Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Rusa timor (Cervus timorensi) termasuk satwa liar yang di lindung
oleh pemerintah dan dapat didomestikasi. Surat keputusan Menteri
Pertanian No 362/KPTS/TN/12/V/1990, yang diperbaharui melalui Surat
Keputusan Pertanian No. 404/KPTS/OT.210/2002, telah pula memasukan
rusa sebagai hewan ternak. Dalam surat keputusan tersebut, usaha
peternakan diartikan sebagai serangkaian kegiatan yang di lakukan oleh
perorangan atau badan hukum yang melaksanakan kegiatan menghasilkan
ternak

(bibit/potong),

serta

menggemukan

suatu

ternak

termasuk

mengumpulkan, mengedarkan dan memasarkannya (Semiadi dan Nugraha,


2004).
Rusa merupakan salah satu sumber kekayaan satwa yang ada di
Indonesia, terdiri dari empat spesies endemik yaitu: muntjak (Muntiacus
muntjak), rusa bawean (Axis kuhlii), rusa sambar (Cervus unicolor), dan
rusa timor (Cervus timorensis). Menurut van Bemmel (1949), masuknya
rusa ke Indonesia dimulai pada abad ke 17 yaitu dari Cervus timorensis.
Rusa timor merupakan jenis rusa tropis yang berasal dari Jawa, banyak
dijumpai di berbagai kepulauan Indonesia baik di habitat alaminya maupun
di penangkaran, salah satunya ada di Lampung (Santoso, 2011).
Rusa Timor Cervus timorensis Blainville, merupakan satwa liar yang
dilindungi dan pengelolahannya ditangani oleh Direktorat Jenderal
Pelestarian Hutan dan Konservasi Alam, Kementrian LH dan Kehutanan.
Sumber daya hayati ini dikhawatirkan akan punah mengingat banyaknya
perburuan liar dan perusakan habitat (Lelono, 2003).
Salah satu upaya untuk menjaga keberadaan rusa timor yaitu dengan
melakukan upaya penangkaran di Wilayah Sulawesi Tengah adalah salah
satu daerah yang memiliki populasi satwa rusa timor yang cukup potensi
untuk dikembangkan. Upaya yang dilakukan untuk melestarikan satwa ini
adalah dengan melakukan penagkaran di berbagai daerah yang ada di
1

Sulawesi Tengah. Salah satu lokasi penangkaran yang ada di Sulawesi


Tengah adalah di daerah Kabupaten Morowali.

Sejauh ini di lokasi

penangkaran belum pernah dilakukan penelitian dalam upaya untuk


meningkatkan produktivitas dan populasi dari satwa rusa. Salah satu upaya
yang dilakukan untuk pengembangan rusa timor dalam pelestarian.
Populasi rusa timor di habitat alaminya terus menurun karena
degradasi habitat dan pemburuan liar untuk pemanfataan ekonomis oleh
masyarakat. Namun dimikian satwa tersebut relatif muda beradaptasi
dengan lingkungan di luar habitatnya sehingga sangat potensial di
kembangkan secara ex-situ melalui penangkaran. Habitat penangkaran
sangat berbeda dengan habitat alami, berdasarkan ciri-ciri dalam habitat
penangkaran terdapat peningkatan nutrisi, karena lebih mudah mendapatkan
makanan, berkurangnya pemangsaan oleh predator dan pemburu liar,
berkurangnya penyakit dan parasit serta meningkatkan kontak pendekatan
dengan manusia (Lelono, 2003).
Penangkaran rusa saat ini sudah banyak dilakukan, baik in-situ
maupun ex-situ. Untuk mencapai perlindungan dan perkembangbiakannya
perlu dipahami berbagai aspek ekologi dan pola hidupnya sala satu
informasi penting tingkah laku hidup rusa dalam perilaku hariannya pola
kondisi harian tersebut meliputi aktivitas brgerak, makan, minum, bermain,
menahan diri dan istrahat.
Berdasarkan hasil infomasi bahwa data tentang pola aktivitas harian
rusa timor masih sangat kurang di laporkan di Fakultas Peternakan dan
Perikanan Universtas Tadulako, padahal data informasi tersebut sangat di
butuhkan dalam pelestarian rusa timor di Sulawesi Tengah.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dilakukan suatu penelitian
tentang pola aktivtas harian rusa timor di penagkaran Kabupaten Morowali.
1.2. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui Perialaku Harian Rusa
timor dalam penangkaran ex-situ.

