Sumba
ISBN 978-602-1124-01-7
INFORMASI
Bidang Rekayasa Sistem
Pusat Teknologi Konversi dan Konservasi Energi (PTKKE)
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
Gedung 625, Klaster Energi, Puspiptek, Serpong
Tlp. (021) 75791366
Fax. (021) 75791366
2013
DAFTAR ISI
Kata Pengantar........................................................................................................ i
Daftar Isi................................................................................................................... iii
Daftar Gambar......................................................................................................... v
Daftar Tabel............................................................................................................. vii
Bab I
Pendahuluan..................................................................................
1.2
Gambaran Umum............................................................................... 2
1.2.1 Sub-sistem PV pada smart micro grid -Sumba....................... 2
1.2.2 Karakteristik listrik dan mekanik modul PV A:Si/c-Si............. 5
1.2.3 Penyangga array PV (module Support)..............................
Data Pengukuran.......................................................................11
1.3.1 Pengukuran open-circuit voltage (V oc )................
11
13
iii
1.5
2013
Analisis...........................................21
1.5.1 Tegangan kerja sistem PV...................... 21
1.5.2 Resistansi grounding......................
21
1.6
Bab II
22
22
Rekomendasi............................................23
PENGUJIAN SISTEM BATERAI DAN PCS...................................... 24
2.1
Pendahuluan...................................................................................
24
2.2
28
30
31
34
34
Data Pengukuran.............................................
37
37
BPPT-PTKKE
iv
2013
38
39
40
41
Analisis..............................................
41
41
Kesimpulan.............................................. 42
2.6
Rekomendasi..............................................
Bab III
43
Pendahuluan..................................................................................... 44
3.2
Gambaran Umum.............................................................
44
44
BPPT-PTKKE
3.4
2013
53
Kinerja/Analisa.............................................58
3.6
Kesimpulan..............................................60
3.7
Rekomendasi.. ........................................
Bab IV
4.1
60
62
63
4.2
64
65
66
73
77
vi
2013
4.3
87
4.3.1.1 Home........ 87
4.3.1.2 Overview.......... 88
4.3.1.3 PLTS (photovoltaic) sub-station......... 88
4.3.1.4 VRB (storage) sub-station......... 91
4.3.1.5 PLTD Waitabula sub-station......... 92
4.3.1.6 PLTMH Lokomboro sub-station........ 94
4.3.1.7 PLTD Waikabubak sub-station........ 95
4.3.1.8 Load sheeding......... 96
4.3.1.9 Energy management system (EMS)........ 97
4.3.1.10 Alarm.......... 98
4.3.1.11 Event.......... 98
4.3.1.12 Trend.......... 99
4.3.1.13 Data history........... 100
4.4
102
4.4.2 Saran.......................................................
102
BPPT-PTKKE
vii
2013
KATA PENGANTAR
Pada saat sekarang ini, kualitas daya (power quality) dan keandalan menjadi isu kunci bagi
penyedia, distribusi, dan konsumen tenaga listrik.
Untuk meningkatkan keandalan dan kualitas daya listrik, maka pengintegrasian
energi terbarukan ke dalam sistem tenaga listrik dengan pemanfaatan kemajuan teknologi
komunikasi, komputer dan cyber untuk melakukan pengendalian dan pegoperasian dalam
menyalurkan energi listrik perlu dilakukan.
Dengan mengimplementasikan smart grid dalam semua aspeknya akan memberikan
keuntungan yang lebih besar karena jumlah pembangkit terbarukan dan unit penyimpan
yang terdistribusi dan terintegrasi meningkat dan tentunya emisi CO 2 menurun, efisiensi
meningkat dan biaya operasional menurun, keandalan meningkat melalui optimalisasi
jaringan karena memiliki kemampuan mengoreksi diri atau penyembuhan diri.
Pilot project demo plant smart micro grid Sumba yang mulai dirintis oleh BPPT
sejak tahun 2011, merupakan langkah awal dari upaya untuk mengadopsi dan menguasai
teknologi tersebut. Targetnya adalah untuk memberikan sarana dalam pengkajian
penerapan teknologi smart microgrid, dan sekaligus kajian pengoperasian system
kelistrikan dengan kontribusi yang optimal dari sumber-sumber energi terbarukan melalui
kemampuannya dalam mengintegrasikan pembangkit energi terbarukan yang tersebar
dalam sistem ketenagalistrikan, sekaligus meningkatkan kualitas daya pada grid. Pada
kurun waktu 2011 dan 2012 dilakukan perencaan sistem dan pembangunan fasilitas Demo
Plant tersebut. Demo plant, khususnya sub-sistem solar PV plant dan smart diesel plant,
telah beroperasi semenjak diresmikan pada bulan Juni 2012. Konsep rancang bangun dari
sistem ini adalah untuk memungkinkan penetrasi sistem Solar PV dengan tingkat yang
tinggi, yang pada umumnya penetrasi energi terbarukan non-dispatchable dibatasi hingga
20% beban dasar. Dalam Demo Plant ini digunakan sistem manajemen energi (kelistrikan)
dalam optimasi pemanfaatan energi terbarukan yang menggunakan fotovoltaik skala besar
dengan kapasitas 500 kWp, dilengkapi dengan peralatan penyimpanan energi VRB
(Vanadium Redox Battery) dengan kapasitas 0f 500 kWh/hari, yang memungkinkan lebih
dari 30% tingkat penetrasi terhadap beban dasar system sekitar 1.200 kW, beroperasi
bersama-sama dengan 3 unit mikro hidro dengan total kapasitas 1.800 MW, dan 13 Unit
pembangkit listrik diesel yang ada dengan total kapasitas 4,946 MW.
Kegiatan selama 2013 adalah pengujian atau evaluasi dari demo plant smart micro
grid Sumba yang mengintegrasikan sumber energi terbarukan dengan sistem kelistrikan
lokal di Pulau Sumba ( low electrification area). Kegiatan tahun ini ditutup dengan
pelatihan untuk operator dari pihak PLN dan Pemda untuk pelaksanaan pengoperasian dan
perawatan demo plant, sehingga mulai tahun depan demo plant dapat beroperasi secara
kontinyu, dan sekaligus menjadi fasilitas untuk peningkatan kapasitas SDM di bidang
teknologi yang baru ini.
Perjalanan demo plant selama 2 tahun ini telah banyak memberikan pelajaran dan
proses belajar yang diperoleh dari proyek ini. Peningkatan pengetahuan dan kemampuan
teknis operator PT. PLN terhadap sistem PLTS skala besar merupakan hal yang terpenting
PTKKE-BPPT
2013
PTKKE-BPPT
ii
2013
BAB I
PENGUJIAN SISTEM FOTOVOLTAIK (PLTS)
1.1 Pendahuluan
Sistem fotovoltaik atau yang dikenal dengan sistem pembangkit listrik tenaga surya
(PLTS) yang terkoneksi dengan jala-jala membentuk smart micro grid di daerah Sumba
Barat Daya mempunyai kapasitas daya 500 kWp. Jenis sel surya yang digunakan adalah
thin film amorphous silicon (a-Si) menggunakan teknologi double junctions dari jenis
micro-crystal silicon (a-Si/c-Si). Setiap modul PV thin film yang digunakan mempunyai
kapasitas daya 107,5 Wp, konversi efisiensinya sekitar 10%, dengan ukuran luas 1,43 m2
(panjang 1,3 meter dan lebar 1,1 meter). Dengan demikian jumlah modul PV yang
digunakan dalam sistem PLTS ini sekitar 4.652 unit, dan membutuhkan luas lahan sekitar
70.000 m2. Bila diasumsikan peak sun hour di daerah Sumba Barat Daya sekitar 5 jam
per-hari, maka jumlah energi listrik yang dihasilkan dari sistem PLTS tersebut per-harinya
sekitar 2.500 kWh.
Sistem PLTS yang terpasang merupakan salah satu pembangkit listrik dari sumber
energi terbarukan pada sistem kelistrikan smart micro grid di Sumba Barat Daya. Sistem
pembangkit lainnya adalah PLTMH dengan total daya sekitar 2,3 MW yang dihasilkan dari
5 unit PLTMH yang tersusun secara serial dari satu aliran sungai. Pembangkit listrik
lainnya berasal dari genset yang tersebar di daerah Waitabula dan Waikabubak dengan
kapasitas daya total masing-masing sekitar 3,23 MW dan 2,3 MW. Dengan adanya sistem
PLTS, maka beban listrik pada siang hari sebagian besar dapat dipenuhi dari sistem
tersebut. Sehingga diharapkan dengan pemanfaatan energi terbarukan ini sebagian genset
dapat di-OFF-kan pada siang hari dan pemakaian bahan bakar dapat dikurangi.
Sistem PLTS ini dilengkapi dengan sistem penyimpanan energi listrik atau battery
bank. Kelebihan energi listrik pada jaringan akan disimpan pada sistem battery, dan pada
kondisi tertentu akan dilepaskan kembali saat jaringan membutuhkan energi listrik. Sistem
battery ini mampu menjaga keseimbangan input dan output pada jaringan dengan demikian
terjadi pula keseimbangan tegangan dan frekwensi listriknya.
Sistem PLTS ini juga dilengkapi dengan 5 unit inverter yang masing-masing
mempunyai kapasitas daya 5 kW. Fungsi inverter adalah merubah arus dan tegangan listrik
DC keluaran array PV menjadi arus dan tegangan listrik AC. Keluaran listrik kelima
inverter dialirkan ke jaringan menengah 20 kV melalalui trafo step up 630 kVA. Keluaran
dan pemasukan energi listrik pada battery bank juga melalui trafo terpisah dengan
kapasitas daya yang serupa. Untuk mengetahui jumlah energi listrik yang dihasilkan oleh
sub-sistem PV yang disalurkan ke jaringan dengan jumlah energi listrik yang disimpan ke
battery bank, akan dipasang kWh meter pada sisi tegangan rendah 380 V (3). Dengan
demikian akan deperoleh selisih energi listrik yang disalurkan ke jaringan dengan yang
digunakan untuk charging battery bank.
PTKKE-BPPT
2013
Gambar 1.1. Skematik sistem smart micro grid di Kab. Sumba Barat Daya
Selanjutnya pada gambar 1.2 diperlihatkan susunan instalasi array PV dengan
kapasitas daya total 500 kWp. Setiap 6 unit modul dihubungkan secara seri untuk
membentuk satu unit array PV yang menghasilkan tegangan V oc (open circuit voltage)
sekitar 759 volt, atau tegangan maksimum V mp (maximum power-voltage) sekitar 559 volt,
dan arus listrik I sc (short-circuit current) 1,43 A, atau arus maksimum I mp (maximum
power-current) sekitar 1,18 A pada kondisi standar (STC) yakni pada radiasi 1000 watt/m2,
temperatur sel surya 25oC, dan sudut kedatangan cahaya tegak lurus terhadap modul PV.
Setiap 38-40 array PV disatukan dalam satu combiner box yang dihubungkan secara
paralel dalam busbar positip (+) dan negatip (-) untuk menghasilkan V mp sekitar 559 volt,
dan Imp sekitar 44,8 A - 47,2 A. Dengan demikian ada 20 unit combiner box yang
masing-masing terhubung dengan sub-sistem PV dengan kapasitas daya sekitar 25 kWp
yang diberi tanda abjad A,B,C, ........ T.Setiap 2 unit combiner box diparalelkan dalam
satu kotak collection box yang diberi penomoran 1,2,3 .... 10 seperti terlihat pada gambar
1.2. Selanjutnya setiap 2 unit collection box, yakni pasangan 1-6, 2-7, 3-8, 4-9, dan 5-10
yang setiap pasangan mempunyai kapasitas daya 100 kW menjadi input pada 1 unit
inverter (sebut inv-1) yang juga mempunyai kapasitas daya output AC 100 kW. Dengan
PTKKE-BPPT
2013
demikian total terdapat 5 unit inverter (inv 1, .... inv 5) yang ditempatkan di dalam gedung
(ruang) kontrol.
