Anda di halaman 1dari 5

Sejarah Suku Tidore

Orang Tidore mendiami pulau Tidore yang terletak di sebelah selatan Pulau Ternate atau di
sebelah barat Pulau Halmahera, daerah mereka termasuk dalam wilayah Kabupaten Maluku
Utara, Provinsi Maluku. Sebagian lagi mendiami beberapa tempat di Pulau Bacan dan Obi
serta bagian barat pulau Halmahera, jumlah populasinya sekitar 45.000 jiwa.

Ras asli orang Tidore ialah Melanesia “Ras berkulit coklat” yang masih berkerabat dengan
Fiji, Tonga dan beberapa bangsa kepulauan yang tersebar dikepulauan Samudra Pasifik,
Namuin ras asli tersebut kian menjadi masyarakat minoritas karena dominasi kaum
pendatang “Arab, ras kaukasoid, cina, ras mongoloid” yang telah berbaur hingga membentuk
ras campuran.

Bahasa Suku Tidore

Orang Tidore memiliki bahasa sendiri yakni bahasa Tidore, disamping itu mereka juga
memahami bahasa Ternate yang sejak lama menjadi lingua franca di kawasan Halmahera.
Para pengamat kebudayaan didaerah Maluku Utara dan Halmahera Tengah pernah membuat
pembagian daerah kebudayaan yakni Daerah Kebudayaan Ternate, Daerah Kebudayaan
Tidore, dan Daerah Kebudayaan Bacan. Daerah Kebudayaan Tidore sendiri mencakup
Kepulauan Tidore, dan Halmahera Tengah/Timur.

Mata Pencaharian Suku Tidore

Mata pencaharian utama masyarakat ini ialah menangkap ikan di laut, hasil laut seperti ikan
tongkol, cumi-cumi dan teripang mereka jual ke Ternate untuk diekspor ke luar luar negeri.
Sebagian lainnya hidup sebagai petani di ladang berpindah-pindah dengan tanaman padi, ubi
kayu, ubi jalar, jagung, cengkeh, pala, kopra dan lain-lain.

Kekerabatan Suku Tidore

Dalam masalah hubungan kekerabatan masyarakat ini menarik garis keturunan dari pihak
ayah “patrilineal” tetapi dalam kehidupan sehari-hari hubungan kekerabatan itu cenderung
bersifat bilateral. Pilihan kawin tidak ada yang diutamakan tetapi boleh sampai kepada
saudara sepupu tingkat pertama.

Pada zaman dulu Tidore pernah memiliki peranan besar sebagai sebuah Kesultanan yang
menguasai sebagian besar daerah Maluku Utara dan yang termasuk gigih menentang
Belanda. Pada masa itu Sultan dibantu oleh sejumlah sangaji yakni semacam gubernur yang
mengepalai daerah-daerah kekuasaan sultan. Sangaji sendiri membawahi lagi pemimpin-
pemimpin lokal yakni kimelaha dan hukum.

Agama dan Kepercayaan Suku Tidore

Suku Tidore umumnya beragam Islam, Tidore juga merupakan salah satu pusat
pengembangan agama Islam di Maluku, setiap desa ditandai oleh mesjid atau surau. Para
pemimpin informal di desa-desa terdiri atas ustadz atau ulama.
Tradisi Suku Tidore

Tradisi kuno Suku Tidore masih melekat hingga kini yakni sarat akan kehidupan animisme
(Menyembah Roh nenek moyang) dan bersahabat dengan kaum Jin. Meski pada persoalan
Animisme dalam agama Islam bertolak belakang, namun para Ulama penyebar Islam di tanah
Maluku Utara berhasil (Syekh Yaqub hingga Imam Djafar serta ulama lainnya) mampu dan
berhasil memberikan pengetahuan dasar hakekat (Guna memberikan pemahaman akan kosmo
kekuasaan dan khalayak kepemimpinan alam yang sebenarnya) lewat pengenalan identitas
ketuhanan (Illahi) tanpa menggeser fondasi keimanan utama masyarakat akan kepercayaan
peran (Roh) nenek moyang dalam kehidupan dan adatnya yang diimani jauh sejak Islam ada.

Para ulama paham dengan kondisi ini olehnya itu konsekuensinya adalah Islam harus
dikenalkan dengan tingkat yang jauh lebih tinggi dengan metode yang tinggi pula tak seperti
di jawa (Wali Songo) dengan pendekatan Syariat-Kulturalnya. Usaha islamisasi agak berbeda
dan sulit karena masyarakat (Maluku Utara kuno) saat itu telah maju secara pemikiran
(Bijaksana) dan memiliki bakat alami yang mumpuni (Sakti).