1.3.

Manfaat Penelitian
Informasi hidup harian rusa timor pada kondisi harian ex-situ dapat
bermanfaat untuk mengembangkan pola penangkara yang lebih baik untuk
mendukung keberhasilan konservasi rusa timor.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Deskripsi Rusa Timor


Rusa timor (Cervus timorensis Blainville, 1822) merupakan salah satu
dari empat spesies rusa asli Indonesia, yakni rusa sambar, rusa bawean, dan
muncak. Satwa ini mempunyai ukuran tubuh yang kecil, tungkai pendek,
ekor panjang, dahi cekung, gigi seri relatif besar, dan bulu atau rambut
berwarna coklat kekuning-kuningan. Rusa jantan memiliki ranggah yang
3

relatif besar, ramping, panjang dan bercabang. Cabang yang pertama


mengarah ke depan, cabang belakang kedua terletak pada satu garis dengan
cabang belakang pertama, cabang belakang kedua lebih panjang dari cabang
depan kedua, cabang belakang kedua kiri dan kanan terlihat sejajar
(Schroder 1976).
Klasifikasi :
Rusa Timor (Cervus timorensis) di klasifikasikan dalam kindom sebagai
berikut:
Filum

: Kordata

Subfilum

: Vertebrata

Kelas

: Mammalia

Ordo

: Artiodactyla

Sub Ordo

: Ruminansia

Famili

: Cervidae

Genus

: Cervus

Spesies

: Cervus timorensis.
Rusa timor merupakan rusa tropis keduan terbesar dari jumlah

populasi setelah rusa sambar. Dibandingkan rusa tropis Indonesia


lainnya,rusa timor memiliki banyak keunikan yaitu sebagai kelompok rusa
yang mempunyai banyak nama darah yang cukup beragam dan tersebar luas
di seluruh negri. Barat badan antara 40-120 kg tergantung pada anak
jenisnya pemberian nama lokal cukup beragam, tergantung pada daerah
aslinya. Di pulau jawa dikenal dengan rusa jawa di pulau Timor sebagai rusa
timor, di Sulawesi sebagai jongo dank di kepulauan maluku sebagai rusa
maluku. Nama yang paling umum di pakai dalam bahasa nasional adalah
rusa timor (Semiadi dan Nugraha, 2004).
Rusa timor merupakan satwa asli Indonesia. Menurut Bemmel (1949)
rusa timor berasal dari Jawa, Kepulauan Sunda Kecil dan Malaka. Namun
demikian kalangan ahli lainnya menyatakan bahwa rusa timor hanya berasal
dari Jawa dan Bali (IUCN 2008). Dalam perkembangannya, rusa timor
menyebar luas sampai ke bagian timur wilayah Indonesia seiring dengan
perpindahan manusia. Luasnya penyebaran rusa timor terlihat dari
4

