Anda di halaman 1dari 23

Definisi

Dermatofitosis adalah penyakit yang disebabkan oleh kolonisasi jamur dermatofit yang
menyerang jaringan yang mengandung keratin seperti stratum korneum kulit, rambut dan kuku
pada manusia dan hewan. Dermatofit adalah sekelompok jamur yang memiliki kemampuan
membentuk molekul yang berikatan dengan keratin dan menggunakannya sebagai sumber nutrisi
untuk membentuk kolonisasi.
ETIOLOGI
Terdapat tiga genus penyebab dermatofitosis, yaitu Trichophyton, Microsporum, dan
Epidermophyton, yang dikelompokkan dalam kelas Deuteromycetes. Dari ketiga genus tersebut
telah ditemukan 41 spesies, terdiri dari 17 spesies Microsporum, 22 spesies Trichophyton, 2
spesies Epidermophyton. Dari 41 spesies yang telah dikenal, 17 spesies diisolasi dari infeksi
jamur pada manusia, 5 spesies Microsporum menginfeksi kulit dan rambut, 11 spesies
Trichophyton meninfeksi kulit, rambut dan kuku, 1 spesies Epidermophyton menginfeksi hanya
pada kulit dan jarang pada kuku. Spesies terbanyak yang menjadi penyebab dermatofitosis di
Indonesia adalah: Trichophyton rubrum (T. rubrum), berdasarkan penelitian di RS Dr. Cipto
Mangun Kusumo Jakarta tahun 1980.
EPIDEMIOLOGI
Usia, jenis kelamin, dan ras merupakan faktor epidemiologi yang penting, di mana prevalensi
infeksi dermatofit pada laki-laki lima kali lebih banyak dari wanita. Namun demikian tinea
kapitis karena T. tonsurans lebih sering pada wanita dewasa dibandingkan laki-laki dewasa, dan
lebih sering terjadi pada anak-anak Afrika Amerika. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh
kebersihan perorangan, lingkungan yang kumuh dan padat serta status sosial ekonomi dalam
penyebaran infeksinya. Jamur penyebab tinea kapitis ditemukan pada sisir, topi, sarung bantal,
mainan anak-anak atau bahkan kursi di gedung teater. Perpindahan manusia dapat dengan cepat
memengaruhi penyebaran endemik dari jamur. Pemakaian bahan-bahan material yang sifatnya
oklusif, adanya trauma, dan pemanasan dapat meningkatkan temperatur dan kelembaban kulit
meningkatkan kejadian infeksi tinea. Alas kaki yang tertutup, berjalan, adanya tekanan
temperatur, kebiasaan penggunaan pelembab, dan kaos kaki yang berkeringat meningkatkan
kejadian tinea pedis dan onikomikosis.
KLASIFIKASI DAN KARAKTERISTIK DERMATOFITOSIS
Pembagian dermatofitosis berdasarkan lokasi infeksi atau ciri tertentu, sebagai berikut:
DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis dermatofitosis pada umumnya dilakukan secara klinis, dapat diperkuat
dengan pemeriksaan mikroskopis, kultur, dan pemeriksaan dengan lampu wood pada spesies
tertentu. Tabel 2 menunjukkan karakteristik dermatofit penyebab tinea kapitis.
Pada pemeriksaan dengan KOH 1020%, tampak emeriksaan dengan KOH 1020%, tampak
dermatofit yang memiliki septa dan percabangan hifa. Pemeriksaan kultur dilakukan untuk
menentukan spesies jamur penyebab dermatofitosis (Tabel 3).
PATOGENESIS DERMATOFITOSIS
Terjadinya penularan dermatofitosis adalah melalui 3 cara yaitu: Antropofilik, transmisi dari
manusia ke manusia. Ditularkan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lantai
kolam renang dan udara sekitar rumah sakit/klinik, dengan atau tanpa reaksi keradangan (silent
carrier). Zoofilik, transmisi dari hewan ke manusia. Ditularkan melalui kontak langsung
maupun tidak langsung melalui bulu binatang yang terinfeksi dan melekat di pakaian, atau
sebagai kontaminan pada rumah / tempat tidur hewan, tempat makanan dan minuman hewan.
Sumber penularan utama adalah anjing, kucing, sapi, kuda dan mencit. Geofilik, transmisi dari
tanah ke manusia. Secara sporadis menginfeksi manusia dan menimbulkan reaksi radang.6
Untuk dapat menimbulkan suatu penyakit, jamur harus dapat mengatasi pertahanan tubuh non
spesifik dan spesifik. Jamur harus mempunyai kemampuan melekat pada kulit dan mukosa
pejamu, serta kemampuan untuk menembus jaringan pejamu, dan mampu bertahan dalam
lingkungan pejamu, menyesuaikan diri dengan suhu dan keadaan biokimia pejamu untuk dapat
berkembang biak dan menimbulkan reaksi jaringan atau radang. (Gambar 1) Terjadinya infeksi
dermatofit melalui tiga langkah utama, yaitu: perlekatan pada keratinosit, penetrasi melewati dan
di antara sel, serta pembentukan respon pejamu.3,6

