Anda di halaman 1dari 3

NAMA : INDAH ANNISA

UNIT

: 2 (DUA)

MK

: ADAT BUDAYA ACEH

NIM : 12.04.3.0597
Salah seorang dari mereka biasanya perkara itu
dapat diselesaikan
dikampungnya sendiri dan jangan
sampai ketangan Hakim.
Jika perdamaian tidak berhasil, maka suami tidak
boleh memperpanjang perkara itu dan istrinya lantas di
ceraikan. Biasanya talak di ucapkan dengan lisan dan
diberikan pinang satu, dua, atau pun tiga untuk tanda
beberapa thalak (taleuek). Peristiwa ini di sampaikan
oleh istri kepada keuctjhik dan teungku meunasah yang
bersangkutan dengan membawa pinang menjadi tanda
thalak itu.

WAKTU PERTAMA SESUDAH KAWIN


Menjemput Darabaro (Tuengdarabaro)
Upacara perkawinan berlangsung beberapa waktu,
satu atau dua tahun, darabaro belum lagi mengunjungi
mertuanya, Maka ia dijemput oleh ibu dari suaminya.
Penjemputan ini dinamakan Tueng darabaro.
Setelah diberitahukan ibu linto, maka darabaro
diiringin oleh beberapa perempuan, terdiri dari Ahli
waris dan perempuan sekampungnya. Darabaro
membawa 6 20 talam (idang)kepada mertuanya. Adat
membasuh tangan (srah djaroe) diselenggarakan di
rumah ibu linto. Ibu linto mengunjung tinggi

(peusunteng) darabaro yang menjadi menantunya. Di


beberapa tempat diaceh mertua perempuan (tuantha)
yang bersangkutan memberikan setengah dari mas
kawin yang pernah dikembalikan dulu setelah selesai
pernikahan disebut orang aceh teunindeh.
Famili linto menghadiahkan kepadanyasirih (bri ranub)
dan telur. Kunjungan ini di sebut djak bri ranub
darabaro. Pada hari kembalinya darabaro kerumahnya
itu disebut woe bak meunaro. Adat meunaro
( penjemputan) dapat dikatakan selamanya dilakukan,
meski pun suami istri telah pernah kawin sebelum nya.
Pada kedua hari raya islam disebut Uroe Raja yang
berupa wang dari mertuanya sebagai sambutan
sembahnya. Sesudah perkawin 3 tahun darabaro tidak
dapat lagi hadiah dari mertuanya. Jika salah satu pihak
mengalami kemalangan biasanya membawa hadiah
(bungong djaroe). Bungong djaroe dapat di anggap
sebagai sumbangan untuk melandai hal yang telah
terjadi.

Kawin banyak meukawen le


Di aceh Darussalam dahulu yang biasanya kawin
banyak atau lebih dari seorang ialah orang-orang
terkemuka, Misalnya Tuanku, Tjut, Meurah, Uleebalang,
Ulama Besar dan orang yang mempunyai Gelar (Ureung
meunama). Uleebalang /Keudjruen dan pembesar lain
nya dahulu kala yang kawin dengan anak perempuan
seorang panglima perang, panglima kaum, dan orang
kaya.
Dahulukala orang kaya diaceh memelihara Budak
perempuannya sebagai isrti, perempuan Nias atau
turunan Nias yang dipujainya jika ada, dikawininya juga,
karena kecantikannnya. Meski pun perempuan ini budak
nya akan tetapi hak anak yang di peroleh dari istrinya

ini adalah serupa hak anak yang diperoleh juga dari istri
bangsawan bukan melainkan budak. Perbudakan di
aceh lenyap, sejak pemerintahan Belanda menguasai
aceh. Sebab itu perbudak an di aceh lenyap pertahap2
tiada lagi, hanya ada selisih persilangan perkawinan
antara aceh dan belanda yang menjajah.

Memperbanyak Penduduk
Pemerintah aceh selalu berictiar untuk memperbanyak
nya istri. Salah satu jalan bangsa asing islam di
benarkan kawin dengan wanita aceh, walaupun turunan
bangsawan. Lazimnya pada setiap Hari raya puasa dan
Hari haji orang aeh melakukan penyembelihan kerbau
atau lebu jantan yang gemuk dan muda. Beberapa
banyak nya daging harus di bawa linto kerumah istri
nya, tergantung besarnya mas kawin. Kalu mas kawin
nya 1 bungkal emas, maka daging nya dibawa hendak
nya seharga 6 Ringgit.
Suatu lagi hal yang sudah di adatkan di aceh yaitu
selama masa 1 atau 2 orang anak, istri tidak pernah
dibelai sepenuhnya oleh suami, tetapi oleh orangtua
sendiri. Jika orang tua tidak mampu disebut masa goh
pumeukleh

Anda mungkin juga menyukai