Anda di halaman 1dari 33

HALAMAN JUDUL

Perilaku Bekantan secara Ex-situ di Taman Safari Prigen Pasuruan

Laporan Praktikum Lapang Perilaku Hewan


Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah perilaku hewan

Oleh :
Ahmad Mauludin Sohih
Firna Putri Mandasari
Putri Mustika waulandari
Linda susilowati
Mochtar Gunawan Wibisono

121810401024
131810401054
131810401059
131810401018
131810401021

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS JEMBER
2016

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan hidayah-Nya
yang telah diberikan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan laporan
praktikum lapang yang berjudul Perilaku Bekantan secara Ex-situ di Taman Safari
Prigen Pasuruan ini sesuai dengan yang direncanakan.
Penyusunan laporan ini digunakan untuk melengkapi standart ketuntasan
penilaian mata kuliah Perilaku Hewan. Penulis menyadari bahwa masih banyak
kekurangan dalam penulisan laporan ini. Oleh karena itu, semua bentuk saran dan
kritik senantiasa penulis harapkan bagi kesempurnaan laporan ini.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang
memberikan bantuan baik secara langsung mapun tidak langsung selama proses
penyusunan laporan ini.
Akhirnya, penulis berharap semoga penyusunan laporan ini banyak membawa
manfaat bagi pihak-pihak yang terkait.

Jember, Mei 2016

Tim Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.....................................................................................................1
KATA PENGANTAR....................................................................................................2
DAFTAR ISI..................................................................................................................3
BAB 1. PENDAHULUAN...........................................................................................5
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................5
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................6
1.3 Tujuan..................................................................................................................6
1.4 Manfaat................................................................................................................7
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................8
2.1 Bekantan..............................................................................................................8
2.2 Feeding................................................................................................................9
2.3 Grooming...........................................................................................................10
2.4 Perilaku Defence................................................................................................11
2.5 Perilaku Reproduki dan Pengasuhan Anak........................................................12
2.6 Perilaku Agonistik.............................................................................................13
2.7 Perilaku Adaptif.................................................................................................13
BAB 3. METODELOGI..............................................................................................15
3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan.........................................................................15
3.2 Alat dan Bahan...................................................................................................15
3.3 Cara Kerja..........................................................................................................16
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN......................................................................17
4.1 Ingestif...............................................................................................................17
4.1.1 Makanan.....................................................................................................17
4.2 Berjalan dan Berpindah.....................................................................................18
4.3 Adaptif...............................................................................................................19

4.3.2 Defens berupa Interaksi..............................................................................19


4.3.3 Membujuk (ajakan) dan Kopulasi..............................................................20
4.4 Agonistik............................................................................................................21
4.4.1 Pohon Tempat Tidur...................................................................................23
4.5 Grooming...........................................................................................................24
4.6 Feeding dan foraging.........................................................................................26
4.7 Parental care......................................................................................................27
BAB 5. PENUTUP......................................................................................................29
5.1 Kesimpulan........................................................................................................29
5.2 Saran..................................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................30

BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada setiap kehidupan makhluk hidup, pasti ada banyak interaksi yang terjadi
di antara mereka baik secara internal maupun eksternal. Selain itu, interaksi ini akan
menimbulkan suatu keadaan timbal balik yang lama maupun tidak akan bertahan
lama. Namun intinya tetap sama bahwa suatu stimulus atau rangsangan akan
menimbulkan suatu tanggapan perilaku. Stimulus atau rangsangan dapat berupa
stimulus yang berasal dari dalam maupun dari luar diri organisme. Setiap individu
mampu merespons beberapa stimulus yang akan mengenai diri organisme tersebut.
Oleh karena itu, untuk merespons rangsang, dibutuhkan adanya reseptor. Makhluk
hidup mampu melakukan tanggapan ataupun respon terhadap berbagai stimulus baik
yang berasal dari lingkungan luar maupun dari dalam tubuh sendiri. Apabila contoh
tanggapan dikaitkan dengan mekanisme terjadinya perilaku pada makhluk hidup,
maka fungsi reseptor sangat berperan dalam mendeteksi stimulus dan system saraf
yang akan mengoordinasikan respon sehingga timbul suatu aksi terpola yang dapat
diamati sebagai perilaku.
Pentingnya dilakukan Praktikum Lapang (Praklap) Perilaku Hewan agar
mengetahui perilaku hewan Bekantan. Selain itu karena tidak dimungkinkan
melakukan praktikum di laboratorium karena tidak tersedianya
hewan bekantan di laboratorium biologi FMIPA Universitas Jember.
Praklap Perilaku Hewan dilaksanakan di Taman Safari Indonesia II Prigen
Pasuruan dengan pertimbangan karena wilayah mudah dijangkau dan
relatif lengkap koleksi hewannya. Wilayah Taman Safari ini juga
relatif

luas sehingga mempermudah praktikan dalam melakukan

pengamatan dan pengambilan gambar. Berdasarkan latar belakang


di atas, maka Praklap Perilaku Hewan bertujuan agar mahasiswa

memahami perilaku hewan. Selain itu mahasiswa memperoleh


pengetahuan dan pengalaman dengan terjun langsung di lapangan.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari Praktikum Lapang Perilaku Hewan yaitu :
a. Bagaimana Bekantan dapat beradaptasi dengan lingkungan (adaptif)?
b. Bagaimana Bekantan dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya dengan
memperoleh makan dan minum (ingestif)?
c. Bagaimana Bekantan dapat berkompetisi dengan hewan-hewan satu spesies
dalam memperoleh sumber makanan, pasangan, maupun tempat tinggal
(agonistik)?
d. Bagaimana Bekantan dapat merawat diri dari ektoparasit yang melekat pada
rambut di permukaan tubuhnya (grooming)?
e. Bagaimana Bekantan dapat memperoleh makanan untuk kelangsungan
hidupnya (foraging)?
f. Bagaimana Bekantan memelihara anaknya seperti membawa, menyusui, dan
memeluk (parental care)?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari Praktikum Lapang Perilaku Hewan yaitu :
a. Dapat mengetahui cara Bekantan dapat beradaptasi dengan lingkungan
(adaptif).
b. Dapat mengetahui cara Bekantan mempertahankan kelangsungan hidupnya
dengan memperoleh makan dan minum (ingestif).
c. Dapat mengetahui cara Bekantan berkompetisi dengan hewan-hewan satu
spesies dalam memperoleh sumber makanan, pasangan, maupun tempat
tinggal (agonistik).
d. Dapat mengetahui cara Bekantannmerawat diri dari ektoparasit yang melekat
pada rambut di permukaan tubuhnya (grooming).
e. Dapat mengetahui cara Bekantan memperoleh makanan untuk kelangsungan
hidupnya (foraging).