PERLEKATAN DERMATOFIT PADA KERATINOSIT Perlekatan artrokonidia pada jaringan


keratin tercapai maksimal setelah 6 jam, dimediasi oleh serabut dinding terluar dermatofit yang
memproduksi keratinase (keratolitik) yang dapat menghidrolisis keratin dan memfasilitasi
pertumbuhan jamur ini di stratum korneum. Dermatofit juga melakukan aktivitas proteolitik dan
lipolitik dengan mengeluarkan serine proteinase (urokinase dan aktivator plasminogen jaringan)
yang menyebabkan katabolisme protein ekstrasel dalam menginvasi pejamu. Proses ini
dipengaruhi oleh kedekatan dinding dari kedua sel, dan pengaruh sebum antara artrospor dan
korneosit yang dipermudah oleh adanya proses trauma atau adanya lesi pada kulit. Tidak semua
dermatofit melekat pada korneosit karena tergantung pada jenis strainnya.
PENETRASI DERMATOFIT MELEWATI DAN DI ANTARA SEL
Spora harus tumbuh dan menembus masuk stratum korneum dengan kecepatan melebihi proses
deskuamasi. Proses penetrasi menghasilkan sekresi proteinase, lipase, dan enzim musinolitik,
yang menjadi nutrisi bagi jamur. Diperlukan waktu 46 jam untuk germinasi dan penetrasi ke
stratum korneum setelah spora melekat pada keratin. 3,6,14 Dalam upaya bertahan dalam
menghadapi pertahanan imun yang terbentuk tersebut, jamur patogen menggunakan beberapa
cara: 13,14 1) Penyamaran, antara lain dengan membentuk kapsul polisakarida yang tebal,
memicu pertumbuhan filamen hifa, sehinggga glucan yang terdapat pada dinding sel jamur tidak
terpapar oleh dectin-1, dan dengan membentuk biofilamen, suatu polimer ekstra sel, sehingga
jamur dapat bertahan terhadap fagositosis. 2) Pengendalian, dengan sengaja mengaktifkan
mekanisme penghambatan imun pejamu atau secara aktif mengendalikan respons imun
mengarah kepada tipe pertahanan yang tidak efektif, contohnya Adhesin pada dinding sel jamur
berikatan dengan CD14 dan komplemen C3 (CR3, MAC1) pada dinding makrofag yang
berakibat aktivasi makrofag akan terhambat. 3) Penyerangan, dengan memproduksi molekul
yang secara langsung merusak atau memasuki pertahanan imun spesifik dengan mensekresi
toksin atau protease. Jamur mensintesa katalase dan superoksid dismutase, mensekresi protease
yang dapat menurunkan barrier jaringan sehingga memudahkan proses invasi oleh jamur, dan
memproduksi siderospore (suatu molekul penangkap zat besi yang dapat larut) yang digunakan
untuk menangkap zat besi untuk kehidupan aerobik. Kemampuan spesies dermatofit menginvasi
stratum korneum bervariasi dan dipengaruhi oleh daya tahan pejamu yang dapat membatasi
kemampuan dermatofit dalam melakukan penetrasi pada stratum korneum.5
RESPONS IMUN PEJAMU
Terdiri dari dua mekanisme, yaitu imunitas alami yang memberikan respons cepat dan imunitas
adaptif yang memberikan respons lambat. 3,7 Pada kondisi individu dengan sistem imun yang
lemah (immunocompromized), cenderung mengalami dermatofitosis yang berat atau menetap.
Pemakaian kemoterapi, obat-obatan transplantasi dan steroid membawa dapat meningkatkan
kemungkinan terinfeksi oleh dermatofit non patogenik.
MEKANISME PERTAHANAN NON SPESIFIK Pertahanan non spesifik atau juga dikenal
sebagai pertahanan alami terdiri dari: 7 1. Struktur, keratinisasi, dan proliferasi epidermis,
bertindak sebagai barrier terhadap masuknya dermatofit. Stratum korneum secara kontinyu
diperbarui dengan keratinisasi sel epidermis sehingga dapat menyingkirkan dermatofit yang
menginfeksinya. Proliferasi epidermis menjadi benteng pertahanan terhadap dermatofitosis,
termasuk proses keradangan sebagai bentuk proliferasi akibat reaksi imun yang dimediasi sel T.
2. Adanya akumulasi netrofil di epidermis, secara makroskopi berupa pustul, secara mikroskopis
berupa mikroabses epidermis yang terdiri dari kumpulan netrofil di epidermis, dapat
menghambat pertumbuhan dermatofit melalui mekanisme oksidatif. 3. Adanya substansi anti
jamur, antara lain unsaturated transferrin dan 2-makroglobulin keratinase inhibitor dapat
melawan invasi dermatofit.
MEKANISME PERTAHANAN SPESIFIK Lokasi infeksi dermatofit yang superfisial tetap dapat
membangkitkan baik imunitas humoral maupun cell-mediated immunity (CMI). Pembentukan
CMI yang berkorelasi dengan Delayed Type Hypersensitivity (DTH) biasanya berhubungan
dengan penyembuhan klinis dan pembentukan stratum korneum pada bagian yang terinfeksi.
Kekurangan CMI dapat mencegah suatu respon efektif sehingga berpeluang menjadi infeksi
dermatofit kronis atau berulang. Respons imun spesifik ini melibatkan antigen dermatofit dan
CMI. 7
ANTIGEN DERMATOFIT Dermatofit memiliki banyak antigen yang tidak spesifik
menunjukkan spesies tertentu. Dua kelas utama antigen dermatofit adalah: glikopeptida dan
keratinase, di mana bagian protein dari glikopeptida menstimulasi CMI, dan bagian polisakarida
dari glikopeptida menstimulasi imunitas humoral. Antibodi menghambat stimulasi aktivitas
proteolitik yang disebabkan oleh keratinase, yang dapat memberikan respons DTH yang kuat.

CMI
Pertahanan utama dalam membasmi infeksi dermatofit adalah CMI, yaitu T cell-mediated DTH.
Kekurangan sel T dalam sistem imun menyebabkan kegagalan dalam membasmi infeksi
dermatofit. Penyembuhan suatu penyakit infeksi pada hewan dan manusia, baik secara alamiah
dan eksperimental, berkorelasi dengan pembentukan respon DTH. Infeksi yang persisten
seringkali terjadi karena lemahnya respon transformasi limfosit in vitro, tidak adanya respon
DTH, dan peningkatan proliferasi kulit dalam respon DTH. Reaksi DTH di mediasi oleh sel Th1
dan makrofag, serta peningkatan proliferasi kulit akibat respon DTH merupakan mekanisme
terakhir yang menyingkirkan dermatofit dari kulit melalui deskuamasi kulit. Respon sel Th1
yang ditampilkan dengan ciri pelepasan interferon gamma (IFN- ), ditengarai terlibat dalam
pertahanan pejamu terhadap dermatofit dan penampilan manifestasi klinis dalam dermatofitosis.
Respons T Helper-1 (Th1). Sitokin yang diproduksi oleh sel T (Sitokin Th1) terlibat dalam
memunculkan respon DTH, dan IFN- dianggap sebagai faktor utama dalam fase efektor dari
reaksi DTH. Pada penderita dermatofitosis akut, sel mononuklear memproduksi sejumlah besar
IFN- untuk merespon infeksi dermatofit. Hal ini dibuktikan dengan ekspresi mRNA IFN- pada
lesi kulit dermatofitosis. Sedangkan pada penderita dermatofitosis kronis, produksi IFN- secara
nyata sangat rendah yang terjadi akibat ketidakseimbangan sistem imun karena respon
Th2.6,14,15 SelLangerhans.Infiltrat radang pada dermatofitosis terutama terdiri dari sel T CD4+
dan sel T CD8+ yang dilengkapi oleh makrofag CD68+ dan sel Langerhans CD1a+. Sel
Langerhans dapat menginduksi respon Sel Langerhans dapat menginduksi respon sel T terhadap
trichophytin, serta bertanggung jawab dalam pengambilan dan pemrosesan antigen pada respon
Th1 pada lesi infeksi dermatofit. 6,15 Imunitas humoral. Pejamu dapat membentuk bermacam
antibodi terhadap infeksi dermatofit yang ditunjukkan dengan teknik ELISA. Imunitas humoral
tidak berperan menyingkirkan infeksi, hal ini dibuktikan dengan level antibodi tertinggi pada
penderita infeksi kronis. 5,7
BEBERAPA FAKTOR LAIN YANG BERKAITAN DENGAN DERMATOFITOSIS
Produksi substansi mannan, yaitu suatu komponen glikoprotein dinding sel jamur, dapat
menekan respons inflamasi terutama pada kondisi atopik atau kondisi lain. Mannan dapat
menekan pembentukan limfoblast, menghambat respon proliferasi limfosit terhadap berbagai
rangsangan antigenik, serta menghambat proliferasi keratinosit yang memperlambat pemulihan
epidermis.7 Tidak ada bukti yang menyokong adanya kerentanan secara khusus pada kelompok
golongan darah ABO, dan pada penderita diabetes. Pada kondisi malnutrisi dan sindroma
Chusing mudah mengalami infeksi dermatofit dimungkinkan karena depresi imunitas seluler.3,5
Kemampuan spesies dermatofit tertentu untuk memproduksi penicillin-like antibiotics
memungkinkan jamur ini memanfaatkan flora normal, Staphylococcus aureus dapat betindak
sebagai ko-patogen yang men ingka tkan deraja t ke radangan in feks i dermatofit.5 Gambaran
klinis yang bervariasi pada infeksi dermatofit merupakan hasil dari kombinasi kerusakan
jaringan keratin secara langsung oleh karena dermatofit, dan proses keradangan akibat respon
pejamu.5 Pada bentuk klasik tinea yang annular, tepi lingkaran lesi ditandai oleh adanya infiltrat
limfosit perivaskular, karena proses pembersihan jamur dari stratum korneum akibat surveilans
sistem imun, dan pertumbuhan jamur yang sentrifugal. Kecepatan epidermal turn over berjalan
normal di dalam area cincin, namun pada daerah infeksi bisa menjadi lebih dari 4 kali lipat. Pada
tinea imbrikata karena T. concentricum, terjadi semacam gelombang pertumbuhan jamur pada
kulit dengan perluasan infeksi yang sentrifugal.
Kurniati, Cita Rosita SP.2008. Etiopatogenesis Dermatofitosis (Etiopathogenesis of
Dermatophytoses).Surabaya : FK UNAIR
[file:///C:/Users/USER/Downloads/Documents/BIKKK_vol%2020%20no%203_des
%202008_Acc_3.pdf]