Itulah mengapa Tidore sarat dan kental akan penganut Islam Tarikat, Pengetahuan Islam yang
tingkatannya jauh dan lebih tinggi karena orientasi pengislaman saat itu memang demikian.
Landasan dan falsafah sosial yang kini melekat di Tidore daripada usaha para ulama Ulama
dengan toleransi ide dan kebijaksanaan para kaum pribumi dalam menerima membantu
proses Islamisasi masyarakat kini melahirkan satu kekuatan fondasi sosial yakni “Adat ge
mauri Syara, Syara mauri Kitabullah”.” Yang artinya adat bersendi pada syariat (Islam) dan
Syariat (Islam) yang bersendi pada kitab Allah SWT (Al-Qur’an). Olehnya itu setiap tata
budaya yang dilaksanakan oleh adat Tidore tak pernah keluar dari garis islam dan ketata-
sosialannya sebagaimana peradaban islam lainnya yakni : Tata krama (Kesopanan dan
kesusilaan), Etika (Perilaku) dan norma-norma islam.

Adat Perkawinan Suku Tidore

Pelaksanaan perkawinan ditata melewati mekanisme formal layaknya mekanisme umum


seperti lamaran hingga pelaksanaan akad, pada adat tidore mekanismenya sebagai beriku :

Kegiatan ini berlangsung sesaat setelah keluarga calon mempelai wanita menerima belanja
yang diantarkan oleh keluarga calon mempelai laki-laki. Penentuan bulan, hari dan jam
didasarkan pada “saat dan kutika” menurut perhitungan Syaidina Imamul Djafar Sadek.

Kegiatan ini berlangsung semalam sebelum akad nikah dilaksanakan sekitar pukul 19.00 –
23.00. Biasanya wanita /ibu-ibu dari kedua belah pihak keluarga datang membawa hantaran
”antar rorio” untuk persiapan kerja esoknya. Tradisi “rorio” bermakna saling menolong.
Mereka yang datang pada malam tersebut ke rumah calon pengantin wanita membawa
“rorio” dalam bentuk sadaqah beramplop dan balasannya adalah satu dos/bungkus kue
‘rorio’. Malam ini juga biasanya digunakan oleh muda /mudi untuk datang melihat ranjang
pengantin yang telah dihiasi (honyoli tua se guba).

MUSUSU LAHI (Masuk Minta / Meminang)


Adalah proses lamaran dari kaum pria yang ditemani oleh pihak keluarga atau wali keluarga.
Dalam prosesi ini kaum pria yang diwakili oleh wali/orantua menyatakan ungkapannya akan
keinginan mempersunting si perempuan.

PAKA DEN (Naik ranjang)

Paka den atau naik tempat tidur (pingitan) biasanya tiga hari jelang akad nikah, calon
pengantin wanita maupun pengantin pria mengenakan pakaian adat dan sekujur tubuhnya
dilulurkan bedak tradisional (pupu lade) yang sebelumnya dibacakan doa-doa. Acara ini
memaknai membersihkan diri memasuki alam rumah tangga. Bagi perempuan ini tradisi ini
disebut Wadaka (Dengan menggunakan bedak/semacam rempah kosmetik hingga pada hari
kedua mempelai bertemu di hari puncak).

HOGO JAKO (Mandi membersihkan)

Prosesi ini berlangsung di kediaman mempelai wanita. Utusan calon pengantin wanita dengan
menggunakan baju adat menjemput calon pengantin pria. Calon pengantin wanita duduk
diatas pangkuan seorang wanita muda dan calon pengantin pria dipangku seorang lelaki
muda. Mereka dililitkan dengan kain putih dan kepalanya juga ditutupi kain putih. Didepan
pengantin berdiri para wanita paru baya (yaya goa) dengan busana adat (dao) selaku
pelaksana prosesi memandikan dan mengusapkan (hogo jako) kedua calon pengantin.
Perlengkapan hogo jako terdiri dari bambu (dibu) berisi air yang dililitkan dengan kain putih,
telur, buah pisang raja mentah, pinang, mayang pinang yang didalamnya berisi sumbu
(jumlahnya ganjil), sirih, kapur, pelita, uang koin, daun beringin putih, daun pohon jawa, dan
daun goliho. Makna acara ini adalah upaya menolak segala bencana atau marabahaya
menjelang pernikahan maupun sesudahnya. Hogo jako juga dipergunakan pada acara
Khitanan.

GOLU (Sarang laba-laba / masuk kamar pengantin).

