ii
2.11 Pencegahan.........................................................................................................
25
2.12 Prognosis.............................................................................................................
26
Bab 3 Laporan Kasus .......................................................................................................
27
Bab 4 Analisis Kasus ........................................................................................................
35
Bab 5 Permasalahan..........................................................................................................
37
Bab 6 Kesimpulan..............................................................................................................
38
Daftar Pustaka ..................................................................................................................
BAB 1
PENDAHULUAN
Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator pelayanan
kesehatan di suatu negara. AKI di Indonesia sendiri masih sangat tinggi.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun
2005, angka kematian ibu saat melahirkan adalah sebanyak 262 per 100.000
kelahiran hidup. Angka tersebut masih jauh dua kali lipat lebih tinggi dari target
Millenium Development Goals (MDGs) 2015 yakni 102 per 100.000 kelahiran
hidup. Menurut Depkes RI, AKI di Indonesia (2002) adalah 650 ibu tiap 100.000
kelahiran hidup dan 43% dari angka tersebut disebabkan oleh perdarahan postpartum.1
Perdarahan post-partum primer / dini (early postpartum hemorrhage) yaitu
perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama. Penyebab utamanya adalah atonia
uteri (50-60 %), retensio plasenta (16-17 %), sisa plasenta (23-24 %), laserasi
jalan lahir (4-5 %), dan kelainan darah (0,5 0,8 %).1,2
Setelah bayi lahir, kontraksi rahim istirahat sebentar. Uterus teraba keras
dengan fundus uteri setinggi pusat, dan berisi plasenta yang menjadi tebal 2 x
sebelumnya. Beberapa saat kemudian, timbul his pelepasan dan pengeluaran uri
(plasenta). Kala ini berlangsung mulai dari bayi lahir sampai plasenta keluar
lengkap dan biasanya akan lahir spontan.2 Jika plasenta tidak lahir setelah 30
sampai 60 menit setelah bayi lahir, disebut retensio plasenta (retained
placenta).3,4,5
Perdarahan yang disebabkan karena retensio plasenta dapat terjadi karena
plasenta lepas sebagian, yang merupakan indikasi untuk mengeluarkannya.
Plasenta belum lepas dari dinding uterus karena kontraksi uterus kurang kuat
untuk melepaskan plasenta (plasenta adhesiva) ataupun keadaan dimana plasenta
melekat erat pada dinding uterus oleh sebab vili korialis menembus desidua
sampai miometrium- sampai di bawah peritoneum (plasenta akreta-perkreta).3
Plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar,
disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah
penanganan kala III, sehingga terjadi lingkaran konstriksi pada bagian bawah
uterus yang menghalangi keluarnya plasenta (inkarserasio plasenta) sehingga
perlu dilakukan tindakan manual plasenta.3
Manual plasenta merupakan prosedur obstetri pelepasan plasenta dari
tempat implantasinya pada dinding uterus dan mengeluarkannya dari kavum uteri
secara manual yaitu dengan melakukan tindakan invasi dan manipulasi tangan
penolong persalinan yang dimasukkan langsung ke dalam kavum uteri. Menurut
WHO prosedur ini lazim dilakukan pada kala III ketika plasenta tidak dilahirkan
lebih dari 30 menit.
Penelitian yang dilakukan pada daerah Nigeria dan sub-bagiannya,
ditemukan insidensi manual plasenta adalah 0.6 8 %. Dalam keseluruhan
pelaksanaan manual plasenta tersebut tidak ditemukan kematian ibu sebagai tanda
dari respon yang baik terhadap penanganan retensio plasenta.6,7,10
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Biasanya setelah janin lahir, beberapa menit kemudian mulailah proses
pelepasan plasenta disertai sedikit perdarahan (kira-kira 100 200 cc). Bila
plasenta sudah lepas dan turun ke bagian bawah rahim, maka uterus akan
berkontraksi (his pengeluaran plasenta) untuk mengeluarkan plasenta.2
Kadang-kadang, plasenta tidak segera terlepas. Suatu pertanyaan yang
belum mendapat jawaban yang pasti adalah berapa lama waktu berlalu pada
keadaan tanpa perdarahan sebelum plasenta harus dikeluarkan secara manual.
