A. Pendahuluan
Sejak diperkenalkan terutama di awal abad ke-21, istilah literasi jasmani
secara global telah menjadi topik yang menarik di bidang pendidikan jasmani dan
kesehatan. Banyak penulis (misalnya Whitehead & Murdoch, 2006; Mandigo,
Francis, Lodewyk, & Lopez, 2012) yang mewakili berbagai negara telah
membuka wawasan ke arah penerimaan dan implementasi istilah ini. Beberapa
negara seperti Inggris dan Kanada selama beberapa tahun terakhir mengangkat
dan memuji nilai dari konsep multifaset literasi jasmani (Roetert & Jefferies,
2014). Jurnal Sport and Health Science pada tahun 2015 mempublikasikan isu
khusus literasi jasmani dengan 10 artikel yang mereviu konsep dan aplikasibilitas
1
Dr. Made Pramono, M.Hum. adalah dosen Filsafat di unit kerja Fakultas Ilmu Keolahragaan
Universitas Negeri Surabaya. Email: madepramono@unesa.ac.id
B. Pembahasan
1. Urgensi Literasi Jasmani
Secara umum istilah literasi mencakup komponen pengetahuan,
pemahaman, pemikiran, komunikasi, dan aplikasi. Istilah literasi bukan hal baru
di dunia pendidikan. United Nations Educational, Scientific and Cultural
Organization (UNESCO) tahun 2004 telah menyatakan latar belakang dan
pendefinisian literasi. Literasi oleh UNESCO diidentifikasikan lebih dari sekedar
membaca dan menulis. Literasi adalah tentang bagaimana berkomunikasi sosial,
dan ini mencakup juga praktek dan hubungan-hubungan sosial sebagaimana
pengetahuan, bahasa, dan budaya.
Salah satu subjek literasi yang muncul di awal-awal abad ke-21 adalah
literasi jasmani, meskipun sebenarnya di pertengahan abad sebelumnya sudah
disinggung-singgung oleh penulis seperti Morrison (1969). Margaret Whitehead
(2013b) yang merupakan tokoh utama literasi jasmani, mendeskripsikan literasi
jasmani dengan memperluas pandangan dari UNESCO di atas sebagai:
Whitehead,
2001).
Literasi
jasmani
mendidik
individu
tentang
Physical Education) adalah bagian inti dari kurikulum sekolah yang penting bagi
siswa dan khususnya lagi bagi guru-guru pendidikan jasmani.
Gaya hidup aktif secara jasmani adalah penting bagi kesehatan. Whitehead
(2013a) juga memodifikasi definisinya sendiri tentang literasi jasmani sebagai
kecenderungan untuk mendayagunakan kapabilitas tubuh di mana individu
tersebut memiliki motivasi, kepercayaan diri, kompetensi jasmani, pengetahuan,
dan pemahaman untuk menilai dan mengambil tanggung jawab dalam menjaga
pencapaian dan aktivitas fisik yang bermanfaat di sepanjang hidupnya. Definisi
ini digunakan Whitehead dalam tulisannya dalam tema khusus Bulletin of the
International Council of Sport Science and Physical Education of UNESCO, yang
dapat digambarkan sebagai kapabilitas untuk gaya hidup aktif secara sehat.
Terdapat empat unsur esensial dan saling terkoneksi dari definisi literasi jasmani
di atas: motivasi dan percaya diri (domain afektif), kompetensi jasmani (domain
fisik), pengetahuan dan pemahaman (domain kognitif), dan keterlibatan dalam
aktivitas jasmani (domain behavioral). Hal ini dipublikasikan Whitehead pada
International Physical Literacy Association (2014), yang menjadi isyarat kuat
bahwa literasi jasmani harus dibedakan namun bersinggungan erat dengan istilah
pendidikan jasmani, aktivitas jasmani, maupun olahraga.
Individu yang literat secara jasmaniah akan bergerak dengan percaya diri
dan kompeten di antara spektrum luas kondisi dan peluang aktivitas fisik,
termasuk aktivitas di tanah, salju, es, air, atau udara (PHE Canada, 2014).
Kebalikannya, dapat ditebak individu yang bersusah payah di perjalanan literasi
jasmaninya akan sedikit terlibat dalam aktivitas jasmani, meningkatkan resiko
mereka untuk persoalan-persoalan kesehatan (Tremblay, dkk, 2010). Tentara atau
atlit adalah dua profil profesional yang bisa dijadikan contoh konfidensi dan
kompetensi gerak dari ke-literat-an tersebut.
