Anda di halaman 1dari 22

LITERASI JASMANI: ORIENTASI TUBUH-SUBJEK

Oleh Made Pramono1


Abstrak
Dalam sejarah pemikiran mainstream, tubuh manusia menempati peran
ambigu dan paradoksal dalam kategorisasi kultural. Pemetaan dan pemahaman
tentang pemikiran yang berhubungan dengan tubuh (kaitannya dengan jiwa)
adalah langkah awal yang sebenarnya direkonstruksikan ke arah analisis dan
penelitian implementatif terhadap berbagai persoalan umat manusia yang berakar
dari pandangan filosofis terhadap kebertubuhannya. Pada tataran individual,
literasi jasmani ini penting maknanya dalam interaksi kebertubuhan manusia
dengan lingkungannya sehingga diharapkan mampu mengarahkan motivasi,
kepercayaan diri, kompetensi jasmani, pengetahuan, dan pemahaman yang
mengokohkan pendayagunaan tubuh yang optimal sebagai bagian dari gaya hidup
sehat dan positip. Sejak usia dini hingga dewasa, literasi jasmani bisa
diperkenalkan melalui berbagai macam media dan cara, baik melalui pendidikan
maupun non-kependidikan. Tubuh tidak selalu menjadi objek. Subjektivitas tubuh
patut dikonseptualisasikan juga dalam literasi jasmani, dengan mengikutsertakan
juga instrumen, daya implementatif, dan evaluasi mendalam. Pada tataran
pendidikan, maka pendidikan jasmani sesungguhnya tidak hanya mendidik tubuh
atau melalui tubuh berproseslah kemanusiaan sang subjek didik, tetapi pendidikan
jasmani juga berarti pendidikan oleh tubuh, atas dasar itu hidup kemanusiaan utuh
material-spiritual, jiwa-raga.
Kata kunci: Literasi Jasmani, Tubuh-Subjek, Pendidikan Jasmani

A. Pendahuluan
Sejak diperkenalkan terutama di awal abad ke-21, istilah literasi jasmani
secara global telah menjadi topik yang menarik di bidang pendidikan jasmani dan
kesehatan. Banyak penulis (misalnya Whitehead & Murdoch, 2006; Mandigo,
Francis, Lodewyk, & Lopez, 2012) yang mewakili berbagai negara telah
membuka wawasan ke arah penerimaan dan implementasi istilah ini. Beberapa
negara seperti Inggris dan Kanada selama beberapa tahun terakhir mengangkat
dan memuji nilai dari konsep multifaset literasi jasmani (Roetert & Jefferies,
2014). Jurnal Sport and Health Science pada tahun 2015 mempublikasikan isu
khusus literasi jasmani dengan 10 artikel yang mereviu konsep dan aplikasibilitas
1

Dr. Made Pramono, M.Hum. adalah dosen Filsafat di unit kerja Fakultas Ilmu Keolahragaan
Universitas Negeri Surabaya. Email: madepramono@unesa.ac.id

literasi jasmani. Literasi jasmani benar-benar telah menjadi fokus utama


pendidikan jasmani, aktivitas jasmani, serta olahraga dan sudah secara ekstensif
dipergunakan dan diperkenalkan di bidang-bidang itu.
Tulisan ini secara bergantian mempersamakan jasmani dengan istilah tubuh,
di mana tubuh/jasmani yang dimaksud adalah tubuh manusia sebagai satu
kesatuan kompleksitas struktur fisiologis, anatomis, biologis yang tampak sebagai
keseluruhan jasad yang kelihatan dari bagian ujung kaki sampai ujung rambut
(KBBI, 2008). Kata jasad mengacu pada sesuatu yang dapat dikontraskan
dengan pikiran, roh, sifat, atau tingkah laku.
Wacana tentang tubuh dalam ranah ilmu-ilmu sosial mulai muncul sekitar
tahun 1980-an, terutama dipicu dengan pro dan kontra aspek sosial dan politis dari
feminisme, persoalan rumit seputar teknologi medis dalam fertilisasi, teknologi
realitas virtual, teknologi cyborg di bidang industri dan kemiliteran, serta estetika
tubuh dalam budaya konsumtif modern. Kemunculan bermacam-macam wacana
sosiologi tubuh dipengaruhi tradisi teoritis filsafati tertentu, namun demikian
karya-karya Michel Foucault bisa dianggap karya paling signifikan dalam analisis
sosial tentang kebertubuhan. Perlu dicatat di sini, perspektif Foucault tentang
disiplin tubuh bercorak perspektif fenomenologis a la Merleau-Ponty. Tentu saja
peran Husserl, Heidegger, dan juga Wilhelm Dilthey harus dipertimbangkan
sebagai

satu garis pertumbuhan eksplorasi

dan pemahaman sosiologi-

fenomenologis tubuh. Tanggapan kritis terhadap pandangan rasionalisme


Cartesian - yang memisahkan substansi kejiwaan dan ketubuhan - menyeruak dan
mengambil tempat kemudian ke dalam orientasi post-strukturalis, dengan
menggagas tema-tema tentang emosi, hasrat dan kasih sayang, diri modern
menuntut sensibilitas dan emosi-emosi, dan keintiman kebertubuhan (Pramono,
2014: 89).
Istilah Pendidikan Jasmani dan Aktivitas Jasmani, dikenal luas
masyarakat Indonesia dengan berbagai konsep dan pemikiran tentangnya.
Pengenalan istilah lain seperti Literasi Jasmani bisa dicurigai kabur, atau
memunculkan beberapa pertanyaan misalnya: apakah literasi jasmani dapat
meningkatkan profesionalisme, menjelaskan apa yang sudah dikerjakan dengan

lebih akurat dan gamblang, serta berfungsi sebagaimana literasi-literasi yang


sudah ada seperti literasi komputer, literasi finansial, literasi kesehatan, dan
sebagainya? Literasi jasmani pertama-tama bukan kelatahan wacana pseudoilmiah, tetapi tentu dengan banyaknya tulisan jurnal internasional tentang tema
ini, menunjukkan kekuatan argumentatif ilmiah untuk diposisikan sebagai fokus
kajian yang sekaligus memiliki daya guna aplikatif.
Meskipun konsep literasi jasmani dalam bahasa Indoensia sampai tulisan
ini dibuat masih sangat jarang diketemukan (melalui mesin pencari Google hanya
ada satu hasil penelusuran, itupun juga tidak relevan untuk dijadikan rujukan),
namun literasi jasmani tentu bernilai universal. Tulisan ini merupakan upaya awal
untuk lebih memperkenalkan konsep dan urgensi literasi jasmani yang terbatas
pada eksplorasi ide-ide pokok filosofis dan ilmiah. Subjektivitas tubuh (tubuh
yang juga dilihat sebagai subjek, sebagai aku) adalah orientasi filosofis yang
hendak dibangun dalam tulisan ini yang berangkat dari kerangka konseptual
literasi jasmani.

