Nama Produk
Bid Bond
Performance Bond
Maintenance Bond
Custom Bond
Definisi
SURETY BOND
Perjanjian 3 pihak antara Surety (Asuransi) dan Principal (Kontraktor) untuk menjamin
kepentingan Obligee (Pemilik proyek), dimana apabila Principal gagal melaksanakan
kewajibannya sesuai yang diperjanjikan dengan Obligee, maka Surety akan
bertanggung jawab terhadap Obligee untuk menyelesaikan kewajiban Principal.
Jaminan dalam surety bond terdiri dari 2 kondisi:
- Jaminan bersyarat (conditional bond)
Jaminan akan dicairkan setelah diketahui sebab-sebab dari pencairan dan penjamin
hanya wajib mengganti sebesar kerugian yang diderita oleh Obligee.
- Jaminan tanpa syarat (unconditional bond)
Jaminan akan dicairkan apabila ketentuan dalam kontrak tidak dipenuhi tanpa harus
membuktikan kegagalan (loss situation)
Manfaat
a. Jaminan Penawaran (Bid /Tender)
Jaminan Penawaran atau disebut juga Bid Bond adalah jaminan yang diterbitkan oleh
Surety Company untuk menjamin Obligee bahwa Principal pemegang Bid Bond telah
memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh Obligee untuk mengikuti pelelangan
tersebut dan apabila Principal memenangkan pelelangan maka akan sanggup untuk
menutup Kontrak Pelaksanaan Pekerjaan dengan Obligee. Apabila tidak maka Surety
Company akan membayar kerugian kepada Obligee sebesar selisih antara penawaran
Principal yang terendah dengan Principal terendah berikutnya maksimum sebesar nilai
jaminan.
Risiko dalam Bid Bond baru timbul setelah ditentukannya pemenang tender, risko
tersebut adalah :
Sebagai syarat dalam pelelangan suatu proyek dengan tujuan agar peserta
tender bersungguh sungguh untuk mendapatkan proyek yang ditenderkan
Kontraktor sebagai pemenang tender dapat dijamin oleh Surety Company bila
dikenakan sanksi karena mengundurkan diri
Sebagai syarat dalam penanda tanganan kontrak kerja bagi pemenang tender
Jika Principal tidak melaksanakan kewajibannya sesuai kontrak, maka Surety
Company akan memberikan ganti rugi kepada Obligee dengan mencairkan
Jaminan Pelaksanaan.
Besarnya nilai Jaminan Pembayaran Uang Muka adalah prosentase tertentu dari
nilai kontrak proyek itu sendiri, yaitu sebesar 20% dari nilai kontrak proyek.
Apabila pada saat jatuh tempo, pembayaran uang muka tersebut belum
dikembalikan oleh Principal, maka Jaminan Pembayaran Uang Muka dapat
diperpanjang sesuai dengan kesepakatan antara Obligee dan Principal.
Sebagai syarat bila Principal mengambil uang muka untuk tujuan memperlancar
pembiayaan proyek yang dikerjakannya
Jika Principal gagal melaksanakan pekerjaan sehingga tidak dapat
mengembalikan uang muka yang telah diterimanya, maka Surety Company akan
membayar kepada Obligee sebesar sisa uang muka yang belum dilunasinya.
Menanyakan kartu keagenan dari agen yang menawarkan jika melalui agen.
Mengisi Surat Permohonan Penutupan Asuransi dengan data yang sebenarbenarnya secara lengkap dan ditandatangani oleh calon tertanggung sendiri.
Copy surat ijin yang masih berlaku seperti SIUP, SIUJK, Surat Keterangan
Izin Tempat Usaha, Surat Keterangan Domisili.
Copy surat pendukung lainnya seperti NPWP, Surat Referensi Bank, Surat
Keanggotaan Asosiasi.
SPPA
Memastikan data-data dalam SPPA telah sesuai dengan kondisi yang sebenarnya
Apa yang harus dilakukan ketika tidak sesuai dengan apa yang diperjanjikan
Mengacu kepada kondisi polis yang telah disepakati dalam penyelesaian perselisihan,
tindakan yang dapat dilakukan antara lain:
Jaminan tertulis tersebut akan memberikan kewajiban untuk melakukan pembayaran oleh pihak
asuransi selaku penjamin (surety) terhadap pihak penerima jaminan (obligee/kreditur) sebagai
konsekuensi terhadap wanprestasi dari pihak yang dijamin (principal/debitur) tersebut.