Literasi jasmani tidak hanya berkaitan dengan relevansi psikologis atau
fisiologis. Penulis melalui tesis, disertasi, dan beberapa karya ilmiah lain secara
filosofis telah mengeksplorasi permasalahan tubuh dalam hubungannya dengan
jiwa dalam suatu kerangka kategorisasi antara objektivitas dan subjektivitas.
Penghargaan atas tubuh adalah salah satu tahapan hasil analisis-sintesis itu, vis-a-
vis tubuh yang diperlakukan sebagai objek, yang diproyeksikan untuk bidang ilmu
keolahragaan. Aku adalah tubuhku merupakan jargon yang dikonsepsikan para
filsuf seperti Merleau-Ponty dan Gabriel Marcel untuk menunjukkan hakikat
tubuh secara fenomenologis yang berimplikasi signifikan terhadap perlakuan dan
literasi manusia terhadap tubuhnya (Pramono, 2003; 2004; 2014; 2015).
berada di antara dualisme menuju monisme. Kesadaran tubuh ini pada puncak
aktualisasinya mewakili monisme murni yang melihat Aku sebagai kesatuan:
kesatuan pikiran dan gerak raga, kesatuan tubuh dan jiwa. Tidak ada pembedaan
substansial antara tubuh dan jiwa sebagai Aku.
Jasmani yang dididik, jasmani sebagai medium proses mendidik, dan
jasmani yang mendidik adalah tiga perspektif yang bisa diajukan sebagai objek
formal pendidikan jasmani. Meskipun perspektif ketiga tidak semudah dua
perspektif lain dalam memahami dan menangkap operasionalitasnya, sebenarnya
ketiga perspektif ini ada dalam praktek pendidikan jasmani di Indonesia baik
secara formal (diawali tahun 1941 dengan didirikannya AILO oleh Belanda)
maupun informal (perlu penelitian lebih detail untuk mengidentifikasi
pendidikan jasmani informal ini, misalnya jejak sejarah kanuragan nusantara).
Berikut diuraikan ketiga perspektif tersebut.
10
untuk menggambarkan sentuhan dari kesatuan tak terpisahkan antara aku dan
duniaku ini - yang dia istilahkan sebagai chiasmus. Bukan pikiran yang
pertama-tama mengidentifikasi persentuhan sesuatu dengan tubuh, tetapi
daging. Hanya saja di tahap primordial ini daging berikatan atau bersentuhan
dengan
sesuatu
(misalnya
hawa
udara
atau
kulit
tangan)
tanpa
Tanda petik untuk menandai pemaknaan teks yang sebenarnya tidak relevan di kondisi penyatuan
atau chiasmus.
11
hubungan tubuh dan jiwa ibarat dua sisi dari uang yang sama. Satu substansi
dari dua aspek manunggal dari diri manusia.
olahraga rekreasi dan olahraga prestasi. Adanya olahraga prestasi sebagai domain
tersendiri secara tegas mengindikasikan bahwa pendidikan jasmani tidak
diarahkan untuk menelurkan olahragawan berprestasi, tetapi untuk tujuan yang
segaris dengan Sistem Pendidikan Nasional. Jabaran UUD 1945 tentang
pendidikan yang dituangkan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 3
menyebutkan,
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka
mencerdaskan
kehidupan
bangsa,
bertujuan
untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Pendidikan jasmani, menurut logika hukum, berada di wilayah pembidangan
pendidikan, yang berarti juga patuh pada tujuan pendidikan nasional (bukan untuk
tujuan lain). Tentu saja ada rasionalisasinya ketika melalui pendidikan jasmani,
olahraga prestasi mendapatkan bibit olahragawan sejak usia dini.
Pembentukan habituasi olahraga seperti suasana menyenangkan dalam
beraktivitas, pengajaran keterampilan gerak yang benar, penanaman nilai-nilai
sportivitas, motivasi berolahraga yang tinggi, adalah beberapa relevansi
pendidikan jasmani terhadap identifikasi dini olahraga prestasi di lembaga
pendidikan. Tetapi pendidikan jasmani tidak valid untuk diarahkan membentuk
olahragawan prestasi, karena, sekali lagi, bukan itu tujuan pendidikan jasmani.
Konsekuensinya, guru/dosen yang memberi materi dominan olahraga prestasi di
mata
pelajaran/kuliah
pendidikan
jasmani,
berarti
melakukan
tindakan
12
wawasan
kebertubuhan dasar ini pada akhirnya memberi ruang pada guru/dosen dan
siswa/mahasiswa untuk selalu membuka diri terhadap kerelatifan kebenaran
tentang tubuh sekaligus membuka diri terhadap ruang-ruang gelap yang belum
sepenuhnya disibak oleh pengetahuan modern. Tulisan Frithjof Capra (1997) atau
Deepak Chopra (1996) yang mempersandingkan kearifan timur dengan sains
mutakhir, masih sangat relevan dipertimbangkan sebagai cakrawala wawasan
kebertubuhan yang terbuka dan unfinished truth.