B. Pembahasan
1. Urgensi Literasi Jasmani
Secara umum istilah literasi mencakup komponen pengetahuan,
pemahaman, pemikiran, komunikasi, dan aplikasi. Istilah literasi bukan hal baru
di dunia pendidikan. United Nations Educational, Scientific and Cultural
Organization (UNESCO) tahun 2004 telah menyatakan latar belakang dan
pendefinisian literasi. Literasi oleh UNESCO diidentifikasikan lebih dari sekedar
membaca dan menulis. Literasi adalah tentang bagaimana berkomunikasi sosial,
dan ini mencakup juga praktek dan hubungan-hubungan sosial sebagaimana
pengetahuan, bahasa, dan budaya.
Salah satu subjek literasi yang muncul di awal-awal abad ke-21 adalah
literasi jasmani, meskipun sebenarnya di pertengahan abad sebelumnya sudah
disinggung-singgung oleh penulis seperti Morrison (1969). Margaret Whitehead
(2013b) yang merupakan tokoh utama literasi jasmani, mendeskripsikan literasi
jasmani dengan memperluas pandangan dari UNESCO di atas sebagai:

kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami, menginterpretasi,


mencipta, merespon secara efektif, dan mengkomunikasikan
menggunakan dimensi ketubuhan manusia dalam cakupan luas situasi
dan konteks. Literasi jasmani meliputi pembelajaran kontinuum yang
memampukan individu untuk mencapai tujuannya dalam membangun
pengetahuan dan potensialnya serta untuk berpartisipasi penuh dalam
komunikasinya dan masyarakat yang lebih luas (hal. 26).
Perdebatan literasi jasmani di kalangan ilmuwan olahraga terutama dipicu
dari konsep literasi jasmani yang dikembangkan Whitehead (2001). Sebagaimana
diindikasikan Higgs (2010), konsep literasi jasmani berakar baik dalam tulisan
akademik maupun aktivitas-aktivitas keseharian guru-guru pendidikan jasmani,
praktisi-praktisi rekreasi, dan para pelatih. Salah satu definisi orisinil dan paling
awal tentang literasi jasmani diungkapkan Morrison (1969) yang mengintrodusir
pendekatan holistik dengan menyatakan bahwa individu-individu yang literat
secara jasmani tidak hanya bergerak secara efisien tetapi juga bergerak secara
kreatif, secara kompeten, dan dengan antusias. Mandigo, Francis, Lodewyk, dan
Lopez (2012) menengarai bahwa gerakan yang kompeten tidak bergerak dalam
keterpisahan dengan lingkungan sosialnya, dan ini menandakan bahwa individuindividu yang literat secara jasmaniah memiliki pengetahuan, keterampilan, dan
sikap untuk hidup sehat bagi dirinya sendiri, sementara juga membantu yang lain
untuk mencapai kecakapan-kecakapan tersebut.
Dengan kata lain, individu yang literat secara jasmaniah adalah seseorang
yang mewujudkan hakikat jasmaniah gerakan dan menggunakan pengalaman serta
pengetahuannya untuk berinteraksi dengan lingkungan (Whitehead & Murdoch,
2006;

Whitehead,

2001).

Literasi

jasmani

mendidik

individu

tentang

kejasmaniahannya, yang tidak sekedar untuk menjadi jasmaniah, tetapi


merangkum pemahaman menubuh tentang bagaimana menjadi jasmaniah melalui
interaksi dengan lingkungan yang berbeda-beda dan menantang (Whitehead &
Murdoch, 2006; Whitehead, 2001; Killingbeck, dkk, 2007). Sebagai tambahan,
Corbin (2016) menekankan bahwa literasi jasmani menghadirkan pondasi bagi
olahraga elit, kesehatan masyarakat, dan pendidikan jasmani.... Dalam hal ini,
UNESCO (2015) menegaskan bahwa kualitas pendidikan jasmani (QPE, Quality

Physical Education) adalah bagian inti dari kurikulum sekolah yang penting bagi
siswa dan khususnya lagi bagi guru-guru pendidikan jasmani.
Gaya hidup aktif secara jasmani adalah penting bagi kesehatan. Whitehead
(2013a) juga memodifikasi definisinya sendiri tentang literasi jasmani sebagai
kecenderungan untuk mendayagunakan kapabilitas tubuh di mana individu
tersebut memiliki motivasi, kepercayaan diri, kompetensi jasmani, pengetahuan,
dan pemahaman untuk menilai dan mengambil tanggung jawab dalam menjaga
pencapaian dan aktivitas fisik yang bermanfaat di sepanjang hidupnya. Definisi
ini digunakan Whitehead dalam tulisannya dalam tema khusus Bulletin of the
International Council of Sport Science and Physical Education of UNESCO, yang
dapat digambarkan sebagai kapabilitas untuk gaya hidup aktif secara sehat.
Terdapat empat unsur esensial dan saling terkoneksi dari definisi literasi jasmani
di atas: motivasi dan percaya diri (domain afektif), kompetensi jasmani (domain
fisik), pengetahuan dan pemahaman (domain kognitif), dan keterlibatan dalam
aktivitas jasmani (domain behavioral). Hal ini dipublikasikan Whitehead pada
International Physical Literacy Association (2014), yang menjadi isyarat kuat
bahwa literasi jasmani harus dibedakan namun bersinggungan erat dengan istilah
pendidikan jasmani, aktivitas jasmani, maupun olahraga.
Individu yang literat secara jasmaniah akan bergerak dengan percaya diri
dan kompeten di antara spektrum luas kondisi dan peluang aktivitas fisik,
termasuk aktivitas di tanah, salju, es, air, atau udara (PHE Canada, 2014).
Kebalikannya, dapat ditebak individu yang bersusah payah di perjalanan literasi
jasmaninya akan sedikit terlibat dalam aktivitas jasmani, meningkatkan resiko
mereka untuk persoalan-persoalan kesehatan (Tremblay, dkk, 2010). Tentara atau
atlit adalah dua profil profesional yang bisa dijadikan contoh konfidensi dan
kompetensi gerak dari ke-literat-an tersebut.
Literasi jasmani tidak hanya berkaitan dengan relevansi psikologis atau
fisiologis. Penulis melalui tesis, disertasi, dan beberapa karya ilmiah lain secara
filosofis telah mengeksplorasi permasalahan tubuh dalam hubungannya dengan
jiwa dalam suatu kerangka kategorisasi antara objektivitas dan subjektivitas.
Penghargaan atas tubuh adalah salah satu tahapan hasil analisis-sintesis itu, vis-a-

vis tubuh yang diperlakukan sebagai objek, yang diproyeksikan untuk bidang ilmu
keolahragaan. Aku adalah tubuhku merupakan jargon yang dikonsepsikan para
filsuf seperti Merleau-Ponty dan Gabriel Marcel untuk menunjukkan hakikat
tubuh secara fenomenologis yang berimplikasi signifikan terhadap perlakuan dan
literasi manusia terhadap tubuhnya (Pramono, 2003; 2004; 2014; 2015).

