Anda di halaman 1dari 43

i

MANUAL PLACENTA ATAS INDIKASI RETENSIO PLACENTA


DAFTAR ISI
Kata Pengantar..................................................................................................................
i
Daftar Isi.............................................................................................................................
ii
Bab 1 Pendahuluan..............................................................................................................
Bab 2 Tinjauan Pustaka....................................................................................................
3
2.1 Definisi..................................................................................................................
3
2.2 Insidensi................................................................................................................
3
2.3 Plasentasi..............................................................................................................
4
2.4 Mekanisme Kala III.............................................................................................
9
2.5 Etiologi..................................................................................................................
11
2.6 Faktor Predisposisi..............................................................................................
13
2.7 Patogenesis...........................................................................................................
13
2.8 Diagnosis...............................................................................................................
14
2.9 Penanganan..........................................................................................................
18
2.10 Komplikasi.........................................................................................................
25

ii

2.11 Pencegahan.........................................................................................................
25
2.12 Prognosis.............................................................................................................
26
Bab 3 Laporan Kasus .......................................................................................................
27
Bab 4 Analisis Kasus ........................................................................................................
35
Bab 5 Permasalahan..........................................................................................................
37
Bab 6 Kesimpulan..............................................................................................................
38
Daftar Pustaka ..................................................................................................................

BAB 1
PENDAHULUAN
Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator pelayanan
kesehatan di suatu negara. AKI di Indonesia sendiri masih sangat tinggi.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun
2005, angka kematian ibu saat melahirkan adalah sebanyak 262 per 100.000
kelahiran hidup. Angka tersebut masih jauh dua kali lipat lebih tinggi dari target
Millenium Development Goals (MDGs) 2015 yakni 102 per 100.000 kelahiran
hidup. Menurut Depkes RI, AKI di Indonesia (2002) adalah 650 ibu tiap 100.000
kelahiran hidup dan 43% dari angka tersebut disebabkan oleh perdarahan postpartum.1
Perdarahan post-partum primer / dini (early postpartum hemorrhage) yaitu
perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama. Penyebab utamanya adalah atonia
uteri (50-60 %), retensio plasenta (16-17 %), sisa plasenta (23-24 %), laserasi
jalan lahir (4-5 %), dan kelainan darah (0,5 0,8 %).1,2
Setelah bayi lahir, kontraksi rahim istirahat sebentar. Uterus teraba keras
dengan fundus uteri setinggi pusat, dan berisi plasenta yang menjadi tebal 2 x
sebelumnya. Beberapa saat kemudian, timbul his pelepasan dan pengeluaran uri
(plasenta). Kala ini berlangsung mulai dari bayi lahir sampai plasenta keluar
lengkap dan biasanya akan lahir spontan.2 Jika plasenta tidak lahir setelah 30
sampai 60 menit setelah bayi lahir, disebut retensio plasenta (retained
placenta).3,4,5
Perdarahan yang disebabkan karena retensio plasenta dapat terjadi karena
plasenta lepas sebagian, yang merupakan indikasi untuk mengeluarkannya.
Plasenta belum lepas dari dinding uterus karena kontraksi uterus kurang kuat
untuk melepaskan plasenta (plasenta adhesiva) ataupun keadaan dimana plasenta
melekat erat pada dinding uterus oleh sebab vili korialis menembus desidua
sampai miometrium- sampai di bawah peritoneum (plasenta akreta-perkreta).3
Plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar,
disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah

penanganan kala III, sehingga terjadi lingkaran konstriksi pada bagian bawah
uterus yang menghalangi keluarnya plasenta (inkarserasio plasenta) sehingga
perlu dilakukan tindakan manual plasenta.3
Manual plasenta merupakan prosedur obstetri pelepasan plasenta dari
tempat implantasinya pada dinding uterus dan mengeluarkannya dari kavum uteri
secara manual yaitu dengan melakukan tindakan invasi dan manipulasi tangan
penolong persalinan yang dimasukkan langsung ke dalam kavum uteri. Menurut
WHO prosedur ini lazim dilakukan pada kala III ketika plasenta tidak dilahirkan
lebih dari 30 menit.
Penelitian yang dilakukan pada daerah Nigeria dan sub-bagiannya,
ditemukan insidensi manual plasenta adalah 0.6 8 %. Dalam keseluruhan
pelaksanaan manual plasenta tersebut tidak ditemukan kematian ibu sebagai tanda
dari respon yang baik terhadap penanganan retensio plasenta.6,7,10

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Biasanya setelah janin lahir, beberapa menit kemudian mulailah proses
pelepasan plasenta disertai sedikit perdarahan (kira-kira 100 200 cc). Bila
plasenta sudah lepas dan turun ke bagian bawah rahim, maka uterus akan
berkontraksi (his pengeluaran plasenta) untuk mengeluarkan plasenta.2
Kadang-kadang, plasenta tidak segera terlepas. Suatu pertanyaan yang
belum mendapat jawaban yang pasti adalah berapa lama waktu berlalu pada
keadaan tanpa perdarahan sebelum plasenta harus dikeluarkan secara manual.
Bidang obstetri secara tradisional membuat batas-batas durasi kala tiga secara
agak ketat sebagai upaya untuk mendefinisikan retensio plasenta (abnormally
retained placenta) sehingga perdarahan akibat terlalu lambatnya pemisahan
plasenta dapat dikurangi. Combs dan Laros (1991) meneliti 12.275 persalinan
pervaginam tunggal dan melaporkan median durasi kala tiga adalah 6 menit, dan
3,3 persen berlangsung lebih dari 30 menit.6 Jadi istilah retensio plasenta
dipergunakan jika plasenta belum lahir jam sesudah anak lahir. 2,7,8,9,10,11,12
2.2 Insidensi
Retensio plasenta adalah penyebab signifikan dari kematian maternal dan
angka kesakitan di seluruh negara berkembang. Kasus ini merupakan penyulit
pada 2 % dari semua kelahiran hidup dengan angka kematian hampir mencapai
10% di daerah pedesaan.13 Menurut studi lain, insidensi dari retensio plasenta
berkisar antara 1-2 % dari kelahiran hidup. Pada studi tersebut retensio plasenta
lebih sering muncul pada pasien yang lebih muda dengan multiparitas.14
Diperkirakan insidensi dari perlengketan abnormalitas sekitar 1 dari 2000
hingga 1 dari 7000 persalinan. Plasenta akreta meliputi 80% dari keseluruhan
perlengketan abnormal, plasenta inkreta 15 %, dan plasenta perkreta 5 %. Angka
ini meningkat tajam dalam dua dekade terakhir, sejalan dengan meningkatnya
angka seksio cesarean.15

2.3. Plasentasi
Pada hari keempat setelah fertilisasi hasil konsepsi mencapai stadium
blastula disebut blastokista (blastocyst), suatu bentuk yang di bagian luarnya
adalah trofoblas dan di bagian dalamnya disebut massa inner cell. Massa inner
cell ini berkembang menjadi janin dan trofoblas akan berkembang menjadi
plasenta. Nidasi (implantasi) diatur oleh suatu proses yang kompleks antara
trofoblas dan endometrium. Di satu sisi trofoblas mempunyai kemampuan invasif
yang kuat, di sisi lain endometrium mengontrol invasi trofoblas dengan
menyekresikan faktor aktif lokal yaitu sitokin dan protease.9

Gambar 2.1 Blastokista 8 Hari Pasca Fertilisasi6

Gambar 2.2 Blastokista 9 Hari Pasca Fertilisasi6


Setelah implantasi, sel-sel trofoblas dapat berdiferensiasi menjadi 2 jenis
yakni:16,9
1. Ekstravili sel sitotrofoblas berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel
invasif yang menginvasi (trofoblas interstitial) desidua maternal dan arteri
spiralis (trofoblas endovaskuler) miometrium.
2. Vili sel sitotrofoblas berproliferasi dan bergabung membentuk sel
sinsisiotrofoblas multinukleus yang membentuk permukaan luar vili plasenta
janin.

Gambar 2.3 Trofoblas6

Invasi trofoblas diatur oleh pengaturan kadar hCG. Sinsitiotrofoblas


menghasilkan hCG yang akan mengubah sitotrofoblas menyekresikan hormon
yang

noninvasif.