13
14
dan terhadap dunia. Merleau-Ponty memahami persepsi sebagai aspek apa yang
disebutnya, mengikuti Heidegger, being in the world (tre au monde). Misteri
persepsi dengan demikian adalah misteri bahwa meskipun kita sendiri tertanam
di dalam dan bagian dari dunia, yang pada dirinya sendiri tidak sepenuhnya kabur
dan tak dapat dimasuki, namun terbuka bagi kita sebagai medan kesadaran dan
tindakan. Persepsi, demikian tulis Carman, adalah selalu sekaligus pasif dan
aktif, situasional dan praktis, terkondisikan dan bebas (Carman, 2008). Tubuh
dan dunia adalah dua entitas yang tak terpisahkan. Kepenuhan yang satu diperoleh
dengan menyentuh yang lain. Tubuh menjadi utuh dengan menyentuh dunia.
Sebaliknya dunia menjadi dapat dipersepsi dengan menyentuh tubuh (Pramono,
2014).
Struktur bawaan, kemampuan umum dasar, dan kemampuan kebudayaan
yang berangkat dari tubuh yang tumpang tindih dengan dunia dan kesadaran,
dalam penelitian ini dikerucutkan pada konsep dan konteks skill (kecakapan).
Merleau-Ponty menggunakan istilah habit (kebiasaan) sebagai sinonim skill,
sehingga ketika dia merujuk pada pencapaian kecakapan dia mengatakan
pencapaian kebiasaan (Merleau-Ponty, 1962). Kemampuan mengalami baginya
seolah sama dengan pencapaian kecakapan menubuh.
The analysis of motor habit as an extension of existence leads... to an
analysis of perceptual habit as the coming into possession of a world.
Conversely, every perceptual habit is still a motor habit and here equally
the process of grasping a meaning is performed by the body (MerleauPonty, 1962: 153).
Pancaran intensional (intentional arc)3 diajukan Dreyfus sebagai cara
mengokohkan persepsi dan aksi kecakapan, suatu cara kecakapan menubuh dalam
menentukan cara segala sesuatu menunjukkan diri ke seseorang (Dreyfus, 1996).
3
15
mengklasifikasi,
menstrukturisasi,
mensistematisasi,
dan
kebertubuhan
(dan,
dengan
demikian,
kemanusiaan)
universal.
16
Pengalaman tubuh
Jumlah seluruh pengalaman yang menyatu sebagai Aku, yang dibuat dalam pengembangan tubuh
sendiri baik individual maupun sosial, menjadi kognitif atau afektif, sadar atau tak sadar
Skema Tubuh
Aspek neurofisiologis dari pengalaman
tubuh, mengisi seluruh tampilan perspektifkognitif dari individu tentang tubuhnya
sendiri
Kesan Tubuh
Aspek psikologis-fenomenologis dari
pengalaman tubuh yang mengisi seluruh
tampilan
emosional-afektif
individu
tentang tubuhnya sendiri
Orientasi Tubuh
Orientasi dalam dan pada tubuh sendiri
dengan sensibilitas luar dan dalam,
khususnya persepsi kinesthetik
Kesadaran Tubuh
Representasi psikologis dari tubuh atau
bagian tubuh dalam pikiran individual atau
perhatian langsung ke arah tubuh sendiri
Batas Tubuh
Pengalaman batas-batas tubuh; tubuh
dalam perbedaannya dengan lingkungan
Pengetahuan Tubuh
Pengetahuan faktual bangunan dan fungsi
tubuh serta bagian-bagiannya termasuk
perbedaan kanan-kiri
Sikap-Sikap Tubuh
Sikap total ke arah tubuh dan
penampakannya, khususnya kepuasan
tubuh (atau ketidakpuasannya)
17
sebagai
modifikasi
(penambahan,
pengubahan,
pengurangan) dari materi yang sudah ada. Ayunan antara tubuh sebagai objek
dan tubuh sebagai subjek terus menerus terjadi bahkan dalam hitungan yang
serentak dalam proses pendidikan jasmani. Pendidikan jasmani di satu sisi
menempatkan jasmani sebagai objek, tetapi di saat yang sama menempatkannya
sebagai subjek. Pengetahuan yang berjalanpun, tidak hanya berasal dari luar,
yang universal, tetapi juga bisa berasal dari dalam, yang subjektif; tidak
hanya berasal dari buku-buku, modul, literasi tubuh, perundang-undangan, tetapi
juga bisa berasal dari pengalaman spontan dan otentik dari tubuh.