2. Literasi Jasmani dalam/melalui Pendidikan Jasmani


Dunia pendidikan bagaimanapun tetap sepakat bahwa apapun keahlian dan
aktivitas seseorang, kesehatan dan kebugaran tubuh merupakan prakondisi yang
vital. Pengabaian pemenuhan standar kebutuhan dan kepentingan tubuh, apapun
kepentingan manusia bisa dipastikan tidak akan seimbang yang cenderung
mengarah pada ketidaktuntasan bahkan penghancuran diri. Bukankah hal ini juga
berlaku bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan jiwa?
Jasmani atau aktivitas jasmani merupakan objek material dari bidang kajian
yang disebut secara luas sebagai pendidikan jasmani (pendidikan jasmani).
Pendidikan jasmani secara umum bisa diartikan sebagai pendidikan dari dan
melalui aktivitas fisik yang diterima individu secara formal khususnya dalam
konteks institusional (Newell, 1990: 227). Tulisan ini secara bergantian
mempersamakan jasmani dengan istilah tubuh, di mana tubuh/jasmani yang
dimaksud adalah tubuh manusia sebagai satu kesatuan kompleksitas struktur
fisiologis, anatomis, biologis yang tampak sebagai keseluruhan jasad yang
kelihatan dari bagian ujung kaki sampai ujung rambut (KBBI, 2008). Kata jasad
mengacu pada sesuatu yang dapat dikontraskan dengan pikiran, roh, sifat, atau
tingkah laku.
Permasalahan filosofis muncul ketika mengidentifikasi apa objek formal
dari pendidikan jasmani ini yang memperbedakannya dengan bidang-bidang
kajian lain yang juga membahas jasmani seperti biologi, antropologi, filsafat
manusia, dan sebagainya. Pernyataan yang paling mudah dikemukakan secara
harfiah untuk menjawab apa objek formal pendidikan jasmani adalah bahwa
pendidikan jasmani mengkaji jasmani dalam konteks pendidikan. Menurut
pendapat ini, bisa disebutkan bahwa objek material pendidikan jasmani adalah

jasmani dilihat dari perspektif pendidikan terhadapnya. Secara lebih singkat,


pendidikan jasmani berarti mendidik jasmani/tubuh. Hal ini dianut secara luas
oleh beberapa ilmuwan, termasuk dalm tulisan Newell di atas. Frase ...education
of and through physical activity... sebagaimana ditulis Newell (2012: 227)
menegaskan makna relatif antara pendidikan dan aktivitas fisik yang terhubung
kata sambung dari (lebih cocok diganti untuk dengan melihat konteks
penjelasan Newell lebih lanjut di tulisannya) dan melalui.
Objek formal pendidikan jasmani dengan demikian juga bisa ditegaskan di
sini: jasmani yang dilihat sebagai medium untuk mentransfer pengetahuan atau
menanamkan karakter atau memampukan kecakapan tertentu. Secara singkat,
objek formalnya adalah jasmani sebagai medium pendidikan. Jika yang pertama
berfokus pada jasmani dari perspektif pendidikan (di mana jasmani sebagai objek
yang menjadi tujuan proses pendidikan), maka yang kedua ini lebih menekankan
jasmani sebagai medium proses pendidikan. Medium untuk mendidik siapa?
Tentu kepada subjek manusia.
Kedua perspektif di atas secara gamblang melihat jasmani sebagai objek,
meskipun dengan tekanan yang berbeda. Subjek yang mendidik dan/atau yang
dididik adalah diri yang berupa jiwa. Dualisme Cartesian sangat kental dalam
kedua perspektif ini: bahwa manusia terdiri dari tubuh dan jiwa sebagai dua
substansi terpisah, di mana yang disebut Aku biasanya selalu merujuk pada
jiwa, bukan pada tubuh. Pernyataan Rene Descartes yang terkenal cogito, ergo
sum menjadi lambang penekanan rasionalitas di dunia Barat saat ini. Pemisahan
substansi tubuh (res extensa) dengan jiwa (res cogitans) menelurkan konsep dunia
mekanis yang saat ini masih menjadi dasar bagi sebagian besar ilmu (termasuk
dalam pendidikan jasmani), dan memengaruhi secara luar biasa banyak aspek
kehidupan. Bagi Descartes, tubuh lebih serupa mesin yang digunakan oleh jiwa
(Bertens, 2001: 140; Capra, 1997: 32).
Perspektif lain bisa diteruskan (bukan hasil negasi) dari pemaknaan
pendidikan dari/untuk tubuh atau pendidikan melalui tubuh ini, yakni tubuh
yang mendidik. Tubuh mereferensikan pengalamannya (pre-reflektif dan reflektif)
kepada tubuh lain atau kepada jiwa (diri atau orang lain). Perspektif ketiga ini

berada di antara dualisme menuju monisme. Kesadaran tubuh ini pada puncak
aktualisasinya mewakili monisme murni yang melihat Aku sebagai kesatuan:
kesatuan pikiran dan gerak raga, kesatuan tubuh dan jiwa. Tidak ada pembedaan
substansial antara tubuh dan jiwa sebagai Aku.
Jasmani yang dididik, jasmani sebagai medium proses mendidik, dan
jasmani yang mendidik adalah tiga perspektif yang bisa diajukan sebagai objek
formal pendidikan jasmani. Meskipun perspektif ketiga tidak semudah dua
perspektif lain dalam memahami dan menangkap operasionalitasnya, sebenarnya
ketiga perspektif ini ada dalam praktek pendidikan jasmani di Indonesia baik
secara formal (diawali tahun 1941 dengan didirikannya AILO oleh Belanda)
maupun informal (perlu penelitian lebih detail untuk mengidentifikasi
pendidikan jasmani informal ini, misalnya jejak sejarah kanuragan nusantara).
Berikut diuraikan ketiga perspektif tersebut.