Trofoblas

yang

semakin

dekat

dengan

endometrium

menghasilkan kadar hCG yang semakin rendah, dan membuat trofoblas


berdiferensiasi dalam sel jangkar yang menghasilkan protein perekat plasenta
yaitu trophouteronectin.9
Endometrium atau sel desidua dimana terjadi nidasi menjadi pucat dan
besar disebut reaksi desidua. Sebagian lapisan desidua mengalami fagositosis oleh
sel trofoblas. Reaksi desidua ini agaknya merupakan proses untuk menghambat
invasi, tetapi berfungsi sebagai pasokan makanan. Namun, ada juga sel-sel
desidua yang tidak dapat dihancurkan oleh trofoblas dan sel ini akhirnya
membentuk lapisan fibrinoid yang disebut lapisan Nitabuch. Ketika proses
melahirkan, plasenta terlepas dari endometrium pada lapisan Nitabuch ini.9

Gambar 2.4 Anatomi uterus dan plasentasi6


Setelah nidasi embrio ke dalam endometrium, plasentasi dimulai dan
berlangsung sampai 12-18 minggu setelah fertilisasi. Plasentasi adalah proses
pembentukan struktur dan jenis plasenta. Dalam 2 minggu pertama perkembangan
hasil konsepsi, trofoblas invasif telah melakukan penetrasi ke arteri spiralis pada
lapisan basal endometrium. Pada usia kehamilan 8 minggu (6 minggu setelah
nidasi) telah terjadi invasi terhadap 40-60 arteri spiralis di daerah desidua basalis
yang menjadi tempat implantasi plasenta. Lalu terbentuklah sinus intertrofoblastik
yaitu ruangan yang berisi darah maternal dari pembuluh darah yang dihancurkan.
Pertumbuhan ini berjalan terus, sehingga timbul ruangan-ruangan interviler di

mana vili korialis seolah-olah terapung-apung di antara ruangan tersebut. Vili


korialis ini akan bertumbuh menjadi suatu massa jaringan yaitu plasenta.9
Plasenta berbentuk bundar atau oval; ukuran diameter 15-20 cm, tebal 2-3
cm, berat 500-600 gram. Biasanya plasenta atau uri akan berbentuk lengkap pada
kehamilan kira-kira 16 minggu; dimana ruang amnion telah mengisi seluruh
rongga rahim. Letak plasenta yang normal umumnya pada corpus uteri bagian
depan atau belakang agak kearah fundus uteri. 2 Plasenta normal menanamkan diri
sampai ke batas atas lapisan otot rahim.7

Gambar 2.5 Desidua6


Plasenta terdiri atas tiga bagian yaitu :1,2
1) Bagian janin (fetal portion). Bagian janin terdiri dari korion frondosum dan
vili. Vili dari uri yang matang terdiri atas :
Vili korialis
Ruang-ruang interviler. Darah ibu yang berada dalam ruang interviler
berasal dari arteri spiralis yang berada di desidua basalis. Pada sistol, darah
dipompa dengan tekanan 70-80 mmHg kedalam ruang interviler sampai
lempeng korionik (chorionic plate) pangkal dari kotiledon-kotiledon. Darah
tersebut membanjiri vili korialis dan kembali perlahan ke vena di desidua
dengan tekanan 8 mmHg.

Pada bagian permukaan janin uri diliputi oleh amnion yang licin, dibawah
lapisan amnion ini berjalan cabang-cabang pembuluh darah tali pusat. Tali
pusat akan berinsersi pada uri bagian permukaan janin.
2) Bagian maternal (maternal portion). Terdiri atas desidua kompakta yang
terbentuk dari beberapa lobus dan kotiledon (15-20 buah). Desidua basalis
pada uri yang matang disebut lempeng korionik (basal) dimana sirkulasi uteroplasental berjalan keruang-ruang intervili melalui tali pusat.
3) Tali pusat merentang dari pusat janin ke uri bagian permukaan janin.
Panjangnya rata-rata 50-55 cm, sebesar jari (diameter 1- 2.5 cm), strukturnya
terdiri atas 2 arteri umbilikalis dan 1 vena umbilikalis serta jelly wharton.

Gambar 2.6 Struktur plasenta16


Supaya janin dapat tumbuh dengan sempurna, dibutuhkan penyaluran
darah dari ibu ke janin dan pembuangan limbah metabolisme ke sirkulasi ibu.
Berikut merupakan fungsi plasenta, yaitu :2,16

a. Nutrisasi, yakni alat pemberi makanan pada janin yang berasal dari sekitar
b.
c.
d.
e.
f.

100-150 arteri spiralis maternal yang berlokasi pada lempeng basal.


Respirasi, yakni alat penyalur zat asam dan pembuangan CO2
Ekskresi, yakni alat pengeluaran sampah metabolisme
Produksi, yakni alat yang menghasilkan hormon
Imunisasi, yakni alat penyalur antibodi ke janin
Pertahanan (sawar), penyaring obat dan kuman yang bisa melewati
plasenta

2.4. Mekanisme Kala III


Kala III persalinan dimulai setelah lahirnya bayi dan berakhir dengan
lahirnya plasenta dan selaput ketuban.17 Lama kala tiga pada persalinan normal
ditentukan oleh lamanya fase kontraksi.1 Segera setelah bayi lahir, tinggi fundus
uteri dan konsistensinya hendaknya dipastikan. Selama uterus tetap kencang dan
tidak ada perdarahan yang luar biasa, menunggu dengan waspada sampai plasenta
terlepas biasa dilakukan. Jangan lakukan masase; tangan hanya diletakkan di atas
fundus untuk memastikan bahwa organ tersebut tidak menjadi atonik dan terisi
darah dan menggelembung di belakang plasenta yang sudah terlepas.6,11
Kala tiga yang normal dapat dibagi ke dalam 4 fase, yaitu :1,4,13
1. Fase laten, ditandai oleh menebalnya dinding uterus yang bebas dari plasenta,
namun dinding uterus tempat plasenta melekat masih tipis.
2. Fase kontraksi, ditandai oleh menebalnya dinding uterus tempat plasenta
melekat (dari ketebalan kurang dari 1 cm menjadi > 2 cm).
3. Fase pelepasan plasenta, fase dimana plasenta menyempurnakan pemisahannya
dari dinding uterus dan lepas.
4. Fase pengeluaran, dimana plasenta bergerak meluncur ke arah vagina.
Normalnya, pada saat bayi selesai dilahirkan, rongga uterus berupa suatu
massa otot yang hampir padat, dengan tebal beberapa sentimeter di atas segmen
bawah yang lebih tipis. Fundus uteri sekarang terletak di bawah batas ketinggian
umbilikus. Penyusutan ukuran uterus yang mendadak ini selalu disertai dengan
pengurangan

bidang

tempat

implantasi

plasenta.

Agar

plasenta

dapat

mengakomodasikan diri terhadap permukaan yang mengecil ini, organ ini


memperbesar ketebalannya, tetapi karena elastisitas plasenta terbatas, plasenta
terpaksa menekuk. Tegangan yang dihasilkannya menyebabkan lapisan desidua

10

yang paling lemah- lapisan spongiosa, atau desidua spongiosa- mengalah, dan
pemisahan terjadi di tempat ini.6,9
Pemisahan plasenta amat dipermudah oleh sifat struktur desidua spongiosa
yang longgar. Ketika pemisahan berlangsung, terbentuk hematoma di antara
plasenta yang sedang terpisah dan desidua yang tersisa (hematoma retroplasenta).
Bagian perifer plasenta biasanya melekat lebih erat sehingga pemisahan dapat
terjadi dimana saja.2,6,9
Jika plasenta tidak lahir spontan, maka teknik Brandt-Andrews
dilakukan.6,18,19

Setelah bayi lahir, klem tali pusat mendekati vulva. Palpasi uterus
dengan hati-hati tanpa di masase untuk menilai kontraksi uterus.

Setelah muncul tanda pelepasan plasenta, pegang klem dekat vulva


dengan satu tangan, dan jari tangan lainnya pada abdomen, dan tekan
antara fundus dan simfisis untuk mengangkat uterus. Jika plasenta
telah terlepas, tali pusat akan meluncur ke arah vagina.
Berikut adalah tanda-tanda pelepasan dari plasenta :6,11,17,18
1. Uterus menjadi globular, dan biasanya lebih kencang. Tanda ini
terlihat paling awal.
2. Sering ada pancaran darah mendadak.
3. Tali pusat keluar lebih panjang dari vagina 3 cm, yang menunjukkan
bahwa plasenta telah turun.
Tanda-tanda ini kadang-kadang terlihat dalam waktu satu menit setelah
bayi lahir dan biasanya dalam 5 menit.6

Setelah fundus terangkat, lakukan traksi lembut pada tali pusat, dan
lahirkan plasenta dari vagina.