f. Dapat mengetahui cara Bekantan memelihara anaknya seperti membawa,


menyusui, dan memeluk (parental care).
1.4 Manfaat
Adapun manfaat dari Praktikum Lapang Perilaku Hewan yaitu :
a. Mahasiswa dapat mengetahui secara langsung cara hewan berinteraksi dengan
sesama spesiesnya terutama Bekantan.
b. Mahasiswa dapat berkontribusi dalam konservasi hewan yang hampir punah
dengan membayar beberapa ribu rupiah.
c. Mahasiswa dapat terhibur dengan berbagai pertunjukkan satwa yang
menunjukkan atraksi-atraksinya.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Bekantan
Bekantan (Nasalis larvatus) merupakan satwa yang hanya ditemukan di pulau
Kalimantan. Bekantan disebut sebagai Kera Belanda, karena memiliki hidung yang
menonjol agak lebar menggantung kedepan seperti hidung orang belanda. Selain itu
binatang ini disebut juga Bakara, Hakau, Rasung, Pika, Batangan atau dalam bahasa
inggris biasa disebut Proboscis Monkey. Selain mempunyai hidung yang panjang,
Bekantan juga mempunyai morfologi yang khas yaitu mempunyai selaput diantara
jari kaki dan tangan serta sistem pencenaan yang sama dengan rusa, jerapah. sapi,
domba. dan kambing yang disebut Rominansia, dan juga mempunyai sistem sosial
yang unik di habitatnya (Bismark, 1995).
Kerajaan

: Animalia

Filum

: Chordata

Kelas

: Mammalia

Ordo

: Primata

Famili

: Cercopithecidae

Subfamili

: Colobinae

Genus

: Nasalis

Spesies

: Nasalis larvatus
Bekantan memiliki bulu coklat kemerahan di punggung dan bahu sampai di

bagian tengah. Dada bekantan berwarna krem dengan kerah krem disekitar leher dan

pinggang sampai pantat dan ekornya. Lengan dan kaki bekantan panjang dengan kulit
tangan dan kaki abu-abu. Bulu orange menutupi bahu dan ada semacam topi bulu
meah gelap menutupi kepala. Wajahnya berwaarna merah daging dengan mata kecil
cokelat. Telinganya kecil dan lurus ke atas kepala. Hidung panjang dan besar pada
Bekantan (Nasalis larvatus) hanya dimiliki oleh spesies jantan. Sedangkan hidung
betina tidak besar dan bekantan remaja memiliki hidung seperti terbalik yang kecil.
Hidung bekantan jantan sangat besar yang terlihat menggantung di atas mulut.
Kadang-kadang mereka harus mendorongnya keluar dari mulut sebelum meletakkan
sesuatu ke dalam mulutnya. Hidung mereka akan membengkak dan menjadi merah
ketika mereka gembira atau marah. Kera betina lebih memilih jantan dengan hidung
besar sebagai pasangannya. Bekantan jantan berukuran lebih besar dari betina.
Ukurannya dapat mencapai 75 cm dengan berat mencapai 24 kg. Kera Bekantan
betina berukuran sekitar 60 cm dengan berat 12 kg. Spesies ini juga memiliki perut
yang besar (buncit). Perut buncit ini sebagai akibat dari kebiasaan mengkonsumsi
makanannya yang selain mengonsumsi buah-buahan dan biji-bijian mereka juga
memakan dedaunan yang menghasilkan banyak gas pada waktu dicerna (Bennet and
Henrickson, 1995).
Habitat bekantan sangat terbatas pada tipe hutan rawa gambut, bakau serta
sangat tergantung pada sungai. Walaupun sebagian kecil ada yang hidup di hutan
Dipterocarpaceae dan hutan karangas namun masih berada disekitar sungai. Tipe
hutan yang disenangi bekantan adalah tipe Riverine Mangrove dengan sungai yang
cukup besar. Kebutuhan hutan ditepi sungai bagi bekantan adalah untuk tempat
bermalam dan untuk tempat berkomuikasi (Bismark, 1997).
2.2 Feeding
Bekantan makan diujung-ujung cabang, duduk pada awak cabang atau ranting.
Salah satu tangannya dipergunakan untuk berpegang pada cabang atau ranting di

bagian atas, sedangkan tangan lainnya meraih makanan. Kalau berada pada posisi
yang sulit, kedua tangan akan berfungsi untuk berpegang sedangkan makanan dapat
diarnbil langsung dengan mulut. Makanan yang dikonsumsi oleh bekantan terdiri dari
buah-buahan, bunga, jenis paku-pakuan, cendawan, larva insecta, dan rayap.
Sedangkan makanan yang paling disukai olehnya dan dijadikan sebagai makanan
utamanya adalah Gauna motleyana dan Eugenia sp. Jenis ini banyak tersebar
dipinggiran sungai hingga jauh kedarat. Bekantan memang pernilih dalam pencarian
makanan yang di sukai terutama buah dan daun muda pedada (Sonneratia lanceolata)
yang tumbuh di hutan bakau sepanjang sungai dekat pantai. Selain itu mereka juga
mengkonsunasi pucuk-pucuk dari pohon bakau tempat mereka beristirat dan bermain
(Bismark, 1980).
Bekantan lebih menyukai pohon yang berada persis disamping sungai untuk
tempat tidumya. Dalam satu pohon bisa dihuni oleh satu kelempok yang kira-kira
berjumlah 4-12 ekor. Pernbentukan jumlah individu dalarn kelompok tempat tidur ini
tergantung pada keadaan pohon, seperti bentuk percabangan, tinggi pohon,
kerirnbunan pohon, serta jarak antara pohon yang satu dengan lainnya. Sama halnya
dengan jenis monyet lain, bekantan juga hidup berkelompok. Setiap kelompok terdiri
dari beberapa ekor jantan dan betina dewasa, serta beberapa ekor anak yang masih
digendong oleh induknya. Besarnya kelompok tersebut sangat dipengaruhi oleh
jumlah persediaan makanan (Maruf, 2004).