PTKKE-BPPT
2013
PTKKE-BPPT
2013
Pada tabel 1.2 ditunjukkan karakteristik mekanik dari modul PV a:Si/c-Si. Terlihat
jelas dimensi modul tersebut cukup luas, tersusun dari 2 jenis kaca yang berbeda masingmasing untuk permukaan depan sel dan permukaan belakang sel. Bobot modul cukup
berat yakni sekitar 23 kg per-modul, sehingga perlu perhatian khusus
PTKKE-BPPT
2013
pada saat menginstalasi, jangan sampai terjadi pemuaian yang menyebabkan kaca
melengkung bahkan pecah untuk jangka waktu yang lama, seperti yang pernah terjadi di
tempat penelitian sistem PV yang serupa, yakni jenis thin film di Tokyo Electron (TE) di
Taiwan. Sedangkan pada gambar 1.5 diperlihatkan dimensi dan ukuran dari modul PV
a:Si/c-Si.
2013
Pada gambar 1.7 diperlihatkan panel combiner box yang terpasang pada sistem PLTS di
Bilacenge. Panel combiner box atau junction box array PV adalah panel sistem tegangan
DC yang berisi saklar pemisah atau MCB, arrester, busbar positif dan negatif, dan
blocking diode. Combiner box ini ditempatkan pada salah satu PV array support modul.
Combiner box yang digunakan berjumlah 20 buah, terdiri dari 1 tipe. Dikarenakan
tegangan sistem maksimal sampai 900 Vdc (sesuai kapasitas inverter), dengan tegangan
array PV pada daya puncaknya adalah 759,6 Vdc maka agar MCB tidak rusak karena over
voltage maka dari tiap array PV melalui MCB dari ABB yaitu tipe S800 PV-S yang
mempunyai tegangan hingga > 800 Vdc.
PTKKE-BPPT
2013
a.
b.
c.
d.
e.
Manufacture : ABB.
Rated operating current : 10...125 A.
Rated operating voltage : 2 pole; up to 800 Vdc.
Operating temperatur : -250 700C.
Reference standard : IEC/EN 60947-2.
Output dari setiap 2 combiner box digabungkan ke dalam 1 collection box sebelum
dihubungkan dengan unit inverter.
1.2.5 Kabel array PV dan kabel power
Pada gambar 1.8 diperlihatkan jenis kabel yang digunakan pada sistem PLTS di Bilacenge.
Pemasangan kabel photovoltaic dan kabel power disesuaikan dengan kriteria yang
ditetapkan di RKS. Beberapa ketentuan tersebut adalah:
a. Identifikasi warna kabel mengikuti standar peraturan yang berlaku.
b. Installasi kabel terlindung dari gangguan hewan.
c. Semua lahan yang akan dipasang kabel telah dipersiapkan dengan baik.
PTKKE-BPPT
2013
Gambar 1.8. Jenis kabel yang digunakan pada sistem PLTS Bilacenge-Sumba
1.2.6 Panel distribusi PLTS
Pada gambar 1.9 ditunjukkan panel distribusi yang digunakan pada sistem PLTS di
Bilacenge. Panel distribution PLTS yang akan digunakan sebanyak 3 unit masing-masing
untuk output dari grid inverter, storage system dan genset. Distribution panel dilengkapi
dengan peralatan proteksi arus lebih, tegangan lebih dan indikator.
Spesifikasinya adalah sebagai berikut :
a. Kapasitas daya masing-masing 500 kVA untuk PV dan storage system dan 250 kVA
untuk genset.
b. Peralatan proteksi : pemutus (breaker).
c. Tegangan sistem : 220/380 V, tiga fasa,
d. Dilengkapi dengan volt meter, ampere meter, frekuensi meter, power meter dan kWh
meter 3 phasa analog.
e. Blank panel terbuat dari bahan anti karat.
PTKKE-BPPT
2013
sambaran petir. Nilai resistansi grounding harus memenuhi persyaratan kelistrikan, dan
nilai resistansi terbaik adalah < 1. Namun demikian nilai ini terkadang sulit untuk
dipenuhi pada lokasi-lokasi tertentu seperti daerah kapur, bebatuan, dll., sehingga
umumnya diminta persyaratan dengan nilai resistansi < 5. Pada gambar 1.10
diperlihatkan proses pemasangan kabel grounding menggunakan batang tembaga sebagai
inti dan kawat penghubung ukuran BC50, dan perangkat alat untuk mengukur nilai
resistansi dari grounding.
PTKKE-BPPT
10
2013
Semua peralatan utama atau semua metal yang terekspos ke tanah terhubung dengan
pentanahan (grounding) untuk pengamanan sistem. Peralatan elektrik tersebut
dihubungkan dengan copper earth grid dengan kriteria :
a. Koneksi pembumian antara earth grid terpisah menggunakan 2 konduktor.
b. Spesifikasi konduktor sesuai persyaratan listrik, lingkungan dan mekanikal yang
ditentukan.
c. Konduktor yang ditanam ukuran BC 50 mm atau sesuai arus hubung singkat
maksimum.
d. Koneksi antar konduktor terpasang baik dan sesuai dengan persyaratan.
Sebelum instalasi, dilakukan terlebih dahulu tes resistifitas tanah menggunakan
metoda wenner atau schlumberger pada musim terkering jika memungkinkan untuk
menjadi pertimbangan dalam instalasi sistem pentanahan.
1.3. Data Pengukuran
Setelah instalasi modul PV selesai dilaksanakan berikut sistem pengkabelannya dari array
PV ke combiner box, ke collection box, selanjutnya ke inverter, maka perlu dilakukan
pengukuran tegangan maupun arus listriknya untuk memastikan rangkaian sistem PV
bekerja dengan baik. Selain itu perlu pula dilakukan pemeriksaan fisik, visual terhadap
kondisi modul, kerapihan instalasi perkabelan, dan keamanan terhadap kemungkinan
short-current atau yang dapat membahayakan orang (tersengat listrik).
1.3.1 Pengukuran open-circuit voltage (V oc )
Pengukuran tegangan rangkaian-terbuka atau open-circuit voltage (V oc ) perlu dilakukan
untuk memeriksa sambungan antar modul secara seri terhubung dengan baik dan benar.
Nilai tegangan yang ditunjukkan pada alat ukur avometer adalah nilai penjumlahan dari
tegangan setiap modul PV yang terhubung seri. Gambar 1.11 menunjukkan aktivitas pada
saat pengukuran V oc setiap array PV pada combiner box. Dari tabel 1.1 menunjukkan nilai
V oc modul PV pada kondisi STC (1000 watt/m2, 25oC) adalah 126,6 V, maka nilai V oc
untuk 6 unit modul PV terhubung seri adalah 759,6 V. Dari literatur diperoleh informasi
bahwa nilai V oc akan turun sekitar -31,8 mV setiap kenaikan suhu 1oC, atau dengan kata
lain koefisien temperatur Voc dari sel surya a-Si/c-Si adalah -31,8 mV/oC. Artinya bila
temperatur sel surya di siang hari (outdoor) menunjukkan 65oC, maka nilai V oc nya akan
turun sekitar -31,8 mV/oC x 40oC = 18,9V. Sementara itu nilai V oc juga akan turun dengan
menurunnya nilai intensitas cahaya yang mengenai sel surya a-Si/c-Si. Dari tabel 1.1
diperoleh juga informasi bahwa nilai V oc = 126,6 V pada intensitas cahaya 1000 watt/m2,
nilainya turun menjadi 114,6 V pada 200 watt/m2. Bila diasumsikan penurunan nilai V oc
ini turun secara linear maka nilai penurunannya sekitar -0.014 watt/m2. Artinya bila modul
PV tersebut dikur pada tengah hari nilai temperatur selnya 70oC dan intensitas cahayanya
850 watt/m2 maka nilai V oc -nya sekitar 110,2 V, atau 661,2 V untuk array PV.
PTKKE-BPPT
11
2013
Gambar 1.12. Sebaran nilai V oc dari array PV pada salah satu Combiner Box
PTKKE-BPPT
12
2013
13
2013
Gambar 1.14. Pengukuran nilai resistansi grounding pada combiner box (kiri),
hasil pengukurannya untuk semua combiner box yang terpasang (kanan)
1.3.3 Kesesuaian nilai pengukuran
Perlu dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui kesesuaian angka hasil pengukuran
parameter listrik (tegangan dan arus listrik) menggunakan clamp digital meter dengan
angka yang ditunjukkan pada layar inverter. Hasil pengukuran dan pengamatan
ditunjukkan pada tabel 1.3. Terlihat jelas, terdapat kesesuaian nilai pengukuran dengan
angka yang ditunjukkan pada layar inverter, meskipun ada beberapa diantaranya ada
sedikit perbedaan yang tidak signifikan. Nilai tegangan yang ditunjukkan pada tabel 1.3
adalah nilai tegangan maksimum dari array PV bukan nilai tegangan V oc . Sementara itu
adanya selisih yang kecil dari nilai tegangan dan arus hasil pengukuran dan tampilan
inverter dimungkinkan adanya delay waktu pencatatan, dan juga perubahan yang cepat
pada intensitas cahaya. Pada gambar 1.15 diperlihatkan salah satu tampilan layar LCD
pada inverter. Angka yang dilingkari merah menunjukkan nilai tegangan dan arus listrik
DC keluaran dari sistem PV yang dibandingkan dengan nilai hasil pengukuran.
Tabel 1.3. Kesesuaian antara hasil pengukuran dan angka pada layar inverter
Inverter
Collection
box
Radiasi
W/m2)
886
3
4
5
1
6
7
3
8
4
9
5
10
855
878
901
880
900
860
855
870
866
Hasil Ukur
V (volt)
I (amp.)
473
89
477
92
486
96
485
90
Tampilan pd Inverter
V (volt)
I (amp.)
473
89
473
487
93,5
92,8
483
484
90,5
485,7
485
95,3
482
489
486
486
484
93,6
92,5
94
94
92
491
483
474
473
94,5
93,6
95,3
93,2
94,5
95,5
PTKKE-BPPT
14
2013
15
2013
normal, sehingga diprediksi kerusakan ada pada bypass dioda yang berada pada junction
box masing-masing modul PV. Dugaan ini benar, hampir semua array PV yang
bermasalah dengan V oc , ternyata disebabkan oleh kondisi bypass dioda yang terbakar,
seperti diperlihatkan pada gambar 1.17. Pada pengukuran tersebut ditemukan ada sekitar
35 modul PV yang mengalami kerusakan akibat bypass diode yang terbakar yang terdapat
pada sekitar 14 unit combiner box. Pada tabel 1.4 ditunjukkan jumlah array PV pada
setiap combiner box yang output tegangan listriknya tidak ada (V oc = 0 V).
