Anda di halaman 1dari 30

PENDAHULUAN

Meningitis merupakan masalah kesehatan besar di Indonesia yang meningkatkan


angka kematian bayi dan balita. Meningitis sangat berbahaya bagi anak yang dapat
menyebabkan kecacatan seperti tuli, lumpuh, keterbelakangan mental, dan kematian.
Meningitis adalah suatu infeksi yang mengenai arakhnoid, piameter, dan cairan
serebrospinal di dalam sistem ventrikel yang dapat terjadi secara akut ataupun kronis. Hal
ini bisa disebabkan oleh berbagai bakteri, virus, atau fungi, dan pathogen spesifik yang
terlibat dalam proses infeksi ini bergantung pada banyak faktor, khususnya umur dan status
imun tubuh. Namun, secara keseluruhan meningitis viral lebih banyak ditemukan daripada
meningitis

bakterialis.

Meningitis

fungal

terutama

menyerang

orang

yang

imunokompromis.
Kasus terberat meningitis disebabkan oleh bakteri, yang sebagian besar merupakan
flora normal hidung dan tenggorokan yang terkadang menyebar ke dalam pembuluh darah
menuju meningen menimbulkan manifestasi klinis. Kadang-kadang keberadaan bakteri di
dalam darah menyebabkan syok septik sebagai hasil septikemia.
Dari hasil laporan kasus, bakteri penyebab meningitis terbanyak adalah
Haemophilus influenza, Streptococcus pneumoniae, dan Neisseria meningitidis atau
meningococcus yang merupakan bakteri penyebab meningitis yang paling berbahaya yang
merupakan sebab utama morbiditas dan mortalitas dari infeksi bakteri akut di seluruh
dunia.
Differential diagnosis dari meningitis adalah :
-

Toxic Encepalopathy

Infeksi sistemik

Infeksi virus akut pada SSP (Enchepalitis, Myelitis)

Infeksi parasit pada SSP ( malaria serebral, Cysticercosis serebral, Toxoplasma)

SISTEM VENTRIKULER
Rongga didalam otak yang disebut ventrikel berisi cairan cerebrospinal (CSS). CSS
dibentuk oleh jaringan khusus didalam ventrikel yang disebut pleksus choroideus (Gilman,
1992).
Sistem ventrikular otak (Gambar 2-17) dibentuk terutama oleh empat ventrikulus,
terdiri dari dua ventrikel lateral dan ventrikel ketiga serta keempat yang tidak berpasangan.
Ventrikel lateral adalah bagian terbesar sistem ventrikular dan menempati bagian luas
hemispherium cerebri (Moore, 2002). Masing-masing ventrikel lateral mempunyai kornu
anterior, sela media, kornu posterior, dan kornu inferior atau temporal. Kedua ventrikel
tersebut berhubungan dengan ventrikel ketiga melalui foremen Monro atau foramen
interventrikularis (Duus, 1996). Ventrikel ketiga berupa celah yang sempit antara bagian
diencephalon dextrum dan sinistrum yang dihubungkan dengan ventrikel keempat melaului
akuaduktus Sylvii (aquaductus cerebri). Ventrikulus keempat dalam bagian posterior pons
dan dalam medulla oblongata meluas ke arah postero-inferior, lalu beralih menjadi canalis
sentralis dalam bagian inferior medulla oblongata dan seluruh medulla spinalis (Moore,
2002)
Ventrikel keempat berhubungan dengan rongga subarachnoid melalui tiga foramen:
dua foramen Luschka dan satu foramen Magendie (Duus, 1996). Foramen Luschka terletak
pada atap resesus lateralis ventrikel keempat, sedangkan foramen Magendie terletak pada
garis tengah dari atap ventrikel keempat (Gilman, 1992). CSS mengalir dari tempat
dibentuknya di ventrikel melalui lengkungan cerebrum menuju tempat absobsinya di
ganulasi arakhnoid pada sinus sagitalis (Young, 1997). Jika jalan ini tersumbat, ventrikulus
menggembung, dan menyebabkan kompresi terhadap hemispherium cerebri (Moore, 2002)

Ruang subarachnoid melingkupi cerebrum, cerebellum dan corda spinalis. Ruang


ini terisi CSS untuk menyokong dan memberi nutrisi pada struktur didalamnya, yang terdiri
dari arteri, vena, dan saraf kranial. Sisterna subarakhnoid merupakan perluasan ruang
subarachnoid pada sepanjang permukaan ventral batang otak dan dasar otak depan ( Young,
1997). Sisterna-sisterna subarakhnoidal utama ialah:

Cisterna cerebellomedularis atau cisterna magna, merupakan kompartemen sisterna


terbesar. Terletak posterior medulla, inferior cerebellum, dan pada atap ventriculus
quartus (Moore, 2002)(Young, 1997).

Cisterna pontis terdapat pada permukaan anterior pons dan medulla oblongata

Cisterna interpendicularis terletak antara kedua pedunculus cerebri mesencephalon

Cisterna superior terletak antara bagian posterior corpus callosum dan permukaan
superior cerebellum (Moore, 2002).
Sumber pembuatan CSS untama adalah plexus choroideus. Plexus choroideus

terletak dalam atap-atap ventriculus tertius dan ventrikulus quartus, dan pada dasar tanduk
dan badan kedua ventrikulus lateralis. Meskipun plexus choroideus merupakan sumber
utama CSS dan villi arachnoidea merupaka tempat resopsi CSS terpenting, di tempat lain
(misalnya, melalui pelapis ventrikulus) terjadi pertukaran antara plasma darah dan CSS.
CSS dari ventriculus lateralis dan ventriculus tertius mengalir ke dalam ventriculus quartus
melalui aqueductus mesencephali (aquaductus cerebri). CSS meninggalkan ventrikulus
quartus melalui lubang median dan lateral dan kemudian memasuki spatium
subarachnoideum, dan tertimbun dalam cisterna cerebellomedullaris dan cisterna pontis.
Dari sisterna-sisterna ini sebagian CSS mengalir ke inferior, ke spatium subarachnoideum

sekeliling medula spinalis dan ke arah posterior-superior melewati cerebellum. Namun,


CSS terbanyak mengalir ke dalam cisterna interpeduncularis dan cisterna superior. CSS dari
berbagai cisterna menyebar ke arah superior melalui celah-celah dan fisur-fisur pada
permukaan medial dan superolateral hemisfer cerebrum. CSS juga memasuki perluasan
spatium subarachnoideum sekitar nervi cranialis, antara lain yang terpenting adalah
perluasan sekeliling kedua nervus opticus (Moore, 2002).
Lokasi resorpsi CSS ke dalam sisitem vena yang terpenting ialah melalui villi
arachnoidea (tonjolan-tonjolan arachnoidea ke dalam dinding sinus durae matris, terutama
sinus sagittalis superior dan lacuna lateralis. Dengan meningkatnya usia, villi arachnoidea
mengalami hipertrofi, dan lalu disebut granulationes arachnoidea (Pacchioni) (Moore,
2002).