Bidang obstetri secara tradisional membuat batas-batas durasi kala tiga secara
agak ketat sebagai upaya untuk mendefinisikan retensio plasenta (abnormally
retained placenta) sehingga perdarahan akibat terlalu lambatnya pemisahan
plasenta dapat dikurangi. Combs dan Laros (1991) meneliti 12.275 persalinan
pervaginam tunggal dan melaporkan median durasi kala tiga adalah 6 menit, dan
3,3 persen berlangsung lebih dari 30 menit.6 Jadi istilah retensio plasenta
dipergunakan jika plasenta belum lahir jam sesudah anak lahir. 2,7,8,9,10,11,12
2.2 Insidensi
Retensio plasenta adalah penyebab signifikan dari kematian maternal dan
angka kesakitan di seluruh negara berkembang. Kasus ini merupakan penyulit
pada 2 % dari semua kelahiran hidup dengan angka kematian hampir mencapai
10% di daerah pedesaan.13 Menurut studi lain, insidensi dari retensio plasenta
berkisar antara 1-2 % dari kelahiran hidup. Pada studi tersebut retensio plasenta
lebih sering muncul pada pasien yang lebih muda dengan multiparitas.14
Diperkirakan insidensi dari perlengketan abnormalitas sekitar 1 dari 2000
hingga 1 dari 7000 persalinan. Plasenta akreta meliputi 80% dari keseluruhan
perlengketan abnormal, plasenta inkreta 15 %, dan plasenta perkreta 5 %. Angka
ini meningkat tajam dalam dua dekade terakhir, sejalan dengan meningkatnya
angka seksio cesarean.15
2.3. Plasentasi
Pada hari keempat setelah fertilisasi hasil konsepsi mencapai stadium
blastula disebut blastokista (blastocyst), suatu bentuk yang di bagian luarnya
adalah trofoblas dan di bagian dalamnya disebut massa inner cell. Massa inner
cell ini berkembang menjadi janin dan trofoblas akan berkembang menjadi
plasenta. Nidasi (implantasi) diatur oleh suatu proses yang kompleks antara
trofoblas dan endometrium. Di satu sisi trofoblas mempunyai kemampuan invasif
yang kuat, di sisi lain endometrium mengontrol invasi trofoblas dengan
menyekresikan faktor aktif lokal yaitu sitokin dan protease.9
noninvasif.
Trofoblas
yang
semakin
dekat
dengan
endometrium
Pada bagian permukaan janin uri diliputi oleh amnion yang licin, dibawah
lapisan amnion ini berjalan cabang-cabang pembuluh darah tali pusat. Tali
pusat akan berinsersi pada uri bagian permukaan janin.
2) Bagian maternal (maternal portion). Terdiri atas desidua kompakta yang
terbentuk dari beberapa lobus dan kotiledon (15-20 buah). Desidua basalis
pada uri yang matang disebut lempeng korionik (basal) dimana sirkulasi uteroplasental berjalan keruang-ruang intervili melalui tali pusat.
3) Tali pusat merentang dari pusat janin ke uri bagian permukaan janin.
Panjangnya rata-rata 50-55 cm, sebesar jari (diameter 1- 2.5 cm), strukturnya
terdiri atas 2 arteri umbilikalis dan 1 vena umbilikalis serta jelly wharton.
a. Nutrisasi, yakni alat pemberi makanan pada janin yang berasal dari sekitar
b.
c.
d.
e.
f.
bidang
tempat
implantasi
plasenta.
