetapan harga atas transaksi pemberian pinjaman dan yang ber' basiskan nang, bank islami
menggunakannya untuk menetapkan harga barang, hak pemanfaatan barang tersebut, dan jasa;
karakteristik ini menghasilkan perbedaan yang sangat besar di antare kedua sistem tersebut.
Bank isiami tak akan mampu menciptakan nang tanpa melakukan sesuatu atau tampa
mendukungnya dengan aset riil, seperti

halnya yang teri adi dalam sistem konvensional. Mereka hanya dapat mengonversikan
kegiatan operasional mereka yang berbasiskan aset ke dalam surat berharga dengan

tujuan menghasilkan dana likuid, dengan demikian mengalihkan kepemilikannya ke,

pemegang surat berharga tersebut beserta dengan risiko dan imbalannya. Pembiayaan

defisit anggaran pemer'mtah oleh bank dan institusi finansial islami tidak akan mungkin“ dapat
dilakukan hingga pemer'mtah memiliki aset riil yang cukup memadai untuk

menggalang dana yang sesuai dengan cara Symiah atau pengonversian persediaan utang (debt
stock) ke dalam surat berharga yang sesuai dengan Syariah. (Permasalahan penciptaan nang
dibahas secaraterperinci di Bab 4, Bagian 4.7.3.)

Kedua sistem ini berbeda, bahkan dalam kegiatan komersial. Institusi konvensional
menyediakan pinjaman untuk konsumsi atau pembelian baban mentah/barang jadi/ aset dan
terus mengenakan bunga selama piutangnya belum terlunasi, sedangkan bank islami menjual
aset/komoditas yang relevan setelah mengambil kepemilikan dan risikonya pada harga yang
telah ditetapkan dan yang tetap sama bahkan dalam kasus kelalaian. Dalam penyewaan, mereka
menanggung risiko dan beben yang berkaitan dengan kepemilikan. ]ika aset yang disewakan
hancur untuk alasan apa pun selain kelalaian pihak penyewa, mereka menderita kemgian dan
jika jumlah yang ditetima dari asuransi/Takaful tidak cukup untuk menutup kemgiannya,
mereka tidak dapat menuntut perbedaannya dari pihak penyewa. Selain itu, dalam Salam
mereka menerima barang dan jika mereka harus mendapatkan harga yang telah dibayarkan
pada awalnya untuk alasan apa pun, mereka tidak dapat menuntut ”biaya kesempatan” apa pun
atas penggunaan dana oleh penjual Salam.

Oleh karena itu, tidaklah benar bahwa hasil akhir praktik bank islami dan kon' vensional adalah
sama, selama bank islami memenuhi tuntutan Syariah dalam mode' mode bisnis islami.
Keuangan islami meningkatkan persediaan modal berbasiskan risiko dan membantu
pembentukan modal dalam perekonomian, yang pada akhirf nya bisa memberikan manfaat bagi
publik secara umum, sementara keuangan kon, vensional cenderung menciptakan individu
yang menghasilkan uang dari uang tanpa partisipasi dalam aktivitas bisnis riil-membuat yang
kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.

Kontrak (Akad) Gabungan ddn Rumit dari IFI

Kritik lain mengenai perbankan islami adalah bahwa IFI menggabungkan beberapa kontrak
(Akad) berkenaan dengan satu'transaksi secara keseluruhan, sementara ber dasarkan teori
keuangan islami, memasuki ”dua kontrak (Akad) untuk satu kontrak (Akad)” itu dilarang.
Akan tetapi, pandangan Syariah yang sesungguhnya adalah dua kesepakatan yang saling
bergantunglah yang dilarang. Kombinasi beberapa kontrak (Akad) diperbolehkan asalkan
mengikuti persyaratan tertentu. Syirkah dan Ijarah dapat digabungkan, yang berani seorang
rekan dapat memberikan bagian kepemilik/ zjagnnya atas sebuah aset yang disewakan ke
sesama rekan lain, seperti halnya dalam 'kasus Musyarakah Menurun. Di lain pihak, Bai' dan
Ijarah addlah dua kontrak (Akad) yang memiliki dampak sangat berbeda; dalam Bai’,
kepemilikan dan risiko dialihkan ke Pihak pembeli, sedangkan dalam ljarah, tidak ada
kepemilikan atau risiko yang dialihkan dari pihak yang menyewakan ke pihak penyewa.
Dengan demikian, sangat:

