Anda di halaman 1dari 11

MEMBANDINGKAN DAN MEMASYRAKATKAN DONGENG, MERAJUT

MULTIKULTURALISME BANGSA
(Studi Bandingan Terhadap Sastra Daerah Tolaki dan Buton dengan Dongeng
Nusantara Lainnya)
Rahmawati Azi

1. PENDAHULUAN
Multikulturalisme merupakan paham (isme) yang berdiri pada posisi pro
terhadap pluralitas. Subjek versus subjek, berarti antarsubjek berperan sebagai the
other. Multikulturalisme justru hadir karena eksistensi ontologis the other. Subjek
mengenali dan memahami diri karena relasinya dengan the other. Relasi antar
identitas yang terpelihara adalah cita-cita masyarakat multikultural (Hida, 2013).
Fakta tentang keindonesiaan kita yang merupakan negara dengan berbagai
suku bangsa dan agama memiliki dua kutub potensi. Disatu sisi keragaman tersebut
dapat menjadi modal yang baik sebagai kekayaan budaya bangsa kita, namun disisi
hal tersebut dapat berpotensi konflik jika tidak dapat dikelola dengan baik. Potensi
konflik tersebut muncul dari cara kita warga budaya saling berinteraksi satu sama
lain. superioritas, perasaan lebih unggul daripada yang lainnya dapat memicu konflik
antar kepentingan tersebut, di sisi lain, perasaan tertekan dari suatu etnik dari etnik
yang lain pun dapat menimbulkan konflik, sebab resistensi terhadap tekanan
tersebut dapat pula melahirkan sikap anarkis.
Sebagaimana telah dipaparkan di muka, diperlukan suatu tindakan yang arif
dan bijaksana untuk mengelola potensi sumber daya kebudayaan kita agar dapat
berfungsi sebagai alat pemersatu bangsa. Sastra daerah atau dongeng yang dimiliki
oleh setiap etnis kita dapat dimanfatkan sebagai media untuk mengelola keragaman
tersebut sehingga melahirkan kekayaan budaya bangsa kita. Kita memiliki dongeng
dongeng rakyat yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Dongeng-dongeng
tersebut memiliki kemiripan antar satu dengan yang lainnya.
Dongeng mencakup segala jenis kisah yang dalam pengertian Barat dipilahpilah antara lain menjadi mitos, legenda, dan fabel. Dalam perkembangan
peradaban manusia ditemukan begitu banyak mitos yang mirip, yang berkembang di
1

berbagai daerah yang tampaknya sama sekali tidak ada hubungannya. Salah satu
kegiatan yang sudah banyak dilakukan adalah membandingkan dongeng yang mirip
dari berbagai negara, tidak untuk mengungkapkan yang asli dan pengaruhnya
terhadap yang lain, tetapi lebih untuk mengetahui kaitan-kaitan antara perbedaan
dan persamaan yang ada dan watak suatu masyarakat.
Sastra sebagai bagian dari kebudayaan ditentukan antara lain adalah
geografi dan sumber daya alam. Berdasarkan kedua hal itulah kita menyusun
masyarakat dan menentukan tata nilai. Berbagai dongeng yang diciptakan nenek
monyang kita, yang sampai kini masih ada sisanya dalam kenangan kita, perlu
dibanding-bandingkan agar kita mendapat gambaran yang lebih jelas mengenai
persamaan dan perbedaan antara kita (Damono, 43:2005).
Kesamaan dalam kebudayaan diseluruh dunia dapat terjadi walaupun tanpa
terjadinya kontak kebudayaan. Penelitian yang dilakukan oleh Levi Strauss terhadap
kebudayaan di berbagai belahan dunia dan menemukan kemiripan yang luar biasa
pada karya seni antara kebudayaan satu dan yang lainnya. Demikian pula penelitian
yang dilakukan Vladimir Propp terhadap 100 dongeng rusia, Propp menemukan
bahwa 100 dongeng yang tersebar di berbagai wilayah di Rusia tersebut memiliki
kesamaan

dalam

struktur

narasinya.

Dengan

menemukan

kesamaan

dari

kebudayaan yang berbeda diberbagai belahan dunia, maka diharapkan prejudice


terhadap kebudayaan tertentu akan hilang dengan sendirinya. Tidak ada lagi
pengkategorian terhadap kebudayaan.