Agar
plasenta
dapat
10
yang paling lemah- lapisan spongiosa, atau desidua spongiosa- mengalah, dan
pemisahan terjadi di tempat ini.6,9
Pemisahan plasenta amat dipermudah oleh sifat struktur desidua spongiosa
yang longgar. Ketika pemisahan berlangsung, terbentuk hematoma di antara
plasenta yang sedang terpisah dan desidua yang tersisa (hematoma retroplasenta).
Bagian perifer plasenta biasanya melekat lebih erat sehingga pemisahan dapat
terjadi dimana saja.2,6,9
Jika plasenta tidak lahir spontan, maka teknik Brandt-Andrews
dilakukan.6,18,19
Setelah bayi lahir, klem tali pusat mendekati vulva. Palpasi uterus
dengan hati-hati tanpa di masase untuk menilai kontraksi uterus.
Setelah fundus terangkat, lakukan traksi lembut pada tali pusat, dan
lahirkan plasenta dari vagina.
11
12
13
14
Pengalaman
klinis
juga
menunjukkan
bahwa
kita
tidak
dapat
Diagnosa Kerja
15
Uterus tidak
berkontraksi dan
Syok
Bekuan darah
pada serviks atau
lembek
Perdarahan segera
posisi telentang
akan menghambat
Retensio plasenta
akibat traksi
berlebihan
Inversio uteri akibat
tarikan
Perdarahan lanjutan
Uterus berkontraksi
Tertinggalnya sebagian
dan keras
Plasenta atau
Atonia uteri
tidak berkurang
Neurogenik syok
Pucat dan limbung
Inversio uteri
massa
Tampak tali pusat
(bila plasenta belum
lahir)
Sub-involusi uterus
Nyeri tekan perut
bawah dan pada
uterus
Perdarahan
Lokhia mukopurulen
dan berbau
Anemia
Demam
16
Gejala
Akreta parsial
Inkarserata
Akreta
Konsistensi
uterus
Tinggi fundus
Kenyal
Keras
Cukup
Sepusat
Sepusat
Bentuk uterus
Perdarahan
Tali pusat
Diskoid
Sedang- banyak
Terjulur
sebagian
Terbuka
Lepas sebagian
2 jari bawah
pusat
Agak globuler
Sedang
Terjulur
Konstriksi
Sudah lepas
Terbuka
Melekat seluruhnya
Jarang
Jarang sekali,
kecuali akibat
inversio oleh
tarikan kuat pada
tali pusat
Ostium uteri
Pelepasan
plasenta
Syok
Sering
Diskoid
Sedikit/ tidak ada
Tidak terjulur
2.
USG20,23
Diagnosis plasenta akreta melalui pemeriksaan USG menjadi
lebih mudah bila implantasi plasenta berada di SBU bagian depan.
17
MRI20,23
Yang lebih baru adalah pemakaian magnetic resonance imaging
(MRI) untuk mendiagnosis plasenta akreta (Maldjian dkk., 1990).6
Diagnosis lebih mudah ditegakkan jika tidak ada pendataran antara
plasenta atau bagian sisa plasenta dengan miometrium pada perdarahan
postpartum.15
4. Histologi
Menurut Bernischke dan Kaufmann (2000), diagnosis histologis
plasenta akreta tidak dapat ditegakkan hanya dari plasenta saja
melainkan dibutuhkan keseluruhan uterus atau kuretase miometrium. 6
Pada pemeriksaan histologi ini tempat implantasi plasenta selalu
menunjukkan desidua dan lapisan Nitabuch yang menghilang.15
2.9. Penanganan26,27,28
18
19
ke arah jalan lahir. Gerakan jari-jari seperti memeras jeruk. Perasat Crede
tidak boleh dilakukan pada uterus yang tidak dilakukan pada uterus yang
tidak berkontraksi karena dapat menimbulkan inversio uteri.
2. Perasat Crede dapat dicoba sebelum meningkat pada pelepasan plasenta
manual.