Menandakan jalan tersebut belum dilalui oleh siapapun (sang wanita belum dinikahi oleh
orang lain sebelumnya). Akad nikah dilaksanakan menurut syariat Islam, yaitu diawali
dengan khotbah nikah, Idzab Kabul, ucapan sighat taklik dan diakhiri dengan pambacaan
doa. Sesudah Idzab Kabul, pengantin pria masuk ke kamar pengantin wanita (bathal wudhu).
Biasanya kamar pengantin wanita dikunci rapat oleh kerabat pengantin wanita. Pintu dibuka
setelah pendamping pengantin laki-laki melempari koin golu berulang-ulang ke dalam kamar
pengantin wanita.

ORO BARAKATI SE SILOLOA (Ambil berkat dan bersuara)

Oro barakati sama halnya dengan mengambil / meminta berkat dari kedua mempelai kepada
orang tua atau wali dan kerabat dekatnya. Seusai oro barakat dilanjutkan dengan siloloa dari
seseorang yang mewakili pihak kedua keluarga pengantin menyampaikan siloloa atau sekedar
prakata kepada yang hadir (menyampaikan sedikit perihal kedua mempelai, mohon maaf atas
kekurangan dalam pelayanan dan seterusnya, juga ucapan terima kasih atas segala
partisipasi). Siloloa juga dilakukan pada acara-acara lain seperti jelang keberangkatan
Jenazah dari rumah duka.
MUNARA FOU SARO (Makanan hidangan)

Seperangkat makanan adat khas Tidore, dihidangkan di atas meja yang diatur dan ditata
sedemikian rupa, dan disantap oleh orang-orang yang mengenakan pakaian adat pula.
Makanan adat sebelum disantap, dimasukan (disarokan) ke dalam kain putih (di atas taplak
meja berwarna putih dan ditutupi kain berwarna putih). Masyarakat Tidore mengenal 3 (tiga)
tingkatan pada ngam saro.

DOWARO

Yaitu suatu ungkapan dari seorang pawang/joguru yang menceriterakan dengan kata-kata
bermakna tentang arti secara simbolis, setiap jenis makanan adat yang disuguhkan dalam
acara tersebut. Juga ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT, juga kepada seluruh yang
telah berpartisipasi. Dowaro ini juga diucapkan oleh pawang/joguru pada acara dina kematian
(biasanya pada dina besar hari ke–7 atau ke-9), dan dapat pula diucapkan pada hajatan
lainnya seperti peresmian lembaga-lembaga adat dan lembaga-lembaga pemerintah/kerajaan.

Rumah-Adat-Suku-Tidore

Rumah adat suku Tidore bernama Fola Sowohi. Kata Fola Sowohi, berasal dari kata Fola dan
Sowohi. Kata Fola berasal dari bahasa Tidore, yang berarti rumah, sedangkan Sowohi berarti
tuan rumah. Secara utuh Fola Sowohi berarti rumah. Atap rumah terbuat dari rumbia yang
konstruksi bangunannya melambangkan kekayaan budaya. Fola Sowohi memiliki simbol
arsitektur utama (sentral) yang ada di Tidore. Fola Sowohi berfungsi sebagai tempat
musyawarah dan pelaksanaan upacara adat yang berkaitan dengan ritual magis. Bangunan
Fola Sowohi berbentuk bidang geometris empat persegi panjang. Fola Sowohi berlantai
tanah.

Pakaian-Adat-Suku-Tidore

Pakaian adat suku Tidore bernama manteren lamo. Pakaian ini biasa digunakan oleh sultan.
Manteren lamo terdiri atas celana panjang hitam dengan bis merah memanjang. Pada bagian
baju berbentuk jas tertutup dengan kancing yag besar terbuat dari perak berjumlah sembilan.
Sementara itu, leher jas, ujung tangan, dan saku jas yang terletak di bagian luar berwarna
merah. Untuk perempuan (bagi keluarga raja), pakaian adatnya bernama kimun gia (kebaya
panjang). Kimun gia terbuat dari kain satin berwarna putih dengan pengikat pinggang yang
terbuat dari emas. Pakaian adat untuk remaja bernama baju koja.

Baju koja berbentuk jubah panjang dengan warna-warna merah muda, seperti biru muda dan
kuning muda. Baju ini biasanya dipasangkan dengan celana panjang berwarna putih atau
hitam, berikut toala palulu di kepalanya. Dalam kegiatan upacara adat, laki-laki mengenakan
celana panjang dan kemeja panjang, sedangkan perempuan mengenakan baju susun dan kain
songket. Adapun ketua adat yang memimpin upacara adat menggunakan takoa. Takoa adalah
jubah panjang yang mencapai betis berwarna kuning muda, yang dipadukan dengan celana
dino, yakni celana dari kain tenun berwarna jingga atau kuning, lengkap dengan lengso duhu,
berupa tutup kepala berwarna kuning muda.

Anda mungkin juga menyukai