Dan kita sampai pada suatu pandangan

bahwa semua manusia itu sama dan setara, tidak ada manusia yang superior dan
tidak ada manusia yang inferior.
Sastra bandingan adalah sebuah teks across cultural yang merupakan upaya
interdisipliner yakni lebih banyak memperhatikan sastra menurut aspek waktu dan
tempat. Dari aspek waktu, sastra bandingan dapat membandingkan dua atau lebih
periode yang berbeda. Sedangkan konteks tempat akan mengikat sastra bandingan
menurut wilayah geografis sastra (Endraswara, 128:2003). Lebih lanjut Gifford
dalam Endraswara (128:2003) mengungkapkan bahwa studi sastra bandingan
adalah kajian yang berupa eksplorasi (vicissitude), penggantian (alternation),
pengembangan (development) dan perbedaan timbal balik di antara dua karya atau
lebih.
2

Endraswara (129:2003) mengungkapkan tujuan sastra bandingan antara lain;


Untuk menghilangkan kesan bahwa karya sastra nasional tertentu leibh hebat
dibanding karya sastra nasional yang lain. Dalam kaitan ini, karya sastra dipandang
memiliki kedudukan yang setingkat. Setiap komunitas masyarakat memiliki tradisi
sastra yang memuat nilai-nilai tertentu pula. Untuk mencari keragaman budaya yang
terpantul dalam karya sastra satu dengan yang lainnya. Hal ini sekaligus untuk
melihat buah pikiran kehidupan manusia dari waktu ke waktu. Pantulan pemikiran
dalam karya sastra tertentu akan dibandingkan sehingga terlihat perkembangan atau
kemunduruannya.
Manusia seberbeda apapun tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaanperbedaan tersebut tetaplah berada pada satu kanopi nilai yaitu nilai kemanusiaan.
Sastra banding harus bergerak ke arah yang lebih luas, keluar dari kungkungan
narsisme budaya kita. Sastra banding harus menjadi jembatan dialog kebudayaan.
dan humanitas (Guilen, 1993 :13-23).
Dalam sastra bandingan, salah satu kegiatan yang sudah banyak dilakukan
adalah membandingkan dongeng yang mirip dari berbagai negara, tidak terutama
untuk mengungkpakan yang asli dan pengaruhnya terhadap yang lain, tetapi lebih
untuk mengetahui kaitan-kaitan antara perbedaan dan persamaan yang ada dan
watak suatu masyrakat. Dalam pengertian ini, dongeng mencakup segala jenis kisah
yang dalam pengertian Barat dipilih-pilah antara lain menjadi Mitos, legenda dan
fabel. Dalam perkembangan peradaban manusia, ditemukan begitu banyak mitos
yang mirip yang berkembang di berbaga daerah yang tampaknaya sama sekali tidak
ada hubungannya. Jika dalam mendekati masalah ini kita pergunakan prinsip saling
mempengaruhi, mungkin kita tidak akan sampai pada kesimpulan yang meyakinkan.
Yang bisa kita lakukan paling-paling adalah untuk menunjukan persamaan dan
perbedaan yang ada, dan setelah itu menentukan kalau mungkin apa yang ada di
balik itu semua.
Sastra bandingan dalam keyakinan penulis memiliki potensi sebagai benang
perajut multikulturalisme akan tetapi kendala yang akan kita hadapi adalah bahwa
sastra daerah itu sendiri tidak lagi menjadi subjek di daerah. Sastra daerah telah
menjadi makhluk asing bagi generasi kita, untuk itu dieprlukan adanya komitmen

untuk menghidupkan kembali sastra daerah dengan melibatkan unsur-unsur terkait


di daerah.
Permasalahan yang diangkat dalam makalah ini adalah mengenai peran
sastra bandingan sebagai media pembangunan karakter bangsa yang multikultur,
serta

pemasyarakatan

sastra

daerah

dalam

upaya

mewujudkan

cita-cita

multikulturalisme tersebut
Objek material yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini adalah
pertama, sastra daerah Buton yakni cerita Laranda Sintagi (Wolio) dan Cerita Wa
Dhambe-Dhmabe Rara (Kaledupa) dibandingkan dengan sastra daerah Jawa Timur
dan Riau yakni dongeng Cindelaras dan Batu Belah Batu Batangkup.kedua, sastra
daerah Tolaki, Oheo, dibandingkan dengan sastra daerah Jawa Barat (dongeng
Jaka Tarub). Pemilihan objek material tersebut berdasarkan pertimbangan atas
kesamaan tema serta kejadian yang dialami tokoh. Penelitian ini menggunkan
metode analisis deskriptif , pendekatan sastra bandingan dengan memanfaatkan
teknik analisis naratif.
2. PEMBAHASAN
2.1. Potensi Sastra Bandingan Sebagai Media Pemersatu Bangsa
Sastra, demikian pula sastra daerah pada dirinya sendiri memiliki kekuatan
penyembuh dan memiliki potensi sebagai mediator