B. Keluarkan plasenta dengan tangan (manual plasenta)7,10,11,6,17,19,22,25,26
Manual
plasenta
adalah
tindakan
invasif
dan,
kadang
20
21
Disisi
lain,
beberapa
usaha
dapat
dilakukan
untuk
22
2.
sebagian
atau
keseluruhan,
dalam
uterus
ketika
23
dibiarkan in situ jika tidak ada perdarahan. Kadar -HCG diperiksa dan
manual plasenta serta kuterase dilakukan ketika tidak terdeteksi. Metotreksat
dapat digunakan pada situasi ini.13 Dalam penelitian lain mengemukakan
bahwa penggunaan metotreksat menyebabkan pengeluaran spontan plasenta
setelah 4 minggu.21
G. Berikan juga obat-obatan seperti uterotonika dan antibiotika
Retensio plasenta
Oksitosin
Ergometrin
Misoprostol
Dosis dan cara IV : 20 IU dalam 1 L
IM atau IV
Oral atau rektal
pemberian
larutan garam
fisiologis
(lambat) : 0,2 mg
400 g dapat
Penanganan
umum
:
dengan
tetesan
cepat darah
diulang sampai
Infus
transfusi
IM : 10
IU
1200 g
Pertimbangkan
untuk rujuk
RSU
C
Dosis lanjutan IV : 20 IU dalam 1 L
Ulangi 0,2 mg IM
400 g 2-4 jam
larutan garam fisiologis
setelah 15 menit
setelah dosis awal
dengan 40 tetes/menit
Dosis PerdarahanTidak
lebih dari 3 L Perdarahan
Totalsedikit
1 mg atau 5
Total 1200 g
banyak
maksimal 300 400
larutan
dosisdan syok
atau 3 dosis
cc dengan oksitosinAnemia
Perlengketan plasenta
perhari
Kontraindikasi Pemberian IV secara
Preeklampsia,
Nyeri kontraksi,
cepat atau bolus
vitium cordis,
asma
Plasenta manual
hipertensi
Indikasi
Perdarahan 400 cc
Tabel 2.3 Jenis
uterotonika
dan cara pemberiannya22
Pascaoperasi
vaginal
Pascanarkose
Habitual HPP
Teknik
Telusuri tali pusat
Dengan ulner tangan
Masase intrauterin
Uterotonika IM-IV
Berhasil baik :
Observasi :
Keadaan umum
Perdarahan
Obat profilaksis :
Vitamin
Fe preprat
Antibiotika
Uterotonika
Plasenta rest :
Kuretase tumpul
Utero-vaginal
tampon
Masase
Plasenta melekat :
Akreta
Inkreta
Perkreta
Adesiva
Perdarahan terus :
Tampon bedah
Atonia uteri
Histerektomi
Pertimbangan :
Keadaan umum
Umur penderita
Paritas penderita
Ligasi arteri
24
Perforasi uterus
Infeksi
Inversio uteri
Syok (hipovolemik)
Perdarahan postpartum
Subinvolusi
Histerektomi
2.11. Pencegahan
Pencegahan risiko retensio plasenta adalah dengan cara mempercepat
proses separasi dan melahirkan plasenta dengan memberikan uterotonika segera
25
setelah bayi lahir ( untuk mencegah retensio plasenta dapat disuntikkan 0,2 mg
methergin i.v. atau 10 IU pitosin i.m. waktu bahu bayi lahir )11, dan melakukan
penegangan tali pusat terkendali. Usaha ini disebut juga penatalaksanaan aktif
kala III.4
Manajemen aktif kala III yaitu :17
1. Menyuntikkan oksitosin
- Pastikan tidak ada bayi lain (undiagnosed twin) di dalam uterus.
- Beritahu ibu bahwa ia akan disuntik.