Kesuksesan perusahaan asuransi dalam memasarkan produk penjaminan atau penanggungan
tersebut akan sangat ditentukan oleh kepastian pembayaran oleh pihak asuransi itu sendiri
sebagai guarantor atau yang lebih dikenal dengan surety.
Sebagai contoh, proyek-proyek yang dibiayai oleh pemerintah, penawaran pengerjaannya
kepada para kontraktor selalu dilakukan melalui tender. Umumnya, selalu mensyaratkan adanya
jaminan dari kontraktor yang memenangkan tender tersebut terhadap kepastian dan kualitas dari
pelaksanaan proyek yang dimenangkannya tersebut sesuai dengan perjanjian yang disepakati.
Begitu pula bila pihak pemberi kerja menyepakati untuk terlebih dahulu memberikan uang muka
kepada kontraktor dalam memulai pekerjaaannya. Umumnya, pemberi kerja akan berupaya
semaksimal mungkin untuk memproteksi dirinya terhadap resiko kerugian bila kontraktor yang
telah menerima uang muka tersebut ternyata tidak melaksanakan pengerjaan proyek tersebut
seperti yang telah disepakati.
Contoh di atas, tidak saja melulu dilakukan dalam pekerjaan pemborongan yang sering
menggunakan bentuk-bentuk jaminan seperti tender bond, advance payment bond, performance
bond, maintenance bond, tapi juga sebagai jaminan kewajiban importir atas pembayaran
pungutan negara atas impor yang terutang (customs bond).
Dibandingkan dengan bank guarantee, penjaminan atapun garansi yang dikeluarkan oleh
lembaga perbankan, penggunaan surety bond tampaknya kalah populer dalam masyarakat dunia
usaha. Banyak pihak, terutama investor asing, yang belum menunjukkan keyakinan terhadap
kepastian penjaminan dengan menggunakan produk asuransi tersebut.
Bila dikaji lebih dalam, respons positif yang belum begitu kuat muncul dari kalangan pelaku
usaha terhadap penggunaan surety bond tidak selalu disebabkan karena belum gencarnya
sosialisasi ataupun pengiklanan produk penjaminan tersebut oleh kalangan asuransi di
masyarakat. Akan tetapi, lebih disebabkan oleh beberapa kasus ketidakpastian penyelesaian
klaim surety bond itu sendiri.
Dalam banyak kasus, pencairan surety bond tersebut sering sekali sangat bergantung kepada
pernyataan bersalah dari pihak yang dijamin (principal). Padahal belum tentu pihak tersebut
dapat secara gentlemen mengakui kesalahannya. Adanya beberapa persyaratan yang harus
dipenuhi dalam pencairan surety bond tersebut membuat pasar tidak begitu baik menyerap
inovasi produk penjaminan yang diterbitkan asuransi tersebut.
Menteri Keuangan sebagai pengawas dan pembina usaha perasuransian di Indonesia, dari awalawal sebenarnya telah menyadari bahwa konsekuensi hukum dari penerbitan surety bond tersebut
tidaklah mudah. Oleh karena itu, ijin untuk menerbitkan surety bond dibatasi secara ketat. Dan
malah pada awalnya, Kepres no. 14A tahun 1980 hanya diberikan pada PT Persero Asuransi Jasa
Raharja.
Dalam perkembangannya, ijin penerbitan tersebut melalui Keputusan Menteri Keuangan RI
(KMK RI) No:761/KMK..013/1992 diperluas kepada 20 perusahaan asuransi. Kemudian
berdasarkan Surat Direktur Asuransi No. s.2272/DK/2001 tanggal 16 Mei 2001 yang ditujukan
ke Pertamina, ada 22 perusahaan asuransi yang berhak untuk menerbitkan surety bond.