Gambar 1.17. Bypass dioda yang terbakar pada junction box modul PV
Tabel 1.4. Array (string) PV pada combiner box yang nilai V oc = 0 V
Combiner box
String PV
A
B
22, 26, 29
35
F
G
H
I
29
K
L
29
PTKKE-BPPT
16
38
23
15, 24
2013
P
Q
R
39, 18
18
PTKKE-BPPT
17
2013
a. Percikan api pada blocking dioda, dan atau short-current disebabkan adanya uap air
pada combiner box, dan atau adanya binatang kecil, seperti cecak, karena jarak antara
katoda dan anoda pada dioda terlalu dekat.
b. Resistansi grounding yang kurang sempurna, yakni nilai resistansinya masih cukup
tinggi, sehingga memudahkan terjadinya percikan api, karena pada sisi grounding
terdapat muatan listrik.
Tegangan kerja DC yang diterapkan pada sistem PLTS di Bilacenge termasuk yang
cukup tinggi, yakni tegangan V oc =759,6 V, dan tegangan kerja (tegangan maksimum) V mp
sekitar 559,8 V. Hal ini menyesuaikan dengan pemilihan inverter yang mempunyai
tegangan input DC pada selang 450 850 V. Boleh dibilang tegangan kerja DC yang
digunakan pada sistem PLTS ini merupakan yang terbesar pada saat ini.
Seperti terlihat pada gambar 1.20, jarak antara katoda dan anoda (kutub positip dan
negatip dari array PV) sangatlah dekat setelah masing-masing kaki dioda dihubungkan
dengan kabel positip dan negatip. Terlihat jelas pula kaki-kaki pada katoda dan anoda
tidak dilindungi dengan isolator. Adanya perubahan cuaca, atau pergantian siang dan
malam, dapat menimbulkan uap air di dalam combiner box, yang selanjutnya mengembun
pada malam hari menimbulkan titik-titik air yang dapat menghubungkan katoda dan
anoda. Bila kondisi ini terjadi pada siang harinya maka short-circuit current tidak dapat
dihindarkan. Kebakaran dapat terjadi meskipun sub-sisem PLTS sedang tidak di-ON-kan
atau dioperasikan. Salah satu karakteristik dari arus DC adalah bila sudah terjadi shorcircuit maka kutub positip dan negatip akan tetap menempel, menghasilkan percikan api
yang cukup besar dan menimbulkan kebakaran. Blocking dioda yang berada di sekitarnya
PTKKE-BPPT
18
2013
akan ikut terbakar dan mengakibatkan shor-circuit yang lebih besar sehingga semua string
array PV pada combiner box tersebut akan terbakar, seperti terlihat pada gambar 1.21.
1.4.5
Ditemukan di lapangan bahwa kabel array PV yang sebelumnya terpasang di dalam tanah
dengan pelindung dari bahan pralon mengalami kerusakan akibat dirusak (digigit) oleh
tikus. Sehingga banyak array PV yang tidak menghasilkan arus-tegangan listrik karena
kabel array PV-nya terputus, seperti diperlihatkan pada gambar 1.22.
PTKKE-BPPT
19
2013
PTKKE-BPPT
20
2013
1.5. Analisis
1.5.1
Bila merujuk kepada tegangan maksimum array PV sebesar V mp = 559 V (pada kondisi
standar, STC) yang diperoleh dari 6 unit modul PV yang dihubungkan seri, maka seolaholah angka ini sudah cukup untuk memberikan input kepada inverter yang mempunyai
input tegangan batas terendah pada 450 V. Namun pada kenyataan di lapangan dengan
kondisi temperatur yang cukup panas, yang dapat menyebabkan temperatur sel (kaca)
mencapai 70oC, dan juga dengan perubahan intensitas cahaya yang terkadang cukup
ekstrim karena pengaruh awan, maka kadang terjadi nilai V mp pada kondisi nyata di
lapangan nilainya < 450 V. Bila hal ini terjadi, secara otomatis inverter akan OFF, yang
dapat menyebabkan jaringan listrik PLN mengalami trip karena tidak berimbangnya
antara kebutuhan dan pasokan listrik. Meskipun trip ini sifatnya sesaat, namun akan
sangat mengganggu pada sisi konsumen, karena sangat mengganggu kinerja rutin
masyarakat. Pada gambar 1.24 diperlihatkan rekam data pada kondisi inverter OFF akibat
low voltage input. Kondisi ini dapat diatasi apabila input tegangan ke inverter dari
output array PV diperbesar, yakni dengan menambah minimal satu unit modul PV
dihubungkan seri ke rangkaian array PV yang eksisting.
Gambar 1.24. Rekam data (hystorical info) pada layar inverter yang
menunjukkan fault pada inverter akibat DC low input voltage
21
2013
a. Besi tembaga yang berfungsi sebagai arde ditanam pada kedalaman yang lebih dalam
sampai menyentuh tanah basah (air)
b. Menyambungkan kawat arde ke kawat arde lainnya yang mempunyai nilai resistansi
grounding yang rendah, atau membentuk mess kawat yang terhubung antara kawat arde
yang satu dengan lainnya membentuk loop tertutup.
Diperkirakan bila diambil cara yang kedua, maka biayanya akan lebih murah
dibandingkan dengan cara yang pertama.
1.5.3 Alat ukur perlu kalibrasi
Untuk mengatasi ketidaksesuaian hasil pengukuran manual dengan alat ukur dengan hasil
yang ditunjukkan pada layar monitor digital maka perlu secara rutin alat ukur dikalibarasi
pada saat akan digunakan di lapangan.
1.5.4 Modul PV retak
Dalam satu array PV yang tersusun atas beberapa modul PV terhubung seri,
dipersyaratkan masing-masing modul PV mempunyai karakteristik listrik yang serupa agar
diperoleh output arus dan tegangan listrik yang optimal. Bila ada salah satu dari modul PV
yang rusak atau retak maka akan menghambat aliran arus listrik pada array tersebut.
Apabila perbedaan angka tegangan output-nya cukup besar dibandingkan dengan array PV
lainnya yang terhubung paralel pada busbar, maka dapat menyebabkan arus balik (reverse
current) yang masuk ke array PV dengan angka tegangan yang rendah. Bila blocking
dioda yang terpasang pada array PV tersebut tidak mampu menahan laju arus listrik yang
besar, maka modul-modul PV pada array tersebut dapat terbakar (setidaknya bypass
diodenya yang menjadi korban karena terbakar lebih dahulu), seperti yang ditunjukkan
pada tabel 1.4. Untuk mencegah hal tersebut terjadi maka perlu pemeriksaan visual rutin
terhadap kondisi modul-modul PV. Bila ditemukan ada modul PV yang rusak atau pecah
maka harus segera diganti dengan yang baru.
1.5.5 Kawat grounding
Kawat grounding pada penyangga array PV yang tidak terpasang dengan benar perlu
segera diperbaiki untuk mencegah hal-hal yang tidak dikehendaki, seperti terjadi kerusakan
modul PV akibat terkena petir. Grounding yang baik dapat mencegah kerusakan
komponen sistem PV karena terkena sambaran petir.
1.5.6 Blocking dioda pada combiner box
Secara teori blocking diode perlu dipasang pada setiap array bila terdapat beberapa array
terhubung secara paralel dalam suatu busbar. Blocking diode yang sesuai dengan
spesifikasi yang diperlukan dapat mencegah terjadinya arus balik (reverse current) yang
dapat merusak modul PV pada array yang bersangkutan. Oleh karena itu perlu dilakukan
perbaikan terhadap pemilihan dan pemasangan blocking diode yang lebih sesuai dengan
kondisi lapangan.
PTKKE-BPPT
22
2013
1.6. Rekomendasi
a. Untuk mengatasi terjadinya fault pada inverter akibat input tegangan dari array PV
yang melewati ambang batas bawah input dari inverter maka tidak ada jalan lain kecuali
meningkatkan nilai tegangan input array PV dengan cara menambahkan satu modul PV
secara seri ke setiap array PV eksisting.
b. Pada setiap array PV tetap perlu diproteksi dengan blocking diode yang mempunyai
spesifikasi yang tepat dengan disain yang mempertimbangkan kondisi lapangan
(kelembaban). Blocking diode dapat mencegah reverse current pada saat beberapa
array PV terpasang secara paralel.
c. Perlu perbaikan pemasangan kabel pada array PV agar sesuai dengan instalasi
kelistrikan yang standar (PUIL), meskipun terdapat gangguan dari eksternal (tikus).
d. Perlu usaha untuk menurunkan nilai resistansi grounding pada penyangga array PV
maupun pada combiner box yang nilainya masih di atas spesifikasi teknis (RKS).
e. Perlu pemeriksaan rutin terhadap kondisi fisik modul PV, kondisi fuse pada setiap array
PV atau pada grounding di dalam combiner box, kondisi blocking diode, dan
pengukuran V oc dari setiap array PV.
PTKKE-BPPT
23
2013
BAB II
PENGUJIAN SISTEM BATEREI DAN PCS
2.1 Pendahuluan
Energi yang dihasilkan oleh photovoltaic tidak selamanya stabil, akan tetapi berfluktuasi
tergantung intensitas penyinaran matahari, seperti yang diperlihatkan pada gambar 2.1. Fluktuasi
ini lebih dikenal dengan istilah intermittent. Pada sistem grid terbatas dengan penetrasi
photovoltaic yang cukup besar (>20%), sifat intermittent dari photovoltaic ini dapat mengganggu
kestabilan jaringan listrik baik itu terhadap tegangan sistem ataupun frekuensi. Jika tidak
dikendalikan, maka peristiwa ini akan dapat memicu blackout pada sistem secara keseluruhan.
PTKKE-BPPT
24
2013
Untuk mengatasi ini, maka sistem penyimpanan energi (energy storage) dibutuhkan sebagai
buffer untuk menjaga kestabilan sistem (jaringan) akibat efek fluktuatif dari daya yang
dihasilkan oleh photovoltaic. Pada grid terbatas dengan genset (PLTD), jika energi dari
photovoltaic tiba-tiba berkurang secara drastis, sistem penyimpanan ini harus dapat mengisi
kekurangan daya tersebut, membantu PLTD mensuplai daya kepada konsumen. Selain itu
sistem penyimpanan juga berfungsi untuk mensupport pembangkit konvensional (PLTD) apabila
terjadi defisit pembangkitan. Ilustrasi aplikasi sistem penyimpanan dapat dilihat pada gambar
2.2.
2.2 Gambaran Umum Sistem Penyimpanan
Terdapat berbagai jenis teknologi penyimpanan dengan berbagai karakteristik dan kegunaan
yang berbeda-beda. Pada sistem smart grid di Sumba Barat ini, sesuai dengan konsep yang
ditawarkan, yaitu media penyimpanan berfungsi sebagai buffer, sebagai kompensator daya akibat
fluktuasi photovoltaic. Maka persyaratan minimal yang harus dipenuhi media penyimpanan
adalah sebagai berikut:
a. Harus memiliki cycle yang sangat tinggi untuk menjamin keberlangsungan (life time) dari
media penyimpanan itu sendiri.
b. Memiliki DOD > 80%.
c. Mampu didischarge dalam waktu yang sangat singkat.
d. Memiliki kapasitas penyimpanan yang besar, orde jam (bukan menit/detik).
Berdasarkan beberapa kriteria di atas maka sistem penyimpanan yang digunakan pada
system PLTS smart-grid Sumba Barat Daya adalah teknologi flow battery (vanadium redox) atau
dikenal sebagai vanadium redox battery (VRB).