11

Gambar 2.7 Teknik Brandt-Andrews18


Manuver ini diulangi beberapa kali sampai plasenta mencapai introitus.
Saat plasenta melewati introitus, penekanan pada uterus dihentikan. Plasenta
kemudian secara perlahan dikeluarkan dari introitus. Tindakan hati-hati diperlukan
untuk mencegah membran supaya tidak terputus dan tertinggal. Jika membran
mulai robek, pegang robekan dengan klem dan tarik perlahan. Permukaan
maternal plasenta harus diperiksa secara hati-hati untuk memastikan bahwa tidak
ada fragmen plasenta tertinggal di uterus.6,9
Setelah lahirnya plasenta, hal ini umum dilakukan (walaupun tidak
diaplikasikan pada seluruh kasus) untuk memberikan oksitosin. Sebelumnya,
diberikan 5-10 IU IV setelah 5 menit untuk mengurangi perdarahan. Kini, lebih
sering diberikan 20 IU oksitosin dalam 1000 cc larutan IV 125-250 cc perjam.18
2.5. Etiologi
Etiologi retensio plasenta tidak diketahui dengan pasti sebelum tindakan.7
Beberapa penyebab retensio plasenta adalah :2,10,11
1. Fungsional
a. His kurang kuat (penyebab terpenting). Plasenta sudah lepas tetapi
belum keluar karena atonia uteri dan akan menyebabkan perdarahan
yang banyak. Atau karena adanya lingkaran konstriksi pada bagian
bawah rahim (ostium uteri) akibat kesalahan penanganan kala III, yang
akan menghalangi plasenta keluar (plasenta inkarserata).2,8,11
b. Plasenta sukar terlepas karena tempatnya (insersi di sudut tuba),
bentuknya (plasenta membranasea, plasenta anularis); dan ukurannya

12

(plasenta yang sangat kecil).11 Plasenta yang sukar lepas karena


penyebab ini disebut plasenta adhesiva.7 Plasenta adhesiva ialah jika
terjadi implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta sehingga
menyebabkan kegagalan mekanisme perpisahan fisiologis.8
2. Patologi-anatomi
Plasenta belum terlepas dari dinding rahim karena melekat dan
tumbuh lebih dalam. Menurut tingkat perlekatannya dibagi menjadi:
1,2,6,7,8,9,11,16

a. Plasenta akreta: vili korialis berimplantasi menembus desidua basalis


dan Nitabuch layer. Pada jenis ini plasenta melekat langsung pada
miometrium.
b. Plasenta inkreta: vili korialis sampai menembus miometrium, tapi
tidak menembus serosa uterus.
c. Plasenta perkreta: vili korialis sampai menembus serosa atau
perimetrium.
Plasenta akreta ada yang kompleta, yaitu jika seluruh permukaannya
melekat dengan erat pada dinding rahim. Plasenta akreta yang parsialis, yaitu jika
hanya beberapa bagian dari permukaannya lebih erat berhubungan dengan dinding
rahim. Plasenta akreta yang kompleta, inkreta, dan perkreta jarang terjadi.7

Gambar 2.8 Jenis-jenis perlengketan plasenta16


2.6. Faktor Predisposisi

13

Perlengketan plasenta yang abnormal terjadi apabila pembentukan desidua


terganggu. Keadaan-keadaan tersebut mencakup implantasi di segmen bawah
rahim (plasenta previa), di atas jaringan parut SC atau insisi uterus lainnya; atau
setelah kuretase uterus dan multiparitas, kelahiran preterm, serta induksi
persalinan.8,9,5 Dalam ulasannya terhadap 622 kasus yang dikumpulkan antara
tahun 1945 dan 1969, Fox (1972) mencatat karakteristik berikut :6,14,20
1. Plasenta previa diidentifikasi pada sepertiga kehamilan yang terkena
2. Seperempat pasien pernah menjalani seksio sesarea
3. Hampir seperempat pernah menjalani kuretase
4. Seperempatnya adalah gravida 6 atau lebih
2.7. Patogenesis
Penyebab pasti tertundanya pelepasan setelah waktu 30 menit tidak selalu
jelas, tetapi tampaknya cukup sering disebabkan oleh kontraksi uterus yang tidak
adekuat.6,12 Penyebab dari disfungsi kontraksi ini belum diketahui pasti. Kecuali
pada fibroid uterus, dimana sumber distensi uterus tidak dapat dihilangkan dengan
kontraksi uterus, maka kontraksi uterus yang tidak adekuat muncul. Namun,
uterus tidak harus mengalami distensi selama kala III hingga menyebabkan
kontraksi yang tidak adekuat. Distensi sebelum kelahiran bayi, seperti pada
kehamilan ganda dan polihidramnion, juga mempengaruhi kemampuan rahim
untuk berkontraksi secara efisien setelah kelahiran bayi, dan dengan demikian
keduanya menjadi faktor risiko lain untuk perdarahan postpartum karena atonia.21
Walaupun sangat jarang, plasenta dapat melekat erat ke tempat implantasi,
baik karena penetrasi berlebihan dari trofoblas maupun desidua basalis yang
sedikit (tipis) atau tidak ada sama sekali dan kelainan perkembangan lapisan
fibrinoid (lapisan Nitabuch) secara parsial atau total, sehingga tidak terdapat garis
pemisah fisiologis melalui lapisan spongiosa desidua. Akibatnya, satu atau lebih
kotiledon melekat erat ke desidua basalis yang cacat atau bahkan ke miometrium.
Kasus perlengketan plasenta ini dapat dilihat pada trimester pertama, yang
mengindikasikan bahwa proses patologinya mungkin muncul pada saat implantasi
dan bukan setelah masa gestasional.6,7, 12,15,18

14

Pengalaman

klinis

juga

menunjukkan

bahwa

kita

tidak

dapat

mengasumsikan bahwa perdarahan postpartum lebih umum terjadi pada


implantasi segmen bawah rahim, murni terjadi karena otot segmen bawah rahim
tidak memadai untuk berkontraksi. Dalam kasus plasenta previa dan plasenta
akreta, segmen bawah rahim terlihat lebih tipis dari lapisan normal. Peneliti
berhipotesis bahwa sifat kontraktil otot segmen bawah rahim, yang sudah lebih
kecil dari segmen atas, selanjutnya diturunkan oleh kehadiran plasenta. Ini berarti
bahwa implantasi sendiri memiliki efek buruk pada miometrium segmen bawah.
Selain itu, ada bukti yang bersifat anekdot yang menunjukkan bahwa invasi
trofoblas lebih cenderung pada daerah jaringan desidua yang sedikit (tipis),
termasuk implantasi pada bekas luka dan kehamilan ektopik. Peneliti berhipotesis
bahwa trofoblas akan lebih mudah menginvasi ke segmen bawah rahim dengan
lapisan desidua yang abnormal, dan meningkatkan kemungkinan plasenta akreta
untuk berkembang.21
Patofisiologi retensio plasenta ini juga bisa berarti plasenta telah terpisah
akan tetapi masih tertinggal akibat ketegangan tali plasenta atau leher rahim yang
tertutup.12 Faktor ini dapat muncul akibat kesalahan penanganan kala III
persalinan dan manipulasi yang berlebihan. 14 Pemijatan dan penekanan secara
terus-menerus terhadap uterus yang sudah berkontraksi dapat mengganggu
mekanisme fisiologis pelepasan plasenta sehingga pemisahan plasenta tidak
sempurna dan pengeluaran darah meningkat.6
2.8. Diagnosis19
A. Gejala Klinis
Dari anamnesis, meliputi pertanyaan tentang periode prenatal,
meminta informasi mengenai episode perdarahan postpartum sebelumnya,
paritas, serta riwayat multipel fetus dan polihidramnion. Serta riwayat
pospartum sekarang dimana plasenta tidak lepas secara spontan atau
timbul perdarahan aktif setelah bayi dilahirkan.4
Gejala dan Tanda

Gejala dan Tanda Lain

Diagnosa Kerja

15

Uterus tidak
berkontraksi dan

Syok
Bekuan darah
pada serviks atau

lembek
Perdarahan segera

posisi telentang

setelah anak lahir


Darah segar mengalir
segera setelah bayi
lahir
Uterus berkontraksi
dan keras
Plasenta lengkap
Plasenta belum lahir
setelah 30 menit
Perdarahan segera
Uterus berkontraksi

akan menghambat

aliran darah keluar


Pucat
Lemah
Menggigil

Tali pusat putus

sebagian selaput tidak


lengkap
Perdarahan segera
Uterus tidak teraba
Lumen vagina terisi

Robekan jalan lahir

Retensio plasenta

akibat traksi

berlebihan
Inversio uteri akibat

tarikan
Perdarahan lanjutan
Uterus berkontraksi

Tertinggalnya sebagian

tetapi tinggi fundus

plasenta atau ketuban

dan keras
Plasenta atau

Atonia uteri

tidak berkurang
Neurogenik syok
Pucat dan limbung

Inversio uteri

massa
Tampak tali pusat
(bila plasenta belum
lahir)
Sub-involusi uterus
Nyeri tekan perut
bawah dan pada
uterus
Perdarahan
Lokhia mukopurulen
dan berbau

