Patofisiologi Syok Septik
Patofisiologi Syok Septik
Definisi
Sepsis adalah kumpulan gejala akibat respon sistemik terhadap inflamasi
(Systemic inflammatory response syndrome) akibat infeksi. Systemic inflammatory
response syndrome(SIRS) adalah pasien yang memiliki dua atau lebih dari kriteria
berikut:
1. Suhu > 38C atau < 36C
2. Denyut jantung >90 denyut/menit
3. Respirasi >20/menit atau PaCO2 < 32 mmHg
4. Hitung leukosit > 12.000/mm3 atau >10% sel imatur
Sepsis adalah SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui. Meskipun SIRS,
sepsis dan syok sepsis biasanya berhubungan dengan infeksi bakteri, tidak harus
terdapat bakteriemia.Sepsis berat adalah sepsis yang berkaitan dengan disfungsi
organ, kelainan hipoperfusi, atau hipotensi. Kelainan hipoperfusi meliputi:
1. Asidosis laktat
2. Oliguria
3. Atau perubahan akut pada status mental
Terdapat beberapa kriteria diagnostik baru untuk sepsis, diantaranya memasukkan
pertanda biomolekuler yaitu procalcitonin (PCT) dan C-reactive protein, sebagai
langkah awal dalam diagnosis sepsis.(Hermawan, 2007). Syok merupakan keadaan
dimana terjadi gangguan sirkulasi yang menyebabkan perfusi jaringan menjadi tidak
adekuat sehingga mengganggu metabolisme sel/jaringan. Syok septik merupakan
keadaan dimana terjadi penurunan tekanan darah (sistolik < 90mmHg atau penurunan
tekanan darah sistolik > 40mmHg) disertai tanda kegagalan sirkulasi, meski telah
dilakukan resusitasi secara adekuat atau perlu vasopressor untuk mempertahankan
tekanan darah dan perfusi organ (Chen dan Pohan, 2007).
Etiologi
Penyebab terbesar adalah bakteri gram negatif. Produk yang berperan penting
terhadap sepsis adalah lipopolisakarida (LPS), yang merupakan komponen terluar dari
bakteri gram negatif. LPS merupakan penyebab sepsis terbanyak, dapat langsung
mengaktifkan sistem imun seluler dan humoral, yang dapat menimbulkan gejala
septikemia. LPS tidak toksik, namun merangsang pengeluaran mediator inflamasi
yang bertanggung jawab terhadap sepsis. Bakteri gram positif, jamur, dan virus, dapat
juga menyebabkan sepsis dengan prosentase yang lebih sedikit. Peptidoglikan yang
merupakan komponen dinding sel dair semua kuman, dapat menyebabkan agregasi
trombosit. Eksotoksin dapat merusak integritas membran sel imun secara langsung
(Hermawan, 2007).
Patogenesis
Sepsis melibatkan berbagai mediator inflamasi termasuk berbagai sitokin.
Sitokin proinflamasi dan antiinflamasi terlibat dalam patogenesis sepsis. Termasuk
sitokin proinflamasi adalah TNF, IL-1, interferon (IFN-) yang membantu sel
menghancurkan mikroorganisme yang menginfeksi. Termasuk sitokin antiinflamasi
adalah interleukin 1 reseptor antagonis (IL-1ra), IL-4, IL-10, yang bertugas untuk
memodulasi, koordinasi atau represi terhadap respon yang berlebihan. Apabila terjadi
ketidakseimbangan kerja sitokin proinflamasi dengan antiinflamasi, maka
menimbulkan kerugian bagi tubuh.
Endotoksin dapat secara langsung dengan LPS dan bersama-sama membentuk
LPSab (Lipo Poli Sakarida antibodi). LPSab dalam serum penderita kemudian dengan
perantara reseptor CD14+ akan bereaksi dengan makrofag, dan kemudian makrofag
mengekspresikan imunomodulator. Hal ini terjadi apabila mikroba yang menginfeksi
adalah bakteri gram negatif yang mempunyai LPS pada dindingnya.
Eksotoksin, virus dan parasit yang merupakan superantigen setelah difagosit
oleh monosit atau makrofag yang berperan sebagai Antigen Presenting Cell (APC),
kemudian ditampilkan dalam APC. Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik
yang berasal dari Major Histocompatibility Complex (MHC). Antigen yang bermuatan
pada peptida MHC kelas II akan berikatan dengan CD4+ (limfosit Th1 dan Th2)
dengan perantaraan TCR (T cell receptor).
Limfosit T kemudian akan mengeluarkan substansi dari Th1 yang berfungsi
sebagai immunomodulator yaitu: IFN-, IL-2 dan M-CSF (Macrophage Colony
stimulating factor). Limfosit Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10.
