Anda di halaman 1dari 36

TUGAS MANAJEMEN RITEL

PERMASALAHAN UTAMA DALAM INDUSTRI RITEL DI


INDONESIA

BRAMANTYA YOGA WIDYASWARA

(2813100003)

GHEA CINANTYA PUSPITA

(2813100018)

NYEMAS DINDA RAMADHANI

(2813100034)

AMANDA PUTRI SANTOSO

(2813100040)

JURUSAN MANAJEMEN BISNIS


FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA
2016

ABSTRAK
Pertumbuhan industri ritel di Indonesia tergolong sangat pesat. Pada tahun
2015, pertumbuhan ritel Indonesia menduduki peringkat ke-12 Indeks
Pembangunan Ritel Global. Angka ini merupakan angka tertinggi yang pernah
dicapai oleh Indonesia. Industri ritel sedikit mengalami peningkatan penjualan per
kapita tahun lalu, total penjualan ritel tumbuh 14,5%. Sektor ritel mengalami
penurunan pada awal tahun ini, tetapi ritel terus dibantu penduduk Indonesia yang
jumlahnya besar dan adanya pertumbuhan kelas menengah. Bisnis ritel kian
menjanjikan.
Dalam perjalananya bisnis ritel tentu akan mengalami kendala atau
permasalahan yang umum dijumpai. Pada makalah ini akan dipaparkan mengenai
masalah-masalah apa saja yang terjadi di industri ritel Indonesia. Terdapat tiga
masalah utama yang sering terjadi dalam bisnis saat ini, yaitu mengenai
kompetisi, daya tawar konsumen yang tinggi, serta dalam proses distribusi. Ketiga
masalah pokok tersebut akan dijelaskan dengan analisis five porter forces dan
fishbone. Dalam menjalani bisnis ritel, tentu para pemain sudah sangat sadar
mengenai permasalahan-permasalahan tersebut. Perlu adanya solusi kreatif untuk
bisa bertahan di arena persaingan industri ritel. Teknologi dan informasi di era
digital bisa menjadi salah satu jalan dan peluang inovatif. Selain itu, untuk para
pemain baru bisa menyasar target dengan daya beli tinggi sehingga saat terjadi
ekonomi yang lesu, bisnis ritel tersebut tidak akan goyah.
Kata Kunci: Ritel, Distribusi, Kompetisi Industri Ritel, Daya Tawar Konsumen
Ritel

DAFTAR ISI
ABSTRAK................................................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................3
1.3 Tujuan dan Manfaat........................................................................................3
1.3.1 Tujuan..........................................................................................................3
1.3.2 Manfaat........................................................................................................3
1.4 Batasan dan Asumsi........................................................................................4
1.5 Sistematika Penulisan.....................................................................................4
1.6 Metodologi Penelitian....................................................................................5
BAB II......................................................................................................................6
LANDASAN TEORI...............................................................................................6
2.1 Manajemen Ritel............................................................................................6
2.2 Fungsi Ritel....................................................................................................7
2.3 Jenis Ritel.......................................................................................................8
2.4 Diagram Tulang Ikan (Fishbone Diagram)..................................................10
2.4.1 Manfaat Fishbone Diagram.......................................................................11
2.4.2 Langkah-Langkah penyusunan Fishbone Diagram..................................12
2.5 Five Forces Porter.......................................................................................13
BAB III..................................................................................................................17
ANALISIS DAN DISKUSI...................................................................................17
3.1 Five Forces Porter.......................................................................................17
3.2 Analisis Fishbone.........................................................................................22
BAB IV..................................................................................................................27
KESIMPULAN DAN SARAN..............................................................................27
4.1 Kesimpulan...................................................................................................27
4.2 Saran.............................................................................................................27
Daftar Pustaka........................................................................................................28

DAFTAR GAMB
Gambar 1. 1 Flowchart penelitian.........................................................5Y
Gambar 2. 1 Skema saluran distribusi......................................................7
Gambar 2. 2 Fishbone Diagram............................................................10
Gambar 2. 3 Five Forces Porter Model

Gambar 3.1 Hasil analisis Five Forces Porter industri ritel di Indonesia..........18
Gambar 3. 2 Analisis Fishbone.............................................................23

DAFTAR TABEL
Tabel 2. 2 Ciri-Ciri Pasar Modern dan Pasar Tradisional.........................................9

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada tahun 2015, pertumbuhan ritel Indonesia menduduki peringkat ke-12
Indeks Pembangunan Ritel Global (GRDI) 2015 yang dirilis AT Kearney. Hal ini
merupakan tingkat pertumbuhan ritel tertinggi yang pernah dicapai Indonesia
dalam indeks sejak 2001. Peringkat GRDI menilai 30 besar negara berkembang
dalam investasi ritel di seluruh dunia. Indeks ini menganalisis 25 variabel
makroekonomi dan ritel khusus untuk membantu menyusun strategi global dalam
mengidentifikasi peluang investasi pasar. Meskipun industri ritel sedikit
mengalami penurunan penjualan per kapita tahun lalu, total penjualan ritel
tumbuh 14,5%. Sektor ritel mengalami penurunan pada awal tahun ini, tetapi ritel
terus dibantu penduduk Indonesia yang jumlahnya besar dan adanya pertumbuhan
kelas menengah. AT Karney mencatat pasar ritel di Indonesia saat ini mencapai
USD326 miliar atau senilai Rp4.306 triliun (Dahwilani, 2015). Di sisi lain,
Kementerian Perdagangan terus menegaskan pembatasan jumlah maksimum
waralaba dan toko. Pemerintah mengeluarkan peraturan batasan kepemilikan gerai
toko maksimal 150 toko untuk satu pemilik. Hal ini untuk mencegah dominasi
kepemilikan gerai toko (Suryanto, 2012). Fakta lain yang menjadi perhatian
khusus pada bisnis ritel adalah perbedaan tren saham perusahaan-perusahaan
berbeda meskipun berada pada industri yang sama yakni industri ritel. Di Bursa
Efek Indonesia, pada November 2015 saham-saham ritel, seperti PT Sumber
Alfaria Trijaya Tbk (AMRT), melemah pada perdagangan. Sementara saham ritel
lain, seperti PT Matahari Putra Prima Abadi (MPPA) dan PT Mitra Adi Perkasa
Tbk (MAPI), menguat. Kemungkinan hal ini terjadi akibat dikeluarkannya
peraturan pemerintah soal pembatasan kepemilikan gerai toko.
Namun pada tahun yang sama, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia
(Aprindo) menyatakan bahwa pertumbuhan pasar ritel kurang menggembirakan.
Salah satu penyebabnya adalah kenaikan kurs dollar yang menyebabkan daya beli
masyarakat menurun. Ketua Aprindo mengatakan bahwa masyarakat terutama
yang masuk kategori smart buyer, mulai menunda transaksi dan mereka
mengerem transaksi karena situasi ekonomi yang belum recovery (ST, 2015).