Anemia
Demam

Endometritis atau sisa


fragmen plasenta
(terinfeksi atau tidak)
Perdarahan postpartum
sekunder

16

Tabel 2.1 Diagnosis Retensio Plasenta22,25

Gejala

Akreta parsial

Inkarserata

Akreta

Konsistensi
uterus
Tinggi fundus

Kenyal

Keras

Cukup

Sepusat

Sepusat

Bentuk uterus
Perdarahan
Tali pusat

Diskoid
Sedang- banyak
Terjulur
sebagian
Terbuka
Lepas sebagian

2 jari bawah
pusat
Agak globuler
Sedang
Terjulur
Konstriksi
Sudah lepas

Terbuka
Melekat seluruhnya

Jarang

Jarang sekali,
kecuali akibat
inversio oleh
tarikan kuat pada
tali pusat

Ostium uteri
Pelepasan
plasenta
Syok

Sering

Diskoid
Sedikit/ tidak ada
Tidak terjulur

Tabel 2.2 Identifikasi jenis retensio plasenta dan gambaran klinisnya8


B. Pemeriksaan Pervaginam
Pada pemeriksaan pervaginam, plasenta tidak ditemukan di dalam
kanalis servikalis tetapi secara parsial atau lengkap menempel di dalam
uterus.4 Pada pemeriksaan plasenta yang lahir menunjukkan bahwa ada
bagian tidak ada atau tertinggal, dan pada eksplorasi secara manual
terdapat kesulitan dalam pelepasan plasenta atau ditemukan sisa
plasenta.15,18
C. Pemeriksaan Penunjang
1.

Pemeriksaan darah untuk menilai peningkatan alfa fetoprotein.


Peningkatan alfa fetoprotein berhubungan dengan plasenta akreta.23

2.

USG20,23
Diagnosis plasenta akreta melalui pemeriksaan USG menjadi
lebih mudah bila implantasi plasenta berada di SBU bagian depan.

17

Lapisan miometrium dibagian basal plasenta terlihat menipis atau


menghilang. Pada plasenta perkreta vena-vena subplasenta terlihat
berada di bagian dinding kandung kemih.9
Cox dkk. (1988) melaporkan satu kasus plasenta previa dengan
plasenta inkreta yang diidentifikasi secara USG berdasarkan tidak
adanya ruang sonolusen di subplasenta. Mereka berhipotesis bahwa
daerah sonolusen subplasenta yang normalnya ada ini menggambarkan
desidua basalis dan jaringan miometrium di bawahnya. 6,15 Diagnosis
berdasarkan sonografi antenatal pada plasenta akreta juga telah
dilaporkan. Berdasarkan pada munculnya gambaran Color Doppler.15
3.

MRI20,23
Yang lebih baru adalah pemakaian magnetic resonance imaging
(MRI) untuk mendiagnosis plasenta akreta (Maldjian dkk., 1990).6
Diagnosis lebih mudah ditegakkan jika tidak ada pendataran antara
plasenta atau bagian sisa plasenta dengan miometrium pada perdarahan
postpartum.15

4. Histologi
Menurut Bernischke dan Kaufmann (2000), diagnosis histologis
plasenta akreta tidak dapat ditegakkan hanya dari plasenta saja
melainkan dibutuhkan keseluruhan uterus atau kuretase miometrium. 6
Pada pemeriksaan histologi ini tempat implantasi plasenta selalu
menunjukkan desidua dan lapisan Nitabuch yang menghilang.15
2.9. Penanganan26,27,28

18

Pada retensio plasenta, sepanjang plasenta belum terlepas, maka


tidak akan menimbulkan perdarahan.9 Bila terjadi banyak perdarahan atau bila
pada persalinan-persalinan yang lalu ada riwayat perdarahan postpartum, maka
tak boleh menunggu, sebaiknya plasenta langsung dikeluarkan dengan tangan.
Juga kalau perdarahan sudah lebih dari 500 cc atau satu nierbekken, sebaiknya
plasenta langsung dikeluarkan secara manual dan diberikan uterus tonika,
meskipun kala III belum lewat setengah jam. 9,2 Plasenta mungkin pula tidak
keluar karena kandung kemih atau rektum penuh, karena itu keduanya
harus dikosongkan.2
Tindakan yang dapat dikerjakan pada retensio plasenta adalah :2,7,10,11
A. Coba 1 2 kali dengan perasat Crede2,10
Perasat Crede bermaksud melahirkan plasenta yang belum terlepas
dengan ekspresi. Syaratnya yaitu uterus berkontraksi baik dan vesika urinaria
kosong.

Gambar 2.9 Perasat Crede2


Pelaksanaan:2,11
1. Fundus uterus dipegang oleh tangan kanan sedemikian rupa, sehingga ibu
jari terletak pada permukaan depan uterus sedangkan jari lainnya pada
fundus dan permukaan belakang. Bila ibu gemuk hal ini tidak dapat
dilaksanakan dan sebaiknya langsung dikeluarkan secara manual. Setelah
uterus dengan rangsangan tangan berkontraksi baik, maka uterus ditekan

19

ke arah jalan lahir. Gerakan jari-jari seperti memeras jeruk. Perasat Crede
tidak boleh dilakukan pada uterus yang tidak dilakukan pada uterus yang
tidak berkontraksi karena dapat menimbulkan inversio uteri.
2. Perasat Crede dapat dicoba sebelum meningkat pada pelepasan plasenta
manual.
B. Keluarkan plasenta dengan tangan (manual plasenta)7,10,11,6,17,19,22,25,26
Manual

plasenta

adalah

tindakan

invasif

dan,

kadang

memerlukan anestesia.13,18 Manula plasenta harus dilakukan sesuai


indikasi dan oleh operator berpengalaman. Indikasi manual plasenta
meliputi: retensio plasenta dan perdarahan banyak pada kala III yang
tidak dapat dihentikan dengan uterotonika dan masase, suspek ruptur
uterus, dan retensi sisa plasenta.11,18

Gambar 2.10 Manual plasenta6


Pelaksanaan :
1. Sebaiknya pelepasan plasenta secara manual dilakukan dalam narkosis,
karena relaksasi otot memudahkan pelaksanaannya. Sebaiknya juga
dipasang infus garam fisiologik sebelum tindakan dilakukan. Setelah
memakai sarung tangan dan disinfeksi tangan dan vulva, termasuk daerah

20

sekitarnya, maka labia dibeberkan dengan tangan kiri sedangkan tangan


kanan dimasukkan secara obstetrik ke dalam vagina.
2. Tangan kiri sekarang menahan fundus untuk mencegah kolpaporeksis.
Tangan kanan dengan gerakan memutar-mutar menuju ostium uteri dan
terus ke lokasi plasenta; tangan dalam ini menyusuri tali pusat agar tidak
terjadi false route.
3. Supaya tali pusat mudah teraba, dapat diregangkan oleh asisten. Setelah
tangan dalam sampai ke plasenta maka tangan tersebut pergi ke pinggir
plasenta dan mencari bagian plasenta yang sudah lepas untuk menentukan
bidang pelepasan yang tepat. Kemudian dengan sisi tangan sebelah
kelingking plasenta dilepaskan pada bidang antara bagian plasenta yang
sudah terlepas dan dinding rahim dengan gerakan yang sejajar dengan
dinding rahim. Setelah seluruh plasenta terlepas, plasenta dipegang dan
dengan perlahan-lahan ditarik ke luar.
4. Periksa cavum uterus untuk memastikan bahwa seluruh plasenta telah
dikeluarkan.
5. Lakukan masase untuk memastikan kontraksi tonik uterus.
6. Setelah plasenta dilahirkan dan diperiksa bahwa plasenta lengkap,
sementara kontraksi uterus belum baik segera dilakukan kompresi
bimanual uterus dan disuntikkan ergometrin 0,2 mg IM atau IV sampai
kontraksi uterus baik. Pada retensio plasenta, risiko atonia uteri tinggi oleh
karena itu harus segera dilakukan tindakan pencegahan perdarahan
postpartum. Apabila kontraksi uterus tetap buruk setelah 15 detik,
dilanjutkan dengan tindakan sesuai prosedur tindakan pada atonia uteri.22
7. Kesulitan yang mungkin dijumpai pada manual plasenta ialah adanya
lingkaran konstriksi, yang hanya dapat dilalui dengan dilatasi oleh tangan
dalam secara perlahan-lahan dan dalam narkosis yang dalam. Lokasi
plasenta pada dinding depan rahim juga sedikit lebih sukar dilepaskan
daripada lokasi pada dinding belakang.
C. Kuretase