10

Gambar 1.

2.3 Grooming
Sama halnya dengan jenis monyet lain, bekantan juga hidup berkelompok. Setiap
kelompok terdiri dari beberapa ekor jantan dan betina dewasa, anak-anak yang belum
dewasa, serta beberapa ekor anak yang masih digendong oleh induknya. Besarnya
jumlah individu dalam suatu kelompok monyet sangat dipengaruhi oleh jumlah
persediaan makanan (Wilson, 1975; Freeland, 1976; Tilson,1977; Bismark, 1979)
serta rendahnya angka kematian yang disebabkan oleh penyakit (Freeland, 1976).

Gambar 2. grooming

Dalam aktivitas sehari-hari kelompok bekantan membentuk beberapa kelompokkelompok kecil (anak kelompok). Pembentukan anak kelompok ini terjadi sejak dari
pohon tempat tidur. Pada pagi hari, sebagian awal dari aktifitas hariannya, anak
anggota itu bergerombol kemudian berpencar setelah aktivitas makan dan berjalan
meningkat. Aktivitas sosial lain yang dilakukan bekantan ketika mereka sedang
istirahat adalah mencari kutu yang dilakukan secara berantai antara bekantan yang
satu dengan bekantan yang lain (grooming). Chivers, (1974) berpendapat bahwa
grooming merupakan tingkah laku sosial antara individu kera atau monyet dalam
kelompoknya seperti pada H. syndaetylus dan M. fascicularis. Aktivitas grooming

11

pada bekantan dapat terjadi antara anak dengan induknya atau induk yang satu
dengan induk yang lainnya dengan waktu relatif tidak lama (Salter, et.al, 1985).
2.4 Perilaku Defence
Seperti kebanyakan hewan mammalia lain, bekantan memiliki kemampuan
untuk memberi isyarat (suara) kepada koloni atau populasi mereka apabila didekati
dari hewan lain agar berpindah ke tempat yang aman dan mencoba memperingatkan
kepada hewan lain tersebut. Hal ini dibuktikan saat peneliti mencoba melakukan
pengamatan lebih dekat akan (bekantan) dengan adanya isyarat suara khusus yang
diberikan kepada koloni bekantan tersebut. Bekantan akan mengeluarkan suara mirip
klakson mobil yang keras sebagai peringatan ketika mereka merasakan bahaya yang
membuat hidung mereka menonjol. Hidung bekantan berfungsi sebagai resonator
ketika bersuara. Bekantan juga akan diam-diam meluncur ke dalam air dan berenang
tenang tanpa percikan air agar tidak menarik perhatian predator. Pada saat bahaya
seluruh pasukan dapat melompat ke dalam air sebagai sarana melarikan diri. Sebagian
kaki berselaput membantu bekantan berenang dan mengurangi beban berat ketika
berjalan di lumpur mangrove yang lembut (Meijaard and Nijman, 2000).
2.5 Perilaku Reproduki dan Pengasuhan Anak
Bekantan betina siap kawin setelah mencapai usia 4 tahun. Bekantan jantan
akan mencapai kematangan seksual pada usia 4-5 tahun Bekantan betina memiliki
masa kehamilan antara 166 sampai 200 hari dan hanya melahirkan satu ekor anak
dalam sekali masa kehamilan. Bayi yang baru lahir akan memiliki wajah biru dan
hampir hitam yang masih jarang-jarang. Perubahan warna yang menandakan mereka
dewasa sekitar 3 - 4 bulan. Betina akan menjaga bergantian dengan jantan setelah
betina menyusui. Bekantan muda akan tinggal dekat dengan induknya selama sekitar
1 tahun atau sampai induknya memiliki anak lagi (Rajanathan and Bennett, 1990).

12

Gambar 3. Pariental Care

2.6 Perilaku Agonistik


Bekantan membentuk kelompok-kelompok stabil terdiri dari satu jantan,
dengan kelompok-kelompok spesifik secara teratur dengan lokasi tidur mereka. Baik
perilaku agonistik intensitas tinggi antarkelompok dan intrakelompok seperti
menampar, mengejar, dan menggigit, langka ditemukan. Perilaku agonistik tingkat
rendah lah yang sering terjadi. Perilaku ini antara lain vokalisasi, menggoyang
ranting, membuka mulut besar-besar, dan, ereksi alias menegakkan penis. Dengan
jangkauan usia hanya 13,5 tahun, strategi pertahanan diri mereka sungguh aneh.
Ketika terdapat ancaman, penis sang jantan akan menegak, mereka merentangkan
kaki selebar mungkin sehingga penisnya memerah, lalu menunjukkannya ke temantemannya sebagai peringatan adanya bahaya sehingga teman-temannya (atau para
selirnya karena semuanya perempuan) dapat kabur dari bahaya (Yeager, 1992).
2.7 Perilaku Adaptif
Peningkatan suhu harian saat hari cerah memungkinkan bekantan berjalan
jauh mencari tempat untuk berlindung, mencari makan dan istirahat serta
memungkinkan pula bagi bekantan untuk kembali dengan cepat ke tepi sungai pada
sore hari. Jauhnya perjalanan bekantan ke dalam hutan saat suhu udara meningkat
adalah salah satu upaya dalam menjaga keseimbangan pengaturan suhu
(termoregulasi) tubuh karena di dalam hutan suhu udara lebih rendah. Pada saat
peningkatan suhu udara maka pelepasan panas tubuh melalui penguapan juga
meningkat.

