Rahmawati Azi PDF
Rahmawati Azi PDF
MULTIKULTURALISME BANGSA
(Studi Bandingan Terhadap Sastra Daerah Tolaki dan Buton dengan Dongeng
Nusantara Lainnya)
Rahmawati Azi
1. PENDAHULUAN
Multikulturalisme merupakan paham (isme) yang berdiri pada posisi pro
terhadap pluralitas. Subjek versus subjek, berarti antarsubjek berperan sebagai the
other. Multikulturalisme justru hadir karena eksistensi ontologis the other. Subjek
mengenali dan memahami diri karena relasinya dengan the other. Relasi antar
identitas yang terpelihara adalah cita-cita masyarakat multikultural (Hida, 2013).
Fakta tentang keindonesiaan kita yang merupakan negara dengan berbagai
suku bangsa dan agama memiliki dua kutub potensi. Disatu sisi keragaman tersebut
dapat menjadi modal yang baik sebagai kekayaan budaya bangsa kita, namun disisi
hal tersebut dapat berpotensi konflik jika tidak dapat dikelola dengan baik. Potensi
konflik tersebut muncul dari cara kita warga budaya saling berinteraksi satu sama
lain. superioritas, perasaan lebih unggul daripada yang lainnya dapat memicu konflik
antar kepentingan tersebut, di sisi lain, perasaan tertekan dari suatu etnik dari etnik
yang lain pun dapat menimbulkan konflik, sebab resistensi terhadap tekanan
tersebut dapat pula melahirkan sikap anarkis.
Sebagaimana telah dipaparkan di muka, diperlukan suatu tindakan yang arif
dan bijaksana untuk mengelola potensi sumber daya kebudayaan kita agar dapat
berfungsi sebagai alat pemersatu bangsa. Sastra daerah atau dongeng yang dimiliki
oleh setiap etnis kita dapat dimanfatkan sebagai media untuk mengelola keragaman
tersebut sehingga melahirkan kekayaan budaya bangsa kita. Kita memiliki dongeng
dongeng rakyat yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Dongeng-dongeng
tersebut memiliki kemiripan antar satu dengan yang lainnya.
Dongeng mencakup segala jenis kisah yang dalam pengertian Barat dipilahpilah antara lain menjadi mitos, legenda, dan fabel. Dalam perkembangan
peradaban manusia ditemukan begitu banyak mitos yang mirip, yang berkembang di
1
berbagai daerah yang tampaknya sama sekali tidak ada hubungannya. Salah satu
kegiatan yang sudah banyak dilakukan adalah membandingkan dongeng yang mirip
dari berbagai negara, tidak untuk mengungkapkan yang asli dan pengaruhnya
terhadap yang lain, tetapi lebih untuk mengetahui kaitan-kaitan antara perbedaan
dan persamaan yang ada dan watak suatu masyarakat.
Sastra sebagai bagian dari kebudayaan ditentukan antara lain adalah
geografi dan sumber daya alam. Berdasarkan kedua hal itulah kita menyusun
masyarakat dan menentukan tata nilai. Berbagai dongeng yang diciptakan nenek
monyang kita, yang sampai kini masih ada sisanya dalam kenangan kita, perlu
dibanding-bandingkan agar kita mendapat gambaran yang lebih jelas mengenai
persamaan dan perbedaan antara kita (Damono, 43:2005).
Kesamaan dalam kebudayaan diseluruh dunia dapat terjadi walaupun tanpa
terjadinya kontak kebudayaan. Penelitian yang dilakukan oleh Levi Strauss terhadap
kebudayaan di berbagai belahan dunia dan menemukan kemiripan yang luar biasa
pada karya seni antara kebudayaan satu dan yang lainnya. Demikian pula penelitian
yang dilakukan Vladimir Propp terhadap 100 dongeng rusia, Propp menemukan
bahwa 100 dongeng yang tersebar di berbagai wilayah di Rusia tersebut memiliki
kesamaan
dalam
struktur
narasinya.
Dengan
menemukan
kesamaan
dari
bahwa semua manusia itu sama dan setara, tidak ada manusia yang superior dan
tidak ada manusia yang inferior.
Sastra bandingan adalah sebuah teks across cultural yang merupakan upaya
interdisipliner yakni lebih banyak memperhatikan sastra menurut aspek waktu dan
tempat. Dari aspek waktu, sastra bandingan dapat membandingkan dua atau lebih
periode yang berbeda. Sedangkan konteks tempat akan mengikat sastra bandingan
menurut wilayah geografis sastra (Endraswara, 128:2003). Lebih lanjut Gifford
dalam Endraswara (128:2003) mengungkapkan bahwa studi sastra bandingan
adalah kajian yang berupa eksplorasi (vicissitude), penggantian (alternation),
pengembangan (development) dan perbedaan timbal balik di antara dua karya atau
lebih.