Gambar 2-17 Rongga-rongga ventrikel otak


A. Pandangan lateral, B. Pandangan anterior, C. Pandangan superior (Snell,1996

PEMBAHASAN
Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada
cairan serebrospinal yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta.
Meningitis serosa adalah radang selaput otak arachnoid dan piamater yang disertai
cairan serebrospinalis yang jernih. Penyebab terseringnya adalah Mycobacterium

tuberculosa, dan disebut juga sebagai meningitis tuberkulosis. Penyebab lain seperti lues,
virus, Toxoplasma gondii, Ricketsia, maupun jamur.
Meningitis purulenta adalah radang bernanah arachnoid dan piamater yang meliputi
otak dan medula spinalis. Penyebabnya antara lain: Neisseria meningitidis, Streptococcus
pneumoniae, Haemophilus influenza, Streptococcus haemolyticus, Staphylococcus aureus,
E. coli, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa.
Berikut ini pembagian jenis meningitis berdasarkan etiologinya :
I.

MENINGITIS PURULENTA (BAKTERIALIS)


Meningitis bakterialis merupakan suatu respon inflamasi terhadap infeksi bakteria

yang mengenai piamater dan arakhnoid yang ditandai dengan peningkatan jumlah sel
polimorfonuklear dalam cairan serebrospinal dan terbukti adanya bakteri penyebab infeksi
dalan cairan serebrospinal. Tiga organisme utama yang dapat menyebabkan meningitis
pyogenik adalah Neisseria meningitidis, Streptococcus pneumoniae, dan Haemophilus
influenzae.
Epidemiologi
Insidensi dari tipe bakteri penyebab meningitis bervariasi menurut umur penderita,
yaitu sebagai berikut:
Neonatus: basil gram negatif (E. coli, Klebsiella), H. influenzae
Anak-anak: H. influenzae, N. meningitidis, dan S. pneumoniae
Dewasa: S. pneumoniae dan N. Meningitidis
Meningitis bakteria yang paling berbahaya adalah yang disebabkan oleh Neisseria
meningitidis atau meningokokus. Meningokokus merupakan sebab utama morbiditas dan
mortalitas dari infeksi bakteri akut di seluruh dunia.
Setelah ditemukannya antibiotik, angka mortalitas pada pasien yang diobati adalah
sekitar 10%. Pada suatu studi klinik memperlihatkan insidensi dari sekuele neurologis pada
lebih dari 50% kasus orang dewasa dan lebih dari 30% pada anak-anak, 10% daripadanya
dengan tuli sensori neural yang permanen. Angka kematian pada kasus yang tidak diobati
adalah sebesar 75-100%.

Patogenesis
Infeksi dapat mencapai selaput otak melalui:

Hematogen, oleh karena infeksi dari tempat lain seperti faringitis, tonsilitis,
endokarditis, pneumonia, dan infeksi gigi. Pada keadaan ini sering didapatkan
biakan positif pada darah, yang sesuai dengan kuman yang ada di dalam cairan otak

Perkontinuitatum, perluasan dari infeksi yang disebabkan oleh infeksi dari sinus
paranasalis, mastoid, dan abses otak

Implantasi langsung trauma kepala terbuka, tindakan bedah otak, pungsi lumbal

Infeksi bakteria transplasental


Sebagian besar infeksi SSP terjadi akibat penyebaran secara hematogen. Saluran

napas merupakan port dentry utama bagi banyak penyebab meningitis purulenta. Proses
terjadinya meningitis bakterial melalui jalur hematogen diawali dengan perlekatan bakteri
pada sel epitel mukosa nasofaring, mengadakan kolonisasi, kemudian menembus rintangan
mukosa dan memperbanyak diri dalam aliran darah, dan menimbulkan bakteremia.
Selanjutnya bakteri masuk kedalam CSS dan memperbanyak diri di dalamnya. Bakteri ini
menimbulkan peradangan pada selaput otak (meningen) dan otak.
Mekanisme dari invasi bakteri kedalam ruang subarakhnoid masih belum diketahui.
Salah satu faktor yang berperan mungkin adalah jumlah/konsentrasi bakteri dalam darah.
Virulensi kuman mungkin merupakan faktor yang penting didalam invasi bakteri ke dalam
SSP. Pelepasan lipopolisakarida dari N. meningitidis merupakan salah satu faktor yang
menentukan patogenitas organisme ini. Setelah terjadi invasi ke dalam ruang subarakhnoid,
bakteriemia sekunder dapat terjadi sebagai akibat dari proses supuratif lokal dalam SSP.
Patofisiologi
Mekanisme pertahanan didalam ruang subarakhnoid
Jika bakteri meningen patogen dapat memasuki ruang subarakhnoid, maka berarti
mekanisme pertahanan tubuh tidak adekuat. Pada umumnya didalam CSS yang normal,
kadar dari beberapa komplemen adalah negatif atau minimal. Inflamasi meningen
mengakibatkan sedikit peningkatan konsentrasi komplemen. Konsentrasi komplemen ini

memegang peranan penting dalam opsonisasi dari patogen meningen tidak berkapsul, suatu
proses yang penting untuk terjadinya fagositosis. Aktivitas opsonik dan bakterisidal tidak
didapatkan atau hampir tidak terdeteksi pada pasien dengan meningitis.
Induksi inflamasi ruang subarakhnoid.
Lipopolisakarida menyebabkan inflamasi melalui perannya dalam pelepasan
mediator inflamasi seperti IL-1 dan TNF ke dalam CSS.
Perubahan dari sawar darah otak
Perubahan dari permeabilitas sawar darah otak merupakan akibat dari vasogenic
cerebral edema, peningkatan volume CSS, peningkatan tekanan intrakranial dan kebocoran
protein plasma ke dalam CSS.
Peningkatan tekanan intrakranial
Peningkatan tekanan intrakranial merupakan akibat dari kombinasi keadaan edema
cerebri, peningkatan volume CSS dan peningkatan dari volume darah cerebral
Perubahan dari cerebral blood flow
Abnormalitas dari cerebral blood flow disebabkan oleh peninggian tekanan intra
kranial, hilangnya autoregulasi, vaskulitis dan trombosis dari arteri, vena dan sinus cerebri
Manifestasi Klinis

Trias klasik meningitis: demam, nyeri kepala, kaku kuduk

Manifestasi klinis dari meningitis bakterialis dikelompokkan menjadi 2:

tanda neurologis : gangguan kesadaran, kelumpuhan saraf kranial, defisit


neurologis fokal, dan kejang

tanda meningen

: kaku kuduk, Kernig sign, Laseque sign, dan Brudzinski sign

Iritasi dan kerusakan saraf kranial: selubung saraf yang terinflamasi

N. II

: papil edema, kebutaan, , defisit lapang pandang,

N. III, IV, VI

: ptosis, diplopia

N. V

: fotofobia

N. VII

: paresis fasial

Pusat muntah teriritasi: muntah yang proyektil

Kebingungan dan penurunan respon

Meningitis meningococcal: petekie, rash purpura (Sindroma

Waterhouse-

Friedrechsen)

Peningkatan tekanan intrakranial: papil edema, delirium sampai dengan tidak sadar

Komplikasi neurologis yang dapat terjadi antara lain:

ventrikulitis

abses otak

paresis

hidrosefalus

epilepsi

Tanda komplikasi non neurologis :

artritis

SIADH

Pada Dewasa dan Anak-Anak

Tanda klinis awal: demam, nyeri kepala, kekakuan leher, konvulsi umum dan
gangguan kesadaran.