PTKKE-BPPT
25
2013
PTKKE-BPPT
26
2013
PTKKE-BPPT
27
2013
28
2013
PTKKE-BPPT
29
2013
PTKKE-BPPT
30
2013
Gambar 2.7 Stack VRB stack dan Grup Modul Stack VRB Stack
31
2013
changes the power frequency to vary the speeds of the pump motors. Piping system connects to
the counterparts of the electrolyte tank modules and the stack group module to manipulate the
electrolyte.
PTKKE-BPPT
32
2013
33
2013
2.2.7.2 Cabinet
The HVDC cabinet provides the power connection and protection between energy storage
module and PCS, which includes 4 sets DC fuses for each stack string and 1 DC contactors
for stack module.
PTKKE-BPPT
34
2013
b. If the system is running in charging/diacharging, PCS will run, PCS and relevant components
will display green)
PTKKE-BPPT
35
2013
PTKKE-BPPT
36
2013
PTKKE-BPPT
37
2013
Dari gambar 2.18 terlihat bahwa pada awal pengisian (initial charge) kedua modul VRB
masing-masing di-charge dengan daya sekitar 160 kW selama 3.5 jam. Pada kondisi ini
kapasitas baterai masil nol. Selanjutnya dilakukan pre-charging dengan daya masing-masing 200
kW (mode PQ) selama 6 jam, dan secara bertahap kapasitas baterai naik mulai dari nol (0%)
hingga mencapai 90%. Pada kondisi ini VRB sudah siap untuk mensuplai listrik pada jaringan
PLN (grid) dengan mode VF. Dari gambar 2.19, pada pukul 16.00 VRB diset pada mode VF,
terlihat kapasitas baterai menurun dari 90-60%.
PTKKE-BPPT
38
2013
Gambar 2.21 Proses Initial charging VRB A&B (22 oktober 2013)
39
2013
besar daya aktif PCS A(biru muda) dan daya aktif PCS B (biru tua) pada saat proses charging.
Pada grafik di atas juga terlihat besar kapasitas baterai (hijau) mulai bertambah seiring dengan
proses charging. Besar daya charge di set di 200 kW.
PTKKE-BPPT
40
2013
Energi charge ke VRB hingga 22 Oktober 2013 VRB A 1.863,6 kWh. Data chiller tidak
terpantau di SCADA. Daya chiller 40 kVA. Sementara PJU, komputer, SCADA, dan peralatan
lainnya sebesar 6,6 kVA.
2.4 Analisis
2.4.1 Status operasi
Hingga saat ini baterai VRB belum dioperasikan sesuai prosesur normal (SOP3). Hal ini selain
disebabkan masalah teknis juga masalah non-teknis yang belum ada solusinya. Masalah teknis
yang ada hingga saat ini adalah rusaknya (error message) pada kedua PCS (A dan B). Sedangkan
masalah non-teknis adalah belum ada kata sepakat dalam suplai kebutuhan energy sendiri bagi
VRB.
PTKKE-BPPT
41
2013
EQUIPMENTS
QTY
ENERGY (kWh)
TOTAL (kWh)
1
1
1
1
1
17,113.30
27,214.20
16,195.50
16,440.10
11,493.20
17,113.30
27,214.20
16,195.50
16,440.10
11,493.20
1
1
1
1
1,863.60
1,863.60
1,536.00
11,404.80
1,863.60
1,863.60
1,536.00
11,404.80
ENERGY TOTAL
(kWh)
88,456.30
REMARKS
REAL DATA
REAL DATA
REAL DATA
REAL DATA
REAL DATA
(16,668.00)
REAL DATA
REAL DATA
ESTIMATION
ESTIMATION
71,788.30 ENERGY SURPLUS (kWh)
2.5 Kesimpulan
a. Pada prinsipnya sistem penyimpan energi jenis vanadium redox battery (VRB), yang
terpasang pada sistem PLTS smart-grid di Sumba Barat Daya dapat berfungsi dengan baik,
sebagai penyangga (buffer) untuk mengatasi masalah fluktuasi produksi energi dari sistem
PLTS (SOP3).
b. Modus operasi stand-alone (SOP2) yang dimaksudkan untuk mensuplai listrik dari sistem
PLTS smart-grid (termasuk baterai) tidak dapat dilakukan, karena operasi VRB maupun
PLTS membutuhkan tegangan referensi untuk sinkronisasi tegangan maupun frekuensi.
c. Konsumsi daya total untuk keperluan sistem penyimpan energi VRB sendiri (konsumsi diri)
pada saat beban penuh (mode VF) adalah sebesar 20 kW per unit, termasuk pompa
electrolyte, PCS dan komponen kontrol lainnya, tetapi tidak termasuk chiller. Sedangkan pada
mode BSM hanya membutuhkan daya sekitar 7 kW, dimana kebutuhan energi ini diperoleh
dari baterai itu sendiri, dan mode idle membutuhkan daya dari grid sebesar 5 kW.
d. Untuk mengatasi masalah konsumsi VRB pada malam hari, maka pada malam hari, VRB
dapat dioperasikan dalam mode BSM atau mode idle.
PTKKE-BPPT
42
2013
e. Penggunaan penyimpan energi VRB dalam sistem PLTS smart-gird (terkoneksi ke grid
terbatas) sangat bermanfaat dalam meningkatkan kinerja sistem PLTS dan kualitas jaringan
PLN yang ada.
2.6 Rekomendasi
a. Agar VRB dapat beroperasi dengan normal kembali, maka harus ada beberapa hal yang harus
dilakukan, antara lain:
Perbaikan 2 unit PCS (power control system), dan UPS.
Pemeliharaan peralatan dan komponen VRB secara berkala sesuai dengan SOP
Penambahan nitrogen, dll.
b. Perlu koordinasi yang lebih intensif antara BPPT, PLN dan Pemda.
PTKKE-BPPT
43
2013
BAB III
PENGUJIAN SISTEM KELISTRIKAN DAN SMART GENSET
3.1 Pendahuluan
Level penetrasi sistem photovoltaic ke jaringan PLN sangat bergantung dengan sistem
photovoltaic yang diterapkan.
Saat ini secara umum bahwa besarnya penetrasi sistem photovoltaic ke jaringan PLN
hanya dibatasi sekitar 10% - 15 %. Hal ini berkaitan dengan kemampuan penyesuaian antara
beban dan pasokan listrik ke jaringan PLN.
Pada Umumnya pembangkit PLN didaerah kepulauan adalah beberapa diesel generator
terhubung paralel.
Namun pembangkit diesel generator tersebut tidak dilengkapi dengan pengaturan
otomatis yang memadai. Semua pengaturan dilakukan secara manual. Sehingga ketika
pembangkit diesel ini dikombinasikan dengan sistem photovoltaic yang sangat bergantung
kondisi alam, maka sering terjadi kegagalan sistem pasokan listrik ke jaringan. Karena
pengaturan pembangkit diesel secara manual tidak memungkinkan penyesuaian kinerja yang
berubah setiap saat karena faktor alam.
Sistem smat micro grid yang ditempatkan di Sumba Barat dimaksudkan untuk
dijadikakan project percontohan agar system photovoltaic mampu memberikan level
penetrasi yang lebih tinggi dari yang saat ini diberlakukan.
PTKKE-BPPT
44
2013
a. PLTD Waitabula:
Terdapat 4 genset di dalam PLTD Waitabula. Genset milik PLN 2 unit ( MAN 250 kW
dan MAN 500 kW) dan genset sewa 2 unit (Komatsu 500 kW dan Komatsu 800 kW).
Smart genset dipasang di PLTD Waitabula dengan kapasitas 2x135 kVA.
Selain smart genset dipasang juga 1 unit trafo 400 V/20 kV.
Ke empat genset eksisting di PLTD Waitabula dengan fasilitas sinkron pada sistem
tegangan 20 kV dan smart genset dengan fasilitas sinkron pada sistem tegangan 400 V.
b. PLTD Waikabubak.
Terdapat 8 genset di dalam PLTD Waikabubak.
Terdapat 3 unit genset (Yanmar 1, Yanmar 2 dan SWD) dengan fasilitas sinkron di
sistem tegangan 400 V dan 5 unit genset (Deutz, MWM, MTU 6, MAN dan MTU 8 )
dengan fasilitas sinkron pada sistem tegangan 20 kV.
c. PLTMH Lokomboro.
Terdapat 5 unit PLTMH pada sistem PLTMH Lokomboro.
Kapasitas generator adalah Unit 1 : 800 kW, Unit 2 : 500 kW, unit 3 : 500 kW unit 4 :
200 kW dan unit 5 : 200 kW. Total kapasitas PLTMH Lokomboro 2200 kW.
Semua generator pada PLTMH Lokomboro dilengkapi dengan fasilitas sinkron di
sistem tegangan 20 kV.
Berikut adalah resume kapasitas pembangkit di Sumba Barat.
Tabel 3.1 Pembangkit Listrik di Sumba Barat
NO
1
LOKASI
WAIKABUBAK (PLTD)
PLN
SEWA
WAITABULA (PLTD)
PLN
SEWA
LOKOMBORO (PLTMH)
PLN
MERK
DAYA (KW)
TERPASANG MAMPU
Yanmar
Yamnar
Deutz
SWD
Deutz
MTU
MAN
MAN
Komatsu
270
270
250
330
400
500
500
500
700
180
180
150
210
250
330
400
350
600
MAN
MAN
Komatsu
Komatsu
250
500
800
800
220
400
650
650
Alstom
J&P
J&P
J&P
J&P
800
500
500
250
250
800
500
500
250
250
PTKKE-BPPT
45
2013
Data 2010
Data 2013
00.00
01.0002.00
03.00
04.00
05.00
06.00
07.00
08.00
09.00
10.0011.0012.0013.0014.0015.0016.0017.0018.0018.3019.0019.3020.0021.0022.00
23.00
24.00
Series1 1
1 2 2 2
PTKKE-BPPT
46
2013
PTKKE-BPPT
47
2013
b. Sistem penyimpan: 500 kWh dilengkapi unit bidirectional inverter 400 kW.
PTKKE-BPPT
48
2013
Gambar 3.9 Tansformator 2x630 kVA, 400V/20 kV, output PV dan VRB
Gambar 3.10 Tansformator 1x630 kVA, 400V/20 kV, output smart genset
PTKKE-BPPT
49
2013
Foto-foto di atas adalah smart genset (2 unit) berikut generator kontrol yang
telah dipasang di PLTD Waitabula (Laratama). Kedua genset telah dicoba di
pabrik assembling (PT HARTECH, Tangerang) dan ketika dilaksanakan factory
acceptance test (FAT) berfungsi normal.
PTKKE-BPPT
50
2013
51
2013
sistem smart grid melalui sistem radio-link. Pembangkit diesel dilengkapi dengan
autosyncroniser dengan jala-jala PLN.
Microhydro
Data
Existing Diesel
Data
PLTS
Data
Storage
Data
Backup Diesel
Data
Processor
No
Optimal
power flow
Yes
KVA Load > Current
KVA Gen Rating
Power generation
from storage
Yes
Backup Diesel
output > 80 %
KVA rating
Yes
Load Shedding
No
Power generation
from backup diesel
52
2013
53
2013
PTKKE-BPPT
54
2013
e. Sistem penyimpanan akan terus mensuplai daya hingga kapasitas energi tersisa 20% atau
keluaran bidirectional inverter melebihi 90% ratingnya atau beban sudah kembali normal
dan dapat disuplai oleh PLTD+PLTS+PLTMH.
f. Apabila energi yang tersimpan pada storage < 20% atau beban terus bertambah hingga
kemampuan inverter storage terlewati (>90%) maka PLTD cadangan akan dihidupkan.
g. Apabila PLTD cadangan sudah tidak bisa memenuhi kebutuhan beban maka akan
dilakukan load shedding.