21

Seringkali pelepasan sebagian plasenta dapat dilakukan dengan


manual plasenta dan kuretase digunakan untuk mengeluarkan sebanyak
mungkin jaringan yang tersisa.13 Kuretase mungkin diperlukan jika
perdarahan berlanjut atau pengeluaran manual tidak lengkap.11,13
D. Tindakan bedah
Jika faktor risiko dan gambaran prenatal sangat mendukung diagnosis
perlengketan plasenta, Cesarean hysterectomy umumnya di rencanakan,
terutama pada pasien yang tidak berharap untuk mempertahankan kehamilan.
Jika plasenta akreta ditemukan setelah melahirkan bayi, plasenta sesegera
mungkin dikeluarkan untuk mengosongkan cavum uteri. Walaupun dalam
banyak kasus pengeluaran plasenta akan menimbulkan perdarahan massif
yang akan berakhir dengan histerktomi. 21 Pada kasus plasenta akreta
kompleta, tindakan terbaik ialah histerektomi. 3,7,11, 23 Jika perlengketan tidak
terdiagnosis sebelum melahirkan dan perdarahan postpartum terjadi saat
manual plasenta, beberapa tindakan dapat menjadi pilihan, tergantung
keinginan pasien dan keadaan cerviks. Jika tidak ada kemungkinan untuk
meneruskan persalinan atau hemodinamik tidak stabil, histerektomi harus
dilakukan.

Disisi

lain,

beberapa

usaha

dapat

dilakukan

untuk

mempertahankan uterus dengan tindakan bedah (ligasi arteri hipogastrika)


atau secara radiologik (teknik embolisasi dari arteri uterina).21,24 Kayem
menjelaskan dalam sebuah kasus terjadi resorpsi spontan dari plasenta setelah
6 bulan embolisasi arteri uterina.21

22

Gambar 2.11 Ligasi arteri hipogastrika21


Dalam kasus plasenta perkreta, darah akan terus mengalir melalui
daerah invasi ketika sebagian plasenta dilepaskan karena tidak adanya ligasi
fisiologis miometrium yang biasanya akan membendung aliran darah. Jika
kasus ini ditemukan saat operasi caesar maka hemostasis dapat dicapai
melalui jahitan pada miometrium, atau melalui ligasi arteri uterina maupun
arteri iliaka interna. Namun, histerektomi pun biasanya diperlukan.13
E. Bila perdarahan banyak berikan transfusi darah
F. Terapi konservatif
Terapi konservatif diberikan tergantung pada penemuan plasenta
akreta, terdapat 2 tipe terapi konservatif :21
1.

Ketika terdiagnosis selama kala III persalinan, pengeluaran plasenta


tidak disarankan; terapi konservatif ialah dengan meninggalkan
plasenta,

2.

sebagian

atau

keseluruhan,

dalam

uterus

ketika

hemodinamik pasien dianggap stabil dan tidak ada risiko septik.


Ketika plasenta akreta disuspek sebelum melahirkan (berdasarkan
riwayat dan USG dan atau MRI), kasus dibahas dalam pertemuan
obstetrik harian dan terapi konservatif disarankan kepada pasien. Pada
kasus ini tindakan meliputi beberapa tahap. Letak plasenta dipastikan
dengan USG. Seksio sesarean di rencanakan, dengan insisi abdominal
pada midline infraumbilikus, dan insisi vertikal pada uterus sepanjang
insersi plasenta. Setelah pengeluaran janin, plasenta dilahirkan secara
hati-hati, dengan injeksi 5 IU oksitosin dan traksi tali pusat. Jika
gagal, plasenta dipertimbangkan sebagai akreta. Tali pusat dipotong
pada insersinya dan plasenta dibiarkan dalam cavum uteri; insisi
uterus di tutup. Terapi antibiotik profilaksis (amoksisilin dan asam
clavulanik) diberikan selama 10 hari.
Jika diagnosis dari plasenta perkreta dapat ditegakkan sebelum

plasenta dikeluarkan (dapat dilakukan dengan USG antenatal) maka pasien


dapat diterapi konservatif. Bayi dilahirkan secara normal lalu plasenta

23

dibiarkan in situ jika tidak ada perdarahan. Kadar -HCG diperiksa dan
manual plasenta serta kuterase dilakukan ketika tidak terdeteksi. Metotreksat
dapat digunakan pada situasi ini.13 Dalam penelitian lain mengemukakan
bahwa penggunaan metotreksat menyebabkan pengeluaran spontan plasenta
setelah 4 minggu.21
G. Berikan juga obat-obatan seperti uterotonika dan antibiotika
Retensio plasenta
Oksitosin
Ergometrin
Misoprostol
Dosis dan cara IV : 20 IU dalam 1 L
IM atau IV
Oral atau rektal
pemberian
larutan garam
fisiologis
(lambat) : 0,2 mg
400 g dapat
Penanganan
umum
:
dengan
tetesan
cepat darah
diulang sampai
Infus
transfusi
IM : 10
IU
1200 g
Pertimbangkan
untuk rujuk
RSU
C
Dosis lanjutan IV : 20 IU dalam 1 L
Ulangi 0,2 mg IM
400 g 2-4 jam
larutan garam fisiologis
setelah 15 menit
setelah dosis awal
dengan 40 tetes/menit
Dosis PerdarahanTidak
lebih dari 3 L Perdarahan
Totalsedikit
1 mg atau 5
Total 1200 g
banyak
maksimal 300 400
larutan
dosisdan syok
atau 3 dosis
cc dengan oksitosinAnemia
Perlengketan plasenta
perhari
Kontraindikasi Pemberian IV secara
Preeklampsia,
Nyeri kontraksi,
cepat atau bolus
vitium cordis,
asma
Plasenta manual
hipertensi
Indikasi
Perdarahan 400 cc
Tabel 2.3 Jenis
uterotonika
dan cara pemberiannya22
Pascaoperasi
vaginal
Pascanarkose
Habitual HPP
Teknik
Telusuri tali pusat
Dengan ulner tangan
Masase intrauterin
Uterotonika IM-IV

Berhasil baik :
Observasi :
Keadaan umum
Perdarahan
Obat profilaksis :
Vitamin
Fe preprat
Antibiotika
Uterotonika

Plasenta rest :
Kuretase tumpul
Utero-vaginal
tampon
Masase

Plasenta melekat :
Akreta
Inkreta
Perkreta
Adesiva

Perdarahan terus :
Tampon bedah
Atonia uteri

Histerektomi
Pertimbangan :
Keadaan umum
Umur penderita
Paritas penderita
Ligasi arteri

24

Gambar 2.12 Algoritma Penatalaksanaan Retensio Plasenta18


2.10. Komplikasi
Plasenta yang terlalu melekat, walaupun jarang dijumpai, memiliki makna
klinis yang cukup penting karena morbiditas dan, kadang - kadang mortalitas yang
timbulkannya.6 Komplikasinya meliputi :6,5
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Perforasi uterus
Infeksi
Inversio uteri
Syok (hipovolemik)
Perdarahan postpartum
Subinvolusi
Histerektomi

2.11. Pencegahan
Pencegahan risiko retensio plasenta adalah dengan cara mempercepat
proses separasi dan melahirkan plasenta dengan memberikan uterotonika segera