lah penting untuk memisahkan kesepakatan penyewaan dan penjualan. Namun, salah gatu
pihak dapat membuat janji sepihak unmk menjual, membeli, atau menghadialv kan aset terkait
pada masa berakhimya penyewaan. Hal ini tidak akan mengikat pihak la'm. Selain itu,
penjualan unit kepemilikan kepada nasabah dalam Musyarakah Susut juga harus dipisahkan,
yang memerlukan tahapan ”penawaran dan penerimaan” unmk setiap unit dan rekan yang ada
akan menanggung risiko proporsional dengan berbasiskan bagian dalam kepemilikan setiap
saatnya.

Musyarakah dan Mudharabah dapat digabungkan. Misalnya, bank mengelola dana deposan
dengan berbasiskan Mudharabah; mereka dapat menggunakan dana mereka sendiri dalam
bisnis dengan syarat rasio keuntungan rekan yang tidak aktif tidak dapat melebihi rasio
modalnya dalam modal keseluruhan.

Kontrak ( Akad) keagenan (Wakalah) dan penjaminan (Kafalah) dapat pula digaf bungkan
dengan kontrak (Akad) penjualan atau penyewaan, dengan syarat hak dan kewajiban yang
berasal dari beragam kontrak (Akad) harus dituruti sesuai masingf masing peraturannya.

Bank islami dapat merancang produk dengan mengomb'masikan mode-mode ber' beda asalkan
memenuhi persyaratan masing-masing. Misalnya, mereka dapat mengom« binasikan Salam
atau lstisna’ dengan Mumbahah untuk pembiayaan ekspor pra-pengar palan. Musyarakah
Menurun adalah kombinasi Syirkah dan ljarah yang ditambahkan dengan pihak yang
menjual/membeli kepemilikan secara periodik kepada/dari rekan lain. Dalam kontrak (Akad)
utama lainnya seperti Musyarakah, Ijarah, Salam, dan lstisna’, bank-bank Islami memasuki
janji dan kontrak'kontrak (Akad) keagenan dengan para nasabahnya atau pihak ketiga lainnya.
Hal ini dapat diterima dalam Syariah asalkan semua kesepakatan dan kontrak (Akad)
_tambahan dapat dilaksanakan secara terpisah tanpa implikasi masing-masing. Namun,
kesepakatan atau ketentuan yang saling bergantung yang menuntun pada ketidakpastian dalam
hal hak dan kewajiban pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak (Akad) tidak dapat
dilaksanëkan.
Pengambilan Janji Mengikat dari Nasabah

Beberapa cendekiawan mengkritik bank islami karena memperlakukan ”janji urgguk membeli”
oleh nasabah bersifat mengikat. Akan tetapi, karena ia tidak melanggar' prinsip Syariah mana
pun, teori keuangan islami arus utama menyatakannyia bersifat mengikat, dengan tetap
mengingat permasalahan praktis dalam pe'nyelesaian kontrak (Akad) (lihat Bab 5, Bagian 5.6).
Dengan mengingat segala ketumitan bisnis zaman sekamng, khususnya ketika dilakukan oleh
bank islami, para cendekiawan kontem

poret telah mencapai konsensus bahwa janji oleh sebuah pihak dalam transaksi
perekonomian/fmansial dapat dilaksanakan demi hukum hingga dan jika pemberi janji tidak
harus memenuhinya jika terjadi peristiwa force majeu'r. lika tidak dipenuhix nya janji tersebut
disebabkan oleh tindakan yang disengaja oleh pihak pemberi janji, ia harus mengganti mgi
kerugian terhadap pihak yang dijanjikan.