- Segera (dalam 1 menit pertama setelah bayi lahir) suntikkan oksitosin 10
unit IM pada 1/3 bagian atas paha bagian luar (aspektus lateralis). Jika
oksitosin tidak tersedia, minta ibu untuk melakukan stimulasi puting susu
atau menganjurkan ibu untuk menyusukan dengan segera.
- Jangan memberikan ergometrin karena menyebabkan kontraksi tonik uterus
yang dapat menghambat ekspulsi plasenta.19
2. Melakukan peregangan tali pusat terkendali;
- Pindahkan klem pada tali pusat sekitar 5-20 cm dari vulva.
- Letakkan tangan yang lain pada abdomen ibu (beralaskan kain) tepat di atas
simfisis pubis. Gunakan tangan ini untuk meraba kontraksi uterus pada saat
melakukan penegangan pada tali pusat. Setelah terjadi kontraksi yang kuat,
tegangkan tali pusat dengan satu tangan yang lain menekan uterus ke arah
dorso-kranial. Lakukan secara hati-hati untuk mencegah terjadinya inversio
uteri.
- Bila plasenta belum lepas, tunggu hingga uterus berkontraksi kembali
(sekitar 2 atau 3 menit berselang) untuk mengulangi penegangan tali pusat
terkendali.
- Saat mulai kontraksi, tegangkan tali pusat ke arah bawah, lakukan tekanan
dorso-kranial hingga tali pusat makin menjulur dan korpus uteri bergerak ke
atas yang menandakan plasenta telah lepas dan dapat dilahirkan.
- Setelah plasenta terpisah, anjurkan ibu untuk meneran agar plasenta
terdorong keluar melalui intyroitus vagina.
- Saat terlihat di introitus vagina, lahirkan plasenta dengan mengangkat tali
pusat ke atas dan menopang plasenta dengan
diletakkan dalam wadah secara lembut, lalu lahirkan selaput ketuban secara
perlahan.
26
: Ny. S
Umur
: 29 tahun
Suku
: Jawa
Alamat
Agama
: Islam
Pekerjaan
Pendidikan
: SMA
Status
: Menikah
No. MR
: 00.43.25
Tanggal masuk
: 24 Juli 2016
Jam masuk
: 23.05 WIB
Tanggal keluar
ANAMNESIS
: 28 Juli 2016
27
Ny.S, 29 tahun, P3A0, Jawa, Islam, SMA, Ibu Rumah Tangga, i/d Tn.S, 37 tahun,
Jawa, Islam, Petani, SMP, datang dengan:
Keluhan utama
Telaah
RIWAYAT HAID
-
HPHT
: Tidak Jelas
TTP
: Tidak Jelas
ANC
: Bidan 2 kali
Menarche
: 12 tahun
Siklus
: 28 hari
Lama haid
: 4 hari
Berat Badan
: 50 kg
RIWAYAT PERSALINAN
28
: Compos Mentis
Anemis
:+
TD
: 110/80 mmHg
Ikterik
:-
HR
: 86 kali / menit
Sianosis
:-
RR
: 20 kali / menit
Dyspnoe
:-
Temp
: 370C
Oedema
:-
STATUS GENERALISATA
Kepala
Mata
Leher
Thorax
:
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Jantung
Paru
Ekstremitas
STATUS OBSTETRI
Abdomen
29
TFU
: Setentang Pusat
P/V
: (+) Merembes
BAK
STATUS GINEKOLOGI
Inspeksi
: Tampak tali pusat keluar dari vagina dan terklem dan tampak luka
laserasi perineum grade I pada arah jam 6.
