Anda di halaman 1dari 17

1. BAB I.

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.1.1. Perkembangan ruang kawasan teluk dalam wilayah kota
Bentang ruang wilayah Kota Palu merupakan kawasan lembah yang di
lingkupi oleh perbukitan di sebelah Timur, pegunungan pada sisi Barat sementara
sisi Utara terdapat Teluk. Secara topografi kawasan dipisahkan oleh aliran sungai
dari arah Selatan yang berhulu di danau Lindu hingga bermuara di teluk pada
sebelah Utara. Kawasan ini merupakan kawasan yang baru dihuni akibat adanya
pergerakan masyarakat dari pegunungan dan perbukitan ke arah dataran rendah.
Kelompok tersebut merupakan masyarakat etnis to kaili (suku asli setempat) yang
sejak lama telah mendiami kawasan perbukitan dan pegunungan sekitar lembah.
Sebaran masyarakat terus merambah hingga sampai kawasan tepian teluk dengan
berbagai profesi seperti berdagang, bertani, beternak, buruh hingga nelayan.
Upaya tersebut menurut Holahan (1982), merupakan keputusan individu yang
dilakukan untuk menyesuaikan harapan dan keinginan individu terhadap dengan
lingkungan yang dipilihnya. Seiring semakin berkembangannya aktivitas di
lembah, maka dibentuklah kerajaan meliputi kesatuan empat kampung yaitu
Besusu, Tanggabanggo (Siranindi atau Kamonji), Panggovia (Lere) dan
Boyantongo (Baru). Wilayah kerajaan Lere dan Besusu mempunyai keterkaitan
dengan kasus penelitian. Kawasan kerajaan Lere dan Besusu bersentuhan
langsung dengan wilayah teluk Palu yang dihuni oleh masyakat to-kaili dan
memaknai teluk sebagai jowa (lidah laut). Selain itu, kawasan Lere dan Besusu
mempunyai keunikan sebab dalam konteks bentang alam menjadi titik pertemuan
daratan dan lautan. Kawasan ini merupakan wilayah pesisir yaitu daerah
pertemuan antara darat dan laut. Kawasan ini meliputi bagian daratan kering dan
terendam air serta dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut,
dan perembesan air asin. Sementara wilayah pesisir laut mencakup bagian yang
masih dipengaruhi oleh proses-proses alami di darat seperti sedimentasi dan aliran
air tawar. Proses pemanfaatan kawasan menunjukkan adanya perubahan tatanan
wilayah dari perbukitan/pegunungan menuju lembah hingga daerah pesisir.

Norberg C-Schulz (1996), melihat proses ini sebagai usaha manusia memilih
lokasi bermukim guna memenuhi tiga unsur tempat yaitu bukit supaya dapat
mengawasi sekitarnya, lembah supaya terlingkupi, dan daerah pertemuan darat
dan air (pesisir).
Seiring perkembangan etnis to-kaili maka sebaran etnis mulai menyentuh titik
tepian/kawasan pesisir. Sebaran etnis menetap dan berkembang secara turuntemurun serta menggantungkan hidup dari hasil laut. Proses ini menururt Yean
(1995) sebagai upaya mengubah tingkah laku agar sesuai dengan lingkungannya
serta mengubah lingkungannya agar dapat berkorelasi dengan tingkah lakunya.
Perkembangan kemudian diikuti dengan pertumbuhan hunian berbentuk
kelompok di kawasan pesisir untuk menunjang aktivitas sosial, istirahat maupun
berlindung. Aktivitas tersebut menjadi warna kehidupan pesisir yang berlangsung
sejak dahulu. Hal ini dapat terlihat dari beberapa artefak hunian tua dan
peninggalan sejarah seperti souraja (rumah raja) serta makam Datok Karama
(ulama dari tanah Minang) penyebar agama islam di lembah Palu. Artefak
kawasan merupakan hasil ekspresi fisik dari kegiatan budaya bermukim di
kawasan pesisir yang telah mendiami kawasan dan menggunakan laut sebagai
penopang kehidupan.
1.1.2. Perkembangan kawasan tepian teluk sebagai beranda depan kota
Seiring pertumbuhan dan perkembangan kota, kawasan teluk perlahan dituntut
mewadahi perkembangan ruang kawasan perkotaan.

Melalui Rencana Tata

Ruang Wilayah (RTRW) kota Palu 2011/2030 nomor 6 tahun 2011 dengan
pendekatan konsep arsitektur souraja (rumah raja) kawasan pesisir pantai/teluk
ditetapkan

sebagai

beranda

depan

kota

gandaria

(teras/ruang

depan).