Sementara untuk penerbitan surety bond sebagai penjaminan pembayaran kewajiban importir
terhadap bea impor yang terutang pada negara (custom bond), Menteri Keuangan, berdasarkan
KMKNno.108/KMK.01/1995, hanya memberikan ijin pada 15 perusahaan asuransi. Artinya,
tidak semua perusahaan asuransi yang diperbolehkan oleh KMK RI No.761/KMK.013/1992
untuk menerbitkan surety bond, dapat menerbitkan surety bond untuk garansi pembayaran bea
impor yang terutang (customs bond).
Dasar hukum penerbitan surety bond
Sebenarnya, KMK RI no. 761/KMK.013/1992 sebagai dasar kewenangan dari perusahaanperusahan yang ditetapkan dapat menerbitkan surety bond dalam pekerjaan-pekerjaan
pemborongan ataupun perdagangan yang dibiayai oleh APBN
dan KMK RI No.
108/KMK.01/1995 sebagai dasar wewenang penerbitan customs bond, tidak mengatur ataupun
memberikan penjelasan tentang prinsip-prinsip yang dianut oleh lembaga penjaminan ataupun
tata cara penerbitan penjaminan tersebut secara lengkap. Keputusan Menteri tersebut lebih
kepercayaan dari pihak penerima surety bond. Oleh karena itu, Menteri Keuangan sebagai
pengawas dan pembina dari industri perasuransian berdasarkan UU. No.2 tahun 1992, tidak
memberikan kewenangan pada semua perusahaan asuransi untuk dapat menerbitkan surety bond.
Tampaknya, pemerintah hanya masih akan memberikan wewenang untuk dua puluh perusahaan
asuransi sampai saat ini. Dan malah, dalam menerbitkan costoms bond masih hanya dapat
dilakukan oleh lima belas perusahaan asuransi. Itu pun dengan tegas diatur dalam Pasal 2 KMK
RI no. 108/KMK.01/1995 tgl. 13 Maret 1995 bahwa wewenang untuk menerbitkan customs
bond yang diberikan kepada kelima belas perusahaan masih dapat diubah atau ditinjau kembali
berdasarkan penilaian batas tingkat solvabilitas dan kemampuan pengelolaan teknis dalam
penerbitan customs bond.
Akan tetapi, tidak berarti diberikannya hak untuk menerbitkan surety bond hanya pada
perusahaan asuransi yang telah terseleksi seperti yang ditegaskan oleh KMK tersebut membuat
permasalahaan surety bond telah habis. Terbukti keengganan banyak kontraktor, kreditur
ataupun investor, khususnya investor asing, terhadap kepastian penjaminan yang ditawarkan
oleh surety bond tersebut mengharuskan pihak perasuransian melihat ada permasalahaan lain
selain kualitas dan bonafiditas dari perusahaan asuransi tersebut.
Surety bond versus bank garansi
Banyaknya kemudahan-kemudahan yang didapatkan oleh kontraktor dengan dalam mendapatkan
jasa penjaminan surety bond dari perusahaan asuransi dibandingkan dengan permohonan bank
garansi melalui bank, seperti proses permohonan yang lebih cepat, surety charge (semacam
premi) yang lebih murah dibandingkan dengan provisi atas penerbitan bank garansi, ternyata
masih hanya mampu menarik perhatian dari para kontraktor ataupun debitur yang
membutuhkannya.
Sebaliknya, pihak kreditur, pemberi kerja, ataupun obligee masih lebih meyakini bank garansi
sebagai alat penjaminan yang dapat melindungi potensi kerugian yang mungkin dialaminya
apabila kontraktor wanprestasi dalam pelaksanaan kontrak yang telah mereka sepakati.
Permasalahan tersebut lebih disebabkan oleh sifat alamiah dari surety bond tersebut sebagai
produk yang ketentuan penerbitannya tidak bisa lepas dari prinsip-prinsip perasuransian, yang
dalam beberapa hal, memberikan kelemahan pada pelaksanaan pencairan klaim surety bond
tersebut dalam hal principal wanprestasi. Persayaratan pengajuan permohonan penerbitan surety
bond terhadap perusahaan asuransi tidak serumit syarat-syarat yang diajukan untuk penerbitan
bank guarantee oleh pihak bank yang penerbitannya harus sejalan dengan prinsip-prinsip
pelaksanaan perbankan yang prudensial.
