Laki-laki lima kali lebih banyak dari wanita. Namun demikian tinea kapitis
karena T.tonsurans lebih sering pada wanita dewasa dibandingkan laki-laki
dewasa, dan lebih sering terjadi pada anak-anak Afrika Amerika.
3. Etiologi
Golongan jamur ini mempunyai sifat mencernakan keratin. Dermatofita termasuk
kelas Fungi immperfecti, yang terbagi dalam 3 genus, yaitu Microsporum,
Trichophyton, dan Epidemophyton yang bersifat keratinofilik mengenai stratum
korneum pada kulit, rambut dan kukuj dengan cara transmisi melalui zoofilik,
antropofilik dan geofilik.
4. Faktor Resiko
Alat yang dipakai manusia, misalnya : topi dari karet yang tidak menyerap
5. Patofisiologi
Terjadinya penularan dermatofitosis adalah melalui 3 cara yaitu :
a. Antropofilik, transmisi dari manusia ke manusia. Ditularkan baik secara langsung
maupun tidak langsung melalui lantai kolam renang dan udara sekitar rumah
sakit/klinik, dengan atau tanpa reaksi keradangan (silent carrier)
b. Zoofilik, transmisi dari hewan ke manusia. Ditularkan melalui kontak langsung
maupun tidak langsung melalui bulu binatang yang terinfeksi dan melekat
dipakaian, atau sebagai kontaminan pada rumah/ tempat tidurn hewan, tempat
makanan dan minuman hewan. Sumber penularan utama adalah anjing, kucing,
sapi, kuda dan mencit.
c. Geofilik, transmisi dari tanah ke manusia. Secara sporadic menginfeksi manusia
dan menimbulkan reaksi radang.6
Untuk dapat menimbulkan suatu penyakit, jamur harus dapat mengatasi pertahanan tubuh
non spesifik dan spesifik. Jamur harus mempunyai kemampuan melekat pada kulit dan
mukosa host, serta kemampuan untuk menembus jaringan host, dan mampu bertahan
dalam lingkungan host., menyesuaikan diri dnegan suhu dan keadaan biokimia host untuk
dapat berkembang biak dan menimbulkan reaksi jaringan atau radang. Terjadiya infeksi
dermatofit melalui tiga langkah utama yaitu : perlekatan pada keratinosit, penetrasi
melewati dan di antara sel serta pembentukan respon host.
Perlekatan dermatofit pada keratinosit
Perlekatan artrokonidia pada jaringan keratin tercapai maksimal setelah 5 jam, dimediasi
oleh serabut dinding terluar dermatofit yang memproduksi keratinase (keratolitik) yang
dapat menghidrolisis keratin dan memfasilitasi pertumbuhan jamur ini di stratum
korneum. Dermatofit juga melakukan aktivitas proteolitik dan lipolitik dengan
mengeluarkan serine proteinase (urokinase dan activator plasminogen jaringan) yang
menyebabkan katabolisme protein ekstrasel dalam menginvasi host. Proses ini
dipengaruhi oleh kedekatan dinding dari kedua sel, dan pengaruh sebum antara artrospor
dan korneosit yang dipermuda oleh adanya proses trauma atau lesi pada kulit. Tidak
semua dermatofit melekat pada korneosit karena tergantung pada jenis strainnya.14
Penetrasi dermatofit melewati dan di antara sel
3
Spora harus tumbuh dan menembus masuk stratum korneum dengan kecepatan melebihi
proses deskuamasi. Proses penetrasi menghasilkan proteinase, lipase, dan enzim
musinolitik yang menjadi nutrisi bagi jamur. Diperlukan waktu 4-6 jam untuk germinasi
dan penetrasi ke stratum korneum setelah spora melekat pada keratin.3,6,14
Dalam upaya bertahan dalam menghadapi pertahanan imun yang terbentuk
tersebut jamur pathogen menggunakan beberapa cara :13,14
1. Penyamaran, antara lain dengan membentuk polisakarida yang tebal, memicu
pertumbuhan filament hifa, sehingga glucan yang terdapat pada dinding sel jamur
tidak terpapar oleh dectin-I dan dengan membentuk biofilamen, suatu polimer ekstra
sel, sehingga jamur dapat bertahan terhadap fagositosis.
2. Pengendalian, dengan sengaja mengaktifkan mekanisme penghambatan imun host
atau secara aktif mengendalikan respon imun mengarah kepada tipe pertahanan yang
tidak efektif, contohnya Adhesin pada dinding sel jamur berikatan dengan CD14 dan
komplemen C3 (CR3, MAC1) pada dinding makrofag yang berakibat aktivasi
makrofag akan terhambat.