Tanda Kernig Laseque tidak selalu muncul.

Diagnosa sulit: demam dan sakit kepala, atau hanya gejala nyeri di leher atau
abdomen atau keadaan febris dengan kebingungan dan delirium, sedangkan gejala
kaku kuduk belum muncul.

Pada anak-anak: infeksi subakut yang memburuk beberapa hari setelah infeksi
telinga atau infeksi saluran pernafasan atas, atau sebagai infeksi fulminan akut .

Pada lansia: subfebris dengan kebingungan atau perubahan perilaku yang ringan.

Pada Bayi dan Neonatus

Tanda dan gejala dapat tidak terlihat dan non-spesifik .

Tanda awal: subfebris dan perubahan perilaku ringan demam tinggi, letargi,
iritabilitas, hipotermi, kejang, menonjolnya fontanel, malas menyusu, muntah, dan
respiratory distress dapat terjadi.

Tanda iritasi meningen pada akhir perjalanan penyakit.

Dapat ditemukan efusi subdural unilateral maupun bilateral. Umur yang muda,
evolusi penyakit yang cepat, jumlah PMN yang rendah, dan peningkatan protein
yang bermakna pada CSS berhubungan dengan pembentukan efusi.

Hubungan tanda klinis tertentu dengan bakteri penyebab:


Meningitis Haemophilus

Meningitis Meningococcal

Meningitis Pneumococcal

neonatus & anak

didahului infeksi telinga


dan saluran pernafasan atas

onset:
tiba-tiba
&
singkat

prognosis
pada
umumnya baik

mortalitas <5%

anak & dewasa


gejala penyerta: delirum dan
stupor dalam hitungan jam;
petekie, purpura, & ekimosis;
terdapat syok sirkulasi, DIC;
terutama jika sedang terjadi
wabah
epidemik
dimana
kuman terdapat di nasofaring
onset gradual prognosis
baik
onset tiba-tiba + septikemia
prognosis buruk
mortalitas 10%

dewasa
didahului oleh infeksi pada
paru, telinga, sinus, atau katup
jantung
dicurigai pada penderita yang
alkoholik,
splenektomi,
meningitis bakterial yang
rekuren, sickle cell anemia,
dan fraktur tulang tengkorak
basiler
prognosis biasanya buruk bila
diikuti koma, kejang, dan
peningkatan protein CSS
mortalitas 20%

Tanda lokalisatorik yang khas untuk meningitis purulenta pada umumnya adalah kaku
kuduk dan likuor yang memperlihatkan ciri- ciri:
1. Pleositosis polinuklearis (PMN) yang berjumlah lebih dari 1000/mm3
2. Kadar glukosa yang rendah karena digunakan dalam metabolisme bakteri
3. Protein dalam liquor meninggi
4. Preparat dan biakan liquor menperlihatkan adanya bakteri penyebab.
Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan pungsi lumbal

Peningkatan sedang tekanan <300 mm CSS

Peningkatan jumlah sel, 100-10000 sel/mm3 (80%-90% leukosit PMN)

Penurunan glukosa

Peningkatan enzim laktat dehidrogenase

Peningkatan protein

Sedimen CSS diwarnai gram :

Sepasang kokus gram (+): pneumokokus

Gram basil (-): Haemophillus

Gram (-) kokus intra dan ekstraseluler: meningokokus

Kultur CSS

Tes Serologis / Imunologi

Tes LA: antigen bakteri pada CSS, spesifisitas 100%; sensitivitas 80% untuk
Haemophillus dan Pneumococcus, dan 50% untuk Meningococcus

PCR: deteksi asam nukleat bakteri pada CSS, tersedia untuk semua organisme
penyebab yang dicurigai. Spesifisitas dan sensitivitas PCR tidak diketahui,
dan penundaan keluarnya hasil (3-5 hari) mengakibatkan tes kurang
membantu dibanding kombinasi dari pewarnaan gram, kultur, dan tes LA.

Kultur darah

Pemeriksaan elektrolit serum: melihat kemungkinan gangguan sekresi ADH

Foto roentgen: mendeteksi sumber infeksi

Pengobatan

Prinsip terapi meningitis bakterialis adalah :

A. Umum
-

Bed rest dan Tirah baring

Diet tinggi kalori tinggi protein

Ventilasi

Cegah dehidrasi atau koreksi elektrolit inbalance

B. Kausa

Terapi optimal antibiotika golongan bakterisidal yang dapat masuk ke


cairan serebrospinal.

Lama pemberian antibiotika minimal tidak diketahui secara pasti, tetapi jika
bakteri penyebab adalah S. pneumoniae, H. infuenzae, N. meningitidis secara
praktis diberikan paling kurang selama 10 hari atau paling kurang 7 hari
setelah bebas demam. Bila dilakukan pembedahan maka antibiotika
dilanjutkan sampai paling kurang 72 jam paska pembedahan. Jika bakteri
penyebab adalah organisme kurang sensitif seperti kuman gram negatif
enterik, L. monocytogenes, Streptococcus grup B, atau setelah trauma maupun
pembedahan, pemberian antibiotika dilanjutkan sampai 2-3 minggu atau lebih
lama.

Pada kasus yang sulit dimana kuman penyebabnya relatif sulit dibasmi, seperti
kuman batang gram negatif enterik, Listeria, S. aureus, maka lumbal punksi
harus dilakukan 72 jam setelah pemberian antibiotika. Dilakukan pemeriksaan
jumlah sel, hitung jenis, kadar protein dan glukosa CSS serta kultur untuk
memastikan apakah CSS sudah steril atau belum.