pencegahan konflik yang

terjadi di dalam masyarakat kita. Ditambah pula apabila kekuatan ini ditingkatkan
dengan keterlibatan unsur-unsur terkait di daerah sebagai penanggung jawab
terhadap diberdayakannya sastra daerah sebagai kekuatan pemersatu dimaksud.
Dengan

membandingkan

dongeng,

diharapkan

dapat

meningkatkan

kompetensi inter-cultural dengan memanfaatkan nilai-nilai dalam karya sastra yang


mengutamakan pemahaman terhadap yang lain (the other) dan juga untuk
memperluas pemahaman kita terhadap kultur yang berbeda.

Membandingkan

dongeng di sini akan memanfaatkan kesamaan-kesamaan di antara dongeng yang


berasal dari etnis yang berbeda-beda, sedangkan perbedaan yang ditemukan dalam
perbandingan dongeng tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pemahaman terhadap
keragaman budaya sebagaimana dimaksudkan dimuka. Hanya dengan keluar dari
kugkungan narsisme kebudayaan kita, cita-cita multikulturalisme dapat dicapai.
4

Di atas telah dikemukakan bahwa makalah ini menonjolkan nilai kesamaan


dalam dongeng yang berbeda etnik. Tulisan ini akan membahas kesamaan dari
dongeng di Sulawesi Tenggara dengan dongeng lain di nusantara..
2.1.1Kesamaan nilai pada Dongeng Ana Wangguluri dan Nawang Wulan:
Ana wangguluri (Oheo) adalah dongeng yang berasal dari daerah Tolaki
sedangkan Nawang wulan (Jaka Tarub) adalah dongeng rakyat Jawa Tengah.
Keduanya mempunyai miteme yang sama yakni pada: konekuensi bagi seseorang
yang mendapatkan sesuatu dengan cara yang tidak jujur dan keteguhan terhadap
kebenaran.

-Konsekuensi bagi seseorang yang mendapatkan sesuatu dengan cara yang


tidak jujur.
Di dalam dongeng Oheo maupun Jaka Tarub dikisahkan bahwa ada
kesamaan pada tindakan dua tokoh tersebut yakni Jaka Tarub dan Oheo, mereka
sama-sama jatuh cinta pada pandangan pertama dengan bidadari, dalam dongeng
Oheo, bidadari tersebut bernama Anawangguluri., sedangkan di dalam dongeng
Jaka Tarub, bidadari tersebut bernama Nawang Wulan Kedua dongeng sama-sama
mengisahkan bahwa tokoh laki-lakinya (Oheo dan Jaka Tarub) sama-sama mencuri
selendang bidadari yang dicintainya agar sang bidadari tersebut tidak dapat lagi
kembali ke kahyangan, kemudian si bidadari dinikahi oleh tokoh lelaki. Kedua
dongeng

ini juga menceritakan bahwa sang tokoh lelaki menyembunyikan

selendang tersebut di suatu tempat sehingga pada suatu hari rahasia penyimpanan
tersebut terbongkar dan kelicikan kedua tokoh lelaki tersebut (oheo dan Jaka Tarub)
diketahui

oleh

si

bidadari

(Anawungguluri

dan

Nawang

Wulan).

Karena

terbongkarnya rahasia tersebut, bidadari dalam kedua dongeng tersebut marah dan
merebut

kembali

selendangnya

untuk

kemudian

kembali

ke

kahyangan.