a. Jasmani yang Dididik


Hylomorphisme Aristotelian bisa diajukan sebagai ilustrasi filosofis
paling tepat untuk menggambarkan bagaimana melalui pendidikan jasmani,
tubuh dididik oleh subjek jiwa dengan serangkaian dimensi: fisik, teknik,
strategik, taktik, dan mental. Sebagai wadah (hyle dalam filsafat Aristoteles),
tubuh diisi/dididik dengan dimensi-dimensi di atas beserta berbagai tahapan
dan implementasi temuan-temuan ilmiah tentangnya. Jiwa (morphe dalam
filsafat Aristoteles) mengisi tubuh dengan hal-hal tersebut secara terfokus dan
bertujuan khas (Bertens, 2001). Fokus dan tujuan tersebut bisa berupa
kesehatan, kepulihan, ketangkasan, kelincahan, kecepatan, daya tahan, dan
sebagainya. Penekanan utama dari perspektif ini adalah pada kebutuhan dan
kepentingan tubuh sebagai tujuan terpenting, yang berkonsekuensi pada
kebutuhan dan kepentingan jiwa.
Meskipun orientasi pembinaan tertuju pada aspek jasmani, namun
demikian seluruh skenario adegan pergaulan yang bersifat mendidik juga
tertuju pada aspek pengembangan kognitif dan afektif sehingga pendidikan
jasmani merupakan intervensi sistematik yang bersifat total, mencakup

pengembangan aspek fisik, mental, emosional, sosial dan moral-spiritual (KDI


Keolahragaan, dalam Pramono, 2014).
Tubuh adalah objek, jiwa adalah subjek. Pandangan fundamental seperti
ini menjadikan tubuh diperlakukan relatif sebagai sesuatu yang hanya
berfungsi reseptif dan pasif. Tetapi sebagai objek yang lekat dengan
multidimensionalitas manusia sebagai pemiliknya, tubuh juga diyakini bisa
berubah seiring perlakuan terhadapnya, baik secara natural maupun artifisial.
Tingkat penerimaan yang terorganisir dari masyarakat olahraga terhadap
kerangka kerja ilmu-ilmu alam serta penerapan skema behavioristik dan
stimulus-respon merupakan bukti yang jelas untuk hal ini, yang meneguhkan
pemahaman bahwa perwujudan manusia (atlet) lebih sering diobjektivikasi dan
direduksi sedemikian rupa (Meier, dalam Morgan dan Meier (ed.), 1995).
Untuk tujuan kesehatan, tubuh yang bisa melapuk dan rusak ini dididik
untuk memperlama masa optimalnya dalam upaya jiwa agar selama mungkin
hidup dan selama mungkin sehat bugar. Demikian juga halnya dengan tujuan
kepulihan, di mana tubuh dikenakan berbagai perlakuan untuk kembali kepada
masa optimalnya dalam menghadapi kehidupan. Tubuh tidak hanya
diupayakan optimal, tetapi juga maksimal. Atas dasar hasrat naluriah tersebut,
tubuh dikuatkan, dilincahkan, di-daya tahan-kan, dimampukan untuk lebih
cepat, tangkas, kokoh, dan awet bugar. Karakter reseptif dan pasif dari tubuh
dengan demikian dianggap sebagai lokus kepentingan diadakannya pendidikan
jasmani, dengannya tubuh dididik untuk mematuhi kebutuhan-kebutuhan diri
di atas: diri yang adalah berupa Aku-jiwa.

b. Jasmani sebagai Medium


Perspektif kedua ini tidak mudah dipisahkan bahkan diperbedakan dari
perspektif pertama. Melanjutkan pandangan yang pertama di atas, manusia
menghendaki sesuatu, yang agar tercapai memerlukan medium berupa jasmani.
Pendisiplinan tubuh agar sesuai dengan standar/ukuran tertentu, adalah salah
satu contohnya. Ketika manusia (lebih spesifik lagi: jiwanya) menghendaki
agar orang-orang lain mengaguminya, maka tubuh dicitrakan sedemikian rupa

sehingga standar-standar citra tubuh ideal diupayakan. Melalui pendidikan


jasmani maupun olahraga, tubuh diperlakukan sedemikian rupa sehingga bisa
diproyeksikan ke orang-orang lain dan dirinya sendiri bahwa dia (subjek)
layak untuk dianggap pantas, ideal, seksi, macho, disegani, dan hal-hal lain
sejenisnya.
Berbeda tipis dari perspektif pertama, titik tekan perspektif tubuh sebagai
medium proses pendidikan ini adalah pada tujuan lain sebagai hasil proses
pendidikan jasmani, dan bukan didominasi untuk berhenti pada kebutuhan dan
kepentingan tubuh. Atas dasar itulah, tujuan lain tersebut berarti bukan bersifat
kebertubuhan, atau setidaknya melampaui kebutuhan dan kepentingan tubuh
sebagaimana disebutkan di paragraf sebelumnya. Citra tubuh ideal,
pembentukan karakter, gaya hidup, dan prestasi (terutama di bidang olahraga)
adalah berbagai kerangka tujuan tersebut. Objektivitas tubuh meskipun tidak
setajam perspektif pertama, namun juga ditekankan dengan cara mengendarai
tubuh menuju arah tujuan tertentu tersebut.
Pendidikan melalui jasmani bagi fenomenologi tubuh Merleau-Ponty, tak
sekedar dihayati secara sempit dalam hal olahraga, namun setiap pengalaman
darinya persepsi, dunia, dan tubuhku tumpang tindih, niscaya diterima tidak
hanya oleh pikiranku tetapi juga oleh tubuhku. Sebagai konsekuensi
praktisnya, pendidikan melalui tubuh/jasmani, berarti sama maknanya dengan
pendidikan melalui pikiran/jiwa. Ini berlangsung resiprokal. Pendidikan (atau
pengetahuan) melalui pikiran/jiwa, identik bahkan secara ontologis didahului
- dengan pendidikan melalui tubuh. Kedua ungkapan resiprokal ini hanya perlu
diberi catatan bahwa tugas untuk setiap jenis pengetahuan/pengalaman sudah
dibedakan secara anatomis-fisiologis (misalnya suara didengar telinga, ingatan
disimpan otak) (Pramono, 2014).

c. Jasmani yang Mendidik


Kesadaran primordial atau pra-reflektif merupakan titik awal sekaligus
dasar dari argumen perspektif ketiga ini. Objek-Dunia menyentuh Aku-Subjek
pertama-tama melalui tubuh. Merleau-Ponty menyebut ontologi daging

10

untuk menggambarkan sentuhan dari kesatuan tak terpisahkan antara aku dan
duniaku ini - yang dia istilahkan sebagai chiasmus. Bukan pikiran yang
pertama-tama mengidentifikasi persentuhan sesuatu dengan tubuh, tetapi
daging. Hanya saja di tahap primordial ini daging berikatan atau bersentuhan
dengan

sesuatu

(misalnya

hawa

udara

atau

kulit

tangan)

tanpa

mengobjektivikasikan sesuatu itu. Objektivikasi hanya terjadi di tahap reflektif,