Adanya ketentuan tentang pelaksanaan 5 C (Character, Capacity, Capability, Capital dan
Collateral) membuat ketergantungan pihak bank terhadap principal lebih kecil dalam hal harus
dilakukannya pencairan bank guarantee tersebut. Bank akan berani hanya melihat pada alasanalasan hukum telah terjadinya wanprestasi oleh pihak yang dijamin (principal) tanpa harus takut
hak subrogasinya akan mengalami persoalan bila tidak terlebih dahulu mendapat pernyataan
pengakuan wanprestasi dari principal. Hal ini dapat terjadi karena pada umumnya Bank telah
memegang jaminan yang cukup sebagai kontra garansi terhadap bank guarantee yang
diterbitkannya.
Angka 10 dari SE DIR BI no.23/5/UKU tanggal 28 Februari 1991 menegaskan bahwa dalam
pemberian bank guarantee bank harus terlebih dahulu melakukan penelitian dan penelaahan
yang pada hakekatnya sama dengan penelaahan yang dilakukan dalam pemberian kredit. Hal-hal
yang harus diteliti tersebut dijelaskan oleh angka 10 tersebut sebagai berikut:
1. Meneliti bonafiditas dan reputasi pihak yang dijamin.
2. Meneliti sifat nilai transaksi yang akan dijamin, sehingga dapat diberikan garansi yang sesuai.
3. Menilai jumlah garansi yang akan diberikan menurut kemampuan bank.
4. Menilai kemampuan pihak yang akan dijamin untuk memberikan kontra garansi sesuai dengan
kemungkinan terjadinya resiko.
Poin 1 sampai dengan 2 dari angka 10 di atas secara prinsip sebenarnya telah dilakukan oleh
perusahaan asuransi sebelum mengabulkan permohonan penerbitan surety bond, walaupun
belum ada term of reference diterbitkan oleh Departemen Keuangan sebagai acuan dari penilaian
poin 1 dan 2 tersebut diatas. Sementara poin 3 sebagai salah satu syarat yang secara ketat
dipatuhi oleh perbankan sehubungan dengan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) yang
harus diperhitungkan akibat dari kewajiban membayar yang mungkin timbul (contigent
liabilities) tersebut, bagi perusahaan asuransi masih tetap dapat diatasi dengan mekanisme
reasuransi.
Artinya bila Undang-Undang Perbankan no 7 tahun 1992 yang kemudian diperbaiki dengan UU
No.10 tahun 1998, yang menjadi dasar dari Serat Edaran BI tersebut dengan tegas menolak
permohonan penerbitan bank garansi yang jumlah nilai penjaminannya diperhitungkan akan
melabihi BMPK dari bank tersebut, maka bank akan dengan tegas menolak permohonan
tersebut. Sementara bagi pihak asuransi, hal tersebut tidak menjadi permasalahan dengan adanya
pola reasuransi tersebut.
Hal yang mungkin belum dilakukan oleh pihak asuransi adalah pelaksanaan poin 4 dari
persyaratan yang diajukan bank di atas. Poin 4 tentang kontra garansi yang dalam angka 11 SE
DIR BI tersebut dijelaskan sebagai berikut: "sehubungan dengan angka 10.4 di atas perlu
dijelaskan bahwa kontra garansi dapat berupa:
1. Kontra garansi dari bank luar negeri yang bonafid.
2. Setoran sebesar 100% dari nilai garansi yang diberikan
3. Kontra garansi lainnya yaitu kontra garansi yang diperoleh dari pihak yang dijamin dengan
nilai yang memadai untuk menanggung kerugian yang mungkin diderita oleh bank apabila
garansi tersebut pada waktunya direalisir&
Perbedaan pemahaman antara lembaga perbankan dengan lembaga perasuransian terhadap
penjaminan tersebut, membuat sikap lembaga perbankan dengan lembaga asuransi tentang
jaminan (collateral ataupun kontra garansi) sebagai syarat dari penerbitan surat penjaminan
tersebut berbeda. Bank melihat penerbitan dari bank guarantee sebagai bagian dari aktifitas
pemberian kredit yang menimbulkan contigent liabilities, menerapkan syarat pemberian kredit
yang melihat collateral sebagai back-up dari bank guarantee yang diberikannya.