Meninggalkan tokoh lelaki dengan kesedihan mendalam dan penyesalan tiada tara.
Dari narasi tersebut dapat kita lihat adanya kesamaan nilai dari kedua dongeng
bahwa seseorang yang mendapatkan sesuatu dengan cara yang tidak jujur akan
menerima konsekuensi kerugian dan penyesalan di akhir cerita, memang pada
narasi ditemukan bahwa kedua tokoh dalam dongeng sempat menikmati
kebahagiaan setelah berhasil memperdaya sang bidadari, namun akhir cerita

mengisahkan kesedihan yang nmendalam diakibatkan kecurangan yang si tokoh


sendiri lakukan.
- keteguhan terhadap kebenaran
Di atas telah dibahas mengenai tindakan Anawungguluri dan Nawang Wulan
meninggalkan suaminya yang telah memerdayainya dengan menyembunyikan
selendangya, kedua tokoh kembali ke kahyangan dan meninggalkan kenangan
indah bersama suaminya yang telah bertahun-tahun digaulinya itu. Meskipun benihbenih cinta mulai tumbuh dari pergaulan dengan suaminya tersebut, namum kedua
tokoh memutuskan sebuah tindakan yang sangat berani dengan meninggalkan
suaminya ke kahyangan. Hal ini dilakukan oleh tokoh bidadari tersebut untuk
menegaskan bahwa sebuah komitmen yang besar tidak dapat dimulai dengan
kebohongan. Penikahan bukanlah sekedar akhir cerita percintaan, namun sebuah
komitmen yang sacral dengan yang Maha Kuasa, dengan demikian tidak mungkin
hal tersebut diawali dengan cara-cara licik.
2.1.2. Belajar dari keluarga Cindelaras dan La Randa Sintagi:
Cindelaras adalah dongeng rakyat Jawa Timur, sedangkan La Randa Sintagi
adalah dongeng rakyat Wolio.
-Kesetiaan Seorang Istri
Dongeng ini sebenarnya menonjolkan tokoh putra La Randasintagi (tidak
disebut nama tokohnya dalam penuturannya) dan Cindelaras, namun tokoh ibu
dalam dua dongeng tersebut memiliki karakterisasi yang sama, yakni kedua tokoh
perempuan tersebut sama-sama tersingkir dari suaminya dikarenakan ulah istri
kedua. Pada dongeng daerah Wolio, tokoh Wa Iri Wondu yang merupakan istri dari
La Randasintagi tersingkir secara tidak sengaja oleh suaminya La Randasintagi
dikarenakan Wa kinamboro (raksasa ) yang merebut la randasintagi darinya beralih
rupa menjado Wa Iriwondu, sedangkan dalam dongeng Jawa Timur, permaisuri
disingkirkan oleh raja dikarenakan fitnah oleh istri muda raja (selir). Dalam situasi
tersingkir tersebut, kedua tokoh perempuan di dalam dua dongeng tersebut
memperlihatkan kesetiaan yang luar biasa terhadap pernikahan,bertahun-tahun
hidup berdua dengan putranya dalam penderitaan, baik tokoh Wa Iriwondu maupun
permaisuri tidak memutuskan untuk mencari kebahagiaan

lain atau menikah

dengan lelaki lain sebagai sandaran hidupnya dan anaknya, mereka tabah hidup
6

dalam pembuangan dan bahkan diam diam di daerah pembuangan, kedua tokoh
perempuan tersebut menyusun rencana untuk merebut kembali haknya yang telah
dirampas oleh istri muda suaminya.
-Bakti Anak Dan Perjuangan Merebut Hak Yang Terampas
Di atas telah dibahas tentang pentingnya peranan tokoh anak dalam kedua
dongeng tersebut baik putra La Randa Sintagi maupun Cindelaras. Kedua tokoh ini
menunjukkan tanggung jawab dan bakti yang luar biasa besar dari seorang anak.
Dalam usianya yang masih remaja tanggung, dia dan ibunya menyusun strategi
untuk menyatukan kembali keluarga mereka dan merebut hak-hak mereka yang
telah dirampas oleh istri muda sang ayah. Strategi itu disusun dengan sangat
matang, mulai dari menyiapkan ayam jago sakti untuk diadu dengan ayam raja yang
mempunyai hobi menyabung ayam, maka putra La Randasintagi dan Cindelaras
dalam kedua dongeng tersebut menantang raja yang merupakan ayahnya sendiri
dengan taruhan seluruh kerajaannya. Pertandingan sabung ayam tersebut samasama dimenangkan oleh tokoh anak dalam kedua dongeng, dan kemenangan
tersebut menjadi akhir cerita bahagia, dalam hal ini tokoh ibu dan anak dalam kedua
dongeng mendapatkan kembali haknya yakni, suami dan ayah tercinta serta seluruh
kerajaan kembali ke tangan mereka. Perjalanan panjang sang putra mahkota dalam
pembuangan pada kedua dongeng tersebut melukiskan ketabahan dan keteguhan
hati si anak untuk membela kepentingan dirinya dan ibunya serta dalam merebut
kembali apa yang manjadi hak mereka, menandai bakti yang dalam seorang anak
kepada orang tuanya.
2.1.3. Pelajaran dari Watu Samboka-Mboka dan Batu Batangkup: Buruknya
Komunikasi Antara Sesama Anggota Keluarga yang Berujung Petaka
Watu Samboka-Mboka adalah dongeng dari Wakatobi sedangkan batu belah
adalah dongeng dari daerah Riau.
Kedua dongeng ini memiliki kesamaan pada kejadian yang dialami tokoh:
pada dongeng Wakatobi, kejadian ini dialami oleh tokoh anak yaitu Wa DambeDambe rara sedangakan pada dongeng Riau kejadian tersebut dialami oleh tokoh
ibu yang bernama mak Minah. Kejadian dimaksud adalah kedua tokoh ditelan oleh
batu (watu samboka-mboka di dongeng wakatobi dan batu belah di dongeng riau),
kejadian ditelannya kedua tokoh tersebut oleh batu adalah atas permintaan sang
7