tahap sesudah tubuh memancarkan pengetahuan untuk ditangkap pikiran.
Inilah mengapa paham monisme murni sangat kental di perspektif ini: Aku
adalah (juga) tubuhku. Tubuh-subjek adalah entitas atau realitas tunggal
yang bukan mental bukan pula fisik, tetapi serempak keduanya. Penerimaan
informasi pengetahuan apapun, termasuk dalam aktivitas fisik, dikelola oleh
aku yang sekaligus jiwa dan tubuh (Meier, dalam Morgan dan Meier (ed.),
1995; Pramono, 2014).
Berdasarkan pemahaman primordial tersebut, tubuh yang bersamasama jiwa berada sebagai satu kesatuan tak terpisahkan sesungguhnya
merupakan lautan pengetahuan maha luas. Hanya sebagian dari pengetahuan
itu yang tersaring sebagai pengetahuan yang disadari, pengetahuan jiwa.
Kondisi primordial ini adalah kondisi sangat azali, sangat alami, yang belum
dikenai standar-standar produk pemikiran apapun. Kepolosan dan kealamiahan
kesadaran tubuh inilah yang bagi penulis dianggap penting untuk
memunculkan istilah tubuh yang mendidik, di mana tubuhlah yang
menggerakkan aku2 untuk berkarakter, berpengetahuan, bersikap, dan
bergerak dalam rentang kualitas tertentu.
Pendidikan jasmani menurut perspektif ini berarti optimalisasi tubuh
yang membentuk karakter tertentu, memberi pengetahuan tertentu, menuntun
untuk bersikap tertentu, dan memampukan bergerak sesuai ukuran tertentu.
Tentu saja kerja jiwa seperti pikiran, ingatan, atau kesadaran tetap penting,
namun lebih sebagai pengarah atau penyelaras. Patut ditekankan lagi, bahwa

Tanda petik untuk menandai pemaknaan teks yang sebenarnya tidak relevan di kondisi penyatuan
atau chiasmus.

11

hubungan tubuh dan jiwa ibarat dua sisi dari uang yang sama. Satu substansi
dari dua aspek manunggal dari diri manusia.

3. Bidang Studi dan Fokus Aktivitas


Di Indonesia, pendidikan jasmani dan olahraga merupakan bagian dari
olahraga pendidikan, satu di antara tiga domain ruang lingkup olahraga dalam UU
No. 3 SKN (Sistem Keolahragaan Nasional).

Dua domain yang lain adalah

olahraga rekreasi dan olahraga prestasi. Adanya olahraga prestasi sebagai domain
tersendiri secara tegas mengindikasikan bahwa pendidikan jasmani tidak
diarahkan untuk menelurkan olahragawan berprestasi, tetapi untuk tujuan yang
segaris dengan Sistem Pendidikan Nasional. Jabaran UUD 1945 tentang
pendidikan yang dituangkan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 3
menyebutkan,
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka
mencerdaskan
kehidupan
bangsa,
bertujuan
untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Pendidikan jasmani, menurut logika hukum, berada di wilayah pembidangan
pendidikan, yang berarti juga patuh pada tujuan pendidikan nasional (bukan untuk
tujuan lain). Tentu saja ada rasionalisasinya ketika melalui pendidikan jasmani,
olahraga prestasi mendapatkan bibit olahragawan sejak usia dini.
Pembentukan habituasi olahraga seperti suasana menyenangkan dalam
beraktivitas, pengajaran keterampilan gerak yang benar, penanaman nilai-nilai
sportivitas, motivasi berolahraga yang tinggi, adalah beberapa relevansi
pendidikan jasmani terhadap identifikasi dini olahraga prestasi di lembaga
pendidikan. Tetapi pendidikan jasmani tidak valid untuk diarahkan membentuk
olahragawan prestasi, karena, sekali lagi, bukan itu tujuan pendidikan jasmani.
Konsekuensinya, guru/dosen yang memberi materi dominan olahraga prestasi di
mata

pelajaran/kuliah

pendidikan

jasmani,

berarti

melakukan

tindakan

12

menyimpang, baik secara legal maupun substansial. Prestasi ke-cabor-an (cabang


olahraga) hanya bagian kecil (bukan dominan) dari keseluruhan muara pendidikan
jasmani. Badan Standar Nasional Pendidikan (2006) mengeksplisitkan hal ini:
Pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan merupakan bagian integral
dari pendidikan secara keseluruhan, bertujuan untuk mengembangkan
aspek kebugaran jasmani, keterampilan gerak, keterampilan berpikir
kritis, keterampilan sosial, penalaran, stabilitas emosional, tindakan
moral, aspek pola hidup sehat dan pengetahuan lingkungan bersih
melalui aktivitas jasmani, olahraga dan kesehatan yang dirancang
secara sistematis dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional.
Pendidikan jasmani memang berobjek kajian jasmani, tetapi tidak
sembarang keberadaan atau aktivitas jasmani. Pendidikan jasmani lebih
mengarusutamakan jasmani dalam konteks dasar-dasar keterampilan gerak yang
benar dalam konteks keolahragaan atau kesehatan. Itulah sebabnya Ivo Jirasek
menggantikan istilah physical education dengan kinanthropology untuk
menekankan pada fokus aktivitas jasmani yang terarah pada konteks keolahragaan
dan kesehatan (Jirasek, 2003).
Literasi jasmani (physical literacy) dalam konteks kesehatan atau
keolahragaan, bisa menjadi tema utama sekaligus muara dari pendidikan jasmani.
Tubuh tidak hanya didekati dari sudut pandang ilmu keolahragaan atau
pendidikan jasmani, tetapi juga bisa dilihat dari berbagai bidang kajian lain seperti
kesehatan/kedokteran, fisika, biokimia, bahkan sosiologi atau sejarah. Literasi
jasmani dalam konteks pendidikan jasmani oleh karenanya dibatasi pada
penguasaan aspek-aspek mendasar tentang tubuh, entah fisiognomi dasar,
keterampilan gerak dasar, sosioantropologi dasar. Penguasaan

wawasan

kebertubuhan dasar ini pada akhirnya memberi ruang pada guru/dosen dan
siswa/mahasiswa untuk selalu membuka diri terhadap kerelatifan kebenaran
tentang tubuh sekaligus membuka diri terhadap ruang-ruang gelap yang belum
sepenuhnya disibak oleh pengetahuan modern. Tulisan Frithjof Capra (1997) atau
Deepak Chopra (1996) yang mempersandingkan kearifan timur dengan sains
mutakhir, masih sangat relevan dipertimbangkan sebagai cakrawala wawasan
kebertubuhan yang terbuka dan unfinished truth.

13

Tubuh sebagai objek sebagamana tergambar di sepanjang sejarah ilmu dan


filsafat di berbagai belahan dunia, pada hakikatnya memposisikan tubuh selalu
dalam posisi subordinat jiwa. Pandangan subordinasi tubuh (tubuh sebagai objek)
memang tidak perlu dipersalahkan atau dikhawatirkan, termasuk dalam proses
pendidikan jasmani, selama tubuh tidak diperlakukan sebagai semata-mata objek
pemuas jiwa yang dipaksa-paksa, dimanipulasi, diracuni, atau bahkan dimutilasi
untuk melayani kebutuhan jiwa. Kasus kerja paksa, doping atlit, operasi
penghilangan jari kelingking kaki untuk peraga sepatu, dan sejenisnya adalah
contoh perlakuan tidak pada tempatnya bagi tubuh. Dominasi instrumentalisme
kebudayaan kontemporer yang fokus pada manusia sebagai homo faber
memungkinkan pandangan sesat terhadap relasi tubuh dan jiwa yang bisa dan
sudah terjadi. Penolakan dan kewaspadaan beberapa pemikir seperti Maine de
Biran, Ludwig Feuerbach, Friedrich Nietzsche, Merleau-Ponty, dan Gabriel
Marcell mewakili paham yang mengangkat objektivikasi tubuh ke pemikiran
sebaliknya: subjektivitas tubuh.