Sementara bagi lembaga perasuransian yang tidak dapat melihat hal ini sebagai kredit atas
keterbatasan bidang usaha sebagai Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) sampai saat ini
belum melihat collateral sebagai suatu solusi kepastian penyelesaian kewajiban surety dalam hal
terjadinya klaim pencairan surety bond dari pihak obligee.
Di sisi lain, upaya pihak asuransi untuk menemukan solusi collateral dengan mewajibkan
principal untuk menandatangani persetujuan ganti rugi (indemnity agreement) hampir tidak
memberikan perbedaan apa-apa. Karena walaupun indemnity agreement tersebut tidak
ditandatangani, hak subrogasi dari perusahaan asuransi untuk mendapatkan penggantian dari
debitur atas telah diselesaikannya kewajiban debitur tersebut kepada obligee adalah merupakan
hak yang timbul demi hukum (lihat pasal 1402 ayat 3 di atas). Artinya tanpa adanya indemnity
agreement tersebut, perusahaan asuransi tetap dapat melaksanakan hak subrogasinya.
Tentu saja upaya pengajuan hak subrogasi terhadap principal tidak selalu dapat terlaksana
dengan mulus. Karena, debitur sering dengan niat tidak baik hendak melepaskan diri dari
kewajibannya terhadap perusahaan asuransi tersebut. Sayangnya, sikap dari perusahaan asuransi
lebih cenderung pada posisi yang koperatif dengan principal dan selalu menekankan pelaksanaan
prestasi untuk pencairan klaim surety bond berdasarkan adanya pernyataan ataupun statement
wanprestasi dari principal, yang bagi kalangan yang menerima jaminan/obligeee/kreditur
keadaan ini melambangkan ketidakpastian hukum dari surety bond itu sendiri.
Kelebihan yang ditawarkan oleh perusahaan asuransi terhadap produk jasa surety bond melalui
kemudahan-kemudahan aplikasi serta juga murahnya biaya penerbitannya, hanya masih
memberikan sisi-sisi positif pada applicant yang mungkin sangat kesulitan memenuhi
persyaratan-persyaratan yang diajukan oleh bank dalam penerbitan bank guarantee.
Akan tetapi, muaranya tentu saja bagaimana surety bond tersebut memberikan kepastian atau
kepercayaan pada pihak yang menerima surety bond tersebut sebagai mekanisme penjaminan.
Ketidakpastian pencaiaran surety bond tersebutlah yang menjadi permasalahan bagi para obligee
untuk menerima surety bond sebagai alat penjaminan oleh perusahaan asuransi.
Tentu saja hal ini harus mendapatkan kajian yang serius dari pihak asuransi agar surety bond
yang diterbitkannya dapat diterima oleh kalangan dunia usaha. Kalaupun misalnya perusahaan
asuransi tidak dapat meminta collateral sebagai jaminan dari principal atas diterbitkannya surety
bond tersebut, paling tidak harus ada upaya untuk mengurangi ketergantungan prestasi asuransi
tersebut terhadap sikap debitur/principal yang sering sekali sangat sulit untuk mengakui
kesalahahan yang dilakukannya.
Konkretnya, harus ada ketegasan dimasukkannya prinsip irrevocable (surety bond yang telah
diterbitkan tidak dapat ditarik kembali) dan prinsip unconditional (pembayaran tanpa syarat)
dalam hal telah terjadinya wanprestasi. Ini perlu dalam upaya menjamin posisi hukum
perusahaan asuransi penerbit dalam hal terjadinya klaim pencairan surety bond akibat dari
wanprestasi debitur. Contohnya: sebelum menerbitkan surety bond, pihak asuransi harus terlebih
dahulu menganalisa perjanjian pokok yang mendasari terbitnya penjaminan tersebut.