banyaknya sub spesies yang dimiliki, yakni 8 sub-spesies. Menurut Bemmel


(1949), penamaan sub-spesies ini didasarkan atas daerah penyebarannya,
yakni:
a. Cervus t. russa, terdapat di Jawa dan Kalimantan (S.E. Borneo).
b. Cervus t. laronesiotes, terdapat di Pulau Peucang.
c. Cervus t. renschi, terdapat di Bali.
d. Cervus t. timorensis, terdapat di Timor, Roti, Semau, Pulau Kambing,
Alor, Pantar, Pulau Rusa.
e. Cervus t. macassaricus, terdapat di Sulawesi, Banggai, Selayar.
f. Cervus t. jonga, terdapat di Pulau Buton dan Pulau Muna.
g. Cervus t. moluccensis, terdapat di Ternate, Mareh, Moti, Halmahera,
Bacan, Parapotan, Buru, Seram dan Ambon.
h. Cervus t. florensiensis, terdapat di Lombok, Sumbawa, Rinca, Komodo,
Flores, Adonara, Solor dan Sumba.
Berdasarkan kategori IUCN Red List, sejak tahun 2008 rusa timor
termasuk dalam kategori rentan (vulnerable). Sebelumnya rusa timor
berstatus resiko rendah/kurang perhatian (lower risk/least concern) sejak
tahun 1996. Perubahan status ini disebabkan total populasi asli rusa timor di
daerah penyebaran aslinya diperkirakan kurang dari 10.000 individu
dewasa, dengan perkiraan penurunan sekurangnya 10% selama tiga generasi
sebagai akibat dari hilangnya habitat, degradasi habitat, dan perburuan
(IUCN 2008).
Di Indonesia, rusa timor termasuk jenis yang dilindungi berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis
Tumbuhan dan Satwa. Namun demikian, rusa dapat dimanfaatkan melalui
penangkaran sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 13
Tahun 1994 tentang Perburuan Satwaliar, dan Peraturan Pemerintah Nomor
8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Pada tahun
1928-an, oleh pemerintah kolonial Belanda beberapa ekor rusa timor dibawa
ke luar habitat aslinya termasuk ke Papua. Rusa timor yang dibawa ke
Papua merupakan sub spesies dari rusa timor yang berasal dari Maluku
(Rusa timorensis moluccenssis Muller 1836). Pada habitat yang baru, rusa
5

timor berkembangbiak dengan pesat bahkan menjadi hama bagi penduduk


di sekitarnya. Semiadi (2006) mengatakan rusa timor di Kalimantan, berasal
dari anak jenis rusa timor di Nusa Tenggara Timur yang dibawa oleh tentara
dari Timor Timur pada tahun 1980-an.
Hal yang menarik adalah bahwa meskipun rusa timor termasuk
spesies rusa tropis, tetapisatwa ini telahberhasil pula dipelihara di daerah
sub tropis Queensland (Sinclair dan Woodford, 2000). Di samping karena
seleksi yang telah dilakukan bertahun-tahun, hal ini juga di sebabkan karena
daya adaptasi timor yang tinggi terhadap lingkungan.tidak berlebihan
adanya untuk menyatakan bahwa perkembangan rusa timor yang lebih baik
dapat dicapai seandainya satwa di kembangkan di daerah tropis seperti
Indonesia.
Satwa rusa dicirikan dengan tubuhnya yang ditutupi bulu, dengan
variasi beberapa warna, menghasilkan susu, berdarah panas, jumlah jari
yang genap, empat buah jari pada setiap kakinya, berteracak (kuku, hoof)
dan melakukan pemamahan dalam proses makannya. Dari empat buah jari
yang dimilikinya, dua jari berada di daerah lateral, agak di atas dan
mengecil (rudimenter) sehingga tidak mencapai tanah, sedangkan dua jari
lainnya menopang pada tanah (Semiadi, 2006).
Rusa jantan relatif lebih besar dibanding rusa betina, tinggi badan 91 102 c\m dan berat badan 103 - 155 kg. Rusa yang dipelihara di penangkaran
atau di peternakan relatif lebih besar dibanding dengan rusa liar di hutan.
Rusa liar di hutan, berat badan rata-rata 60 kg sedangkan di peternakan
dapat mencapai 90 kg, sedangkan rusa betina relatif lebih kecil di banding
rusa jantan yaitu 45 - 50 kg (Dradjat, 2002).
2.2.

