Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

Profit Sharing Dan Aplikasinya Di Perbankan Syariah


Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Mata Kuliah Hukum Perbankan Syari’ah
Dosen Pengampu : Ok Bilqis Amini M.E

Disusun oleh :
Kelompok 6
M.Ardiasnyah Efendi (0202222026)
Taufik Ihsan Berutu (0202222021)

PERODI PERBANDINGAN MAZHAB


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUMATRA UTARA
TAHUN 2024
KATA PENGANTAR

Puji Syukur Kami Ucapkan Kehadiran Allah SWT,Krena Berkat Rahmat


Hidayah.Makalah Ini Dapat Diselesaikan.Makalah ini Di Susun Guna Melengkapi
Tugas Mata Kuliah Hukum Perbankan Syariah dengan Harapan agar Kita dapat
Memahami Tentang “Profit Sharing Dan Aplikasinya Di Perbankan Syariah”
Ucapan Terima Kasih Kami Sampaikan Kepada Ibuk OK bilqis Amini SE,M.E
selaku Dosen Pengampu Pada Matakuliah Ini Dan Kepada Teman Teman Semua
Semoga Materi Ini Bisa Kita dapat Pahami Terutama Kami Pribadi.
Mungkin Terlepas Dari Kata Sempurna Materi ini.Oleh Karena Itu Pemateri
Mengharapkan Kritik dan Saran Kepada Teman Sekalian.

Medan,17 April 2024

Pemakalah Kelompok 6

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................... i


DAFTAR ISI. ............................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG. .....................................................................1

B. RUMUSAN MASALAH. ................................................................. 1

C. TUJUAN .......................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN
A. Perbedaan Profit Sharing Dan Bunga............................................ 2

B. Tahapan Riba Dalam Al Quran Dan Hadist. .................................. 4

C. Keputusan Lembaga Fatwa Dsn Tentang Bunga........................... 6

D. Contoh Riba dalam Perbankan ........................................................ 8

BAB III PENUTUP


A. KESIMPULAN .................................................................................. 10

B. SARAN ................................................................................................ 10

DAFTAR PUSTAKA. .................................................................................... 11

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bagi hasil adalah pembagian atas hasil usaha yang telah dilakukan oleh
pihakpihak yang melakukan perjanjian yaitu pihak nasabah dan pihak bank
syariah.Dalam hal tersebut, maka hasil atas usaha yang dilakukan oleh kedua
pihak atau salah satu pihak akan dibagi sesuai porsi masing-masing pihak yang
melakukan akad perjanjian. Pembagian hasil usaha dalam perbankan syariah
ditetapkan dengan menggunakan nisabah. Nisbah yaitu presntase yang disetujui
oleh kedua pihak dalam menentukan bagi hasil atas usaha yang dikerjasamakan.

Prinsip bagi hasil (profit sharing) merupakan karakteristik umum dan


landasan dasar bagi oprasional bank Islam secara keseluruhan. Menetapkan
tingkat keuntungan dan nisbah bagi hasil pembiayaan pada bank syariah, agar
bank syariah dapat memperoleh return yang maksimal. Dengan demikian bank
syariah dapat memberikan bagi hasil yang maksimal kepada dana pihak ketiga
karena semakin tinggi keuntungan yang diperoleh bank, semakin tinggi pula bagi
hasil yang diberikan bank kepada dana pihak ketiga, dan begitu sebaliknya.

B .Rumusan Masalah

1. Apa Itu Perbedaan Profit Sharing Dan Bunga?


2. Apa Itu Tahapan Pelarangan Riba Dalam Al Quran Dan Hadist?
3. .Bagaimana Keputusan Lembaga Fatwa Dsn Tentang Bunga?
4. .Apa Itu Contoh Riba dalam Perbankan?

C.Tujuan

1. Untuk Mengetahui Perbedaan Profit Sharing Dan Bunga!


2. Untuk Mengetahui Tahapan Pelarangan Riba Dalam Al Quran Dan Hadist!
3. Untuk Mengetahui Keputusan Lembaga Fatwa Dsn Tentang Bunga!
4. Untuk Mengetahui Contoh Riba dalam Perbankan!