Secara rinci, alur kerja pengendalian sistem smart grid Sumba dalam setiap kondisi
digambarkan sebagai berikut:
a. Kondisi 1:
Saat kVA pembangkit < kVA beban (daya dari PV rendah).
Kapasitas storage > 20 %.
Gambar 3.14 Algoritma sistem smart micro grid Sumba pada kapasitas storage >20%.
b. Kondisi 2:
Saat kVA pembangkit < kVA beban (daya dari PV rendah).
Kapasitas storage < 20 %.
Gambar 3.15 Algoritma sistem smart micro grid Sumba pada kapasitas storage <20%.
c. Kondisi 3:
Saat kVA pembangkit < kVA beban (daya dari PV rendah).
Kapasitas storage < 20 % dan output PLTD SG > 95%.
PLTD existing membantu.
PTKKE-BPPT
55
2013
Gambar 3.16 Algoritma sistem smart micro grid Sumba pada kapasitas storage <20% dan
output smart genset >95% dan PLTD eksisting membantu.
d. Kondisi 4:
Saat kVA pembangkit < kVA beban (daya dari PV rendah).
Kapasitas storage < 20 % dan Output PLTD SG > 95%.
PLTD existing tidak membantu.
Gambar 3.17 Algoritma sistem smart micro grid Sumba pada kapasitas storage <20% dan
output smart genset >95% dan PLTD eksisting tidak membantu.
e. Kondisi 5:
Saat kVA pembangkit > kVA beban (daya dari PV berlebih).
Load masih terputus.
Gambar 3.18 Algoritma sistem smart micro grid Sumba pada kVA pembangkit > kVA
beban.
PTKKE-BPPT
56
2013
f. Kondisi 6:
Saat kVA pembangkit > kVA beban (daya dari PV berlebih).
Kapasitas storage < 80 %.
Semua load terhubung.
Gambar 3.19 Algoritma sistem smart micro grid Sumba pada kVA pembangkit > kVA beban
dan kapasitas storage <80%.
g. Kondisi 7:
Saat kVA pembangkit > kVA beban (daya dari PV berlebih).
Semua load terhubung.
Kapasitas storage > 80%.
Gambar 3.20 Algoritma Sistem Smart Micro Grid Sumba Pada kVA Pembangkit > kVA
Beban dan Kapasitas Storage >80%
h. Kondisi 8:
Komunikasi Gagal
PTKKE-BPPT
57
2013
3.5 Kinerja/Analisa
Seluruh instalasi sistem smart micro grid Sumba (SMGS) telah selesai dan tahap berikutnya
adalah komisioning masing-masing komponen SMGS.
Berikut ini akan dibahas berkait dengan smart genset dan sistem PLTS Bilacenge.
a. Smart genset sebesar 2x135 kVA telah dilakukan factory acceptance test (FAT) di pabrik
genset HARTECH yang berlokasi di Tangerang. Pada saat test, genset tersebut tidak
dilengkapi dengan synchronizer dan kedua genset hanya dilengkapi dengan automatic
transfer switch (ATS).
b. Ketika instalasi smart genset di lokasi PLTD Waitabula sudah dilengkapi dengan tangki
bahan bakar, exhaust system, trafo 1x630 kVA, 400 V/20 kV dan generator control panel
termasuk speed controller dan load sharing controller.
c. Smart genset dapat dioperasikan secara remote dari ruang kontrol PLTS Bilacenge, baik
secara manual dan otomatis.
PTKKE-BPPT
58
2013
d. Smart genset diset sedemikian rupa untuk beroperasi secara full delivery daya secara
maksimum (80% kapasitas ). Artinya ketika smart genset di start, maka akan mensuplai
daya ke sistem sebesar 2x(80%x135 kVA) atau sekitar 173 kW, pada PF 0.8.
e. Pada saat ini telah terjadi kerusakan pada salah satu controler generator, sehingga saat ini
hanya 1 unit smart genset yang dapat beroperasi.
Realisasi kinerja sistem SMGS telah berubah dari awal direncanakan sebagaimana
dijelaskan pada bab sebelumnya.
Pada konsep awal, sistem SMGS akan memonitor seluruh sistem pembangkit di
Sumba Barat dan akan memutuskan berapa daya yang harus disuplai ke beban dan bahkan
hingga saat dilakukan tindakan load shedding.
Pada realisasinya bahwa sistem PLTS Bilacenge jauh lebih kecil dari pada seluruh total
kapasitas pembangkit di Sumba Barat sehingga algoritma berubah menjadi mengendalikan
sistem PLTS Bilacenge beserta komponen pendukungnya yaitu storage (VRB) dan smart
genset.
Konsep ini dapat dikatakan bahwa PLTS Bilacenge akan mensuplai daya ke sistem
(jaringan) pada level konstan. Artinya suplai PLTS Bilacenge ke jaringan sejak awal dibatasi
sesuai kemampuan sistem PLTS.
Sebagai pemasok energi listrik adalah modul photovoltaic dan sebagai penstabil
outputnya adalah storage (VRB) dan smart genset.
Pada kondisi normal (tidak berawan) maka PLTS akan memasok listrik ke Jaringan
tanpa bantuan dari VRB dan smart genset.
Namun ketika terjadi awan, maka PLTS memasok listrik ke jaringan dengan bantuan
VRB dan smart genset. Intinya PLTS memasok listrik ke jaringan tidak berfluktuasi.
Sehingga PLTD eksisting yang dioperasikan secara manual tidak dituntut untuk menstabilkan
pasokan daya seirama dengan awan yang menghalangi permukaan modul photovoltaic.
Dari terakhir kali percobaan di lapangan diputuskan bahwa SMGS akan beroperasi
pada pagi hingga sore hari.
Energi storage (VRB) digunakan sebagai buffer energi photovoltaic yang setiap terjadi
awan , maka VRB akan melepaskan muatanya ke jaringan yang besarnya sesuai dengan
besarnya kekurangan pasokan listrik dari photovoltaic yang berkurang dari semestinya.
Sedangkan smart genset hanya beroperasi ketika kapasitas VRB <30% dan berhenti
operasi ketika kapasitas VRB >80%.
Terakhir kali dilakukan percobaan dilapangan urutan kinerja SMGS dilapangan belum
dapat direalisasikan karena terjadi kerusakan komponen sistem SMGS secara mendadak.
PTKKE-BPPT
59
2013
3.6 Kesimpulan
Dari desain awal hingga percobaan di lapangan, dapat diambil kesimpulan antara lain :
a. Terjadi perbedaan yang sangat besar antara desain awal dan realisasi di lapangan.
b. Perbedaan tersebut diduga karena kurang intensifnya monitoring dan evaluasi kinerja di
lapangan.
c. Kelemahan sistem ini tidak melibatkan kondisi seluruh PLTD dan PLTMH serta PLTS di
Sumba Barat.
d. Perubahan algoritma, yang sebelumnya seluruh sistem Sumba Barat menjadi hanya
sekitar Waitabula untuk menyederhanakan permasalah yang luas. Karena diduga bahwa
PLTD Waitabula diperankan sebagai load follower.
e. Yang terjadi saat ini adalah memonitor kondisi beban dan pembangkitan PLTD Waitabula,
Waikabubak dan PLTMH Lokomboro. Kemudian meminta slot kapasitas energi PLTS
yang akan memasok ke sistem dan menjaganya agar tetap stabil.
f. Algoritma hanya difokuskan pada kondisi beban dan suplai dari masing-masaing
pembangkit. Sehingga peran PLTS hanya untuk menjaga agar suplai dari PLTS ke grid
konstan.
g. Agar sistem PLTS memasok daya listrik yang konstan, maka antara PLTS, VRB dan
smart genset harus berkomunikasi secara kontinyu. Sehingga bilamana ada penurunan
daya dari PLTS, maka akan disuplai sebesar daya yang berkurang itu oleh VRB dan smart
genset.
h. Dari beberapa kali percobaan operasi terjadi kegagalan baik yang disebabkan kondisi
alam, sambaran petir, terbakarnya panel modul photovoltaic, binatang pengerat (tikus) dan
gangguan lainnya yang tidak diketahui sebabnya.
i. Sistem SMGS belum beroperasi dengan normal/baik. Beberapa kali percobaan di
lapangan gagal dilaksanakan. Sehingga terkesan bahwa sistem SMGS gagal
3.7 REKOMENDASI
Untuk menjadikan sistem PLTS Bilacenge ini sebagai pilot plant ( percontohan), maka dapat
direkomendasikan :
a. Sistem PLTS Bilacenge harus dapat beroperasi sebagai mana direncanakan awal.
b. PLTS akan memasok sekitar 400 kW daya listrik ke jaringan.
c. Bilamana terjadi penurunan daya pasokan PLTS ke jaringan, maka segera VRB memenuhi
kekurangannya.
d. Bilamana VRB sudah memberikan storage daya listriknya ke jaringan dan masih kurang,
maka smart genset akan beroperasi untuk mensuplai tambahan kekurangannya.
e. Bilamana ketiga komponen sudah memberikan energi listriknya ke jaringan dan masih
belum cukup, maka PLTD eksisting (Waitabula) menambah daya pasokan ke jaringan.
f. Prinsip algoritma di atas adalah menjaga frekwensi sistem kelistrikan Sumba Barat berada
pada level 50 Hz, tanpa mengatur suplai daya dari mesin-mesin diesel generator milik
PLN (sewa dan milik PLN)
g. Untuk itu harus memperbaiki VRB yang rusak (PCS2) dan juga kontroler smart genset.
PTKKE-BPPT
60
2013
h. Merubah algoritma yang saat ini diberlakukan dengan algoritma baru. Pada Kondisi saat
ini diperlukan algoritma baru yang sesuai dengan kondisi kelistrikan saat ini (2013). Dan
bahkan harus diantisipasi perkembangan kelistrikan dimasa-masa yang akan datang. Pasti
terjadi pertambahan beban.
i. Peningkatan kerjasama di bidang penelitian dengan PLN, khususnya Litbang PLN,
sehingga merupakan penelitian bersama.
PTKKE-BPPT
61
2013
BAB IV
PENGUJIAN SISTEM SCADA DAN MONITORING
4.1 Pendahuluan
4.1.1 Sisem SCADA pada kelistrikan
Keperluan penyediaan tenaga listrik bagi para pelanggan (costumer) yang baik dan handal
maka diperlukan berbagai peralatan listrik yang saling terkait satu sama lain. Berbagai
peralatan listrik ini dihubungkan satu sama lain sehingga mempunyai inter relasi dan secara
keseluruhan membentuk suatu sistem tenaga listrik (incorporated plant system). Yang
dirnaksud dengan sistem tenaga listrik disini adalah sekumpulan pusat penghasil/pembangkit
listrik (plant) dan gardu induk (pusat beban) yang satu sama lain dihubungkan oleh jaringan
transmisi sehingga membentuk sebuah kesatuan interkoneksi.
Tahun 2006 melalui Keppres 05/2006, Pemerintah telah menetapkan sasaran bauran
energi (energy mixed) nasional dengan 17% dari total energi akan disediakan/dipasok oleh
energi baru dan terbarukan (EBT, renewable energy). EBT akan memiliki peranan yang sangat
signifikan dimasa mendatang untuk mendukung kebijakan pemerintah, baik sebagai
pembangkit terpisah jaringan (off-grid plant) maupun terintegrasi pada jaringan (on-grid).