Fakta ini didukung pula oleh pernyataan dari Bank Indonesia (BI). Pada tahun
2016, BI menyatakan bahwa penjualan ritel melambat. Survei Penjualan Ritel
Februari 2016, mengindikasikan bahwa secara tahunan penjualan ritel melambat.
Ini tercermin dari Indeks Penjualan Riil (IPR) Februari 2016 yang tumbuh 9,9%
(yoy), lebih rendah dibandingkan pertumbuhan Januari 2016 sebesar 12,9% (yoy).
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Tirta Segara
menyatakan perlambatan terjadi pada penjualan di beberapa komoditas dan yang
terbesar ada pada produk sandang. Hanya berselang satu bulan, Bank Indonesia
melaporkan Survei Penjualan Eceran Maret 2016 secara tahunan penjualan eceran
meningkat. Indeks Penjualan Riil Maret 2016 tumbuh 11,6% secara tahunan,
presentase tersebut juga naik dibandingkan pertumbuhan Februari 2016 sebesar
10,6%. Pertumbuhan penjualan terjadi pada beberapa kelompok komoditas
dengan pertumbuhan terbesar pada kelompok suku cadang dan aksesori, dan
diikuti kelompok perlengkapan rumah tangga lainnya (Yasinta, 2016). Dari
beberapa fakta ini dapat disimpulkan bahwa industri ritel di Indonesia mengalami
penjualan yang fluktuatif dipengaruhi oleh faktor eksternal bisnis ritel.
Pada era serba digital ini, ada suatu tren yang muncul yakni E-commerce.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum
Rahanta mengatakan bahwa menjamurnya retail e-commerce, mengancam ritel
fisik tradisional maupun modern (Glienmourinsie, 2016). Saat ini, pemain-pemain
besar mulai mengarah memperbaiki model bisnisnya ke arah digital juga.
Pertumbuhan toko online sangat cepat namun hingga saat ini konsumen masih
memerhatikan pembayaran dan pengiriman. Konsumen akan selalu memikirkan
bagaimana pengirimannya, kapan sampai dan seperti apa sebab yang diantarkan
adalah tetap barang fisik.
Beberapa fakta tersebut menjelaskan bahwa industri ritel merupakan
industri yang menarik namun penjualannya fluktuatif dipengaruhi faktor given
dan persaingan di dalam industri ritel sangat ketat hingga pemerintah
mengeluarkan beberapa peraturan untuk pemain ritel, serta ada tantangan retail ecommerce.

Sehingga industri ritel merupakan salah satu industri yang unik

dimana memiliki banyak permasalahan yang dihadapi. Laporan ini akan


membahas tentang permasalahan utama yang dihadapi industri ritel di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan identifikasi fakta-fakta yang telah dilakukan, menunjukkan
bahwa industri ritel sebenarnya terdapat beberapa permasalahan dan tantangan
namun daya tarik industri ritel sangat tinggi, dapat dilihat dari jumlah pemain
serta ketatnya persaingan industri ritel. Maka dalam penelitian ini, rumusan
masalahnya adalah:
1. Apa saja permasalahan utama industri ritel di Indonesia?
2. Bagaimana pelaku industri ritel Indonesia bereaksi

terhadap

permasalahan tersebut?
1.3 Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan dan manfaat dari penelitian ini adalah:
1.3.1 Tujuan
1.

Mengetahui apa saja permasalahan yang dihadapi industri ritel di

2.

Indonesia
Mengetahui bagaimana cara pelaku ritel menghadapi permasalahan

3.

tersebut
Mengidentifikasi solusi yang dapat dijadikan referensi pengambilan
keputusan bagi pelaku ritel

1.3.2 Manfaat
Pengerjaan penelitian ini memiliki beberapa manfaat yang harapannya dapat
dirasakan oleh berbagai pihak. Manfaat tersebut terbagi 2 jenis yakni manfaat
empiris dan manfaat untuk keilmuan. Adapun manfaat empiris, antara lain :
1.

Bagi penulis, pengerjaan penelitian ini sebagai pengaplikasian ilmu yang


didapat selama kuliah di perguruan tinggi negeri dan juga sebagai syarat

2.

kelulusan mata kuliah.


Bagi pelaku bisnis ritel, penelitian ini bisa menjadi sumber wawasan baru
untuk implikasi manajerial membantu pengambilan keputusan dalam

3.

menghadapi permasalahan yang akan dihadapi.


Bagi umum, laporan ini harapannya dapat bermanfaat sebagai wawasan
tentang apa masalah yang ada di industri ritel Indonesia.
Manfaat keilmuan dari pengerjaan penelitian ini adalah memberi kontribusi

dan perkembangan pada keilmuan manajemen yakni pada manajemen pemasaran,


dan manajemen ritel.

1.4 Batasan dan Asumsi


Adapun batasan pada pengerjaan penelitian ini agar tidak meluas dari
pembahasan yang dimaksud, antara lain :
1. Penelitian dilakukan hanya dalam 2 minggu mulai tanggal 21 September
2016 hingga 5 Oktober 2016
2. Semua data yang digunakan dalam penelitan ini merupakan data sekunder
yang didapat dari berita dengan sumber yang kredibel
Adapun asumsi pada laporan ini adalah tidak terjadi perubahan secara
signifikan pada peraturan pemerintah terhadap industri ritel Indonesia dan ritel
yang dimaksud adalah toko yang menjual barang secara ecer untuk end
customers.
1.5 Sistematika Penulisan
Berikut adalah sistematika penulisan pada penelitian ini:
BAB I. PENDAHULUAN
Pada bab ini dijelaskan mengenai apa yang menjadi latar belakang
dibuatnya penelitian, masalah apa yang diangkat, tujuan dan manfaat dibuatnya
penelitian serta menjelaskan batasan dan asumsi pada pengerjaan penelitian.
BAB II. LANDASAN TEORI
Pada bab ini dijelaskan mengenai apa saja teori dan keilmuan yang
digunakan dalam menyelesaikan penelitian ini.
BAB III. ANALISIS DATA
Pada bab ini berisi penjelasan apa saja masalah utama industri ritel di
Mulai

Indonesia, analisis, dan opini serta solusi yang dapat ditawarkan.


BAB IV. SIMPULAN DAN SARAN
Bab terakhir ini berisiPencarian
simpulan yang
ditarik
dari keseluruhan analisis
faktadapat
industri
ritel
dan berisi saran yang harapannya dapat menjadi bahan pertimbangan untuk
implikasi manajerial pelaku ritel di Indonesia.

1.6 Metodologi Penelitian

Identifikasi masalah
Industri ritel di Indonesia

Berikut adalah flowchart penelitian yang menjelaskan secara ringkas proses


yang dilakukan:

Analisis masalah
Industri ritel di Indonesia

4
Identifikasi solusi, simpulan dan saran

Gambar 1. 1 flowchart penelitian

BAB II
LANDASAN TEORI
Pada bab berikut akan dijelaskan mengenai landasan teori yang digunakan
untuk mendukung terlaksananya pengamatan yang dilakukan
2.1 Manajemen Ritel
Ritel berasal dari bahasa Perancis ritellier yang berarti memotong atau
memecahkan sesuatu. Menurut Barry R. Berman dan Joel R. Evans (2008) ritel
adalah kegiatan bisnis yang meliputi kegiatan menjual produk maupun jasa
kepada pelanggan untuk kebutuhan personal, keluarga maupun kebutuhan rumah
tangga. Tjiptono (2008) mengartikan bahwa ritel adalah kegiatan penjualan
barang dan jasa secara langsung kepada konsumen akhir untuk pemakaian pribadi
dan rumah tangga, bukan untuk keperluan bisnis. Adapula pendapat dari Kotler
(2001) yang mengatakan bahwa ritel mencangkup semua aktivitas yang ada dalam
kegiatan menjual barang atau jasa secara langsung kepada konsumen akhir untuk
kebutuhan pribadi dan bukan untuk keperluan bisnis. Masyarakat umum sering
kali beranggapan bahwa ritel hanya sebatas menjual produk-produk di toko,
namun sebenarnya ritel juga melibatkan pelayanan jasa antar produk ke rumahrumah konsumen, dan tidak semua kegiatan ritel dilakukan di toko.
Dari beberapa pendapat diatas dapat dirumuskan beberapa hal mengenai
ritel dimana ritel adalah rantai terkhir dari saluran distribusi yang mencangkup
berbagai macam aktivitas, terutama aktivias penjualan produk secara langsung
kepada konsumen dan merupakan penghubung antara manufaktur dengan
konsumen. Produk yang dijual berupa barang, jasa ataupun kombinasi dari
keduanya. Konsumen yang menjadi target dalam ritel adalah konsumen non bisnis
yang mengkonsumsi barang, jasa atau keduanya untuk kebutuhan pribadi maupun
kebutuhan rumah tangga.
Manajemen oleh Hasibuan (1995) dapat diartikan sebagai ilmu dan seni
dengan mengatur proses dan memanfaatkan sumber daya manusia maupun
sumber daya lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai suatu tujuan
tertentu. Maka manajemen ritel dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mengatur
keseluruhan faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses perdagangan ritel, yaitu
perdagangan langsung barang dan jasa kepada konsumen akhir.
6