Bekantan

juga

memiliki

selaput

pada

kakinya

yang

dapat
13

mempermudahya untuk berenang. Penggunaan dan perpindahan pohon tempat tidur


di tepi sungai merupakan adaptasi bekantan terhadap penyakit dan predator. Pada
habitat yang telah rusak strategi pemilihan pohon tempat tidur dan perilaku
berpindah-pindah setiap hari adalah cara untuk mempertahankan populasinya (Maruf
dan Syahbani, 2005).

14

BAB 3. METODELOGI

3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan


a. Waktu Pengamatan
Pengamatan ini dilaksanakan pada:
Hari, tanggal
Jam

: Sabtu, 30 April 2016

: 09.00 WIB 16.00 WIB

b. Tempat pelaksanaan
Pengamatan di laksanakan di Taman Safari Indonesia II Prigen Pasuruan.

Gambar 4. Taman Safari Indonesia II

3.2 Alat dan Bahan


Alat
a. Alat tulis
b. Tabel pengamatan
c. Kamera
Bahan
Hewan Bekantan

15

3.3 Cara Kerja


Mahasiswa menyiapkan peralatan yang dibutuhkan ketika praktikum dilapangan
Mahasiswa mengamati perilaku hewan

Bekantan

seperti adaptif, ingestif,

agonistik, grooming, foraging, parental care


Mencatat hasil pengamatan pada tabel pengamatan perilaku hewan Bekantan
Mendokumentasikan perilaku Bekantan
Hasil

16

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Ingestif
4.1.1 Makanan
Bagian tumbuhan yang dimakan adalah daun, pucuk, bunga dan buah. Satwa
ini digolongkan kedalam primata folivorous (pemakan daun). Mereka lebih sering
terlihat berada dipuck-pucuk tajuk dan ujung-ujung percabangan pohon, karena pakan
yang diperlukan relatif banyak tersedia di bagian ujung ujung tajuk dan percabangan
pohon dibandingkan dengan di bagian lainnya. Pakannya dipetik dengan satu atau
kedua tangannya, dan kadang-kadang mempergunakan kakinya (Boonratana, 1993).

Gambar 4. ilustrasi beberapa perilaku makan bekantan.


(a). Posisis tubuh saat pengambilan daun muda, (b). Pengambilan tanaman menjalar, (c). Pengambilan
bagian buah, (d). Pengambilan bagian bunga.

Proses pengambilan makanan pada bekantan di Taman Safari hanya dengan


mengambil buah secara langsung pada tempat yang telah disediakan. Buah-buahan
sengaja diletakkan pada keranjang kawat yang digantung, sehingga bekantan tidak
mengambil makanan secara langsung seperti dialam bebas.

17

4.2 Berjalan dan Berpindah


Bekantan berpindah dari satu titik ke titik lain baik di pohon yang sama atau
yang pohon yang lain melibatkan kegiatan melompat, leaping, berjalan dengan
tangan dan kaki (Gambar 5) atau berjalan dengan dua kaki. Melompat biasanya
dilakukan ketika berpindah ke pohon lain yang jaraknya cukup jauh dan
membutuhkan aktifitas untuk menyeberang atau mencapai titik tertentu (Koenig,
2000).

Gambar 5. berjalan ditanah

Leaping adalah gerakan yang melibatkan kedua tangan, berayun dari cabang
ke cabang sebagian besar bergerak di pohon yang sama dengan jarak yang pendek.
Berjalan dengan empat kaki (Gambar 6) yang meliputi pindah dari cabang satu ke
yang lain pada pohon yang sama atau di tanah dengan cara lambat. Akan tetapi
berjalan dengan dua kaki hanya terjadi saat melintasi daerah terbuka ditanah untuk
menghindari bahaya atau ancaman bagi mereka. Leaping dilakukan dengan lengan
terentang, menggunakan tindakan cambuk seperti cabang ramping untuk memberi
efek loncatan. Perilaku ini dikenal untuk menggantung pada periode pendek, kadangkadang untuk bergerak jarak pendek dan hanya menggunakan lengan saja (Lehner,
1979).

18

Gambar 6. berjalan di pohon

Perilaku bergerak secara aktif terjadi selama jam makan, mereka harus pindah
dari cabang ke cabang untuk mencari makanan berupa dedaunan muda, terutama
ketika dedaunan muda sangat langka. Tapi ketika sumber makanan berlimpah,
bekantan akan membatasi gerakan saat makan. Melompat dan leaping dengan cara
yang cepat biasanya terjadi ketika ada ada ancaman dan tanda bahaya yang diberikan
oleh jantan dewasa melalui vokalisasi (Lehner, 1979).
Perilaku berjalan dan leaping dapat diamati di Taman safari, akan tetapi hanya
berjalan dengan empat kaki saja yang teramati. Perilaku yang teramati yaitu ketika
bekantan berjalan menuju anggota kelompoknya untuk mermain-main, dan perilaku
mengayun juga terlihat ketika bekantan sedang bermain diantara replika pepohonan.
Bekantan memiliki perilaku berenang ketika mereka akan berpindah kesuatu tempat
yang tidak ada pohon, akan tetapi pada pengamatan tidak terjadi.
4.3 Adaptif
Adaptif merupakan perilaku hewan yang tujuannya untuk mempertahankan
kehidupannya, termasuk bekantan ini. Pada penelitian ini ditemukan perilaku
bekantan adaptif dengan cara resting (istirahat).
4.3.2 Defens berupa Interaksi
Sebuah riset menyatakan bahwa bekantan beriteraksi dengan spesies lain
sesama primata dalam suatu wilayah yang sama. Interaksi ini terjadi antara kelompok
19

bekantan (Nasalis larvatus) dengan keompok monyet silver-leaf (Presbytis cristata)