Jika kuman penyebabnya relatif sensitif terhadap antibiotika yang menembus


sawar darah otak dengan baik seperti Streptococcus sp., N. meningitidis, dan
pemeriksaan H. influenzae, CSS seharusnya sudah steril setelah 24 jam
pemberian antibiotika dan pemeriksaan hitung jenis didominasi oleh sel MN,
walaupun kadar protein masih tetap tinggi dan kadar glukosa masih tetap
rendah selama 2 minggu atau lebih. Bila hasil kultur setelah 72 jam terapi
masih dijumpai kuman, maka terapi antibiotik harus diganti atau diberikan

antibiotik

intratekal.

Ini

bisa

menunjukkan

bahwa

fokus

infeksi

parameningennya masih ada.

Pemberian obat dosis tinggi harus berhati-hati dan diperlukan pemeriksaan


fungsi hati, ginjal atau hematologinya.

Obat antibiotika yang kemampuan menembus sawar darah otaknya rendah


sebaiknya tidak digunakan

Terapi inisial:

Neonatal (<1 bulan): ampisilin + aminoglikosida dan sefalosporin

Anak-anak (<5 thn): ampisilin + sefalosporin

Dewasa : penisilin G, atau sefalosporin

Pasien imunokompromis: ampisilin dan sefalosporin

Organisme

Antibiotik

Haemophilus

Kloramfenikol

Pneumococcus

Anak-anak

Dewasa

Terapi alternatif

(mg/kgBB/hr)
100

2-4 g/hr

Ampisilin

dan/atau

200

6-12 g/hr

Cefuroxime

cefotaxime
Benzil penicilin

180

20 juta units

Kloramfenikol
Cefotaxime

Meningococcus Benzil penicilin


E. coli

Cefotaxime

Listeria sp.

180
200

20 juta units
6-12 g/hr

Cefuroxime
Kloramfenikol
Cetatamine
Ampisilin

Ampisilin

200

8 g/hr

Gentamisin
Kloramfenikol

Gentamisin

5-7

5-7

Cotrimoxasole

mg/kgBB/hr

Pemberian steroid: dexametason 10 mg


bersama dosis pertama antibiotik.

II.

MENINGITIS SEROSA

setiap 6 jam, dimulai sebelum atau

Meningitis serosa terjadi apabila pada penderita terdapat gambaran klinis


meningitis, tetapi pada pemeriksaan cairan serebrospinal tidak sampai berwarna keruh.
Cairan tampak opalesen karena terdapat peninggian jumlah sel, dan berwarna kuning
karena adanya peninggian protein. Penyebabnya dapat disebabkan oleh bakteri
(meningitis tuberkulosa), virus (meningitis virus/meningitis aseptik), jamur (meningitis
jamur), maupun parasit (syphilitic meningitis).
II.1.

Meningitis Tuberkulosa
Merupakan manifestasi klinis paling sering dari infeksi yang disebabkan oleh

Mycobacterium

tuberculosis

yang

mengenai

arakhnoid,

piamater,

dan

cairan

serebrospinal di dalam sistem ventrikel. Pada anak-anak, dihasilkan dari bakteriemia


yang mengikuti fase inisial dari tuberkulosis paru primer. Pada orang dewasa, dapat
terjadi bertahun-tahun setelah infeksi primer. Meningitis tuberkulosa selalu merupakan
sekunder dari penyakit tuberkulosa pada organ lainnya. Fokus primer biasanya terdapat di
paru-paru, namun dapat juga terjadi di kelenjar limfe, tulang, sinus nasalis, GI tract, atau
organ-organ lainnya. Onset biasanya sub akut.
Penyakit ini dapat dibagi ke dalam beberapa staging menurut British Medical
Research Council
Stage I :
Describes the early non specific symptom and sign, including apathy, irritability,
headache, malaise, fever, anorexia, nausea, and vomiting, without any alterations in the
level of consciousness.
Stage II:
Described altered consciousness without coma or delirium but with minor focal
neurological sign. Symptomps and signs of meningism and meningitis are present, in
addition to focal neurological deficits, cranial nerve palsies, and abnormal movement.
Stage III:
Describes an advanced state with stupor or coma, severe neurological deficits,
seizures, posturing, and/or abnormal movement.
Patofisiologi

Meningitis tuberkulosa tidak berkembang secara akut dari penyebaran tuberkel


bacilli ke meningen secara hematogen, melainkan merupakan hasil dari pelepasan
tuberkel bacilli ke dalam rongga subarakhnoid dari lesi kaseosa subependimal. Selama
fase inisial dari infeksi, sejumlah kecil tuberkel berukuran seperti biji tersebar di dalam
substansi otak dan meningen. Tuberkel-tuberkel ini cenderung membesar dengan bersatu
dan tumbuh besar, dan biasanya caseating, lembut dan membentuk eksudat.
Kemungkinan lesi kaseosa untuk menyebabkan meningitis ditentukan dari kedekatan
jarak lesi dengan rongga subarakhnoid dan kecepatan enkapsulasi fibrosa berkembang
akibat resistensi imun dapatan. Foci caseosa subependymal dapat terus tak bergejala
selama berbulan-bulan bahkan tahunan tetapi kemudian dapat menyebabkan meningitis
melalui pelepasan bacilli dan antigen tuberkel ke dalam rongga subarakhnoid.
Gambaran Klinis
Gambaran klinis meningitis tuberkulosa dapat berupa sindroma meningitis akut
memberikan gejala koma, peningkatan tekanan intrakranial, kejang dan defisit neurologis
fokal atau berupa slowly progressive dementing illness. Ketika infeksi berupa sindroma
meningitis akut, tanda dan gejala karakteristiknya adalah nyeri kepala, malaise,
meningismus, papil edema, muntah, bingung, kejang, dan defisit saraf kranial. Pasien
dirawat dengan letargi atau stupor dapat menjadi koma dalam hitungan hari. Demam
dapat muncul, dapat pula tidak muncul.
Meningitis tuberkulosa dapat pula tampak sebagai slowly progressive dementing
illness dengan defisit memori dan perubahan perilaku yang khas pada penyakit lobus
frontalis, berupa abulia, dan inkontinensia urin dan fecal. Bentuk ini merupakan bentuk
meningitis tuberkulosa yang banyak ditemukan. Defisit saraf kranialis dan konvulsi juga
terjadi pada meningitis tuberkulosa subakut. Kadang ada riwayat anorexia, batuk,
berkeringat pada malam hari dan penurunan berat badan dalam waktu beberapa hari
sampai beberapa bulan, akibat perkembangan gejala infeksi susunan saraf pusat.
Ensefalopati tuberkulosa juga dijelaskan sebagai sindroma konvulsi, stupor atau
koma, gerakan involunter, paralysis, dan spasme atau rigiditas deserebrasi dengan atau
tanpa gejala klinis meningitis atau kelainan CSS pada meningitis tuberkulosa. Secara
patologis tampak edema difus dari cerebral white matter dengan hilangnya neuron dalam

gray matter, leukoencephalopathy hemorrhagic, atau encephalomyelitis demyelinating


pasca infeksi. Sindroma ini terutama tampak pada anak dengan tuberkulosis milier atau
diseminata.
Tanda dan Gejala Meningitis Tuberkulosa
Gejala
Prodromal