2.2 Fungsi Ritel


Menyimak dari beberapa pendapat dan penjelasan mengenai retail yang
sudah dijelaskan sebelumnya, ditarik kesimpulan bahwa ritel merupakan bisnis
terakhir dalam jalur distribusi dan merupakan penghubung antara manufaktur
dengan konsumen. Manufaktur berfungsi memproduksi produk dan menjualnya
kepada wholesaler, wholesaler membeli produk dari manufaktur dan menjualnya
ke retailer. Lalu retailer akan langsung menjual produk kepada konsumen non
binis untuk langsung dikonsumsi. Pada Gambar 2.1 berikut akan dijelaskan skema
saluran distribusi dalam bisnis

Gambar 2. 1 Skema saluran distribusi


Pada saat retailer menjual produk langsung kepada konsumen, maka
terdapat kesamaan fungsi antara wholesaler dan retailer dalam memenuhi
kebutuhan dan memuaskan kosumen akhir. Menurut Barry L. Breman dan Joel R.
Evans (2008), beberapa fungsi ritel adalah sebagai berikut:
1. Membeli barang dari wholesaler
Retailer memperoleh barang maupun jasa yang akan dijualnya kepada
konsumen dengan membelinya kepada wholesaler dengan jumlah yang
banyak dan dijualnya kembali kepad konsumen dengan jumlah yang lebih
sedikit.
2. Menyediakan produk dan jasa kepada konsumen
Konsumen mempunyai preferensi sendiri terhadap berbagai produk atau
jasa sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Sebagai pelaku bisnis sudah

seharusnya untuk menyediakan berbagai macam produk dan jasa agar


konsumen memiliki banyak preferensi terhadap pemenuhan kebutuhannya.
3. Menyimpan persediaan
Ritel juga dapat memposisikan diri mereka sebagai perusahaan yang
menyimpan persediaan produk dengan ukuran yang lebih kecil. Dalam hal
ini, konsumen akan diuntungkan karena mendapat jaminan akan
ketersediaan barang atau jasa yang disimpan oleh retailer.
4. Meningkatkan nilai produk dan jasa
Keberadaan ritel akan sangat dibutuhkan oleh konsumen karena semua
produk yaang dijual dalam keadaan lengkap, maka pembelian salah satu
baran pada ritel akan menambah nilai produk atau jasa tersebut karena
mampu memenuhi kebutuhan konsumen.
5. Memberikan informasi suatu produk atau jasa.
Pedagang atau penjual (retailer) memiliki fungsi memberikan informasi
mengenai produk barang atau jasa yang mereka jual dengan berbagai cara,
salah satunya dengan melakukan promosi yang dapat dilakukan dengan
berbagai media pendukung.
2.3 Jenis Ritel
Secara garis besar, ritel dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu ritel
modern dan ritel tradisional. Berdasarkan Peraturan Presiden No 112 Tahun 2007
tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko
Modern, pengertian ritel modern adalah toko dengan sistem pelayanan mandiri,
menjual berbagai jenis barang secara eceran yang berbentuk Minimarket,
Supermarket, Department Store, Hypermarket ataupun grosir yang berbentuk
perkulakan. Sedangkan pasar tradisional yaitu suatu tempat usaha berupa kios,
toko kecil, tenda, los yang dibangun atau dikelola oleh Pemerintah atau BUMN
atau BUMD dimana terdapat sekumpulan pedagang kecil dengan modal yang
relatif kecil dan memungkinkan terjadinya kegiatan tawar menawar.
Pasar modern dan pasar tradisional memiliki ciri-ciri tersendiri yang akan
membedakan keduanya. Ciri-ciri tersebut dapat diklasifikasikan dalam beberapa
hal yaitu lini produk, kepemilikan, penggunaan fasilitas, promosi, keuangan dan
tenaga kerja. Ciri-ciri pasar tradisional dan pasar modern tersebut akan
dicantumkan pada Tabel 2.1 berikut ini.

Tabel 2. 1Ciri-Ciri Pasar Modern dan Pasar Tradisional


Klasifikasi
Lini Produk

Kepemilikan
Penggunaan Fasilitas

Promosi
Keuangan
Tenaga Kerja

Pasar Modern
Pasar Tradisional
Tidak beraturan, tergantung
Toko khusus
pemilik
Toko serba ada
Toko Hyper, Super dan Mini
Toko Diskon
Corporate Chain Store
Independent Store
Sistem pembayaran modern
Pembayaran tradisional
Penataan layout modern
Standar tidak jelas
Standar yang jelas (AC,
eskalator)
Ada, intens dan terstruktur
Tidak ada
Tercatat, dapat dipublikasikan
Belum tentu tercatat, tidak
dipublikasikan
Jumlahnya banyak
Jumlahnya sedikit
Sistem rekrutmen jelas
Didominasi anggota keluarga
dan kerabat

Selain digolongkan berdasarkan kategori, jenis ritel juga dapat


digolongkan berdasarkan toko yaitu store retailing, non-store retailing,dan retail
organizations. Store retailing adalah suatu media transaksi penjualan antara
penjual dengan konsumen yang dilakukan di toko atau warung. Contoh store
retailing adalah department store, supermarkets, coveniece store, discount store,
hypermarket, dan catalog showrooms. Non-store retailing adalah kegiatan ritel
dengan menawarkan barang atau jasa kepada konsumen melalui media selain toko
seperti melalui telepon, surat, internet, atau pedagang keliling yang menjajakan
barang dagangannya ke rumah-rumah. Ada beberapa cara dalam melakukan nonstore retailing antara lain direct selling, direct marketing, dan online marketing.
Sedangkan retailing organizations adalah organisasi pengecer yang terbagi
menjadi berbagai macam, seperti corporate chain stores, voluntary chain, retailer
cooperative (koperasi pengecer), franchise, dan merchindising conglomerate.
Selanjutnya jenis ritel juga dapat digolongkan berdasarkan produk atau
jasa yaitu service retailing dan product retailing. Service retailing adalah jenis
ritel dimana jasa merupakan produk yang ditawarkan kepada pembeli atau
konsumen, contohnya rented-goods service (rental mobil, bus, dvd dan lain-lain.
Owned-goods service (reparasi otomotif dan jasa cuci mobil) dan non-goods
service (babysitter, supir, dan tour guide). Product retailing adalah jenis ritel
dimana produk berupa barang yang ditawarkan kepada pembeli atau konsumen,

seperti department store, speciality store, catalog showroom, dan food or drug
retailer.
2.4 Diagram Tulang Ikan (Fishbone Diagram)
Diagram tulang ikan (fishbone diagram) ialah sebuah pendekatan
terstruktur yang memungkinkan dilakukan suatu analisis lebih terperinci dalam
menemukan penyebab-penyebab suatu masalah, ketidaksesuaian, dan kesenjangan
yang ada (Gasversz, 1998).
Fishbone diagram juga dikenal dengan diagram Ishikawa, yang diadopsi
dari nama seorang ahli pengendali statistik dari Jepang, yang menemukan dan
mengembangkan diagram ini pada tahun 1960-an. Diagram ini pertama kali
digunakan

oleh

Dr.

Kaoru

Ishikawa

pada

manajemen

kualitas

yang

diimplimentasikan kepada perusahaan Kawasaki. Berikut ini merupakan desain


diagram tulang ikan (fishbone).

Gambar 2. 2 Fishbone Diagram


Berdasarkan gambar 2.2 diatas, desain fishbone diagram terlihat seperti
tulang ikan. Representasi sederhana dari diagram tersebut adalah sebuah garis
horizontal yang melalui garis sub penyebab permasalahan. Meskipun awalnya
diagram ini dikembangkan sebagai suatu tool untuk mengontrol kualitas, juga
dapat digunakan untuk beberapa hal seperti:
1.
2.
3.