Pengembangan kawasan tersebut ditegaskan dalam rencana pengembangan


kawasan budidaya poin (e), tentang kawasan pariwisata, lebih lanjut dijelaskan
pada pasal 49 mengenai kawasan pengembangan ruang wisata yaitu kawasan
pantai teluk Palu yang meliputi seluruh wilayah tepian pantai terdiri dari 15
wilayah kelurahan. Lima wilayah dalam kawasan pengembangan beranda depan

kota merupakan lokasi pelaksanaan penelitian meliputi wilayah kelurahan Silae,


Kelurahan Lere, Kelurahan Besusu dan Kelurahan Talise.
Kawasan tepian pada lima kelurahan dalam fokus amatan selain bersentuhan
langsung dengan kawasan teluk juga bersentuhan langsung dengan pusat kota.
Kondisi ini menyandera eksistensi ruang-ruang berbasis kelompok komunitas
lokal

dengan

berbagai

keterbatasannya

sehingga

tidak

memperlihatkan

perkembangan signifikan dan cenderung bertahan (Lang, 1997). Kondisi tersebut


lahir dari adanya hubungan simbolis yang dibentuk oleh masyarakat dengan ruang
secara kultural. Hubungan simbolis memberikan pengertian emosional kepada
suatu ruang yang menjadi basis seseorang atau kelompok dalam memahami
hubungannya dengan lingkungan (Law, 1992). Implementasi keterhubungan
dengan lingkungan kemudian menciptakan kelompok-kelompok aktivitas
kawasan tepian yang mempunyai keterhubungan langsung dengan wilayah teluk.
Pembangunan jaringan Jalan Lingkar Pantai Teluk Palu (JLPTP) dilakukan
untuk menunjang aksesibilitas dan menciptakan koneksi kawasan tepian teluk.
Pembangunan JLPTP ini perlahan menimbulkan desakan terhadap eksistensi
kelompok aktivitas kawasan pesisir. Pengembangan jalan mendukung fungsi
aktivitas bangunan dan kegiatan-kegiatan yang mendukung ruang kawasan
(Shirvani, 1985). Perkembangan kawasan kemudian ditanggapi beragam oleh
berbagi pihak. Hal ini terlihat dari kedatangan masyarakat etnis Bugis, Jawa,
Gorontalo dan Menado yang memanfaatkan kawasan sebagai area kompetisi dan
asimilasi dengan masyarakat setempat. Percampuran tatanan kehidupan
masyarakat lokal dengan pendatang kemudian membentuk tatanan berkehidupan
heterogen berdasarkan pada kelompok aktivitas. Brower (1980) mendefinisikan
kondisi ini sebagai hubungan antara wilayah pribadi dan publik. Hubungan antar
wilayah pribadi dan publik dimediasi oleh jalan unit antara dunia privat
keluarga dengan kehidupan komunitas yang lebih besar. Aktivitas di jalan sebagai
pusat sosial suatu kota tidak hanya dijadikan sebagai tempat masyarakat
berkumpul tetapi juga merupakan saluran pencapaian dan saluran sirkulasi
aktivitas.

Untuk menunjang pertumbuhan wisata kawasan, keberadaan JLPTP memiliki


dua peran penting dalam kegiatan pariwisata, yaitu: (a) sebagai alat tansportasi
dan komunikasi antara pengunjung atau wisatawan melalui atraksi rekreasi atau
fasilitas; dan (b) sebagai tempat bagi pengunjung atau wisatawan melihat
pemandangan selama perjalanan. Perkembangan kemudian diikuti berbagai
pelengkap untuk memenuhi kebutuhan berwisata seperti hotel, restoran, cafe dan
taman yang mengikuti jaringan JLPTP dan berorientasi pada teluk.
1.1.3. Kelompok aktivitas pengguna ruang kawasan tepian teluk
Perkembangan kawasan tepian teluk seperti kawasan pesisir lainnya tidak
terlepas dari aktivitas kelompok nelayan yang mempunyai ketergantugan terhadap
tempat tinggalnya. Ketergantungan terhadap tempat tinggal didefinisikan sebagai
place dependence yaitu nilai suatu tempat untuk atribut yang terkait dengan
aktivitas didalamnya. Selain adanya ketergantungan terhadap tempat tinggal juga
terdapat identitas tempat (place identity) yaitu ikatan emosional terhadap tempat
sebagai wujud identitas diri (Law,1992). Demikian pula dengan aktivitas
kelompok petambak tambak garam yang mempunyai ketergantungan terhadap
ruang laut sebagai ruang penyedia elemen aktivitas utama dalam kesehariannya.
Penegasan keberadaan dalam ruang kawasan ditunjukkan dengan beberapa
elemen seperti bangunan seperti pasompoa (pondok nelayan) pada tepian teluk
dan bangunan sou ripogara (pondok patani tambak garam) di ladang tambak
petambak garam. Pasompoa (pondok nelayan) berfungsi sebagai penegasan
eksistensi kelompok nelayan sementara bangunan sou ripogara (pondok patani
tambak garam) di ladang petambak garam merupakan suatu proses desain
lingkungan guna memfasilitasi area beraktivitas atau biasa disebut unselfconcious
(Alexander, 2007).
Perkembangan kawasan teluk sebagai area depan kota semakin meningkat
diiringi dengan bertambahnya potensi daya tarik lingkungan teluk. Hal ini
menunjang pertumbuhan kelompok aktivitas wisata. Keberadaan

kelompok

pelaku aktivitas wisata pada kawasan memberi dampak terhadap keragaman


aktivitas dalam memanfaatkan ruang. Berbagai aktivitas kelompok pengguna

ruang menjadikan kawasan sebagai area berinteraksi dan berekspresi guna


menegaskan keberadaannya. Representasi tersebut menurut Maslow (1968)
merupakan identifikasi