Tanda
Adenopati (paling sering servikal)

Anorexia

Suara tambahan pada auskultasi paru (apices)

Penurunan berat badan

Tuberkel koroidal

Batuk

Demam (paling tinggi pada sore hari)

Keringat malam hari

Rigiditas nuchal
Papil edema

CNS

Defisit neurologis fokal

Nyeri kepala

tuberculin skin test (+)

Meningismus
Perubahan tingkat kesadaran
Komplikasi
Meningitis tuberkulosa dapat memberikan berbagai macam komplikasi seperti
berikut:

Kelumpuhan saraf otak


Proses patologis pada meningitis tuberkulosa diawali oleh adanya reaksi

hipersensitivitas terhadap pelepasan bakteri atau antigennya dari tuberkel ke dalam


rongga subarakhnoid. Hal ini menyebabkan terbentuknya eksudat tebal dalam rongga
subarakhnoid yang bersifat difus, terutama berkumpul pada basis otak. Eksudat berpusat
di sekeliling fossa interpedunkularis, fissure silvii; meliputi kiasma optikus dan meluas di
sekitar pons dan serebelum. Secara mikroskopis, awalnya eksudat terdiri dari leukosit
polimorfonuklear, eritrosit, makrofag dan limfosit disertai timbulnya fibroblast dan
elemen jaringan ikat. Eksudat yang tebal ini juga dapat menimbulkan kompresi pembuluh
darah pada basis otak dan penjeratan saraf kranialis. Kelumpuhan saraf otak yang
tersering ialah N VI, diikuti dengan N III, N IV dan N VII, dan bahkan dapat terjadi pada
N VIII dan N II.

Kerusakan pada N II berupa kebutaan, dapat disebabkan oleh lesi tuberkulosisnya


sendiri yang terdapat pada N Optikus atau karena penekanan pada kiasma oleh eksudat
peradangan atau karena akibat sekunder dari edema papil atau hidrosefalusnya. Neuropati
optic ialah istilah umum untuk setiap kelainan atau penyakit yang mengenai saraf optic
yang diakibatkan oleh proses inflamasi, infiltrasi, kompresi, iskemik, nutrisi maupun
toksik. Neuropati optic toksik dapat terjadi karena paparan zat beracun, alcohol, atau
sebagai akibat komplikasi dari terapi medikamentosa. Gejala klinisnya antara lain adanya
penurunan tajam penglihatan yang bervariasi (mulai dari penurunan tajam penglihatan
yang minimal sampai maksimal tanpa persepsi cahaya), gangguan fungsi visual berupa
kelainan lapang pandang. Pada pengobatan tuberkulosis dapat terjadi neuropati optic,
yang paling sering karena Etambutol, tetapi Isoniazid dan Streptomisin juga dapat
menyebabkan hal tersebut.
Kerusakan pada N VIII umumnya lebih sering karena keracunan obat streptomisinnya
dibandingkan karena penyakit meningitis tuberkulosanya sendiri.

Arteritis
Infiltrasi eksudat pada pembuluh darah kortikal atau meningel menyebabkan proses

inflamasi yang terutama mengenai arteri kecil dan sedang sehingga menimbulkan
vaskulitis.
Secara mikroskopis, tunika adventitia pembuluh darah mengalami perubahan dimana
dapat ditemukan sel-sel radang tuberkulosis dan nekrosis perkejuan, kadang juga dapat
ditemukan bakteri tuberkulosis. Tunika intima juga dapat mengalami transformasi serupa
atau mengalami erosi akibat degenerasi fibrinoid-hialin, diikuti proliferasi sel sub endotel
reaktif yang dapat sedemikian tebal sehingga menimbulkan oklusi lumen. Vaskulitis
dapat menyebabkan timbulnya spasme pada pembuluh darah, terbentuknya thrombus
dengan oklusi vascular dan emboli yang menyertainya, dilatasi aneurisma mikotik
dengan rupture serta perdarahan fokal. Vaskulitis yang terjadi menimbulkan infark serebri
dengan lokasi tersering pada distribusi a. serebri media dan a. striata lateral.

Hidrosefalus

Hidrosefalus merupakan komplikasi yang cukup sering terjadi dari meningitis


tuberkulosa dan dapat saja terjadi walaupun telah mendapat terapi dengan respon yang
baik. Hampir selalu terjadi pada penderita yang bertahan hidup lebih dari 4-6 minggu.
Hidrosefalus sering menimbulkan kebutaan dan dapat menjadi penyebab kematian yang
lambat. Perluasan inflamasi pada sisterna basal menyebabkan gangguan absorpsi CSS
sehingga menyebabkan hidrosefalus komunikans dan dapat pula terjadi hidrosefalus
obstruksi (hidrosefalus non komunikans) akibat dari oklusi aquaduktus oleh eksudat yang
mengelilingi batang otak, edema pada mesensefalon atau adanya tuberkuloma pada
batang otak atau akibat oklusi foramen Luschka oleh eksudat.
Hidrosefalus komunikans dan non komunikans dapat terjadi pada meningitis
tuberkulosa. Adanya blok pada sisterna basalis terutama pada sisterna pontis dan
interpedunkularis oleh eksudat tuberkulosis yang kental menyebabkan gangguan
penyerapan CSS sehingga menyebabkan hidrosefalus komunikans. Gejalanya antara lain
ialah ataksia, inkontinensia urin dan demensia. Dapat juga terjadi hidrosefalus non
komunikans (obstruktif) akibat penyumbatan akuaduktus atau foramen Luschka oleh
eksudat yang kental. Gejala klinisnya ialah adanya tanda-tanda peningkatan tekanan
intracranial seperti penurunan kesadaran, nyeri kepala, muntah, papiledema, refleks
patologis (+) dan parese N VI bilateral.

Arakhnoiditis
Adalah suatu proses peradangan kronik dan fibrous dari leptomeningen (arakhnoid

dan pia mater). Biasanya terjadi pada kanalis spinalis. Arakhnoiditis spinal dapat terjadi
karena tuberkulosa, terjadi sebelum maupun sesudah munculnya gejala klinis meningitis
tuberkulosis. Bila tuberkel submeningeal pecah ke dalam rongga subarakhnoid, akan
menyebabkan penimbunan eksudat dan jaringan fibrosa sehingga terjadi perlengketan di
leptomeningen medulla spinalis. Gejala klinis timbul akibat adanya kompresi local pada
medulla spinalis atau terkenanya radiks secara difus.
Arakhnoiditis spinal paling sering mengenai pertengahan vertebra thorakalis, diikuti
oleh vertebra lumbalis dan vertebra servikalis. Biasanya perlekatan dimulai dari dorsal
medulla spinalis. Gejala pertama biasanya berupa nyeri spontan bersifat radikuler, diikuti
oleh gangguan motorik berupa paraplegi atau tetraplegi. Gangguan sensorik dapat

bersifat segmental di bawah level penjepitan. Kemudian dapat terjadi retensi kandung
kemih. Pemeriksaan penunjang untuk arakhnoiditis dapat dengan mielografi. Bisa
didapatkan blok parsial atau total, dapat juga memberikan gambaran tetesan lilin.