2.1. Tinea Kruris


2.1.1. Definisi
Menurut Budimulja (1999), Siregar R.S. (2004), Graham-Brown (2008), Murtiastutik (2009),
dan Berman (2011) Tinea kruris adalah penyakit dermatofitosis (penyakit pada jaringan yang
mengandung zat tanduk) yang disebabkan infeksi golongan jamur dermatofita pada daerah kruris
(sela paha, perineum, perianal, gluteus, pubis) dan dapat meluas ke daerah sekitarnya. Berikut ini
adalah gambar predileksi terjadinya Tinea kruris :

2.1.2. Epidemiologi Menurut Berman (2011) dan Wiederkehr (2012), pria lebih sering terkena
Tinea kruris daripada wanita dengan perbandingan 3 berbanding 1, dan kebanyakan terjadi pada
golongan umur dewasa daripada golongan umur anak-anak
2.1.3. Etiologi dan Patogenesis
Tinea kruris disebabkan oleh infeksi jamur golongan dermatofita. Dermatofita adalah golongan
jamur yang menyebabkan dermatofitosis. Golongan jamur ini mempunyai sifat mencernakan
keratin (Budimulja, 1999).
Menurut Emmons (1934) dalam Budimulja (1999), dermatofita termasuk kelas Fungi imperfecti,
yang terbagi dalam tiga genus, yaitu Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton.
Penyebab Tinea kruris sendiri sering kali oleh Epidermophyton floccosum, namun dapat pula
oleh Trichophyton rubrum, Trichophyton mentagrophytes, dan Trichophyton verrucosum
(Siregar R.S., 2004).
Golongan jamur ini dapat mencerna keratin kulit oleh karena mempunyai daya tarik kepada
keratin (keratinofilik) sehingga infeksi jamur ini dapat menyerang lapisan-lapisan kulit mulai
dari stratum korneum sampai dengan stratum basalis (Boel, 2003).
Menurut Rippon (1974) dalam Budimulja (1999), selain sifat keratofilik masih banyak sifat yang
sama di antara dermatofita, misalnya sifat faali, taksonomis, antigenik, kebutuhan zat makanan
untuk pertumbuhannya, dan penyebab penyakit. Jamur ini mudah hidup pada medium dengan
variasi pH yang luas. Jamur ini dapat hidup sebagai saprofit tanpa menyebabkan suatu kelainan
apapun di dalam berbagai organ manusia atau hewan. Pada keadaan tertentu sifat jamur dapat
berubah menjadi patogen dan menyebabkan penyakit bahkan ada yang berakhir fatal.
Beberapa jamur hanya menyerang manusia (antropofilik), dan yang lainnya terutama menyerang
hewan (zoofilik) walau kadang-kadang bisa menyerang manusia. Apabila jamur hewan
menimbulkan lesi kulit pada manusia, keberadaan jamur tersebut sering menyebabkan terjadinya
suatu reaksi inflamasi yang hebat. Penularan biasanya terjadi karena adanya kontak dengan
debris keratin yang mengandung hifa jamur (Graham-Brown, 2002)
2.1.4. Gambaran Klinis
Menurut Budimulja (1999), Nasution M.A. (2005), Berman (2011), dan Wiederkehr (2012),
gambaran klinis Tinea kruris khas, penderita merasa gatal hebat pada daerah kruris. Ruam kulit
berbatas tegas, eritematosa, dan bersisik. Bila penyakit ini menjadi menahun, dapat berupa
bercak hitam disertai sedikit sisik. Erosi dan keluarnya cairan biasanya akibat garukan. Berikut
ini gambaran klinis dari Tinea kruris :