Inspekulo
VT
USG TAS :
-
Hasil
16170
2,35
7,2
21,4
121.000
17,00
0,60
Pasien: 13,9
Nilai Normal
4000-11000/L
4,00-5,40 x 106/L
12-16 gr/dL
36-48 %
150000-400000/L
10-50 mg/dL
0,6-1,2 gr/dL
11-18 detik
Kontrol: 15
APTT
INR : 1,14
Pasien : 34,7
27-42 detik
30
HbsAg Kualitatif
HIV rapid
Kontrol: 34,5
Positif
Negatif
Negatif
Negatif
DIAGNOSIS
Retensio Plasenta + Hepatitis B + Anemia
TERAPI
-
RENCANA
-
Manual Placenta
Diagnosa Awal
Diagnosa Akhir
Tindakan
31
RENCANA
1.
2.
3.
4.
5.
32
Pemeriksaan
Darah rutin
WBC
RBC
HGB serial
HCT
PLT
Neutrofil
Leukosit
Monosit
Eosinofil
Basofil
Tes Faal Hati
SGOT
SGPT
ALP
Total Bilirubin
Direct Bilirubin
LDH
Hasil
Nilai Normal
16,7
3,09
10,2
30,5
154.000
20,10
1,84
0,6
0,5
0,08
4000-11000/L
4,00-5,40 x 106/L
12-16 gr/dL
36-48 %
150000-400000/L
5 - 7 x 103 / L
1 - 4 x 103 / L
0,1 0,8 x 103 / L
0 0,5 x 103 / L
0 0,1 x 103 / L
209
157
309
0,56
0,23
639
0,00-40,00 U/L
0,00-40,00 U/L
30,00-142,00 U/L
0,00-1,20 mg/dL
0,05-0,30 mg/dL
240,00-480,00 U/L
FOLLOW UP
25 Juli 2016
S
Demam
O
Sens : CM
A
Post manual
P
IVFD RL 20 gtt/i
TD : 90/50 mmHg
placenta d/t
Inj Ceftriaxone
HR : 92 x/i
retensio placenta
1gr/12jam
RR : 24 x/i
+ Hepatitis B +
Drip Metronidazole
Anemia + NH1
500 mg/8jam
: 38.1 0C
Status Obstetrik:
Inj Metergin 1
Abdomen soepel,
amp/12 jam
peristaltik (+)
mg/8jam
Paracetamol 3x500
cc/jam kuning
mg
33
26 Juli 2016
S
Demam
Sens : CM
Post
TD : 100/50 mmHg
placenta
HR : 90 x/i
RR : 22 x/i
: 37.8 0C
Anemia + NH2
500 mg/8jam
Status Obstetrik:
Abdomen soepel,
mg/8jam
peristaltik (+)
Paracetamol 3x500
mg
Sens : CM
Post
Ada
TD : 110/60 mmHg
placenta
HR : 86 x/i
RR : 20 x/i
: 37 0C
Anemia + NH3
d/t 2x500 mg
mg
Status Obstetrik:
Tab Vitamin B
Abdomen soepel,
Complex 2x1
peristaltik (+)
TFU 4 jari di bawah pusat
P/V Lochia (+) rubra
BAK (+) Normal
34
35
BAB 4
ANALISIS KASUS
Retensio plasenta adalah keadaan dimana plasenta belum lahir lebih dari
setengah jam setelah bayi lahir. Retensio plasenta merupakan salah satu penyebab
tersering dari perdarahan pasca persalinan primer yang dapat berlanjut menjadi
syok yang dapat mengancam nyawa ibu. Retensio plasenta memiliki beberapa
faktor predisposisi di antaranya adalah implantasi abnormal plasenta yaitu di
segmen bawah rahim (plasenta previa), di atas jaringan parut bekas seksio sesarea
atau insisi uterus lainnya seperti pasca miomektomi atau setelah kuretase uterus,
multiparitas, kelahiran preterm, serta induksi persalinan dan pimpinan persalinan
yang salah. Pada kasus ini, berdasarkan anamnesis, ditemukan adanya uri-uri yang
belum lahir >30 menit setelah bayi lahir. Berdasarkan pemeriksaan fisik, pasien
tampak anemis dan lemah, salah satu tanda dari perdarahan yang cukup banyak.