SIADH (Sindrome Inappropriate Anti Diuretic Hormon)


SIADH adalah peningkatan anti diuretic hormon (arginine vasopressin) yang

berhubungan dengan hiponatremia tanpa terjadinya edema maupun hipovolemia.


Pengeluaran ADH tidak sejalan dengan adanya hipoosmolalitas. Pasien diduga SIADH
jika konsentrasi urin > 300 mOsm/kg dan didapatkan hiponatremi tanpa adanya edema,
hipotensi orthstatik, atau tanda-tanda dehidrasi. Semua penyebab hiponatremi lain harus
sudah disingkirkan.
SIADH merupakan salah satu komplikasi yang sering ditemukan pada meningitis
tuberkulosis. Kemungkinan hal tersebut terjadi karena reaksi peradangan lebih banyak
pada basis otak atau basil TBC sendiri host response terhadap organisme penyebab.
Terjadi peningkatan produksi hormon antidiuretik dengan akibat terjadi retensi cairan
yang dapat menimbulkan tanda-tanda intoksikasi cairan.
Kriteria diagnostik :
1. kadar serum natrium <135 mEq/L
2. Osmolalitas serum <280 mOsm/L
3. Kadar natrium urin yang tinggi (biasanya > 18 mEq/L)
4. Rasio osmolalitas urin/serum meninggi hingga 1,5-2,5 : 1
5. Fungsi tiroid, adrenal, dan renal normal
6. Tidak ditemukan tanda-tanda dehidrasi
Penderita biasanya normovolemik.

Sekuele
Dapat terjadi sekuele hemiparesis spastik, ataksia, dan paresis saraf cranial persisten.

Pada 50 % anak dengan kejang pada saat meningitis dapat meninggalkan sekuele
gangguan kejang. Atrofi N Optikus dapat terjadi dengan gangguan visual yang bervariasi
sampai buta total. Syringomielia dapat terjadi komplikasi pada masa konvalesen sebagai
akibat dari vaskulitis pembuluh darah medulla spinalis karena mielomalasia iskemik.

Berbagai gangguan endokrin dapat terjadi sebagai akibat dari arteritis atau kalsifikasi dan
infark selanjutnya pada proksimal hipotalamus dan kelenjar pituitary.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk meningitis tuberkulosa:
1. Tuberculin skin test
2. Foto roentgen: adenopati hilar, ,infiltrasi nodular lobus atas, pola milier
3. Computed tomography atau Magnetic Resonance Imaging: hidrosefalus & basilar
meningeal enhancement pasca kontras
4. Pemeriksaan cairan serebrospinal: limfositik pleositosis, pewarnaan tahan asam
dan kultur
5. Pemeriksaan mata untuk koroid tuberkel
6. Pewarnaan urin dan sputum dan kultur untuk bakteri tahan asam
Abnormalitas CSS yang klasik ada pada meningitis tuberkulosa adalah:
1. Peningkatan tekanan pembukaan
2. Peningkatan konsentrasi protein antara 100-500 mg/dl
3. Jumlah sel leukosit antara 10-500 sel/mm dengan limfosit predominan
4. Penurunan konsentrasi glukosa (< 50% gula darah)
Abnormalitas CSS yang ditemukan pada meningitis tuberkulosa:
1. Peningkatan jumlah leukosit antara 10-500 sel/mm dengan limfosit predominan
2. Peningkatan konsentrasi protein antara 100-500 mg/dl
3. Penurunan konsentrasi glukosa (< 50% gula darah)
4. Kultur positif pada 75 % kasus membutuhkan 3-6 minggu untuk tumbuh
5. Penurunan konaentrasi klorida
6. Rasio bromida serum/cairan serebrospinal yang rendah
7. Assay asam tuberculostearic positif

Pengobatan

A. Umum
- Bed rest dan Tirah baring
- Diet tinggi kalori tinggi protein
- Ventilasi
- Cegah dehidrasi atau koreksi elektrolit inbalance
B. Kausa
1. Obat Anti Tuberkulosa
Tabel di bawah ini menunjukkan dosis obat anti tuberkulosa secara umum yang dipakai
(di Indonesia) secara harian maupun berkala dan disesuaikan dengan berat badan pasien.

Pengobatan yang diberikan pada pasien meningitis tuberkulosa adalah pengobatan


kategori I yang ditujukan terhadap :
-

kasus tuberkulosis paru baru dengan sputum BTA positif

penderita TB paru, sputum BTA negative, roentgen positif dengan kelainan paru
luas

kasus baru dengan bentuk tuberkulosis berat separti meningitis, tuberkulosis


diseminata, perikarditis, peritonitis, pleuritis, spondilitis dengan gangguan
neurologist, kelainan paru yang luas dengan BTA negative, tuberkulosis usus,
tuberkulosis genitourinarius

Pengobatan tahap intensif adalah dengan paduan RHZE (E). Bila setelah 2 bulan
BTA menjadi negative, maka diteruskan dengan tahap lanjutan. Bila setelah 2
bulan masih tetap positif maka tahap intensif diperpanjang lagi selama 2-4
minggu dengan 4 macam obat. Ada beberapa ahli yang merekomendasikan
pengobatan 2HRZE/ 7 HR

2. Steroid
Pada pasien dengan penurunan kesadaran dan peningkatan tekanan intracranial,
kortikosteroid dapat menguntungkan, karena patofisiologi koma dan peningkatan tekanan
intracranial sama pada kedua penyakit itu. Pada pasien dengan presentasi meningitis yang
subakut, kortikosteroid mungkin sedikit menguntungkan bila edema serebri dan
peningkatan tekanan intracranial bukan merupakan etiologi dari komplikasi neurologis.
Dexamethasone menurunkan edema otak, menurunkan resistensi outflow CSS,
menurunkan produksi sitokin inflamasi, menurunkan jumlah leukosit, sehingga masa
inflamasi di ruang subarakhnoid berkurang, dan meminimalisasi kerusakan di sawar
darah otak.