Menemukan akar dari penyebab sebuah permasalahan


Mengungkapkan hambatan yang terjadi dalam sebuah proses
Mengidentifikasi dimana dan mengapa sebuaah proses tidak berjalan dengan baik

10

Fishbone diagram ini juga dapat digunakan untuk mempertimbangan


risiko dari berbagai penyebab dan sub penyebab dari dampak tersebut, termasuk
risikonya secara global.
2.4.1 Manfaat Fishbone Diagram
Fishbone diagram adalah sebuah tool yang dapat digunakan untuk
menganalisis permasalahan baik pada permasalahan pada lingkup individu, tim,
maupun permasalahan pada lingkup organisasi. Manfaat penggunaan fishbone
diagram tersebut adalah sebagai berikut :
1. Memfokuskan individu, tim ataupun sebuah organisasi pada
permasalahan inti.
2. Memudahkan individu, tim ataupun sebuah organisasi untuk
mengilustrasikan gambaran singkat dari permasalahan yang sedang
dihadapi
Fishbone diagram dapat mengilustrasikan permasalahan secara
singkat sehingga individu, tim ataupun organisasi akan dengan
mudah mengkap permasalahan utama.
3. Menentukan kesepakatan mengenai

penyebab

dari

suatu

permasalahan
Dengan menggunakan teknik brainstorming, para anggota tim atau
organisasi

akan

memberikan

masukan

mengenai

penyebab

munculnya permsalahan. Berbagai masukan yang diterima dari


anggota akan didiskusikan untuk menentukan manakah dari
penyebab-penyebab tersebut

yang berhubungan dengan masalah

utama termasuk menentukan penyebab yang dominan.


4. Membangun dukungan anggota tim untuk menghasilkan sebuah
penyelesaian atau solusi
5. Setelah menentukan penyebab dari permasalahan yang ada
Langkah untuk menghasilkan solusi akan lebih mudah diterima oleh
anggota tim yang lain karena sebab dan akibat permasalahan tersebut
dijelaskan secara detail dengan fishbone diagram.
6. Memfokuskan tim pada penyebab masalah.
Fishbone diagram akan memudahkan anggota tim untuk fokus
kepada penyebab masalah, juga dapat mengembangkan lebih lanut
pada setiap penyebab yang telah ditentukan.
7. Memudahkan visualisisai hubungan antara penyebab dengan
masalah
11

8. Memudahkan tim beserta anggota tim untuk diskusi dan menjadikan


diskusi menjadi lebih terarah pada permasalahan dan penyebabnya.
2.4.2 Langkah-Langkah penyusunan Fishbone Diagram
Pada fishbone diagram terdapat langkah-langkah penyusunan. Langkahlangkah tersebut adalah sebagai berikut:
1.

Membuat kerangka fishbone diagram


Kerangka fishbone diagram

meliputi

kepala

ikan

yang

digambarkan pada bagian kanan diagram. Kepala ikan nantinya


akan digunakan untuk menyatakan masalah utama. Bagian kedua
merupakan sirip ikan yang akan digunakan untuk menuliskan
kelompok penyebab permasalahan. Bagian ketiga merupakan duri
2.

yang akan digunakan untuk menyatakan penyebab masalah.


Merumuskan masalah utama
Pada fishbone diagram permasalahan utama ditempatkan pada
bagian kanan yaitu pada bagian kepala ikan. Definisi sebuah
masalah oleh Scarvada (2004) dapat dikategorikan dalam enam
kelompok

yakni

materials/equipment

(peralatan),

machines

(mesin), people (sumber daya manusia), methods (metode),


environment

(lingkungan),

dan

measurement/management

(pengukuran). Kelompok penyebab masalah ini di tempatkan pada


3.

sirip ikan.
Identifikasi kategori penyebab.
Dimulai dari garis horizontal utama, kemudian buat garis diagonal
yang menjadi cabang. Setiap cabang mewakili sebab utama dari
masalah yang ditulis. Sebab ini diinterpretasikan sebagai cause,
secara visual dalam fishbone seperti tulang ikan. Kategori sebab
utama mengorganisasikan sebab sedemikian rupa sehingga masuk
akal dengan situasi.
4. Menemukan sebab potensial
Setiap kategori mempunyai sebab-sebab yang perlu diuraikan
melalui sesi brainstorming. Saat sebab-sebab dikemukakan,
tentukan dimana sebab tersebut harus ditempatkan dalam fishbone
diagram, yaitu tentukan di bawah kategori yang mana gagasan
tersebut harus ditempatkan. Sebab-sebab ditulis dengan garis

12

horizontal sehingga banyak tulang kecil keluar dari garis


diagonal. Pertanyakan kembali mensgapa sebab itu muncul
sehingga tulang lebih kecil (sub-sebab) keluar dari garis
horizontal tadi. Satu sebab bisa ditulis di beberapa tempat jika
5.

sebab tersebut berhubungan dengan beberapa kategori.


Menggambarkan fishbone diagram
Setelah proses interpretasi dengan melihat penyebab yang muncul
secara berulang, maka kesepakatan akan didapatkan melalui
konsensus tentang penyebab itu, sehingga sudah dapat dilakukan
pemilihan penyebab yang paling penting dan dapat diatasi.
Selanjutnya adalah memfokuskan perhatian pada penyebab yang
terpilih melalui konsensus tersebut untuk hasil yang lebih optimal.
Penerapan hasil analisis dengan menggunakan diagram tersebut
adalah dengan cara mengembangkan dan mengimplementasikan
tindakan korektif, serta memonitor hasil-hasil untuk menjamin
bahwa tindakan korektif yang dilakukan itu efektif dengan
hilangnya penyebab masalah yang dihadapi.
2.5 Five Forces Porter
Five Forces Porter Model merupakan suatu alat yang digunakan untuk
menganalisis kondisi industri dan pengembangan strategi bisnis atau lingkungan
persaingan yang dipublikasikan oleh Michael E. Porter (1979). Pada Five Forces
Porter Model terdapat lima faktor yang dapat menentukan persaingan dan daya
tarik pasar terhadap suatu industri. Daya tarik pada hal ini mengacu pada
profitabilitas industri secara keseluruhan, yang bertujuan untuk menilai apakah
sebuah industri tersebut menarik atau tidak menarik untuk dijalankan.

13

Gambar 2. 3 Five Forces Porter Model


1.

Persaingan antar industri sejenis


Faktor persaingan antar industri sejenis memiliki tujuan untuk
mengalisis persaingan antara satu perusahaan dengan perusahaan
lain. Instensitas persaingan antar industry sejenis tinggi apabila:
- Jumlah pesaing seimbang
- Pesaing yang beragam
- Pertumbuhan industri lambat, hal tersebut menueybabkan
persaingan berubah menjadi sarana perebutan pangsa pasar
-

untuk perusahan-perusahaan yang ingin berekspansi.


Kurangnya diferensiasi produk.
Biaya tetap, hal ini dapat menyebabkan tekanan terhadap semua
perusahaan untuk mengisi kapasitas yang sering menyebabkan

penurunan harga yang cepat saat terjadi kapasitas yang berlebih.


2. Daya tawar supplier
Supplier atau pemasok memiliki posisi (bargainain position)
tawar-menawar yang berbeda-beda terhadap perusahaan di dalam
Five Forces Porter. Supplier memiliki daya tawar yang tinggi
-

kepada sebuah industri apabila:


Pemasok didominasi oleh beberapa perusahaan dan

lebih

terpusat (satu pemasok untuk beberapa perusahan) sehingga


pemasook dapat menjual dengan memengaruhi harga, kualitas,
-

dan syarat-syarat penjualan.


Tidak terdapat produk pengganti lain yang dijual di satu industri.
Switching cost yang diperlukan ke produk tidak besar.
14

Suatu industri bukanlah satu-satunya tempat bagi supplier

menjual produknya.
3. Daya tawar pembeli
Daya tawar pembeli pada suatu industri dapat memberikan
pengaruh kepada perusahaan untuk menekan harga untuk turun,
serta dapat memberikan penawaran dalam peningkatkan kualitas
atau layanan. Daya tawar pembeli dipengaruhi oleh beberapa faktor
seperti jumlah produk pengganti, pengaruh mutu produk, jumlah
konsumen, dan kesensitifan konsumen terhadap harga. Daya tawar
-

pembeli dapat digolongkan tinggi apabila:


Kelompok pembeli terpusat atau membeli dalam jumlah besar

pada perusahaan.
Produk yang dibeli merupakan produk standar yang banyak
ditemukan sehingga pembeli akan dengan mudah menemukan

penjual alternatif yang memberikan layanan lebih baik.