Berdasarkan pemeriksaan obstetrik, didapati tinggi fundus uteri yang masih tinggi
karena plasenta yang belum lahir akan mengganggu kontraksi retraksi dari uterus.
Berdasarkan pemeriksaan ginekologi, didapati tali pusat yang terjulur dari ostium
uteri eksterna dan adanya perdarahan yang merembes. Berdasarkan USG
transabdominal didapati gambaran hiperekoik pada kavitas uterus yang
menunjukkan bahwa plasenta masih tertinggal di dalam cavum uteri. Multiparitas
merupakan faktor predisposisi yang didapati pada pasien.
Salah satu komplikasi persalinan yang paling ditakuti adalah perdarahan
yang dapat meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas maternal. Retensio
plasenta merupakan salah satu penyebabnya. Perdarahan yang terjadi dapat begitu
masif hingga menyebabkan syok yang dapat ditandai dengan pasien mengalami
pernurunan kesadaran, takikardi, lemah, pucat, hipotensi, akral dingin, nadi
lemah, dan lain sebagainya. Bila hal ini dijumpai, resusitasi merupakan
tatalaksana yang tepat untuk dilakukan, baik dengan cairan kristaloid maupun
produk darah serta obat-obatan uterotonika. Pada pasien didapati tanda vital yang
stabil namun keadaan yang lemah dan anemis serta penggunaan uterotonika
berupa syntocinon dan transfusi PRC. Hal ini menunjukkan bahwa tadinya pasien
36
37
BAB 5
PERMASALAHAN
1. Apakah penanganan pada pasien ini sudah tepat? Mengapa tidak
dilakukan manual placenta pada tempat awal pertolongan persalinan
pasien ?
2. Retensio plasenta memiliki beberapa faktor predisposisi seperti implantasi
abnormal plasenta yaitu di segmen bawah rahim (plasenta previa), di atas
jaringan parut bekas seksio sesarea atau insisi uterus lainnya seperti pasca
miomektomi atau setelah kuretase uterus, multiparitas, kelahiran preterm,
serta induksi persalinan dan pimpinan persalinan yang salah. Terjadinya
retensio plasenta pada pasien ini mungkin disebabkan oleh faktor
multiparitas dimana mungkin masih kurangnya edukasi pada ibu-ibu
hamil saat antenatal care mengenai risiko multiparitas dan penggalakan
program KB serta kurangnya pelatihan-pelatihan bagi para penolong di
daerah perifer.
3. Sejauh mana kompetensi dokter umum dalam menghadapi kasus serupa?
38
BAB 6
KESIMPULAN
Istilah retensio plasenta (retained placenta) dipergunakan jika plasenta
belum lahir jam sesudah anak lahir. Retensio plasenta kemungkinan terjadi
karena plasenta terperangkap oleh serviks yang menutup sebagian atau karena
plasenta masih melekat pada dinding uterus serta penyebab tersering yaitu
kontraksi uterus yang tidak adekuat.
Penyebab dari disfungsi kontraksi uterus ini belum diketahui pasti.
Walaupun sangat jarang, plasenta dapat melekat erat ke tempat implantasi, baik
karena penetrasi berlebihan dari trofoblas maupun desidua basalis yang sedikit
(tipis) atau tidak ada sama sekali dan kelainan perkembangan lapisan fibrinoid
(lapisan Nitabuch) secara parsial atau total, sehingga tidak terdapat garis pemisah
fisiologis melalui lapisan spongiosa desidua. Akibatnya, satu atau lebih kotiledon
melekat erat ke desidua basalis yang cacat atau bahkan ke miometrium.
Patofisiologi retensio plasenta ini juga bisa berarti plasenta telah terpisah akan
tetapi masih tertinggal akibat ketegangan tali plasenta atau leher rahim yang
tertutup. Faktor ini dapat muncul akibat kesalahan penanganan kala III persalinan
dan manipulasi yang berlebihan.