3. Penyerangan dengan memproduksi molekul yang secara langsung merusak atau
memaski pertahanan imun spesifik dengan mensekresi toksin atau protease. Jamur
mensintesa katalase dan superoksid dismutase, mensekresi protease yang dapat
menurunkan barrier jaringan sehingga memudahkan proses invasi oleh jamur dan
memproduksi siderospore (suatu molekul penangkap zat besi yang dapat larut) yang
digunakan untuk menangkap zat besi untuk kehidupan aerobic.
Kemampuan spesies dermatofit menginvasi stratum korneum bervariasi dan
dipengaruhi oleh daya tahan host yang dapat membatasi kemampuan dermatofit dalam
melakukan penetrasi pada stratum korneum.5
Respon Imun Host
Terdiri dari dua mekanisme, yaitu imunitas alami yang memberikan respon cepat
dan imunitas adaptif yang memberikan respon lambat.3,7
Pada kondisi individu dengan system imun yang lemah (immunocompromised),
cenderung mengalami dermatofitosis yang berat atau menetap. Pemakaian kemoterapi,
obat-obatan transplantasi dan steroid membawa dapat meningkatkan kemungkinan
terinfeksi oleh dermatofit non patogenik.3
Mekanisme pertahanan non spesifik
4
Pertahanan non spesifik atau dikenal sebagai pertahanan alami terdiri dari :7
1. Struktur, keratinisasi, dan protliferasi, epidermis bertindak sebagai barrier terhadap
masuknya dermatofit. Stratum kornem secara kontinyu diperbaui dengan keratinisasi
sel epidermis sehingga dapat menyingkirkan dermatofit yang menginfeksinya.
Proliferasi epidermis menjadi benteng pertahanan terhadap dermatofitosis, termasuk
proses keradangan sebagai bentuk proliferasi akibat reaksi imun yang dimediasi sel T.
2. Adanya akumulasi netrofil di epidermis secara makroskopi berupa pustule, secara
mikroskopis berupa mikroabses epidermis yang terdiri dari kumpulan netrofil di
epidermis, dapat menghambat pertumbuhan dermatofit melalui mekanisme oksidatif.
3. Adanya substansi anti jamur, antara lain unsaturated transferrin dan 2makroglobulin keratinase inhibitor dapat melawan invasi dermatofit.
Mekanisme pertahanan spesifik
Lokasi infeksi dermatofit yang superfisial tetap dapat membangkitkan baik
imunitas humoral maupun cell-mediated immunity (CMI). Pembentukan CMI yang
berkorelasi dengan Delayed Type Hypersensitivity (DTH) biasanya berhubungan dengan
penyembuhan klinis dan pembentukan stratum korneum pada bagian yang terinfeksi.
Kekurangan CMI dapat menegah suatu respon efektif sehingga berpeluang menjadi
infeksi dermatofit kronis atau berulang. Respons imun spesifik ini melibatka antigen
dermatofit dan CMI.7
Antigen dermatofit
Dermatofit memiliki banyak antigen yang tidak spesifik menunjukkan spesies
tertentu. Dua kelas utama antigen dermatofit adalah : glikopeptida dan keratinase, di
mana bagian protein dari glikopeptida menstimulasi CMI, dan bagian polisakarida dari
glikopeptida menstimulasi imunitas humoral. Anitibodi menghambat stimulasi akivitas
proteolitik yang disebabkan oleh keratinase, yang dapat memberikan respons DTH yang
kuat. pertahanan utama dalam membasmi infeksi dermatofit adalah CMI, yaitu T cellmediated DTH. Kekurangan sel T dalam system imun menyebabkan kegagalan dalam
membasmi infeksi dermatofit. Penyembuhan suatu penyakit infeksi pada hewan dan
manusia, baik secara alamiah dan eksperimental, berkorelasi dengan pembentukan
respons DTH. Infeksi yang persisten seringkaliterjadi karena lemahnya respon
transformasi limfosit in vitro, tidak adanya respon DTH, dan peningkatan proliferasi kulit
dalam respon DTH. Reaksi DTH di mediasi oleh sel Th1 dan makrofag, serta peningkatan
5
proliferasi kulit akibat respon DTH merupakan mekanisme terakhir yang menyingkirkan
dermatofit dari kulit melalui deskuamasi kulit. Respon sel Th1 yang ditampilkan dengan
ciri pelepasan interferon gamma (IFN-), ditengarai terlibat dalam pertahanan host
terhadap dermatofit dan penampilan manifestasi klinis dalam dermatofitosis.7
Respon T Helper-1 (Th1). Sitokin yang diproduksi oleh sel T (Sitokin Th1)