tokoh sendiri, baik Wa Dambe Damberara maupun mak Minah, kedua tokoh dalam
dongeng dikisahkan mendatangi batu belah tersebut dan meminta batu tersebut
untuk menelan dirinya disebabkan kesedihan yang mendalam dari keduanya.
Pada dongeng Wakatobi kesedihan yang mendalam itu dialami tokoh setelah ia
dipukuli oleh ibunya sampai ia tidak tahan lagi karena kesalahannya yang tidak
sengaja memanggang adiknya yang bernama Wa Konduru di atas batu membara
pada kegiatan hebhatua. Hal tersebut ia lakukan sebab ia salah menangkap pesan
ibunya untuk menaruh buah kundur sebagai sobu pada acara habatua tersebut.
akan halnya mak Minah, ia mengalami depresi yang luar biasa karena merasa tidak
mampu mendidik ketiga putrinya yang kenakalannya sudah melampaui batas.
Kedua kisah dalam dongeng tersebut memperlihatkan kisah tragis yang
dialami tokoh disebabkan buruknya komunikasi yang terjadi di keluarganya, Wa
Dambe Dambe Rara mengalami tragedi karena tidak mampu menangkap pesan
ibunya, demikian pula mak Minah, ia mengalami nasib yang sama karena tidak
mampu membangun komunikasi dengan ketiga putrinya.
Uraian di atas memperlihatkan adanya kesamaan tema dan kejadian yang
dialami tokoh pada satra daerah dari etnis yang berbeda. Hal ini menunjukkan
bahwa kemungkinan telah terjadi kontak yang intens antar kebudayaan kita
sehingga kita telah pernah mengalami fase berbagai kebudayaan ataupun juga
merupakan bukti bahwa betapa dalam keragaman kita, kita terikat pada struktur
ketaksadaran yang sama (shared unconscious realm) yang menyatukan kita sebagai
manusia. Contoh di atas adalah sedikit dari sastra daerah kita yang memiliki struktur
yang sama. Dengan penelitian yang lebih serius diharapkan dapat ditemukan lebih
banyak lagi kemiripan-kemiripan pada dongeng di nusantara ini. Dengan demikian,
potensi sastra sebagai kekuatan pemersatu dapat diberdayakan.
2. Memasyarakatkan Dongeng Melalui Kurikulum, Lembaga Kebudayaan dan
Sanggar-Sanggar Seni
Hal lain yang dapat dilakukan dalam rangka mewujudkan cita-cita
multikulturalisme kita adalah dengan memperkuat warna lokal (local wisdom) kita.
Hal ini dapat dilakukan dengan menyemarakkan pengajaran sastra daerah di
sekolah-sekolah. Kita ketahui bahwa multikulturalisme tidak mungkin dapat tercapai
tanpa

pemahaman terhadap kultur-kultur

pembentuknya.

Kultur

pembentuk

dimaksud adalah kebudayaan daerah itu sendiri.