Dasar rasional di balik keputusan konsensus ini adalah bahwa, dalam banyak kasus, janji
mengikat menjadi kebutuhan tulen, yang pemenuhannya tidak sama de. ngan pelanggaran salah
satu ajaran Syariah dasar. Hal ini memiliki implikasi penting bagi kegiatan operasional'bank
islami dalam hal Murabahah atas Pesanan Pembeli, ljarah Muntahia'bi-Tamleek, Musyarakah
Susut, dan penjualan barang yang dibeli oleh bank dalam Salam/lstisna’. Karena tidak
bertentangan dengan Nass (teks) Alquran atau Sunah, ia dapat diterima dengan prinsip lbahatul
Ash'yah (semua aktivitas perekonomian yang tidak dilarang adalah sah/diperbolehkan).

PENGENAAN SANKSI TERHADAP PIHAK YANG LALAI

Pengenaan sanksi atas pembayaran yang terlambat oleh bank islami juga mendapat' kan kritik.
Argumentasinya adalah walaupun Kitab Suci Alquran merekomendasikan untuk memberikan
perpanjangan waktu kepada debitur dan bahkan merekomendasikan untuk menghapus
utangnya, [FI mengenakan sanksi yang berbasiskan persentase tahunan. Sebagai hasilnya,
biaya pembiayaan bagi nasabah adalah sama dalam hal bank konvensional, atau bahkan lebih
baik, bank islamiykarenanya, sebaiknya mem! berikan perpanjangan waktu tampa adanya
biaya tambahan sedikit pun.

Kelalaian adalah tantangan utama yang dihadapi oleh industri fmansial di selu' mh dunia.
Sistem konvensional memiliki alat dalam dirinya sendiri untuk mengen' dalikan kelalaian
karena pihak yang melakukan kelalaian dikenai bunga ' yang menjadi bagian dari pendapatan
institusi finansial konvensional. lFI diperbolehkan oleh cendekiawan Syariah untuk
mengenakan sauksi kepada pihak yang melakukan kelalaian guna mendisiplinkan mereka, tapi
sanksi yang diterima tersebut hams dif gunakan untuk amel dan tidak dapat menjadi bagian
pendapatan bank.
_ Situasinya tidak sesederhana itu. Sebagian besar nasabah bank pada sisi aset ada' ' hh pelaku
bisnis yang memiliki banyak akal. Mereka tidak membayar kewajiban kc 'bank, sementara
terus menjalani gayë hidup yang penuh kemewahan. Dalam kasus' kasus demikian, mereka
tidak termasuk dalam cakupan debitur yang mengalami kesuf litan yang berhak mendapatkan
kelonggaran atau penghapusad. Sementara pelunasan utang yang dilakukan secara penuh dan
tepat waktu juga tidak dapat diberi penekanan

lebih besar dalam perekonomian dan keuangan islami, kita harus membedakan antara kelalaian
yang disengaja dan kelalaian aktuël yang berasal dari permasalahan perekonomian riil yang
dihadapi oleh debitur. Berdasarkan peraturan Syariah, pihak pelaku kelalaian yang disengaja
seperti perampas kekuasaan usurpe'r yang dipaksa mengembalikan keuntungan, beserta harta
benda, yang dibuat oleh mereka atas harta benda yang dirampasnya.