pada suatu hari pengamatan. Jantan soliter atau bekantan yang telah meninggalkan
kelompoknya baik harem atau semua jantan untuk melindungi monyet silver-leaf dari
serangan sekelompok bekantan. Jantan soliter tidur dipohon yang sama dengan
monyet silver-leaf pada posisi penyusup dapat mengakses untuk menyerang monyet
silver-leaf. Pada hari itu bekantan soliter bertindak sebagai penjaga mengikuti monyet
silver-leaf dan menonton dari kejauhan. Kadang-kadang mereka berkomunikasi
melalui suara atau membuat suara seolah-olah mengintruksikan kelompok untuk
melakukan suatu gerakan dan kelompok bergerak diikuti oleh bekantan soliter dari
belakang. Kejadian ini sangat jarang terjadi ketika dua spesies yang berbeda dari
primata dapat berinteraksi dan berkomunikasi meskipun mereka berasal dari spesies
primata. Selama proses pengamatan jantan soliter proboscis mencoba untuk
menghindari dari pengamatan dengan bersembunyi tetapi masih di sekitar kelompok
monyet silver-leaf. Ketika pengamat menghindari tempat tersebut maka bekantan
tersebut muncul. Keadaan ini menunjukkan bahwa manusia adalah ancaman (Yeager,
1992). Interaksi yang teramati hanya pada bekantan dengan sesama anggota
kelompoknya saja, karena memang tidak ada spesies primata lain di dalam tempat
hidup bekantan di Taman Safari. Interaksi sesama anggota berupa perilaku agonistik
dan parental care.
4.3.3 Membujuk (ajakan) dan Kopulasi
Perilaku membuju untuk ajakan kopulasi termasuk pada perilaku mating
sebgai perwujutan dari perilaku adaptif supaya tetap dapat melangsungkan
kehidupannya. Perilaku membujuk terjadi sebelum kopulasi antara jantan dan betina
dari belalai (proboscis) tetapi ajakan tidak selalu menghasilkan kopulasi (Murai,
2006). Perilaku ajakan antara jantan dan betina dimulai dengan wajah cemberut,
sementara jantan kadang-kadang bersuara, maka betina akan mendekati dan berpaling
(menoleh), menunjukkan punggungnya dan melihat ke belakang kearah jantan dan
kadang-kadang menggelengkan kepala mereka untuk meminta kopulasi (Kombi,

20

2013). Perilaku ini tidak terlihat saat pengamatan karena mungkin saat itu bukan
waktu dari bekantan untuk proses kawin.
4.4 Agonistik
Interaksi agonistik dan tindakan yang terdiri dari mengejar, menampar,
menggigit, menyuarakan, ancaman wajah (Gambar 7) dan ancaman postural. Mimik
ancaman wajah yaitu postur dari bibir atas atau kedua bibir secara vertikal ditarik,
mengekspos gigi dan kadang-kadang gusi (Thierry, et al. 2000). Secara umum,
agonistik biasanya tidak terlihat antara kelompok dan anggota kelompok yang sama,
untuk agresi yang serius jarang terjadi. Namun agresi kecil biasanya terjadi antara
individu dalam kelompok seperti ancaman wajah, ancaman postural dan vokalisasi
(Yeager, 1990). Sebagian besar perilaku agonistik ini terjadi antara remaja dan subdewasa, misalnya dengan kejar-kejaran dan ancaman wajah untuk itu remaja akan
mengeluarkan suara untuk menakut-nakuti lawan. Ini terjadi antara hewan muda atau
remaja saat bermain-main seperti mengejar, menampar dan menggigit. Perilaku ini
terjadi ketika anggota lain dari kelompok mungkin beristirahat atau tidur (Meijaard
dan Nijman, 1999).

Gambar 7. Ancaman wajah

Untuk vokalisasi jantan dewasa merupakan karakteristik umum sebagai


dominasi dan pemimpin di antara semua kelompok jantan. Berbagai jenis frekuensi

21

tinggi, rendah, vokalisasi lunak seperti <Ngoh>, berfungsi untuk memperingatkan,


menanggapi, instruksi dan menenangkan kebingungan antara anggota kelompok.
Suara <gwat>, <Gat>, <Nat>, <Kat> yang bernada tinggi adalah peringatan terhadap
penyusup dan peringatan dan mengancam dan suara ini akan diteruskan oleh belalai
(proboscis) jantan lain yang melihat kesemua anggota kelompok sampai semua
anggota kelompok

berpindah ke tebing, baru kemudia dia berpindah mengikuti

kelompoknya (Tuen dan Pandong, 2007).


Suara yang keras atau vokalisasi bernada tinggi yang dipancarkan oleh jantan
dewasa baik dalam situasi non-spesifik atau dalam konteks gairah dan ketegangan
sosial (misalnya, konflik sosial, kehadiran anggota asing) (Thierry et al. 2000).
Interaksi agonistik juga terjadi ketika kelompok bertemu saat mencari makan di
daerah yang sama. Akan ada sebuah aksi mengejar antara individu dan perilaku
ancaman postural, dengan gemetar, mematahkan pohon atau cabang. Sebelum itu
bekantan akan menggoyang-goyangkan objek lingkungan (misalnya, cabang atau
batang), menghasilkan suara yang bising dalam kondisi ketegangan sosial dan
konteks agonistik (Thierry et al. 2000).
Selama pengejaran beberapa individu akan sengaja turun ke tanah ketika
mereka melompat dan mendarat di pohon kecil yang mungkin tidak cukup kuat untuk
berdiri dan menahan berat badan. Situasi ini merupaan tindakan yang dilakukan oleh
individu dari kedua kelompok tetapi bukan oleh jantan pemimpin dan itu terjadi
sangat cepa. Ketika berhenti semua anggota dari kedua kelompok kembali melakukan
aktivitas normal mereka seolah-olah tidak ada insiden yang terjadi di antara mereka
(Meijaard dan Nijman, 1999).
Keingintahuan di antara individu dalam kelompok pada pengamat (spesies
lain) ditunjukkan oleh ancaman wajah. Perilaku ini biasanya disertai vokalisasi dan
dilakukan oleh semua anggota kelompok kecuali jantan dewasa yang dominan
(pemimpin), terutama ketika mereka melihat seseorang di sekitar mereka saat makan.
Pada saat yang sama mereka akan menjauh dari pohon atau berpindah kepohon yang
tinggi agar mereka tidak terlihat (Meijaard dan Nijman, 1999).
22