Peintegrasian plant EBT ke jaringan (grid) yang telah ada (existing) dan dikelola perusahaan
listrik negara (PLN), saat ini menjadi tantangan tersendiri bagi perkembangan kelistrikan di
Indonesia.
Dengan kondisi keanekaragaman topografi di Indonesia, umumnya plant EBT dengan
plant EBT yang lain terpisah satu sama lain dengan jarak yang cukup jauh dari grid eksisting
PLN. Faktor lain yang menjadi tantangan tersendiri adalah karakteristik plant EBT yang
bersifat sementara (intermitten) sehingga terjadi kesulitan atau bahkan tidak dimungkinkan
apabila penyatuan (integrasi) ke grid dilakukan secara manual dengan bantuan operator.
Seiring dengan waktu dan pesatnya kemajuan teknologi information communication
technology (ICT) pada bidang aplikasi otomasi dan kontrol, memungkinkan beberapa plant
EBT berintegrasi secara otomatis dan sinkron terhadap grid secara terus-menerus (continue)
dengan memanfaatkan mekanisme kerja yang dikendalikan oleh peralatan elektronik
(electronic hardware) berdasarkan urutan-urutan perintah (contro lalgorithm) dalam bentuk
program perangkat lunak (electronic software) yang disimpan di dalam unit memori kontroler
elektronik, mekanisme ini lazimnya disebut sistem SCADA (supervisory control and data
acquisition).
Sistem SCADA adalah sistem yang mampu melakukan pengawasan dan pengendalian
(controlling) jarak jauh. Sistem SCADA mampu melakukan pengambilan data (data
acquisition) dengan baik dan menganalisis data tersebut, sehingga dapat melakukan
pengawasan (supervisory) dan pengendalian (controlling) terhadap keseluruhan proses yang
sedang berjalan secara terus menerus (continue). Lima komponen utama dalam sistem SCADA
pada umumnya terdiri dari:
a. Master station/master terminal unit (MTU).
PTKKE-BPPT
62
2013
Sistem SCADA yang diterapkan pada smart micro-grid Sumba (SMGS) diharapkan
mampu mengintegrasikan PLTS skala besar dengan teknologi thin film ke grid eksisting PLN
dengan smart battery dan smart genset sebagai back-up system sehingga diharapkan
renewable energy plant secara continue terintegrasi. Lebih jauh, dengan sistem SMGS bisa
meminalisir gangguan-gangguan kelistrikan dan membantu memperbaiki sistem kelistrikan di
pulau Sumba sehingga mempermudah tugas operasional PLN. Berikut ini beberapa hal yang
bisa dilakukan oleh sistem SCADA SMGS:
a. Memudahkan integrasi EBT ke grid PLN dengan meminimalisir gangguan ke pelanggan.
b. Mengakses pengukuran kuantitatif dari proses-proses yang penting plant eksisting PLN dan
plant EBT secara langsung saat itu maupun sepanjang waktu (real-time).
c. Mendeteksi dan memperbaiki kesalahan (failure) pada sistem kelistrikan secara cepat.
d. Mengukur (measuring) dan memantau (monitoring) berupa grafik trend plantstation
maupun sub-station sepanjang waktu (real-time).
e. Menemukan dan menghilangkan kemacetan (bottleneck) dan pemborosan (inefisiensi)
sistem pembangkit berbahan bakar minyak dengan minimalisasi dampak terhadap
keseluruhan sistem plant.
f. Mengontrol proses-proses yang lebih besar dan kompleks (lebih lanjut dengan integrasi
seluruh sistem kelistrikan pulau Sumba) dengan staf-staf terlatih yang lebih sedikit.
PTKKE-BPPT
63
2013
Fungsi wide area network (WAN) hanya terfokus pada sarana komunikasi master ke
remote terminal unit (RTU) seperti ditunjukkan pada gambar 4.1.
Umumnya, protokol komunikasi pada jaringan SCADA dikembangkan oleh vendor
dengan tujuan khusus sesuai perangkat RTU yang dijual dan merupakan hak cipta sehingga
fungsi protokol komunikasi sangat terbatas.
64
2013
Sementara yang lain berfungsi sebagai pengolah perhitungan atau server pusat data (data
base server) seperti ditunjukkan pada Gambar 4.2.
Sistem dengan fungsi terdistribusi dan terkoneksi pada sebuah sistem jaringan tidak
hanya meningkatkan kecepatan pengolahan/pemrosesan sistem, akan tetapi juga meningkatkan
redundansi dan keandalan sistem secara keseluruhan, jika dibandingkan dengan skema sistem
utama/fungsi standby sederhana yang banyak diterapkan pada sistem generasi pertama. Dengan
model sistem SCADA ini, semua kondisi sistem akan tersimpan pada jaringan LAN dalam
keadaan online sepanjang waktu. Jika pada suatu kondisi, HMI sebuah stasiun operasi
mengalami gangguan atau gagal memberikan perintah/mengoperasikan sistem, maka HMI
stasiun operasi yang lain dapat digunakan untuk mengoperasikan sistem secara keseluruhan,
tanpa menunggu proses failover dari sistem primer ke sekunder.
Jaringan WAN digunakan untuk berkomunikasi dengan perangkat RTU di lapangan yang
sebagian besar tidak berubah seiring dengan penambahan/pengurangan konektivitas LAN
diantara stasiun operasi lokal pada master SCADA. Jaringan komunikasi eksternal tersebut
masih terbatas pada protokol RTU saja dan tidak akan menggangu lalu lintas (traffic) jaringan.
Seperti halnya yang terjadi dengan sistem generasi pertama, generasi kedua sistem SCADA ini
juga terbatas pada hardware, software, dan perangkat periferal yang disediakan atau
setidaknya dikhususkan oleh vendor.
PTKKE-BPPT
65
2013
PTKKE-BPPT
66
2013
Dalam pengendalian sistem SCADA SMGS ini terdapat beberapa permasalahan yang
harus diperhatikan, yaitu:
a. Kecepatan dan kemudahan memperoleh informasi yang diperlukan.
b. Cara-cara penyajian data dan informasi bagi pengatur sistem (master station).
c. Keandalan media data, karena terganggunya media data akan berakibat terganggunya
operasi pengaturan sistem.
d. Kualitas data yang ditampilkan harus selalu yang terbaru (historical data update).
Berdasarkan faktor-faktor tersebut, maka fasilitas pendukung untuk keperluan
pengendalian sistem SCADA SMGS adalah:
a. Sistem komunikasi data.
b. Alat-alat pengolah untuk mengambil, menyimpan dan mengolah data dari sistem SCADA
SMGS.
c. Perangkat lunak untuk mengolah data, agar data dapat ditampilkan dalam pengendalian
sistem SCADA SMGS.
Tujuan dari sistem SCADA SMGS, yaitu:
a. Mempercepat proses pemulihan suplai tenaga listrik bagi konsumen yang tidak mengalami
gangguan.
b. Memperkecil kilo watt hours (kWh) yang padam akibat gangguan atau pemadaman.
c. Memantau performa jaringan untuk menyusun perbaikan atau pengembangan sistem
jaringan.
d. Mengusahakan optimasi pembebanan jaringan.
Adapun fungsi dari sistem SCADA SMGS, adalah:
a. Telecontrol, berfungsi melakukan perintah automatically remote control (open/close) atau
status (on/off) terhadap peralatan yang berada pada masing-masing sub-station.
b. Telesignaling, berfungsi mengumpulkan data status dan alarm (open, close, power supply
fault, indikasi relay atau parameter lainnya) yang dianggap perlu yang dapat membantu
dispatcher (pusat pengendali) dalam memonitor peralatan yang berada pada masingmasing sub-station.
PTKKE-BPPT
67
2013
c. Telemetering, berfungsi mengukur beban yang terpasang pada alat ukur tenaga listrik (arus,
tegangan, daya aktif, frekuensi) dan semua peralatan yang berada pada masing-masing substation.
Dengan adanya peralatan SCADA SMGS penyampaian dan pemprosesan data dari
sistem tenaga listrik akan lebih cepat diketahui oleh dispatcher (pusat kontrol). Konfigurasi
sistem SCADA SMGS ditunjukkan pada gambar 4.4.
Master Controller Station
PV Substation
Storage
Substation
Load
Substation
Sistem SCADA SMGS di Sumba Barat ini akan dibagi ke dalam beberapa plant Substation yang diatur oleh sebuah master controller station.
PTKKE-BPPT
68
2013
Pengaturan oleh stasiun operasi induk (host master controller station) untuk
mempermudah proses pengambilan data dari masing-masing sub-station, proses komunikasi
internal antara master station dan sub-station, serta mempermudah proses kendali dari master
station ke sub-station. Sistem SCADA SMGS dibagi ke dalam beberapa station/sub-station
yang didasarkan pada daerah (area), yaitu:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
PTKKE-BPPT
69
2013
Gambar 4.6a Perangkat human machine interface (HMI) sistem SCADA SMGS
pada master station di Bilacenge (Sumber: PTKKE-SMGS, 2013)
MMI/HMI menggambarkan (secara visual) sistem SCADA secara keseluruhan sehingga
memudahkan identifikasi sistem secara real-time. Setiap titik I/O (input/output) sistem
SCADA akan ditampilkan/divisualkan dalam bentuk tiruan grafis pada layar MMI/HMI.
MMI/HMI pada sistem SCADA SMGS ditunjukkan pada gambar 4.6a, sedangkan master
terminal unit (MTU) sistem SMGS menggunakan SCADAPACK ER-Series dari Schneider
Electric seperti ditunjukkan pada gambar 4.6b. Parameter-parameter sistem dan algoritma
kontrol (control algorithm) di buat dan di tanam pada MMI/HMI dengan menggunakan
software yang sesuai dengan perangkat MTU dan RTU yaitu clear SCADA system.
Gambar 4.6b. Perangkat Master Terminal Unit (MTU)Sistem SCADA SMGS Pada
Master StationDi Bilacenge (Sumber: PTKKE-SMGS, 2013)
PTKKE-BPPT
70
2013
Gambar 4.7 Perangkat remote terminal unit (RTU) pada masing-masing sub-station sistem
SCADA SMGS (Sumber: PTKKE-SMGS, 2013)
Sistem SCADA SMGS menggunakan 5 unit RTU SCADAPACK ES-Series dari
Schneider Electric masing-masing 2 unit RTU untuk sub-station sistem PLTS dan sub-station
sistem penyimpan (VRB storage) terhubung via komunikasi data menggunakan kabel (wired),
sedangkan 3 unit RTU lainnya masing-masing untuk sub-station PLTD Waitabula, sub-station
PLTMH Lokomboro dan sub-station PLTD Waikabubak terhubung via komunikasi data tanpa
kabel (wireless).
PTKKE-BPPT
71
2013
Gambar 4.8b. Perangkat/instrumentasi genset eksisting PLN dan smart genset (SG)
pada sub-station PLTD pada sistem SCADA SMGS (Sumber: PTKKE-SMGS, 2013)
PTKKE-BPPT
72
2013
Gambar 4.8d. Perangkat/instrumentasi pemantau (monitoring) power meter logic pada masingmasing sub-station sistem SCADA SMGS (Sumber: PTKKE-SMGS, 2013)
Gambar 4.9a. Perangkat OutDoor Unit (ODU) dan InDoor Unit (IDU) Komunikasi
Data VSAT Sistem SCADA SMGS Pada Master Station Bilacenge
(Sumber: PTKKE-SMGS, 2013)
b. Tanpa kabel (wireless).