dari keinginan manusia untuk pemenuhan fisiologis,

mendapatkan keamanan dan keselamatan, mendapatkan kelompok/keanggotaan,


mendapatkan penghargaan serta mendapatkan aktualisasi diri. Perjalanan
aktualisasi kelompok kemudian memunculkan bentuk kekerabatan dalam
kelompok maupun lintas kelompok. Blowers

dalam Matthew Carmona dkk

(2003) membagi jenis bentuk kekerabatan suatu suatu kelompok masyarakat


menjadi lima jenis yaitu: (a) arbitrary neighbourhoods, (b) ecological and or
ethnological neighbourhoods, (c) homogenous neighbourhoods, (d) functional
neighbourhoods, dan (e) community neighbourhoods.

Hubungan kekerabatan

antara kelompok aktivitas kemudian menjadi warna kehidupan ruang kawasan


teluk, baik yang terencana, tidak terencana, permanen, tidak permanen. Proses
tersebut sebagai aktualisasi diri dan kelompok dalam menyikapi pertumbuhan
ruang kawasan. Perkembangan ruang tidak lagi sekedar media personal tetapi
berkembang hingga mewadahi aktivitas berkelompok maupun antar kelompok
yang terkoneksi dengan lingkungannya.
Ruang aktivitas lokal yang semakin terdesak oleh perkembangan kawasan
teluk ternyata tidak menghilangkan ruang lokal. Proses seperti ini manusia
mempunyai kesempatan untuk memilih lingkungan yang sesuai dengan
kebutuhannya, pilihannya, gaya hidupnya dan image yang ada dalam citra dirinya.
Lebih lanjut, manusia juga akan mengekspresikan dirinya pada lingkungan
dimana dia bertempat tinggal yang diwujudkan dalam berbagai simbolisme sesuai
dengan budayanya (Rapoport, 1969). Gambaran keruangan kawasan teluk
memperlihatkan adanya tumpang tindih aktivitas pengguna ruang untuk aktivitas
kelompok. Kemampuan bertahanan sebuah kelompok aktivitas lokal

tidak

terlepas dari beberapa faktor fisik rumah dan lingkungan, faktor sosial budaya,
faktor ekonomi, serta faktor psikologi (Holahan, 1982). Kompleksitas kehidupan
ruang kawasan memperlihatkan adanya proses konsolidasi dalam bentuk
perkuatan yang berorientasi pada pemanfaatan ruang teluk sebagai elemen utama
eksistensi kelompok aktivitas. Respon aktivitas berbasis lokalitas terhadap

perkembangan ruang aktivitas wisata (kekinian) menjadi keberagaman ruang.


Pemaknaan ruang sebagai satu kesatuan darat dan laut menjadi kekuatan sehingga
mampu menjembatani hubungan ruang secara internal dan berbaur secara
eksternal dengan ruang kawasan lainnya. Konsep serupa menurut Waani (2010)
mengungkap strategi masyarakat pasca reklamasi pantai berkaitan dengan usaha
menyesuaikan, mempertahankan, menandai dan melegimitasi ruang dalam konsep
basudara.
Berbasis fakta-fakta aktivitas pengguna ruang di kawasan, maka diperlukan
penelusuran mendalam untuk mengungkap pemaknaan ruang hingga membentuk
perkuatan ruang secara internal maupun eksternal. Keberadaan ruang-ruang
aktivitas kelompok dalam satu kawasan hingga terjalinnya hubungan, merupakan
bagian proses terbangunnya perkuatan ruang yang akan diungkap. Studi
mendalam dalam penelitian diharap dapat memperkaya teori ruang berbasis
kawasan, khususnya yang berhubungan dengan kelompok aktivitas di kawasan
teluk (pesisir), akan dikaji secara menyeluruh guna menemukan formula konsepkonsep keruangan secara internal maupun eksternal. Proses sinergitas,
keterhubungan dan perkuatan nantinya diharap dapat menunjang karakteristik
bentuk ruang kawasan teluk dengan tidak mengurangi nilai dan fungsi kawasan.
1.2.

Rumusan Permasalahan

Isu-isu terkait dengan proses konsolidasi ruang di teluk Palu, mengisyaratkan


adanya hubungan sejarah dengan pemanfaatan ruang aktivitas hingga mencapai
pesisir teluk. Kelompok aktivitas pengguna ruang tersebut berbasis pada budaya
lokal dan menguasai hampir seluruh wilayah pesisir. Namun pasca kawasan
pesisir diarahkan menjadi beranda depan kota, timbul desakan pada aktivitas
pengguna ruang pesisir. Perkembangan infrastruktur talud, Jalan Lingkar Pantai
Teluk Palu (JLPTP) serta jembatan untuk mengakomodasi kepentingan ruangruang kekinian khususnya berwisata, perlahan memberi desakan terhadap ruang
berbasis lokalitas. Desakan terhadap aktivitas lokal akibat perkembangan
aktivitas, fasilitas melalui dukungan finansial memberi dinamika perkembangan
ruang aktivitas berwisata ditengah kelompok ruang lokal. Proses perkembangan

