PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.1.1. Perkembangan ruang kawasan teluk dalam wilayah kota
Bentang ruang wilayah Kota Palu merupakan kawasan lembah yang di
lingkupi oleh perbukitan di sebelah Timur, pegunungan pada sisi Barat sementara
sisi Utara terdapat Teluk. Secara topografi kawasan dipisahkan oleh aliran sungai
dari arah Selatan yang berhulu di danau Lindu hingga bermuara di teluk pada
sebelah Utara. Kawasan ini merupakan kawasan yang baru dihuni akibat adanya
pergerakan masyarakat dari pegunungan dan perbukitan ke arah dataran rendah.
Kelompok tersebut merupakan masyarakat etnis to kaili (suku asli setempat) yang
sejak lama telah mendiami kawasan perbukitan dan pegunungan sekitar lembah.
Sebaran masyarakat terus merambah hingga sampai kawasan tepian teluk dengan
berbagai profesi seperti berdagang, bertani, beternak, buruh hingga nelayan.
Upaya tersebut menurut Holahan (1982), merupakan keputusan individu yang
dilakukan untuk menyesuaikan harapan dan keinginan individu terhadap dengan
lingkungan yang dipilihnya. Seiring semakin berkembangannya aktivitas di
lembah, maka dibentuklah kerajaan meliputi kesatuan empat kampung yaitu
Besusu, Tanggabanggo (Siranindi atau Kamonji), Panggovia (Lere) dan
Boyantongo (Baru). Wilayah kerajaan Lere dan Besusu mempunyai keterkaitan
dengan kasus penelitian. Kawasan kerajaan Lere dan Besusu bersentuhan
langsung dengan wilayah teluk Palu yang dihuni oleh masyakat to-kaili dan
memaknai teluk sebagai jowa (lidah laut). Selain itu, kawasan Lere dan Besusu
mempunyai keunikan sebab dalam konteks bentang alam menjadi titik pertemuan
daratan dan lautan. Kawasan ini merupakan wilayah pesisir yaitu daerah
pertemuan antara darat dan laut. Kawasan ini meliputi bagian daratan kering dan
terendam air serta dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut,
dan perembesan air asin. Sementara wilayah pesisir laut mencakup bagian yang
masih dipengaruhi oleh proses-proses alami di darat seperti sedimentasi dan aliran
air tawar. Proses pemanfaatan kawasan menunjukkan adanya perubahan tatanan
wilayah dari perbukitan/pegunungan menuju lembah hingga daerah pesisir.
Norberg C-Schulz (1996), melihat proses ini sebagai usaha manusia memilih
lokasi bermukim guna memenuhi tiga unsur tempat yaitu bukit supaya dapat
mengawasi sekitarnya, lembah supaya terlingkupi, dan daerah pertemuan darat
dan air (pesisir).
Seiring perkembangan etnis to-kaili maka sebaran etnis mulai menyentuh titik
tepian/kawasan pesisir. Sebaran etnis menetap dan berkembang secara turuntemurun serta menggantungkan hidup dari hasil laut. Proses ini menururt Yean
(1995) sebagai upaya mengubah tingkah laku agar sesuai dengan lingkungannya
serta mengubah lingkungannya agar dapat berkorelasi dengan tingkah lakunya.
Perkembangan kemudian diikuti dengan pertumbuhan hunian berbentuk
kelompok di kawasan pesisir untuk menunjang aktivitas sosial, istirahat maupun
berlindung. Aktivitas tersebut menjadi warna kehidupan pesisir yang berlangsung
sejak dahulu. Hal ini dapat terlihat dari beberapa artefak hunian tua dan
peninggalan sejarah seperti souraja (rumah raja) serta makam Datok Karama
(ulama dari tanah Minang) penyebar agama islam di lembah Palu. Artefak
kawasan merupakan hasil ekspresi fisik dari kegiatan budaya bermukim di
kawasan pesisir yang telah mendiami kawasan dan menggunakan laut sebagai
penopang kehidupan.
1.1.2. Perkembangan kawasan tepian teluk sebagai beranda depan kota
Seiring pertumbuhan dan perkembangan kota, kawasan teluk perlahan dituntut
mewadahi perkembangan ruang kawasan perkotaan.
Ruang Wilayah (RTRW) kota Palu 2011/2030 nomor 6 tahun 2011 dengan
pendekatan konsep arsitektur souraja (rumah raja) kawasan pesisir pantai/teluk
ditetapkan
sebagai
beranda
depan
kota
gandaria
(teras/ruang
depan).
dengan
berbagai
keterbatasannya
sehingga
tidak
memperlihatkan
kelompok
Hubungan kekerabatan
tidak
terlepas dari beberapa faktor fisik rumah dan lingkungan, faktor sosial budaya,
faktor ekonomi, serta faktor psikologi (Holahan, 1982). Kompleksitas kehidupan
ruang kawasan memperlihatkan adanya proses konsolidasi dalam bentuk
perkuatan yang berorientasi pada pemanfaatan ruang teluk sebagai elemen utama
eksistensi kelompok aktivitas. Respon aktivitas berbasis lokalitas terhadap
Rumusan Permasalahan
jalinan antara ruang dikawasan yang berorientasi pada teluk sebagai ruang inti,
melalui:
1.