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perbedaan Profit Sharing Dan Bunga

Profit sharing adalah suatu mekanisme atau kesepakatan antara investor dan
perusahaan atau pengelola usaha untuk membagikan keuntungan yang diperoleh
dari hasil usaha. Profit sharing biasanya dinyatakan dalam bentuk persentase atau
rasio yang telah disepakati sebelumnya.
Contohnya, jika investor dan perusahaan sepakat untuk membagi keuntungan
dengan rasio 60:40, maka artinya investor akan mendapatkan 60% dari keuntungan
bersih, sedangkan perusahaan akan mendapatkan 40% dari keuntungan bersih.
Profit sharing berbeda dengan investasi konvensional yang menggunakan sistem
bunga atau cicilan. Dalam sistem bunga atau cicilan, investor akan mendapatkan
pengembalian tetap sesuai dengan dengan jumlah dan waktu yang telah ditentukan,
tanpa memperhatikan kinerja usaha yang diinvestasikan.
Profit sharing juga berbeda dengan investasi saham yang menggunakan sistem
dividen. Dalam sistem dividen, investor akan mendapatkan bagian dari laba bersih
perusahaan setelah dikurangi laba ditahan. Dividen biasanya dibayarkan secara
berkala, misalnya setiap tahun atau setiap kuartal.
Konsep bagi hasil (profit sharing) dapat diartikan sebagai konsep pembagian
keuntungan. Menurut Muhamad dalam Ridwan mengatakan bagi hasil adalah suatu
konsep distribusi beberapa bagian laba (keuntungan) atau pendapatan berupa laba
akhir, bonus, dan lain sebagainya pada suatu perusahaan. Bagi hasil merupakan
sistem pembagian hasil usaha atau deviden (keuntungan) antara shahibull mal dan
mudharib.1
Sistem bagi hasil ini umumnya diterapkan pada lembaga keuangan Islam yaitu
pada produk muayarakah dan mudharabah. Sistem bagi hasil merupakan
karakteristik dan landasan dasar bagi operasional perbankan syariah, dengan
menjadikan bank syariah sebagai mitra (panther) bagi nasabah atau pengusaha yang
meminjam dana.
Implementasi sistem bagi hasil pada lembaga keuangan syariah, sebagai contoh
penerapan pada akad mudharabah yang mengharuskan membuat kesepakatan
dengan mudharib (pengelola dana) mengenai pembagian keuntungan (presentase
bagi hasil) yang ditentukan dalam akad.

1
Muhamad dan Dwi S., “Akuntansi Perbankan Syariah”, (Yogyakarta: Trust Media, 2009), hal10

3
Presentase bagi hasil tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor: kesepakatan dari
pengelola dana (mudharib), kemungkinan keuntungan yang akan diperoleh, respon
pasar, kemampuan manajemen perusahaan serta masa berlakunya kontrak. Apabila
kontrak mudharabah tidak memperoleh keuntungan maka mudharib tidak
memperoleh imbalan atau upah atas pekerjaannya.
Jika terjadi kerugian, shahibul maal yang menanggung atas kerugian tersebut
selagi kerugian tersebut tidak diakibatkan oleh kelalaian mudharib (pengelola dana)
dan tidak menyelewengkan atau terjadi kesalahan dalam manajemen dana. Namun
jika hal itu yang sebaliknya, maka mudhariblah yang berhak menanggung atas
kerugian tersebut.
Perbedaan Bagi Hasil dan Bunga
Islam sangat menganjurkan para penganutnya untuk melakukan praktik bagi hasil
dalam kegiatan muamalahnya dan mengharamkan praktik bunga (riba). Praktik
bagi hasil dan riba memiliki persamaan, yaitu memberikan profit bagi pemilik
modal, akan tetapi terdapat perbedaan signifikan antara lain
1. Proses penentuan besaran bunga dibuat pada waktu akad/kesepakatan yang
selalu diasumsikan harus dalam keadaan untung, sedangkan pada
penentuan besaran rasio/nisbah (pembagian keuntungan) sistem bagi hasil
dibuat pada waktu akad dengan berpedomankan berbagai kemungkinan
yang akan terjadi (bisa untung maupun rugi).
2. Persentase besaran bunga didasarkan pada jumlah uang atau modal yang
dipinjamkan, sedangkan persentase besaran rasio bagi hasil didasarkan pada
jumlah keuntungan yang diperoleh.
3. Pada sistem pembayaran bunga sifatnya tetap sesuai dengan apa yang telah
disepakati diawal, juga tanpa mempertimbangkan apakah usaha yang
dijalankan oleh pihak nasabah sedang mengalami keuntungan atau
kerugian, berbeda halnya pada sistem bagi hasil dimana pembayaran
tergantung pada keuntungan usaha yang sedang dijalani, dengan kata lain
bila perusahaan yang dijalankan mengalami defisit, maka kerugian tersebut
akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak berdasarkan pada
kesepakatan bersama.
4. Pembayaran bunga tidak mengalami elastisitas dalam artian jumlah
pembayaran bunga tidak akan mengalami peningkatan juga tidak
mengalami penurunan sekalipun dalam kondisi keuntungan atau
pendapatan perusahaan mengalami peningkatan yang cukup signifikan,
akan tetapi berbeda dengan sistem bagi hasil dimana persentase pembagian
laba/keuntungan dalam bagi hasil akan mengalami elastisitas yakni bisa
meningkat juga bisa menurun sesuai dengan peningkatan jumlah
pendapatan ataupun penurunan pendapatan pada usaha yang sedang di
jalani.