IFN- merangsang makrofag mengeluarkan IL-1 dan TNF-. IFN-, IL-1 dan TNF merupakan sitokin proinflamasi, pada sepsis terdapat peningkatan kadar IL-1 dan
TNF- dalam serum penderita. Sitokin IL-2 dan TNF- selain merupakan reaksi
sepsis, dapat merusakkan endotel pembuluh darah, yang mekanismenya sampai saat
ini belum jelas. IL-1 sebagai imunoregulator utama juga mempunyai efek pada sel
endotel, termasuk pembentukan prostaglandin E2 (PG-E2) dan merangsang ekspresi
intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1). Dengan adanya ICAM-1 menyebabkan
neutrofil yang telah tersensitisasi oleh granulocyte-macrophage colony stimulating
factor (GM-CSF) akan mudah mengadakan adhesi. Interaksi neutrofil dengan endotel
terdiri dari 3 langkah, yaitu:
1. Bergulirnya neutrofil P dan E selektin yang dikeluarkan oleh endotel dan
L-selektin neutrofil dala mengikat ligan respektif
2. Merupakan langkah yang sangat penting, adhesi dan aktivasi neutrofil
yang mengikat intergretin CD-11 atau CD-18, yang melekatkan neutrofil
pada endotel dengan molekul adhesi (ICAM) yang dihasilkan oleh endotel
3. Transmigrasi neutrofil menembus dinding endotel.
Garamycin, 5 mg/kgBB/hari dibagi tiga dosis im selama 7 hari, hatihati terhadap efek nefrotoksiknya.
Bila hasil kultur dan resistensi darah telah ada, pengobatan disesuaikan.
Beberapa bakteri gram negatif yang sering menyebabkan sepsis dan antibiotik
yang dianjurkan:
Bakteri
Antibiotik
Escherichia coli
Ampisilin/sefalotin
Klebsiella,
Enterobacter
Gentamisin
Proteus
mirabilis
Ampisilin/sefalotin
Gentamisin
Mima-Herellea
Gentamisin
Dosis
Pseudomonas
Gentamisin
Bacteroides
Kloramfenikol/klindamisi
n
dilakukan untuk mencapai tekanan vena sentral (CVP) 8-12 mmHg, tekanan arteri
rata-rata (MAP)>65 mmHg dan produksi urin >0,5 ml/kgBB/jam.
1. Oksigenasi
Hipoksemia dan hipoksia pada sepsis dapat terjadi sebagai akibat
disfungsi atau kegagalan sistem respirasi karena gangguan ventilasi maupun
perfusi. Transpor oksigen ke jaringan juga dapat terganggu akibat keadaan
hipovolemik dan disfungsi miokard menyebabkan penurunan curah jantung.
Kadar hemoglobin yang rendah akibat perdarahan menyebabkan daya angkut
oleh eritrosit menurun. Transpor oksigen ke jaringan dipengaruhi juga oleh
gangguan perfusi akibat disfungsi vaskuler, mikrotrombus dan gangguan
penggunaan oksigen oleh jaringan yang mengalami iskemia.
Oksigenasi bertujuan mengatasi hipoksia dengan upaya meningkatkan saturasi
oksigen di darah, meningkatkan transpor oksigen dan memperbaiki utilisasi
oksigen di jaringan.
2. Terapi cairan
Hipovolemia pada sepsis perlu segera diatasi dengan pemberian cairan
baik kristaloid maupun koloid. Volume cairan yang diberikan perlu dimonitor
kecukupannya agar tidak kurang ataupun berlebih. Secara klinis respon
terhadap pemberian cairan dapat terlihat dari peningkatan tekanan darah,
penurunan ferkuensi jantung, kecukupan isi nadi, perabaan kulit dan
ekstremitas, produksi urin, dan membaiknya penurunan kesadaran. Perlu
diperhatikan tanda kelebihan cairan berupa peningkatan tekanan vena jugular,
ronki, gallop S3, dan penurunan saturasi oksigen.
Pada keadaan serum albumin yang rendah (< 2 g/dl) disertai tekanan
hidrostatik melebihi tekanan onkotik plasma, koreksi albumin perlu diberikan.
Transfusi eritrosit (PRC) perlu diberikan pada keadaan perdarahan aktif, atau
bila kadar Hb rendah pada keadaan tertentu misalnya iskemia miokardial dan
renjatan septik. Kadar Hb yang akan dicapai pada sepsis dipertahankan pada
8-10 g/dl.
3. Vasopresor dan inotropik
Vasopresor sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi
dengan pemberian cairan secara adekuat, tetapi pasien masih mengalami
hipotensi. Terapi vasopresor diberikan mulai dosis rendah secara titrasi untuk
mencapai MAP 60 mmHg, atau tekanan sistolik 90 mmHg. Untuk vasopresor
dapat digunakan dopamin dengan dosis >8 mcg/kg/menit, norepinefrin 0,031,5 mcg/kg/menit, fenileferin 0,5-8 mcg/kg/menit atau epinefrin 0,1-0,5
mcg/kg/menit. Inotropik yang dapat digunakan adalah dobutamin dosis 2-28
mcg/kg/menit, dopamin 3-8 mc/kg/menit, epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit atau
inhibitor fosfodiesterase (amrinon dan milrinon).
4. Bikarbonat
Daftar Pustaka
Chen K dan Pohan H.T. 2007. Penatalaksanaan Syok Septik dalam Sudoyo,
Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati,
Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Pp: 187-9
Hermawan A.G. 2007. Sepsis daalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang.
Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI. Pp: 1840-3
Purwadianto A dan Sampurna B. 2000. Kedaruratan Medik Edisi Revisi.
Jakarta: Bina Aksara. Pp: 55-6