2.
praktis,
teori
konsolidasi
ruang
nantinya
bermanfaat
untuk
kota pada area tepian teluk yang dilalui oleh Jalan Lingkar Pantai Teluk Palu
(JLPTP) dalam wilayah kecamatan Palu Barat dan Palu Timur.
Pelaksanaan penelitian difokuskan pada fenomena-fenomena keruangan yang
berhubungan dengan proses konsolidasi dalam pemanfaatan ruang kawasan oleh
kelompok aktivitas. Pendekatan penelusuran menggunakan aktivitas kelompok
sebagai objek utama untuk melihat sebaran pemanfaatan ruang, penggunaan
elemen serta pembentukan ruang. Proses aktivitas perilaku kelompok menjadi
sumber utama pengumpulan informasi pemanfaatan ruang kawasan. Rekam jejak
aktivitas serta faktor pendukungnya digunakan untuk mengungkap ataupun
membuat telaah mengenai proses terbentuknya konsolidasi ruang dan antar ruang.
Langkah selanjutnya dengan menelusuri proses konsolidasi ruang dan antar ruang
dalam mewadahi aktivitas kelompok serta pengaruh
yang ditimbulkan.
kasus
penggunaan
ruang
oleh
kelompok
diharap
dapat
10
penelitian
yang
telah
dilakukan
sebelumnya
pada
lokasi
untuk
menunjukkan
posisi
penelitian
terhadap
peneltian
1 2003, Muhammad
Bakri
3 2005, Nurhidayat
4 2005, Syarifuddin
11
No
(1)
6 2006, Muhammad
Bakri
2006, Amar
2009,
Hasanuddin Konsep Pengamanan Pantai Talise Kota Palu Propinsi
Azikin dan Trianty Sulawesi Tengah
Anasiru
Menghasilkan konsep penanggulangan efektif mengatasi
permasalahan khususnya pantai Talise sehingga
kealamiahan pantai dapat terjaga.
2014, Muhammad
Bakri
umumnya
12
13
tindakan
menggabungkan dua hal atau lebih menjadi satu, (d) konsolidasi bidang hukum
perusahaan merupakan penyatuan dua atau lebih perusahaan menjadi perusahaan
baru bersama dengan pembubaran perusahaan asli serta, (e) konsolidasi prosedur
sipil yaitu pengadilan memerintahkan kombinasi dari dua atau lebih aktivitas yang
melibatkan pihak yang sama atau masalah. Mengutip dari The American Heritage
Dictionary of Business Terms (2010), Webster's New World College Dictionary
(2010), The American Heritage Medical Dictionary (2010), Webster's New World
Law Dictionary (2010) dan Scott (2010).
Lebih lanjut dalam bidang tata ruang konsep konsolidasi menggunakan
pendekatan konsolidasi lahan sebagai upaya penataan kembali penguasaan,
pengadaan, kepemilikan lahan oleh masyarakat. Kepemilikan lahan melalui usaha
bersama untuk membangun lingkungan yang siap bangun dan menyiapkan
kapling tanah matang sesuai dengan rencana tata ruang yang berlaku. Penekanan
metode ini diletakkan pada pentingnya pelibatan semua pemangku kepentingan
14
konsolidasi
keseimbangan,
seperti
keberlanjutan,
keterpaduan,
keserasian,
keberdayagunaan
dan
keselarasan
dan
keberhasilgunaan
menyediakan
beberapa
kesempatan
konsolidasi
misalnya
Sasaran yang
dituju yaitu mencapai suatu penggunaan tanah secara optimal melalui peningkatan
efisiensi dan produktifitas penggunaan tanah. Konsolidasi tanah merupakan
bentuk penatagunaan tanah yang tidak dapat terlepas dari kaidah-kaidah penataan
ruang, mengutip Djakapermana (2001).
Konsolidasi dalam ruang terbuka menekankan pada ukurannya, bagaimana
orang menggunakannya, fungsi yang ditujukan, lokasinya serta faktor pembentuk
15
kebijakan
penggabungan
layanan
untuk
memenuhi
kesetaraan,
pengembangan ruang terbuka hijau sebagai akses dan pengikat kota serta
konsolidasi yang dianalogikan sebagai padat (solid). Gap Teoritik Konsolidasi
Ruang di kawasan teluk ditunjukkan pada Gambar 1.1.
16
Ujung keilmuan Konsolidasi ruang di kawasan teluk Palu belum berdasar pada konsolidasi sebagai
suatu proses restrukturisasi eksistensi pemanfaatan ruang untuk kelompok aktivitas. Proses
tersebut berdasar pada faktor pengaruh yang didukung oleh prinsip-prinsip kelompok
pemanfaatan ruang !
17