aktivitas wisata kemudian dilegitimasi melalui kebijakan pengembangan kawasan


dan cenderung melupakan eksistensi ruang untuk mengakomodasi aktivitas lokal.
Permasalahan-permasalahan keruangan yang muncul dari ranahh empiris
kawasan teluk Palu adalah perkembangan ruang kawasan menimbulkan desakan
terhadap aktivitas meruang berbasis lokal dengan adanya perkembangan ruang
aktivitas wisata. Proses kemudian berkembang menguasai tepian sebagai media
aktivitas, pengembangan infrastruktur untuk menunjang fasilitas dan aktivitas
wisata. Keterikatan ruang berbasis lokal dilingkungan wilayah pesisir, umumnya
tidak terakomodasi dalam konsep pengembangan beranda depan kota. Keberadaan
mereka perlahan terdampak perkembangan lingkungan walaupun dalam ranah
empiris terlihat masih dapat bertahan.
Keterikatan aktivitas dengan lingkungan, hubungan sinergitas antar ruang,
desakan sebaran, perlakuan dan keberpihakan merupakan gambaran permasalahn
ruang kawasan. Proses tersebut secara individu/kelompok berkembang seiring
desakan aktivitas wisata terhadap aktivitas berbasis lokal dalam pemanfaatan
ruang darat dan laut untuk aktivitas. Kehadiran pelaku wisata dikawasan
kemudian menimbulkan perubahan fungsi-fungsi ruang kawasan teluk guna
menunjang ekspresi, berhuni, berwisata, pandangang serta relaksasi dalam ruang.
1.3. Pertanyaan Penelitian
Sebagai fokus pembahasan penelitian dikembangkan pertanyaan berdasar pada
kompleksitas permasalahan keruangan dari ranah empiris. Pertanyaan penelitian
disusun guna menjawab permasalahan keruangan kawasan teluk Palu, antara lain:
1. Bagaimana proses konsolidasi ruang nelayan dan petambak garam terhadap
perkembangan ruang di kawasan teluk Palu?
2. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi konsolidasi ruang di kawasan
teluk Palu?
1.4. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menemukan dan merumuskan teori yang menjelaskan
konsolidasi ruang dari ranah empiris keruangan teluk, melalui penguatan dan

jalinan antara ruang dikawasan yang berorientasi pada teluk sebagai ruang inti,
melalui:
1.

Deskripsi proses terjadinya konsolidasi ruang nelayan dan petambak garam


terhadap perkembangan ruang aktivitas dikawasan teluk; dan

2.

Menjelaskan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya konsolidasi


ruang di kawasan teluk berdasar pada aktivitas kelompok pengguna ruang
kawasan.
1.5. Manfaat Penelitian
Kontribusi yang diharapkan dari penyelesaian penelitian konsolidasi ruang di

kawasan teluk Palu meliputi dua yaitu:


1. Secara teoritis, temuan hasil pengetahuan yang berbasis pada lokalitas nelayan
dan petambak garam. Teori

yang diperoleh diharapkan dapat memberi

sumbangan pada ilmu pengetahuan arsitektur kawasan, khususnya yang


berhubungan dengan konsolidasi ruang dan antar ruang kawasan daerah tepian
melalui pengungkapan kekuatan lokal.
2. Secara

praktis,

teori

konsolidasi

ruang

nantinya

bermanfaat

untuk

mengadvokasi kawasan-kawasan berbasis kelompok aktivitas kawasan tepian.


Kawasan yang dimaksud adalah kawasan dengan multi aktivitas guna menata
atau menyusun konsep, kebijakan, dan pengembangan kawasan berdasarkan
pada lokalitas.
1.6.Keaslian Penelitian
1.6.1. Lokus dan fokus penelitian
Keaslian penelitian ini terletak pada lokus dan fokus penelitian di kawasan
beranda depan kota Palu yang bersentuhan langsung dengan wilayah teluk. Secara
keruangan kawasan teluk mempunyai klaster-klaster ruang unik yaitu perwujudan
ruang-ruang berbasis kelompok aktivitas untuk menunjang dan mewadahi
aktivitas kelompok. Berdasarkan RTRW kota Palu, kawasan diperuntukkan
sebagai beranda depan kota dan pengembangan wisata air meliputi wilayah
kelurahan silae pada sisi Utara, kelurahan Lere sisi Utara, kelurahan Besusu Barat,
kelurahan Talise bagian Barat dan Utara. Lokus penelitian merupakan kawasan

kota pada area tepian teluk yang dilalui oleh Jalan Lingkar Pantai Teluk Palu
(JLPTP) dalam wilayah kecamatan Palu Barat dan Palu Timur.
Pelaksanaan penelitian difokuskan pada fenomena-fenomena keruangan yang
berhubungan dengan proses konsolidasi dalam pemanfaatan ruang kawasan oleh
kelompok aktivitas. Pendekatan penelusuran menggunakan aktivitas kelompok
sebagai objek utama untuk melihat sebaran pemanfaatan ruang, penggunaan
elemen serta pembentukan ruang. Proses aktivitas perilaku kelompok menjadi
sumber utama pengumpulan informasi pemanfaatan ruang kawasan. Rekam jejak
aktivitas serta faktor pendukungnya digunakan untuk mengungkap ataupun
membuat telaah mengenai proses terbentuknya konsolidasi ruang dan antar ruang.
Langkah selanjutnya dengan menelusuri proses konsolidasi ruang dan antar ruang
dalam mewadahi aktivitas kelompok serta pengaruh

yang ditimbulkan.