Penanganan retensio plasenta meliputi perasat Crede, manual placenta,
kuretase, tindakan bedah (ligasi arteri hipogastrika, embolisasi arteri uterina, dan
histerektomi), terapi konservatif, transfusi darah, serta pemberian uterotonika dan
antibiotik.
Pencegahan risiko retensio plasenta adalah dengan cara mempercepat
proses separasi dan melahirkan plasenta dengan memberikan uterotonika segera
setelah bayi lahir dan melakukan manajemen aktif kala III.
Prognosis tergantung dari lama, jumlah darah yang hilang, keadaan
sebelumnya, serta efektifitas terapi. Diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat
sangat penting.
39
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
from: http://www.scribd.com/doc/135982233/Plasenta-Rest-Edit
Mochtar R. Sinopsis Obstetri Jilid I Edisi 2. Jakarta: EGC; 1998.
Mayo Clinic. Pregnancy week by week ; Placenta: How it works, what's
normal. Mayo Foundation for Medical Education and Research (MFMER);
4.
5.
http://samoke2012.files.wordpress.com/2012/10/retensio-plasenta.pdf
Midwifery Educator. Retained Placenta Management. National Womens
Health Clinical Guideline / Recommended Best Practice : 2012. Available
from:
http://nationalwomenshealth.adhb.govt.nz/Portals/0/Documents/Policies/Reta
6.
ined%20Placenta%20Management_.pdf
Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap III LG, Hauth JC, Wenstrom
7.
8.
9.
Available
from:
http://www.jevuska.com/2011/09/10/patofisiologi-retensio-plasenta
13. Weeks AD. The Retained Placenta. USA: National Center for Biotechnology
Information, U.S. National Library of Medicine from African Health Sciences
Makerere
Medical
School;
2001.
Available
from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2704447/
14. Memon SR, Talpur NN, Korejo RK. Rawal Medical Journal Volume 36
Number 4 : Outcome of Patients Presenting With Retained Placenta.
40
Obstetricians
and
Gynecologists;
2012.
Available
from:
http://www.acog.org/Resources%20And%20Publications/Committee
%20Opinions/Committee%20on%20Obstetric%20Practice/Placenta
%20Accreta.aspx
21. B-Lynch C. A Textbook of Postpartum Hemorrhage A Comprehensive Guide
to Evaluation, Management and Surgical Intervention : Placental
Abnormalities. Singapore: Sapiens Publishing; 2006. 8:66-68, 10:90-91,
24:203-207, 31:296-297.
22. Anonim. Buku Acuan Pelayanan Obstetri Emergensi Dasar: Retensio
Plasenta. Bab 4-10.
23. Mayo Clinic. Placenta Accreta. Mayo Foundation for Medical Education and
Research
(MFMER);
2012.
Available
from:
http://www.mayoclinic.com/health/placenta-accreta/DS01203
24. Gondo HK. Penanganan Perdarahan Post Partum (Haemorhagi Post
Partum, HPP). Surabaya: Universitas Wijaya Kusuma; 2010.
25. Akinola, O.I., et al. Manual Removal of The Placenta: Evaluation of Some
Risk Factors and Management Outcome in A Tertiary Maternity Unit. A Case
Controlled Study. Open Journal of Obstetrics and Gynecology. 3:279-284.
2013. Available from: http://dx.doi.org/10.4236/ojog.2013.32052
41
26. Urner, F., et al. Manual Removal of The Placenta After Vaginal Delivery: An
Unsolved Problem in Obstetrics. Journal of Pregnancy. 2015. Available from:
http://dx.doi.org/10.1155/2014/274651
27. Belachew, J. Retained Placenta and Postpartum Haemorrhage. Uppsala
Universitet. 2015.
28. WHO Guidelines for The Management of Postpartum Haemorrhage and
Retained Placenta. 2009.