4. Revolusi Kopernikan Tubuh


Tubuh adalah subjek, atau, Aku adalah tubuhku. Tubuh bukan sejenis alat
sebagaimana gunting untuk memotong kertas, bukan pula wadah tempat jiwa
tumbuh berkembang. Tubuh adalah subjek kesatuan manusia dengan dunianya.
Subjek tidak bisa dipisahkan dari tubuh (Merleau-Ponty, 1962). Manusia
terhubung dengan dunia pertama-tama bukan oleh jiwanya, tetapi oleh tubuhnya.
Menurut Merleau-Ponty, seseorang adalah tubuhnya, dan berbeda dengan
Descartes, seseorang tidak terhubung dengan tubuhnya sebagai objek eksternal.
Pengetahuan yang terlibatpun bukanlah pengetahuan reflektif. Inilah apa yang
disebut Merleau-Ponty sebagai kerajaan pra-objektif (Syamsuddin, 2014).
Persepsi merupakan fenomena jasmaniah (digunakan dalam arti yang sama
oleh penulis dengan istilah kebertubuhan), bukan peristiwa mental yang terjadi di
akhir rantai sebab-akibat fisis sebagaimana dugaan Descartes. Tubuhlah yang
menyadari, bukan pikiran. Artinya, aku menyadari bukan sebagai subjek
berhadap-hadapan dengan objek, namun sebagai agen-agen jasmaniah di dalam

14

dan terhadap dunia. Merleau-Ponty memahami persepsi sebagai aspek apa yang
disebutnya, mengikuti Heidegger, being in the world (tre au monde). Misteri
persepsi dengan demikian adalah misteri bahwa meskipun kita sendiri tertanam
di dalam dan bagian dari dunia, yang pada dirinya sendiri tidak sepenuhnya kabur
dan tak dapat dimasuki, namun terbuka bagi kita sebagai medan kesadaran dan
tindakan. Persepsi, demikian tulis Carman, adalah selalu sekaligus pasif dan
aktif, situasional dan praktis, terkondisikan dan bebas (Carman, 2008). Tubuh
dan dunia adalah dua entitas yang tak terpisahkan. Kepenuhan yang satu diperoleh
dengan menyentuh yang lain. Tubuh menjadi utuh dengan menyentuh dunia.
Sebaliknya dunia menjadi dapat dipersepsi dengan menyentuh tubuh (Pramono,
2014).
Struktur bawaan, kemampuan umum dasar, dan kemampuan kebudayaan
yang berangkat dari tubuh yang tumpang tindih dengan dunia dan kesadaran,
dalam penelitian ini dikerucutkan pada konsep dan konteks skill (kecakapan).
Merleau-Ponty menggunakan istilah habit (kebiasaan) sebagai sinonim skill,
sehingga ketika dia merujuk pada pencapaian kecakapan dia mengatakan
pencapaian kebiasaan (Merleau-Ponty, 1962). Kemampuan mengalami baginya
seolah sama dengan pencapaian kecakapan menubuh.
The analysis of motor habit as an extension of existence leads... to an
analysis of perceptual habit as the coming into possession of a world.
Conversely, every perceptual habit is still a motor habit and here equally
the process of grasping a meaning is performed by the body (MerleauPonty, 1962: 153).
Pancaran intensional (intentional arc)3 diajukan Dreyfus sebagai cara
mengokohkan persepsi dan aksi kecakapan, suatu cara kecakapan menubuh dalam
menentukan cara segala sesuatu menunjukkan diri ke seseorang (Dreyfus, 1996).
3

Fenomena inti dari perhatian ke fenomenologis adalah intensionalitas suatu kelangsungan


objek (the object-directedness), atau ke-apa-an (aboutness) dari pengalaman. Intensionalitas
sebagai salah satu tema pokok dan dasar fenomenologi digunakan oleh Husserl untuk
menunjukkan hubungan kesadaran dengan objeknya (dalam konteks pengenalan), namun pada
Merleau-Ponty paham yang sama terutama berperan untuk melukiskan kaitan subjek dengan
dunianya. Bagi Merleau-Ponty kaitan subjek dengan dunianya bersifat pra-reflektif, artinya
mendahului segala refleksi dan kesadaran. Ini bukan lagi dalam konteks pengenalan, tetapi pada
taraf eksistensi.

15

Pancaran intensional ini dianggap sebagai interkoneksi menubuh dari tindakan


dan persepsi kecakapan.

Tubuh yang mendidik digambarkan dengan cara

pancaran intensional ini: mengangkat kesatuan perseptual pra-reflektif subjek


didik, dunia, dan kesadaran sebagai awal dari kesadaran reflektif untuk
mengidentifikasi,

mengklasifikasi,

menstrukturisasi,

mensistematisasi,

dan

seterusnya, berbagai konsep hasil dari pancaran-pancaran intensional terpilih.


Literasi jasmani mengokohkan pancaran intensional ini dalam rangka
mengkonstruksi berbagai hal, dalam hal ini me(re)konstruksi pemahaman, sikap,
dan arah bagaimana seseorang (siswa/mahasiswa) memperlakukan tubuhnya dan
tubuh yang-lain, menyimpulkan sesuatu dari kesadaran menubuh tersebut
(misalnya pembentukan karakter), serta memproyeksikan kebertubuhannya dalam
konteks

kebertubuhan

(dan,

dengan

demikian,

kemanusiaan)

universal.

Pendidikan jasmani tidak lagi sekedar mengobjektivikasi tubuh, tetapi justru


tubuhlah yang menjadi subjek mendidik darinya berbagai konsep, teori, atau
tindakan mengambil tempat yang semestinya. Komunikasi literasi jasmani dengan
pancaran intensional ini bersifat niscaya dan terus menerus, sehingga pendidikan
jasmani juga sudah semestinya dilihat sebagai proses pendidikan yang terbuka dan
dinamis.
Meskipun pancaran intensional ini tidak selalu (bahkan jarang) signifikan
bagi munculnya revisi literasi tubuh yang sudah ada, tetapi tubuh universal juga
tidak selalu sepenuhnya dipatuhi oleh tubuh subjektif. Ini berarti, seorang siswa
bisa saja memiliki kekhasan untuk mampu berenang cepat di lintasan yang
ditentukan, misalnya dengan memejamkan mata di setiap hitungan atau tanda
tertentu, di luar apa yang diinformasikan oleh literasi jasmani yang ada.
Pengalaman pada dirinya sendiri selalu bersifat sangat subjektif dan spontan atau
pra-kesadaran sebagai gambaran dari proyeksi-proyeksi pancaran intensional terus
menerus tersebut. Pengalaman ini untuk menjadi pengetahuan bersama,
dikoneksikan dengan berbagai wawasan yang sudah ada, dalam hal ini literasi
jasmani. Pengalaman tubuh, oleh karena itu, selalu merupakan penjumlahan
pancaran intensional tak terbatas sebagai karakter primordial dari Aku
(digambarkan secara detail melalui model berikut ini).