Identifikasi perubahan-perubahan teritorial akibat aktivitas kelompok dilakukan


untuk mengetahui kemungkinan peran serta kelembagaan masyarakat atau
kelompok dalam ruang tepian teluk.
Kelompok kasus dalam penelitian tersebar menyeluruh dalam kawasan tepian
melalui periode, yaitu: 1) sebelum adanya pengembangan (periode awal), 2)
setelah pembangunan talud (periode pasca talud) dan 3) setelah pembangunan
JLPTP (periode pasca JLPTP). Kasus penelitian tersebar pada lokus sehingga
dapat disimpulkan bila penelitian ini berbasis pada disiplin ilmu arsitektur dalam
lingkup kawasan. Untuk memudahkan eksplorasi kasus maka dilakukan
segmentasi kasus penelitian berdasarkan keunikan masing-masing walaupun
dalam bahasan tetap diperlakukan satu kawasan yang holistik. Penggunaan
segmentasi

kasus

penggunaan

ruang

oleh

kelompok

diharap

dapat

menggambarkan dan merepresentasikan kekhasan masing-masing. Untuk


selanjutnya dilakukan penentuan metoda analisis guna pencapaian tujuan
penelitian, sementara permasalahan serta proses yang dapat mempengaruhi hasil
penelitian akan menjadi bahan pertimbangan dalam proses analisis. Tahapan
proses analisis nantinya akan disesuaikan dengan maksud dan tujuan dalam
penelitian yaitu untuk menjawab pertanyaan penelitian tentang konsolidasi ruang
dan faktor yang mempengaruhinya.

10

1.6.2. Penelitian pada lokus kawasan


Beberapa

penelitian

yang

telah

dilakukan

sebelumnya

pada

lokasi

menunjukkan daya tarik kawasan untuk dieksplorasi. Perkembangan kawasan


dengan berbagai fenomena, seakan menjadi laboratorium hidup bagi peneliti dari
berbagai disiplin ilmu. Berdasar kondisi tersebut, maka peneliti perlu
mengumpulkan beberapa hasil penelitian atau bahkan yang belum sempat
dipublikasikan

untuk

menunjukkan

posisi

penelitian

terhadap

peneltian

sebelumnya. Untuk membatasi pengumpulan hasil penelitian, maka ditekankan


pada penelitian-penelitian yang berhubungan langsung bidang ilmu arsitektur
khususnya arsitektur ruang kawasan. Posisi penelitian terhadap penelitian yang
telah dilakukan sebelumnya pada lokus yang sama ditujukkan pada Tabel 1.1,
bertujuan untuk mengungkap atau mengecek

keaslian penelitian terhadap

penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya.


Tabel 1.1 Posisi dan keaslian penelitian yang pernah dilakukan di kawasan
teluk Palu sepanjang JLPTP
No
(1)

Tahun dan Peneliti


(2)

Fokus dan Hasil Penelitian


(3)

1 2003, Muhammad
Bakri

Penataan PKL di kawasan Taman Ria Palu


Arahan rancangan PKL di kawasan Taman Ria.

2 2005, Andi Makkasau

Pengelolaan Pembangunan Prasarana Petambak Garam


dikelurahan Talise kecamatan Palu Timur Kota Palu
Pengelolaan harus berdasarkan karakteristik sosial, tingkat
kebutuhan prasarana, pemenuhan kebutuhan perumahan,
pelibatan kelembagaan yang mengelolah langsung
prasarana lingkungan, pembangunan, kelengkapan
lingkungan oleh pemerintah.

3 2005, Nurhidayat

Studi Perencanaan Pemanfaatan Lahan Kawasan Pesisir


Teluk Palu
Penelitian menunjukkan perioritas pengembangan yang
pertama adalah pariwisata, kemudian industri, konservasi,
pelabuhan, permukiman dan terakhir adalah pertambakan.

4 2005, Syarifuddin

Kualitas Penduduk di Pesisir Teluk Palu


Menyimpulkan bahwa pesisir Teluk Palu didominasi
hunian nelayan, kesadaran tentang kesehatan hunian
umumnya memadai dan umumnya kualitas hunian
23,5>54,5 agak jelek dan sangat baik.

11

No
(1)

Tahun dan Peneliti


(2)

Fokus dan Hasil Penelitian


(3)

5 2006, Iwan Setiawan

Perubahan Penggunaan Lahan dan Lingkungan Sepanjang


Jalan Lingkar Pantai Teluk Palu (JLPTP)
Analisis ditekankan pada perubahan fungsi lahan pasca
pembangunan jalan lingkar dalam ruas Silae, Lere, Besusu
Barat, Talise dan Tondo.