2.1.5. Faktor Risiko


Menurut Bagian Kesehatan Anak FK UI (2002), faktor risiko adalah faktor yang dapat
mempermudah timbulnya suatu penyakit. Peran faktor risiko itu dapat dikelompokkan dalam dua
kelompok besar, yaitu :
1) Yang menyuburkan pertumbuhan jamur.
2) Yang memudahkan terjadinya invasi ke jaringan karena daya tahan yang menurun.
Menurut Bagian Kesehatan Anak FK UI (2002), faktor risiko yang menyuburkan pertumbuhan
jamur, antara lain :
1) Pemberian antibiotik yang mematikan kuman akan menyebabkan keseimbangan antara jamur
dan bakteri terganggu.
2) Adanya penyakit diabetes mellitus, dan atau kehamilan menimbulkan suasana yang
menyuburkan jamur.
Menurut Bagian Kesehatan Anak FK UI (2002), faktor risiko yang memudahkan invasi jamur ke
jaringan, antara lain :
1) Adanya rangsangan setempat yang terus menerus pada lokasi tertentu oleh cairan yang
menyebabkan pelunakan kulit, misalnya air pada sela jari kaki, kencing pada pantat bayi,
keringat pada daerah lipatan kulit, atau akibat liur di sudut mulut orang lanjut usia.
2) Adanya penyakit tertentu, seperti gizi buruk, penyakit darah, keganasan, diabetes mellitus, dan
atau kehamilan menimbulkan suasana yang menyuburkan jamur.
Menurut Nasution M.A. (2005) dan Berman (2011), pada penyakit kulit karena infeksi jamur
superfisial seseorang terkena penyakit tersebut oleh karena kontak langsung dengan jamur
tersebut, atau benda-benda yang sudah terkontaminasi oleh jamur, ataupun kontak langsung
dengan penderita.
Menurut Adiguna (2001) dan Siregar R.S. (2004), Tinea kruris paling banyak terjadi di daerah
tropis, musim/iklim yang panas, lingkungan yang kotor dan lembab, banyak berkeringat. Faktor
keturunan tidak berpengaruh (Siregar, 2004).
Kebiasaan mengenakan celana ketat dalam waktu yang lama dan atau bertukar pinjam pakaian
dengan orang lain penderita Tinea kruris juga termasuk faktor risiko infeksi awal maupun infeksi
berulang Tinea kruris (Wiederkehr, 2012).
2.1.6. Diagnosis
Untuk menegakkan Tinea kruris, dibutuhkan penilaian asosiasi gambaran klinis dengan uji
diagnostik untuk mengisolasi dan mengidentifikasi jamur. Bahan yang diperiksa berupa kerokan
kulit. Bahan harus diperoleh sesteril mungkin untuk menghindari pencemaran jamur lain.
Kemudian bahan dapat dilakukan pemeriksaan secara langsung maupun secara biakan (Bagian
Kesehatan Anak FK UI, 2002).
Menurut Goedadi (2001) dan Nasution M.A. (2005), untuk mengetahui suatu ruam yang
disebabkan oleh infeksi jamur, biasanya kita lakukan pemeriksaan kerokan dari tepi lesi yang
meninggi atau aktif tersebut. Spesimen dari hasil kerokan tersebut kita letakkan di atas deck
glass dan ditetesi dengan larutan KOH 10-20 %. Kemudian kita tutup dengan object glass
kemudian dipanaskan dengan lampu Bunsen sebentar untuk memfiksasi, kemudian dilihat di
bawah mikroskop dengan pembesaran 40 kali. Pemeriksaan mikroskopik secara langsung
menunjukkan hifa yang bercabang atau artospora yang khas pada infeksi dermatofita. Sedangkan
untuk mengetahui golongan ataupun spesies daripada jamur dilakukan pembiakan dengan media
yang standar yaitu Sabouraud Dextrose Agar (SDA). Kadang-kadang kita perlukan juga
mikobiotik. Setelah kurang lebih dua minggu koloni daripada jamur mulai dapat kita baca secara
makroskopis.
2.1.7. Diagnosis Banding Tinea kruris perlu dibedakan antara lain dengan intertrigo, eritrasma,
dermatitis seboroik, psoriasis, kandidiasis (Goedadi, 2001).
2.1.8. Penatalaksanaan Terdapat banyak obat antijamur topikal untuk pengobatan infeksi
dermatofit. Lokasi ini sangat peka nyeri, jadi konsentrasi obat harus lebih rendah dibandingkan
lokasi lain, misalnya asam salisilat, asam benzoat, sulfur, dan sebagainya. Obat-obat topikal ini
bisa digunakan bila daerah yang terkena sedikit, tetapi bila infeksi jamur meluas maka lebih baik
menggunakan obat oral sistemik (Graham-Brown, 2002). Menurut Bagian Farmakologi FK UI
(1995), Bagian Kesehatan Anak FK UI (2002), dan Nasution M.A. (2005), obat-obat pada infeksi
jamur pada kulit ada 2 macam yaitu :
1) Obat topikal, misalnya : a) Golongan Mikonazole, b) Golongan Bifonazole, c) Golongan
Ketokonazole, dan sebagainya. Pengobatan umumnya 2x/hari minimal selama 3 minggu atau 2
minggu sesudah tes KOH negatif dan klinis membaik.
2) Obat per oral, misalnya :
a) Golongan Griseofulvin, dosis : Anak : 10 mg/kgBB/hari (microsize). 5,5 mg/kgBB/hari (ultra-
microsize). Dewasa : 500-1000 mg/hari/
b) Golongan Ketokonazole, dosis : Anak : 3-6 mg/kgBB/hari. Dewasa : 1 tablet (200 mg)/hari.
c) Golongan Itrakonazole, dosis : Anak : 3-5 mg/kgBB/hari. Dewasa : 1 kapsul (100 mg)/hari.
d) Golongan Terbinafin, dosis : Anak : 3-6 mg/kgBB/hari. 10-20 kg : 62,5 mg ( tablet)/hari. 20-
40 kg : 125 mg ( tablet)/hari. Dewasa : 1 tablet (250 mg)/hari.
2.1.9. Pencegahan
Menurut Brooks (2001) dan Graham-Brown (2002), infeksi berulang pada Tinea kruris dapat
terjadi melalui proses autoinokulasi reservoir lain yang mungkin ada di tangan dan kaki (Tinea
pedis, Tinea unguium). Jamur diduga berpindah ke sela paha melalui kuku jari-jari tangan yang
dipakai menggaruk sela paha setelah menggaruk kaki atau melalui handuk. Untuk mencegah
infeksi berulang, daerah yang terinfeksi dijaga agar tetap kering dan terhindar dari sumber-
sumber infeksi serta mencegah pemakaian peralatan mandi bersama-sama (Brooks, 2001).
Menurut Nasution M.A. (2005), disamping pengobatan, yang penting juga adalah nasehat kepada
penderita misalnya pada penderita dermatofitosis, disarankan agar :
1) Memakai pakaian yang tipis.
2) Memakai pakaian yang berbahan cotton.
3) Tidak memakai pakaian dalam yang terlalu ketat.
Oleh karena itu, berikan anjuran-anjuran pada pasien agar tidak terjadi infeksi berulang.
Anjurkan pasien menggunakan handuk terpisah untuk mengeringkan daerah sela paha setelah
mandi, anjurkan pasien untuk menghindari mengenakan celana ketat untuk mencegah
kelembaban daerah sela paha, anjurkan pasien dengan Tinea kruris yang mengalami obesitas
untuk menurunkan berat badan, dan anjurkan pasien untuk memakai kaus kaki sebelum
mengenakan celana untuk meminimalkan kemungkinan transfer jamur dari kaki ke sela paha
(autoinokulasi). Bubuk antifungal, yang memiliki manfaat tambahan pengeringan daerah sela
paha, mungkin dapat membantu dalam mencegah kambuhnya Tinea kruris (Wiederkehr, 2012).
2.1.10. Komplikasi
Pada penderita Tinea kruris dapat terjadi komplikasi infeksi sekunder oleh organisme candida
atau bakteri. Pemberian obat steroid topikal dapat mengakibatkan eksaserbasi jamur sehingga
menyebabkan penyakit menyebar (Wiederkehr, 2012). 2.1.11. Prognosis Prognosis Tinea kruris
akan baik, asalkan kelembaban dan kebersihan kulit selalu dijaga (Siregar, 2004). 2.2.
Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan
2.2.1. Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2011), pengetahuan adalah hasil tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraant erjadi melalui pancaindra
manusia, yakni: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Penelitian Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2011) mengungkapkan bahwa sebelum orang
mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), dalam diri orang tersebut terjadi proses yang
berurutan, yakni :
1) Awareness (kesadaran), di mana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih
dahulu terhadap stimulus (objek).
2) Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Di sini sikap subjek sudah
mulai timbul.
3) Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya.
Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.
4) Trial, di mana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki
oleh stimulus.
5) Adoption, di mana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan
sikapnya terhadap stimulus.
Menurut Notoatmodjo (2011), pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai
enam tingkatan, yakni : 1
) Tahu (know), diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.
Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu
yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.
2) Memahami (comprehension), diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar
tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasi materi tersebut secara benar.
3) Aplikasi (application), diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya.
4) Analisis (analysis), adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke
dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih
ada kaitannya satu sama lain.
2.2.2. Sikap
Menurut Notoatmodjo (2011), sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih
tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2011)
menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai tiga komponen pokok, yakni :
1) Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek.
2) Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek.
3) Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).
Menurut Notoatmodjo (2011), sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yakni :
1) Menerima (receiving), diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang
diberikan (objek).
2) Merespons (responding), berarti orang tersebut menerima ide.
3) Menghargai (valuing), apabila orang tersebut telah mengajak orang lain untuk mengerjakan
atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah.
4) Bertanggung jawab (responsible) atas segala sesuatu yang telah dipilihnya.
2.2.3. Tindakan
Menurut Notoatmodjo (2011), ada beberapa tingkat-tingkat tindakan, yakni :
1) Persepsi (perception), yaitu mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan
tindakan yang akan diambil.
2) Respons terpimpin (guided response), yaitu dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan
yang benar sesuai dengan contoh.
3) Mekanisme (mechanism), yaitu apabila seseorang telah melakukan sesuatu dengan benar
secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan.
4) Adaptasi (adaptation), adalah suatu tindakan yang sudah berkembang dengan baik.
Universitas Sumatra Utara. 2011. Tinea Kruris.
[file:///C:/Users/USER/Downloads/Documents/Chapter%20II_60.pdf]
2.1 Definisi
Tinea korporis adalah dermatofitosis pada kulit yang tidak berambut (glabrous skin) kecuali
telapak tangan, telapak kaki, dan lipat paha (Verma dan Heffernan,2008). Dermatofitosis adalah
infeksi jamur yang disebabkan oleh jamur dermatofita yaitu Epidermophyton, Mycrosporum dan
Trycophyton. Terdapat lebih dari 40 spesies dermatofita yang berbeda, yang menginfeksi kulit
dan salah satu penyakit yang disebabkan jamur golongan dermatofita adalah tinea korporis
(Verma dan Heffernan,2008).
2.2. Etiologi
Dermatofitosis adalah infeksi jamur yang disebabkan oleh jamur dermatofita yaitu
Epidermophyton, Mycrosporum dan Trycophyton. Terdapat lebih dari 40 spesies dermatofita
yang berbeda, yang menginfeksi kulit dan salah satu penyakit yang disebabkan jamur golongan
dermatofita adalah tinea korporis (Verma dan Heffernan,2008).
2.3 Epidemiologi
Prevalensi infeksi jamur superfisial di seluruh dunia diperkirakan menyerang 20-25% populasi
dunia dan merupakan salah satu bentuk infeksi kulit tersering (Rezvani dan Sefidgar,2010).
Penyakit ini tersebar di seluruh dunia yang dapat menyerang semua ras dan kelompok umur
sehingga infeksi jamur superfisial ini relatif sering terkena pada negara tropis (iklim panas dan
kelembaban yang tinggi) dan sering terjadi eksaserbasi (Havlickova et al,2008).
Penyebab tinea korporis berbeda-beda di setiap negara, seperti di Amerika Serikat penyebab
terseringnya adalah Tricophyton rubrum, Trycophyton mentagrophytes, Microsporum canis dan
Trycophyton tonsurans. Di Afrika penyebab tersering tinea korporis adalah Tricophyton rubrum
dan Tricophyton mentagrophytes, sedangkan di Eropa penyebab terseringnya adalah Tricophyton
rubrum, sementara di Asia penyebab terseringnya adalah Tricophyton rubrum, Tricophyton
mentagropytes dan Tricophyton violaceum (Verma dan Heffernan,2008).
Dilaporkan penyebab dermatofitosis yang dapat dibiakkan di Jakarta adalah T. rubrum 57,6%, E.
floccosum 17,5%, M. canis 9,2%, T.mentagrophytes var. granulare 9,0%, M. gypseum 3,2%, T.
concentricum 0,5% (Made,2001).
Di RSU Adam malik/Dokter Pirngadi Medan spesies jamur penyebab adalah dermatofita yaitu:
T.rubrum 43%, E.floccosum 12,1%, T.mentagrophytes 4,4%, dan M.canis 2%,serta
nondermatofita 18,5%, ragi 19,1% (C. albicans 17,3%, Candida lain 1,8%) (Made,2001).
2.4 Klasifikasi Ekologi
Menurut Arnold et al (1990) berdasarkan pada pejamunya, jamur penyebab dermatofita
diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, dimana pembagian ini juga mempengaruhi cara
penularan penyakit akibat dermatofita ini. Pengelompokannya yaitu:
Geofilik yaitu transmisi dari tanah ke manusia
Zoofilik yaitu transmisi dari hewan ke manusia, contoh Trycophyton simii (monyet),
Trycophyton mentagrophytes (tikus), Microsporum canis (kucing), Trycophyton equinum (kuda)
dan Microsporum nannum (babi).
Antrofilik yaitu transmisi dari manusia ke manusia.
2.5 Patogenesa
Elemen kecil dari jamur disebut hifa, berupa benang-benang filament terdiri dari sel-sel yang
mempunyai dinding. Dinding sel jamur merupakan karakteristik utama yang membedakan jamur,
karena banyak mengandung substrat nitrogen disebut dengan chitin. Struktur bagian dalam
(organela) terdiri dari nukleus, mitokondria, ribosom, retikulum endoplasma, lisosom, apparatus
golgi dan sentriol dengan fungsi dan peranannya masing-masing. Benang-benang hifa bila
bercabang dan membentuk anyaman disebut miselium (Ryan,2004).
Dermatofita berkembang biak dengan cara fragmentasi atau membentuk spora, baik seksual
maupun aseksual. Spora adalah suatu alat reproduksi yang dibentuk hifa, besarnya antara 1-3,
biasanya bentuknya bulat, segi empat, kerucut atau lonjong. Spora dalam pertumbuhannya makin
lama makin besar dan memanjang membentuk hifa. terdapat 2 macam spora yaitu spora seksual
(gabungan dari dua hifa) dan spora aseksual (dibentuk oleh hifa tanpa penggabungan) (Hay dan
Moore,2004).
Infeksi Dermatofita diawali dengan perlekatan jamur atau elemen jamur yang dapat tumbuh dan
berkembang pada stratum korneum. Pada saat perlekatan, jamur dermatofita harus tahan
terhadap rintangan seperti sinar ultraviolet, variasi temperatur dan kelembaban, kompetensi
dengan flora normal, spingosin dan asam lemak. Kerusakan stratum korneum, tempat yang
tertutup dan maserasi memudahkan masuknya jamur ke epidermis (Verma dan Heffernan,2008).
Masuknya dermatofita ke epidermis menyebabkan respon imun pejamu baik respon imun
nonspesifik maupun respon imun spesifik. Respon imun nonspesifik merupakan pertahanan lini
pertama melawan infeksi jamur. Mekanisme ini dapat dipengaruhi faktor umum, seperti gizi,
keadaan hormonal, usia, dan faktor khusus seperti penghalang mekanik dari kulit dan mukosa,
sekresi permukaan dan respons radang. Respons radang merupakan mekanisme pertahanan
nonspesifik terpenting yang dirangsang oleh penetrasi elemen jamur. Terdapat 2 unsur reaksi
radang, yaitu pertama produksi sejumlah komponen kimia yang larut dan bersifat toksik terhadap
invasi organisme. Komponen kimia ini antara lain ialah lisozim,sitokin,interferon,komplemen,
dan protein fase akut. Unsur kedua merupakan elemen seluler,seperti netrofil, dan makrofag,
dengan fungsi utama fagositosis, mencerna, dan merusak partikel asing. Makrofag juga terlibat
dalam respons imun yang spesifik. Selsel lain yang termasuk respons radang nonspesifik ialah
basophil, sel mast, eosinophil, trombosit dan sel NK (natural killer). Neutrofil mempunyai
peranan utama dalam pertahanan melawan infeksi jamur (Cholis,2001).
Imunitas spesifik membentuk lini kedua pertahanan melawan jamur setelah jamur mengalahkan
pertahanan nonspesifik. Limfosit T dan limfosit B merupakan sel yang berperan penting pada
pertahanan tubuh spesifik. Sel-sel ini mempunyai mekanisme termasuk pengenalan dan
mengingat organism asing, sehingga terjadi amplifikasi dari kerja dan kemampuannya untuk
merspons secara cepat terhadap adanya presentasi dengan memproduksi antibodi, sedangkan
limfosit T berperan dalam respons seluler terhadap infeksi. Imunitas seluler sangat penting pada
infeksi jamur. Kedua mekanisme ini dicetuskan oleh adanya kontak antara limfosit dengan
antigen (Cholis,2001).
2.6 Gambaran Klinis
Gambaran klinis dimulai dengan lesi bulat atau lonjong dengan tepi yang aktif dengan
perkembangan kearah luar, bercak-bercak bisa melebar dan akhirnya memberi gambaran yang
polisiklik,arsinar,dan sirsinar. Pada bagian pinggir ditemukan lesi yang aktif yang ditandai
dengan eritema, adanya papul atau vesikel, sedangkan pada bagian tengah lesi relatif lebih
tenang.
Tinea korporis yang menahun, tandatanda aktif menjadi hilang dan selanjutnya hanya
meninggalkan daerah hiperpigmentasi saja (Verma dan Heffernan,2008). Gejala subyektif yaitu
gatal, dan terutama jika berkeringat dan kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan
(Fransisca,2000). Tinea korporis biasanya terjadi setelah kontak dengan individu atau dengan
binatang piaraan yang terinfeksi, tetapi kadang terjadi karena kontak dengan mamalia liar atau
tanah yang terkontaminasi. Penyebaran juga mungkin terjadi melalui benda misalnya pakaian,
perabot dan sebagainya (M.Goedadi dan H.Suwito,2001).