terlibat dalam memunculkan respon DTH, dan IFN- dianggap sebagai factor utama
dalam fase efektor dari reaksi DTH. Pada penderita dermatofitosis akut, sel mononuclear
memproduksi sejumlah besar IFN- untuk merespon infeksi dermatofit. Hal ini
dibuktikan dengan ekspresi mRNA IFN- pada lesi kulit dermatofitosis. Sedangkan pada
penderita dermatofitosis kronis produksi IFN- secara nyata sangat rendah yang terjadi
akibat ketidakseimbangan system imun karena respon Th2.6,14,15
Sel Langerhans. Infiltrate radang pada dermatofitosis terutama terdiri dari sel T
CD4+ dan sel T CD8+ yang dilengkapi oleh makrofag CD68+ dan sel Langerhans
CD1a+. sel Langerhans dapat menginduksi respon sel T terhadap trichophytin, serta
bertanggung jawab dalam pengambilan dan pemrosesan antigan pada respon Th1 pada
lesi infeksi dermatofit.6,15
Imunitas humoral. Host dapat membentuk bermacam antibody terhadap infeksi
dermatofit yang ditunjukkan dengan teknik ELISA. Imunitas humoral tidak berperan
menyingkirkan infeksi, hal ini dibuktikan dengan level antibody tertinggi pada penderita
infeksi kronis.5,7
Tabel 1. Klasifikasi Dermatofitosis Berdasarkan Lokasi atau Ciri Tertentu dan Jamur Penyebab
Nama
Penyakit
Tinea
Kapitis
Tinea favosa
Tinea
barbae
Tinea
korporis
Tinea
imbrikata
Tinea kruris
Tinea pedis
Pada kaki
Tinea
manuum
Tangan
Tinea
unguium
Jamur penyebab
Microsporum (beberapa
spesies)
Trichophyton (beberapa
spesies kecuali
T.consentricum)
T. schoenleinii
T. violaceum (jarang)
M. gypseum (jarang)
T. mentagrophytes,
T.rubrum, T violaceum,
T.verrucosum, T.megninii,
M.canis
T.rubrum,
T.mentagropnytes,
M.audouinii, M.canis
T. concentricum
E. floccosum
T. rubrum
T. mentagrophytes
T. rubrum
T. mentagrophytes
E. floccosum
T. rubrum
E. floccosum
T. mentagrophytes
T. rubrum
T. mentagrophytes
GEJALA KLINIS
Tinea Kapitis
Berdasarkan bentuk yang khas Tinea Kapitis dapat dibedakan atas
1. Bentuk yang tidak meradang
a. Grey patch ringworm
Pada pemeriksaan dengan lampu wood akan tampak ujung-ujung rambut yang
putus tersebut berfluoresensi hijau
Dengan sediaan KOH 10-20% dari rambut yang dicabut terlihat tumpukan
spora diluar batan rambut (infeksi ektotriks).
Lesi berupa makula coklat disertai bintik hitam di kepala dengan rambut
yang putus tepat dipermukaan kulit pada muara folikel rambut dan yang
tertinggal adalah ujung rambut yang penuh spora, sehingga terlihat sebagai
bintik-bintik hitam pada bercak tersebut yang disebut black dots.
Pada pemeriksaan dengan lampu wood tidak timbul fluoresensi dan pada
sediaan KOH menunjukkan tumpukan spora di dalam dan di luar batang
rambut (infeksi endotriks dan eksotriks).
b. Bentuk Favus
Timbul bercak yang tertutup oleh krusta yang tebal dan berbentuk seperti
cawan (skutula) serta berbau seperti tikus (mousy odor). Kadang-kadang
meluas sampai di luar daerah rambut, bersifat progresif dan menimbulkan
banyak sikatriks. Rambut jadi tidak bercahaya, namun biasanya tidak terputus.
Dengan lampu wood terlihat fluoresensi hijau sepanjang rambut dan bila
dibuat sediaan KOH tampak gambaran khas yakni adanya gelembunggelembung udara di dalam batang rambut disertai miselia dari jamur.
Tinea Barbae
Adalah infeksi jamur dermatofita pada daerah
janggut, cambang dan kumis. Biasanya disebabkan
oleh golongn Trychophyton dan mycrosporum.
1. Bentuk superfisial
Lesi eritro-papulo-skuamosa, mula-mua kecil
lalu melebar ke perifer dengan tepi polisiklis.
Bentuk ini sama dengan tinea korporis biasa.
2. Bentuk karion
Prosesnya sama dengan pembentukan kerion pada tinea kapitis. Timbul lesi yang
basah dengan perifolikkulitis dan abses.
3. Bentuk sikosis
Suatu bentuk yang jarang dijumpai, secara klinik tidak dapat dibedakan dengan
folikulitis bakteri yang kronis. Lesi berupa pustule yang folikuler dengan rambut
9
dipusatnya. Bila menyembuh terlihat krusta, rambut mudah dicabut (pada infeksi
bakteri rambut sulit dicabut).