25

setelah bayi lahir ( untuk mencegah retensio plasenta dapat disuntikkan 0,2 mg
methergin i.v. atau 10 IU pitosin i.m. waktu bahu bayi lahir )11, dan melakukan
penegangan tali pusat terkendali. Usaha ini disebut juga penatalaksanaan aktif
kala III.4
Manajemen aktif kala III yaitu :17
1. Menyuntikkan oksitosin
- Pastikan tidak ada bayi lain (undiagnosed twin) di dalam uterus.
- Beritahu ibu bahwa ia akan disuntik.
- Segera (dalam 1 menit pertama setelah bayi lahir) suntikkan oksitosin 10
unit IM pada 1/3 bagian atas paha bagian luar (aspektus lateralis). Jika
oksitosin tidak tersedia, minta ibu untuk melakukan stimulasi puting susu
atau menganjurkan ibu untuk menyusukan dengan segera.
- Jangan memberikan ergometrin karena menyebabkan kontraksi tonik uterus
yang dapat menghambat ekspulsi plasenta.19
2. Melakukan peregangan tali pusat terkendali;
- Pindahkan klem pada tali pusat sekitar 5-20 cm dari vulva.
- Letakkan tangan yang lain pada abdomen ibu (beralaskan kain) tepat di atas
simfisis pubis. Gunakan tangan ini untuk meraba kontraksi uterus pada saat
melakukan penegangan pada tali pusat. Setelah terjadi kontraksi yang kuat,
tegangkan tali pusat dengan satu tangan yang lain menekan uterus ke arah
dorso-kranial. Lakukan secara hati-hati untuk mencegah terjadinya inversio
uteri.
- Bila plasenta belum lepas, tunggu hingga uterus berkontraksi kembali
(sekitar 2 atau 3 menit berselang) untuk mengulangi penegangan tali pusat
terkendali.
- Saat mulai kontraksi, tegangkan tali pusat ke arah bawah, lakukan tekanan
dorso-kranial hingga tali pusat makin menjulur dan korpus uteri bergerak ke
atas yang menandakan plasenta telah lepas dan dapat dilahirkan.
- Setelah plasenta terpisah, anjurkan ibu untuk meneran agar plasenta
terdorong keluar melalui intyroitus vagina.
- Saat terlihat di introitus vagina, lahirkan plasenta dengan mengangkat tali
pusat ke atas dan menopang plasenta dengan

tangan lainnya untuk

diletakkan dalam wadah secara lembut, lalu lahirkan selaput ketuban secara
perlahan.

26

- Jika plasenta belum lahir dalam 15 menit, berikan 10 IU oksitosin IM dosis


kedua. Kosongkan kandung kemih jika teraba penuh.
3. Masase fundus uteri segera setelah lahir
- Letakkan telapak tangan pada fundus uteri, anjurkan ibu untuk menarik
napas dalam dan perlahan serta rileks.
- Dengan lembut tapi mantap gerakkan tangan dengan arah memutar pada
fundus uteri supaya uterus berkontraksi.
2.12 Prognosis4
Prognosis tergantung dari lamanya, jumlah darah yang hilang, keadaan
sebelumnya serta efektifitas terapi. Diagnosa dan penatalaksanaan yang tepat
sangat penting.
BAB 3
LAPORAN KASUS
ANAMNESIS PRIBADI
Nama

: Ny. S

Umur

: 29 tahun

Suku

: Jawa

Alamat

: Desa Parjolihotan Baru, Tapanuli Tengah

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Pendidikan

: SMA

Status

: Menikah

No. MR

: 00.43.25

Tanggal masuk

: 24 Juli 2016

Jam masuk

: 23.05 WIB

Tanggal keluar
ANAMNESIS

: 28 Juli 2016

27

Ny.S, 29 tahun, P3A0, Jawa, Islam, SMA, Ibu Rumah Tangga, i/d Tn.S, 37 tahun,
Jawa, Islam, Petani, SMP, datang dengan:
Keluhan utama

: Uri tidak lahir

Telaah

: Hal ini dialami pasien setelah melahirkan bayi tanggal 24 Juli


2016 pukul 13.00 WIB. Persalinan secara normal lewat jalan
lahir dan ditolong oleh bidan. Pasien sempat dirujuk ke
rumah sakit di Sibolga dan akhirnya pasien dirujuk ke RSU
Pirngadi Medan. Selama uri tidak lahir, pasien mengalami
perdarahan banyak dan sudah mendapat transfusi darah 2
kantong dan obat untuk kontraksi rahim dari Sibolga.
Riwayat nyeri perut (-). Lemas (+), muka pucat (+). Riwayat
uri sulit lahir pada persalinan sebelumnya (-). Riwayat
operasi pada rahim (-). Riwayat trauma (-). Riwayat minum
obat-obatan dalam jangka waktu lama (-). Riwayat minum
jamu-jamuan dan obat pengencer darah (-). Riwayat
menderita penyakit kronis (-). BAK dan BAB kesan normal.

Riwayat penyakit terdahulu : tidak ada


Riwayat pemakaian obat

: Syntocinon, PRC 2 bag

RIWAYAT HAID
-

HPHT

: Tidak Jelas

TTP

: Tidak Jelas

ANC

: Bidan 2 kali

Menarche

: 12 tahun

Siklus

: 28 hari

Lama haid

: 4 hari

Berat Badan

: 50 kg

Tinggi Badan : 155 cm

RIWAYAT PERSALINAN

28

1. Perempuan, Aterm, 3000gr, PSP, Dokter, RS, 8 tahun, Sehat


2. Perempuan, Aterm, 3000gr, PSP, Bidan, Klinik, 6.5 tahun, Sehat
3. Laki-laki, Aterm, 2900gr, PSP, Bidan, Klinik, 1 hari, Sehat
PEMERIKSAAN FISIK
STATUS PRESENS (24 Juli 2016)
Sens

: Compos Mentis

Anemis

:+

TD

: 110/80 mmHg

Ikterik

:-

HR

: 86 kali / menit

Sianosis

:-

RR

: 20 kali / menit

Dyspnoe

:-

Temp

: 370C

Oedema

:-

STATUS GENERALISATA
Kepala

:Dalam batas normal

Mata

:Konjungtiva anemis (+/+), Sklera ikterik (-/-), Refleks pupil (+/+)


isokor, ka=ki

Leher

:Pembesaran KGB (-/-) TVJ R-2 cmH2O

Thorax

:
Inspeksi

: Simetris fusiformis, Tidak ada ketinggalan bernafas

Palpasi

: Stem fremitus kanan=kiri

Perkusi

: Sonor di kedua lapangan paru

Auskultasi
Jantung

: S1 (N) S2 (N) S3 (-) S4 (-) Reguler, Murmur : (-)

Paru

: Suara Pernafasan :Vesikuler


Suara Tambahan :Tidak ada, Wheezing (-/-)

Ekstremitas

: Akral hangat, CRT< 2 detik, Clubbing finger (-)


Edem pretibial (-/-)

STATUS OBSTETRI
Abdomen

: Soepel, Peristaltik (+)

29

TFU

: Setentang Pusat

P/V

: (+) Merembes

BAK

: (+) Via kateter 60 cc/jam , kuning jernih

STATUS GINEKOLOGI
Inspeksi

: Tampak tali pusat keluar dari vagina dan terklem dan tampak luka
laserasi perineum grade I pada arah jam 6.

Inspekulo

: Stoll cell pada introitus vagina. Tampak perdarahan aktif dari


ostium uteri eksternum. Tampak tali pusat terklem keluar dari
ostium uteri eksternum.

VT

: Cervix anterior, pembukaan 6 cm, effacement 100%

USG TAS :
-

Kandung kemih terisi


Tampak gambaran hiperekoik dalam kavitas uterus
Adneksa kanan dan kiri normal

Cairan bebas (-)

Kesan : Retensio Plasenta


LABORATORIUM
24 Juli 2016
Pemeriksaan
Darah rutin
WBC
RBC
HGB
HCT
PLT
Ureum
Creatinin
Prothrombin time

Hasil
16170
2,35
7,2
21,4
121.000
17,00
0,60
Pasien: 13,9

Nilai Normal
4000-11000/L
4,00-5,40 x 106/L
12-16 gr/dL
36-48 %
150000-400000/L
10-50 mg/dL
0,6-1,2 gr/dL
11-18 detik

Kontrol: 15
APTT

INR : 1,14
Pasien : 34,7

27-42 detik

30

HbsAg Kualitatif
HIV rapid

Kontrol: 34,5
Positif
Negatif

Negatif
Negatif

DIAGNOSIS
Retensio Plasenta + Hepatitis B + Anemia

TERAPI
-

IVFD RL + Oxytocin 20 IU 20 gtt/i

Inj Oxytocin 10 IU i.m

RENCANA
-

Manual Placenta

Transfusi PRC 3 bag

LAPORAN MANUAL PLACENTA


Tanggal

: 25 Juli 2016, pukul 00.05 WIB

Diagnosa Awal

: Retensio Placenta + Hepatitis B + Anemia

Diagnosa Akhir

: Post Manual Placenta a/i Retensio Placenta + Hepatitis


B + Anemia

Tindakan

: Manual Placenta a/i Retensio Placenta

1. Ibu dibaringkan di meja operasi dengan posisi litotomi


2. Di bawah anestesi GA-TIVA, dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik
pada vulva dan vagina
3. Ditutup doek steril kecuali lapangan operasi
4. Tampak tali pusat menjuntai dari introitus vagina
5. Dengan menyusuri tali pusat menggunakan tangan obstetrik
(menggunakan tangan kanan), tangan dimasukkan ke dalam kavum uteri
hingga mencapai plasenta, kemudian mencari pinggir dari plasenta
6. Dilakukan penebasan pada plasenta di dalam kavum uteri menggunakan
tangan kanan dengan tangan kiri berada pada fundus uteri di atas abdomen

31

7. Plasenta digenggam dengan tangan sembari tangan dikeluarkan dari


kavum uteri. Lahir plasenta, kesan lengkap
8. Evaluasi laserasi , dilakukan repair perineum
9. Evaluasi perdarahan , perdarahan terkontrol
10. Evaluasi kontaksi, kontraksi uterus baik
11. Dimasukkan kassa betadine ke dalam liang vagina kemudian dikeluarkan
kembali
Keadaan umum ibu post manual placenta: Stabil
TERAPI POST MANUAL PLACENTA
1.
2.
3.
4.
5.