2.7 Pemeriksaan Laboratorium


Selain dari gejala khas tinea korporis, diagnosis harus dibantu dengan pemeriksaan laboratorium
antara lain pemeriksaan mikroskopis, kultur, pemeriksaan lampu wood, biopsi dan histopatologi,
pemeriksaan serologi, dan pemeriksaan dengan menggunakan PCR (Hay dan Moore,2004).
Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan membuat preparat langsung dari kerokan kulit,
kemudian sediaan dituangi larutan KOH 10%. Sesudah 15 menit atau sesudah dipanaskan
dengan api kecil, dilihat di bawah mikroskop. Pemeriksaan ini memberikan hasil positif hifa
ditemukan hifa (benang-benang) yang bersepta atau bercabang, selain itu tampak juga spora
berupa bola kecil sebesar 1-3 (Hay dan Moore,2004).
Kultur dilakukan dalam media agar sabaroud pada suhu kamar (25- 30C),kemudian satu minggu
dilihat dan dinilai apakah ada pertumbuhan jamur. Spesies jamur dapat ditentukan melalui
bentuk koloni, bentuk hifa dan bentuk spora (Hay dan Moore,2004).
Pemeriksaan lampu wood adalah pemeriksaan yang menggunakan sinar ultraviolet dengan
panjang gelombang 365 nm. Sinar ini tidak dapat dilihat. Bila sinar ini diarahkan ke kulit yang
mengalami infeksi oleh jamur dermatofita tertentu, sinar ini akan berubah menjadi dapat dilihat
dengan memberi warna (fluoresensi). Beberapa jamur yang memberikan fluoresensi yaitu
M.canis, M.audouini, M.ferrugineum dan T.schoenleinii. (Hay dan Moore2004).
2.8 Diagnosa Banding
Ada beberapa diagnosis banding tinea korporis, antara lain eritema anulare sentrifugum, eksema
numular, granuloma anulare, psoriasis, dermatitis seboroik, pitiriasis rosea, liken planus dan
dermatitis kontak (Verma dan Heffernan,2008).
2.9 Diagnosa
Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium yaitu mikroskopis
langsung dan kultur (Verma dan Heffernan,2008).
2.10 Pengobatan Pengobatan infeksi jamur dibedakan menjadi pengobatan non medikamentosa
dan pengobatan medikamentosa.
2.10.1 Non Medikamentosa Menurut Badan POM RI (2011), dikatakan bahwa penatalaksanaan
non medikamentosa adalah sebagai berikut:
a. Gunakan handuk tersendiri untuk mengeringkan bagian yang terkena infeksi atau bagian yang
terinfeksi dikeringkan terakhir untuk mencegah penyebaran infeksi ke bagian tubuh lainnya.
b. Jangan mengunakan handuk, baju, atau benda lainnya secara bergantian dengan orang yang
terinfeksi.
c. Cuci handuk dan baju yang terkontaminasi jamur dengan air panas untuk mencegah
penyebaran jamur tersebut.
d. Bersihkan kulit setiap hari menggunakan sabun dan air untuk menghilangkan sisa-sisa kotoran
agar jamur tidak mudah tumbuh.
e. Jika memungkinkan hindari penggunaan baju dan sepatu yang dapat menyebabkan kulit selalu
basah seperti bahan wool dan bahan sintetis yang dapat menghambat sirkulasi udara.
f. Sebelum menggunakan sepatu, sebaiknya dilap terlebih dahulu dan bersihkan debu-debu yang
menempel pada sepatu.
g. Hindari kontak langsung dengan orang yang mengalami infeksi jamur. Gunakan sandal yang
terbuat dari bahan kayu dan karet
2.10.2 Medikamentosa Pengobatan tinea korporis terdiri dari pengobatan lokal dan pengobatan
sistemik. Pada tinea korporis dengan lesi terbatas,cukup diberikan obat topikal. Lama
pengobatan bervariasi antara 1-4 minggu bergantung jenis obat. Obat oral atau kombinasi obat
oral dan topikal diperlukan pada lesi yang luas atau kronik rekurens. Anti jamur topikal yang
dapat diberikan yaitu derivate imidazole, toksiklat, haloprogin dan tolnaftat. Pengobatan lokal
infeksi jamur pada lesi yang meradang disertai vesikel dan eksudat terlebih dahulu dilakukan
dengan kompres basah secara terbuka (Vermam dan Heffernan,2008).
Pada keadaan inflamasi menonjol dan rasa gatal berat, kombinasi antijamur dengan
kortikosteroid jangka pendek akan mempercepat perbaikan klinis dan mengurangi keluhan
pasien (Verma dan Heffernan,2008).
1. Pengobatan Topikal Pengobatan topikal merupakan pilihan utama. Efektivitas obat topikal
dipengaruhi oleh mekanisme kerja,viskositas, hidrofobisitas dan asiditas formulasi obat tersebut.
Selain obat-obat klasik, obatobat derivate imidazole dan alilamin dapat digunakan untuk
mengatasi masalah tinea korporis ini. Efektivitas obat yang termasuk golongan imidaol kurang
lebih sama. Pemberian obat dianjurkan selama 3-4 minggu atau sampai hasil kultur negative.
Selanjutnya dianjurkan juga untuk meneruskan pengobatan selama 7-10 hari setelah
penyembuhan klinis dan mikologis dengan maksud mengurangi kekambuhan (Verma dan
Heffernan,2008).
2. Pengobatan Sistemik Menurut Verma dan Heffernan (2008), pengobatan sistemik yang dapat
diberikan pada tinea korporis adalah:
Griseofulvin Griseofulvin merupakan obat sistemik pilihan pertama. Dosis untuk anak-anak 15-
20 mg/kgBB/hari, sedangkan dewasa 500-1000 mg/hari
Ketokonazol Ketokonazol digunakan untuk mengobati tinea korporis yang resisten terhadap
griseofulvin atau terapi topikal. Dosisnya adalah 200 mg/hari selama 3 minggu.
Obat-obat yang relative baru seperti itrakonazol serta terbinafin dikatakan cukuo memuaskan
untuk pengobatan tinea korporis.
2.11 Pengetahuan
Menurut Notoadmojo (2010), pengetahuan adalah hasil tahu dari manusia terhadap objek melalui
indra yang dimilikinya.Yang sekadar menjawab pertanyaan what, misalnya apa air, apa
manusia, apa alam, dan sebagainya. Pengetahuan hanya dapat menjawab pertanyaan apa sesuatu
itu. Secara garis besarnya dibagi dalam 6 tingkat pengetahuan yaitu:
1. Tahu (know) Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada
sebelumnya setelah mengamati sesuatu.
2. Memahami (comprehension) Memahami suatu objek bukan sekadar tahu terhadap objek
tersebut, tidak sekadar dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat menginterpretasikan
secara benar tentang objek yang diketahui tersebut.
3.Aplikasi (application) Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang
dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi
yang lain.
4.Analisis (analysis) Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan / atau
memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponenkomponen yang terdapat dalam
suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang itu sudah
sampai tingkat analisis adalah apabila orang tersebut telah membedakan atau memisahkan,
mengelompokkan, membuat diagram terhadap pengetahuan atas objek tersebut.
5.Sintesis (synthesis) Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau
meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari komponenkomponen pengetahuan yang
dimiliki. Dengan kata lain, sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru
dari formulasi-formulasi yang telah ada.
6.Evaluasi (evaluation) Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini dengan sendirinya
didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau norma-norma yang berlaku di
masyarakat.

Universitas Sumatra Utara. 2011. Tinea korporis.


[file:///C:/Users/USER/Downloads/Documents/Chapter%20II_61.pdf]