Dalam perjanjian pokok tersebut, harus sangat jelas diatur tentang syarat-syarat terjadinya
wanprestasi oleh salah satu pihak. Syarat-syarat ini secara tegas memberikan hak bagi pihak
yang dirugikan untuk mengajukan pemutusan kontrak dan bahkan menuntut ganti rugi atas tidak
dilaksanakannya perikatan-perikatan dalam kontrak utama tersebut. Hak untuk pemutusan
kontrak tersebut haruslah mengecualikan Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUH Perdata yang dengan
pengecualian pasal tersebut, pemutusan kontrak yang terjadi akibat dari terjadinya wanprestasi
tidak harus dilakukan melalui pengadilan.
Penegasan hal-hal yang disebut dalam paragraf di atas akan memberikan posisi yang lebih kuat
bagi perusahaan asuransi pada dua sisi sekaligus. Pihak asuransi akan dengan cepat dapat
merespons klaim pencairan dari obligee. Sementara di sisi lain, hak hukum dari perusahaan
asuransi untuk meminta penggatian (subrogasi) terhadap principal/ debitur utama menjadi lebih
kuat.
Penerapan pada empat poin di atas secara tegas akan meningkatkan kepastian hukum dari pihak
asuransi untuk melakukan pencairan surety bond tersebut dalam hal telah terjadinya wanprestasi
tanpa takut hak subrogasinya mendapat tantangan dari principal. Empat poin itu adalah
pengesampingan hak istimewa penanggung seperti yang diatur dalam KUH perdata, penegasan
sifat irrecovable dan unconditional terhadap surety bond, penegasan tahap-tahap ataupun alasanalasan terjadinya wanprestasi dalam kontrak utama, dan pencantuman secara tegas pengecualian
pasal 1266 dan 1267 KUH perdata pada kontrak utama. Keadaan ini tentu saja akan menaikkan
reputasi dari surety bond di kalangan dunia usaha.
Konflik surety bond dan Pengadilan Niaga
Adanya potensi konflik yang disebabkan oleh permasalahan dalam pencairan surety bond tidak
saja akan memberikan efek kurangnya kepercayaan pelaku usaha terhadap produk penjaminan
yang diterbitkan oleh perusahaan asuransi tersebut. Akan tetapi, juga potensi perusahaan asuransi
sebagai penerbit untuk diperkarakan di depan pengadilan.
Dengan hadirnya Pengadilan Niaga, umumnya obligee yang merasa telah mempunyai hak untuk
mengklaim pencairan dari surety bond tersebut akan mengambil tindakan hukum dengan
mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap perusahaan asuransi yang menerbitkan
penjaminan tersebut. Perkara serupa telah pernah diajukan kepada salah satu perusahaan asuransi
milik negara atas tidak dicairkannya surety bond yang digunakan untuk menjamin promissory
notes yang diterbitkan oleh principal.
Contoh di atas harus menjadi perhatian penting dunia asuransi. Karena potensi permohonan pailit
yang menurut UU no. 4 tahun 1998 dapat diajukan secara langsung pada perusahaan asuransi,
tidak selalu disebabkan oleh konflik antara penanggung dan tertanggung dalam konteks
perjanjian asuransi seperti yang diatur dalam Pasal 246 dan 247 KUH Dagang serta UU. No. 2
tahun 1992.
Ricardo Simanjuntak, SH.LL.M. adalah pengamat hukum bisnis dam advokat di Firma Hukum
Gani Djemat & Partner
Artikel ini dipresentasikan pada acara panel diskusi yang diselenggarakan oleh LPHI dengan
topik "Tinjauan & Aspek Hukum Surety Bond sebagai Alternatif Bank Garansi dalam Bidang
Jasa Kontraktor" pada 18 Oktober 2001 di Jakarta.
Pendahuluan
Di dalam sebuah perusahaan asuransi kerugian, terdapat berbagai macam produk atau
line of business. Mulai dari produk yang paling popular seperti asuransi kendaraan dan asuransi
kebakaran serta asuransi Property All Risk terdapat pula sebuah produk yang diberi nama Surety
Bond.
Surety Bond pertama kali diperkenalkan dalam dunia asuransi di Indonesia pada tahun
1985 melalui SK MENKEU No. 243/KMK.011/1985 tanggal 05 Maret 1985 hanya oleh Jasa
Raharja. Dan 7 tahun kemudian di tahun 1992 sesuai dengan SK MENKEU
No.761/KMK.011/1992 tanggal 13 Juli 1992 sebanyak 22 perusahaan asuransi di Indonesia
diperkenankan untuk menerbitkan Surety Bond.