2
pemasyarakatan
sastra
daerah
dalam
upaya
mewujudkan
cita-cita
multikulturalisme tersebut
Objek material yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini adalah
pertama, sastra daerah Buton yakni cerita Laranda Sintagi (Wolio) dan Cerita Wa
Dhambe-Dhmabe Rara (Kaledupa) dibandingkan dengan sastra daerah Jawa Timur
dan Riau yakni dongeng Cindelaras dan Batu Belah Batu Batangkup.kedua, sastra
daerah Tolaki, Oheo, dibandingkan dengan sastra daerah Jawa Barat (dongeng
Jaka Tarub). Pemilihan objek material tersebut berdasarkan pertimbangan atas
kesamaan tema serta kejadian yang dialami tokoh. Penelitian ini menggunkan
metode analisis deskriptif , pendekatan sastra bandingan dengan memanfaatkan
teknik analisis naratif.
2. PEMBAHASAN
2.1. Potensi Sastra Bandingan Sebagai Media Pemersatu Bangsa
Sastra, demikian pula sastra daerah pada dirinya sendiri memiliki kekuatan
penyembuh dan memiliki potensi sebagai mediator
terjadi di dalam masyarakat kita. Ditambah pula apabila kekuatan ini ditingkatkan
dengan keterlibatan unsur-unsur terkait di daerah sebagai penanggung jawab
terhadap diberdayakannya sastra daerah sebagai kekuatan pemersatu dimaksud.
Dengan
membandingkan
dongeng,
diharapkan
dapat
meningkatkan
Membandingkan
selendang tersebut di suatu tempat sehingga pada suatu hari rahasia penyimpanan
tersebut terbongkar dan kelicikan kedua tokoh lelaki tersebut (oheo dan Jaka Tarub)
diketahui
oleh
si
bidadari
(Anawungguluri
dan
Nawang
Wulan).
Karena
terbongkarnya rahasia tersebut, bidadari dalam kedua dongeng tersebut marah dan
merebut
kembali
selendangnya
untuk
kemudian
kembali
ke
kahyangan.
Meninggalkan tokoh lelaki dengan kesedihan mendalam dan penyesalan tiada tara.
Dari narasi tersebut dapat kita lihat adanya kesamaan nilai dari kedua dongeng
bahwa seseorang yang mendapatkan sesuatu dengan cara yang tidak jujur akan
menerima konsekuensi kerugian dan penyesalan di akhir cerita, memang pada
narasi ditemukan bahwa kedua tokoh dalam dongeng sempat menikmati
kebahagiaan setelah berhasil memperdaya sang bidadari, namun akhir cerita
dengan lelaki lain sebagai sandaran hidupnya dan anaknya, mereka tabah hidup
6
dalam pembuangan dan bahkan diam diam di daerah pembuangan, kedua tokoh
perempuan tersebut menyusun rencana untuk merebut kembali haknya yang telah
dirampas oleh istri muda suaminya.
-Bakti Anak Dan Perjuangan Merebut Hak Yang Terampas
Di atas telah dibahas tentang pentingnya peranan tokoh anak dalam kedua
dongeng tersebut baik putra La Randa Sintagi maupun Cindelaras. Kedua tokoh ini
menunjukkan tanggung jawab dan bakti yang luar biasa besar dari seorang anak.
Dalam usianya yang masih remaja tanggung, dia dan ibunya menyusun strategi
untuk menyatukan kembali keluarga mereka dan merebut hak-hak mereka yang
telah dirampas oleh istri muda sang ayah. Strategi itu disusun dengan sangat
matang, mulai dari menyiapkan ayam jago sakti untuk diadu dengan ayam raja yang
mempunyai hobi menyabung ayam, maka putra La Randasintagi dan Cindelaras
dalam kedua dongeng tersebut menantang raja yang merupakan ayahnya sendiri
dengan taruhan seluruh kerajaannya. Pertandingan sabung ayam tersebut samasama dimenangkan oleh tokoh anak dalam kedua dongeng, dan kemenangan
tersebut menjadi akhir cerita bahagia, dalam hal ini tokoh ibu dan anak dalam kedua
dongeng mendapatkan kembali haknya yakni, suami dan ayah tercinta serta seluruh
kerajaan kembali ke tangan mereka. Perjalanan panjang sang putra mahkota dalam
pembuangan pada kedua dongeng tersebut melukiskan ketabahan dan keteguhan
hati si anak untuk membela kepentingan dirinya dan ibunya serta dalam merebut
kembali apa yang manjadi hak mereka, menandai bakti yang dalam seorang anak
kepada orang tuanya.