Habitat Rusa Timor


Habitat adalah suatu kawasan yang terdiri dari komponen fisik
maupun abiotik yang merupakan suatu kesatuan yang dipergunakan sebagai
tempat hidup serta berkembang biaknya satwa liar. Habitat dapat juga
diartikan sebagai suatu kesatuan tempat yang memiliki fungsi-fungsi bagi
satwa untuk mendapatkan pakan, air, perlindungan, tempat bermain dan
6

berkembang biak. Kondisi habitat harus mencakup luas dan kualitas yang
sesuai dengan tuntutan hidup marga satwa. Habitat yang sesuai untuk satu
jenis belum tentu sesuai dengan jenis yang lain karena setiap satwa
menghendaki kondisi habitat yang berbeda-beda. Rusa adalah satwa liar
yang memerlukan air setiap harinya untuk mandi dan berkubang (Susanto,
1980).
Habitat yang disukai rusa timor adalah hutan yang terbuka, padang
rumput, savana, semak, bahkan sering dijumpai juga pada aliran sungai
(sumber air) dan daerah yang berawa (Garsetiasih 1996). Hoogerwerf
(1970), Semiadi dan Nugraha (2004) serta IUCN (2008) mengatakan,
apabila berada di padang rumput rusa termasuk grasser sedangkan pada
areal semak dan hutan, rusa merupakan browser. Sebagai satwa herbivora,
rusa timor mengkonsumsi berbagai jenis rumput, herba dan buah-buahan
yang jatuh atau berserakan di permukaan tanah. Rusa timor di SM Pulau
Menipo di NTT, memanfaatkan tegakan lontar dan hutan bakau sebagai
tempat beristirahat (Sutrisno 1993). Cover merupakan komponen habitat
yang mampu memberikan perlindungan dari cuaca, predator atau kondisi
yang lebih baik dan menguntungkan. Vegetasi merupakan cover penting
dalam kehidupan satwa, karena bukan hanya pakan saja yang termasuk
didalamnya tetapi perlindungan terhadap cuaca dan predator juga
merupakan bagian dari vegetasi.
2.3

Perilaku Rusa
Tingkah laku hewan adalah ekspresi suatu hewan yang ditimbulkan
oleh semua faktor yang mempengaruhinya, baik faktor dari dalam maupun
dari luar yang berasal dari lingkungannya. Untuk praktisnya, tingkah laku
dapat diartikan sebagai gerak-gerik organisme. Sehingga perilaku
merupakan perubahan gerak termasuk perubahan dari bergerak menjadi
tidak bergerak sama sekali atau membeku, dan perilaku hewan merupakan
gerak-gerik hewan sebagai respon terhadap rangsangan dalam tubuhnya
dengan memanfaatkan kondisi lingkungannya Individu rusa jantan hidup
sendiri (soliter), sedangkan betina berkelompok dengan anggota berjumlah
7

2-3 individu, biasanya kelompok tersebut merupakan anakan rusa dari hasil
kelahiran sebelumnya (Jacoeb dan Wiryosuhanto, 1994). Dalam tingkat
penangkaran, rusa timor jantan mampu hidup berdampingan dengan
individu jantan lain atau individu betina. Hal ini mengubah perilaku asli nya
yang bersifat soliter (Semiadi dan Nugraha, 2004).
Rusa timor dapat hidup selama 15 20 tahun di alam maupun di
penangkaran, dengan rerata masa hidup 17,5 tahun. Rusa memiliki
kelebihan dibandingkan dengan hewan ruminansia lain. Rusa mampu
beradaptasi dengan berbagai habitat dan efisien dalam penggunaan pakan.
Penggunaan pakan oleh rusa lebih efisien dibandingkan dengan domba dan
sapi pedaging, yakni mencapai 4-5 kali lipat (Agnes, 2006).
Tingkah laku hewan adalah ekspresi suatu hewan yang ditimbulkan
oleh semua faktor yang mempengaruhinya, baik faktor dari dalam maupun
dari luar yang berasal dari lingkungannya (Suratmo, 1976). Tingkah laku
reproduksi sangat penting diketahui agar dapat mengembang serta
meningkatkan produktifitas populasi rusa timor. Rusa timor memiliki
tingkah laku memilih shelter (tempat berlindung) yang memiliki
ketersediaan sumber pakan dan minum,serta tersedianya naungan yang
jauh dari gangguan manusia. Rusa timor memiliki kebiasaan hidup
berkelompok. Kebiasaan lain dari rusa timor ini adalah membuang kotoran
(feses) bersamaan dengan mengkonsumsi pakan.Untuk tingkah laku
reproduksi rusa timor dimulai dari mating ratio, jumlah rusa timor pejantan
tiap kelompok berjumlah 1 : 5 dan memiliki sifat superior pejantan yang
menjadi pemimpin dalam kelompok (Daud Samsudewa, Siti Susanti,2006).
Tingkah laku reproduksi pada betina diawali dengan tingkah laku berahi.
Saat rusa timor betina berahi lebih sering menyendiri, nafsu makan
menurun, dan relatif diam saat didekati pejantan. Berahi rusa timor
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Musim hujan dengan pakan yang
melimpah akan meningkatkan kuantitas dan kualitas berahi betina
2.3. Status Konservasi Rusa

