Pancing adalah salah satu alat penangkap ikan yang terdiri dari dua
komponen utama yaitu tali (line) dan mata pancing (hook). Dimana alat tangkap
pancing dibedakan dari segi bentuk dan cara pengoperasiannya. (Brandt, 1972)
Menurut Nedelec dan Prado (1989), pancing adalah alat tangkap ikan yang
terdiri dari komponen mata pancing (hook) dan tali (line). Dimana ikan
dirangsang untuk memakan umpan buatan (artificial bait) atau umpan alami
(natural bait) yang dikaitkan pada mata kail dan kail tersebut terikat pada tali atau
benang.
Untuk Cakalang, alat yang berperan besar dalam penangkapan adalah Pole
and line, tonda dan pancing ulur (Ditjen Perikanan, 1989).
Menurut Ayodhoya (1981), huhate (Skipjack pole and line) atau umumnya
lebih dikenal dengan pole and line adalah cara pemancingan dengan
menggunakan pancing yang dikhususkan untuk menangkap ikan cakalang yang
banyak digunakan di perairan Indonesia. Selanjutnya dikatakan juga pole and line
umum digunakan untuk menangkap ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)
sehingga dengan kata perikanan pole and line sering pengertian kita ke arah
perikanan cakalang, sungguhpun dengan cara pole and line juga dilakukan
penangkapan albacore, mackerel dan lain sebagainya.
Menurut Sudirman dan Mallawa, (2004), huhate adalah jenis alat pancing
penangkap ikan yang terdiri dari bambu sebagai joran/tongkat dan tali sebagai tali
pancing. Pada tali pancing ini dikaitkan mata pancing yang tidak berkait.
Penggunaan mata pancing yang tidak berkait dimaksudkan agar ikan yang
ditangkap dapat mudah lepas.
Huhate (Skipjack pole and line) atau lebih dikenal dengan pole and line
adalah cara pemancingan dengan menggunakan pancing yang dikhususkan yang
banyak digunakan di perairan Indonesia Timur (Ternate-Tidore, Bacan, Ambon,
Minahasa, Morotai, dan Sorong), penangkapan pole and line ini dipakai untuk
menangkap cakalang. Oleh karena digunakan hanya untuk menangkap cakalang,
maka alat ini sering disebut pancing cakalang. (Subani,1989)
Menurut Ditjen Perikanan (1990), sebagai penangkap ikan, alat ini sangat
sederhana desainnya. Hanya terdiri dari joran, tali dan pancing. Tetapi
sesungguhnya sangat komplek karena dalam pengoperasiannya memerlukan
umpan hidup untuk menggiring ke dekat haluan kapal.
Huhate adalah jenis alat pancing penangkap ikan yang terdiri dari bambu
sebagai joran/tongkat dan tali sebagai tali pancing. Pada tali pancing ini dikaitkan
mata pancing yang tidak berkait. Penggunaan mata pancing yang tidak berkait
dimaksudkan agar ikan yang ditangkap dapat mudah lepas. (Surur, 2007)
Huhate atau pole and line khusus dipakai untuk menangkap cakalang.
Oleh karena digunakan hanya untuk menangkap cakalang, maka alat ini sering
disebut pancing cakalang. Huhate dioperasikan sepanjang siang hari pada saat
terdapat gerombolan ikan di sekitar kapal. Alat tangkap ini bersifat aktif, kapal
akan mengejar gerombolan ikan, setelah gerombolan ikan berada di sekitar kapal
lalu diadakan pemancingan. (Fiqrin, 2007)
Menurut Ditjen Perikanan (2009), Huhate (Skipjack pole and line) adalah
alat penangkapan ikan menggunakan pancing bertangkai/berjoran yang dalam
pengoperasiannya menggunakan umpan hidup atau palsu dengan target sasaran
ikan cakalang dan tuna.
tanpa kait. Dan alat tangkap huhate khusus untuk menangkap cakalang, tuna, dan
tongkol.
Dalam International Standart Statistical Classification On Fishing Gear
(ISSCFG) pole and line termasuk dalam kelompok alat tangkap pancing berjoran
biasa dengan singkatan LHM dengan kode 09.2.0. (Nedelec, 1996)
Menurut Direkorat Kapal Perikanan dan Alat Penangkap Ikan (2009),
berdasarkan statistik Indonesia alat tangkap huhate (pole and line) termasuk
dalam kelompok pancing. Alat tangkap ini disebut juga pancing gandar karena
menggunakan gandar walesan atau joran atau tangkin. Sedangkan
berdasarkan sifatnya, alat tangkap huhate (pole and line) termasuk dalam alat
tangkap semi aktif.