Kita juga harus membedakan antara Qard dan Dayn karena fuqaha telah menye« mjui
pengenaan sanksi hanya untuk Dayn. Hal ini berarti bahwa, dalam kasus pina jaman (Qard),
kreditor seharusnya memberikan waktu lebih panjang, sedangkan jika kewajiban membayar
telah tercipa dikarenakan adanya transaksi bisnis-transaksi penjualan atau Ijarah-dan
nasabahnya menunda pembayaran dengan menggunzp kan taktik kesembronoan, ia dapat
dituntut untuk membayar denda, yang akan diberikan untuk amal, dan bahkan mengganti rugi
bank atas ketugian aktual (lihat Bab 7, Bagian 7.13). Dalam hal ini, OIC Fiqh Council
memutuskan bahwa ketentuan penalti seharusnya menjadi tidak sah dan tidak berlaku bila
nasabah dapat mem' buktikan bahwa kegagalannya memenuhi kewajiban diakibatkan oleh
alasan yang berada di luar kendalinya, atau ketika ia membuktikan bahwa, sebagai akibat dari
pelanggarannya atas kontrak (Akad), bank tidak menderita kemgian sedikit pun.

Kelalaian dalam penyelesaian kewajiban menjadi kejahatan perekonomian sosial di zaman


sekamng, terutama diakibatkan oleh prinsip sistem kapitalis dan berbasiskan bunga yang tidak
adil serta celah penyelewengan legal yang ada. Dalam kerangka islami, debitur tidak diberi
keleluasaan yang demikian bahwa sementara mereka, jika dilihat dari asetnya adalah miliarder,
tidak membayat kewajiban karena adanya celahcelah penyelewengan legal. Karena bank islami
hanis beroperasi dalam lingkungan Yang sama, cendekiawan Syariah memperbolehkan mereka
mengenakan penalti dalam kasus kelalaian dan kelalaian tersebut memiliki dampak yang lebih
besar kepada mereka dibandingkan kepada institusi konvensional. Mereka tidak dapat
mengklaim ”biaya kesempatan” atau kerugian dalam bentuk cair seperti yang dikenakan oleh
bank konvensional. Karena kelalaian merugikan pemilik simpanan, lFl perlu mengambil

setiap langkah yang mungkin ada untuk meminimalkan kemungkinan terjëdinya kelalaian.

KETERSEDIAAN UANG TUNA! UNTUK BEBAN LAIN DAN PEMBIAYAAN Defisit


Kritik yang diajukanbada kenangan islami adalah jika uang harus selalu dikaitkan dengan aset
riil, bagaimanakah kebutuhan akan nang tunai untuk beban lain dan

pembiayaan defisit dipenuhi? Keuangan islami memiliki beberapa modelimtrumen di mana


kebutuhan likuiditas dapat dipenuhi dengan baik. Penjualan forward seperti Salam/Salaf dan
Istisna’a merupakan contoh terbaik yang ada. Produsen barang homogen dapat benar'benar
menjual produksinya di muka, dan karenanya meng. -gunakan nang tunai yang diperolehnya
untuk tujuan konsumsi atau bisnis. Kebu. tuhan pemerintah dan sektor korporat dapat dipenuhi
oleh penerbitan Sukuk yang berbasiskan Syirkah atau ljarah. Oleh sebab itu, kritik ini tidak lagi
berlaku.

DAMPAK PEREKONOMIAN SOSIAL DARI SISTEM PERBANKAN ISLAMI


ZAMAN SEKARANG

Kritik yang tidak kalah pentingnya adalah perbankan dan keuangan islami dalam struktur
sekarang ini tidak _mampu mencapai tujuan perekonomian sosial dari suatu perekonomian
islami, seperti yang dinyatakan oleh teorinya. Beberapa pe10por mengutarakan kekhawatiran
mereka mengenai pengabaian mode yang berbasiskan ekuitas dan semakin banyaknya mode
penciptaan utang. Kekhawatiran ini dapat dibenarkan jika IFI terus beroperasi di lingkungan
kompetitif tampa dukungan bmf dari Negara, pembuat keputusan, dan regulator, seperti kasus
yang terjadi dewasa ini, mereka mungkin tidak dapat mewujudkan sasaran sistem fmansial
islami seperti yang dibayangkan oleh pelopornya, bahkan dalam jangka panjang.

