Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ketidakpuasan terhadap hasil yang telah dicapai, pada satu titik tentunya merupakan suaatu
hal yang diperlukan dalam usaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi, ada pula
pelaku perubahan yang justru memilih pendekatan yang bersifat konflik ini agar dapat
merealisasikan jati dirinya dan bukan menitikberatkan tindakannya untuk kesejahteraan
masyarakat. Oleh karena itu, dia terjebak dalam pendekatan yang bersifat konflik ini sehingga
kadangkala melupakan kepentingan masyarakat secara lebih menyuluruh.
Hal yang berbeda tentunya bila si pelaku perubahan tetap sadar bahwa apa (pendekatan
konflik) yang ia lakukan pada dasarnya diutamakan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Ia terpaksa memilih pendekatan ini karena adanya kelompok elite yang selalu
menekan dan tidak memberikan kesempatan pada kelompok korban untuk bangkit melakukan
perubahan. Terkait dengan kondisi masyarakat yang seperti inilah, dalam dunia Ilmu
kesejahteraan Sosial pada umumnya dan intervensi komunitas pada khususnya dikenal suatu
metode intervensi yang disebut Aksi Komunitas (Community Action). Dalam metode intervensi
Aksi Komunitas ini, community worker tetap diharapkan mempunyai kesadaran bahwa apa yang
ia lakukan sebenarnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan dari kelompok
masyarakatyang ingin mereka bantu. Prinsip ini dalam dunia pekerjaan sosial dan Ilmu
Kesejahteraan Sosial dikenal dengan nama workers self-awareness. Prinsip seperti ini harus tetap
diingat oleh community worker dalam melakukan tugasnya karena tidak jarang terjadi jebakan
terhadap seorang community worker, dimana ia ingi melakukan perubahan karena ia tidak
terhadap orang yang sedang berkuasa dan bukan sekadar pada kebijakannya atau seorang
community worker yang memilih pendekatan ini agar dapat perhatian dari pihak-pihak tertentu,
tapi unsur terpenting masyarakat dijadikan pertimbangan nomor dua.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Aksi Komunitas ?
2. Bagaimana karakteristik dan strategi intervensi dari Aksi Komunitas ?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Agar kita mengetahui pengertian dari Aksi Komunitas
2. Agar kita menegtahui karakteristik dan strategi intervensi dari Aksi Komunitas

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Aksi Komunitas
Terkait dengan pendekatan Aksi Komunitas, Baldock mengemukakan bahwa sejarah
community work di Ingris dapat dibagi menjadi empat fase sebagai berikut :
1.
Sejak tahun 1880-an hingga 1920-an adalah fase munculnya profesi pekerjaan sosial. Ia
memberikn contoh mengenai organisasi amal, the Charity Organization Society yang
menjadi akr munculnya metode bimbingan sosial perseorangan (social casework) di
Inggris, terutama dalam upaya mengorganisasi dan mengkordinasikan bantuan untuk
masyarakat.
2.
Berkisar dari tahun 1920-an ke 1950-an yang dicirikan dengan munculnya ide
komunitas ataupun wilayah rukun tetangga. Hal ini terkait dengan meningkatnya peran
pemerintah d tingkat pusat maupun daerah, terutama dalam kaitan dengan
pembangunan perkotaan, dimana titik sentralnya adalah gerakan aksi komunitas.
Baldock melihat bahwa gelombang kedua dari intervensi makro merupakan respons
ideologis terhadap berkembangnya areal tempat tinggal secara besar-besaran akibat dua
perang dunia (perang dunia I dan II), serta merupakan refleksi atas kecemasan
masyarakat terhadap hilangnya berbagai kepemilikan warga sebekum munculnya
perang dunia I dan II.
3.
Sekitar tahun 1960-an hingga 1970-an sebagai reaksi atas gagasan komunitas yang
berbasis pada hukum tetangga yang menjadi basis dari community work pada
gelombang kedua. Fase ini lebih dikenal sebagai fase munclnya pendekatan yang
berdasarkan konsesus (consensus approach).
4.
Menurut Baldock, merupakan fase dimana para community worker mengembangkan
pendekatan-pendekatan yang bersifat radikal dan agak berbau politis, serta
memfokuska aktivitasnya ada gerakan-gerakan sosial yan lebih bersifat khusus.