Pembeli menghadapi switching cost yang kecil.
Pembeli memiliki informasi yang lengkap pada suatu produk,
misalnya: informasi tentang permintaan, harga pasar dan biaya

produksi yang dilaksanakan perusahaan.


4. Ancaman pendatang baru
Pendatang baru akan menambah tingkat kompetisi dalam suatu
industri, adapun yang memengaruhi ancaman pendatang baru
tergolong tinggi apabila:
Teknologi mudah ditiru oleh siapa saja.
Tidak ada kebijakan pemerintah yang mengatur.
Dapat dijalankan denan skala ekonomi yang rendah.
Banyaknya diferensiasi produk.
Exit barriers rendah.
Switching cost pembeli rendah atau tidak ada.
Akses ke saluran distribusi mudah.
5. Ancaman produk pengganti
Dalam Five Forces Porter Model persaingan terhadap produk yang
-

dihasilkan perusahaan tidak hanya berasal dari perusahaan yang


memproduksi

produk

yang

sama

sehingga

menimbulkan

persaingan langsung (direct competition), melainkan dapat juga


berasal dari perusahaan yang memproduksi produk yang memiliki
kesamaan fungsi dengan produk yang dihasilkan perusahaan.
Produk seperti itu dinamakan produk subsitusi (substitute

15

products). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi ancaman


-

produk pengganti tinggi yaitu


Jumlah produk pengganti, pembeli dapat dengan mudah
menemukan produk pengganti dengan harga menarik atau

kualitas lebih baik.


Pembeli dapat beralih dari satu produk atau layanan lain dengan
biaya murah.

16

BAB III
ANALISIS DAN DISKUSI
Permasalahan yang terjadi pada industri ritel dapat ditelisik menggunakan
dua alat analitik yakni Five Forces Porter dan diagram fishbone. 5 porters forces
digunakan untuk mengidentifikasi permasalahan yang timbul karena faktor
lingkungan eksternal industri ritel. Faktor lingkungan eksternal adalah faktorfaktor yang memengaruhi atau dipengaruhi suatu industri atau bisnis namun tidak
bisa dikontrol oleh industri atau bisnis tersebut. Menurut Milliken (1987),
ketidakpastian lingkungan eksternal disebabkan ketidakmampuan organisasi
untuk memprediksi lingkungannya, atau meprediksi faktor-faktor apa saja yang
menjadi ciri lingkungan hidup. Faktor-faktor ini biasanya diklasifikasikan menjadi
dua kelompok (Bourgeois, 1980) yaitu faktor umum lingkungan eksternal bisnis
umum dan faktor tugas lingkungan eksternal bisnis.
3.1 Five Forces Porter
Lingkungan umum adalah lingkungan yang relatif memiliki pengaruh
tidak langsung pada organisasi. Lingkungan ini biasanya terdiri dari faktor-faktor
seperti sebagai nilai-nilai sosial, pendidikan, politik, ekonomi, hukum, perilaku,
demografi, alami lingkungan, sumber daya alam, dan teknologi (Asheghian &
Ebrahimi, 1990; Grant, 1999). Ditambah lagi, Asheghian & Ebrahimi (1990) dan
Grant (1999) berpendapat bahwa lingkungan tugas adalah lingkungan terdekat
organisasi dan unsur-unsur yang membuat itu mempengaruhi organisasi secara
langsung. Lingkungan ini terdiri dari faktor-faktor seperti konsumen, pesaing,
pemasok, tenaga kerja pasar, industri dan sumber daya keuangan. Selanjutnya,
Daft et al. (1988) dan Auster & Choo (1993) berpendapat bahwa faktor dalam
lingkungan tugas biasanya membuat ketidakpastian yang lebih besar dari faktor
lingkungan umum. Hal ini diyakini karena lingkungan tugas yang terhubung
dalam jangka pendek, lebih stabil daripada lingkungan umum yang terhubung
dalam jangka panjang. Maka dari itu alat analitik Five Forces Porter digunakan
sebab didalamnya membahas aspek lingkungan eksternal terdekat dan
berpengaruh secara langsung terhadap industri ritel. Berikut adalah analisis Five
Forces Porter industri ritel di Indonesia:

17

Kekuatan-Kekuatan Yang Mempengaruhi Persaingan Industri Ritel Di Indonesia

Threats of new entrants


(Sedang)

Bargaining power of buyer


(Sedang)

Industry Rivalry
(Tinggi)

Bargaining power of supplier


(Kuat)

Threats of subtitue products


(Cukup Kuat)

Gambar 3.1 Hasil analisis Five Forces Porter industri ritel di Indonesia
(Soliha, 2008)
Semakin kuat posisi masing-masing aspek pada analisis Five Forces
Porter, maka semakin sulit untuk suatu bisnis berada di industri tersebut.
Sehingga menyebabkan turunnya daya tarik keseluruhan industri. Anehnya,
industri ritel tetap menjadi primadona hingga saat ini di Indonesia. Terbukti dari
Indonesia berada di peringkat 12 dunia dalam Indeks Pembangunan Ritel Global
(GRDI) 2015 yang dirilis AT Kearney.
Pada hasil analisis penelitian Soliha (2008) aspek yang sedang adalah daya
tawar pemasok dan ancaman pendatang baru. Daya tawar pemasok cenderung
tidak lebih besar dibanding peritel. Sebab pemasok menghasilkan produk dan
tidak bisa memasarkannya kepada konsumen. Pemasok cenderung menjual
dengan kuantitas yang sangat besar, sedangkan konsumen lebih suka berbelanja
dalam kuantitas yang kecil. Maka kebergantungan pemasok pada peritel cukup
tinggi, karena peritel yang mampu memasarkan dan menjual produk mereka
dengan cara yang lebih diterima konsumen. Ancaman pendatang baru pun juga
tidak begitu mengancam industri ritel. Sebab, pada industri ritel banyak pemain
yang menggunakan strategi economic of scale sehingga harga produk yang
18

mereka tawarkan kompetitif. Selain itu mendapatkan pemasok yang sesuai dan
berkualitas sangat penting bagi pemain ritel. Sayangnya, pemasok yang seperti itu
sudah banyak dikontrak oleh pemain-pemain lama yang lebih dulu ada di industri
ritel. Sehingga apabila pendatang baru tidak memiliki kapital yang besar, mereka
akan sulit berkompetisi dalam industri ini. Aspek yang cukup kuat berdasarkan
penelitian Soliha (2008) adalah ancaman produk subtitusi. Hal ini disebabkan
banyaknya pemain dalam industri ritel dengan berbagai macam fasilitas dan
model bisnis, sehingga switching cost untuk beberapa ritel akan cenderung rendah
sehingga konsumen memiliki banyak pilihan pengganti antar ritel.
Pada aspek ancaman produk pengganti dapat digolongkan cukup kuat.
Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Soliha (2008), produk pengganti
ritel pada hal ini adalah pasar tradisional ataupun toko tradisional. Keberadaan
pasar maupun toko tradisional di Indonesia sudah ada sejak dahulu sebelum
adanya ritel modern yang masuk ke Indonesia. Mayoritas penduduk Indonesia
merupakan masyarakat pada kalangan menengah yang sangat sensitif terhadap
harga, dimana keberadaan pasar maupun toko tradisional ini dibutuhkan oleh
masyarakat Indonesia karena harga yang relatif lebih murah dan masih bisa
melakukan tawar menawar harga jika dibandingkan dengan ritel modern seperti
minimarket, supermarket, hypermarket dan lain-lain. Faktor lain yang membuat
pasar dan toko tradisional masih dubutuhkan oleh masyarakat Indonesia yakni
karena lokasinya yang yang lebih dekat dengan tempat tinggal masyarakat
kalangan ekonomi menengah kebawah. Selain adanya keberadaan pasar maupun
toko tradisional yang lebih dahulu ada di Indonesia, Soliha (2008) juga
mengungkapkan bahwa ada produk pengganti lain yang akan mengancam
keberadaan ritel yakni sistem ritel dan sistem berbelanja baru dengan
menggunakan media saluran telepon, internet, maupun dengan sistem lain dengan
memanfaatkan kecanggihan teknologi.
Aspek yang kuat pada hasil analisis Five Forces Porter adalah daya tawar
konsumen dan kompetisi antar pemain dalam industri ritel. Aspek yang memiliki
kekuatan besar inilah permasalahan utama yang harus dihadapi pemain industri
ritel Indonesia. Daya tawar konsumen tinggi, karena model bisnis ritel adalah
menjual secara ecer kepada konsumen akhir. Dimana konsumen akhir berarti