4
5. Dari segi eksistensi sistem bunga sangat diragukan (kalau tidak dikecam)
oleh berbagai agama termasuk agama Islam, berbeda halnya pada sistem
bagi hasil yang tidak diragukan lagi akan keabsahannya karena dianggap
fair (adil).
B . Tahapan Riba Dalam Al Quran Da Hadist
Larangan Riba Dalam Al quran Tahap Pertama
Menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zahirnya seolah-olah
menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau
taqqoruf kepada allah SWT. Itu di dalam QS Ar Ruum ayat 39.
Tahapan Kedua
Riba digambarkan sebagai sesuatu yang buruk. Allah SWT mengancam akan
memberi balasan yang keras kepada orang yahudi yang memakan riba. Itu di dalam
QS An Nisa 160-161
Tahapan Ketiga
Riba di haramkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat
ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang
cukuptinggi merupan fenomena yang banya dipraktikan pada masa tersebut. Allah
berfirma dalam QS Al Imran ayat 130
Tahapan Keempat
Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun jenis tambahan
yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan menyangkut
riba. Dalam QS Al Baqarah ayat 278-279.
Pelarang riba dalam Islam tidak hanya merujuk pada Al-Qur’an melainkan
juga al hadits. Hal ini sebagaimana posisi umum hadis yang berfungsi untuk
menjelaskan lebih lanjut aturan yang telah digariskan melalui Al-Qur’an pelarang
riba dalam hadits lebih terperinci. Dalam amanatnya pada tanggal 9 dzulhijjah
tahun 10 hijriah, rasuluallah saw. Masih menekankan sikap Islam yang melarang
riba.
“ingatlah bahwa kamu akan memghadap tuhanmu dan dia pasti akan menghitung
amalmu. Allah telah melarang kamu mengambil riba. Oleh karena itu, modal (uang
pokok) kamu adalah hak kamu. Kamu tidak akan menderita ataupun mengalami
ketidakadilan.
Ada beberapa pokok isi kandungan dari ayat ini, yaitu:
1. Allah ‫ ﷻ‬memerintahkan kaum mukmin agar meninggalkan apa yang
tersisa dari transaksi riba. Maksud dari apa yang tersisa di sini adalah sisa
tagihan yang belum terlunasi dan awalnya dilakukan dengan jalan ribawi.

5
2. Jika tidak mau meninggalkan menagih sisa transaksi riba itu, maka
dikobarkanlah perang dengan Allah dan Rasul-Nya.
3. Perintah mengambil pokok harta yang dipinjamkan sehingga tidak boleh
saling berbuat dhalim antara yang menghutangi dan yang dihutangi.
4. Bershadaqah adalah lebih baik dari memungut sisa riba dan mengambil
harta orang lain dengan jalan dhalim.