Ancaman bagi rusa timor di habitat alaminya adalah perburuan,


pedagangan ilegal dan kerusakan habitat. Rusa di buru untuk pemenuhan
pangan dan kesenangan bagi manusia (Jocoeb dan Wiryosuhanto,1945)
salah satu upaya untuk menjaga keberadaan rusa timor yaitu dengan
melakukan penangkaran untuk mengantisipasi kepunahan Rusa.
Berdasarkan Kategori IUCN Red list, sejak tahun 2008 rusa timor
termasuk kategori rentan (vulnerable). Sebelumnya pada tahun 1996 rusa
timor berstatus resiko rendah (lower risk). Perubahan status ini disebabkan
total populasi asli rusa timor di darah penyebaran aslinya diperkirakan
kurang dari 10.000 individu dewasa, dengan perkiraan penurunan
sekurangnya 10 % selama tiga generasi sebagai akibat dari hilanganya
habitat dan perburuan (IUCN, 2015).
Pada tahun 1928-an, oleh pemerintah kolonal Belanda beberapa ekor
rusa timor dibawa ke luar habitat aslinya termasuk ke Papua. Rusa timor
yang dibawa ke Papua merupakan sub spesies dari rusa timor yang berasal
dari Maluku (Rusa timorensis moluccenssis Muller 1836). Pada habitat yang
baru, rusa timor berkembangbiak dengan pesat bahkan menjadi hama bagi
penduduk di sekitarnya. Semiadi (2006) mengatakan rusa timor di
Kalimantan, berasal dari anak jenis rusa timor di Nusa Tenggara Timur yang
dibawa oleh tentara dari Timor Timur pada tahun 1980-an.
2.5

Penangkaran Rusa
Penangkaran adalah suatu kegiatan untuk pengembangbiakan satwa
liar yang bertujuan untuk meningkatkan atau memperbanyak

populasi

dengan tetap mempertahankan kemurnian genetik sehingga kelestarian dan


keberadaan jenis satwa dapat dipertahankan di habitat alaminya (Thorari et
al.(1991),
Penangkaran rusa saat ini sudah banyak dilakukan, baik in-situ
maupun eksitu. Untuk mencapai perlindungan dan perkembangbiakannya
perlu dipahami berbagai aspek ekologinya, salah satunya adalah informasi
tentang perilaku harian satwa sebagai informasi dasar untuk pemahaman
mengenaipakan, reproduksi, ekologi dan habitat. Penangkaran rusa secara
ek-situ di Bandar Lampung telah dilakukan di Taman Satwa Lembah Hijau,
9

dengan 23 rusa timor yang terdiri dari 12 individu jantan dewasa, 9 individu
betina dewasa, 1 individu jantan anakan dan 1 individu betina anakan yang
berada pada kandag peraga seluas 190 m2 (Lembah Hijau, 2015).
Oleh karena itu usaha penangkaran rusa perlu dilakukan untuk
antisipasi kepunahan rusa (Afzalani, Muthalif dan Musnandar, 2008).

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di areal penangkaran rusa timor
yang ada

di wilayah Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi

Tengah.Penelit akan dilaksanakan pada bulan Agustus-September 2016.


3.2.

Materi Penelitian
10

Materi yang di gunakan dalam penelitian adalah dua ekor trnak rusa
dewasa yang terdiri dari satu ekor jantan dan satu betina. Peralatan yang di
gunakan dalam penelitian berupa alat tulis menulis, stopwacth dan alat
dokumentasi (Camera).
3.3.