19

masyarakat Indonesia. Sehigga industri ritel sangat bergantung pada kondisi dan
daya beli masyarakat Indonesia. Saat ini konsumen di Indonesia semakin pintar
mengevaluasi suatu produk atau ritel. Mereka juga semakin pintar mencari,
membandingkan ritel satu dan lainnya yang menjual produk yang cenderung
sama. Selain itu, mereka juga semakin tidak loyal kepada perusahaan atau produk
(Strabiz Management Consulting, 2015). Hal itu membuat daya tawar konsumen
menjadi tinggi. Tidak hanya itu, yang terpenting adalah daya beli konsumen. Saat
ini sudah banyak masyarakat yang cerdas dan bisa mengelola keuangannya.
Apabila ekonomi Indonesia sedang krisis, maka secara otomatis, masyarakat
mengerem belanja mereka. Ketika masyarakat, dalam hal ini konsumen ritel tidak
berbelanja, maka tidak ada penjualan dan tidak ada uang masuk dan mengalir di
arus kas ritel. Segencar apapun promosi dan semurah apapun produk yang dijual,
ketika daya beli konsumen sangat rendah akan menjadi malapetaka untuk industri
ritel.
Untuk menghadapi masalah ini, solusi yang dapat ditawarkan untuk
pemain baru ritel adalah, membuat model bisnis dengan target konsumen
masyarakat dengan daya beli tinggi. Masyarakat jenis ini akan lebih stabil ketika
ada krisis ekonomi di Indonesia dan mulai menyasar pasar luar negeri sejak awal
dengan memanfaatkan kemudahan online retailing saat ini. Untuk pemain lama
ritel yang model bisnis serta target konsumennya sudah firmed, dapat melakukan
pengembangan produk dan penetrasi pasar ke konsumen berdaya beli tinggi.
Selain itu, ketika daya beli masyarakat sangat turun sebaiknya memberhentikan
operasional ritel sementara untuk menghindari kerugian akibat harus tetap
membayar beban operasional dan beban gaji seperti biasa sedangkan penjualan
menurun. Hal ini dapat disamarkan dengan melakukan perbaikan. Setelah
ekonomi sudah membaik, operasional ritel dilanjutkan lagi seperti biasa dan
menggunakan strategi promo agar menutupi turunnya penjualan saat krisis
ekonomi. Solusi lainnya adalah dengan menggunakan sistem komisi untuk
karyawan ritel. Sehingga karyawan lebih terdorong memberikan performa yang
bagus dan ketika ekonomi lesu sehingga penjualan menurun, pemilik ritel tidak
perlu memberi komisi pada karyawan namun hanya gaji pokok. Dengan cara ini,
kedua belah pihak tidak akan ada yang dirugikan.

20

Aspek pada Five Forces Porter selanjutnya yang tergolong kuat yakni
pada aspek persaingan dengan industri sejenis. Persaingan dengan industri sejenis
khususnya pada industri ritel di Indonesia saat ini tidak hanya persaingan antara
ritel tradisional dengan ritel modern saja, tetapi persaingan antara sesama ritel
moder juga terjadi. Besarnya jumlah penduduk, kondisi perekonomian yang stabil,
dan tingkat keamanan Indonesia akan dapat menarik calon pendatang baru untuk
melakukan investasi di Indonesia. Maka persaingan yang terjadi pada sesama ritel
modern saat ini dapat dikatakan semakin ramai, dinamis dan menuntut para peritel
untuk harus selalu berinovasi dalam menjalankan bisnis mereka.
Menurut Zoel (2012), persaingan dalam industri ritel juga ditandai dengan
hadirnya format-format ritel yng berubah yang timbul karena konsumen semakin
pintar dalam mengevaluasi dan memilih sehingga mereka mencari alternatifalternatif berbelanja yang lain. Hadirnya format ritel yang baru tersebut juga
bertujuan untuk menciptakan segmen-segmen konsumen baru. Format ritel yang
dimaksud yakni ritel dengan bentuk yang lain seperti factory outlet, specialty
store, ritel dalam bentuk online dan ritel basic kini menuju ke arah lifestyle seperti
minimarket yang dulunya hanya menjual produk untuk kebutuhan sehari-hari kini
juga menjual produk-produk untuk kebutuhan gaya hidup (kartu perdana seluler,
kartu tol, pulsa untuk listrik dan lain-lain). Harga masih penting dalam industri
ritel, terutama bagi konsumen Indonesia yang sensitif terhadap harga, tetapi kini
harga bukan menjadi faktor utama pada industri ritel. Perkembangan jaman yang
semakin modern kini tanpa disadari membuat kebutuhan dan keinginan
masyarakat terus berkembang dan mempengaruhi perilaku konsumen dalam
berbelanja (Semuel, 2005). Experience kini menjadi faktor penting bagi
konsumen, baik product experience maupun brand experience. Semua restauran
maupun cafe menjadi sangat ramai pada saat ini, apple store menjadi gerai yang
ramai dibandingkan dengan lima tahun yang lalu. Dengan kata lain, masyarakat
saat ini mencari bersaing untuk memuaskan keinginan wants mereka
dibandingkan dengan needs, karena konsumen memiliki daya beli.
Agar dapat memenangkan persaingan, maka solusi yang mungkin dapat
dilakukan oleh para perbisnis ritel adalah dengan memahami tren perilaku pasar
saat ini maupun di masa yang akan datang. Tren ritel saat ini yakni ke ranah

21

pemuasan gaya hidup (lifestyle), sesuai dengan jumlah masyarakat kelas


menengah yang semakin meningkat, penguatan daya beli dan kecepatan
informasi. Masyarakat kalangan kelas ekonomi menengah saat ini mencari produk
barang atau jasa berdasarkan kualitas bukan lagi berdasarkan harga yang sangat
murah karena mereka memiliki budget untuk kualitas. Sehingga kini yang dicari
adalah produk dengan kualitas baik dengan harga yang terjangkau. Jika pebisnis
ritel dapat memanfaakan tren dengan baik, maka akan meningkatkan angka
pertumbuhan bisnis mereka dengan sangat baik.
3.2 Analisis Fishbone
Seperti yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, bisnis ritel merupakan
bisnis penjualan barang atau jasa kepada konsumen untuk dipakai langsung oleh
konsumen tersebut. Harga yang umum di dalam ritel merupakan harga yang biasa
diketahui masyarakat. Jika ditelusuri kembali, harga tersebut tenyata memiliki
selisih yang jauh dari harga yang dijual oleh produsen. Dari sini dapat diketahui
bahwa terdapat biaya dalam menyalurkan barang dari produsen ke tangan
konsumen atau biasa disebut dengan distribusi. Tidak hanya menyalurkan, proses
distribusi

juga

termasuk penyimpanan,

penanganan

pendistribusian dan

pengendalian barang.
Ada 3 hal umum yang sering digunakan dalam pembahasan pada rantai
distribusi, yaitu :
1

Distrbusi langsung, dimana barang di mana barang di pindahkan

langsung dari produsen ke toko pelenggan.