Perilaku agonistik ini terlihat jelas pada pengamatan yaitu ketika lima ekor
bekantan saling berkejaran dan memukul sesama anggota kelompok, mereka juga
mengeluarkan suara-suara saat berkejaran dan berkelahi.
4.4.1 Pohon Tempat Tidur
Perilaku ini merupakan perilaku agonistik. Kelompok bekantan mulai mencari
pohon tempat tidur pada pukul 17.00. satwa ini memilih pohon tempat tidur yang
sekaligus menyediakan makanan seperti pucuk, bunga, buah dan daun, misalnya
pohon S. Caseolaris, Ilex cymosa dan Ficus sp. Sampai dengan pukul 18.00 beberapa
anggota kelompok masih emperlihatkan kegiatan makan sambil menunggu saat tidur.
Mereka tidur berpindah-pindah dari satu pohon ke pohon lain, tetapi ada
kemungkinan satu pohon dipakai tempat tidur selama dua malam berturut-turut.
Lokasi tempat tidur cenderung membentuk siklus, mereka akan kembali pada pohon
tempat tidur selama dalam waktu paling lama enam hari (Fan dan Jlang, 2008).
Kelompok bekantan yang jumlah anggotanya besar, terbagi menjadi 2-4 sub
kelompok pada saat tidur, dimana setiap sub kelompok menempati 1 pohon. Jarak
antara satu pohon dengan pohon lainnya yang dipakai untuk tidur oleh sub keompoksub kelompok tersebut berkisar 5-90 m mereka memilih pohon tempat tidur di tepi
sungai, tinggi pohon yang dipilih berkisar 2-27 m. Bekantan menyukai tidur di pohon
bakau di tepi-tepi sungai sebagai strategi untuk memudahkan dalam mengenali
gangguan (Fan dan Jlang, 2008).
Umumnya bekantan tidur di percabangan pertama. Hal ini diduga sebagai cara
mereka menghindar dari terpaan angin yang cukup keras dibagian atas tajuk. Mereka
juga memilih pohon tempat tidur yang relatif tinggi, di mana tajuknya terpisah dari
tajuk pohon lainnya. Hal ini berkaitan dengan strategi bekantan menghindari predator,
seperti ular dan kucing hutan (Fan dan Jlang, 2008).
Perilaku tidur dipohon pada pengamatan di Taman Safari tidak terjadi, karena
pada saat itu tidak ada bekantan yang tidur dan tidak ada pohon nyata yang digunakan
oleh bekantan untuk tidur. Tempat hidup bekantan di Taman Safari sengaja dibuat

23

seperti dialam, menggunakan replika pepohonan dari semen, kolam kecil, air terjun
dan beberapa tali untuk berayun.
4.5 Grooming
Pada mamalia sosial, fungsi utama perilaku grooming adalah
untuk

menjaga

higienis

hewan

tersebut

contohnya

yaitu

menghilangkan parasit di tubuhnya. Selain untuk higienis, grooming


dapat memiliki fungsi sosial, mencirkan karakteristik social antara
groomer dan groomee (antara yang melakukan dan diperlakukan)
(Kutsukake, 2010). Aktivitas sosial lain yang dilakukan bekantan
ketika mereka sedang istirahat adalah mencari kutu yang dilakukan
secara berantai antara bekantan yang satu dengan bekantan yang
lain (grooming).
Kegiatan istirahat ini biasanya terjadi sekitar pukul 10.00 17.00 selama
cuaca panas dan hujan lebat. Bekantan tidur dengan posisi duduk dengan mata
tertutup atau berbaring dengan menghadap ke bawah pada cabang atau bersandar ke
pohon. Tapi ini bukan perilaku tidur selama tidur malam. Selama tidur malam,
mereka hanya duduk (jongkok) dengan wajah menunduk dan perilaku ini tidak terjadi
pada siang hari karena pada siang hari mereka lebih waspada terhadap bahaya.
Perilaku yang paling jelas adalah mereka duduk membelakangi pengamat (Gambar 8)
atau duduk dibalik daun atau cabang yang dapat menutupinya dari pengamat atau
predator (Napier dan Napier, 1967).

24

Gambar 8. duduk membelakangi pengamat

Selama curah hujan tinggi mereka akan cenderung diam tanpa membuat
gerakan apapun, mereka akan duduk di suatu tempat atau dahan dengan kepala
menunduk diantara kaki belakang, tapi kadang mereka menggoyangkan tubuh untuk
menghapus atau mengibaskan air hujan di rambut-rambutnya (Napier dan Napier,
1967).

Gambar 9. Aktifitas beristirahat

Gambar 10. Tidur selama istirahat

25

Di taman safari Indonesia II terlihat perilaku grooming pada


bekantan. Perilaku ini terjadi antara sesama bekantan dewasa
dengan ditunjukkan adanya aktivitas mencari kutu pada salah satu
bekantan, namun perillaku ini tidak berlangsung lama. Hewan
tersebut cenderung beristirahat saat proses pengamatan. Hal ini
terjadi karena perilaku grooming tidak terjadi setiap saat. Perilaku
yang umum terlihat adalah tidur, duduk bersantai,bermain dan
terdapat proses parental care. Selain itu kondisi pengamatan
dilakukan saat siang hari sehingga Bekantan cenderung istirahat.
Hal tersebut merupakan reaksi terhadap suhu udara yang semakin
panas (Alikodra, 1997). Dan umumnya bekantan memilih tidur
untuk menghemat energi. Cuaca panas dapat mengakibatkan laju
metabolism rendah pada hewan endoterm, salah satunya adalah
primate (Campbell dkk.2004 :12). Hal tersebut terkait dengan
strategi untuk mempertahankan suhu tubuh agar tetap konstan
(Isnaeni 2006:219). Oleh karena itu, primata lebih cenderung
beristirahat dibandingkan melakukan aktivitas pada cuaca panas
(Atmojo 2008:50). Dalam satu hari penggunaan waktu aktivitas
hariannya, terdiri dari 23,2% aktivitas makan, 25,2% bergerak,
42,3% istirahat dan 9,3% interaksi sosial (permenhut,2013).
4.6 Feeding dan foraging
Bekantan pada umumnya mengkonsumsi pucuk-pucuk dari
pohon bakau tempat di mana ia sambil beristirahat dan bermain.
Namun menurut Artikel yang ditulis oleh Bismark dalam Kehutanan
Indonesia, 1980, makanan yang dikonsumsi oleh bekantan terdiri
daribuah-buahan,