16

Pengalaman tubuh
Jumlah seluruh pengalaman yang menyatu sebagai Aku, yang dibuat dalam pengembangan tubuh
sendiri baik individual maupun sosial, menjadi kognitif atau afektif, sadar atau tak sadar

Skema Tubuh
Aspek neurofisiologis dari pengalaman
tubuh, mengisi seluruh tampilan perspektifkognitif dari individu tentang tubuhnya
sendiri

Kesan Tubuh
Aspek psikologis-fenomenologis dari
pengalaman tubuh yang mengisi seluruh
tampilan
emosional-afektif
individu
tentang tubuhnya sendiri

Orientasi Tubuh
Orientasi dalam dan pada tubuh sendiri
dengan sensibilitas luar dan dalam,
khususnya persepsi kinesthetik

Kesadaran Tubuh
Representasi psikologis dari tubuh atau
bagian tubuh dalam pikiran individual atau
perhatian langsung ke arah tubuh sendiri

Estimasi Ukuran Tubuh


Estimasi dimensi ukuran dan ruang tubuh
sendiri

Batas Tubuh
Pengalaman batas-batas tubuh; tubuh
dalam perbedaannya dengan lingkungan

Pengetahuan Tubuh
Pengetahuan faktual bangunan dan fungsi
tubuh serta bagian-bagiannya termasuk
perbedaan kanan-kiri

Sikap-Sikap Tubuh
Sikap total ke arah tubuh dan
penampakannya, khususnya kepuasan
tubuh (atau ketidakpuasannya)

Gambar 1. Model struktural pengalaman tubuh (Pramono, 2014: 97)

Aktivitas jasmani (olahraga maupun non-olahraga) didominasi pengalaman


langsung. Pengalaman langsung tidak mengenal apapun objek murni, namun
selalu berupa subjek yang mengalami. Subjek yang mengalami dalam
persentuhannya dengan dunia ini adalah subjek alami, subjek yang ada hanya
melalui tubuhnya (Syamsuddin, 2014). Ilustrasi tentang mengendarai mobil yang
diketengahkan Merleau-Ponty sebagai corporeal schema, menarik untuk lebih
memahami pengalaman langsung tersebut dalam arti praktis. Saat mengendarai
mobil, seseorang tidak berpikir tentang mobil, namun berpikir sebagai mobil,
dari sudut pandang mobil. Konsentrasi di jalan tidak dapat terjadi jika seseorang
masih berpikir tentang mobil. Mobil telah menubuh dalam corporeal schema

17

seseorang itu dan dengan demikian menjadi perluasan tubuh manusia


(Syamsuddin, 2014).
Instruktur/guru/dosen dalam membelajarkan pendidikan jasmani menurut
logika ini tidak mencukupkan diri dengan menyodorkan diktat/modul/buku sesuai
kurikulum untuk dilaksanakan di kelas secara bersama-sama, namun juga selalu
mengkomunikasikan pengalaman siswa sebagai feed back berharga yang bisa saja
direkonseptualisasikan

sebagai

modifikasi

(penambahan,

pengubahan,

pengurangan) dari materi yang sudah ada. Ayunan antara tubuh sebagai objek
dan tubuh sebagai subjek terus menerus terjadi bahkan dalam hitungan yang
serentak dalam proses pendidikan jasmani. Pendidikan jasmani di satu sisi
menempatkan jasmani sebagai objek, tetapi di saat yang sama menempatkannya
sebagai subjek. Pengetahuan yang berjalanpun, tidak hanya berasal dari luar,
yang universal, tetapi juga bisa berasal dari dalam, yang subjektif; tidak
hanya berasal dari buku-buku, modul, literasi tubuh, perundang-undangan, tetapi
juga bisa berasal dari pengalaman spontan dan otentik dari tubuh.
Setidaknya ada konsekuensi filosofis ketika cara pandang relatif terhadap
posisi objek dan subjek suatu hal dianalisis secara intensif, bahkan bisa jadi hal itu
menghasilkan suatu revolusi kopernikan (meminjam istilah Kant untuk usahanya
mengubah arah pandang proses berpikir filsafat). Revolusi kopernikan
pengalaman tubuh di pendidikan jasmani ini memang mengkonsekuensikan
pembalikan cara pandang: yang semula tubuh semata-mata objek yang diberi
perlakuan atau diisi pengetahuan tertentu, diubah secara drastis bahwa tubuh
adalah subjek yang mendidik. Manusia yang di posisi subjek didik pendidikan
jasmani, berarti senantiasa memeriksa cara pandang terhadap tubuhnya dalam
kaitannya dengan berbagai dimensi ketubuhannya mulai dari dimensi fisiognomi
hingga psikososial, dari struktur fisik ke universalitas entitas, dari urusan perut
hingga ke urusan spiritual.

C. Simpulan
Literasi jasmani adalah kecenderungan untuk mendayagunakan kapabilitas
tubuh di mana individu tersebut memiliki motivasi, kepercayaan diri, kompetensi