A. Dermatomikosis
1. Pengertian Dermatomikosis adalah penyakit pada kulit, kuku, rambut, dan mukosa yang
disebabkan infeksi jamur (Mawarli, 2000). Dermatomikosis mempunyai arti umum, yaitu semua
penyakit jamur yang menyerang kulit (Juanda, 2005).
2. Faktor faktor yang mempengaruhi Dermatomikosis. Menurut Petrus 2005 & Utama 2004
faktor yang mempengaruhi adalah udara yang lembab, lingkungan yang padat, sosial ekonomi
yang rendah, adanya sumber penularan disekitarnya, obesitas, penyakit sistemik, penggunaan
obat antibiotik, steroid, sitostatika yang tidak terkendali.
3. Macam Macam Dermatomikosis
a. Dermatofitosis
Dermatofitosis adalah penyakit jamur pada jaringan yang menjadi zat tanduk, seperti kuku,
rambut, dan sratum korneum pada epidermis yang disebabkan oleh jamur dermatofita
(Mawarli, 2000). Dermatofitosis (Tinea) adalah infeksi jamur dermatofit (species
microsporum, trichophyton, dan epidermophyton) yang menyerang epidermis bagian
superfisial (stratum korneum), kuku dan rambut. Microsporum menyerang rambut dan kulit.
Trichophyton menyerang rambut, kulit dan kuku. Epidermophyton menyerang kulit dan
jarang kuku (Sutomo, 2007). Menurut Emmons, 1994 (dalam Juanda, 2005) dermatofita
penyebab dermatofitosis. Golongan jamur ini bersifat mencernakan keratin, dermatifita
termasuk kelas fungi imperfecti. Gambaran klinik jamur dermatofita menyebabkan beberapa
bentuk klinik yang khas, satu jenis dermatofita menghasilkan klinis yang berbeda tergantung
lokasi anatominya.
Bentuk Bentuk gejala klinis Dermatofitosis
1) Tinea Kapitis Adalah kelainan kulit pada daerah kepala rambut yang disebabkan jamur
golongan dermatofita. Disebabkan oleh species dermatofita trichophyton dan microsporum.
Gambaran klinik keluhan penderita berupa bercak pada kepala, gatal sering disertai rambut
rontok ditempat lesi. Diagnosis ditegakkan berdasar gambaran klinis, pemeriksaan lampu
wood dan pemeriksaan mikroskopis dengan KOH, pada pemeriksaan mikroskopis terlihat
spora diluar rambut atau didalam rambut. Pengobatan pada anak peroral griseofulvin 10-25
mg/kg BB perhari, pada dewasa 500 mg/hr selama 6 minggu.
2) Tinea Favosa Adalah infeksi jamur kronis terutama oleh trychophiton schoen lini,
trychophithon violaceum, dan microsporum gypseum. Penyakit ini mirip tinea kapitis yang
ditandai oleh skutula warna kekuningan bau seperti tikus pada kulit kepala, lesi menjadi
sikatrik alopecia permanen. Gambaran klinik mulai dari gambaran ringan berupa kemerahan
pada kulit kepala dan terkenanya folikel rambut tanpa kerontokan hingga skutula dan
kerontokan rambut serta lesi menjadi lebih merah dan luas kemudian terjadi kerontokan lebih
luas, kulit mengalami atropi sembuh dengan jaringan parut permanen. Diagnosis dengan
pemeriksaan mikroskopis langsung, prinsip pengobatan tinea favosa sama dengan pengobatan
tinea kapitis, hygiene harus dijaga.
3) Tinea Korporis Adalah infeksi jamur dermatofita pada kulit halus (globurus skin) di daerah
muka, badan, lengan dan glutea. Penyebab tersering adalah T. rubrum dan T. mentagropytes.
Gambaran klinik biasanya berupa lesi terdiri atas bermacam-macam efloresensi kulit, berbatas
tegas dengan konfigurasi anular, arsinar, atau polisiklik, bagian tepi lebih aktif dengan tanda
peradangan yang lebih jelas. Daerah sentral biasanya menipis dan terjadi penyembuhan,
sementara tepi lesi meluas sampai ke perifer. Kadang bagian tengahnya tidak menyembuh,
tetapi tetap meninggi dan tertutup skuama sehingga menjadi bercak yang besar. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan lokalisasinya serta kerokan kulit dengan
mikroskop langsung dengan larutan KOH 10-20% untuk melihat hifa atau spora jamur.
Pengobatan sistemik berupa griseofulvin 500 mg sehari selama 3-4 minggu, itrakenazol
100mg sehari selama 2 minggu, obat topikal salep whitfield.
4) Tinea Imbrikata Adalah penyakit yang disebabkan jamur dermatofita yang memberikan
gambaran khas berupa lesi bersisik yang melingkarlingkar dan gatal. Disebabkan oleh
dermatofita T. concentricum. Gambaran klinik dapat menyerang seluruh permukaan kulit
halus, sehingga sering digolongkan dalam tinea korporis. Lesi bermula sebagai makula
eritematosa yang gatal, kemudian timbul skuama agak tebal terletak konsensif dengan
susunan seperti genting, lesi tambah melebar tanpa meninggalkan penyembuhan dibagian
tangahnya. Diagnosis berdasar gambaran klinis yang khas berupa lesi konsentris. Pengobatan
sistemik griseofulvin 500 mg sehari selama 4 minggu, sering kambuh setelah pengobatan
sehingga memerlukan pengobatan ulang yang lebih lama, ketokonazol 200 mg sehari, obat
topikal tidak begitu efektif karena daerah yang terserang luas.
5) Tinea Kruris Adalah penyakit jamur dermatifita didaerah lipat paha, genitalia dan sekitar anus,
yang dapat meluas kebokong dan perut bagian bawah. Penyebab E. floccosum, kadang-
kadang disebabkan oleh T. rubrum. Gambaran klinik lesi simetris dilipat paha kanan dan kiri
mula-mula lesi berupa bercak eritematosa, gatal lama kelamaan meluas sehingga dapat
meliputi scrotum, pubis ditutupi skuama, kadang-kadang disertai banyak vesikel kecil-kecil.
Diagnosis berdasar gambaran klinis yang khas dan ditemukan elemen jamur pada
pemeriksaan kerokan kulit dengan mikroskopis langsung memakai larutan KOH 10-20%.
Pengobatan sistemik griseofulvin 500 mg sehari selama 3-4 minggu, ketokonazol, obat topikal
salp whitefield, tolsiklat, haloprogin, siklopiroksolamin, derivat azol dan naftifin HCL.
6) Tinea Manus et Pedis Merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi jamur dermatofita
didaerah kilit telapak tangan dan kaki, punggung tangan dan kaki, jari-jari tangan dan kaki
serta daerah interdigital. Penyebab tersering T. rubrum, T. mentagrophytes, E. floccosum.
Gambaran klinik ada 3 bentuk klinis yang sering dijumpai yaitu: (a) Bentuk intertriginosa
berupa maserasi, deskuamasi, dan erosi pada sela jari tampak warna keputihan basah terjadi
fisura terasa nyeri bila disentuh, lesi dapat meluas sampai ke kuku dan kulit jari. Pada kaki
lesi sering mulai dari sela jari III, IV dan V. (b) Bentuk vesikular akut ditandai terbentuknya
vesikula-vesikula dan bila terletak agak dalam dibawah kulit sangat gatal, lokasi yang yang
sering adalah telapak kaki bagian tengah melebar serta vesikulanya memecah. (c) Bentuk
moccasin foot pada bentuk ini seluruh kaki dan telapak tepi sampai punggung kaki terlihat
kulit menebal dan berskuama, eritema biasanya ringan terutama terlihat pada bagian tepi lesi.
Diagnosis ditegakkan berdasar gambaran klinik dan pemeriksaan kerokan kulit dengan larutan
KOH 10-20% yang menunjukkan elemen jamur. Pengobatan cukup topikal saja dengan obat-
obat anti jamur untuk interdigital dan vesikular selama 4-6 minggu.
7) Tinea unguium Adalah kelainan kuku yang disebabkan infeksi jamur dermatofita. Penyebab
tersering adalah T. mentagrophites, T. rubrum. Gambaran klinik biasanya menyertai tinea
pedis atau manus penderita berupa kuku menjadi rusak warna menjadi suram tergantung
penyebabnya, distroksi kuku mulai dari dista, lateral, ataupun keseluruhan. Diagnosis
ditegakkan berdasar gejala klinis pada pemeriksaan kerokan kuku dengan KOH 10-20 % atau
biakan untuk menemukan elemen jamur. Pengobatan infeksi kuku memerlukan ketekunan,
pengertian kerjasama dan kepercayaan penderita dengan dokter karena pengobatan sulit dan
lama. Pemberian griseofulvin 500 mg sehari selama 3-4 bulan untuk jari tangan untuk jari
kaki 9-12 bulan. Obat topical dapat diberikan dalam bentuk losion atau crim.