6 2006, Muhammad
Bakri

Pola Pemanfaatan Ruang PKL di Kawasan Taman Ria


Perlunya kesesuaian pengembangan kawasan teluk dengan
kesesuaian lahan sektor dominan dan pergerakan
pemanfaatan ruang untuk aktivitas PKL Taman Ria

2006, Amar

Studi Pengembangan Kawasan Talise Koridor Jalan Yos


Sudarso
Kawasan menjadi titik pusat (gerbang), kawasan
mengandalkan sektor wisata, pergeseran pemanfaatan
lahan, arahan perencanaan kawasan dan antisipasi
pergeseran lahan tambak.

2009,
Hasanuddin Konsep Pengamanan Pantai Talise Kota Palu Propinsi
Azikin dan Trianty Sulawesi Tengah
Anasiru
Menghasilkan konsep penanggulangan efektif mengatasi
permasalahan khususnya pantai Talise sehingga
kealamiahan pantai dapat terjaga.

2014, Muhammad
Bakri

Konsolidasi Ruang di Kawasan Teluk Palu


Penelitian mengenai konsep konsolidasi ruang teluk.

Sumber : Diolah dari beberapa sumber, 2014


Penelitian sebelumnya terbagi dalam dua kelompok utama yaitu riset edukatif
dan riset pengembangan ilmu pengetahuan. Riset edukatif

umumnya

dikembangkan oleh para peneliti berlatar belakang dari perguruan tinggi.


Sementara riset pengembangan ilmu pengetahuan dilakukan perseorangan atau
kelompok-kelompok ahli yang konsen pada permasalahan kawasan. Keseluruhan
riset yang terangkum mengungkap berbagai permasalahan maupun teknik serta
solusi penyelesaian permasalahan. Secara keseluruhan hasil temuan penelitian
sangat bervariasi, mulai dari konsep penyelesaian secara parsial, fokus
penyelesaian masalah dengan pembuatan arahan pengembangan kawasan, upaya
kritik terhadap kebijakan serta pemberdayaan terhadap keikutsertaan masyarakat
dalam pembangunan kawasan.

12

Kelompok studi sebelumnya bermuara pada pengungkapan permasalahan


berbeda kemudian pendekatan metode analisis yang disesuaikan kebutuhan riset
hingga kemudian menghasilkan variasi temuan. Penekanan studi kelompok
edukasi cenderung bersifat mikro melalui usaha menemukan penyelesaian
permasalahan terhadap konteks yang menjadi fokus amatan. Sementara kelompok
peneliti menekankan pada lingkup messo hingga makro sebagai proses
menghasilkan kebijakan mengenai pengembangan kawasan. Temuan umumnya
bersifat kritis terhadap kebijakan misalnya telaah perubahan fungsi lahan,
penyediaan prasarana kawasan dan pemeliharaan/pengelolaan lingkungan lihat
Tabel 1.1. Penelitian sebelumnya yang mengambil lokus sama dilakukan oleh
Syarifuddin (2005) menyoroti kualitas penduduk dengan hasil mengarah pada
simpulan mengenai hunian dan Iwan Setiawan (2006) melihat perubahan fungsi
lahan pasca pembangunan JLPTP secra makro. Keseluruhan fokus penelitian
tidak menyentuh pada isu-isu terkait ruang terutama konsolidasi ruang sehingga
dapat memperlihatkan keaslian dalam usulan penelitian.
1.6.3. Penelitian dan teori terkait konsolidasi ruang kawasan
Perkembangan pemanfaatan ruang oleh kelompok aktivitas dalam ruang
kawasan, mendorong lahirnya macam bentuk dan budaya pemanfaatan ruang.
Permanfaatan ruang tidak lagi terbatas pada fungsi individu atau kelompok,
namun beberapa diantaranya menampung/mewadahi berbagai macam kebutuhan
aktivitas. Untuk pelaksanaan aktivitas dilakukan berdasar solusi waktu sebagai
jawaban ketidak sanggupan kawasan memberi alternatif ruang. Proses
pemanfaatan ruang tersebut sering dikaitkan dengan adanya ketergantungan
aktivitas ruang dengan lingkungan, budaya, ekonomi. Keterkaitan berhubungan
dengan kelangsungan hidup individu dan kelompok dari hasil melaut, berdagang,
maupun bertani. Pemanfaatan ruang kemudian membentuk jalinan perkuatan
fungsi-fungsi aktivitas melalui restrukturisasi ruang yaitu perkuatan ruang hingga
menjelma sebagai kekuatan eksistensi terhadap lingkungan serta sumber
penghidupan yang membentuk keterhubungan dalam bentuk konsolidasi.