bunga,

jenis

paku-pakuan,

cendawan,

larva
26

insekta dan rayap,sedangkan makanan yang paling disukai oleh


bekantan dan dijadikan sebagaimakanan utamanya adalah Gauna
motleyana dan Eugenia spp. Jenis ini banyaktersebar di pinggiran
sungai hingga jauh ke darat. Bekantan makan di ujung-ujung
cabang,

duduk

tangannya

pada

awak

dipergunakan

cabang

untuk

atauranting,

berpegang

salah

pada

satu

cabang

atauranting di bagian atas, sedangkan tangan yang lain untuk


meraih makanan. Kalau berada pada posisi yang sulit, kedua tangan
akan berfungsi untuk berpegangsedangkan makanan dapat diambil
langsung dengan mulut. Teknik makan ini merupakan adaptasi
terhadap sebaran makanan yang dibutuhkannya yaitu pucuk-pucuk
daun yang umumnya berada pada ujung ranting (M. Bismark,
1986). Bekantan makan daun-daun muda dari pohon yang tumbuh
di sekitar habitatnya. Mengacu pada pendapat Curtin & Chivers
(1979), bahwa makanan yang terdiri dari daun-daun muda banyak
mengandung selulosa. Selulosa ini dapatdifermentasikan oleh
bakteri-bakteri yang terdapat di dalam saluran pencernaanmonyet
menjadi asam-asam lemak yang mudah menguap, seperti pada
system pencernaan Ruminansia. Sistem pencernaan yang demikian
terdapat pada primate tingkat tinggi, terutama jenis dari suku
kolobinae di Asia.
Pada pengamatan yang dilakukan di Taman Safari Prigen
menunjukkan sedikitnya bekantan yang sedang melakukan aktivitas
memakan. Menurut Widarteti dkk (2009:33), primate seperti lutung
banyak melakukan aktivitas makan pada pagi dan sore hari untuk
mengganti kehilangan energi yang dibutuhkan pada saat tidur atau
istirahat. Selama periode pengamatan tidak ditemui aktivitas
minum pada Bekantan. Aktivitas minum pada primate biasanya

27

dilakukan dengan mengambil air yang berad a di permukaan daun,


dan celah pada dahan pohon (Struhsaker & Leland 1987:83).
Foraging atau aktvitas mencari makan tidak dilakukan karena
Bekantan berada didalam penangkaran ex situ Taman Safari Prigen
sehingga dia tidak perlu melakukan pencarian makan karena pakan
telah disediakan oleh pihak pengelola. Jika dalam kawasan aslinya
aktivitas mencari makan umumnya dilakukan dengan melompat
dan berpindah hingga ditemukan makanan dari Bekantan tersebut.
4.7 Parental care
Aktivitas pengasuhan adalah segala bentuk perilaku nduk
yang muncul dan bertujuan untuk menigkatkan kesejahteraan anak.
Induk

melindungi,

menggendong

(carrying),

mencari

kutu

(grooming) dan menyusui (nipple contact) bayi yang diasuhnya


selama 24 jam. Periode masa laktasi pada primate subfamily
Colobinae adalah 168 hari (Jolly,1985).
Pada Pengamatan Bekantan di Taman Safari Prigen tedapat
aktivitas parental care yakni aktivitas menggendong dan menyusui.
Aktivitas

menggendong

berarti

berpegang erat pada induk

individu

bergendong

atau

saat induk beristirahat maupun

bergerak. Bayi primata sangat rentan terhadap ancaman dan


serangan

pada

dua

bulan

pertama,

sehingga

memerlukan

pelindungan dari induk betinanya.Saat bengantan, induk melakukan


aktivitas tersebut di kolong bawah air terjun buatan. Sang induk
menggendong anak dibagian ventral tubuhnya. Aktivitas ini terjadi
lumayan lama. Kemudian bekantan tersebut berpindah tempat dan
terjadi aktivitas menyusui. Berdasarkan Khatimah(2010) aktivitas
menggendong merupakan aktivitas terbesar dari keseluruhan

28

aktivitas pengasuhan yang dilakukan induk Simakobu yang mana


hewan ini termasuk satu subfamily Colobinae dengan Bekantan.

29

BAB 5. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
kesimpulan yaitu bahwa perilaku bekantan yang ditemukam di Taman Safari
Prigen Pasuruan yaitu perilaku ingestif yaitu perilku makan, perilaku berjalan dan
berpindah, perilaku adaptif yang ditemukan yaitu perilaku defens dan perilaku
membujuk (ajakan) dan kopulasi. Selain itu pada perilaku agonistik juga ditemukan
berupa perilaku berupa berkejaran dan memukul sesama anggota kelompok, dan juga
perilaku berkelahi. Perilaku grooming juga ditemukan pada pengamtan bekantan di
Taman safari, seperti perilaku istirahat pula. Selain itu perilaku feeding dan foraging
tidak ditemukan pada perilaku bekantan, karena makanannya sudah disediakan oleh
petugas. Perilaku pariental care ditemukan pada pengamatan bekantan.
5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan tim penulis pada penulisan laporan ini yaitu,
supaya menambah lama waktu penelitian, karena penelitian ini hanya dilakukan
dengan singkat jadi kemungkinan masih belum di temukan perilaku-perilaku
unik/khas bekantan.

