Anda di halaman 1dari 6

Langit Langit Desa, Hikmah dari Sekarjalak

Kalau engkau senantiasa ingat akan samudera, hatimu akan menganggap kecil terhadap kolam
air yang engkau miliki
ZAHID DI PERSIDANGAN MALAIKAT
Ketika seorag zahid diajak bersidang bersama para malaikat di dalam
suatu ru'yat-nya, ia ditanya oleh pimpinan sidang.
"Mengapa bangsamu tidak pernah mau mengerti makna peringatan Allah untuk
perbaikan hidup mereka? Setiap kami diutus mengirimkan bencana di atas
bumi, mereka selalu menanggulanginya dengan ilmu dan sarana yang
dikarunikan Allah kepada mereka, tanpa berusaha mengubah sikap mereka
yang keliru."
"Saya sendiri tidak habis mengerti kemauan bangsa kami. Tetapi
setidaknya masih terdapat satu titik temu antara kita, yaitu kita sama
percaya bahwa Allah telah menjanjikan kiamat buat kita. Dan hal itu
tidak akan dilaksanakan-Nya selama masih terdapat bangsa kami yang taat
kepada undang-undang-Nya!"jawab Zahid.
Sekarjalak, 19-6-1992
LAHIRNYA PELAKU KEBENARAN
Seorang pemuda yang menjadi rusak dan putus asa karena menyesali
perbuatan-perbuatan dosanya ditemui oleh seorang zahid yang membawa
kabar gembira untuknya.
Sang zahid berbisik di telinganya:
"Demi Allah , semua dosa akan menjadi terpuji bagi pelakunya bila
sanggup melahirkan kebenaran dan semua kebajikan akan menjadi tercela
bagi pengamalnya jika menghasilkan kebatilan. Kini terserah kepadamu,
apa engkau memilih mati sebagai pengecut atau mau hidup abadi sebagai
penebus dosamu sendiri. Tetapi saya yakin engkau sanggup menjadi
pahlawan dirimu karena ntuk mencapainya sama beratnya dengan perbuatanmu
melakukan dosa!"
Sekarjalak, 19-6-1992
***
# dikutip drari Buku Langit-langit Desa, penulis Muhammad Zuhdi, terbitan MIZAN.
pada buku ini Cak Nun menuliskan pengantar, kumpulan hikmah dengan kata-kata yang sederhana tetapi memiliki
kedalaman makna, sehingga pembaca perlu sedikit merenung untuk menangkap isi dan makna yang dikandung.

Rahasia Mukjizat
Penulis Redaksi 17 Januari 2016

Berbagi di Facebook
Tweet di Twitter

ILUSTRASI
SEORANG WARTAWAN sedang mewawancarai seorang guru yang didaulat oleh
lingkungannya untuk berperan sebagai konsultan yang melayani berbagai masalah kehidupan.
Wartawan: Saya dengan guru yang sering didatangi orang untuk menangani problem sosial dan
penyembuhan?
Guru: Saya tidak ahli bidang tersebut, tetapi mereka mendaulat saya untuk melakukannya.
Wartawan: Orang-orang yang mampu berbuat demikian, biasanya tekun melakukan disiplin
pernafasan.

Guru: Saya kok tidak. Kalau masalah pernafasan, sejak kecil saya sudah bisa melakukannya
tanpa merasa berlatih.
Wartawan: Maksud saya, menjalankan displin yoga. Semacam latihan mengatur pernafasan.
Guru: O, mengatur pernafasan. Setiap saya menjalankan shalat dan membaca Alquran, dengan
sendirinya sudah mengatur pernafasan. Kalau tidak, bisa berhenti melafalkan sebelum saatnya
boleh berhenti.
Wartawan: Kalau tidak keberatan, saya ingin tahu bagaimana guru bisa menjadi seperti
sekarang. Maksud saya bisa memiliki kemampuan adikodrati yang bermacam-macam, yang
jarang dimiliki oleh kebanyakan orang.
Guru: Wan, umur saya sudah lima puluh tahun. Untuk menceritakan bagaimana saya bisa
menjadi seperti sekarang, paling tidak membutuhkan waktu lima puluh tahun, ditambah waktu
untuk mengingat-ingat semua yang telah terlupa. Permintaan Anda sulit untuk saya penuhi. Maaf
saja.
Wartawan: Maksud saya, hanya hal-hal yang terpenting saja.
Guru: Menurut saya, hal-hal yang terpenting itu malah tidak penting. Karena wujudnya baru
muncul setelah didukung oleh hal-hal yang kurang penting.
Wartawan: Ya, ya, ya saya tahu. Tetapi yang saya maksudkan adalah momen-momen terakhir
yang melahirkan mukjizat-mukjizat itu.
Guru: Hal itu benar-benar di luar kemampuan saya. Bagaimana tidak? Seandainya hal itu
ditawarkan kepadaku sebelumnya, pasti akan saya tolak.
Wartawan: Apa itu, Guru?
Guru: Terdesak. Tahukan Anda, apa itu artinya? Terpaksa! Siapa orangnya mau dipaksa, kan?
Wartawan: Seperti apa misalnya?
Guru: Seperti orang-orang yang sedang krisis finansial, utangnya menumpuk, anaknya sakit
keras, dan tak seorang pun yang bisa mengulurkan bantuan. Akhirnya sebisa-bisa ia melakukan
sesuatu, meski tak yakin akan keberhasilannya. Tetapi anaknya kok tiba-tiba bisa sembuh. Ajaib
kan? Inilah rupanya yang menarik perhatian Anda!
Wartawan: Apakah setiap orang yang dalam keadaan begitu pasti mampu mengungkapkan
keajaiban?
Guru: Anda ini bertanya tentang momen yang terdekat atau hukum sebab-akibat?