Akan tetapi, beberapa pihak lebih keras dan menganggap perbankan islami se' karang sebagai
”upaya mengesahkan perbankan Barat konvensional dengan memi belokkan Syariah”.a
Sepertinya penulis yangmembuat pemayataan demikian mungk'm belum menyadari secara
memadai konsep dan filosofi perekonomian serta keuangan islami (walaupun pengetahuan
mereka dalam area lain). Sela'm itu, mereka sebaiknya mempertmxbangkan ”pennasalahan
sumir yang dihadapi urnat manusia genemsi Sekarang dalum mengikuti bimbingan ketuhanan”
(seperti yang dikatakan oleh Dt» M. Nejatullah Siddiqi dalam tanggapannya atas artikel Dr.
Asad Zaman; Ahmad dan Siddiqi, 2006). Sebagai tanggapan amis kritik itu, Profesor Khurshid
Ahmad mengatakan: ”Kita semua khawatir bahwa pergerakan sistematis dan tems'menerus
dalam arab tersebut (perekonomlan berbasiskan ekuitas) belum dilakukan. la akan menjadi
tragedi jika pergerakan islami tidak bergerak ke arah tersçbut. Akan tetapi ingat tidak bijak
menyalahkan keseluruhan upaya yang ada dan menganggapnya ”bageti upaya untuk
mengesahkan model perbankan yang berbasiskan bunga.”
Selanjutnya, perbankan hanyalah satu bagian dari perekonomian; keuangan publik juga harus
mengikuti sistem yang adil dan seimbang untuk mendapatkan manfaat sesungguhnya. Cakupan
dan kebutuhan penggunaan mode-mode berbasiskan ekuitas akan dibahas di bab terakhir,
”]alan ke Depan”.
KESIMPULAN

Sistem yang mulai tumbuh ini terkena beberapa mitos dan kritikan keras, bukan hanya oleh
mereka yang tidak menerima pelarangan bunga, tapi j uga oleh orang ”sale ”baik orang awam
maupun orang elite/berpendidikan tinggi-yang membayangkan sistem ideal tanpa adanya
penekanan pada tantzingan evolusioner dan pennasalahan serta kesulitan yang terus tumbuh.
Konsep dan fllOSOfl keuangan islami didasarkan pada pertimbangan yang logis dan diterima
oleh semakin banyak orang di seluruh dunia. Yang perlu dilakukan oleh para praktisi adalah
meningkatkan kesadaran guna menghilangkan mitos yang berkembang di publik.
Berkenaan dengan praktik perbankan islami, IFI perlu menerapkan kendali internal yang ketat
guna menghindari risiko sistemik dan operasional. Pelatihan staf Operasional pada semua
tingkatan yang ditujukan untuk meningkatkan visi, keyakinan, dan komitmen mereka sangatlah
penting untuk pertumbuhan kuat dari cabang pengetahuan baru ini. Mereka harus mencari cara
untuk menerapkan mode berbasiskan ekuitas dengan tetap mengingat profil risiko pemilik dana
dan sifat alamiah bisnis pada sisi pembiayaan. Tltik permulaan dalam arah ini mungkin adalah
praktik pembiayaan perdagangan berbasiskan konsinyasi, kegiatan operasional mikrobisnis,
pengonversian surat berharga berbasiskan Syirkah, dan pengelolaan dana.
Pengambilan jaminan dan keamanan adalah sah sepenuhnya bagi bank islami. Namun, merak;
juge harus memfasilitasi nasabah yang mampu melakukan bisnis menguntungkan yang tidak
mampu menawarkan jaminan berwujud sehingga memungkinkannya memulai bisnis untuk
mencari nafkah dengan bardasarkan jaminan

pribadi dan/atau kelompok

Anda mungkin juga menyukai