Pendekatan inilah yang banyak terlihat aksi komunitas yang berkembang saat ini dan
memainkan peranan penting pada metode community worker di Inggris. Istilah aksi
komunitas ini akhirnya menjadi istilah yang umum untuk menggambarkan partisipasi
yang dilakukan melalui konflik antara kelompok komunitas tertentu dan pihak
berwenang yang terkait dengan isu yang dibahas.
Meskipun Baldock menggmbarkan perkembangan intervensi komunitas di Inggris dengan
menonjolkan stressing point pada adanya fase yang berbeda terkait dengan perkembangan
fase diatas, tetapi fase tersebut bukanlah menggambarkan pergantian era sehingga ketika
fase keempat muncul, tidaklah berarti bahwa model intervensi yang dominan pada fase
ketiga menjadi hilang ataupun tidak digunakan lagi pada fase keempat. Uraian Baldock
diatas hanya mengarahkan pada fase kelahiran masing-masing model intervensi sosial
tersebut.
Aksi komunitas melibatkan masyarakat untuk menyampaikan tuntutan mereka pada
para pembuat kebijakan dan menunjukkan apa yang menjadi minat dan kepentingan
mereka serta mereka mengharapkan agar para pembuat kebijakan mau menanggapi
tuntutan mereka.
2.2 Karakteristik dan Strategi Intervensi
Berdasarkan pada berbagi negara yang sudah berkembang dan negara yng sedang
berkembang , dapat terlihat bahwa pendekatan aksi komunitas merupakan pendekatan
yang membolehkan dilakukannya intervensi yang bersifat memaksa. Oleh karena itu, baik

Zander ataupun Glen menempatkan pendekatan ini sebagai pressuring methods. Zander
melihat ada tiga bentuk aksi koersif, yaitu :
1. Para aktivis mencampuri atau mengintervensi dengan paksa usaha-usaha yang
dilakukan oleh kelompok sasaran sehingga mereka (kelompok sasaran) tidak dapat
melaksanakan tugas reguler mereka (blocking manouvres)
2. Pelaku perubahan dan kelompoknya secara fisik membatasi kebebasan kelompok
sasaran atau menyandera mereka
3. Dalam situasi yang sangat menekan para aktivis tidak jarang mengancam akan
menyakiti kelompok sasaran. Dua tipe terakhir dari aksi koersif di atas kadangkala
dilakukan oleh aktivis di Indonesia, meskipun mereka pada umumnya lebih
mengarahkan kegiatan pada pengintervensian usaha-usaha yang sedang dijalankan
oleh kelompok sasaran.
Dalam kaitannya dengan bentuk pertama diatas, intervensi yang dilakukan biasanya
melakukan pemblokian. Zander mengemukakan bahwa pada umumnya ada lima jenis
pemblokiran yang biasa dilakukan para aktivis di berbagai negara yang sudah
berkembang, yaitu :
1. Aksi mogok duduk (sit-in). Salah satu ilustrasi dari kegiatan mogok duduk antara lain
adalah apa yang dilakukan oleh Prasetyadi. Prasetyadi adalah mahasiswa Universitas
Airlangga yang melakukan aksi mogok duduk yang diikuti dengan mogok makan dan
minum dalam rangka menyampaikan tuntutannya kepada pemerintah. Ia melakukan
beberapa aksi mogok duduk, makan dan minum di beberapa tempat di Jakarta,
termasuk di gedung MPR dimana ia tidak sadarkan diri disana. Ia menyampaikan tiga
belas tuntutan terhadap pemerintah, antara lain turunkan harga bahan dasar pokok,
tingkatkan upah pekerja, dan hentikan penggusuran.
2. Upaya pemblokiran (blocking manouvre) adalah dengan menciptakan hambatan atau
halangan (barier) terhadap usaha yang dilakukan kelompok sasaran. Zander
menyatakan bahwa dalam kasus ini, para partisipan perubahan mencoba menghambat
usaha yang sedang dikembangkan oleh kelompok sasaran. Misalnya dengan
melakukan aksi mogok, keluar dari ruang kerja, atau menyabot peralatan sehingga
tidak berfungsi untuk waktu tertentu. Aksi-aksi seperti ini antara lain dapat terlihat
aksi pemogokan burh pada beberapa perusahaan di Tangerang, seperti Reebok
ataupun Nike. Di Sidoarjo, Jawa Timur kasus Marsinah juga merupakan salah satu
kasus pemogokan buruh yang cukup mendapat sorotan dari pers asing, antara lain
pers Australia. Marsinah sebagai buruh yang ikut berpasrtisipasi dalam demonstrasi
menuntut perbaikan nasib buruh di PT Catur Surya Putra. Kasus ini menjadi menarik
karena terbunuhnya Marsinah yang diduga terkait dengan emonstrasi yang mereka
lakukan. Hal ini menjadi lebih menarik lagi larena sampai saat ini (2002) kasus
Marsinah masih belum dapat terselesaikan secara tuntas. Terlepas dari kasus
Marsinah diatas, upaya pemogokan buruh Indonesia memang cukup menonjol pada
dasawarsa tahun 1990-an. Hal ini antara lain karena semakin aktifnya LSM, yang
berminat dalam masalah perburuhan, dalam meningkatkan kesadaran pekerja (buruh)
guna mendapatkan jaminan yang sesuai dengan daftar kebutuhan hidup minimum
(KHM).