13

Konsolidasi ruang menjelaskan jalinan dan perkuatan ruang dari adanya


hubungan persamaan kebutuhan dalam tata kelola ruang kawasan. Tinjauan utama
konsolidasi ruang menekankan pada perilaku pengguna ruang yang berhubungan
dengan aspek lingkungan, sosial budaya dan ekonomi. Aktor proses konsolidasi
ruang adalah kelompok aktivitas pengguna ruang dengan berbagai atribut
penunjangnya, melalui jalinan perkuatan melibatkan pengguna, ruang, lingkungan
dan elemen-elemen pembentuk serta atribut pelengkap lainnya.
Konsep konsolidasi sebagai suatu proses, menekankan pada penguatan atau
proses saling menguatkan ataupun penguatan terhadap sesuatu yang telah melekat.
Konsep konsolidasi memberikan gambaran adanya suatu sistim keterjalinan yang
didesain oleh beberapa kelompok guna mencapai tujuan-tujuan tertentu.
Konsolidasi juga dapat diartikan sebagai serikat aliansi, merger, federasi (melihat
penggabungan). Berikut uraian tentang konsolidasi dan terapannya dari berbagai
latar ilmu antara lain: (a) konsolidasi dalam bisnis yang merupakan kombinasi
dari dua atau lebih perusahaan menjadi perusahaan yang sama sekali baru, (b)
konsolidasi bidang medis menekankan pada proses menjadi massa perusahaan
yang solid, (c) konsolidasi bidang hukum diartikan fokus pada

tindakan

menggabungkan dua hal atau lebih menjadi satu, (d) konsolidasi bidang hukum
perusahaan merupakan penyatuan dua atau lebih perusahaan menjadi perusahaan
baru bersama dengan pembubaran perusahaan asli serta, (e) konsolidasi prosedur
sipil yaitu pengadilan memerintahkan kombinasi dari dua atau lebih aktivitas yang
melibatkan pihak yang sama atau masalah. Mengutip dari The American Heritage
Dictionary of Business Terms (2010), Webster's New World College Dictionary
(2010), The American Heritage Medical Dictionary (2010), Webster's New World
Law Dictionary (2010) dan Scott (2010).
Lebih lanjut dalam bidang tata ruang konsep konsolidasi menggunakan
pendekatan konsolidasi lahan sebagai upaya penataan kembali penguasaan,
pengadaan, kepemilikan lahan oleh masyarakat. Kepemilikan lahan melalui usaha
bersama untuk membangun lingkungan yang siap bangun dan menyiapkan
kapling tanah matang sesuai dengan rencana tata ruang yang berlaku. Penekanan
metode ini diletakkan pada pentingnya pelibatan semua pemangku kepentingan

14

dalam mewujudkan tataan ruang. Gambaran tersebut mengidikasikan adanya


sifat-sifat

konsolidasi

keseimbangan,

seperti

keberlanjutan,

keterpaduan,

keserasian,

keberdayagunaan

dan

keselarasan

dan

keberhasilgunaan

keterbukaan, kebersamaan dan kemitraan, perlindungan kepentingn umum,


kepastian hukum keadilan serta akuntabilitas.
Pendekatan konsolidasi yang lain dengan melihat daerah berpenghasilan
rendah dapat meningkatkan kualitas secara bertahap. Konsolidasi disini lebih
menekankan pada kemampuan suatu kawasan bertahan dan meningkatkan kualitas
layanan terkait dengan tata ruang sebab dalam hubungan faktor spasial, ukuran
penyelesaian

menyediakan

beberapa

kesempatan

konsolidasi

misalnya

keuntungan lebih mudah karena pengakuan hukum masyarakat. Dalam kasus


ruang kota konsolidasi pernah dilakukan dengan pendekatan referendum guna
memilih sebuah pemerintahan terpusat sebagai cara untuk memotong duplikasi,
meningkatkan efisiensi dan mengembalikan pemerintah bergabung untuk
menciptakan layanan dan memberikan akses politik bagi minoritas (kesetaraan).
mengutip Pacione (1996) Potter & Lloyds-Evans (1998) dalam Mukhija (2001);
UNCHS (2003).
Konsolidasi kasus lahan/reblocking di dalam permukiman kumuh lebih
menekankan pada jaminan kepemilikan tanah dengan teknis konsolidasi lahan
dimana seluruhnya diratakan dan membangun dari awal. Pada skala konsolidasi
lahan lebih besar melibatkan permukiman sekitar konsolidasi lahan dengan
menggabungkan beberapa permukiman dan membangun permukiman kembali
dalam sebuah proyek bersama, mengutip UNESCAP dan UN-HABITAT (2008).
Pada kasus lain, konsolidasi tanah digambarkan sebagai suatu kebijakan
sehubungan dengan penyesuaian hak tanah dan kegunaannya.

Sasaran yang

dituju yaitu mencapai suatu penggunaan tanah secara optimal melalui peningkatan
efisiensi dan produktifitas penggunaan tanah. Konsolidasi tanah merupakan
bentuk penatagunaan tanah yang tidak dapat terlepas dari kaidah-kaidah penataan
ruang, mengutip Djakapermana (2001).
Konsolidasi dalam ruang terbuka menekankan pada ukurannya, bagaimana
orang menggunakannya, fungsi yang ditujukan, lokasinya serta faktor pembentuk