18

jasmani, pengetahuan, dan pemahaman untuk menilai dan mengambil tanggung


jawab dalam menjaga pencapaian dan aktivitas fisik yang bermanfaat di sepanjang
hidupnya. Literasi jasmani tidak hanya berkaitan dengan gaya hidup, tetapi juga
dengan hidup itu sendiri. Semua pemenuhan standar kebutuhan dan kepentingan
tubuh sejak dari hal-hal fisiologis (makan, minum, seks), hingga sosio-psikologis
(citra tubuh ideal) berhubungan dengan orientasi kebertubuhan filosofis yang
memberikan dasar paradigmatik metafisis: tubuh seperti apa yang hendak
dicitrakan, diidealisasikan, diwacanakan, atau bahkan ditransendensikan. Apakah
tubuh hendak ditundukkan demi kebutuhan dan kepentingan jiwa semata seperti
kepuasan, kebanggaan, keberadaban, dan juga kerelijiusan? atau secara holistik
mengangkat tubuh sebagai subjek yang mendidik manusia menuju hidup yang
sungguh-sungguh berharga jiwa dan raga?
Literasi jasmani dengan demikian juga menentukan penghargaan individu
terhadap tubuhnya dan tubuh individu-individu lain. Literasi jasmani tidak harus
semata-mata melihat jasmani sebagai objek, tetapi juga sebagai subjek. Tubuh di
satu saat adalah objek yang dikaji, diteliti, dilatih, didisiplinkan, tetapi seketika itu
pula bisa menjadi subjek yang mendidik jiwa untuk menyadari kesatuan
primordial tubuh dan jiwa dengan dunianya.
Literasi jasmani, jika dikedepankan dalam pendidikan jasmani, entah
dalam konteks tubuh sebagai objek maupun sebagai subjek, maka keseluruhan
paradigma tubuh yang dihabituasikan ke subjek didik niscaya akan menentukan
hidup sang subjek didik, dan kehidupan dengannya sang subjek didik menjalin
jaringan. Pendidikan jasmani sesungguhnya tidak hanya mendidik tubuh atau
melalui tubuh berproseslah kemanusiaan sang subjek didik, tetapi pendidikan
jasmani juga berarti pendidikan oleh tubuh, atas dasar itu hidup kemanusiaan utuh
material-spiritual, jiwa-raga.

19

DAFTAR PUSTAKA

Badan Standar Nasional Pendidikan, 2006, Standar Kompetensi dan Kompetensi


Dasar, BSNP.
Bertens, K., 2001, Filsafat Barat Kontemporer: Prancis, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Capra, Fritjof, 1997, Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat dan Kebangkitan
Kebudayaan, alih bahasa: M. Thoyibi, Yayasan Bentang Budaya,
Yogyakarta.
Carman, 2008, Merleau-Ponty, Routledge, Oxon.
Chopra, Deepak, 1996, Tubuh Yang Tak Kenal Tua, Pikiran Abadi: Alternatif
Untuk Menjalani Kehidupan, alih bahasa T. Hermaya, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Corbin CB. 2016. Implications of Physical Literacy for Research and Practice: A
Commentary. Research Quarterly for Exercise and Sport 87: 1427.
doi: 10.1080/02701367.2016.1124722 PMID: 26889581.
Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat
Bahasa Edisi Keempat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Dreyfus, Hubert L., The Current Relevance of Merleau-Ponty's Phenomenology of
Embodiment, dalam The Electronic Journal of Analytic Philosophy, 4
(Spring 1996) Philosophy Department, Sycamore Hall 026, Indiana
University, Bloomington.
Higgs, C. 2010. Physical Literacy: Two Approaches, One Concept. Physical and
Jealth Education. Spring, 6-7.
Jirsek, I, 2003b, Philosophy of Sport, or Philosophy of Physical Culture? an
Experience from the Czech Republic: Philosophical Kinanthropology,
dalam Sport Education and Society, 8(1), 2003b, 105117.
Journal of Sport and Health Science, Volume 4, Issue 2, Pages 105-210 (June
2015), http://dx.doi.org/10.1016/j.jshs.2015.03.001.
Killingbeck M, Bowler M, Golding D, Gammon P. 2007. Physical Education and
Physical Literacy. Physical Education Matters 2: 2024.

20

Mandigo, J., Francis, N., Lodewyk, K., & Lopez, R. 2012. Physical Literacy for
Educators. Physical Education and Health Journal. 75(3). 27-30.
Meier, K.V., 1995, Embodiment, Sport and Meaning, dalam William J. Morgan
dan Klause V. Meier (ed.), Philosophic Inquiry in Sport, Second
Edition, Human Kinetics, Champaign, USA.
Merleau-Ponty, M., 1962, The Phenomenology of Perception, Colin Smith
(transl.), Routledge and Kegan Paul, London.
Morrison R. 1969. A Movement Approach to Educational Gymnastics. London:
J.M. Dent & Sons.
Newell, Karl M., 1990, Physical Education in Higher Education: Chaos Out of
Order, Quest, 42:3, 227-242. Published online 2012.
PHE Canada. 2014. What is Physical Literacy? Physical and Health Education
Canada; Available at: http://www.phecanada.ca/programs/physicalliteracy/what-physical-literacy. Accessed April 22, 14 A.D.
Pramono, Made, 2003, Peran Fenomenologi Tubuh dalam Pengembangan Ilmu
Keolahragaan, Tesis, Pasca Sarjana Ilmu Filsafat UGM Yogyakarta,
Tidak diterbitkan.
----------, 2004, Filsafat Olahraga, Unesa University Press, Surabaya.

----------, 2014, Konsep Tubuh-Subjek Maurice Merleau-Ponty dalam Perspektif


Ontologi dan Sumbangannya bagi Rekonstruksi Filsafat Ilmu
Keolahragaan, Disertasi, Pasca Sarjana Ilmu Filsafat UGM
Yogyakarta, Tidak diterbitkan.
----------, 2015, Filsafat Ilmu Keolahragaan, , Unesa University Press, Surabaya.

Roetert EP, Jefferies SC. 2014. Embracing Physical Literacy. Journal of Physical
Education, Recreation and Dance 85: 3840.
Sukendro, 2012, Telaah Kurikulum Pendidikan Jasmani di Indonesia, Jurnal
Cerdas Sifa Pendidikan. Vol. 1 No. 1. Hal. 1-9.
Syamsuddin, M.Mukhtasar, 2014, Mind-Body Interconnection (A Philosophical
Investigation on the Western and Eastern Approaches to the Human
Nature), Kanisius, Yogyakarta.

21

Tremblay MS, Colley RC, Saunders TJ, Healy GN, Owen N. 2010. Physiological
and Health Implications of a Sedentary Lifestyle. Appl Physiol Nutr
Metab. 2010; 35(6):72540.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang No. 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional.
UNESCO. 2004. The Plurality of Literacy and Its Implication for Policies and
Programmes (Position Paper, UNESCO Education Sector). France:
Author.
Retrieved
from
http://unesdoc.UNESCO.org/image/0013/001362/126246e.pdf.
UNESCO. 2015. Quality Physical Education: Guidelines for Policy Makers. In:
UNESCO (Ed.). Paris.
Whitehead, M. 2001. The Concept of Physical Literacy. European journal of
Physical Education. 6. 127-138.
-----------------. 2010. The Concept of Physical Literacy. In Whitehead, M. (Ed.).
Physical Literacy through the Lifecourse. (pp. 10-20). London:
England.
-----------------. 2013a. Definition of Physical Literacy and Clarification of Related
Issues. ICSSPE Bulletin. 65. Oktober.
-----------------. 2013b. The History and Development of Physical Literacy.
ICSSPE Bulletin. 65. Oktober.
-----------------.
2014.
International
Physical
https://www.physical-literacy.org.uk/.

Literacy

Association.

Whitehead ME, Murdoch E. 2006. Physical Literacy and Physical Education:


Conceptual Mapping. Physical Education Matters 1: 69.

22

Anda mungkin juga menyukai