IVFD RL + Oxytocin 20 IU 20 gtt/i


Inj Ceftriaxone 1 gr/ 12 jam
Inj Metergin 1 Amp/12 jam
Misoprostol Tab 4x1
Inj Transamin 500 mg/8 jam

RENCANA
1.
2.
3.
4.
5.

Awasi vital sign, perdarahan, dan kontaksi uterus


Cek darah rutin dan liver functional test 6 jam post transfusi
Masase fundus uterus
Transfusi PRC 1 bag
Konsul Interna untuk terapi Hepatitis B

HASIL LABORATORIUM 6 JAM POST TRANSFUSI


25 Juli 2016 (08:51:40)

32

Pemeriksaan
Darah rutin
WBC
RBC
HGB serial
HCT
PLT
Neutrofil
Leukosit
Monosit
Eosinofil
Basofil
Tes Faal Hati
SGOT
SGPT
ALP
Total Bilirubin
Direct Bilirubin
LDH

Hasil

Nilai Normal

16,7
3,09
10,2
30,5
154.000
20,10
1,84
0,6
0,5
0,08

4000-11000/L
4,00-5,40 x 106/L
12-16 gr/dL
36-48 %
150000-400000/L
5 - 7 x 103 / L
1 - 4 x 103 / L
0,1 0,8 x 103 / L
0 0,5 x 103 / L
0 0,1 x 103 / L

209
157
309
0,56
0,23
639

0,00-40,00 U/L
0,00-40,00 U/L
30,00-142,00 U/L
0,00-1,20 mg/dL
0,05-0,30 mg/dL
240,00-480,00 U/L

FOLLOW UP
25 Juli 2016
S
Demam

O
Sens : CM

A
Post manual

P
IVFD RL 20 gtt/i

TD : 90/50 mmHg

placenta d/t

Inj Ceftriaxone

HR : 92 x/i

retensio placenta

1gr/12jam

RR : 24 x/i

+ Hepatitis B +

Drip Metronidazole

Anemia + NH1

500 mg/8jam

: 38.1 0C

Status Obstetrik:

Inj Metergin 1

Abdomen soepel,

amp/12 jam

peristaltik (+)

Inj Transamin 500

TFU 2 jari di bawah pusat

mg/8jam

P/V Lochia (+) rubra

Misoprostol 4x1 tab

BAK via kateter urin 50

Paracetamol 3x500

cc/jam kuning

mg

BAB (-) Flatus (+)

33

26 Juli 2016
S
Demam

Sens : CM

Post

TD : 100/50 mmHg

placenta

HR : 90 x/i

retensio placenta 1gr/12jam

RR : 22 x/i

+ Hepatitis B + Drip Metronidazole

: 37.8 0C

manual IVFD RL 20 gtt/i


d/t Inj Ceftriaxone

Anemia + NH2

500 mg/8jam

Status Obstetrik:

Inj Transamin 500

Abdomen soepel,

mg/8jam

peristaltik (+)

Paracetamol 3x500

TFU 3 jari di bawah pusat

mg

P/V Lochia (+) rubra


BAK (+) Normal
BAB (-) Flatus (+)
27 Juli 2016
S
Tidak

Sens : CM

Post

Ada

TD : 110/60 mmHg

placenta

HR : 86 x/i

retensio placenta Tab Asam

RR : 20 x/i

+ Hepatitis B + Mefenamat 3x500

: 37 0C

manual Tab Cefadroxyl

Anemia + NH3

d/t 2x500 mg

mg

Status Obstetrik:

Tab Vitamin B

Abdomen soepel,

Complex 2x1

peristaltik (+)
TFU 4 jari di bawah pusat
P/V Lochia (+) rubra
BAK (+) Normal

34

BAB (+) Flatus (+)


Pasien PBJ tanggal 28 Juli 2016
Keadaan pulang : Ibu baik

35

BAB 4
ANALISIS KASUS
Retensio plasenta adalah keadaan dimana plasenta belum lahir lebih dari
setengah jam setelah bayi lahir. Retensio plasenta merupakan salah satu penyebab
tersering dari perdarahan pasca persalinan primer yang dapat berlanjut menjadi
syok yang dapat mengancam nyawa ibu. Retensio plasenta memiliki beberapa
faktor predisposisi di antaranya adalah implantasi abnormal plasenta yaitu di
segmen bawah rahim (plasenta previa), di atas jaringan parut bekas seksio sesarea
atau insisi uterus lainnya seperti pasca miomektomi atau setelah kuretase uterus,
multiparitas, kelahiran preterm, serta induksi persalinan dan pimpinan persalinan
yang salah. Pada kasus ini, berdasarkan anamnesis, ditemukan adanya uri-uri yang
belum lahir >30 menit setelah bayi lahir. Berdasarkan pemeriksaan fisik, pasien
tampak anemis dan lemah, salah satu tanda dari perdarahan yang cukup banyak.
Berdasarkan pemeriksaan obstetrik, didapati tinggi fundus uteri yang masih tinggi
karena plasenta yang belum lahir akan mengganggu kontraksi retraksi dari uterus.
Berdasarkan pemeriksaan ginekologi, didapati tali pusat yang terjulur dari ostium
uteri eksterna dan adanya perdarahan yang merembes. Berdasarkan USG
transabdominal didapati gambaran hiperekoik pada kavitas uterus yang
menunjukkan bahwa plasenta masih tertinggal di dalam cavum uteri. Multiparitas
merupakan faktor predisposisi yang didapati pada pasien.
Salah satu komplikasi persalinan yang paling ditakuti adalah perdarahan
yang dapat meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas maternal. Retensio
plasenta merupakan salah satu penyebabnya. Perdarahan yang terjadi dapat begitu
masif hingga menyebabkan syok yang dapat ditandai dengan pasien mengalami
pernurunan kesadaran, takikardi, lemah, pucat, hipotensi, akral dingin, nadi
lemah, dan lain sebagainya. Bila hal ini dijumpai, resusitasi merupakan
tatalaksana yang tepat untuk dilakukan, baik dengan cairan kristaloid maupun
produk darah serta obat-obatan uterotonika. Pada pasien didapati tanda vital yang
stabil namun keadaan yang lemah dan anemis serta penggunaan uterotonika
berupa syntocinon dan transfusi PRC. Hal ini menunjukkan bahwa tadinya pasien

36

mengalami perdarahan dan telah berhasil diresusitasi sebelum dilakukan terapi


definitif untuk menghentikan perdarahan yang terjadi.
Salah satu tatalaksana yang dapat dilakukan untuk retensio plasenta adalah
dilakukannya manual placenta, yaitu suatu prosedur untuk mengeluarkan plasenta
secara invasif dengan menggunakan tangan penolong yang masuk ke dalam
cavum uterus. Manual placenta dapat dilakukan dengan menggunakan anestesi
dan analgetik dan sebelum serta sesudah prosedur ini dilakukan, diberikan
uterotonika seperti oxytocin dan methyl ergometrin untuk membantu kontaksi dari
uterus. Pada pasien, manual placenta dilakukan untuk mengeluarkan plasenta di
bawah anestesi umum dan plasenta berhasil dikeluarkan dan perdarahan dapat
dikontrol.
Obat-obatan lain yang dapat diberikan adalah antibiotik untuk mencegah
kolonisasi kuman, anti nyeri untuk mengurangi rasa nyeri, serta roboransia. Hal
ini terbukti dengan pasien mengalami demam dan setelah diberikan terapi berupa
antibiotik dan antipiretik keluhan membaik.