3. Upaya pemblokiran ini adalah dengan melakukan intervensi langsung pihak-pihak
yan mereka inginkan untuk berubah. Misalnya dengan mencoba memasuki rapat
pimpinan yang sedang berlangsung dan meminta waktu untuk menyampaikan tuntuan
dan berdialog dalam hal-hal yang terkait dengan tuntuan mereka.

4. Upaya pemblokiran adalah dengan melakukan aksi boikot. Salah satu aksi yang
sangat terkenal dalam hal ini adalah aksi pemblokiran yang dilakukan oleh Mahatma
Ghandi. Ghandi dan pengikutnya melakukan aksi boikot dengan tidak membeli dan
menggunakan barang-barang produksi Inggris (sebagai kelompok sasaran) dalam
rangka memerangi penjajahan yang dilakukan Inggris terhadap masyarakat India.
5. Upaya pemblokiran menurut Zander adalah denan melakukan demonstrasi yang
bersifat merusak (hostile demonstration). Dalam bentuk demonstrasi seperti ini, pihak
yang merasa dirugikan melakukan demonstrasi yang bersifat merusak benda-benda
yang dimiliki atau dkuasai oleh kelompok sasaran, misalnya dengan memecahkan
kaca jendela, mencorat-coret gedung, atau menghancurkan peralatan ataupun mesinmesin yang dikuasai kelompok sasaran. Salah satu ilustrasi dari hostile demonstration
yang terjadi di Indonesiaantara lain peristiwa Malari (Malapetaka Lima Januari)
tahun 1974 dimana massa merusak dan membakar barang-barang produk Jepang
dengan alasan Jepang telah melakukan penjajahan ekonomi terhadap bangsa
Indonesia setelah mereka usai melakukan penjajahan fisik. Ilustrasi yang lain adalah
kerusuhan 27 Juli 1996, dimana masa simpatisan PDI pro Megawati yang merasa
sebagai kelompok yang ditekan melakukan aksi pembakaran terhadap brbagai
gedung, mobil, dan fasilitas umum disekitar jalan Pramuka, Salemba, dan Kramat
raya akibat pengambil alihan kantor pusat PDI yang dilakukan melalui tindak
kekerasan dan bkan melalui kesepakatan bersama di antara kedua pihak yang bertikai.
Begitu pula dengan kerusuhan Mei 1998, dimana banyak toko-toko, gedung
perkantoran, dan pusat perbelanjaan yang dihancurkan.
Terkait dengan pendekatan yang bersifat menekan kelompok sasaran, Flood
menggambarkan beberapa bentuk aksi komunitas yang banyak digunakan di negara
bagian New South Walrs, Australia. Bentuk-bentuk aksi komunitas tersebut pada intinya
mempunyai banyak kesamaan dengan apa yang dikemukakan oleh Zander, tetapi Flood
memberikan variasi tambahan dari upaya pemblokiran yang telah di kemukakan oleh
Zander. Bentuk-bentuk aksi komunitas tersebut antara lain :
1. Pemboikotan (Boycotts). Bentuk aksikomunitas ini serupa dengan bentuk keempat
yang dikemukakan oleh Zander. Dalam kegiatan ini para partisipan perubahan
didorong untuk tidak menggunakan produk ataupun jasa yang dikeluarkan oleh
kelompok sasaran. Pemboikotan sangat bermakna dalam kaitannya dengan
peningkatan kesadaran masyarakat akan hal yang sedang diperjuangkan oleh pelaku
perubahan. Akan tetapi, pemboikotan akan dapat lebih efektif bila produk ataupun
jasa yang lain dapat dijangkau massa sebagai pengganti produk dan jasa yang
dikeluarkan oleh kelompok sasaran. Sebaliknya, bila suatu produk dan jasa yang
utama hanya dimonopoli oleh satu pengusaha tanpa ada pesaing yang lain,
pemboikotan yang dilakukan agen perubahan sering kali kurang mendapat tanggapan
yang positif dari massa.