8

Nasib kebudayaan daerah kita, termasuk di antaranya sastra daerah dapat


dikatakan mengalami fase kritis. Sastra daerah tidak lagi menjadi tuan rumah di
rumahnya sendiri, nasibnya tergusur oleh kemajuan industri media elekronik. Anakanak kita lebih mengenal sinetron daripada sastra daerahnya. Balita-balita kita lebih
akrab dengan Disney World ketimbang dongen-dongeng daerah. Para ibu lebih
merasa bergengsi membacakan dongeng-dongeng Eropa ketimbang menuturkan
dongeng daerah sebagai pengantar tidur sang anak. Kurikulum muatan lokal yang
dimaksudkan untuk memperkuat warna lokal tersebut pada kasus tertentu tidak
mampu memberikan sumbangsih yang signifikan, sebab pembelajaran muatan lokal
didominasi dengan penghafalan kosa kata bahasa daerah ketimbang memanfaatkan
sastra daerah sebagai media pembelajaran.
Mencermati kondisi tersebut, maka dipandang sangat perlu untuk melibatkan
stakeholder di daerah untuk mengawal pembelajaran sastra daerah di sekolahsekolah. Selain itu diperlukan komitmen yang kuat dari lembaga-lembaga kesenian
dan kebudayaan daerah untuk mempromosikan produk budaya daerah dalam
bentuk seni tari ataupun drama yang diadaptasi dari sastra daerah. Dengan
memanfaatkan media cetak dan elektronik, peran sastra daerah sebagai
pembangun karakter bangsa yang multikultur dapat terwujudkan.

3. PENUTUP
Sastra banding memiliki potensi sebagai perekat kebangsaan dalam
konteks budaya Indonesia yang beragam, dengan menemukan kesamaan
kesamaan dalam kebudayaan kita, diharapkan dapat terjalin ikatan emosional antar
warga budaya yang berbeda namun memiliki kesamaan-kesamaan dalam karya
sastranya. Akan tetapi hal pertama yang harus

dilakukan dalam rangka

mewujudkan cita-cita multikulturalisme kita adalah dengan memperkuat warna lokal


kita. Hal ini dapat dilakukan dengan menyemarakkan pengajaran sastra daerah di
sekolah-sekolah. Kita ketahui bahwa multikulturalisme tidak mungkin dapat tercapai
tanpa

pemahaman

terhadap

kultur-kultur

pembentuknya.

kultur

pembentuk

dimaksud adalah kebudayaan daerah itu sendiri. Oleh karena itu penguatan sastra
daerah sebagai elemen pembangun multikultur harus mendapat dukungan dari
berbagai pihak terkait.
9

REFERENSI

Alasutari, pertti.1995. Researching Culture (Qualitative Method And Cultural


Studies). New Delhi: SAGE publication
Assmann, Corinna. The Conflict of Values In Multicultural Literature: Religion,
Tradition, And Ritual In Nadeem Aslam's Maps For Lost Lovers (2004).2012.
Prosiding Pada Values In Literature And The Value Of Literature.
International Conference, Helsinki
Damono, Sapardi Djoko. 2005, Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta:
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional
Driau. 2013.Cerita Rakyat Melayu Riau: Batu Belah Batu Batangkup. www.driau.com
Endraswara, Suwardi. 2006. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi Model,
Teori dan Aplikasi.Yogyakarta: Pustaka Widyatama
Guiilen, Claudio1993. The Challenge Of Comparatitive Literature. England: Harvard
University Press
Hida, Taura.2013. Tantangan Besar Multikulturalisme Di Indonesia. Kompasiana.
Ile, Onyebuchi James. Value Implications for Literature: Literature and Conflict
Resolution. . Prosiding Pada Values In Literature And The Value Of
Literature. International Conference, Helsinki
Levi-Strauss, Claude. 2005, Antropologi Struktural. Yogyakarta: Kreasi Wacana
Moleong, Lexi J.1998.
Rosdakarya

Metodologi

Penelitian

Kualitatif.

Bandung.

Remaja

Nor, Rohinah.M.2011. Pendidikan Karakter Berbasisi Sastra (Solusi Pendidikan


Moral Yang Efektif). Yogyakarta: Arruzz Media
Pramudiana Gulam.2009. Cindelaras dan Ayam Sakti.dongeng.org
Propp, Vladimir. 1968. Morphology of Folktale. London. University of Texas Press
Sidu, La Lode. 1995. Cerita Rakyat dari Sulawesi Tenggara.Jakarta. Grasindo

10

11

Anda mungkin juga menyukai