Tinea Korporis (T. Sirsinata, T. glabrosa) 2,4,5
Adalah infeksi jamur dermatofita pada klit halus (glabrous skin) di daerah muka, leher,
badan, lengan dan pantat. Penyeba oleh T.rubrum, T.mentagrofites
Gejala klinis :
-
Bentuk klasik biasanya berupa lesi anuler dengan tepi polisiklis, bisa didapatkan
vesikel kecil-kecil serta skuama yang halus. Di daerah tengah biasanya mnipis dan
terjadi penyembuhan, sementara bagian tepi aktif dan malin meluas ke perifer.
Kadang-kadang bagian tengahnya tidak menyembuh tetapi tetap meninggi dan
tertutup skuama sehingga menjadi bercak yang besar.
Di daerah wajah kadang-kadang disebut juga T. fasei, sedangkan di daerah paha dan
gluteal menjadi bagian dari T. kruris
Disamping bentuk yang klasik bisa didapatkan variasi seperti bentuk eksematoid,
herpetiform dan lain-lain.
Biasanya sebagai lesi yang simetris pada lipat paha kiri dan kanan. Mula-mula
sebagai bercak eritematosa yang gatal, kemudian dapat meluas sampai skrotum,
pubis, gluteal bahkan sampai ke paha. Tepi lesi sering aktif, berbentuk polisiklis
kadang-kadang dengan banyak vesikel-vesikel kecil.
Bila penyakit ini menjadi menahun, dapat berupa bercak hitam disertai sedikit sisik.
Dengan sediaan KOH dari kerokan bagian tepi lesi mudah ditemukan elemen-elemen
jamur.
Tinea
Pedis
dan
Tinea
Manum 2,4,5
10
11
Kelainan kuku pada bentuk ini merupakan leukonika atau warna keputihan
dipermukaan kuku yang dapat dikerok untuk dibuktikan adanya elemen jamur.
Kelainan ini dihubungkan dengan T. mentagrofites sebagai penyebabnya.
3. Bentuk subungal proksimalis
Bentuk ini mulai dari pangkal kuku bagian proksimal terutama menyerang kuku dan
membentuk gambaran klinis yang khas, yaitu terlihat kuku dibagian distal masih utuh,
sedangkan bagian proksimal rusak.
Biasanya penderita tinea unguium mempunyai dermatofitosis ditempat lain yang
sudah sembuh atau belum. Kuku kaki lebih sering diserang dibandingkan kuku
tangan.
A. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan Fisik
3. Pemeriksaan Penunjang
Morfologi koloni
Gambaran mikroskopik
keterangan
Koloni :
seperti bulu datar dengan
lipatan central dan warna
kuning kehijauan, kuning
kecoklatan
Epidermophyton floccosum
Gambaran mikrosopik :
tidak ada mikrokonidia,
beberapa dinding tipis dan
tebal. Makronidia berbentuk
gada
12
Koloni :
datar dan berwarna putih
keabuan dengan celah radial
yang lebar. Berwarna pink
salmon pada media PDA.
Gambaran mikroskopik :
terminal klamidoko-nidia dan
hifa berbentuk seperti sisir.
Microsporum audounii
Koloni :
datar, warna putih hingga
kuning, kasar dan berambut,
dengan celah radial yang
rapat. Berwarna kuning pada
PDA.
Gambaran mikroskopik :
beberapa mikrokonidia,
sejumlah dindint tebal dan
makrokonidia bergerigi
dengan knob pada ujungnya.
Koloni :
datar dan granuler dengan
pigmen coklat hingga
berwarna seperti kambing.
M. canis
Gambaran mikroskopik :
beberapa mikrokonidia,
sejumlah makrokonidia
berdindint tipis tanpa knob.
M.gypseum
Tinea Unguium
Psoriasis
Kandidiasis
Paronikia
Trauma
Akrodermatitis perstans
Tinea Barbae
Sikosis barbae
Mikosis profunda
Karbunkel
13
Pitriasis rosea
PENATALAKSANAAN
*Topikal
Butenafine (area yang terkena 2x sehari), Clotrimazole 1% (area yang terkena 2x sehari),
azole (area yang terkena 2x sehari), Naftin (area yang terekena 1x sehari), Tolnaftat (area
yang terkena 2x sehari) , Ciclopirox (area yang terkena 1x sehari), Sulconazole (area yang
terkena 2x sehari).
14
PROGNOSIS
Beberapa sebab kegagalan pengobatan 2,6
1. Bentuk klinik tertentu : Diabetes mellitus, Hipertiroid, menyebabkan banyak
15
16