PT. Asuransi Central Asia memiliki Bonds department yang terdapat di ACA KCU Duta
Merlin dan di Head office lt. 14. Fungsi dalam departemen ini adalah meng-underwrite dan
mengakseptasi setiap permohonan penerbitan surety bond dan kontra bank garansi dari seluruh
kantor cabang ACA di Indonesia. Tentunya tidak setiap permohonan penerbitan akan disetujui,
karna ACA memiliki standar khusus untuk menerima setiap permohonan yang diajukan.
Landasan Teori
Surety Bond adalah Suatu bentuk penjaminan yang biasanya pihak Obligee (pemilik
modal) meminta Surat Jaminan atau Surety Bond dari Principal (kontraktor/pemborong)
dengan maksud untuk menyatakan kesungguhan Principal dalam melaksanakan pekerjaannya
sesuai kontrak/perjanjian yang telah disepakati. Jaminan itu diberikan oleh Penjamin (Surety)
yang diterbitkan oleh Lembaga Keuangan Non Bank yaitu Perusahaan Asuransi yang memiliki
program Surety Bond.
Surety bond bukan merupakan sebuah asuransi. Karna asuransi merupakan sebuah
perjanjian antara 2 pihak yaitu tertanggung dan penanggung, sementara surety bond merupakan
sebuah perjanjian antara 3 pihak yaitu :
1. Obligee
Obligee adalah pemilik proyek atau modal atau contract maker.
2. Principal
Principal adalah penerima proyek atau yang menjalankan proyek atau yang menjalankan sebuah
kontrak.
3. Surety
Surety adalah sebuah perusahaan asuransi yang menjamin principal dapat menjalankan sebuah
proyek yang diterima dari obligee.
Asuransi
1.
Merupakan sebuah perjanjian yang berdiri
sendiri
2.
Merupakan sebuah perjanjian antara 3
pihak.
2.
3.
Prinsip underwritenya Select your risk
and client
3.
4.
4.
5.
Pembayaran klaim ditanggung oleh sendiri
dan tidak ada recovery dari tertanggung
Bank Garansi
1.
Ditanda tangani oleh 2 pihak yaitu
principal dan surety
1.
Ditanda tangani oleh 1 pihak yaitu pihak
Bank
2.
Diatur dalam perikatan tanggung
menanggung atau tanggung renteng
2.
Diatur dalam perikatan penanggungan
sepihak dan penjamin mempunyai hak istimewa
3.
3.
4.
Merupakan perjanjian bersyarat
(conditional)
4.
Bukan merupakan perjanjian tanpa syarat
(unconditional)
5.
5.
Risiko ditahan sendiri karna adanya
collateral
6.
6.
1.
Surety Bond
Surety bond biasanya digunakan dalam setiap project konstruksi dan pengadaan barang. Surety
bond juga terbagi lagi menjadi beberapa jenis sesuai dengan fungsinya masing-masing,
diantaranya :
Bid Bond
Bid Bond atau yang biasa dikenal dengan jaminan penawaran adalah jaminan yang dibutuhkan
pada saat mengikuti sebuah tender. Dasar pemberian jaminan ini adalah dengan adanya copy
undangan tender dan untuk menentukan besaran sebuah nilai jaminan biasanya 1% - 3% dari
nilai penawaran yang diajukan oleh principal. Periode jaminan berdasarkan tanggal pemasukan
penawaran dan berakhir pada saat dibukanya surat penawaran.
Fungsinya adalah menjamin bahwa principal akan melakukan perform apabila telah ditunjuk
sebagai pemenang tender dan apabila principal dinyatakan wanprestasi, dengan tidak mau
menandatangani kontrak yang ada di dalam SPK atau mengundurkan diri atau bisa juga karena
tidak mau menyerahkan performance bond maka disitulah terjadi klaim atau pencairan jaminan.