Yang menarik dan perlu dikaji dari ayat ini adalah, berarti Surat Ali Imran ayat
130 tidak berbicara soal pengharaman riba. Ayat ini hanya menunjukkan bahwa ada
bagian dari mengambil ziyadah (tambahan harta) itu yang tidak mutlak haram.
Faktanya, QS al-Baqarah ayat 278-280 sebagai ayat terakhir yang diturunkan,
masih berbicara soal sedekah. Sedekah dalam beberapa tempat di Al-Qur’an
memiliki arti yang sama dengan zakat. Dalam ayat tentang riba ini, maka makna
sedekah memiliki arti yang sama dengan makna zakat pada QS. ar-Rûm: 39
sebagaimana Telah di jelaskan di Atas.
Dalam Hadist
Hadits yang Membahas tentang Riba
1. Dosanya Setara seperti Berzina dengan Ibu Sendiri
Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa dosa dari perilaku riba diibaratkan seperti
berzina dengan ibunya sendiri. Dari Ibnu Mas'ud, Nabi Muhammad bersabda:
"Riba itu ada 73 pintu. Pintu riba yang paling ringan, seperti seorang lelaki yang
berzina dengan ibunya." (HR Hakim)
2. Mendapat Hukuman di Alam Kubur
Pemakan harta riba akan diganjar hukuman di alam kubur, yaitu berenang di
sungai yang penuh darah. Rasulullah SAW pernah menceritakan mimpinya ketika
melihat orang-orang yang berenang di sungai darah.
Beliau mengatakan, "Kami mendatangi sungai dari darah, di sana ada orang yang
berdiri di tepi sungai sambil membawa bebatuan dan satu orang lagi berenang di
tengah sungai. Ketika orang yang berenang dalam sungai darah hendak keluar,
lelaki yang berada di pinggir sungai segera melemparkan batu ke dalam mulutnya,
sehingga dia terdorong kembali ke tengah sungai, dan demikian itu seterusnya."
Ketika Nabi bertanya kepada malaikat, mereka menjawab,
"Orang yang kamu lihat berenang di sungai darah adalah pemakan riba. "(HR
Bukhari).
3. Tergolong sebagai Dosa BesarDari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda:

6
"Jauhilah 7 dosa besar yang membinasakan. Mereka bertanya, 'Ya Rasulullah, apa
saja itu? "Beliau bersabda, Berbuat syirik kepada Allah, melakukan sihir,
membunuh jiwa yang Allah haramkan, kecuali dengan alasan yang benar, makan
riba, makan harta anak yatim." (HR Bukhari dan Muslim).
4. Mengundang Murka Allah SWT
Perbuatan zina juga mengundang murka Allah SWT. Dalam sebuah hadits dari
Ibnu Abbas RA, Nabi SAW bersabda:
"Ketika zina dan riba dilakukan terang-terangan di masyarakat, berarti mereka telah
menghalalkan adzab Allah untuk ditimpakan ke diri mereka." (HR Thabrani).
B. Keputusan Lembaga Fatwa Dsn Tentang Bunga