Kriteria Diagnosis (Ogawa)


1. Definite : BTA ditemukan dalam LCS ( kultur atau biopsi)
2. Probable :
a. Pleositosis pada LCS
b. Perwarnaan BTA (-)
c. Diikuti dari salah satu dibawah ini:
i. Tes tuberkulin (+)
ii. Adanya TB dluar SSP atau ada TB paru aktif atau terpapar
TB sebelumnya
iii. LCS Glukosa < 40 mg%
iv. LCS protein > 60 mg%
II.2

Meningitis Viral/Aseptik

Definisi
Berdasarkan definisi, merupakan suatu penyakit dengan gambaran klinis
meningitis, abnormalitas CSS yang ringan, dan bersifat jinak. Kriteria definit untuk
aseptic meningitis diantaranya:
1. onset akut;
2. tanda dan gejala rangsang meningeal;
3. abnormalitas CSS tipikal untuk meningitis dengan sel mononuclear predominan;
4. bakteri tidak tampak pada pewarnaan dan kultur CSS;
5. tidak ada focus infeksi parameningeal;
6. perjalanan penyakit bersifat jinak dan self limited.

Gambaran Klinis
Penderita dengan meningitis virus tampak sakit akut, mengeluh nyeri kepala
frontal atau retro-orbital, fotofobia, nyeri otot, mual,muntah, tapi tetap sadar dan
waspada. Yang paling dikeluhkan adalah nyeri kepala grippe-like. Pada pemeriksaan
fisik, ada tanda-tanda iritasi meningeal, pasien lethargi, tapi tidak comatose. Keberadaan
defisit neurologis fokal tipikal untuk encephalitis viral, terutama herpes simplex virus
encephalitis. Defisit neurologis fokal

tidak terjadi pada meningitis virus jinak dan

sembuh spontan. Infeksi enterovirus dapat diaosiasikan dengan ruam makulopapulae,


vesicular atau ptekial. Dapat terbukti adanya lesi genital vesicular atau riwayat herpae
genital rekurens pada meningitis virus herpes simplex tipe 2.
Enteroviruses merupakan agen infeksi paling sering dari meningitis virus yang
etiologinya dapat ditentukan (echovirus tipe 6,9 dan 20 dan Coxsackieviruses A9, B2, B3,
dan B5). Gambaran klinik meningitis enteroviruses meliputi nyeri kepal, demam,
faringitis, letargi, mual, muntah, dan meningismus. CSSnya memberikan gambaran
pleositosis ringan dengan hitung jenis kurang dari 100/mm dan limfosit predominan.
Konsentrasi protein sedikti meningkat; konsentrasi glukosa normal. Meningitis
enterovirus tipikal self-limmiting dan pengobatannya secara suportif.
Herpes simplex virus tipe 2 menyebabkan penyakit kelamin dan meningitis
aseptic. Diagnosis ditegakkan secara klinis dengan identifikasi lesi kelamin vesicular atau
keluhan retensi urin atau gejala resikular, diasosiasikan dengan nyeri kepala, demam dan
fotofobia ringan. Pemeriksaan CSS menunjukkan limfositik pleositosis (300-400
sel/mm) dengan peningkatan konsentrasi protein. Konsentrasi glukosa dapat normal atau
menurun. Diagnosis definitive memerlukan kultur CSS virus positif atau menunjukkan
kenaikan 4x IgG spesifik HSV-2. Terapi antiviral direkomendasikan untuk meningitis
yang berhubungan dengan infeksi herpes genital primer.
Infeksi Human immunodeficiency virus (HIV) dapat menyebabkan meningitis
terutama karena serologi positif yang terdeteksi. Dalam waktu 3-6 minggu dari infeksi
inisial, virus HIV dapat menyebabkan mononucleosis-like syndrome dengan demam,
limfadenopati generalisata, infeksi faring, ruam, malaise, mialgia, arthralgia dan
splenomegali. Sindroma aseptic meningitis dapat berkembang selama penyakit akut

ditandai dengan nyeri kepal, kaku kuduk, fotofobia, dan ensefalopati. Pemeriksaan CSS
menunjukkan peningkatan protein (<100 mg/dl), pleositosis mononuclear (<200 sel/mm)
dan konsentrasi glukosa yang normal atau sedikit meningkat. Meningitis aseptic yang
disebabkan Virus HIV dapat sembuh sendiri, tapi mungkin memerlukan 4 minggu untuk
sembuh sempurna.
Virus mumps dan virus koriomeningitis limfositik adalah 2 dari beberapa etiologi
virus dari meningitis aseptic. Masa inkubasi keduanya adalah 21 hari. Komplikasi
neurologis paling sering dari kedua virus ini adalah meningitis. Mumps dan meningitis
akibat vaksin Mumps tampak dengan gejala demam, nyeri kepala dan muntah. Mumps
ensefalitis tampak dengan adanya demam, penurunan kesadaran, kejang dan defisit
neurologis fokal. Abnormalitas CSS yang tipikal pada meningitis mumps berupa :
1. Tekanan pembukaan normal;
2. Leukosit count 300-600 sel/mm, dengan limfosit predominan, walau leukosit
PMN predominan pada stadium awal;
3. Konsentrasi protein yang normal atau sedikit meningkat;
4. Konsentrasi glukosa normal pada mayoritas kasus, tapi konsentrasi glukosa 20-40
mg/dL dapat tampak pada 10-20 % kasus.
Meningitis mumps merupakan self-limmiting illness dengan kesembuhan sempurna.

Diagnosa banding etiologi infeksi dengan gambaran CSS limfositik pleositosis:


Viral
-

Enterovirus

Mumps

Virus Lymphocytic Chorio Meningitis (LCM)

Herpes Simplex Virus (HSV)

Human Immunodeficiency virus (HIV)

Arthropod-borne viruses

Non-viral
-

Mycobacterium tuberkulosis

Listeria monocytogenes

Mycoplasma pneumoniae

Rickettsia rickettsii (Rocky Mountain spotted fever)

Treponema pallidum (syphilis)

Borrelia burgdorferi (Penyakit Lyme)

Cryptococcus neoformans, Coccidioides immites, Histoplasma capsulatum

Lain-lain
-

Meningitis tuberkulosa yang diobat sebagian

Fokus infeksi parameningeal

Meningitis dari komplikasi endokarditis

Sindroma parainfeksius (acute disseminated encephalomyelitis)


Diagnosa banding etiologi non-infeksius dengan gambaran CSS limfositik

pleositosis :
-

Sistemic Lupus Erythematosus

Sarcoidosis

Migraine

Traumatic Lumbal Puncture

Chronic benign lymphocytic meningitis

Vasculitis

Meningeal carcinomatosis

Pengobatan (ibuprofen, azathioprine, trimethoprim (sulfonamides), sulindac,


tolmetin, naproxen)

Pemeriksaan Rutin
Pemeriksaan rutin pada cairan serebrospinalis
-

Tekanan pada saat pembukaan CSS

Hitung jenis sel

Kimia

Venereal disease research laboratory test (VDRL)

Apusan dan kultur bakteri

Kultur virus

Tinta india, kultur jamur

Antigen Cryptococcal

Apusan dan kultur bakteri tahan asam

Pemeriksaan Penunjang
Selain pemeriksaan neurologis, studi neuroimaging, dan pemeriksaan CSS, semua
pasien sebaiknya melakukan chest X-ray, darah, urine, kultur tenggorokan dan tinja, dan
serologis HIV dan sifilis.
II.3.