Performance Bond
Performance bond atau yang dikenal sebagai jaminan pelaksanaan adalah jaminan yang
dibutuhkan saat melaksanakan sebuah proyek. Dasar pemberian jaminan ini adalah dengan
adanya surat perintah kerja untuk sebuah proyek konstruksi dan sebuah PO (purchase order)
untuk sebuah proyek pengadaan barang. Periode penjaminan didapat dari periode pekerjaan
sesuai dengan yang tertera di dalam sebuah kontrak. Besaran nilai jaminannya biasanya adalah
5% - 10% dari nilai kontrak.
Fungsi dari jaminan ini adalah menjamin bahwa principal akan menjalankan perform untuk
sebuah kontrak yang telah disepakati bersama. Dan pencairan dilakukan ketika obligee melihat
adanya wanprestasi pada sebuah proyek yang dikerjakannya. Principal tidak dapat memenuhi
kewajibannya sesuai dengan perjanjian kontrak. Contohnya sebagai sebuah kontraktor tidak
dapat menyelesaikan proyek sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan.
Maintenance Bond
Maintenance bond (jaminan pemeliharaan) adalah jaminan yang diberikan saat principal sudah
menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan isi kontrak dan ingin mengambil hak retensi (biasanya
total 5%) yang ditahan oleh pihak obligee. Dasar pemberian jaminan ini adalah adanya surat
Berita Acara Serah Terima pertama (BAST) untuk konstruksi dan Delivery Order (DO) untuk
pengadaan barang.
Fungsi dari jaminan ini adalah menjamin bahwa principal akan melaksanakan perbaikan atas
kerusakan-kerusakan yang timbul setelah pekerjaan telah diserah-terimakan kepada obligee
dalam masa pemeliharaan yang sesuai dengan kontrak. Pencairan dilakukan ketika principal
tidak melakukan perbaikan-perbaikan selama masa pemeliharaan.
2.
Customs Bond
Custom bond adalah penjaminan yang diberikan oleh pihak principal kepada obligee, untuk
kepentingan pemenuhan suatu kewajiban-kewajiban yang timbul dari dimana principal sebagai
perusahaan yang memperoleh pembebasan Bea Masuk untuk barang-barang yang diimpor karna
barang tersebut untuk komoditi ekspor. Sedikit perbedaan dalam perjanjian ini, yaitu pihak
obligee pada penjaminan custom bond ini hanya 1 yaitu Direktorat Jenderal Bea&Cukai. Ada
beberapa jenis custom bond, diantaranya :
CB KITE adalah pemberian pembebasan bea masuk dan atau cukai serta PPn dan PPnBM tidak
dipungut atas impor barang dan atau bahan baku yang diolah, dirakit, dipasang pada barang lain
dengan tujuan ekspor. Contohnya: benang yang diimpor kemudian diolah menjadi barang
setengah jadi (kain) ataupun barang jadi (baju) untuk kemudian hasilnya diekspor.
Nilai penjaminan sebesar nilai penangguhan Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, PPn, serta
PPnBM sesuai dengan PIB (Pemberitahuan Impor Barang)
Penyebab pencairan CB KITE :
a.
Principal tidak melaporkan realisasi ekspor.
b.
Principal menjual bahan baku/barang jadi di dalam negeri.
c.
Principal tidak berproduksi.
d.
Skep pembebasan sudah jatuh tempo dan tidak diperpanjang.
Vooruitslag
Penundaan pembayaran bea masuk oleh importir atas barang yang akan dijual atau digunakan di
dalam negeri dengan penangguhan pembayaran dalam kurun waktu tertentu agar barang impor
dapat dikeluarkan terlebih dahulu. Biasanya untuk barang-barang yang dibutuhkan untuk
keperluan mendesak seperti keperluan penunjang dalam bencana alam contohnya, camp-camp
untuk para relawan untuk tempat tinggal sementara para relawan.
Penyebab pencairan CB ini adalah karena principal tidak melakukan pembayaran yang diberikan
dalam SKep berakhir ataupun tidak melakukan perpanjangan CB.
tersebut, PPJK wajib menyerahkan collateral yang nilainya sesuai dengan ketentuan dimasingmasing tempat. Yang diperlukan untuk mengajukan penerbitan ini adalah Skep Bea Cukai &
surat sertifikat tenaga ahli dari kepabeanan dari Badan Pendidikan dan latihan keuangan Depkeu
RI.