Setidaknya ada konsekuensi filosofis ketika cara pandang relatif terhadap
posisi objek dan subjek suatu hal dianalisis secara intensif, bahkan bisa jadi hal itu
menghasilkan suatu revolusi kopernikan (meminjam istilah Kant untuk usahanya
mengubah arah pandang proses berpikir filsafat). Revolusi kopernikan
pengalaman tubuh di pendidikan jasmani ini memang mengkonsekuensikan
pembalikan cara pandang: yang semula tubuh semata-mata objek yang diberi
perlakuan atau diisi pengetahuan tertentu, diubah secara drastis bahwa tubuh
adalah subjek yang mendidik. Manusia yang di posisi subjek didik pendidikan
jasmani, berarti senantiasa memeriksa cara pandang terhadap tubuhnya dalam
kaitannya dengan berbagai dimensi ketubuhannya mulai dari dimensi fisiognomi
hingga psikososial, dari struktur fisik ke universalitas entitas, dari urusan perut
hingga ke urusan spiritual.
C. Simpulan
Literasi jasmani adalah kecenderungan untuk mendayagunakan kapabilitas
tubuh di mana individu tersebut memiliki motivasi, kepercayaan diri, kompetensi
18
19
DAFTAR PUSTAKA
20
Mandigo, J., Francis, N., Lodewyk, K., & Lopez, R. 2012. Physical Literacy for
Educators. Physical Education and Health Journal. 75(3). 27-30.
Meier, K.V., 1995, Embodiment, Sport and Meaning, dalam William J. Morgan
dan Klause V. Meier (ed.), Philosophic Inquiry in Sport, Second
Edition, Human Kinetics, Champaign, USA.
Merleau-Ponty, M., 1962, The Phenomenology of Perception, Colin Smith
(transl.), Routledge and Kegan Paul, London.
Morrison R. 1969. A Movement Approach to Educational Gymnastics. London:
J.M. Dent & Sons.
Newell, Karl M., 1990, Physical Education in Higher Education: Chaos Out of
Order, Quest, 42:3, 227-242. Published online 2012.
PHE Canada. 2014. What is Physical Literacy? Physical and Health Education
Canada; Available at: http://www.phecanada.ca/programs/physicalliteracy/what-physical-literacy. Accessed April 22, 14 A.D.
Pramono, Made, 2003, Peran Fenomenologi Tubuh dalam Pengembangan Ilmu
Keolahragaan, Tesis, Pasca Sarjana Ilmu Filsafat UGM Yogyakarta,
Tidak diterbitkan.
----------, 2004, Filsafat Olahraga, Unesa University Press, Surabaya.
Roetert EP, Jefferies SC. 2014. Embracing Physical Literacy. Journal of Physical
Education, Recreation and Dance 85: 3840.
Sukendro, 2012, Telaah Kurikulum Pendidikan Jasmani di Indonesia, Jurnal
Cerdas Sifa Pendidikan. Vol. 1 No. 1. Hal. 1-9.
Syamsuddin, M.Mukhtasar, 2014, Mind-Body Interconnection (A Philosophical
Investigation on the Western and Eastern Approaches to the Human
Nature), Kanisius, Yogyakarta.
21
Tremblay MS, Colley RC, Saunders TJ, Healy GN, Owen N. 2010. Physiological
and Health Implications of a Sedentary Lifestyle. Appl Physiol Nutr
Metab. 2010; 35(6):72540.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang No. 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional.
UNESCO. 2004. The Plurality of Literacy and Its Implication for Policies and
Programmes (Position Paper, UNESCO Education Sector). France:
Author.
Retrieved
from
http://unesdoc.UNESCO.org/image/0013/001362/126246e.pdf.
UNESCO. 2015. Quality Physical Education: Guidelines for Policy Makers. In:
UNESCO (Ed.). Paris.
Whitehead, M. 2001. The Concept of Physical Literacy. European journal of
Physical Education. 6. 127-138.
-----------------. 2010. The Concept of Physical Literacy. In Whitehead, M. (Ed.).
Physical Literacy through the Lifecourse. (pp. 10-20). London:
England.
-----------------. 2013a. Definition of Physical Literacy and Clarification of Related
Issues. ICSSPE Bulletin. 65. Oktober.
-----------------. 2013b. The History and Development of Physical Literacy.
ICSSPE Bulletin. 65. Oktober.
-----------------.
2014.
International
Physical
https://www.physical-literacy.org.uk/.
Literacy
Association.
22