Metode Penelitan
Peneltian di awali dengan observasi pada lokasi penelitian untuk
melakukan proses habituasi pada populasi sebelum diamati tingkah laku
spesifiknya, dengan tujuan agar objek penelitian bisa beradaptasi dengan
peneliti. Selanjutkan data mengenai tingkah laku diperoleh dari pengamatan
langsung dengan menggunaka metode focal animal sampling berdasarkan
ketentuan Martin dan Bateson (1993). Metode focal animal samling
merupakan bentuk sederhana dari instantaneous sampling yang di dalamnya
berada individu diamati dengan poin yang telah di tentukan dan perilaku
ditetapkan untuk diamati. Salah satu kegunaan focal sampling adalah untuk
mengestimasi persen waktu yang digunakan individu dalam berbagai
aktivitas. Hal yang harus diperhatikan dalam menggunakan metode ini
adalah dalam penentuan rating waktu dan frekuensi dalam sifat yang
diamati pada saat mulai dan mengakhiri.

3.4

Pengamatan Pola Aktivitas Harian Rusa


Pengamatan terhadap Pola aktivtas harian Rusa di buat catatan pola
tingkah laku, adapun tingkah laku rusa timor (Cervus timorensi) yang
meliputi : aktivitas brgerak, makan, minum, bermain, menahan diri dan
istrahat.

3.5 Proses Pengambilan Data


Pengambilan dan pengumpulan data pola aktivitas harian rusa timor
di lakukan selama 6 (enam) jam tiap hari dengan interval waktu 1 menit,
yaitu pengamatan pada pagi hari pukul 07.00 09.00, siang pukul 11.0013.00 dan sore pukul 11.00-17.00. Pengambilan dan pengumpulan data
penelitian ini di lakukan selama selama 2 minggu.
Pengamatan dengan metode focal animal sampling dilakukan dengan
langkah sebagai berikut :
11

1.

Menyiapkan lembar pengamatan (worksheet) untuk mencatat setiap

2.

aktivitas/tingkah laku yang diamati.


Setiap 1 (satu) menit dilakukan pencatatan aktivitas dengan

3.

memberikan tanda silang pada kolom tersebut.


Sejumlah aktivitas yang ditandai dengan tanda silang di jumlahkan
pada akhit titik sampel, sehingga di dapat total aktivitas setiap hari.

3.3.

Analisis Data
1.

Data yang di peroleh ditabulasi dalam bentuk kuantitatif dan


selanjutnya dianalisis secara deskriptif berdasarkan kondisi di
lapangan. Analisis ini menjelaskan secara detail tentang data dalam
penelitian tingkah laku harian rusa timor (Cervus timorensis).

2.

Presentase yaitu untuk menggambarkan proporsi tingkah laku


berdasarkan jumlah frekuensi dan lama waktu pengamatan dengan
Rumus sebagai berikut :

% Tingkah laku = Jumlah TL x 100%


Total
3. Ethogram/histogram untuk menggambarkan hubungan antara variabel
yang diukur atau yang di amati dari penyajian (Hadinoto, 1993).
DAFTAR PUSTAKA
Afzalani, Muthalif dan Musnandar, 2008, mengantisipasi kepunahan rusa di buat
penangkaran.
Bemmel,A.C.Van. , 1949. A revision on the rusine deer in Indo-Australian
Archipelago Trebuia 20: 191-262, pls. 1-5. Map.
Burhanuddin Masyud, Ricky Wijaya dan Irawan Budi Santoso. 2007. Pola
Distribusi, Populasi, dan Aktivitas Harian Rusa Timor (Cervus
timorensis) di Taman Nasional Bali Barat.
Garsetiasih R. 1996. Studi habitat dan pemanfaatannya bagi rusa (Cervus
timorensis) di Taman Wisata Alam Pulau Menipo Nusa Tenggara Timur
[tesis]. Program Pasca Sarjana. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
12