Frekuensi tinggi (high frequency, HF) pada rentang 3 - 30 MHz.
Frekuensi sangat tinggi (very high frequency, VHF) pada rentang 30-300 MHz.
Frekuensi ultra tinggi (ultra high frequency, UHF) pada rentang frekuensi 300 1,5
GHz.
PTKKE-BPPT
73
2013
Gelombang mikro (line of sight microwave, LoF) rentang frekuensi >> 1,5 GHz.
Komunikasi satelit (satellite communication) pada rentang C-band 4-6 GHz atau KuBand pada rentang 11 - 13 GHz.
Komunikasi seluler (cellular phones).
Penggunaan komunikasi data via kabel biasanya diimplementasikan pada on site location
atau lokasi yang berdekatan atau yang sama dengan master station. Penerapan komunikasi data
via kabel untuk sistem SCADA hanya pada RTU VRB storage dan RTU PLTS dimana
lokasinya adalah di Bilacenge seperti ditunjukkan pada gambar 4.9a, sedangkan untuk lokasi
dengan kondisi kontur geografis dan faktor ekonomis yang tidak mungkin dijangkau dengan
kabel seperti halnya RTU PLTD Waitabula ditunjukkan pada gambar 4.9b, PLTMH
Lokomboro ditunjukkan pada gambar 4.9c dan PLTD Waikabubak ditunjukkan pada gambar
4.9d maka digunakan komunikasi data via satelit dengan mengunakan pelayanan jasa VSAT.
Gambar 4.9b. Perangkat out door unit (ODU) dan in door unit (IDU) komunikasi data
VSAT sistem SCADA SMGS pada sub-station PLTD Waitabula
(Sumber: PTKKE-SMGS, 2013)
Beberapa faktor yang bisa dijadikan acuan dalam menentukan jenis komunikasi pada
sistem SCADA adalah:
a. Kontur geografis (pada master station dan masing-masing sub-station).
b. Kesiapan teknologi komunikasi data di sub-station.
c. Ekonomis (harga dan jenis kabel, jasa pemasangan, dsb).
Gambar 4.9c. Perangkat out door unit (ODU) dan in door unit (IDU) komunikasi data VSAT
sistem SCADA SMGS pada sub-station PLTMH Lokomboro (Sumber: PTKKE-SMGS, 2013)
PTKKE-BPPT
74
2013
Gambar 4.9d. Perangkat out door unit (ODU) dan in door unit (IDU) komunikasi data VSAT
sistem SCADA SMGS pada sub-station PLTD Waikabubak (Sumber: PTKKE-SMGS, 2013)
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa sistem komunikasi data SCADA SMGS 70%
menggunakan komunikasi data tanpa kabel (wireless). Sistem komunikasi data tanpa kabel
(wireless) pada umumnya terdapat dua macam konfigurasi yaitu point-to-point dan point-tomultipoint. Konfigurasi point-to-multipoint seperti ditunjukkan pada gambar 4.10
menggunakan satu stasiun sebagai induk/master (master station) dan beberapa stasiun yang
lain sebagai slave (sub-station). Master station terletak pada ruang utama pada sistem SCADA
(on site location) dan slave (sub-station) terletak pada lokasi-lokasi sub-station terpisah (offsite location). Setiap sub-station (pada RTU) akan dikenali dan diidentifikasikan secara
berbeda satu sama lain dengan pengalamatan khusus (addressing).
PTKKE-BPPT
75
2013
Konfigurasi sistem komunikasi SCADA SMGS menggunakan konfigurasi point-tomultipoint menggunakan jasa layanan VSAT. Pengalamatan (addressing) masing-masing substation diatur (setting) PC master station menggunakan software E-Series configurator dari
Schneider, dengan konfigurasi seperti ditunjukkan pada gambar 4.12a-d.
Antena
VSAT
C-Band
172.200.200.1
Modem
Router
HUB
172.200.200.4
PC
172.200.200.2
Micronet
172.200.200.3
ScadaPack
Gambar 4.12a. Konfigurasi perangkat komunikasi data di RTU PLTS Bilacenge pada
sistem SCADA SMGS (Sumber: PTKKE-SMGS, 2013)
172.200.201.1
Antena
VSAT
C-Band
Router
Modem
172.200.201.4
PC
172.200.201.2
Micronet
172.200.201.3
ScadaPack
Gambar 4.12b. Konfigurasi perangkat komunikasi data di RTU PLTD Waitabula pada
sistem SCADA SMGS(Sumber: PTKKE-SMGS, 2013)
Antena
VSAT
C-Band
172.200.203.1
Modem
172.200.203.2
HUB
ScadaPack
76
2013
172.200.202.1
Modem
Router
172.200.202.4
PC
172.200.202.2
Micronet
172.200.202.3
ScadaPack
PTKKE-BPPT
77
2013
Sedangkan untuk beberapa software SCADA tingkat lanjut (advanced) memberikan fitur
tambahan antara lain:
a. Networking (include : internet)
b. Scalability/expandability
c. Fault tolerance and redundancy
Pada sistem SCADA SMGS menggunakan dua perangkat lunak (software) dengan fungsi
masing-masing sebagai berikut:
a.
ClearSCADA View-X dan Web-X. Perangkat lunak untuk membangun MMI/HMI pada PC
master station baik untuk administrator dan client.
b.
PTKKE-BPPT
78
2013
Saat berada pada mode V/f dan kapasitas storage kurang dari 20% maka alarm kapasitas
storage rendah akan aktif. Alarm tersebut akan terus aktif higga kapasitas storage lebih besar
dari 30%. Jika kapasitas storage terus turun hingga kurang dari 5 % maka VRB akan masuk ke
standby cycle 1B. Pada standby cycle 1B, VRB akan bekerja pada mode P/Q untuk melakukan
proses pengisian VRB hingga kapasitas VRB > 75%. Setelah kapasitas VRB >75 %, VRB
dapat masuk kembali ke mode V/f.
Ketika VRB berada pada standby cycle 1B dan frekuensi sistem < 49,9 Hz maka smart
genset 1 akan dioperasikan. Jika daya keluaran smart genset 1 > 95 % maka smart genset 2
akan dioperasikan. Saat daya keluaran smart genset 2 > 95 % maka alarm kapasitas smart
genset mendekali batas maksimum akan aktif. Jika frekuensi sistem turun hingga kurang dari
49,85 Hz alarm peringatan akan berbunyi sebelum load shedding dilakukan. Jika frekuensi
sistem terus turun hingga kurang dari 49,8 Hz load shedding akan dilakukan. Beban yang telah
dilepas saat load shedding akan kembali dimasukkan ke sistem jika smart genset 2 mampu
menanggung penambahan beban sistem akibat masuknya beban. Smart genset akan berhenti
beroperasi apabila daya keluarannya kurang dari 5 kW.
PTKKE-BPPT
79
2013
Gambar 4.13a. Diagram alur algoritma kontol (control algorthm)sistem SCADA SMGS
(Sumber: PTKKE-SMGS, 2013)
PTKKE-BPPT
80
2013
Gambar 4.13b. Diagram alur algoritma kontol (control algorthm) sistem SCADA SMGS
(Sumber: PTKKE-SMGS, 2013)
PTKKE-BPPT
81
2013
Gambar 4.13c. Diagram alur algoritma kontol (control algorthm) sistem SCADA SMGS
(Sumber: PTKKE-SMGS, 2013)
PTKKE-BPPT
82
2013
Gambar 4.13d. Diagram alur algoritma kontol (control algorthm) sistem SCADA SMGS
(Sumber: PTKKE-SMGS, 2013)
PTKKE-BPPT
83
2013
84
2013
PTKKE-BPPT
85
Plant PLTD
Plant PLTS
Baterai
Overview
Opening
Page
Energy Management
System (EMS)
Plant PLTD
Plant PLTMH
Alarm
Trend
Event
2013
Load (LBS)
Log On
Log Out
Data
History
PTKKE-BPPT
86
2013
Sub-sistem Baterai
(Bilacenge)
PTKKE-BPPT
87
2013
88
2013
(bagian atas) dan link informasi lainnya (bagian bawah) seperti halnya yang terdapat pada layer
overview.
K
G
K
G
G
B
89
2013
b. Trend sistem PV. Mengumpulkan data sub-station PLTS setiap waktu (real-time) dan
menampilkannya dalam bentuk grafik agar mudah dimengerti dan diapahami oleh operator
serta untuk lebih lanjut dapat di analisis sebagai kinerja sistem PLTS secara keseluruhan,
antara lain Tegangan fasa-fasa (VAB), Tegangan fasa-fasa (VBC), Tegangan fasa-fasa
(VCA), arus fasa A, arus fasa B, arus fasa C, daya aktif (P), daya reaktif (Q), daya nyata (S),
faktor daya (PF).
c. Trend iradiasi. Data radiasi matahari setiap waktu (real-time) di on-sitehost master SCADA
Bilacenge yangditampilkan dalam bentuk grafik.
d. Kontrol Inverter. Link akses pengaturan (setting) parameter masing-masing inverter (5 unit
inverter) seperti ditunjukkan pada gambar 4.16c.
90
2013
yang dihasilkan (sesaat), daya dan energi yang telah dihasilkan, frekuensi (Hz) dan trend
daya inverter (real time).
i. Indikator daya total (sesaat). Menunjukkan informasi jumlah daya total (per satuan waktu)
yang dihasilkan sistem SMGS dalam satuan (kW).
j. Indikator energi total (sesaat). Menunjukkan informasi jumlah energi total (per satuan
waktu) yang dihasilkan sistem SMGS dalam satuan (kWh).
k. Circuit braker (CB) masing-masing inverter PV. Link akses pengaturan (setting) on/off
masing-masing circuit braker (CB) pada masing-masing Inverter ke jaringan (JTM) 20kV
A
D
A
D
Gambar 4.17a. Tampilan MMI/HMI sub-station VRB storage Bilacenge pada sistem SCADA
SMGS (Sumber: PTKKE-SMGS, 2013)
PTKKE-BPPT
91
2013
Gambar 4.17b. Tampilan MMI/HMI control page VRB storage Bilacenge pada sistem
SCADA SMGS (Sumber: PTKKE-SMGS, 2013)
d. Control page . Link akses setting parameter sistem PCS pada masing-masing grup VRB
storage seperti ditunjukkan pada gambar 4.17b, antara lain setting mode VRB (sesuai
algoritma kontrol) yaitu mode dan status V/f, mode dan status P/Q, mode dan status idle
serta konfigurasi emergency on/off sistem VRB storage.
e. Circuit braker (CB). Link akses pengaturan (setting) on/off masing-masing circuit braker
(CB) pada masing-masing VRB storage ke cubicle trafo.
PTKKE-BPPT
92
2013
Gambar 4.18. Tampilan MMI/HMI sub-station PLTD Waitabula pada sistem SCADA SMGS
(Sumber: PTKKE-SMGS, 2013)
B
D
Gambar 4.18a. Tampilan MMI/HMI sub-station PLTD Waitabula pada sistem SCADA SMGS
(Sumber: PTKKE-SMGS, 2013)
a. Indikator penyulang (feeder) PLTD Waitabula. Menunjukkan informasi jumlah Daya Total
pada sistem PLTD (per satuan waktu) yang dihasilkan dan diinjeksikan ke feeder(karuni,
kodi, weijewa dan waitabula) sistem PLTD dalam satuan (kW).
b. Indikator daya genset (sesaat). Menunjukkan informasi jumlah daya yang dihasilkan
masing-masing genset(per satuan waktu) dalam satuan (kW).