Meningitis Sifilitika (Lues SSP)


Penyakit ini saat ini jarang dijumpai. Treponema palidum menginvasi SSP dalam

3-28 bulan sejak awal infeksi. Gejala klinis sangat minim, sering asimtomatik, hanya
dapat dibuktikan dengan pemeriksaan cairan serebrospinal. Bila tidak diobati sesudah
beberapa tahun, dapat menimbulkan vaskulitis, serta dapat memberikan gejala seperti
stroke.
Pada sebagian penderita, gejala baru timbul setelah 15-20 tahun kemudian setelah
terjadi invasi ke dalam parenkim otak, ditandai dengan adanya gangguan kepribadian,
tingkah laku yang lambat laun menimbulkan kelumpuhan dinamakan Demensia
Paralitika. Sering terjadi kebutaan karena Neuritis optika. Bila gejala menyerang medulla
spinalis dan batang otak, maka sering terjadi kelainan pupil mata.
Yang menarik dari lues adalah dapat menyerang semua system syaraf dan
presentasi klinik dapat begitu bervariasi.
CDC merekomendasikan intravenous aqueous crystaline penicillin G 2-4 jutaU
setiap 4 jam selama 10-14 hari untuk pengobatan neurosyphilis. Regimen alternatifnya
adalah 2,4 jutaU intramusculer setiap hari dengan Probenecid, 500 mg oral 4x sehari,
keduanya selama 10-14 hari.
II.4.

Meningitis Jamur

Banyak terjadi pada individu dengan AIDS; yang mendapat transplantasi organ;
kemoterapi imunosupresif atau terapi kortikosteroid kronik; dan pada keganasan
limforetikular.
Jamur yang paling sering menyebabkan meningitis adalah Cryptococcus
neoformans dan Coccidioides immites.
Kondisi yang diasosiasikan dapat meningkatkan resiko untuk meningitis
diantaranya

kehamilan;

hemodialisis;

kemoterapi

imunosupresif

(terutama

kortikosteroid); transplantasi organ dan AIDS.


Pada umumnya invasi ke dalam otak merupakan penyebaran hematogen dari
infeksi primer di paru-paru. Penjalaran perkontunuitatum dapat juga terjadi melalui
koloninya di nasofaring. Dalam hal tersebut terakhir, nasofaring sendiri dapat tidak
mengalami gangguan yang berarti, sehingga kalau terjadi infeksi fungal serebral melalui
penjalaran dari nasofaring, manifestasi serebralnya dapat dianggap sebagai gejala
neurologik primer.
Penyebaran hematogen dari paru-paru ke otak dan selaputnya sebanding dengan
metastasis kuman tuberkulosis ke ruang intra kranial. Baik di permukaan korteks maupun
di arakhnoid dapat dibentuk granuloma yang besar atau kecil-kecil, yang akhirnya
berkembang menjadi abses, juga infeksi fungal selaput otak bersifat meningitis basalis
yang sukar dibedakan dengan meningitis tuberkulosa.
Cryptococcal meningitis dapat tampak sebagai penyakit akut dengan demam,
nyeri kepala, dan fotofobia, serta penurunan sensoris, atau tampak sebagai penyakit
subakut dengan nyeri kepala dan demam ringan. Pada coccidiomycosis CNS pun dapat
tampak sebagai penyakit akut dan sub akut dengan gejala demam, demam ringan, mual
muntah, dan perubahan mental. Apabila terdapat SOL atau vaskulitis, dapat tampak
defisit neurologis fokal maupun kejang.
Pemeiksaan penunjang :
1. Pungsi lumbal
2. Kultur cairan serebrospinal
3. CT-Scan dan MRI
4. Tes serologis (tes agglutinasi latex, antibodi fiksasi komplemen, titer antigen serum)
Pengobatan :

A. Umum
- Bed rest dan Tirah baring
- Diet tinggi kalori tinggi protein
- Ventilasi
- Cegah dehidrasi atau koreksi elektrolit inbalance
B. Kausa
Terapi yang direkomendasikan pada pengobatan meningitis jamur
Organisme

Obat antifungal

Cryptococcus neoformans

Amfoterisin B IV 0.3 mg/kg/hari

Pasien Non-AIDS

plus
Flucytosine 150 mg/kg/hari
Untuk 6 minggu
atau
Amfoterisin B 0.4-0.6 mg/kg/hari

Pasien AIDS

Amfoterisin B IV (0,5-0,8 mg/kg/hari)


Untuk total dosis 1-1,5 g diikuti oleh
Terapi supresif kronik dengan
Fluconazole (200mg/hari)

Coccidioides immites

Amfoterisin B IV 0,4-0,6 mg/kg/hari


Plus
Amfoterisin B Intraventricular
0,25-0,75 mg tiga kali seminggu

Histoplasma capsulatum

Amfoterisin B IV untuk total dosis


35 mg/kg digunakan selama 6-12 minggu

Gambaran Hasil Pemeriksaan CSS

Opening pressure

Bacterial

Viral

Fungal

Tuberculosa

N / tinggi

N / tinggi

Tinggi

< 300

20-500

50-500

<20

<50

~20

Tinggi

Tinggi

Jumlah sel (/mm3) 1,000-10,000


PMN (%)
Protein (mg/dl)
Glucose

>80
Sangat Tinggi
(100-500)
< 40

normal usually < 40

< 40

Gram stain
Kultur (% positif)

60-90 % positive negative negative


70-85

25

AFB stain (+) in 40-80%

25-50

50-80

Tekanan

M. purulenta

M. serosa

M. viral
Normal

Warna

keruh

opalesen

Jernih

Tes Nonne

kuning/hijau

kuning

Tes Pandy

++/+++

++/+++

-/+

Jumlah sel

--/+++

++/+++

-/+

Hitung Jenis

1000-10.000

200-500

50-100

Protein

Polimorf

Limfositer

Limfositer

Glukosa

100-500 mg%

100-500 mg%

50-100 mg%

Bakteri

normal

bisa (+) dengan

bisa (+) dengan

(-) dengan

pewarnaan/kultur

pewarnaan/kultur

pewarnaan/kultur

DAFTAR PUSTAKA
Adams & Victor's Principles Of Neurology 7th edition, 2000
Diktat Neurologi Klinis, Bagian Ilmu penyakit saraf,1993.
Pedoman Nasiona penanggulangan Tuberkulosis, Depkes, 2002
WHO, TB a clinical manual for South East Asia, 1997

Anda mungkin juga menyukai