Harianto, S.P. dan Dewi, B.S. 2011. Laporan Pengabdian Perilaku Harian Rusa
Sambar (Cervus unicolor) Pada Siswa SD N 1 Sukarame Bandar
Lampung. Universitas Lampung.
Hoogerwerf A. 1970. Ujung Kulon: the land of the last Javan Rhinos. Part V. The
Javan Deer. Leiden E. J. Brill.
Ishak M. 1996. Analisis Pola Penggunaan Waktu Populasi Rusa Jawa (Cervus
timorensis) Menurut Jenis Kelamin dan Kelas Umur di Pulau Rinca
Taman Nasional Komodo. Skripsi Bogor, Jurusan Konservasi Sumber
Daya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.
[IUCN] International Union for Conservation of Nature and Natural Reserves.
2008. The Redlist of Threathened Species.
Jacoeb, T.N., Wiryosuhanto, S.D. 1994. Prospek Budidaya Ternak Rusa. Penerbit
Kanisius, Jakarta. Cetakan pertama.
Lelono.A. 2003. Pola Aktivitas Harian Individual Rusa (Cervus timorensis)
dalam Penangkaran. Jurnal ILMU DASAR, Vol.4 No.1, 2003: 48-53.
Novriyanti. (2011). Kajian manajemen penangkaran, tingkat konsumsi,
palatabilitas pakan, dan aktivitas harian trenggiling (Manis javanica) di
penangkaran UD. Multi Jaya Abadi (Skripsi). Depatemen Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Santoso, S I. 2011. Rusa Timorensis (Cervus timorensis). Graha Ilmu.Indonesia:
1-3.
Semiadi G, RTP Nugraha. 2004. Panduan pemeliharaan rusa tropis. Pusat
Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bogor.
Susanto, M. 1980. Habitat dan Tingkah Laku Satwa Liar. Kerjasama antara
Training School for Animal Management (ATA, 1980) dan Fakultas
Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Schroder T.O. 1976. Deer in Indonesia. Nature Conservation Department.
Wageningen
Schmidt, G.H. 1974. Biology of Lactation. W.H. Feeman and Co., San Fransisco.

13

Semiadi. G. 2006. Biologi Rusa Tropis. Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia, Cibinong.
Semiadi, G., R. T. P. Nugraha. 2004. Panduan Pemeliharaan Rusa Tropis. Pusat
Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Cibinong.
Suratmo, F. G. (1976). Prinsip dasar tingkah laku satwa liar . Bogor: Institut
Pertanaian

Bogor Press

Sinclair, S,E. And Woodford, K.8 2000. Tropical/Sub-tropical deer faming


inAustralia.Asia-Aus,J.Anin,Sci. 13,supp. Ed 62-64
Thori et al. (1991) Penangkaran rusa timor.
Wirdateti dan Muhammad Mansyur. 2000. Pengamatan Tingkah Laku Rusa Timor
(Cervus timorensis) di PT Kuala Tembaga. Jurnal Penelitian Animal
Production Vol. 7 : 121-126. http://gembiralokazoo.com/collection/rusatimor.html#sthash.o5Wi3H8m.dpuf.
Pearse, A.J., Suttie, J.M. dan Corson, I.D., 2000. Velvet antler production
improved nutrition and management. In Animal production for a
consuming world. Proceedings of 9th Congress of the AAAP and 23rd
Biennial Conference of the ASAP (Ed. G.M. Stone), pp. 51-52. 3-7 July
2000, University of New South Wales, Dydney, Australia.
Plumer, D.T. 1971. An Introduction to Practical Biochemistry. McGraw Hill Ltd.
Bombay
Preston, T.R. and R.A. Leng. 1987. Matching Ruminant Production System with
Available Resources in the Tropics ansd Subtropics. Armidale, NSW
2350 Australia: penambul Books.
Putri, T.S., 2002. Kebijakan pengembangan rusa di Indonesia. Makalah pada
Seminar dan Lokalatih Potensi dan Prospek Penangkaran Rusa di
Indonesia, Yogyakarta, 19-21 Desember 2002.

14

15

Anda mungkin juga menyukai