30

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra, H. S. (1997). Populasi Dan Perilaku Bekantan (Nasalais larvatus) Di


Samboja Koala, Kalimantan Timur. Media Konservasi, 2(4): 4-9.
Atmojo , I. (2008). Perilaku anak orangutan(Pongo pygmaeus pygmaeus) di Pusat
Primata Schmutzer,Taman Margasatwa Ragunan dan Taman Safari Indonesia.
Thesis pada Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Bennet, B. T., Abaee, R. C., & Henrickson, R. (1995). Nonhuman Primates in
Biomedical Research Biology and Management. New York: Academic Press.
Bismark, M. (1980). Populasi dan Tingkahlaku Bekantan (Nasalis larvatus) di Suaka
Margasatwa Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Laporan No.357 Lembaga
Penelitian Hutan Bogor, 51p .
Bismark, M. (1986). Perilaku bekantan dalam memanfaakan lingkungan hutan bakau
di Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur. Thesis Maister Sains. Program
Pasca sarjana IPB,Bogor.
Bismark, M. (1995). Analisis Populasi Bekantan (Nasalis larvatus) Population
Analysis of Proboscis Monkey (Nasalis larvatus). Rimba Indonesia, 30(3): 1423.
Bismark, M. (1997). Pengelolaan Habitat dan Populasi Bekantan (Nasalis larvatus) di
Cagar Alam Pulau Kaget, Kalimantan Selatan. Prosiding Diskusi Hasil-hasil
Penelitian: Penerapan Hasil Litbang KSDA Pengelolaan SDA Hayati dan
Ekosistemnya, 1-11.
Boonratana, R. (1993). The ecology and behaviour of the proboscis monkey (Nasalis
larvatus) in the lower Kinabatangan, Sabah. Asian Primates, 4(1): 13-14.
Campbell, N. A., Reece, J. B., & Mitchell, L. G. (2004). Bologi. Jakarta: Erlangga.
Fan, P. F., & Jlang, X. L. (2008). Sleeping sites, sleeping trees, and sleeping-related
behaviors of black crested gibbons (Nomascus concolor jingdongensis) at Mt.
Wuliang, Central Yunnan, China. American Journal of Primatology, 70:153
160.
31

Freeland, W. J. (1976). Pathogens and the evolution of primate sociality. Biotropica,


8(1): 12-26.
Isnaeni, W. (2006). Fisiologi hewan. Yogyakarta: Kanisius.
Jolly, A. (1985). The evolution of primate behavior. New York : acmillan Publishing
Company.
Khatimah, H. (2010). Pola Aktivitas Harian Induk Betina Simakobu(Simias concolor
siberu) dalam Masa Laktasi di Hutan Peleonan,Siberut Utara, Kepulauan
Mentawai. Jakarta: UI Press.
Koenig, A. 2000. Competitive regimes in forest-dwelling Hanuman langur females
(Semnopithecus entellus). Behav. Ecol. Sociobiol. 48:93109. (t.thn.)
Kombi, M.B dan Abdullah, M. T. 2013. Ethogram of the free ranging Nasalis larvatus
in Bako National Park, Serawak. Malayan Nature Journal 2013, 65 (2&3), 121. (t.thn.)
Lehner, P.N. 1979. Handbook of Ethological Methods. Garland STPM Press, New
York. (t.thn.)
Maruf, A. (2004). Studi Perilaku Bekantan (Nasalis larvatus) di daerah Balikpapan
dan sekitarnya. Lap. Penelitian Loka Litbang Primata, Samboja (Unpublish).
Maruf, A., Triatmoko, & Syahbani, I. (2005). Studi Populasi Bekantan (Nasalis
larvatus) di Muara Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Lap. Penelitian
Loka Litbang Primata, Samboja (Unpublish).
Meijaard, E. & Nijman, V. 1999. The local extinction of the proboscis monkey
Nasalis larvatus in Pulau Kaget Nature Reserve, Indonesia. Oryx. 34: 66-70.
(t.thn.)
Meijaard, E., & Nijman, V. (2000). istribution and conservation of proboscis monkey
(Nasalis larvatus) in Kalimantan Indonesia. Biologi Konservasi, 92: 15-24.
Murai, T. 2006 Mating behaviors of the proboscis monkey (Nasalis larvatus).
American Journal of Primatology 68:832-837. (t.thn.).
Napier, J.R. & Napier, P.H. 1967 A Handbook of Living Primates. Academic Press,
London. (t.thn.).

32

OBrien, O. Petit, & K. Watanabe 2000. The Social Repertoire of Sulawesi


Macaques. Primate Research. 16: 203-226. (t.thn.)
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor :
P.56/Menhut-II/2013. (t.thn.)
Rajanathan, R., & Bennett, E. L. (1990). Notes on the sosial behaviour of wild
proboscis monkeys (Nasalis larvatus). Malayan Nature Journal, 44: 35-44.
Salter, R. E., Mackenzie, N. A., Nightingale, N., Aken, K. M., & Chai, P. (1985).
Habitat use, ranging behaviour and food habits of proboscis monkey Nasalis
larvatus (Van Wurmb) in Sarawak. Primates, 26 (4): 436-451.
Struhsaker, T. T., & Leland, L. (1987). Infanticide by adult males. Dalam :
Smuts,B.B.,D.L.Cheney,R.M.Seyfart,T.T.Strushaker(eds.)1987. Primate
societis: The University of Chicago Press.
Tuen, A.A. & Pandong, J.J.A.G. 2007. Habitat use and population density of
proboscis monkeys (Nasalis larvatus) at Samunsam Wildlife Sanctuary,
Sarawak. Malayan Nature Journal. 59(3):269-79. (t.thn.)
Widarteti, Pratiwi, A. N., Diapari, D., & Tjakradidjaja, A. S. (2009). Perilaku harian
lutung (Trachypithecus cristatus,Raffles 1812) di Penangkaran Pusat
Penyelamatan Satwa Gadog, Ciawi-Bogor. Zoo Indonesia, 18(1):33-40.
Yeager, C. 1990. Proboscis monkey (Nasalis larvatus) social organization: group
structure. American Journal of Primatology. 20(2): 95-106. (t.thn.)
Yeager, C. P. (1992). Proboscis monkey (Nasalis larvatus) social organization: Nature
and possible functions of intergroup patterns of association. American Journal
of Primatology, 26: 133137.
Yeager, C. P. 1992. Proboscis monkey (Nasalis larvatus) social organization: nature
and possible functions of intergroup patterns of association. American Journal
of Primatology. 26: 133-137. (t.thn.)

33

Anda mungkin juga menyukai