15

lainnya guna mengungkap tentang berbagai cara untuk mengklasifikasikan ruang


terbuka perkotaan dan greenspace.
Perspektif berbeda yang membuat kota Hangzhou terpuji dari perspektif
konsolidasi perkotaan melalui program penghijauan perkotaan yang dilakukan
sehingga memperkuat ruang hijau di kawasan padat perkotaan sehingga memberi
ketenangan dari kebisingan kota. Bentuk konsolidasi perkotaan lainnya melalui
pendekatan transit mengungkap pendorong utama kepuasan warga dengan
pembangunan lingkungan adalah kualitas akses menuju taman dan ruang terbuka
(Bernick,1997).
Pendekatan konsolidasi dalam perkotaan diperkenalkan juga melelui teori
urban solid yang digunakan dalam perancangan urban desain yaitu figure-ground,
linkage dan place. Konsep pengkondisian Stimulus Respon (SR) merupakan salah
satu proses yang dapat digunakan memahami konsep konsolidasi dengan
membahas lingkungan binaan dengan empat pendekatan yaitu kebebasan,
pendekatan possibilistic, pendekatan propabolistic, dan pendekatan deterministic,
(Trancik,1986; Lang, 1977).
Teori-teori konsolidasi sebelumnya masih menerjemahkan bahwa konsep
konsolidasi itu merupakan kombinasi, penggabungan, perkuatan, penyatuan,
peleburan dan kombinasi. Teori konsolidasi lainnya membahas tentang lahan
yang harus memenuhi unsur-unsur keterpaduan yang berakhir pada kepastian
hukum mengenai kepemilikan. Sementara dalam kasus ruang kota konsolidasi
berupa

kebijakan

penggabungan

layanan

untuk

memenuhi

kesetaraan,

pengembangan ruang terbuka hijau sebagai akses dan pengikat kota serta
konsolidasi yang dianalogikan sebagai padat (solid). Gap Teoritik Konsolidasi
Ruang di kawasan teluk ditunjukkan pada Gambar 1.1.

16

Pergerakan eksistensi kelompok!


pengguna/pemanfaatan ruang!
berdasar faktor pengaruh hingga!
membentuk proses restrukturisasi!
ruang!

Teori ruang kawasan terkait ruang!


konsolidasi masih bersifat kebijakan,!
Fisik lahan, alih fungsi,penggabungan!
Wilayah dan faktor berpengaruh!

Ujung keilmuan Konsolidasi ruang di kawasan teluk Palu belum berdasar pada konsolidasi sebagai
suatu proses restrukturisasi eksistensi pemanfaatan ruang untuk kelompok aktivitas. Proses
tersebut berdasar pada faktor pengaruh yang didukung oleh prinsip-prinsip kelompok
pemanfaatan ruang !

Gambar 1.1 Skema Gap Teoritik Konsolidasi Ruang Dikawasan Teluk


Sumber: Analisis 2013
1.6.4. Lingkup penelitian
Lingkup penelitian ini berkaitan dengan proses konsolidasi ruang dan antar
ruang di kawasan teluk Palu. Penelitian ini dilakukan dengan orientasi pada
disiplin ilmu arsitektur kawasan. Peneliti berusaha mengemukakan proses
konsolidasi serta faktor-faktor yang berpengaruh terjadinya konsolidasi.
Penelitian menekankan pada proses jalinan atau penguatan dalam keterikatan
konsolidasi ruang dengan tetap melihat fenomena dan permasalahan keruangan
dalam objek amatan. Hal ini dilakukan guna merekam proses konsolidasi dari
ranah empiris kekinian yang cenderung dipengaruhi oleh aspek perilaku, fisik dan
lingkungan dalam pemanfaatan ruang untuk aktivitas dikawasan.
Pelaksanaan penelitian menggunakan disiplin ilmu arsitektur dan kawasan
berbagai pendekatan disiplin ilmu lain seperti lingkungan dan sosiologi juga
dimanfaatkan. Pendekatan berbagai ilmu diharap dapat memperkaya kedalaman
analisis dan menunjang dalam menemukan teori terkait dengan proses konsolidasi
keruangan. Konsolidasi ruang yang dimaksud

berhubungan dengan lokalitas

nelayan dan petambak garam akibat adanya desakan perkembangan ruang


kawasan sebagai area depan kota dan aktivitas wisata sehingga mampu menjawab
pertanyaan-pertanyaan penelitian.
Lingkup lokasi penelitian meliputi beberapa kasus di wilayah teluk Palu dan
terintegrasi langsung dengan JLPTP di pesisir pantai. Sebaran kasus meliputi
sebagian wilayah kawasan kelurahan Silae sebelah Utara tepatnya di RT 03, RW
01 akan mengungkap pengaruh keruangan nelayan terhadap keberadaan fasilitas

17

wisata restoran dan perhotelan. Kasus berikutnya berada di kelurahan Lere


tepatnya di RT 01, RW 01 akan mengungkap konsolidasi keruangan nelayan.
Kasus kelurahan Besusu Barat melihat proses sebaran keruang oleh nelayan
hingga pemanfaatan ruang sebagai taman. Sementara kasus di kelurahan Talise
RT 01, RW 02 akan mengungkap percampuran aktivitas nelayan dengan macam
aktivitas penunjang kawasan dan kasus RT 06, RW 07 akan mengungkap
keruangan petambak garam dan hubunganya dengan ruang laut serta aktivitas
ruang yang bersentuhan langsung.

Anda mungkin juga menyukai