2. Grafiti (Graffiti). Merupakan aksi corat-coret pada tempat tertentu guna
menarikperhatian massa. Flood melihat bahwa salah satu bentuk grafiti yang baik dan
dapat menarik minat masyarakat adalah garifiti yang bersifat sederhana dan kocak
dalam menyerang hal yang mereka protes, serta ditempatkan di tempat yang mudah
dilihat masyarakat. Akan tetapi, grafiti yang dilakukan pada gedung-gedung, tempattempat bersejarah ataupun rumah pribadi justru akan dapat menimbulkan antipati
masyarakat terhadap gerakan yang sedang mereka jalankan.

3. Pengalihan (Disruptive Tactics). Flood menyatakan bahwa era 1990-an ini semakin
banyak kelompok penekan (pressure group) yang semakin terampil dalam
mengembangkan strategi yang tidak bersifat kekerasan, yang akhirnya dapat
meningkatkan penghormatan dan dukungan dari berbagai pihak terhadap gerakan
yang dilakukan.
4. Teater Jalanan (Street Thatre). Flood melihat bahwa teater jalanan dapat
dimanfaatkan untuk menyampaikan, mengalihkan ataupun memprovokasi massa
mengenai suatu isu tertentu. Teater jalanan biasanya dilaksanakan di tempat umum
dan tanpa dipungut bayaran guna menarik minat dan pemirsa yang lebih besar. Teater
jalanan yang menarik dan simpatik biasanya lebih dapat menarik emosi masyarakat
dibandingkan dengan teater jalanan yang lebih menonjolkan pada aspek kekasaran
dan ketidakpuasan terhadap suatu struktur tertentu.
5. Blokade dan Memacetkan Jalan (Blockades and Jamming). Flood menyatakan bahwa
memacetkan, memperlambat, bahkan menghentikan arus lalu lintas untuk sementara
waktu dapat pula dimanfaatkan untuk menyampaikan suatu isu tertentu.
6. Pengambilalihan dan Pendudukan (Takeovers and Occupations). Flood memberikan
gambaran bahwa ada kelompok-kelompok tertentu yang berhasil mengambil alih
tanah dan bangunan yang tidak digunakan dan memanfaatkannya menjadi taman dan
bengkel kerja. Pengambilalihan ini tentunya tidak dilakukan secara semena-mena,
tetapi melalui proses meyakinkan pihak yang berkompeten yang terkait dengan tanah
dan bangunan yang dimaksud. Untuk mendaoatkan lampu hijau dari otoritas lokal,
aktivis harus dapat meyakinkan bahwa proposal yang mereka ajukan akan dapat
memberikan manfaat bagi masyarakat bila dibandingkan tanah dan bangunan tersebut
diterlantarkan tidak terpakai.
7. Pemanfaatan Bangunan Kosong. Menurut Flood, pemanfaat gedung ataupun gudang
yang sudah tidak digunkanan lagi merupakan hal yang berbeda dengan
pencaplokan suatu gedung atau gudang. Perbedaan yang mendasar teretak pada
tujuannya. Pencaplokan suatu gedung pasa intinya adalah pengambilalihan suatu
gedung oleh perorangan ataupun kelompok untuk tempat tinggal mereka. Sementara
itu, pemanfaatan gedung lebih mengarah pada pengambilalihan fungsi gedung yang
pada umumnya akan dimanfaatkan untuk hal-hal yang bermanfaat bagi masyarakat.
Meskipun tujuan pemanfaatan suatu gedung atau gudang cenderung pada hal yan
bersifat positif, tetapi dalam praktiknya kadangkala pemilik gedung tidak mau
memberikan gedungnya secara Cuma-Cuma. Oleh karena itu, aktivis diharapkan
mampu mempersuasi pemilik gedung agar mereka tidak peru membayar terlalu mahal
untuk gedung-gedung yang memang sebenarnya tidak digunakan.