Walaupun berbagai komponen institusi ulama menjadi designer dalam


membidani lahirnya perbankan syari’ah di Indonesia, akan tetapi mereka belum
menyepakati untuk menyatakan bahwa bunga bank yang selama ini dipraktekkan
dalam perbankan konvensional adalah haram. Hanya Majelis Ulama Indonesia
yang telah mengeluarkan fatwa No 1 tahun 2004 yang menyatakan bahwa bunga
bank adalah haram. Fatwa ini kemudian memunculkan kontroversi si dikalangan
ulama yang tergabung dalam Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama. Walaupun
kemudian pada tahun 2006 Muhammadiyah memberikan fatwa baru bahwa bunga
bank termasuk riba dan diharamkan.Awalnya Muhammadiyah dan Nahdhatul
Ulama berpendapat bahwa hukum bunga bank adalah Musytabihat.
Permasalahan bunga bank adalah permasalahan baru yang tidak muncul pada
masa Rasulullah SAW. Ini adalah masalah ijtihadi, karena lembaga keuangan
seperti bank adalah lembaga baru yang muncul dalam praktek mua’malah dalam
kehidupan masyarakat modern. Keberadaannya menjadi urat nadi kehidupan
perkonomian suatu negara, ia berfungsi sebagai penghubung antara unit surplus
dengan unit deficit. Ketiga lembaga fatwa sepakat menyatakan bahwa riba adalah
haram,tapi apakah bunga yang dipraktekan di lembaga keuangan seperti bank, bisa
disamakan dengan riba, ini yang menjadi ladang ijtihad dikalangan lembaga-
lembaga tersebut.
Muhammadiyah berpendapat bahwa hakikat riba yang dilarang dalam Al Qur’an
adalah riba yang mengarah kepada pemerasan (zhulm) terhadap debitur.
Konsideran putusan Muhammadiyah tentang bunga bank menyebutkan “bahwa
nash-nash Al Qur’an dan Sunnah tentang haramnya riba mengesan adanya “’illah”
terjadinya pengisapan oleh pihak yang kuat terhadap yang lemah”.
Para ulama berbeda dalam menelaah firman Allah pada ayat Al Baqarah 279
dengan kata kunci artinya “ dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba),maka
bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. Ayat
ini menegaskan bahwa yang berhak mereka peroleh kembali dari harta yang telah

7
mereka ribakan hanyalah modalmodal mereka yang pertama sekali dihutangkan.
Dengan demikian, kata kunci di atas menetapkan bahwa segala bentuk penambahan
atau kelebihan baik yang berlipat ganda ataupun tidak, telah diharamkan oleh Al
Qur’an dangan turunnya ayat tersebut. Inilah pendapat yang dipengang dan
dianggab shahih oleh Majelis Ulama Indonesia. Keputusan Majelis Ulama
Indonesia menyebutkan “Bunga (Interest/fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan
dalam transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang di per-hitungkan dari pokok
pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut, berdasarkan
tempo waktu, diperhitungkan secara pasti di muka, dan pada umumnya berdasarkan
persentase”.Jadi setiap pinjaman yang dimintai tambahan adalah bunga, bunga
adalah riba, riba hukumnya haram.
Adapun Muhammadiyah berpendapat bahwa segala tambahan baik sedikit atau
banyak tetap dinyatakan riba, apabila adanya unsur zhulm seperti yang diisyaratkan
oleh ayat di atas. Dengan kata lain riba yang dilarang Al Qur’an adalah riba yang
mengarah kepada eksploitasi manusia yang menimbulkan ketidakadilan. Bagi
Muhammdiyah ‘illat diharamkan riba adalah adanya penghisapan atau penganiayan
terhadap pihak peminjam bukan adanya tambahan. Konsekwensinya, kalau ‘illat itu
ada pada bunga bank, maka bunga bank sama dengan riba dan hukumnya haram.
Sebaliknya, kalau ‘illat itu tidak ada pada bunga bank walaupun adanya tambahan,
maka bunga bank bukanlah riba, karena itu tidak haram (Djamil: 126).
Sedangkan Nahdhatul Ulama menfatwakan kedudukan bunga bank pada
Muktamar ke-2 di Surabaya 1927: yaitu bunga bank haram, bunga bank halal dan
bunga bank hukumnya “syubhat”.Fatwa NU ini lebih menitik beratkan kepada
kajian hukum yang telah diutarakan oleh ulama-ulama mazhab dan disampaikan
dalalm kutub al mu’tabarah yaitu buku-buku terpandang yang dijadikan landasan
dan pertimbangan dalam memberikan fatwa. Fatwa tentang kedudukan bunga bank
yang lebih lengkap dan terperinci disampaikan pada Munas Alim Ulama NU di
Bandar Lampung 1992:
Para peserta musyawarah berbeda pendapat antara yang mengharamkan
bunga bank dan yang menghalalkan bunga bank. Perbedaan ini memunculkan
keraguan- raguan dikalangan para musyawirin sehingga melahirkan pendapat
yang ketiga yaitu syubhat (ragu-ragu antara haram dengan halal). Untuk keluar
dari keragu- raguan ini maka para musyawirin memberikan rekomendasi kepada
PB NU untuk mendirikan perbankan yang sesuai dengan hukum Islam tanpa
menggunakan bunga.
Terdapat pertemuan visi antara pendapat Nahdhatul Ulama dengan
Muhammadiyah. Kedua lembaga sepakat menyimpulkan bahwa transaksi
keuangan bedasarkan riba hukumnya haram menurut hukum Islam. Disamping
adanya perbedaan pendapat diantara ulama yang menghalalkan dan mengharamkan
bunga bank, kedua lembaga ini telah berpendapat bahwa masalah ini merupakan
masalah yang masih diragukan (musytabihat).