Distribusi primer, yaitu perpindahan barang dari produsen ke gudang

perantara.
Distribusi sekunder, yaitu perpindahan barang dari gudang perantara
ke toko pelanggan.

Di dalam proses distribusi ini akan terjadi hal-hal sehingga mengakibatkan


selisih harga yang tinggi antara barang di produsen dan barang sampai di
konsumen. Penulis menggunakan analisis fishbone untuk menelusuri penyebab
terjadinya selisih harga yang tinggi. Berikut merupakan gambar fishbone.

22

People

Product

Jumlah supply produsen Banyak


sangat tinggi
distributor (mata rantai)

Selisih Harga

Produsen dan Ritel Tinggi

uang keamanan oknum preman

Process

Gambar 3. 2 Analisis Fishbone


Product
Produsen hanya menyediakan produk untuk dijual dalam jumlah yang sangat
besar. Oleh karena itu, konsumen tidak bisa langsung membeli dari produsen
mengingat konsumsi rumah tangga tidak akan sampai sebanyak jumlah yang
disediakan oleh produsen. Distributor masuk untuk menjadi perantara bagi
produsen dan konsumen. Tentu kegiatan menghubungkan konsumen dan produsen
akan menghasilkan biaya pula.
People
Pihak yang terlibat dalam pendistribusian barang dari produsen hingga langsung
ke tangan konsumen sangatlah banyak sehingga membuat rantai pasok yang
sangat panjang. Setiap perpindahan barang antara distributor akan menghasilkan
biaya sehingga barang akan memiliki selisih harga yang besar dengan harga saat
dibeli di produsen ketika sampai di konsumen.
Process
Ketika melakukan perjalanan untuk distribusi, sering kali ditemukan oknumoknum yang akan menambah biaya distribusi. Oknum tersebut biasanya
merupakan

preman

yang

akan

menagih

uang

keamanan

dengan

memberhentikan truk pendistribusi di jalan. Perusahaan umumnya sudah


menyadari akan fenomena ini sehingga telah mengalokasikan uang tambahan.
Tidak hanya di jalan, oknum preman juga kerap dijumpai di pasar (market).
Uang keamanan kembali menjadi biaya tambahan untuk menjaga posisi dalam
23

pasar. Dengan adanya uang keamanan tidak sembarangan pemain baru bisa
masuk ke dalam pasar karena pemain lama telah memegang komunikasi dengan
oknum preman.
Menurut Priyandana (2015) dikutip dari Kotler dan Armstrong (2001),
distribusi konvensional memiliki kanal yang tediri dari satu atau lebih produsen,
pedangang besar, dan pedagang ritel yang masing-masing berdiri secara terpisah
dan berusahan untuk memaksimalkan keuntungan tiap-tiap pihak. Karena setiap
anggota model distribusi konvensional bekerja secara independen dan terpisah,
tidak ada yang memiliki kontrol penuh terhadap anggota lainnya. Produsen tidak
dapat mengontrol distributor produknya mengenai dimana produk akan dijual, dan
tidak bisa mengontrol harga yang dibebankan oleh distributor pada konsumen.
Tidak ada otoritas formal yang memberikan kebijakan atau legitimasi untuk
mengontrol pihak-pihak yang terlibat dalam distribusi. Ditambah lagi dengan
adanya tujuan setiap entitas untuk memaksimalkan profit masing-masing
membuat sistem distribusi secara holistik menjadi rendah perhatian. Perlu adanya
solusi kreatif untuk menangani hal ini jika suatu perusahaan ingin tetap bertahan
dalam jangka panjang dibandingkan hanya terus memikirkan profit yang lebih
tinggi dalam jangka pendek. Karena di era saat ini inovasi dalam teknologi akan
menguntungkan bagi siapa saja yang melihat peluang dan meninggalkan pemain
yang hanya diam.
Masyarakat di era digital akan menuntut teknologi yang yang semakin
canggih untuk memudahkan aktivitas yang padat sehingga bisa lebih efisien.
Demikian pula di industri ritel saat ini dan di masa depan. Di kemudian hari,
teknologi akan semakin mempermudah perkembangan industri ritel sehingga
lebih efisien. Tidak hanya bagi pebisnis ritel, teknologi juga akan menguntungkan
konsumen akhir di masa depan. Dengan adanya teknologi informasi, proses
distribusi di dalam ritel akan lebih sederhana dan memperpendek rantai pasok
yang membuat selisih harga di produsen dan tangan konsumen tinggi. Informasi
akan lebih mudah diterima dan diolah sehingga lebih bermanfaat dalam membuat
rantai pasok lebih efisien. Hal ini bisa menjadi solusi kreatif bagi perusahaan
untuk bertahan.

24

E-commerce yang sedang giat berkembang di Indonesia bisa menjadi salah


satu jalan dalam menyederhanakan proses distribusi dan menjadi solusi untuk
sistem distribusi yang holistik. Solusi dari masalah yang dihadapi model distribusi
konvensional adalah penerapan sistem bauran pemasaran baik secara vertikal
maupun horizontal (Evangelista et al, 1984, dikutip dari Priyandana, 2015).
Namun, untuk pembahasan strategi distribusi melalui e-commerce, bentuk sistem
pemasaran vertikal merupakan yang paling mendekati dan banyak digunakan.
Model distribusi dengan sistem pemasaran vertikal adalah bentuk jaringan
yang terdiri dari dua atau lebih anggota dalam model distribusi, misalnya
produsen dan pedagang besar, pedagang besar dan pedagang ritel, atau produsen
dengan beberapa pedang besar dan pedangang ritel (Evangeli et al, 1984, dikutip
dari Priyandana, 2015). Jadi, semua anggota dalam model distribusi bertindak
sebagai satu sistem yang utuh.
Contoh model tersebut dapat diambil dari perusahaan e-commerce yang
menerbitkan dan menjuak buku. Perusahaan ini sudah banyak di Indonesia dan
mengikat kerja sama dengan sekumpulan penulis buku sebagai supplier yang
memberi pasokan secar rutin. Perusahaan penerbitan ini juga memiliki situs
sendiri untuk mempromosikan, memasarkan, dan menjual produk tersebut,
bahkan perusahaan ini juga ikut dalam menangani pendistribusian produk secara
final. Contoh ini menjelaskan bawhwa perusahaan e-commerce tersebut
memahami semua tahapan proses produksi buku hingga distribusi ke tangan
konsumen harus berada dalam kontrolnya. E-commerce di atas merupakan model
distribusi yang lebih sederhana dibandingkan harus berurusan dengan distributor
lagi secara rutin.
Gagasan lain yang bisa dibuat oleh suatu perusahaan e-commerce dalam
meningkatkan efisiensi biaya distribusi dan pengiriman adalah dengan memiliki
armada distribusi sendiri di kota X, menjanjikan gratis biaya pengiriman di kota X
kepada konsumen, dan menjanjikan waktu pengiriman maksimalkan 24 jam
sampai ke tangan konsumen.
Selain e-commerce di bidang penerbitan buku. Terdapat contoh solusi lain
dari masalah distribusi barang ritel. Limakilo.id misalnya, platform penghubung
antara petani dan konsumen yang akan melakukan pre-order hasil pertanian

25

dengan minimal pemesanan lima kilogram. Limakilo.id mengumpulkan para


calon pembeli sehingga bisa membeli hasil tani langsung dari petani.
Petani menjual hasil pertanian dengan harga murah ke tengkulak, namun
di tangan konsumen akhir, barang menjadi jauh lebih mahal. Dalam hal ini
tengkulak bisa mengambil keuntungan yang sangat besar dan di sisi lain petani
hanya mendapat keuntungan yang sangat minim sehingga sampai saat ini
kesejahteraan petani tetap kurang terjamin. bekerja sama dengan limakilo.id
setidaknya bisa menambah kesejahteraan petani, karena harga yang akan dijual
petani melalui limakilo.id akan lebih tinggi dibandingkan jika harus melalui
tengkulak. Harga di tangan konsumen pun menjadi lebih murah dibandingkan
harga pasar karena langsung dibeli melalui petani. Namun demikian, lima
kilogram masih dianggap angka yang cukup besar untuk konsumsi rumah tangga.
Hal ini bisa diatasi jika angka lima kilogram merupakan pembelian kolaborasi
dari beberapa rumah tangga yang berdekatan.
Pendapat lain disebutkan bahwa akan timbul tengkulak baru yang bisa
membeli melalui limakilo.id dan menjualnya dengan harga pasar. Hal ini menjadi
tidak masalah jika ide utama dari limakilo.id salah satunya adalah untuk
mensejahterakan petani. Petani akan tetap menikmati harga jual yang lebih tinggi
dibandingkan menjualnya melalui tengkulak. Tengkulak yang membeli melalui
limakilo.id pun pada akhirnya tidak akan bisa berantai banyak karena tetap harus
menjual dengan harga di pasaran.