8) Kandidiasis Adalah suatu penyakit kulit akut atau subakut, disebabkan jamur intermediate
yang menyerang kulit, kuku, selaput lendir dan alatalat dalam. Penyebab jamur golongan
candida yang patogen dan merupakan kandidiasis adalah candida albicans. Gambaran klinik
berbentuk kandidiasis sistemik dan lokal, kandidiasis lokal terdiri dari: (a) Kandidiasis oral
dimana kelainan ini sering terjadi pada bayi berupa bercak putih seperti membran pada
mukosa mulut dan lidah bila membran tersebut diangkat tampak dasar kemerahan dan erosif.
(b) Perleche berupa retakan sudut mulut, pedih dan nyeri bila tersentuh makanan atau air. (c)
Kandidiasis vaginal kelainan berupa bercak putih diatas mukosa yang eritematosa erosif,
mulai dari servik sampai introitus vagina, didapatkan fluor albus putih kekuningan disertai
semacam butiran tepung kadan seperti susu pecah terasa gatal serta dispareuni karena ada
erosi. (d) Balanitis biasanya terjadi pada laki-laki yang tidak sunat, terasa gatal disertai
timbulnya membran atau bercak putih pada gland penis.
Kandidiasis kulit terdiri dari: (a) Kandidiasis intertriginosa sering terjadi pada orang gemuk
menyerang lipatan kulit yang besar seperti inguinal, aksila, lipat payudara, yang khas adalah
bercak kemerahan agak lebar dengan dikelilingi oleh lesi-lesi satelit. (b) Kandidiasis kuku
infeksi jamur pada kuku dan jaringan sekitar terasa nyeri dan peradangan sekitar, kuku rusak
dan menebal lesi berwarna kehijauan. (c) Kandidiasis granulomatosa bentuk ini jarang
dijumpai, manifestasi berupa granuloma terjadi akibat penumpukan krusta serta hipertropi
setempat, biasa terdapat dikepala atau ektremitas. (d) Kandidid adalah suatu alergi terhadap
elemen jamur atau metabolit candida SSP. Diagnosis dengan pemeriksaan langsung kerokan
kulit atau usap mukokutan dengan larutan KOH 10% atau pewarnaan gram yang terlihat sel
ragi, blastospora atau hifa semu. Pengobatan kandidiasis kulit dan kandidiasis selaput lendir
yang lokal dengan memberi obat anti jamur topikal. Pengobatan kandidiasis oral berupa
lozenges atau oral gel yang mengandung nistatin atau mikonazole, pengobatan kandidiasis
vaginal obat yang dipakai adalh preparat khusus intravaginal yang mengandung imidasol
selama 1-5 hari, terapi oral juga diberikan 1-5 hari.
b. Non Dermatofitosis Pitiriasis versikolor (Panau) Adalah penyakit jamur superfisial yang
kronik biasanya tidak memberikan keluhan subjektif berupa bercak skuama halus warna putih
sampai coklat hitam, meliputi badan kadang-kadang menyerang ketiak, lipat paha, lengan,
tungkai atas, leher, muka, kulit kepala yang berambut. Menurut Ballon (1889 dalam Juanda
2005) Disebabkan oleh malassezia furfur robin. Gambaran klinik kelainan terlihat
bercakbercak warna warni, bentuk teratur sampai tidak teratur batas jelas sampai difus kadang
penderita merasa gatal ringan. Diagnosis pada sediaan langsung kerokan kulit dengan larutan
KOH 20 % terlihat campuran hifa pendek dan spora-spora bulat yang dapat berkelompok.
Pengobatan harus dilakukan menyeluruh tekun dan konsisten. Obat yang dapat dipakai
suspensi selenium sulfida ( selsun ) dipakai sebagai sampo 2-3x seminggu. Obat lain derivat
azol misal mikonazole, jika sulit disembuhkan ketokonazole dapat dipertimbangkan dengan
dosis 1x 200 mg sehari selama 10 minggu.
Epi Mulyani. 2000. Dermatomikosis .[file:///C:/Users/USER/Downloads/Documents/jtptunimus-
gdl-epimulyani-6151-2-bab2.pdf]
Dermatofitosis merupakan penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya
stratum korneum pada epidermis, rambut dan kuku, yang disebabkan oleh jamur dermatofita dari
famili arthrodermataceae dengan lebih dari 40 spesies yang dibagi dalam tiga genus :
Epidermophyton, Microsporum, dan Trichophyton. Kemampuannya untuk membentuk ikatan
molekuler terhadap keratin dan menggunakannya sebagai sumber makanan menyebabkan
mereka mampu berkolonisasi pada jaringan keratin. Pada penamaan infeksi klinis dermatofitosis,
kata tinea mendahului nama latin untuk bagian tubuh yang terkena.
Tinea kapitis merupakan infeksi jamur menular pada kepala yang menyarang batang rambut3
dan merupakan penyebab kerontokan rambut yang sering dijumpai pada anak-anak. Secara klinis
dapat ditemukan bercak bundar berwarna merah, bersisik dan kadang menjadi gambaran klinis
yang lebih berat disebut kerion.
Tinea barbae hanya terjadi pada pria. Umumnya menimbulkan lesi yang khas unilateral dan lebih
sering melibatkan area janggut daripada kulit atau bibir bagian atas.
Tinea kruris merupakan dermatofitosis yang sering ditemukan pada daerah lipat paha, genitalia,
daerah pubis, perineum dan perianal. Kelainan ini dapat bersifat akut atau kronis, bahkan dapat
berlangsung seumur hidup.
Penamaan penyakit ini merupakan istilah yang tidak cocok, karena dalam bahasa Latin kruris
berarti kaki. Penyakit ini merupakan penyakit terbanyak yang ditemukan di daerah inguinal,
yaitu sekitar 65-80% dari semua penyakit kulit di inguinal, sehingga beberapa kepustakaan
menyatakan inguinal intertrigo sebagai sinonim dari tinea kruris.
Tinea pedis merupakan infeksi jamur pada kaki. Sering dijumpai pada orang yang dalam
kesehariannya banyak bersepatu tertutup disertai perawatan kaki yang buruk dan para pekerja
dengan kaki yang selalu atau sering basah . Tinea pedis biasanya menyerang sela-sela kaki dan
telapak kaki. Tinea pedis atau ringworm of the foot adalah infeksi dermatofita pada kaki,
terutama pada sela jari dan telapak kaki. Tinea pedis merupakan infeksi jamur yang sering
terjadi. 8 Penyebab paling sering ditemukan yaitu Trichophyton rubrum yang dapat
mengakibatkan kelainan menahun. Infeksi jamur dermatofita yang menyerang kulit telapak
tangan, punggung tangan dan jari tangan disebut tinea manum.
Tinea unguium disebut juga dermatophytic onychomycosis, ringworm of the nail) 1, 7 adalah
kelainan pada kuku yang disebabkan infeksi jamur dermatofita. Penyebab tersering tinea
unguium yaitu T. mentagrophytes dan T. rubrum.
Tinea imbrikata merupakan dermatofitosis dengan gambaran khas berupa kulit bersisik dengan
sisik yang melingkarlingkar dan terasa gatal. Tinea imbrikata disebabkan oleh T.concentricum.
Penyakit ini dapat ditemukan di berbagai wilayah Indonesia seperti Kalimantan, Sulawesi,
Papua, Kepulauan Aru dan Kei, dan Sulawesi Tengah. Penyakit ini dapat menyerang seluruh
permukaan kulit halus, sehingga sering digolongan dalam tinea korporis. Lesi bermula sebagai
makula eritematosa yang gatal, kemudian timbul skuama yang agak tebal dan terletak konsentris
dengan susunan seperti genting. Lesi makin lama makin melebar tanpa meninggalkan
penyembuhan di bagian tengah. Pruritus yang hebat dan dapat terjadi likenifikasi. Lesi kadang
hipopigmentasi.
Tinea inkognito merupakan infeksi dermatofita yang mengalami modifikasi sehingga tidak
tampak bentuk klinis yang khas oleh karena telah diobati dengan kortikosteroid topikal kuat.
Tinea fasialis dan tinea aksilaris penamaan yang menunjuk ke daerah kelainan dan merupakan
varian tinea korporis. Tinea sirsinata, arkuata juga merupakan penamaan deskriptif morfologis.
Infeksi penyakit oleh jamur dapat ditemukan hampir di seluruh daerah Indonesia karena
merupakan wilayah yang baik untuk pertumbuhan jamur.10 Iklim dan kondisi geogafis di
Indonesia memudahkan pertumbuhan jamur sehingga menyebabkan banyaknya kasus infeksi
jamur.
Cyndi E. E. J. Sondakh , Thigita A. Pandaleke , Ferra O. Mawu. 2016. Profil dermatofitosis di
Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Januari Desember
2013.[ file:///C:/Users/USER/Downloads/Documents/ipi432075.pdf]

Anda mungkin juga menyukai