PTKKE-BPPT
93
2013
Gambar 4.18b. Tampilan MMI/HMI smart genset control PLTDWaitabula pada sistem
SCADA SMGS (Sumber: PTKKE-SMGS, 2013)
c. Trend daya PLTD. Menunjukkan informasi jumlah daya total pada sistem PLTD (per satuan
waktu) yang dihasilkan sistem PLTD dalam satuan (kW) yang ditampilkan dalam bentuk
grafik.
d. Indikator daya sistem smart genset. Menunjukkan informasi jumlah daya total yang
dihasilkan dan diinjeksikan ke feeder sistem PLTD oleh sistem smart genset dalam satuan
(kW).
e. Control smart genset. Link akses setting parameter sistem smart genset pada masingmasing grup SG-1 atau SG-2 seperti ditunjukkan pada gambar 4.18b, antara lain setting
mode smart genset(sesuai algoritma kontrol) yaitu mode auto, mode manual on/off,serta
konfigurasi emergency stop sistem smart genset seperti ditunjukkan pada gamabr 4.18b.
f. Circuit braker (CB). Menunjukkan informasi status kondisi genset eksisting PLTD
Waitabula terhubung/tidak (on/off) pada jaringan(JTM) 20kV.
g. Circuit braker (CB). Link akses pengaturan (setting) on/off masing-masing circuit braker
(CB) pada masing-masing smart genset ke cubicle trafo.
4.3.1.6 PLTMH Lokomborosub-station
Lapisan (layer) yang mempresentasikan MMI/HMI sub-station PLTMH Lokomboro
ditunjukkkan pada gambar 4.19. Seperti halnya di layer sub-station sebelumnya, pada layer ini
juga terdapat link untuk mengakses layer sub-station utama (bagian atas) dan link informasi
lainnya (bagian bawah) seperti halnya yang terdapat pada layer overview. Informasi-informasi
data sistem yang terdapat pada layer sub-station PLTMH Lokomboro antara lain:
a. Indikator penyulang (feeder) PLTMH Lokomboro. Menunjukkan informasi jumlah daya
total pada sistem PLTMH (per satuan waktu) yang dihasilkan dan diinjeksikan ke feeder
(ekspress dan Wejewa) sistem PLTMH dalam satuan (kW).
b. Indikator daya turbin mikro hidro (sesaat). Menunjukkan informasi jumlah daya yang
dihasilkan masing-masing turbin mikro hidro (per satuan waktu) dalam satuan (kW).
PTKKE-BPPT
94
2013
A
C
B
Gambar 4.19 Tampilan MMI/HMI sub-station PLTMH Lokomboro pada sistem SCADA
SMGS (Sumber: PTKKE-SMGS, 2013)
c. Circuit braker (CB). Menunjukkan informasi status kondisi turbin mikro hidro eksisting
PLTMH Lokomboro terhubung/tidak (on/off) pada jaringan (JTM) 220kV.
4.3.1.7 PLTD Waikabubak sub-station
Lapisan (layer) yang mempresentasikan MMI/HMI sub-station PLTD Waikabubak
ditunjukkkan pada gambar 4.20. Seperti halnya di layer sub-station PLTD sebelumnya, pada
layer ini juga terdapat link untuk mengakses layer sub-station utama (bagian atas) dan link
informasi lainnya (bagian bawah) seperti halnya yang terdapat pada layer overview. Informasiinformasi data sistem yang terdapat pada layer sub-station PLTD Waikabubak antara lain:
a. Indikator penyulang (feeder) PLTD Waikabubak. Menunjukkan informasi jumlah daya total
pada sistem PLTMH (per satuan waktu) yang dihasilkan dan diinjeksikan ke feeder
(Anakalang, Ekspress, VIP, Wailiang, Wanukaka, Weebangga dan Weekero) sistem PLTD
Waikabubak dalam satuan (kW).
b. Indikator daya genset (sesaat). Menunjukkan informasi jumlah daya yang dihasilkan
masing-masing genset (per satuan waktu) dalam satuan (kW) di PLTD Waikabubak.
PTKKE-BPPT
95
2013
A
C
C
B
PTKKE-BPPT
96
2013
Gambar 4.21 Tampilan MMI/HMI load braker switch (LBS) pada sistem SCADA SMGS
(Sumber: PTKKE-SMGS, 2013)
a. Indikator frekuensi dan load (sesaat). Menunjukkan informasi frekuensi jaringan dan daya
beban pada feeder (kodi) dalam satuan (kW) di LBS Kodi.
b. Circuit braker load switch(CBLS). Menunjukkan informasi status kondisi pemutus beban
LBS terhubung/tidak (on/off) pada jaringan (JTM) 220kV.
4.3.1.9 Energy management system (EMS)
Lapisan (layer) yang mempresentasikan MMI/HMI informasi energy management system
(EMS) ditunjukkkan pada gambar 4.22. Fungsi EMS adalah sebagai pengatur sistem
kelistrikan sistem SMGS secara menyeluruh agar didapatkan kinerja sistem (performance)
yang efisien dan kualitas daya (power quality) yang bagus.
Seperti halnya di layer sub-station sebelumnya, pada layer ini juga terdapat link untuk
mengakses layer sub-station utama (bagian atas) dan link informasi lainnya (bagian bawah)
seperti halnya yang terdapat pada layer overview.
Informasi parameter dan kinerja sistem SMGS dipetakan dan ditampilkan pada setiap
sub-station antara lain: tegangan fasa-fasa (VAB), tegangan fasa-fasa (VBC), tegangan fasafasa (VCA), arus fasa A, arus fasa B, arus fasa C, daya aktif (P), daya reaktif (Q), daya nyata
(S), faktor daya (PF), frekuensi sistem SMGS dan jaringan, dan daya total yang dihasilkan
sistem SMGS.
PTKKE-BPPT
97
2013
Gambar 4.22. Tampilan MMI/HMI energy management system (EMS) pada sistem SCADA
SMGS (Sumber: PTKKE-SMGS, 2013)
4.3.1.10 Alarm
Fungsi alarm adalah sebagai pengingat(semua kejadian/aktifitas/kondisi abnormal pada
sistem SMGS) yang terjadi di masing-masing perangkat/instrumentasi semua sub-station
(RTU, MTU, Perangkat I/O di lapangan), link komunikasi, kondisi jaringan, dsb. Sistem
SCADA SMGS telah mensetting batasan-batasan dan sistem untuk menghindari
kegagalan/tidak beroperasinya sistem secara total. Batasan-batasan tersebut akan terpantau
oleh sistem Alarm secara kontinu. Semua informasi alarm akan tersimpan pada sistem SCADA
SMGS secara berkala dan real-time.
4.3.1.11 Event
Lapisan (layer) yang mempresentasikan MMI/HMI informasi event ditunjukkkan pada gambar
4.23. Fungsi Event adalah sebagai pencatat semua aktifitas selama sistem SMGS beroperasi
pada perangkat hardware yang terjadi di masing-masing perangkat/instrumentasi sub-station
(RTU, MTU, Perangkat I/O di Lapangan), link komunikasi, kondisi jaringan, dsb. Semua
informasi Event akan tersimpan pada sistem SCADA SMGS secara berkala dan real-time.
PTKKE-BPPT
98
2013
4.3.1.12 Trend
Lapisan (layer) yang mempresentasikan MMI/HMI informasi trend ditunjukkkan pada gambar
4.24. Fungsi trend adalah sebagai pembuat data grafik semua data yang terjadi di masingmasing perangkat/instrumentasi di semua sub-station (RTU, MTU, Perangkat I/O di lapangan),
link komunikasi, kondisi jaringan, dsb. Semua informasi dari data history akan dijadikan
dalam bentuk grafik oleh fungsi trend. Data sistem SMGS bisa ditampilkan berupa grafik
harian/bulanan/tahunan secara berkala. Data grafik trend dari sistem SMGS secara keseluruhan
meliputi lima sub-station dan perangkat instrumentasi pendukung masing-masing sub-station.
Fungsi trend sangat diperlukan untuk analisis kinerja (performance) sistem SMGS dengan
membandingkan beberapa parameter yang saling mempengaruhi secara bersamaan.
PTKKE-BPPT
99
2013
PTKKE-BPPT
100
2013
4.4.2 Saran
a. Penggunaan sistem komunikasi data dengan satelit menggunakan jasa VSAT untuk
kedepannya sebaiknya diganti dengan radio komunikasi sebagai alternatif dan menekan
biaya operasional sewa kanal VSAT. Komunikasi data melalui GSM/GPRS (apabila
provider sudah mulai masuk ke lokasi host master station Bilacenge), radio frekuensi tinggi
(HF) bisa dijadikan alternatif. Untuk skema komunikasi radio seperti ditunjukkan pada
gambar 4.25. dengan menggunakan kanal frekuensi VHF/UHF.
Gambar 4.25. Skema komunikasi data dengan frekuensi radio HF dan redudancy
system (Sumber: PTKKE-SMGS, 2013)
b. Untuk menghindari kegagalan sistem secara total (jikalau terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan) pada master SCADA SMGS di host master station Bilacenge, sebaiknya ada
sistem cadangan (redundancy system), baik local maupun remote redundancy. Namun
dengan pemakaian sistem komunikasi VSAT, jelas akan menambah biaya sewa kanal untuk
system redundancy tersebut. Skema sistem redundancy seperti ditunjukkan pada gambar
4.25.
PTKKE-BPPT
101
2013
c. Sinyal komunikasi GSM/GPRS dari ISP (internet service provider) dilokasi host master
station masih lemah, agar tercapai fungsi remote monitoring sebagai redundancy system
SMGS (Serpong) bisa dijadikan alternatif dengan menambah GSM repeater dan booster
GSM di lokasi Bilacenge seperti ditunjukkan pada gambar 4.26.
Gambar 4.26. Skema komunikasi data dengan GSM/GPRS ISP dan penambahan
repeater+booster GSM (Sumber: PTKKE-SMGS, 2013)
PTKKE-BPPT
102
2013
Daftar Pustaka
[1] McClanahan, R.H., The Benefits of Networked SCADA Systems Utilizing IP-Enabled
Networks, Rural Electric Power Conference, 2002. 2002 IEEE, 5-7 May 2002 Pages: C5 C5_7
[2] The Fundamentals of SCADA2004 Bentley Systems, Incorporated. All rights reserved.
[3] Electrical Scada System Remote Terminal Unit Specification, Version 1.0, by Chief
Engineer Electrical, Issued July 2011
[4] ARGHIRA , D.HOSSU , I.FGRAN , S.S. ILIESCU4, D.Rzvan, Modern Scada
Philosophy In Power System Operation A Survey, ISSN 1454-234xU.P.B. Sci. Bull.,
Series C, Vol. 73, Iss. 2, 2011
[5] Rao Kalapatapu, Scada Protocols And Communication Trends, ISA2004 Paper
[6] Raksha Sunku Ravindranath, Smartgrid Supervisory Control And Data Acquisition
(Scada) SystemSecurity Issues And Counter Measures, California State University,
Sacramento, 2009
PTKKE-BPPT
103