37

BAB 5
PERMASALAHAN
1. Apakah penanganan pada pasien ini sudah tepat? Mengapa tidak
dilakukan manual placenta pada tempat awal pertolongan persalinan
pasien ?
2. Retensio plasenta memiliki beberapa faktor predisposisi seperti implantasi
abnormal plasenta yaitu di segmen bawah rahim (plasenta previa), di atas
jaringan parut bekas seksio sesarea atau insisi uterus lainnya seperti pasca
miomektomi atau setelah kuretase uterus, multiparitas, kelahiran preterm,
serta induksi persalinan dan pimpinan persalinan yang salah. Terjadinya
retensio plasenta pada pasien ini mungkin disebabkan oleh faktor
multiparitas dimana mungkin masih kurangnya edukasi pada ibu-ibu
hamil saat antenatal care mengenai risiko multiparitas dan penggalakan
program KB serta kurangnya pelatihan-pelatihan bagi para penolong di
daerah perifer.
3. Sejauh mana kompetensi dokter umum dalam menghadapi kasus serupa?

38

BAB 6
KESIMPULAN
Istilah retensio plasenta (retained placenta) dipergunakan jika plasenta
belum lahir jam sesudah anak lahir. Retensio plasenta kemungkinan terjadi
karena plasenta terperangkap oleh serviks yang menutup sebagian atau karena
plasenta masih melekat pada dinding uterus serta penyebab tersering yaitu
kontraksi uterus yang tidak adekuat.
Penyebab dari disfungsi kontraksi uterus ini belum diketahui pasti.
Walaupun sangat jarang, plasenta dapat melekat erat ke tempat implantasi, baik
karena penetrasi berlebihan dari trofoblas maupun desidua basalis yang sedikit
(tipis) atau tidak ada sama sekali dan kelainan perkembangan lapisan fibrinoid
(lapisan Nitabuch) secara parsial atau total, sehingga tidak terdapat garis pemisah
fisiologis melalui lapisan spongiosa desidua. Akibatnya, satu atau lebih kotiledon
melekat erat ke desidua basalis yang cacat atau bahkan ke miometrium.
Patofisiologi retensio plasenta ini juga bisa berarti plasenta telah terpisah akan
tetapi masih tertinggal akibat ketegangan tali plasenta atau leher rahim yang
tertutup. Faktor ini dapat muncul akibat kesalahan penanganan kala III persalinan
dan manipulasi yang berlebihan.
Penanganan retensio plasenta meliputi perasat Crede, manual placenta,
kuretase, tindakan bedah (ligasi arteri hipogastrika, embolisasi arteri uterina, dan
histerektomi), terapi konservatif, transfusi darah, serta pemberian uterotonika dan
antibiotik.
Pencegahan risiko retensio plasenta adalah dengan cara mempercepat
proses separasi dan melahirkan plasenta dengan memberikan uterotonika segera
setelah bayi lahir dan melakukan manajemen aktif kala III.
Prognosis tergantung dari lama, jumlah darah yang hilang, keadaan
sebelumnya, serta efektifitas terapi. Diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat
sangat penting.

39

DAFTAR PUSTAKA
1.

Anonim. Perdarahan Post Partum Akibat Plasenta Rest. 2012. Available

2.
3.

from: http://www.scribd.com/doc/135982233/Plasenta-Rest-Edit
Mochtar R. Sinopsis Obstetri Jilid I Edisi 2. Jakarta: EGC; 1998.
Mayo Clinic. Pregnancy week by week ; Placenta: How it works, what's
normal. Mayo Foundation for Medical Education and Research (MFMER);

4.

2012. Available from: http://www.mayoclinic.com/health/placenta/MY01945


Prabowo
E.
Retensio
Plasenta.
Jakarta:
Available
from:

5.

http://samoke2012.files.wordpress.com/2012/10/retensio-plasenta.pdf
Midwifery Educator. Retained Placenta Management. National Womens
Health Clinical Guideline / Recommended Best Practice : 2012. Available
from:
http://nationalwomenshealth.adhb.govt.nz/Portals/0/Documents/Policies/Reta

6.

ined%20Placenta%20Management_.pdf
Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap III LG, Hauth JC, Wenstrom

7.

KD. Obstetri Williams Volume 1 Edisi 21. Jakarta: EGC; 2005.


Sastrawinata S, Martaadisoebrata D, Wirakusumah FF. Obstetri Patologi

8.

Ilmu Kesehatan Reproduksi Edisi 2. Jakarta: EGC; 2004.


Rohani, Sasmita R, Marisah. Asuhan Kebidanan Pada Masa Persalinan.

9.

Jakarta: Salemba Medika; 2011.


Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan Edisi Keempat Cetakan Ketiga. Jakarta:

Yayasan Bina Pustaka sarwono Prawirohardjo; 2010.


10. Heller L. Gawat Darurat Ginekologi dan Obstetri (Emergencies in
Gynecology and Obstetrics). Jakarta: EGC; 1997.
11. Hanifa W. Ilmu Bedah Kebidanan Edisi Pertama Cetakan Ketujuh. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka sarwono Prawirohardjo; 2007.
12. Jevuska. Patofisiologi Retensio Plasenta. 2013.

Available

from:

http://www.jevuska.com/2011/09/10/patofisiologi-retensio-plasenta
13. Weeks AD. The Retained Placenta. USA: National Center for Biotechnology
Information, U.S. National Library of Medicine from African Health Sciences
Makerere

Medical

School;

2001.

Available

from:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2704447/
14. Memon SR, Talpur NN, Korejo RK. Rawal Medical Journal Volume 36
Number 4 : Outcome of Patients Presenting With Retained Placenta.

40

Pakistan: Departemen of Obstetrics and Ginecology; 2011. Available from:


www.scopemed.org/fulltextpdf.php?mno=12733
15. DeCherney AH, Nathan L. Curren. Obstetric & Gynecologic Diagnosis &
Treatment, Ninth Edition: Postpartum Hemorrhage & Abnormal Puerperium:
Retained Placenta Tissue. California: The McGraw-Hill Companies, Inc;
2003. 28:323-327.
16. Hill M. Placental Development. UNSW Embryology; 2013. Available from:
http://php.med.unsw.edu.au/embryology/index.php?
title=Placenta_Development
17. Anonim. Buku Acuan Asuhan Persalinan Normal: Kala Tiga dan Empat
Persalinan. Bab 4:91-99.
18. Pernoll ML. Benson & Pernonolls Handbook of Obstetrics & Gynecology
Tenth Edition. New York: McGraw-Hill; 2001. 6:173-177; 11:341-342.
19. http://www.medskills.eu/index.php/wiki/en/body/birth/common
%20complications/retained%20placentae/
20. Committee Opinion. Placenta Accreta. Washington DC: American Congress
of

Obstetricians

and

Gynecologists;

2012.

Available

from:

http://www.acog.org/Resources%20And%20Publications/Committee
%20Opinions/Committee%20on%20Obstetric%20Practice/Placenta
%20Accreta.aspx
21. B-Lynch C. A Textbook of Postpartum Hemorrhage A Comprehensive Guide
to Evaluation, Management and Surgical Intervention : Placental
Abnormalities. Singapore: Sapiens Publishing; 2006. 8:66-68, 10:90-91,
24:203-207, 31:296-297.
22. Anonim. Buku Acuan Pelayanan Obstetri Emergensi Dasar: Retensio
Plasenta. Bab 4-10.
23. Mayo Clinic. Placenta Accreta. Mayo Foundation for Medical Education and
Research

(MFMER);

2012.

Available

from:

http://www.mayoclinic.com/health/placenta-accreta/DS01203
24. Gondo HK. Penanganan Perdarahan Post Partum (Haemorhagi Post
Partum, HPP). Surabaya: Universitas Wijaya Kusuma; 2010.
25. Akinola, O.I., et al. Manual Removal of The Placenta: Evaluation of Some
Risk Factors and Management Outcome in A Tertiary Maternity Unit. A Case
Controlled Study. Open Journal of Obstetrics and Gynecology. 3:279-284.
2013. Available from: http://dx.doi.org/10.4236/ojog.2013.32052

41

26. Urner, F., et al. Manual Removal of The Placenta After Vaginal Delivery: An
Unsolved Problem in Obstetrics. Journal of Pregnancy. 2015. Available from:
http://dx.doi.org/10.1155/2014/274651
27. Belachew, J. Retained Placenta and Postpartum Haemorrhage. Uppsala
Universitet. 2015.
28. WHO Guidelines for The Management of Postpartum Haemorrhage and
Retained Placenta. 2009.

Anda mungkin juga menyukai