Joran (terbuat dari bambu atau bahan lainnya), memiliki elastisitas yang
baik;
2.
3.
huhate tidak berkait seperti lazimnya mata pancing. Mata pancing huhate ditutupi
bulu-bulu ayam atau potongan rafia yang halus agar tidak tampak oleh ikan.
Bagian haluan kapal huhate mempunyai konstruksi khusus, dimodifikasi menjadi
lebih panjang, sehingga dapat dijadikan tempat duduk oleh pemancing.
(Subani,1989)
Menurut Surur (2007) konstruksi pole and line terdiri dari tiga komponen
pokok yang ukurannya tidak terlalu besar dan khusus ini adalah joran, tali dan
pancing.
1.
Joran panjangnya sekitar 4 - 6 meter, ada sejenis bambu untuk Pole and line
yang sangat baik dipakai untuk joran karena mempunyai daya lentur yang
tinggi. Diameter joran berkisar 5 - 6 cm dan diujungnya 2,5 - 2 cm, sehingga
sesuai untuk pegangan orang Asia pada umumnya.
2.
3.
Pancing yang digunakan untuk pole and line ini juga khusus, tidak
menggunakan janggut. Untuk menambah berat pancing, pada bagian shank
dipasang pemberat yang berupa besi yang dilapis bagan anti karat yang
mengkilat. Penambahan berat pancing juga diperlukan mengingat pancing
pole and line juga dipasangi bulu ayam atau bulu burung sebagai umpan.
Pancing yang digunakan untuk pole and line ini juga khusus, tidak
perhatian ikan yang dalam keadaan frenzy itu untuk menyambarnya. (Surur, 2007)
3.
pemancingan dilakukan jangan ada ikan yang lolos atau jatuh kembali ke perairan,
karena dapat menyebabkan gerombolan ikan menjauh dari sekitar kapal. Umpan
yang digunakan adalah umpan hidup, dimaksudkan agar setelah ikan umpan
dilempar ke perairan akan berusaha kembali naik ke permukaan air. Hal ini akan
mengundang cakalang untuk mengikuti naik ke dekat permukaan. Selanjutnya
dilakukan penyemprotan air melalui sprayer. Penyemprotan air dimaksudkan
untuk mengaburkan pandangan ikan, sehingga tidak dapat membedakan antara
ikan umpan sebagai makanan atau mata pancing yang sedang dioperasikan.
Umpan hidup yang digunakan biasanya adalah teri (Stolephorus commersoni).
Pelemparan umpan dilakukan oleh boi-boi setelah diperkirakan ikan telah
berada dalam jarak jangkauan lemparan, kemudian ikan dituntun ke arah haluan
kapal. Pelemparan umpan ini diusahakan secepat mungkin sehingga gerakan ikan
dapat mengikuti gerakan umpan menuju haluan kapal. Pada saat pelemparan
umpan tersebut, mesin penyemprot sudah dihidupkan agar ikan tetap berada di
dekat kapal. Pada saat gerombolan ikan berada dekat haluan kapal, maka mesin
kapal dimatikan. Sementara jumlah umpan yang dilemparkan ke laut dikurangi,
mengingat terbatasnya umpan hidup. Selanjutnya, pemancingan dilakukan dan
dilakukan
operasi
penangkapannya.
Adapun
alat-alat
bantu
Rumpon
Menurut Sudirman dan Mallawa, (2004), rumpon biasanya juga disebut
dengan Fish Agregation Device (FAD) yaitu suatu alat bant penangkapan yang
berfungsi untuk memikat ikan agar berkumpul dalam suatu daerah.
Ada beberapa prediksi mengapa ikan senang berada di sekitar rumpon :
1.
2.
Merupakan suatu tingkah laku dari berbagai jenis ikan untuk berkelompok
di sekitar kayu terapung (seperti jenisjenis tuna dan cakalang). Dengan
demikian, tingkah laku ikan ini dimanfaatkan untuk tujuan penangkapan.
Kepadatan gerombolan ikan pada rumpon diketahui oleh nelayan
penggunaan rumpon secara modern baru dimulai pada tahun 1980 oleh Lembaga
Penelitian Perikanan Laut. (Monintja ,1999)
Selanjutnya menurut Subani dan Barus, (1989), dilihat dari kedalaman air
dimana rumpon ditanam (dipasang) dibedakan antara rumpon laut dangkal dan
rumpon laut dalam atau yang dikenal dengan payaos.