2.1.3. Pelajaran dari Watu Samboka-Mboka dan Batu Batangkup: Buruknya
Komunikasi Antara Sesama Anggota Keluarga yang Berujung Petaka
Watu Samboka-Mboka adalah dongeng dari Wakatobi sedangkan batu belah
adalah dongeng dari daerah Riau.
Kedua dongeng ini memiliki kesamaan pada kejadian yang dialami tokoh:
pada dongeng Wakatobi, kejadian ini dialami oleh tokoh anak yaitu Wa DambeDambe rara sedangakan pada dongeng Riau kejadian tersebut dialami oleh tokoh
ibu yang bernama mak Minah. Kejadian dimaksud adalah kedua tokoh ditelan oleh
batu (watu samboka-mboka di dongeng wakatobi dan batu belah di dongeng riau),
kejadian ditelannya kedua tokoh tersebut oleh batu adalah atas permintaan sang
7
tokoh sendiri, baik Wa Dambe Damberara maupun mak Minah, kedua tokoh dalam
dongeng dikisahkan mendatangi batu belah tersebut dan meminta batu tersebut
untuk menelan dirinya disebabkan kesedihan yang mendalam dari keduanya.
Pada dongeng Wakatobi kesedihan yang mendalam itu dialami tokoh setelah ia
dipukuli oleh ibunya sampai ia tidak tahan lagi karena kesalahannya yang tidak
sengaja memanggang adiknya yang bernama Wa Konduru di atas batu membara
pada kegiatan hebhatua. Hal tersebut ia lakukan sebab ia salah menangkap pesan
ibunya untuk menaruh buah kundur sebagai sobu pada acara habatua tersebut.
akan halnya mak Minah, ia mengalami depresi yang luar biasa karena merasa tidak
mampu mendidik ketiga putrinya yang kenakalannya sudah melampaui batas.
Kedua kisah dalam dongeng tersebut memperlihatkan kisah tragis yang
dialami tokoh disebabkan buruknya komunikasi yang terjadi di keluarganya, Wa
Dambe Dambe Rara mengalami tragedi karena tidak mampu menangkap pesan
ibunya, demikian pula mak Minah, ia mengalami nasib yang sama karena tidak
mampu membangun komunikasi dengan ketiga putrinya.
Uraian di atas memperlihatkan adanya kesamaan tema dan kejadian yang
dialami tokoh pada satra daerah dari etnis yang berbeda. Hal ini menunjukkan
bahwa kemungkinan telah terjadi kontak yang intens antar kebudayaan kita
sehingga kita telah pernah mengalami fase berbagai kebudayaan ataupun juga
merupakan bukti bahwa betapa dalam keragaman kita, kita terikat pada struktur
ketaksadaran yang sama (shared unconscious realm) yang menyatukan kita sebagai
manusia. Contoh di atas adalah sedikit dari sastra daerah kita yang memiliki struktur
yang sama. Dengan penelitian yang lebih serius diharapkan dapat ditemukan lebih
banyak lagi kemiripan-kemiripan pada dongeng di nusantara ini. Dengan demikian,
potensi sastra sebagai kekuatan pemersatu dapat diberdayakan.
2. Memasyarakatkan Dongeng Melalui Kurikulum, Lembaga Kebudayaan dan
Sanggar-Sanggar Seni
Hal lain yang dapat dilakukan dalam rangka mewujudkan cita-cita
multikulturalisme kita adalah dengan memperkuat warna lokal (local wisdom) kita.
Hal ini dapat dilakukan dengan menyemarakkan pengajaran sastra daerah di
sekolah-sekolah. Kita ketahui bahwa multikulturalisme tidak mungkin dapat tercapai
tanpa
pembentuknya.
Kultur
pembentuk
3. PENUTUP
Sastra banding memiliki potensi sebagai perekat kebangsaan dalam
konteks budaya Indonesia yang beragam, dengan menemukan kesamaan
kesamaan dalam kebudayaan kita, diharapkan dapat terjalin ikatan emosional antar
warga budaya yang berbeda namun memiliki kesamaan-kesamaan dalam karya
sastranya. Akan tetapi hal pertama yang harus
pemahaman
terhadap
kultur-kultur
pembentuknya.
kultur
pembentuk
dimaksud adalah kebudayaan daerah itu sendiri. Oleh karena itu penguatan sastra
daerah sebagai elemen pembangun multikultur harus mendapat dukungan dari
berbagai pihak terkait.
9
REFERENSI
Metodologi
Penelitian
Kualitatif.
Bandung.
Remaja
10
11