8. Prosesi dan Protes Keliling (Marches and Procession). Pada beberapa negara yang
sudah berkembang, prosesi dan protes keiling di sepanjang jalan raya pada umumnya
bukanlah sesuatu hal yang melanggar hukum. Hal tersebut lebih terlihat sebagai
bagian dari upaya warga untuk menyatakan ketidakpuasannya terhadap suatu isu
tertentu. Meskipun hal tersebut bukanlah hal yang melanggar hukum, tetapi pelaksana
arak-arakan tersebut haruslah memberitahukan secara tertulis pada pihak pemerintah
daerah dan polisi mengenai rute, waktu dan tanggal arak-arakan tersebut akan
dilaksanakan.
9. Barisan Penghalang (Picketing). Merupakan bagian dari proses boikot dengan cara
membentuk barisan yang menghalangi orang-orang untuk mengakses produk atau
layanan dari kelompok sasaran. Pembentukan barisan penghalang dalam
perselisihan perburuhan biasanya dilakukan dengan membujuk pekerja untuk tidak
bekerja dan membentuk barisan penghalang pada hari dan waktu yang sudah

disepakati sehingga pada hari yang sudah disepakati tersebut, tidak ada pekerja yang
dapat masuk ke dalam pabrik atau kantor karena terhalang oleh barisan pekerja yang
memagari pabrik atau kantor tempat bekerja mereka.
10. Pertemuan Terbuka (Outdoor Meetings). Pertemuan umum di tempat terbuka
merupakan salah sat taktik yang bisa digunakan para aktivis untuk menyebarkan
informasi, menarik simpati masyarakat, dan memantapkan identitas mereka sebagai
suatu kelompok. Meskipun demikian, pandangan suatu rezim terhadap aktivitas ini
tidaklah sama. Pada beberapa negara industri seperti Australia, Inggris dan Amerika,
pertemuan di tempat terbuka dan biasanya diikuti dengan arak-arakan keliling sering
kali sudah dianggap sebagai bagian dari budaya demokrasi mereka sehingga
intervensi pihak kepolisian dalam menangani kasus ini sangatlah minimal. Disamping
itu, perilaku anggota kelompok yang melakukan arakan keliling dalam menyatakan
prtotesnya juga relatif tidak membahayakan lingkungan di sekitarnya.
11. Aksi Mogok Duduk (Sit-Ins). Menurut Flood, di Australia taktik ini seing kali
dilaksankan di kantor-kantor departemen, pemerintah daerah, perusahaan, agen
perumahan, ataupun kantor administrasi universitas guna memproses kebijakan yang
mereka terapkan. Aksi mogok duduk di kantor-kantor pemerintahan ini sering kali
didefinisikan sebagai tindakan yang ilegal, dan biasanya mengundang respons dari
pihak kelopisian. Oleh karena itu, para pemrotes harus memilih tempat untuk
melakukan aksi mogok duduk secara bijak agar tujuan penyampaian pesan dan
tanggapan yang munculk dapat berhasil. Disamping itu, pelaku aksi mogok duduk
juga harus menjaga diri agar tidak melakukan hal yang destruktif seperti vandalisme
(mencoret-coret dinding) yang biasanya dapat memunculkan rasa tidak simopati pada
pemrotes tersebut.
12. Aksi Simbolis (Symbolic Actions). Menurut Flood aksi simbolis ini sangat beragam.
Misalnya, aksi ini dapat berbentuk pengembalian atau penolakan suatu penghargaan
sebagai pernyataan protes. Hal ini dilakukan antara lain guna mendapat liputan media
sehingga panitia pemberi penghargaan tersebut dapat menyadari hal apa yang diprotes
oleh aktivis tersebut.
Bila dilihat dari apa yang dikemukakan oleh Zander dan Flood, akan terlihat keragaman
dari aksi komunitas yang dilakukan oleh berbagai aktivis di beberapa negara. Protes yang
dilakukan kelompok masyarakat tersebut dapat dimunculkan dalam tindakan yang halus,
bahkan sampai ketingkat yang amat brutal dan destruktif, yang pada negara-negara
tertentu sering didefiniskan sebagai tindakan makar. Untuk kondisi Indonesia, bentuk aksi
komunitas yang paling mungkin dilakukan pada satu era tentunya berbeda dengan era
yang lain karena pilihan aksi komunitas yang akan dilakukan sangat terkait dengan
toleransi pemerintah dan pihak keamanan terhadap suatu bentuk proses yang dapat
diambil pada saat itu.

Anda mungkin juga menyukai