26

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
1. Terdapat tiga permasalahan utama yang di industri ritel di Indonesia, yaitu
pada kompetisi yang kuat, daya beli konsumen yang tinggi, dan distribusi.
2. Kompetisi di dalam industri ritel Indonesia semakin sengit dengan banyak
munculnya pendatang baru ritel baik dari Indonesia maupun dari luar negeri.
3. Daya tawar konsumen tinggi, konsumen semakin sadar dengan perkembangan
ekonomi. Jika ekonomi sedang lesu, konsumen akan cenderung memilih
mengurangi pembelian dan konsumsi barang ritel sehingga bisnis ritel juga
akan berpengaruh.
4. Proses distribusi ritel bisa membuat selisih harga jual di produsen dan
konsumen menjadi tinggi. Hal ini disebabkan oleh banyaknya pihak
distributor yang terlibat sehingga akan menghasilkan biaya setiap perpindahan
tangan di distributor. Produsen yang memberi supply dalam jumlah sangat
banyak menjadi peluang bagi distributor sebagai penghubung antara produsen
dan konsumen yang hanya membutuhkan konsumsi sedikit. Selain itu, biaya
yang diakibatkan karena oknum preman juga bisa menambah biaya distribusi.
4.2 Saran
1. Untuk bertahan di kompetisi yang sengit, perusahaan harus memikirkan solusi
kreatif dan inovatif yang akan menjadi nilai tambah bagi konsumen.
2. Perusahaan startup bisa memilih target pasar dengan daya konsumsi tinggi
yang pada umumnya tingkat konsumsi tidak akan banyak dipengaruhi saat
ekonomi lesu, sehingga ekonomi yang lesu tidak terlalu berpengaruh pada
perusahaan. Dan ketika ekonomi lesu, perusahaan harus secara tepat
mengambil kebijakan untuk efisiensi proses bisnis.
3. Proses distribusi holistik dengan menggunakan teknologi dan informasi bisa
menyederhanakan rantai pasok yang saat ini sangat panjang.

27

Daftar Pustaka
Asheghian, H. P., & Ebrahimi, P. (1990). International Business. New
York: Harper Collins.
Auster, C., & Choo, C. W. (1993). Environmental Scanning by CEOs in
two Canadian Industries. Journal of the American Society for Information Science
and Technology , 44 (4), 194-203.
Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Kementrian Keuangan.
(2013, Mei 1). BPPK Kemenkeu : Publikasi. Dipetik Oktober 4, 2016, dari BPPK
Kemenkeu website: http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/418artikel-soft-competency/10999-teknik-ilustrasi-masalah-fishbone-diagrams
Berman, B., & Evans, J. R. (2008). Retail Management : A Strtegic
Approach 11th Edition.
Bourgeois, L. J. (1980). Strategy and environment: a conceptual
integration. Academy of Management Review , 5 (1), 25-39.
Daft, R. L., Sarmunen, L., & Parks, D. (1988). Chief executive scanning
environmental characteristics and company performance: an empirical study.
Strategic Management Journal , 9 (2), 123-139.
Dahwilani, D. M. (2015). Sindonews.com. Dipetik Oktober 1, 2016, dari
http://ekbis.sindonews.com/read/1007773/34/pertumbuhan-ritel-indonesiaperingkat-12-dunia-1433163799
Gaspersz, V. d. (2011). Integrated Management Problem Solving :
Panduan bagi Praktisi Bisnis dan Industri . Vinchristo Publication.
Glienmourinsie, D. (2016). sindonews.com. Dipetik October 1, 2016,
dari http://ekbis.sindonews.com/read/1141673/34/pengusaha-ritel-tak-berdayahadapi-gempuran-e-commerce-1474614984
Grant, R. M. (1999). Contemporary strategy analysis (2nd ed.). Oxford:
Blackwell.
Hukum Online. (2012, Juli 2). Hukum Online. Dipetik Oktober 3, 2016,
dari Hukum Online:
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4fceff7b57828/ketentuan-tentangjarakminimarket-dari-pasar-tradisional
Kotler, P., & Armstrong. (2001). Prinsip Prinsip Pemasaran. Jakarta:
Erlangga.
Milliken, F. J. (1987). Three types of perceived uncertainty about
environment: state, effect, and response uncertainty. Academy of Management
Review , 12, 133-143.
28

Mind Tools. (t.thn.). Mind Tools : Toolkit. Dipetik Oktober 4, 2016, dari
Mind Tools website: https://www.mindtools.com/pages/article/newTMC_03.htm
Ningsih, D. L. (2014, November 11). Viva . Dipetik Oktober 6, 2016,
dari Viva website: http://log.viva.co.id/news/read/557018-inilah-persainganindustri-ritel-di-indonesia
Priyandana. (2015). Marketeers. Dipetik October6 2016, dari Solusi
Kreatif Strategi Distribusi di Era Digital: http://www.marketing.co.id/solusikreatif-strategi-distribusi-di-era-digital/
Quick Start . (2014, Mei 7). Quick Start : Five Forces Model. Dipetik
Oktober 4, 2016, dari Quick Start website: http://quickstart-indonesia.com/fiveforces-model/
Rismahardi, G. G. (2012). Aplikasi Fishbone Analysis dalam
Meningkatkan Kualitas Pare Putih di Aspakusa Makmur Kabupaten Boyolali.
Semuel, H. (2005). Respons Lingkungan Berbelanja Sebagai Stimulus
Pembelian Tidak Terencana pada Toko Serba Ada (Studi Kasus Carrefour
Surabaya). Jurnal Manajemen & Kewirausahaan , 152-170.
Soliha, E. (2008). Analisis Industri Ritel di Indonesia. Jurnal Bisnis dan
Ekonomi , 15 (2), 128-142 .
ST. (2015). businessnews.co.id. Dipetik October 1, 2016, dari
http://www.businessnews.co.id/ekonomi-bisnis/aprindo-pertumbuhan-pasar-ritelkurang-menggembirakan.php
Strabiz Management Consulting. (2015). startegidanbisnis.com. Dipetik
October 6, 2016, dari http://strategidanbisnis.com/artikel/640/terus-pahamiperilak
Suryanto. (2012). Antaranews.com. Dipetik October 1, 2016, dari
http://www.antaranews.com/berita/341573/pemerintah-batasi-jumlahkepemilikan-waralaba-modern
Tami. (2011). Distribusi dalam Bisnis Ritel. Dipetik October 7, 2016,
dari http://tamibisnis.blogspot.co.id/2011/11/distribusi-dalam-bisnis-ritel.html
Wheelen, T. L., & Hunger, J. D. (2012). Strategic Management and
Business Policy. Pearson.
Yasinta, V. (2016). finansial bisnis. Dipetik October 1, 2016, dari
http://finansial.bisnis.com/read/20160511/9/546317/bi-penjualan-eceran-maret2016-meningkat
Zoel. (2012, Oktober 4). Marketing.co.id. Dipetik Oktober 6, 2016, dari
Marketing website: http://www.marketing.co.id/ritel-harus-menjadi-bagian-darigaya-hidup/

29

30

Anda mungkin juga menyukai