Wartawan: O, ya, maaf. Maksud saya, persyaratan apa yang membuat situasi terdesak bisa
melahirkan keajaiban?
Guru: Pantang putus asa dan tetap punya harapan kepada-Nya. Persis seperti keadaan Siti Hajar
dan Ismail di gurun Arab.
Wartawan: Kalau begitu, tidak bisa dikategorikan sebagai suatu mekanisme. Tetapi hasilnya
kok cukup mengagumkan!
Guru: Supaya keajaiban itu tetap dimiliki oleh seseorang seolah memiliki sebuah kepastian,
orang tersebut harus sanggup mempertahankan situasi keterdesakannya. Dengan kata lain, jangan
pernah mau mapan seumur hidup selain nanti di depan Allah!
Wartawan: Astaga!!!
Sekarjalak, 4 Mei 1992.
Muhammad Zuhri, dalam Langit Langit Desa.

Doa Soekarno di Hari Lahir Pancasila

Proklamator Republik Indonesia, Ir. Soekarno.


PADA 1 Juni 1945, Bung Karno menyampaikan pidato di hadapan Sidang Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) untuk menyampaikan dasar-dasar
negara.
Hari yang kini dikenal sebagai kelahiran Pancasila. Pidato itu kemudian menjadi salah satu
pidato bersejarah Bung Karno, yang paling monumental dan mengguncang dunia.
Malam 1 Juni menjadi saat yang paling meresahkan Bung Karno. Soal kemerdekaan, ia sangat
yakin bahwa itulah jalan terbaik, dan merupakan tujuan perjuangannya selama ini. Adapun soal
persiapan pidatonya esok hari, sama sekali tak membuatnya gelisah.
Ia bahkan tak persiapkan teks tertulis untuk pidatonya. Tapi, entah kenapa, ada perasaan gundah
di hatinya malam itu, yang membuatnya tak bisa tidur.
Bung Karno akhirnya memilih menenangkan diri, bermunajat. Ia turun dari tempat tidurnya,
melangkah ke luar rumahnya bagian belakang di Jl. Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat.

ILUSTRASI
Di belakang rumah itu, sebuah peristiwa penting terjadi. Bung Karno berlutut dan
menengadahkan wajah ke atas, dengan kedua tangan diangkat, memohon petunjuk Allah.
Dengan penuh kesadaran kehambaan, ia berdoa:
Ya Allah, Ya Rabbi! Berikanlah ilham kepadaku. Besok pagi aku harus berpidato mengusulkan
dasar-dasar Indonesia merdeka. Pertama, benarkah keyakinanku, Ya Tuhan, bahwa kemerdekaan
itu harus didasarkan atas persatuan dan kesatuan bangsa?
Kedua, Ya Allah, Ya Rabbi, berikanlah petunjuk kepadaku, berikanlah ilham kepadaku, kalau
ada dasar-dasar lain yang harus kukemukakan, apakah dasar-dasar itu?
Usai berdoa, Bung Karno kembali ke kamarnya dan membaringkan kembali tubuhnya di tempat
tidur. Ia tenangkan pikiran dan coba tidur, hingga kemudian tertidur.
Keesokan harinya, setelah tertidur lelap, ia bangun, sholat subuh dan ia mantap dengan Pancasila
sebagai dasar negara bagi Indonesia.
Kisah ini sering diceritakan Bung Karno dalam pidato-pidatonya. Setiap kali ia mengenang kisah
ini, selalu menetes air matanya dan biasanya ia berhenti sejenak dalam pidatonya dan berkata,
Maaf! Kalau saya ingat ini, selalu terharu. (MI)

Anda mungkin juga menyukai