8
Akan tetapi menurut Majelis Ulama Indonesia kondisi keraguan di atas
telah berubah dari hari kehari. Pada saat Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan
fatwa keharaman bunga bank pada tanggal 6 Januari 2004 jauh berbeda dengan
fatwa yang dikeluarkan oleh Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama. Kondisi
dharurat tidak adanya perbankan tanpa bunga menjadi tidak relevan lagi karena
pertumbuhan perbankan syari’ah kian hari kian meningkat. Pada tahun 2004 telah
tumbuh 3 bank umum syaria’ dan 15 Unit Usaha Syari’ah dengan jumlah kantor
401 buah yang tersebar diseluruh Indonesia. Artinya tidak ada alasan lagi yang bisa
dikemukakan untuk menggunakan bank dengan bunga setelah lahirnya perbankan
tanpa bunga dan mampu melayani kebutuhan masyarakat. Sehingga keraguan-
raguan (mustabihat atau syubhat) yang muncul dari kedua lembaga fatwa terdahulu
telah berubah. Berubahnya kondisi/keadaan bisa merubah dan melahirkan suatu
hukum yang baru. Bunga bank yang dulunya di hukum dengan mustabihat atau
syubhat menjadi haram setelah kondisi dan keadaan berubah. Landasan inilah yang
digunakan oleh Majelis Ulama Indonesia untuk menetapkan bahwa bunga bank
hukumnya haram.
Disamping itu Majelis Ulama Indonesia melihat bahwa ‘illat pengharaman riba
adalah setiap tambahan yang dikenakan dalam pinjaman. Ini berbeda dengan
pendapat Muhammadiyah. Dalam keputusan Majelis Ulama Indonesia disebutkan
bahwa “riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi karena
penagguhan dalam pembayaran yang di perjanjikan sebelumnya, dan inilah yang
disebut riba nasi’ah”.
Walaupun Majelis Ulama Indonesia telah mengharamkan transaksi perbankan
dengan sistem bunga adalah haram, akan tetapi Majelis Ulama Indonesia masih
membolehkan untuk daerah-daerah tertentu yang belum terjangkau perbankan
tanpa bunga masih dibolehkan untuk bermu’amalah dengan lembaga keuangan
konvensional yang berbasis bunga. Artinya selama perbankan tanpa bunga belum
ada dalam satu kawasan atau wilayah yang mudah dijangkau oleh masyarakat maka
penggunaan perbankan konvensional masih dibolehkan. Sebaliknya kebolehan itu
akan hilang dan menjadi haram apabila dalam wilayah itu telah wujud perbankan
tanpa bunga dan mudah dijangkau oleh masyarakat.
C. Contoh Riba dalam Perbankan

1. Riba Fadli
Riba fadli adalah sebutan untuk riba fadhl yaitu kegiatan transaksi jual beli
atau pertukaran barang dengan jumlaha tau takaran yang berbeda. Contoh
riba fadhl yaitu penukaran uang Rp100.000 dengan 45 lembar pecahan
Rp2.000 sehingga nominal uang yang diberikan hanya Rp90.000.
2. Riba Nasiah
Riba nasiah adalah hasil transaksi jual beli dan penukaran barang yang
menghasilkan kelebihan dengan jangka waktu tertentu. Transaksi bisa

9
menggunakan jenis barang yang sama, tapi ada penangguhan waktu dalam
pembayarannya.