Rumpon ini umumnya dipasang pada kedalaman antara 30 - 75 m. Setelah
dipasang kedudukan rumpon yang ada mudah diangkat-angkat, tetapi ada juga
yang bersifat tetap tergantung dari pemberat yang digunakan.
Rumpon yang beratnya antara 25 - 35 kg biasanya berupa jangkar,
sedangkan rumpon yang beratnya antara 75 - 100 kg bahkan lebih terdiri dari
batu-batu yang diikat satu sama lain atau dimasukkan di dalam suatu keranjang
dari rotan, atau dapat juga terdiri dari cor-coran semen.
Rumpon laut dalam (payaos) pelampungnya agak istimewa. Pelampungnya
bisa terdiri dari 60 - 100 batang bambu yang disusun dan diikat menjadi satu
sehingga membentuk rakit. Tali pemberat (tali yang menghubungkan antara
pelampung dengan pemberat) dapat mencapai 1000 - 1500 m. Pemberatnya
berkisar 1000 - 3500 kg terdiri dari batu-batu yang dimasukkan dalam keranjang
rotan atau berupa rangkaian ikatan batu gunung.
2. Pila-pila
Pila-pila digunakan sebagai tempat duduk atau berdiri tempat pemancing,
yang letaknya bisa pada bagian haluan dan buritan antara sepanjang lambung kiri
dan kanan (Dirjen Perikanan, 1990)
3. Pipa penyemprot
Pipa penyemprotan digunakan untuk menyemprotkan air secara percikan ke
2.
Tahan terhadap lama di dalam bak penyimpanan pada saat pelayaran dari
daerah penangkapan ikan umpan menuju daerah penangkapan cakalang;
3.
4.
Sisi umpan tidak mudah terkelupas, sehingga tingkat kecerahan warna dapat
dipertahankan; dan
5.
Panjang (size) umpan hidup sesuai dengan ukuran yang disenangi oleh
cakalang yang menjadi target penangkapan.
Sesuai dengan sifat sifat tersebut di atas, pemilihan jenis dan ukuran
umpan yang sesuai perlu dilakukan secara seksama. Subani, (1973) dalam
Simbolon, (2003) menyatakan bahwa ukuran umpan yang ideal dengan tipe badan
memanjang (streem line) berkisar antara 7,5 10,0 cm. Selanjutnya disebutkan
bahwa ukuran panjang umpan dengan tipe badan melebar sebaiknya berkisar
antara 5,0 7,5 cm.
Masalah utama yang sering dialami dalam perikanan pole and line adalah
ketersediaan umpan hidup pada waktu waktu tertentu dan tingginya tingkat
kematian umpan dalam bak penyimpanan di atas kapal. Di lain pihak, kegiatan
operasi penangkapan cakalang dengan pole and line tidak akan berhasil apabila
umpan hidup tidak tersedia dalam jumlah yang memadai. Dengan demikian,
umpan hidup merupakan salah satu faktor pembatas (limiting factor) paling
penting dalam perikanan pole and line (Gafa dan Merta, 1987 dalam Simbolon,
2003).
tangkap bagan (lift net) baik bagan perahu (raft lift net) ataupun bagan tancap
(stationary lift net). Kendala yang dihadapi oleh alat tangkap ini adalah apabila
bulan purnama. Pada saat bulan purnama dan terang bulan yang berlangsung
antara 6 sampai 10 hari, ikan tidak dapat ditangkap dengan bagan perahu,
meskipun sudah menggunakan lampu sebagai atraktor.
mungkin yang diakibatkan kotoran ikan dan sisik ikan yang terlepas.
Menurut Ditjen Perikanan (2000), selain itu kondisi lingkungan dapat dibuat
lebih mendukung dengan cara meningkatkan sejumlah oksigen kedalam tangki
umpan, menurunkan temperatur, menurunkan salinitas dan pada saat yang sama
menghindari kepadatan ikan dan menghindari rangsangan untuk membantu agar
mereka menjadi tenang.
Penanganan ikan hasil tangkapan
Cara penanganan yang dipilh umumnya sesuai kondisi yang dikehendaki
pasar dengan prinsip yang sama yaitu menjaga mutu ikan agar tetap segar, sehat,
aman dan menarik saat disajikan sehingga harganya mampu bersaing saat
dipasarkan dan dapat menguntungkan bagi produsennya.
Selain itu prinsip penanganan ikan lainnya yang harus dilakukan, antara lain
menjaganya dari benturan atau tekanan fisik yang dapat melukai tubuh ikan atau
membuat dagingnya memar, melindungi dari sinar panas matahari langsung dan
mencegahnya dari kontaminasi bahan-bahan yang kotor dan berbahaya. (Prayitno,
2004-website: www.cofish.net).
Keberhasilan penanganan ikan di atas kapal untuk menjaga mutunya sangat
ditentukan oleh :
1.
Prinsip penanganan ikan di atas kapal untuk ikan ukuran besar (kurang dari
10 kg) menurut Prayitno (2004), adalah sebagai berikut:
1. Ikan-ikan berukuran besar umumnya ditangkap dengan alat tangkap pancing
dan biasanya masih dalam keadaan hidup saat diangkat dari air, untuk ini
ikan harus segera dibunuh dengan memukul kepalanya atau dengan cara lain
yang tidak merusak fisik ikan.
2. Segera mendinginkannya dengan mencelupkan ikan di bak chiling yang
telah diisi air es sambil menunggu saat penyiangannya. Suhu air akan selalu
terjaga pada suhu 00C.
3. Melakukan penyiangan (buang insang dan isi perut, dan untuk ikan-ikan
besar juga mengiris sebagian operculum dan membuang sirip) dan
membuang darahnya. Pembersihan dilakukan dengan mencucinya memakai
air dingin yang telah didinginkan dengan es.
4. Selanjutnya ikan disusun secara bercampur dan berselang-seling dengan es
curah.
3.
Gambar 2. Sketsa kapal Pole and Line tampak dari atas ((Brandt, 1972)
Daerah Penangkapan
Menurut Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2005), penagkapan ikan
dengan alat tangkap huhate hanya diijinkan pengoperasiannya di wilayah perairan
tertentu dan ZEEI Laut Sulawesi dan ZEEI Samudera Pasifik.
Sulawesi Utara, Halmahera, Maluku dan Irian Jaya dengan basis penangkapan
masing masing di Bitung, Ternate, Ambon dan Sorong. Wilayah yang memiliki
potensi cakalang di kawasan barat indonesia terdapat di perairan selatan Jawa
Barat (Pelabuhan Ratu), Sumatera Barat dan Aceh
Musim penangkapan ikan cakalang di perairan indonesia pada umumnya
dapat dilakukan sepanjang tahun, namun puncak musim penangkapan sering kali
bervariasi menurut wilayah perairan, sebagai mana disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Puncak Musim Penangkapan Cakalang Menurut Wilayah Perairan
No.
Wilayah Perairan
Puncak Musim
Halmahera
Maluku
Irian Jaya
Pelabuhan ratu
Padang
Aceh
: Animalia
Phyllum
: Chordata
Sub-phyllum
: Vertebrata
Kelas
: Pisces
Sub-kelas
: Teleostei
Ordo
: Percomorphi
Sub-Ordo
: Scombroidea
Familia
: Scombridae
Genus
: Katsuwonus
Species
: Katsuwonus pelamis
Cakalang termasuk ikan perenang cepat dan mempunyai sifat makan yang
rakus. Ikan jenis ini sering bergerombol yang hampir bersamaan melakukan ruaya
disekitar pulau maupun jarak jauh dan senang melawan arus, ikan ini biasa
bergerombol diperairan pelagis hingga kedalaman 200 m. Ikan ini mencari makan
berdasarkan penglihatan dan rakus terhadap mangsanya (Gunarso, 1996).
Daerah Penyebaran Cakalang
Menurut Gunarso (1996), suhu yang ideal untuk ikan cakalang antara 260C
320C, dan suhu yang ideal untuk melakukan pemijahan 280C 290C dengan
salinitas 33%. Sedangkan menurut Jones dan Silas (1963) cakalang hidup pada
temperature antara 160C 300C dengan temperature optimum 280C. Penyebaran
Tuna dan Cakalang sering mengikuti penyebaran atau sirkulasi arus garis
konvergensi diantara arus dingin dan arus panas merupakan daerah yang kaya
akan organisme dan diduga daerah tersebut merupakan fishing ground yang sangat
baik untuk perikanan Tuna dan Cakalang.
Daerah penyebaran ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) membentang di
sekitar 400 LU 300 LS. Daerah penangkapannya yang terbesar disekitar
Khatulistiwa yaitu 100 LU 100 LS. Sebagian perairan Indonesia merupakan
lintasan ikan cakalang yang bergerak menuju kepulauan Philipina dan Jepang.
Itulah sebabnya ikan cakalang dijumpai hampir sepanjang tahun disana-sini pada
perairan Indonesia. (Gunarso, 1985)