Contohnya saat Anto meminjam emas batangan pada Iman, tapi Iman
meminta dikembalikan dengan uang tunai setahun mendatang. Dengan
harga emas yang kemungkinan naik di masa yang akan datang, Anto yang
meminjam harus membayar dengan lebih tinggi sehingga kelebihan tersebut
menjadi riba nasiah.
3. Riba Yad
Riba yad merupakan hasil transaksi atau penukaran barang yang
menghasilkan riba atau nonribawi. Namun, serah terima barang yang
dilibatkan dalam transaksi mengalami penundaan waktu. Hal ini biasanya
terjadi dalam proses kredit kendaraan.

Pembelian mobil tunai akan dihargai Rp100 juta, tapi harganya menjadi
Rp120 juta saat membeli secara kredit dalam jangka waktu tertentu. Meski
belum menyerahkan uang dengan jumlah yang disepakati, pembeli sudah
bisa mendapatkan mobil. Kelebihan Rp20 juta dari harga pokok termasuk
riba yad.
4. Riba Qardh
Jenis riba qardh merupakan jenis riba yang berupa tambahan nilai dari
pengembalian pokok utang dengan persyaratan dari pemberi utang. Contoh
riba qardh adalah pinjaman dari bank sebesar Rp200 juta yang harus
dilunasi nasabah dengan tempo angsuran 12 bulan dengan bunga 5%.
5. Riba Jahiliyah
Jenis riba jahiliyah juga merupakan tambahan atau kelebihan yang
dikenakan atas nomimal pelunasan utang yang sudah melebihi pokok
jumlah pinjaman. Biasanya, pengenaan tersebut dikenakan karena
peminjam tidak bisa membayar utang sesuai waktu yang disepakati.

Contoh riba jahiliyah adalah transaksi peminjaman uang dari senilai Rp50
juta yang akan dikembalikan selama 6 bulan. Jika tidak dibayarkan dalam 6
bulan yang disepakati, peminjam akan dikenakan nominal tambahan dari
total pinjaman.

1
0
BABIII
PENUTUP

A. Kesimpulan

Profit sharing adalah suatu sistem atau metode bagi hasil usaha antar pihak
penyedia dana dan juga pengelola dana yang mana nantinya sistem tersebut adalah
bagi hasil dari usaha bisnis kedua pihak, termasuk yang dijalankan pada bank
syariah.Profit sharing Merupakan suatu mekanisme atau kesepakatan antara
investor dan perusahaan atau pengelola usaha untuk membagikan keuntungan yang
diperoleh dari hasil usaha. Profit sharing biasanya dinyatakan dalam bentuk
persentase atau rasio yang telah disepakati sebelumnya.
Bunga Bank adalah imbalan jasa dari bank kepada nasabah atas dana yang
disimpan atau dipinjam sesuai besaran pokok simpanan atau pinjaman dan jangka
waktunya.
B. Saran

Mungkin Makalah Ini Jauh dari kata Sempurna maka Dari Itu Penulis
Mengharapkan Kritikan Maupun Saran Kepada Teman Teman Sekalian.Semoga
Makalah Ini Dapat Membantu Teman Teman Sekalian Dalam Mempelajari Materi
Profit Sharing Dan bunga.

10
DAFTAR PUSTAKA

Bachrudin S. dkk. “Ekonomi Mikro”. Yogyakarta : Budi Utama, 2019.


Hoetoro, Arif. “Ekonomi Mikro Islam” : Pendekatan Intergratif. Malang : UB Press,
2018
Bank Syariah /Karya: DR. Muhammad Syafi’i Antonio, M.Ec /Penerbit:GemaInsani
https://nu.or.id/syariah/tahapan-tahapan-turunnya-ayat-tentang-riba-h8mrh
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Ponpes Hasan Jufri
Putri P. Bawean, JATIM
Djamil, Fathurrahman. 1995. Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah. Jakarta:
Logos
Keputusan Fatwa Majelis Tarjih Dan Tajdid PP Muhammadiyah No: 08 Tahun2006.
Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia No.1 Tahun 2004 tentang Bunga
(Interes/Faidah).
Muzhar, Muhammad Atho. 1993. Fatwa-Fatwa Majelis Ulama: Sebuah Studi tentang
Pemikiran Hukum Di Indonesia, 1975-1988. Jakarta: INIS

11

Anda mungkin juga menyukai